Jogja Creative Industry Forum: Platform Pertemuan dan Diskusi Praktisi Industri Kreatif Yogyakarta

Menurut Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), saat ini industri kreatif menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, nilai ekspor Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya mendudukki peringkat ke-8 nasional dengan nilai ekspor produk ekonomi kreatif sebesar 1,26%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah dan daya saing industri kreatif di DIY belum mencapai potensi maksimal karena terdapat beberapa faktor yang menghambat kemampuan ekspor dan usaha para pelaku industri kreatif untuk terintegrasi dalam pasar global.

Berangkat dari persoalan tersebut, peserta kelas Global Value Chain Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), bekerja sama dengan Institute of International Studies dan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM menyelenggarakan Talkshow Jogja Creative Industry Forum (JCIF), pada Rabu, 18 September 2019 berlokasi di Digital Library Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

JCIF bertujuan menjadi wadah bertemunya perwakilan dari beragam latar pendidikan dan profesi yang berkenaan dengan industri kreatif sekaligus menjadi sarana inisiasi strategi think-tank dalam sektor industri kreatif. Kegiatan dikemas dalam bentuk talk show guna memberi ruang pada pelaku usaha industri kreatif, pemerintah, akademisi serta publik untuk berdikusi mengenai tantangan dan peluang dalam sektor ekonomi kreatif di DIY, publik pun dapat ikut serta berdiskusi dalam kegiatan tersebut.

Talk show JCIF dibagi dalam dua sesi, di mana sesi pertama membahas seputar sinergi yang perlu dibangun antara pemerintah dan pengusaha dalam meningkatkan sektor industri kreatif DIY di pasar global, sementara sesi kedua membahas mengenai potensi rencana strategis yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam rangka upgradingguna memasarkan produk dan jasanya.

Sesi hari itu dibuka oleh Rendro Prasetyo, penyuluh Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi DIY dengan memberikan gambaran mengenai industri kreatif di Yogyakarta. Rendro menyatakan bahwa industri kreatif di Yogyakarta memiliki potensi yang besar tetapi pelaksanaannya belum optimal. Selain itu, terdapat beberapa peluang yang harus dimanfaatkan, seperti tingginya jumlah sumber daya manusia kreatif di Yogyakarta; adanya upaya aktif dari komunitas industri kreatif; adanya dukungan perguruan tinggi; adanya dukungan Sekolah Menengah Kejuruan; dan adanya citra Yogyakarta sebagai kiblat industri kreatif. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula dalam memaksimalkan potensi-potensi tersebut, seperti pembagian urusan industri kreatif antar operasi daerah yang belum jelas; belum adanya pangkalan data industri kreatif yang baik; banyaknya permasalahan di industri kreatif; industri kreatif yang mudah puas dan tidak melakukan upgrading diri; serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang belum jelas.

Talk show dilanjutkan dengan sharing dari pemilik industri kreatif. Pemilik industri kreatif yang hadir pada kegiatan hari itu datang dari berbagai klaster, termasuk klaster industri fesyen, industri daur ulang, industri kesehatan berbasis komunitas, serta industri kuliner. Dalam diskusi tersebut, para pelaku industri kreatif membagikan beberapa tips terkait melakukan usaha industri kreatif di Yogyakarta.

Salah satunya ialah Drg. Ferry Yuliana Syarif, founder dari Gendhis Bag yang bergerak dalam industri fesyen, menyatakan bahwa dalam menjalankan industri kreatif segala aktivitas yang dilakukan harus dari hati, dalam artian semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan bukan hanya berorientasi pada materi. Prinsip “bisnis dari hati” ini tampak dari cara Gendhis Bag berbagi tentang cara produksi ke berbagai industri mikro di aneka daerah di Indonesia hingga mengembangkan sumber daya manusia yang ada.  Tips lainnya yang dibagikan Drg. Ferry ialah harus adanya pengembangan bisnis dengan basis business-to-business (B2B), selalu memiliki inovasi dan kreativitas, tim yang solid, dan sosial media yang kuat.

