Rilis Pers #1 Eskalasi Konflik Amerika Serikat dan Iran : Kemungkinan Perang Dunia ke-III?

Selasa (14/1/2020), Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan konferensi pers sebagai respon atas isu eskalasi konflik diantara Amerika Serikat dan Iran. Terbunuhnya Mayor Jenderal Qasem Soleimani oleh serangan pesawat nirawak Amerika Serikat menjadi pemicu eskalasi tensi diantara Amerika Serikat dan Iran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang antara kedua negara, yang dapat memicu Perang Dunia III.  Untuk menganalisa kemungkinan terjadinya Perang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Dalam kesempatan ini, IIS UGM menghadirkan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Yunizar Adiputera, MA., Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

Amerika Serikat memiliki sejarah keterlibatan yang panjang di kawasan Timur Tengah karena eksistensi Israel sebagai sekutu dekatnya. Bukanlah rahasia umum bahwa Amerika adalah musuh dari sebagian besar negara Timur Tengah. Di sisi lain, Iran merupakan salah satu seteru AS yang secara agresif terus mengembangkan kekuatannya, sehingga AS akan berusaha untuk melemahkan dan menghambat perkembangan Iran. Pembunuhan Soleimani dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk dari upaya tersebut, dengan justifikasi bahwa Soleimani memiliki niatan untuk menyerang beberapa target strategis di Amerika.

Namun pada kenyataannya, justifikasi yang disebutkan oleh pihak Gedung Putih tersebut masih belum bisa dibuktikan keabsahannya. Sebaliknya, muncul pandangan yang menyatakan bahwa Donald Trump melakukan serangan tersebut adalah sebuah pengalihan isu untuk mengurangi beban dalam negeri AS yang sedang marak dengan isu pemakzulan Trump, sekaligus sebagai upaya mendongkrak popularitas Trump pada pemilu yang akan datang. Siasat ini pernah diterapkan oleh mantan Presiden AS, George H. Bush Sr. yang mengintervensi dalam invasi Irak ke Kuwait. Namun siasat ini dapat berbalik merugikan Trump apabila lawan politik Trump menggunakan isu ekonomi sebagai pertimbangan dalam inisiasi perang, dimana kondisi perekonomian AS sebenarnya tidak cukup kuat untuk mendukung ekonomi perang apabila AS berperan dengan Iran.

Apakah Serangan Amerika Serikat yang menewaskan Mayjen Qasem Soleimani dapat dibenarkan menurut Hukum Internasional?

Sulit dibenarkan secara hukum internasional, logika yang dibangun selama ini hanya bahwa iya (Jenderal Qasem Soleimani) adalah orang jahat atau teroris, sementara dalam hukum internasional serangan hanya bisa dilakukan atas dasar pembelaan diri (self-defense) atau jika ada ancaman yang mendesak (imminent)”

-Yunizar Adiputera, M.A, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.-

Selain problematika urusan domestik AS, terdapat problematika keabsahan serangan yang dilakukan terhadap Soleimani apabila ditinjau dengan hukum humaniter internasional. Sebuah serangan hanya  dapat dibenarkan sebagai tindakan bela diri (self-defence) atau respon atas sebuah ancaman yang mendesak (imminent threat). Trump mengatakan bahwa serangan ini adalah bentuk self-defence AS terhadap rencana dan aksi terorisme yang dimotori oleh Soleimani. Sulit untuk menjustifikasi keabsahan serangan atas Soleimani karena hingga saat ini belum ada bukti berarti akan ancaman yang dibawa oleh Qasem Soleimani. Selain itu, terlepas dari problematika legal atau tidaknya serangan tersebut, serangan yang menewaskan Soleimani juga merupakan sebuah serangan yang tidak bijak dan tidak masuk akal, karena dapat menciptakan krisis dan eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah.

 

Apakah konflik diantara kedua negara akan mengalami eskalasi sehingga dapat memicu Perang Dunia III?

Amerika Serikat dan Iran sama-sama memiliki kekuatan nuklir, dan apabila keduanya berperang, hanya akan menciptakan kerusakan skala besar dan prospek terjadinya MAD (mutually assured destruction)

-Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada –

Untuk saat ini, kemungkinan terjadinya Perang Dunia III dinilai kedua narasumber sebagai sebuah kemungkinan yang tidak realistis karena beberapa faktor. Pertama, situasi politik yang sangatlah berbeda dengan situasi sebelum Perang Dunia I dan II, dimana mayoritas negara menghindari perang terbuka dan memilih diplomasi. Kedua, faktor domestik dari kedua negara yang berkonflik. Disatu sisi AS dipengaruhi oleh dukungan publik yang lemah atas perang dan juga ekonomi yang tidak siap untuk perang skala besar, dan disisi lain Iran juga memiliki kekuatan militer yang jauh lebih inferior dibandingkan AS sehingga pilihan untuk melakukan perang terbuka dapat mengarah kepada blunder strategis. Ketiga, prospek mutually assured destruction yang akan terjadi karena baik AS dan Iran sama sama memiliki senjata nuklir, yang apabila digunakan hanya akan menimbulkan kerusakan skala besar dan merugikan kedua negara.

 

Apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia?

Pada akhir sesi rilis, kedua narasumber mengingatkan akan signifikansi diplomasi di era modern. DIHI dan IIS UGM akan selalu mengutamakan jalur diplomasi dan tidak akan mempromosikan peperangan sebagai solusi. Meskipun banyak pihak menilai pamor diplomasi menjadi kurang populer setelah beberapa fenomena seperti Brexit dan Trump yang lebih memilih menggunakan power Amerika Serikat dibanding jalur diplomasi, namun pada kenyataannya justru diplomasi menjadi lebih penting dibanding era sebelumnya. Pada kasus ini, Pemerintah Indonesia dapat menggunakan jalur diplomasi untuk mencegah konflik diantara Amerika Serikat dan Iran bereskalasi lebih jauh.


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Denise Michelle

Rilis Pers #2 Sengketa Perairan Natuna antara Pemerintah Indonesia dengan Cina : Legalitas Nine Dash Line

Selasa (14/1) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas dua isu penting dalam politik internasional yang mengawali tahun 2020 ini. Salah satunya adalah sengketa perairan Natuna yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Cina.

Indrawan Jatmika, selaku peneliti IIS menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia cenderung bergerak terlalu lambat dan kurang responsif dalam menanggapi aksi yang dilakukan Cina di Laut Natuna Utara dengan masuknya kapal nelayan dan patroli penjaga pantai yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan teritorial Indonesia. Cina kerap menggunakan latar historisnya, yaitu nine dash lines sebagai landasannya dalam mengklaim wilayah Laut Cina Selatan. Padahal nine dash lines ini jelas bertentangan dengan UNCLOS dan bersinggungan dengan batas ZEE Indonesia.

“Langkah yang diambil Indonesia saat ini cenderung mengobati dibandingkan mencegah, karena isu di Laut Cina Selatan sudah bergulir ketika awal dekade 2010 terutama di tahun 2013-2014 ketika Cina mulai memiliki power akibat perkembangan ekonomi yang berkembang pesat,” ujar Indrawan.

Sejak awal pemerintahannya di tahun 2014, Jokowi merasa bahwa kasus Laut Cina Selatan bukanlah urusan Indonesia sehingga tidak perlu campur tangan Indonesia. Hal ini kemudian menjadi mindset yang terbangun dan berlanjut hingga saat ini. Sehingga ketika isu seperti ini terjadi, pemerintah cenderung tidak siap dan belum memiliki strategi untuk menanganinya. Yang terjadi malah saling lempar tanggung jawab antar kementerian, dimana masing-masing kementerian memiliki posisinya masing-masing dalam mengatasi isu ini.

Dengan Indonesia yang cenderung mengabaikan isu ini, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin ASEAN. Padahal, sejak awal berdirinya ASEAN tahun 1967, Indonesia selalu dianggap sebagai pemimpin ASEAN. Hal ini cukup disayangkan menurut Indrawan. Indonesia seharusnya dapat memimpin dan melakukan konsolidasi secara multilateral ke negara-negara anggota ASEAN untuk menentukan langkah dan sikap bersama untuk merespon Cina, sekaligus membawa isu ini ke berbagai forum internasional atas nama ASEAN.

Secara domestik, Indonesia juga perlu lebih tegas dan siap dalam mengatasi isu ini. Dengan mengirimkan militer ke Natuna atau membangun pangkalan militer ke Natuna bukan berarti tantangan perang dari Indonesia, namun lebih menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menindak pelanggar kedaulatan wilayah Indonesia.

Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh Randy Wirasta Nandyatama, dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus pakar kajian politik dan keamanan Asia Tenggara. Menurut Randy, kasus Cina ini menjadi penting karena kapal nelayan dijaga oleh penjaga pantai yang menurut UNCLOS adalah paramilitary, karena dibantu oleh negara dengan memberikan pengawalan. Inilah yang menjadi masalah dan membuat masalah tersebut menjadi pelik.

Menurut Randy, Cina melakukan aksi ini karena bergantung pada legitimasi Partai Komunis Cina (PKC). PKC dapat terus berkuasa apabila dapat menjamin pertumbuhan ekonomi, menjaga integritas teritorial, dan propaganda kecintaan tanah air (nasionalisme).

“Poin integritas teritorial menjadi poin yang bersinggungan dengan kasus ini, karena PKC harus mempertahankan Laut Cina Selatan yang dinilai merupakan hak Cina. Kemungkinan besar, Pemerintah Cina akan sulit untuk mundur karena menurut Cina, Laut Cina Selatan penting bagi integritas teritorial Cina,” ujar Randy.

Sebelumnya, Indonesia membatasi keterlibatannya dalam isu Laut Cina Selatan karena Indonesia tidak mengklaim Pulau Spratly di perairan Laut Cina Selatan, sehingga sebelumnya belum ada sengketa dan singgungan langsung antara Indonesia dan Cina. Namun kini, penting bagi Indonesia untuk terlibat aktif dan lebih responsif dalam mengatasi pelanggaran kedaulatan wilayah ini. Karena dalam sengketa internasional, negara yang dapat menjaga sebuah wilayah dan mengelolanya secara serius, maka akan dipandang lebih penting dan lebih pantas akan wilayah tersebut. Hal inilah yang berusaha dikejar oleh Cina.

Sejalan dengan yang disampaikan Indrawan sebelumnya, respon Indonesia dinilai kurang terkoordinir. Berbagai lembaga dan institusi yang terlibat tidak memiliki keseragaman respon terhadap isu ini. Sehingga yang dapat dilakukan adalah koordinasi yang lebih serius dan membuat upaya diplomasi mempertahankan perairan Natuna lebih kuat dan terarah.

“Indonesia selama ini masih mengabaikan historical fishing rights Cina, sehingga Indonesia perlu lebih mendalami landasan dan alasan Cina untuk melakukan intervensi di Natuna. Diperlukan juga adanya opsi kesepakatan diantara kedua negara dimana kedua negara dapat bekerjasama dan memanfaatkan sumber daya secara bersamaan,” tutur Randy menutup paparannya.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Angganararas Indriyosanti

Beyond the Great Wall #6: Menilik Jejak dan Merintis Langkah Cina

Kerap kali, kepentingan lingkungan dibenturkan dengan kepentingan ekonomi, seolah harus memilih satu dan mengorbankan yang lainnya. Namun, salah satu proyek eco-city di Cina, yakni Tianjin Eco-City, berkata lain. Arinda Putri, alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) membagikan hasil risetnya mengenai hal ini dalam Beyond the Great Wall ke-6, kegiatan dwibulanan yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Jum’at (6/12) lalu. Selain Arinda, M. Irsyad Abrar, mahasiswa HI UGM, dan Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen HI UGM sekaligus convener dari kegiatan Beyond the Great Wall, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini.

Dalam paparan Irsyad Abrar terkait tantangan dan respon Cina atas keamanan energinya, disampaikan bahwa hingga kini batu bara masih merupakan energi yang dipakai secara dominan oleh Cina, terlepas dari faktor lingkungan yang ditimbulkannya.

“…secara volume (penggunaan batu bara) melonjak sangat drastis. Ini bersamaan dengan naiknya Cina sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di dunia” ujar Abrar.

Tekanan domestik dari warga Cina, khususnya di Pesisir Timur, serta tekanan masyarakat global membuat Cina mencoba menggunakan energi yang dipersepsikan lebih “bersih” dari batu bara, contohnya minyak bumi, gas alam, dan energi baru terbarukan lainnya. Meski demikian, sumber daya ini belum dapat menggantikan penggunaan batu bara di Cina yang sangat masif. Hal ini dikarenakan peningkatan pasokan sumber daya alternatif tersebut belum dapat menandingi kecepatan peningkatan konsumsi energi di Cina. 