Senada dengan Drg. Ferry yang memiliki dampak sosial dalam menjalankan industri kreatif, Sekti Mulatsih, founderdari Rakyat Peduli Lingkungan atau lebih dikenal dengan sebutan RAPEL juga dihadirkan untuk berbagi mengenai usaha yang ia jalankan.  Inisiasi RAPEL lahir dari kegelisahan Sekti mengenai lingkungan karena ditemukannyamissing link dalam proses pengolahan sampah di Indonesia. Alhasil, RAPEL lahir sebagai industri yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Yogyakart

Pandangan dari para pemilik industri kreatif tersebut kemudian dilengkapi dengan pandangan dari beberapa pakar yang dunianya bersinggungan dengan industri kreatif. Pakar-pakar tersebut meliputi Drs. Prijo Mustiko, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, yang menyatakan bahwa perlu adanya kerjasama quadrohelix di antara akademisi, bisnis, komunitas, dan birokrasi pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif; serta Dian Prijomustiko dari Bali Industry Creative Center yang menggarisbawahi beberapa aksi yang harus diambil oleh pemerintah apabila ingin mengembangkan industri kreatif, yakni harus adanya “burning platform”, reviu regulasi yang sudah ada, kebijakan yang mengatur industri kreatif, serta rencana strategis pemerintah.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara

Beyond the Great Wall #4 : Cina : Masa Lalu dan Masa Depan

Masa lalu dan masa depan adalah dua periode kontradiktif yang seringkali tidak dapat dibahas dalam satu sesi diskusi. Namun, dalam konteks sebuah negara, masa lalu dan masa depan menyimpan signifikansi yang sama dan tidak kalah penting. Dibalik peningkatan perannya dalam konstelasi politik global, Cina tentunya memiliki masa lalu yang kaya dan patut untuk dibahas. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil Cina di dalam politik global, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja masa lalu Cina yang juga menjadi landasan Cina di masa modern. Kontradiksi diantara dua kata kunci “masa lalu” dan “masa depan” inilah, yang menjadi topik dari Forum Beyond The Great Wall kali ini.

Edisi #4 Forum Beyond The Great Wall (BTGW) memiliki tajuk “Cina : Masa Lalu dan Masa Depan” untuk menyesuaikan disimilaritas di antara materi yang dibawakan, kegiatan BTGW menghadirkan Irfan Halim S.Psi, Asisten Klinik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Arindha Nityasari S.IP, Peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada. Berbeda dengan topik-topik diskusi BTGW sebelumnya, diskusi kali ini mengangkat tema yang menggambarkan dua aspek kontradiktif atas Cina. Irfan menyinggung masa lalu Cina dengan membahas Uighur lewat perspektif psikologi sejarah dan bagaimana isu ini dikaitkan dengan ilmu Hubungan Internasional, sementara Arindha memandang masa depan Cina dengan mendiskusikan prospek dan tantangan perkembangan Artificial Intelligence di Cina dengan mereview buku “A.I Superpowers : China, Silicon Valley and The New World Order” karya Kai Fu Lee.

Irfan memulai sesi pertama dengan memaparkan materi terkait sejarah etnik Uighur yang selama ini menerima diskriminasi dan tersegregasi dari masyarakat maupun pemerintah Cina. Ilmu Psikologi dan Ilmu Hubungan Internasional yang sekilas tidak dapat disandingkan bersama, menjadi landasan Irfan untuk mengangkat isu ini. Di mana, keduanya relevansi ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan mandat Konstruktivisme. Sebagai sebuah ilmu yang bersifat micro-oriented, tentunya Ilmu Psikologi akan kesulitan memberikan analisis makro yang dibutuhkan dalam menganalisa dunia hubungan internasional. Namun, konstruktivisme, dalam hal ini, hadir untuk memahami sejarah maupun struktur sosial yang ada dan dapat dikaitkan dengan Ilmu Psikologi yang berusaha memahami aktor-aktor, yang bertindak dipengaruhi oleh socio-environment, di dalam suatu peristiwa.

Dalam konteks relasi Cina-Uighur, Irfan menekankan bahwa bahasa dan narasi berkaitan erat dengan perspektif masyarakat internasional atas isu tersebut. Narasi yang dibuat oleh masyarakat Uighur tentang bagaimana opresi Cina, tentunya berlawanan dengan narasi pemerintah Cina yang menganggap bahwa Uighur merupakan sebuah gerakan separatis yang sistematis. Lebih jauh, Irfan memaparkan kasus di mana pemerintah Cina memfabrikasi gerakan damai atau gerakan kecil untuk membuat negara sebagai sebuah narasi “pembebasan” masyarakat Uighur untuk melawan gerakan separatis. Dalam kasus status Xinjiang pun terdapat perbenturan narasi. Pada satu sisi, Xinjiang dianggap pemerintah Cina sebagai sebuah daerah otonom, sementara Uighur mendukung pendirian Turkistan Timur.