“Di berita, dikabarkan bahwa ada banyak tambang batu bara yang ditutup. Tapi sebenarnya ada juga tambang-tambang batu bara baru di daerah Timur Laut Cina Manchuria yang diperbolehkan baru-baru ini” tambah Abrar. 

Meski nada yang cenderung pesimistik tampak dari paparan tersebut, proyek Tianjin Eco-City membawa angin segar dalam diskursus ekologi Cina. Merespon lonjakan konsumsi batu bara di Cina yang menyentuh angka 87,5 persen, berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi efek lingkungan dari konsumsi tersebut maupun dari berbagai aktivitas produksi polusi lainnya.

“Ada beberapa proyek eco-city yang telah digagas pemerintah Cina, bahkan sejak tahun 2003. Tetapi kebanyakan gagal, satu-satunya yang berhasil ialah proyek Tianjin Eco-City yang bekerjasama dengan pemerintah Singapura” 

 

 

Kerja sama ini dilaksanakan dengan cara diadakannya pertukaran sumber daya, dari pihak Singapura dan Cina; transfer teknologi sumber daya air dengan melakukan penegakkan kedaulatan bidang air, dalam artian mengurangi ketergantungan pada air minum kemasan impor; pengadaan fasilitas reklamasi air; dan melakukan pemulihan Danau Jing yang sebelumnya menjadi tempat pembuangan polusi selama empat dekade.

 

“Melalui kerja sama ini, Tianjin bahkan menjadi kota pertama yang keran airnya bisa diminum, padahal sebelumnya perairan di Tianjin, contohnya Danau Jing, sangat tercemar” jelas Arinda.

 

Dampak dari kerja sama ini sangat besar, dari aspek ekonomi, Produk Domestik Bruto meningkat pada tahun 2007 hingga 2011. Terlebih lagi, pada tahun 2010-2014, Tianjin kedatangan lebih dari 10.000 wisatawan serta 1000 perusahaan dengan intensi investasi.

Bagi masyarakat setempat, dampak positif muncul dari perilaku rendah karbon ditunjukkan oleh penduduk Tianjin Eco-City, bahkan ketika dilakukan penelitian, 67,3 persen responden menyatakan bersedia membayar premi bulanan untuk mendukung listrik ramah lingkungan. Pendidikan terkait lingkungan hidup pula digalang sejak sekolah dasar. Alhasil, warga akar rumput jadi lebih memahami konsep green dan eco-city.

Meski dengan diadakannya kerja sama ini wewenang perusahaan menjadi lebih luas dibandingkan wewenang pemerintah dan masih terdapat permasalahan terkait kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi yang berlaku serta beberapa permasalahan aspek politis lainnya, kerja sama ini membuktikan adanya rekonsiliasi pertumbuhan ekonomi dengan penyelesaian masalah ekologi yang selama ini menjadi perdebatan panjang.

Mengakhiri kegiatan BTGW ke-6 Nur Rachmat Yuliantoro selaku convener dari kegiatan Beyond the Great Wall berbagi kisah terkait kedatangannya ke Cina November lalu melalui foto-foto tangkapannya. Pada akhir kegiatan Nur Rachmat Yuliantoro menutup rangkaian kegiatan BTGW, sebagai forum diskusi terkait perkembangan politik, sosial, ekonomi, serta isu-isu lain yang terjadi di Cina pada tahun 2019. Nantikan kegiatan Beyond the Great Wall dengan format baru di tahun depan!


Penulis : Sonya Teresa Debora

Editor : Thifani Tiara Ranti

Killer Robots: Evolution of Warfare or the Threat for Humanity?

On Thursday (29/11), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held Humanitarian Talk discussion as part of Campaign to Stop Killer Robots series with the theme “Coffee Talk on Killer Robots”. The event which was held at Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tried to offer a talk show concept which focuses on giving explanation to the public about the definition of killer robots, by discussing the advancement of information technology (IT), weaponry, and artificial intelligent (AI) in which all of them can not be separated by the advancement of the killer robots itself. IIS UGM held such series of events as a form of participation in global campaign under Campaign to Stop Killer Robots in order to raise awareness and increase the understanding of the people regarding the humanitarian consequences caused by Lethal Autonomous Weapon (LAWs). As a result, the campaign is expecting the emergence of solidarity to push the government in national level to not using autonomous weapons which will cause destruction and death of civilians.

On this occassion, IIS UGM invited Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, researcher at Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) also Dr. Sugeng Riyanto, lecturer at International Relations Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), both of the speakers have special interest on the advancement of killer robots. The discussion session is moderated by Yunizar Adiputera, M.A as the convener as well as the leader of Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM team.

The session was opened with foreword by Yunizar which explained a brief definition of LAWs. Autonomous weapon is different with drone, in which both have fundamental different on degree of control, target selection, and accuracy attack. Also, drone is not necessarily used for military purpose. On the other side, autonomous weapon is an independent weapon system which is designed for military purpose. Autonomous weapon is projected to bring forth a warfare revolution, minimize casualties from the military, and attacking target without human intervention so that it can be said as the third weapon revolution after the discovery of gun powder and atomic bomb. However, such weapon gains so many rejection from international community because of its vulnerability on operation system error, lack of capability to select target, also the degree of harm it might cause.

Sugeng opened his session by emphasizing that autonomous weapon system is inevitable, in which warfare always pushes for advancement and evolution of weaponry as a defense tool. Autonomous weapon system is an evolution of modern warfare, in which by using AI-based weapon with limited human intervention, military attempts to erase physical and psychological human limitation which is vulnerable with human error factor in order to create a more efficient warfare. However, Sugeng also explained that as the technology keeps evolving, autonomous weapon system brings several negative effects, such as the difficulties to decide the legal subject when there is civilian casualties, the loss of chivalry as a humanitarian element, also the loss of norm because of the loss of life by weapons that are not directly controlled by humans. Therefore, Sugeng concluded that the advantages possessed by autonomous weapon system makes the usage of the weapon by the military is inescapable thus a legally binding regulation is needed.

Resonating Sugeng, Rifqi also stated that military technology is indeed pushing the development of civilian technology, in which the technology development within the past 15 to 20 years has exceeded what has been able to be reached 300 years before. Rapid technological development is indeed a positive progress, but also bear negative impact. One of the negative impact can be seen in several cases, for instance is Stanislav Petrov – who had successfully prevented Nuclear War on September 26th, 1983 due to the nuclear warning system malfunction. For this case, it was the human judgment which was able to decide and prevent civilian casualties, meanwhile AI did not have such aspect. The usage of AI on autonomous weapon system forces human to be trapped in out of the loop scheme, where human is unable to interfere the decision making process of AI.This has become problematique since the scheme which should be used is human in the loop (human as the decision maker) or human on the loop (human can interfere the autonomous decision making process). Human dignity is at stake when the decision making process related to human’s life is decided by AI.

Meanwhile, regarding the role of Indonesia’s government in the middle of killer robots dilemma, Rifqi emphasized that Ministry of Foreign Affairs should take the role on pushing education in order to stop the usage and ban the autonomous weapon system. Strategy and comprehensive movement are needed in order to influence the world’s appraisal regarding smart weapons. Indonesia should be able to take the advantage its role as the Non-Permanent Member of UNSC in order to push the discussion regarding killer robots issue. Yunizar also added that in reality, Ministry of Foreign Affairs is quite slow on deciding its position. Indonesia is also lack of involvement on weapon treaties even though Indonesia has quite influential voice on such treaties. Therefore, it should be realized by the government they should express the need to ban killer robots through diplomacy. It should also be realized as well that it might be further challenge for them.


Writer : Raditya Bomantara

Editor and Translator : Thifani Tiara Ranti

Killer Robots : Evolusi Peperangan atau Ancaman Kemanusiaan?

Kamis (29/11) lalu, Insitute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan diskusi Humanitarian Talk sebagai rangkaian dari seri Campaign to Stop Killer Robots dengan tema “Coffee Talk on Killer Robots”. Kegiatan yang bertempat di Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada ini  mencoba mengusung konsep bincang santaiyang berfokus untuk memberikan penjelasan kepada sivitas akademika UGM dan masyarakat umum tentang definisi dari killer robots, dengan membahas kemajuan teknologi informasi, persenjataan, serta artificial intelligence (AI) yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan killer robots itu sendiri. IIS UGM menyelenggarakan serangkaian kegiatan ini sebagai bentuk partisipasi atas kampanye global Campaign to Stop Killer Robots untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konsekuensi kemanusiaan yang disebabkan oleh Lethal Autonomous Weapon System (LAWS). Melalui kampanye ini, diharapkan muncul solidaritas bersama untuk mendorong pemerintah di level nasional agar tidak menggunakan senjata-senjata otonom yang dapat menimbulkan kerusakan dan korban jiwa di kalangan masyarakat sipil. Sesi Coffee Talk sendiri merupakan sebuah forum diskusi internal

Pada kesempatan ini, IIS UGM mengundang Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Dr. Sugeng Riyanto, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dua pembicara yang memiliki ketertarikan khusus terhadap perkembangan killer robots. Sesi diskusi ini dimoderatori oleh Yunizar Adiputera, M.A selaku penanggung jawab sekaligus ketua tim Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM.

Sesi dibuka dengan pengantar oleh Yunizar yang memaparkan pengantar diskusi dengan menjelaskan secara singkat tentang definisi dari LAWS. Senjata otonom merupakan suatu perangkat yang berbeda dengan drone, di mana, selain memiliki tingkat pengendalian, pemilihan sasaran dan akurasi serangan yang berbeda secara fundamental, drone juga belum tentu digunakan sebagai sarana militer. Senjata otonom, di sisi lain, merupakan sistem senjata mandiri yang didesain secara khusus untuk keperluan militer. Senjata otonom diproyeksikan untuk dapat melahirkan revolusi peperangan, meminimalisir korban dari pihak milite, serta dapat menyerang sasaran tanpa tenaga manusia sehingga dapat disebut sebagai revolusi senjata ketiga setelah penemuan bubuk mesiu dan bom atom. Namun, senjata ini mendapatkan banyak penolakan dari dunia internasional karena rawan akan kesalahan sistem operasi, minimnya kapabilitas untuk memilih target, serta tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan.

Sugeng membuka pemaparannya dengan menekankan bahwa sistem senjata otonom merupakan sebuah keniscayaan, di mana peperangan selalu mendorong perkembangan dan evolusi persenjataan sebagai alat pertahanan. Sistem senjata otonom merupakan evolusi peperangan modern, di mana dengan menggunakan senjata berbasis AI yang minim intervensi manusia, militer berusaha untuk menghilangkan batasan fisik dan psikis manusia yang rawan faktor human error sehingga melahirkan  peperangan yang lebih efisien. Namun, Sugeng juga memaparkan bahwa seiring dengan terobosan dan kemajuan yang dibawanya, sistem senjata otonom membawa beberapa aspek negatif, seperti sulitnya menentukan subjek hukum ketika ada korban di kalangan sipil, hilangnya sifat kesatriaan sebagai salah satu elemen humaniter, serta lenyapnya norma karena penghilangan nyawa oleh senjata yang tidak dikontrol langsung oleh manusia. Oleh karena itu, Sugeng menyimpulkan bahwa kelebihan yang dimiliki sistem senjata otonom membuat penggunaan senjata ini oleh militer sulit untuk dihindari sehingga diperlukan sebuah aturan yang legally binding dan dapat mengatur penggunaan senjata tersebut.

Senada dengan Sugeng, Rifqi menyatakan bahwa teknologi militer memang mendorong perkembangan teknologi sipil, di mana perkembangan teknologi pada 15 hingga 20 tahun terakhir jauh melampaui apa yang dicapai dalam lingkup 300 tahun sebelumnya.  Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya merupakan sebuah kemajuan yang positif, namun juga memiliki dampak-dampak negatif yang menyertainya. Dampak negatif ini dapat dilihat dari beberapa kasus, contohnya Stanislav Petrov–yang berhasil mencegah Perang Nuklir pada tahun 26 September 1983 karena malfungsi sistem peringatan nuklir Uni Soviet), pada kasus ini, penilaian manusialah yang dapat menentukan dan mencegah korban di kalangan sipil, sementara AI tidak memiliki aspek tersebut. Penggunaan AI pada sistem senjata otonom memaksa manusia terjebak dalam skema out of the loop, di mana manusia tidak dapat campur tangan dalam pengambilan keputusan oleh AI. Hal ini menjadi problematik karena seharusnya skema yang digunakan adalah human in the loop (manusia sebagai pengambil keputusan) atau human on the loop (manusia bisa melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan yang otonom). Hal ini membuat martabat manusia dipertaruhkan ketika proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nyawa manusia diputuskan oleh AI.