Dalam relasinya dengan negara lain dan dalam merespon tuduhan opresi terhadap Uighur, pemerintah Cina cenderung bersikap pasif dan defensif. Cina menganggap urusan Uighur adalah sebuah urusan internal dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Cina justru mengkritisi kembali sikap hipokrit dan bias negara-negara lain yang mengkritik kebijakan dalam negeri Cina. Hal ini juga berhubungan dengan kontrol media sosial yang diterapkan pemerintah Cina, di mana semua konten media sosial terkait Uighur dapat diawasi oleh pemerintah.  Selain itu, menurut Irfan, narasi Indonesia tentang Uighur yang membawa slogan “Solidaritas Sesama Muslim” kurang tepat sasaran karena latar budaya Uighur yang sebenarnya multietnik.

Pada penghujung sesi pertama, Irfan menyimpulkan paparannya dengan menyatakan bahwa eksistensi narasi yang berbenturan dan polarisasi dunia internasional sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap konflik ini. Beberapa negara yang masih memiliki kepentingan dan kerjasama dengan Cina tidak begitu vokal dalam mengangkat isu opresi Uighur dan cenderung membiarkan Cina menjalankan kebijakan dalam negerinya. Di sisi lain, beberapa negara membingkai kasus ini sebagai sebuah opresi etnik dan meletakkan pemerintah Cina pada posisi antagonis utama dalam narasi tersebut, dan Uighur sebagai korban opresi pemerintah. 

 

[layerslider id=”2″]

 

Pada sesi kedua, BTGW dilanjutkan dengan pemaparan hasil reviu buku oleh Arindha Nityasari. Artificial Intelligence (AI) sendiri adalah kemampuan mesin untuk mengadaptasi beberapa sifat manusia, seperti reasoning, berpikir logis, dan memberi preferensi pilihan. Secara garis besar, buku ini menceritakan kondisi teknologi global, sejarah perkembangan teknologi di Cina, dan kelembagaan serta ekosistem teknologi di Cina. Kemajuan yang ada membawa beberapa perubahan bagi Cina, salah satunya, revolusi Cina dari age of discovery, yang berorientasi pada penemuan dan penciptaan sesuatu, menjadi age of implementation yang berfokus pada implementasi produk dan teknologi. Perubahan lainnya yang terjadi adalah pergeseran Cina dari age of expertise, dengan orientasi sebagai ahli teknologi, menjadi age of data, dengan munculnya tren analisa data. Di era yang semakin maju ini, analisa data tentunya menjadi modal yang penting, mengingat AI yang berbasis pada data. 

“Sekarang, siapa yang mempunyai data, maka dialah yang powerful,” tutur Arindha.

Kondisi ini membuat semua negara berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin data. Karenanya, Cina kini ada pada posisi yang unggul sebab rakyatnya rela memberikan data demi kemudahan hidupnya.

Salah satu hal menarik dari buku ini yang turut diangkat oleh Arindha adalah budaya copycat di Cina. Cina mengakui bahwa copycat merupakan kunci perkembangan teknologi di Cina karena latar belakang ekonomi Cina yang awalnya bergantung pada manufaktur dan produksi sendiri, bergeser menjadi bergantung pada mengikuti produk-produk lain sebagai proses transfer teknologi. Ekosistem AI Cina terletak pada para gladiator atau para peniru pengusaha dan dukungan pemerintah dengan data berlimpah didukung dengan adanya insinyur AI, meski masih dalam jumlah terbatas. Hal ini membuat pemerintah Cina berupaya meningkatkan pengembangan Greater Bay Area di Cina yang sangat technology-oriented, bahkan disebut Silicon Valley versi Cina, sebagai usaha memfasilitasi kebutuhan Cina akan insinyur AI.