Sementara, perihal peran pemerintah Indonesia di tengah dilema killer robots, Rifqi menekankan bahwa Kementerian Luar Negeri harus berperan dalam mendorong edukasi untuk menghentikan penggunaan dan pelarangan sistem senjata otonom. Diperlukan strategi dan gerakan yang menyeluruh untuk dapat mempengaruhi penilaian dunia internasional akan senjata-senjata cerdas, dan Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk mendorong pembahasan mengenai isu killer robots.  Menambahkan, Yunizar menyatakan bahwa, pada kenyataannya, Kementerian Luar Negeri justru lambat dalam menetapkan posisi. Bahkan, Indonesia minim terlibat dalam traktat-traktat penggunaan senjata, meskipun Indonesia memiliki suara yang dapat berpengaruh dalam negosiasi traktat-traktat pelarangan senjata tersebut. Hal inilah yang harus disadari oleh pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dan menyuarakan pelarangan terhadap killer robots, dan mungkin akan menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia kedepannya.

 


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Thifani Tiara Ranti

Annual Convention on Global South #1: Revolusi Industri 4.0 dan Kerjasama Global South

Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM) telah menyelenggarakan acara Annual Convention on Global South atau GoSouth pada tanggal 5 dan 6 November 2019. Sebagai program perdana, GoSouth edisi perdana mengundang pembicara-pembicara dari lingkup nasional maupun internasional.  Acara ini disponsori oleh Bank Mandiri, Chandra Asri Petrochemical dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Indonesia.

Pada hari pertama, GoSouth beragendakan sesi seminar internasional dengan menghadirkan 4 pembicara yang membawakan materi terkait Global South dan Industri 4.0. Pada sesi pertama, IIS UGM mengundang Prof. Ashok Acharya, Profesor Ilmu Politik dari University of Delhi dan Prof. Mohtar Mas’oed, Profesor Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Pada sesi pertama, Cut Intan Aulianisa Isma selaku manajer dari IIS UGM berperan menjadi moderator. Pada sesi kedua, dihadirkan dua pembicara lain yaitu Shita Laksmi, Manajer Proyek Asia Diplo Foundation dan Nanang Chalid, Wakil Pimpinan Tokopedia. Treviliana Eka Putri, dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi moderator pada sesi ini.

Sesi hari pertama dibuka dengan sambutan dari Prof. Panut Mulyono, selaku rektor Universitas Gadjah Mada, yang mengingatkan kita akan perkembangan dunia dengan mengikuti revolusi industri 4.0 dimana teknologi telah berkembang dengan pesat dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik internasional. LAWs, AI dan Big Data kini dapat mempengaruhi ranah sosio-politik, menjadikan revolusi industri 4.0 bukan hanya sebagai fenomena global namun juga sebagai agenda global. Dibalik signifikansinya, revolusi industri 4.0 juga membawa tantangan, dan kita harus siap dalam menghadapi tantangan tersebut.

Sesi pertama dibuka oleh Cut Intan Aulianisa Isma selaku moderator, dengan tema “Global South : Perspective in International Relations”. Sesi pertama dibuka oleh Prof. Ashok Acharya yang membawakan materinya dengan topik “Rekindling the Bandung Spirit : Transnational Justice and the Global South”. dalam materinya, beliau menekankan kepada signifikansi dari Bandung Spirit dalam menghadapi RI 4.0 sebagai masyarakat Global South. Globalisasi mendatangkan banyak janji dan peluang, namun diikuti oleh problematika seperti ketimpangan yang meluas. Dalam hal ini, Bandung Spirit berperan sebagai katalis pemersatu dan norma global dalam menghadapi isu transanasional, khususnya global justice issue. Problematika global inequality haruslah direspon oleh sebuah koperasi global, namun tantangannya adalah untuk menemukan sebuah norma yang akan diikuti oleh seluruh negara-negara yang terkait, baik utara maupun selatan. Prof. Ashok mengakhiri materinya dengan membawa konsep Global/Transnational Justice, sebagai sebuah gerakan yang dimotori prinsip keadilan distributif yang diaplikasikan dari tingkat domestik hingga global.

Apabila Prof. Ashok Acharya menekankan kepada tantangan di level global, Prof. Mohtar Mas’oed justru memandang fenomena Global South dari sudut pandang Indonesia lewat materinya,“Technologically Challenged Global South : An Indonesian Perspective”. Dalam materinya tersebut, Prof. Mohtar menekankan bahwa bagi Indonesia untuk menaiki gelombang perkembangan teknologi dibutuhkan  respon cepat terhadap perkembangan teknologi yang merupakan solusi neoliberal untuk krisis produksi kapitalis, dan hanya membawa keuntungan bagi sebagian golongan yang siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Sebagian negara selatan tertinggal karena konsekuensi politik, ekonomi dan sosial dari kesenjangan global yang berkembang dengan pesat, sementara keuntungan ekonomi dan sosial yang dibawa oleh perkembangan teknologi tetaplah terpusat pada negara-negara maju. Sehingga pada akhirnya negara negara Global South tetap mengandalkan teknologi yang kalah berkembang dari teknologi yang digunakan negara-negara maju. Indonesia tentu saja juga menjadi salah satu negara berkembang yang harus beradaptasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, karena area STI (Science, Technology and Innovation) yang tertinggal jauh dari negara-negara maju. Prof. Mohtar menutup paparannya dengan mengingatkan akan dilema hubungan selatan-selatan dengan membandingkan spirit solidaritas Konferensi Bandung 1955 dengan Realpolitik, yang menyebabkan fragmentasi diantara negara-negara Global South.

Setelah kedua pemapar selesai memaparkan materinya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang cukup progresif karena minat para peserta terhadap topik perkembangan teknologi dan industri 4.0. Selepas sesi tanya jawab, para pembicara dan peserta dipersilakan untuk menikmati makan siang dan melaksanakan ibadah sebelum dilanjutkan pada sesi kedua yang menghadirkan Shita Laksmi dan Nanang Chalid dengan moderator Treviliana Eka Putri bertema “Industry 4.0 In the Global Context”

Sesi kedua dimulai oleh Nanang Chalid, yang memulai sesi dengan sedikit membagikan pengalaman beliau sebagai alumni HI UGM yang membantunya dalam mencapai posisinya sekarang. Nanang memaparkan, bahwa Asia Tenggara dan Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Ekonomi Asia Tenggara sudah mulai berkembang dan menyesuaikan dengan proses digitalisasi, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup progresif dalam proses tersebut. E-commerce berkembang dengan pesat di Asia Tenggara, diiringi dengan peningkatan pengguna internet yang cukup drastis. Indonesia sendiri memiliki potensi e-commerce yang masif, karena menyediakan keuntungan finansial, dan lapangan kerja. Tokopedia yang menyadari potensi yang dimiliki oleh Indonesia, dapat sigap bergerak sebagai sebuah ekosistem penggerak ekonomi, yang menyediaka kemudahan, kemajuan dan kelebihan praktis kemajuan teknologi dalam aspek komersil. Di saat yang bersamaan, Tokopedia juga dapat berperan menjadi aktor yang membantu pemerintah dengan mengintegrasikan beberapa layanan pemerintah dengan layanan e-commerce yang diberikan. Dengan signifikansi peran tersebut, Tokopedia muncul sebagai salah satu pelopor industri 4.0 di Indonesia, sekaligus memberikan peluang bagi masyarakat untuk berperan sebagai pelaku ekonomi digital.

Shita Laksmi memandang revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi yang dibawanya sebagai sebuah tantangan, dan pengaruhnya kepada dunia Hubungan Internasonal. AI (artificial intellegence) dan perkembangannya yang pesat menyediakan alternatif tenaga kerja baru yang presisi dan mungkin dapat berperan didalam proses diplomasi, dimana AI dapat berperan baik sebagai alat diplomasi ataupun topik diplomasi. Contohnya, AI dapat berperan dalam pemprosesan teks diplomasi, karena presisi kerja yang tidak terganggu oleh faktor human error. AI juga dapat berperan dalam banyak sektor, seperti keamanan, ekonomi dan pengembangan luar angkasa, sehingga kita harus siap akan hadirnya AI dalam kehidupan sehari hari. Kembali kepada konteks hubungan internasional dan diplomasi, Kementerian Luar Negeri dan para diplomat juga harus bersiap dengan melakukan beberapa hal seperti inovasi, capacity building dan indicator track efforts untuk beradaptasi dengan perkembangan AI. Dalam konteks Global South, Shita mempertanyakan apakah perbedaan diantara utara dan selatan, serta relevansi pemisahan antara utara-selatan, karena relevansinya masih bisa diperdebatkan. Shita juga memaparkan contoh kebangkitan Cina, yang menurutnya justru memberi Cina pemenuhan kualifikasi sebagai negara utara.

Seusai pemaparan kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab kedua yang masih berjalan dengan cukup progresif diantara peserta seminar dan para pembicara. Sesi hari pertama dilanjutkan dengan pidato penutupan oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM dan inisiator dari konvensi GoSouth, yang menandakan berakhirnya hari pertama dari Annual Convention on Global South.

 


Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Angganararas Indriyosanti & Thifani Tiara Ranti

Relasi Indonesia-Rusia: Menilik Sejarah dan Membaca Prospek

Institute of International Studies — kembali menyelenggarakan kegiatan Ambassadorial Lecture pada Jumat (9/11) lalu. Edisi kuliah duta besar kali ini menghadirkan H. E. Lyudmila Georgievna Vorobieva, Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia. Kegiatan dilaksanakan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada dengan mengangkat tema “Russia in the Contemporary Global Politics, Its Power, Its Role and Its Leadership”.

Dalam paparannya, H.E. Lyudmila menyatakan bahwa Indonesia dan Rusia, secara historis, telah memiliki hubungan baik. Relasi ini telah dibangun sejak abad ke-17, ketika Rusia pertama kali membuka konsulat di Batavia pada tahun 1693. Hubungan ini kian menguat di bawah pemerintahan Soekarno dengan diadakannya kerjasama di berbagai lini.

Soekarno refers to Russians as brothers, and used the terms ‘Jauh di Mata Dekat di Hati’ ” ujar H.E. Lyudmila menegaskan.

Hingga kini, bukti kerjasama bilateral tersebut masih dapat ditemui, baik di Indonesia maupun Rusia. Salah satunya adalah Blue Mosque atau Masjid Biru di Moskow yang sampai sekarang masih menjadi ikon kultur Islam di Rusia. Blue Mosque direstorasi berdasarkan permintaan Presiden Soekarno kepada Presdien Nikita Khrushchev dalam salah satu kunjungannya ke Rusia.

Indonesia and Russia built a steady partnership in several sectors like Gelora Bung Karno, Rumah Sakit Persahabatan, and many more. This became the crystallization of the sweet relations between Soekarno’s Regime and the Pre Russian Federation government (USSR)” tambah H.E. Lyudmila.

Demikian pula secara kultural, jejak relasi Indonesia-Rusia dapat ditemukan pada lagu-lagu Indonesia yang dikenal erat, bahkan ditranslasikan ke Bahasa Rusia, seperti  lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ dan salah satu lagu berbahasa Sunda.

Meski sempat merenggang pasca berakhirnya pemerintahan Soekarno, relasi mampu dikembalikan dan dipelihara dengan baik hingga kini.

For Russia, Indonesia is one of the most important ally in South-East Asia and Pacific Region, both in politic and economic sector. Hopefully, Indonesia and Russia will keep maintain friendly relationship and become an important partner in the future” ungkap Lyudmila.

Kerjasama kedua negara ini diharapkan tidak terhenti, terlebih menguat dalam berbagai sektor.  H.E. Lyudmila turut berpesan bahwa Indonesia dan Rusia, sebagai kekuatan global yang sedang bangkit, harus beradaptasi untuk menjawab tantangan global dan menjadi kekuatan dengan caranya sendiri. Bagi Rusia, soft power dan dialog antarnegara adalah  fokus utama, dan kerja sama dengan Indonesia diharapkan akan tetap berlanjut melalui cara-cara ini pula.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara Ranti

Annual Convention on Global South #2: Memandang Revolusi Industri dan Hubungan Internasional Melalui Tiga Kacamata Berbeda

Rabu, (6/11) hari ke-2 dari rangkaian acara Global South Conference 2019. Acara yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM). Setelah pemaparan materi seputar perspektif Global South mengenai Revolusi Industri 4.0 dalam konteks global oleh berbagai akademisi dan praktisi di bidang teknologi pada hari pertama. Hari kedua dilanjutkan dengan sesi diskusi secara lebih rinci di masing-masing panel. Sesi ini terbagi atas tiga panel yang mewakili masing-masing konsentrasi dari DIHI UGM, yaitu International Political Economy and Development, Peace and Conflict Studies, dan Global Politics and Security.

Setelah melalui rangkaian pengumpulan dan seleksi abstrak hingga pengumpulan full paper, masing-masing paper presenter yang telah diseleksi oleh tim materi Global South Conference hadir untuk memaparkan hasil risetnya masing-masing. Hasil riset yang disampaikan tentunya seputar dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap hubungan internasional yang dikaitkan dengan salah satu dari tiga konsentrasi diatas.

Dalam panel International Political Economy and Development, yang dimoderatori oleh Indrawan Jatmika selaku peneliti Institute of International Studies serta Muhammad Rum selaku dosen DIHI UGM,  terdapat sebelas paper presenter dengan hasil risetnya masing-masing, diantaranya seputar Big Data dari perspektif Selatan, Belt and Road Initiative, Trade War, Revolusi Industri 4.0 sebagai peluang kerjasama internasional, Global Value Chain, dan Free Trade. Sedangkan di panel Peace and Conflict Studies, terdapat sepuluh paper presenter yang mempresentasikan hasil risetnya. Di sesi pertama, panel ini dimoderatori oleh Angganararas Indriyosanti selaku peneliti Institute of International Studies dan sesi kedua dimoderatori oleh Indrawan Jatmika. Tulisan yang dipresentasikan seputar perdamaian dan konflik di Bangladesh, konflik dan krisis identitas di Rohingya, perubahan persepsi gender di Rohingya, serta gerakan sosial dan diseminasi informasi di era digital. Panel terakhir, yaitu panel Global Politics and Security dimoderatori oleh Randy Wirasta Nandyatama dan Treviliana Eka Putri, selaku dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. Dalam panel ini terdapat sembilan paper presenter dengan berbagai topik seputar informasi sebagai instrumen kekuasaan di era Revolusi Industri 4.0, dampak arus pengungsi Rohingya terhadap komunitas lokal, serta social media’s blackout di Srilanka. Setiap sesi presentasi diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab dua arah antara presenter dan peserta, mengingat diskusi panel ini terbuka untuk umum. Dalam ketiga panel diatas, paper presenter berasal dari berbagai universitas dari dalam maupun luar negeri.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Thifani Tiara Ranti

Globalization Talk #2: Mendiskusikan Sektor Pariwisata dalam Menghadapi Globalisasi

Meski membawa dampak positif dengan terbangunnya konektivitas yang lebih, pelaku usaha pariwisata pula dituntut melakukan berbagai perubahan akibat adanya globalisasi. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki fokus terhadap sektor pariwisata ialah Kabupaten Gunung Kidul. Menjadi tantangan tersendiri bagi para stakeholders di Kabupaten Gunung Kidul untuk melakukan berbagai penyesuaian yang diperlukan dalam menyongsong globalisasi dan segala dampak yang ada bersamanya. Guna mendiskusikan hal tersebut secara lebih mendalam, pada Selasa (15/10), Institute of International Studies bekerjasama dengan Kelas Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum Globalization Talk yang ke-2 “Manajemen Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul: Peluang dan Tantangan dalam Era Globalisasi”.

Kegiatan dilaksanakan di Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul dan dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Kelompok Sadar Wisata dari berbagai desa wisata di Gunungkidul, pengurus dinas pariwisata maupun dinas-dinas terkait di Kabupaten Gunung Kidul, serta stakeholder sektor pariwisata Kabupaten Gunung Kidul lainnya. Forum diharapkan dapat memberi dampak positif dengan memicu adanya pengembangan pariwisata yang lebih inovatif. 

Sebagai konsekuensi globalisasi, dengan mudah ditemukan beberapa keuntungan yang mampu mengoptimalkan pengembangan pariwisata di Gunung Kidul. Menurut Yuni Hartini, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Gunung Kidul, kemudahaan untuk mengakses informasi serta promosi via media massa menghasilkan masyarakat setempat yang semakin terbuka terhadap potensi dan pengembangan pariwisata lokal. Sepakat dengan hal tersebut, Budi Subaryadi dari Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Nglanggeran menyatakan bahwa globalisasi memberikan alternatif bagi metode pemasaran, yakni tak hanya melalui media cetak, tetapi juga media sosial.

Namun, bersamaan dengan itu, para stakeholder menyatakan terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula. Salah satu tantangan yang menjadi PR besar para pengelola sektor pariwisata ialah tantangan infrastruktur. Yuni menyatakan bahwa dampak globalisasi yang masif belum didampingi dengan adanya sarana prasarana yang maksimal yang dapat mendukung kegiatan pariwisata, terutama akses lalu lintas yang seringkali diterpa kemacetan dan belum menemukan solusi.

Tak hanya itu, sumber daya manusia juga menjadi tantangan atas globalisasi yang harus dihadapi, pasalnya sumber daya manusia yang bertugas mengelola media informasi sebagai sarana pemasaran masih kurang memadai. Serupa dengan hal tersebut,  Budi Subaryadi menyatakan bahwa keterbatasan ketersediaan pengelola masih menjadi masalah.

“Terkadang banyak masyarakat yang masih malas ikut, sehingga tidak ada regenerasi masyarakat yang bertanggungjawab mengelola pariwisata yang ada” tambah Budi

Menjembatani diskusi tersebut, Dr. Riza Noer Arfani, Direktur dari Institute of International Studies, memaparkan pandangannya atas fenomena ini dengan perspektif akademisi. Arfani menyatakan bahwa dalam menghadapi globalisasi, diperlukan adanya kompromi antara globalisasi itu sendiri dengan aspek lokal pariwisata. Dr. Riza menyebutnya sebagai “Glokal”, di mana pariwisata dapat dikembangkan secara global dengan tetap menganut nilai lokal secara sinergis. Dengan menganut konsep ini, diharapkan akan ada pembangunan sosial yang lebih merata dan terbangun integrasi dalam pengembangan pariwisata. Tak hanya itu, Arfani pula menambahkan pentingnya kerjasama antarpihak dalam menghadapi globalisasi.

“Selain itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah adanya kerja sama di antara berbagai pihak, seperti pihak lokal dengan leading firm di luar agar pariwisata mengglobal” tambah Dr. Riza.

Sesi paparan tersebut diikuti dengan diskusi antar para pemangku kepentingan pariwisata di Gunungkidul dan ditutup dengan kunjungan Kelompok Sadar Wisata Gunungkidul.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara Ranti

  

Beyond the Great Wall #5: Menilik Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina

Dewasa ini, peran Cina dalam panggung internasional semakin meluas. Hal ini dapat dilihat melalui proyek kerjasama Cina yang semakin ekspansif, terutama melalui Belt and Road Initiative (BRI). Keberhasilan BRI sebagai salah satu proyek besar Cina ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai aspek, baik domestik maupun terkait relasinya dengan negara lain. Terdapat berbagai peluang dan tantangan yang dapat mempengaruhi kerja sama Cina, termasuk dalam BRI. Untuk itu, pada Jumat (11/10) lalu, Institute of International Studies kembali mengadakan forum Beyond the Great Wall untuk ke-5 kalinya dengan mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina”. BTGW kali ini menghadirkan Umi Qodarsasi, S.IP, M.A, dosen program studi pemikiran politik IAIN Kudus, dan William Help, Presiden Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Universitas Gadjah Mada.

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan Umi mengenai “Cina di Afrika: Peluang dan Tantangan BRI.” Cina turut menjalin kerja sama ekonomi dengan Afrika karena Afrika dipandang sebagai “the rising continent” dan “the hopeful continent”. Pandangan ini muncul karena adanya prediksi bahwa perekonomian Afrika akan terus berakselerasi. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Afrika antara lain ialah meningkatnya permintaan global akan minyak, emas, logam, dan mineral yang merupakan salah satu cadangan utama Afrika; urbanisasi dan potensi penduduk usia muda sebagai tenaga kerja; serta meningkatkan ekspor untuk mendorong investasi yang besar.

Afrika menjadi region yang menyuplai pasokan sumber daya alam bagi Cina sekaligus pasar untuk produk dan jasa dari Cina. Hal ini semakin memperkuat posisi Cina di Afrika, terutama karena Cina berusaha melindungi apa yang menjadi kepentingannya. Bentuk kerja sama antara Cina dan Afrika termanifestasikan dalam Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC), di mana FOCAC merupakan platform kerja sama multilateral antara Cina dengan negara-negara Afrika. FOCAC membawa perubahan yang signifikan bagi hubungan Cina dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika, di mana Cina menjadi mitra pembangunan utama bagi Afrika, baik di bidang perdagangan, investasi, maupun bantuan dan hibah.

Afrika merupakan salah satu wilayah yang terlibat dalam proyek BRI sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang saling membutuhkan antar keduanya. Di satu sisi, negara-negara yang dilalui jalur BRI akan mendapat investasi yang lebih besar, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur, di mana di Afrika sektor energi dan transportasi yang menjadi fokus utama. Cina memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman berjumlah besar (big loans) pada Afrika dengan kompensasi dalam bentuk kekuasaan Cina atas sektor mineral dan minyak di Afrika. DI sisi lain, Afrika dan seluruh sumber dayanya juga turut menguntungkan Cina.
Menurut Umi, tantangan BRI bagi negara-negara Afrika ialah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi dengan kondusifitas kondisi politik negara, hal ini memicu masing-masing negara Afrika untuk tetap memiliki kondisi politik yang kondusif dan menjaga kualitas good governance agar dapat terus berpartisipasi dalam BRI. Di lain sisi, eksistensi BRI pula harus mendorong daya saing produk domestik dan melahirkan adanya inovasi produk. Namun, ketergantungan negara-negara Afrika kepada Cina dan bantuannya juga menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi.

“Bantuan yang diberikan harus disertai pembangunan domestik dan digunakan secara proporsional agar tidak terjadi ketergantungan. Negara-negara Afrika harus membangun kedaulatan dan perekonomian secara mandiri agar terhindar dari apa yang negara-negara barat khawatirkan sebagai bentuk neokolonialisme,” ujar Umi menutup pemaparannya.\

Pemaparan dilanjutkan oleh William yang membahas mengenai dampak tensi Cina dan Hong Kong terhadap BRI. Jika dilihat lebih jauh, tensi antara Cina dan Hong Kong mulai terjadi sejak tahun 2011. Namun, baru-baru ini diperparah dengan adanya extradition law bill yang kembali memperparah tensi antar keduanya.

Dalam kaitannya dengan BRI, Kepentingan dan prioritas BRI di Hong Kong dapat dilihat melalui 5 indikator, yaitu people to people bond, financial integration, unimpeded trade, policy coordination, dan facilities connectivity. Hong Kong sendiri membawa keuntungan bagi BRI karena tidak hanya berfokus pada sektor raw materials (mentah), tetapi juga sektor manufaktur.
Selain itu, Hong Kong memiliki perekonomian yang sangat terbuka dengan koneksi eksternal yang luas dan kuat. Proyek BRI yang melibatkan Hong Kong ada di bidang perdagangan dan ekonomi, inovasi dan teknologi, layanan keuangan, pertukaran orang, serta logistik internasional, pengiriman, dan transportasi.

Dalam melihat pengaruh tensi antara Cina dan Hong Kong terhadap BRI, William menggunakan alat analisis konflik bawang (onion tool) dengan melihat kebutuhan, kepentingan, dan posisi dari masing-masing pihak. Menurut William, BRI merupakan kepentingan (interest) dari Cina dan Hong Kong. Cina dan Hong Kong sama-sama ingin menyejahterakan variabel-variabel yang ada di setiap pihak yang berkonflik (dalam bidang ekonomi).

Selama posisi Beijing di Hong Kong masih terjaga dan memegang status quo, proyek BRI di Hong Kong memiliki tendensi untuk terganggu, kecuali dalam hal-hal yang bersifat lebih teknis seperti adanya boikot produk Cina. Meski demikian, BRI memberikan dampak yang positif dan menguntungkan bagi Cina dan Hong Kong.