Dalam buku ini, dijelaskan pula beberapa perbedaan antara Cina dengan Silicon Valley. Di mana, Cina cenderung lebih market-driven sehingga mengikuti keinginan pasar, sementara Silicon Valley cenderung value-driven sehingga memiliki dorongan untuk terus berinovasi dan tidak berbasis keinginan pasar. Selain itu, Cina lebih bersifat survival-oriented sedangkan Silicon Valley cenderung lebih bersifat innovationoriented.

Di akhir buku, dipaparkan bahwa terdapat empat gelombang permasalahan yang fundamental, gelombang pertama adalah internet AI, gelombang kedua adalah business AI, gelombang ketiga adalah perception AI, dan yang terakhir adalah autonomous AI, di mana tiga perusahaan besar Cina mulai menciptakan autonomous AI untuk menganalisa dan membaca tren masyarakat yang dapat disesuaikan dengan algoritma. 

Di penghujung acara, Arindha menutup pemaparan dengan pertanyaan reflektif bagi peserta diskusi “Bukan siapakah super power-nya, tetapi siapkah kita dengan era yang belum pernah terjadi sebelumnya?”


Penulis Berita : Handono Ega, Raditya Bomantara & Denise Michelle

Penyunting : Sonya Teresa Debora & Thifani Tiara Ranti

CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia

CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia

Pendekatan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi terduga eks-terorisme ialah deradikalisasi. Proses ini dilakukan dengan memoderasikan pemahaman dan mengembalikan orang-orang yang telah terpapar radikalisme untuk kembali memahami Pancasila dan UUD 1945. Namun, hingga kini efektivitas maupun alternatif dari pendekatan ini masih diperdebatkan.

Guna membahas deradikalisasi dan perdebatan yang mengitarinya secara lebih jauh, pada Kamis (29/8), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) yang ke-3 dengan mengangkat tema “Mempelajari dan Mencari Pendekatan Alternatif dalam Diskursus dan Kebijakan Deradikalisasi di Indonesia”. Kegiatan ini menghadirkan Ustad Abu Tholut Al-Jawiy, pemerhati gerakan Islam, dan Hardya Pranadipa, mahasiswa Master of Arts Human Rights, Gender, and Conflict Studies: Social Justice Perspective di International Institute of of Social Studies (ISS) of Erasmus University Rotterdam. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang BA 101 FISIPOL UGM dan terbuka untuk umum.

Dalam membahas pendekatan deradikalisasi di Indonesia, Pranadipa, sebagai pembicara pembuka pada diskusi hari itu, melihat bagaimana wacana deradikalisasi merupakan wacana dominan terkait penanganan terduga eks-teroris di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana pembentukkan wacana deradikalisasi dilakukan oleh elemen-elemen kunci di Indonesia, di mana narasi deradikalisasi dapat ditemukan dalam instruksi Polri maupun TNI, program-program NGO lokal dan internasional, laporan pemerintah dan think tank, serta berbagai program pemerintah.

Menurut Pranadipa, tujuan akhir deradikalisasi ialah agar terduga dan tertuduh eks-teroris berpindah ideologi dari jihad kekerasan menjadi Pancasila. Dalam menjalankan pendekatan ini, terduga dan tertuduh teroris menjalani proses rehabilitasi yang menjauhkan mereka dari paham radikalisme, di mana proses ini jauh dari praktik penahanan konvensional. Dengan pembinaan dan pelatihan yang intens selama proses rehabilitasi, terduga dan tertuduh teroris dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat untuk mengembangkan potensi napi. Melalui proses ini, ideologi yang selama ini dipegang oleh terduga dan tertuduh teroris diubah dengan menanamkan pemahaman keislaman yang lebih moderat, serta menumbuhkan nasionalisme dan loyalitas kepada Pancasila.  Pendekatan deradikalisasi di Indonesia ini turut dikuatkan dengan adanya PP. No. 99 tahun 2012.

Namun, Pranadipa menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak selalu berhasil. Setidaknya terdapat empat hal yang menghasilkan respon penolakan dari terduga dan tertuduh eks-teroris, yakni tata cara pelaksanaan program; desain program: agama, bangsa, dan “orang luar”; komunikasi; serta relasi dan struktur sosial di dalam lapas pemasyarakatan. Pranadipa menyatakan bahwa hal-hal ini diakibatkan oleh meningkatnya grievances yang sejalan dengan menurunnya trust.

[layerslider id=”4″]

Senada dengan Pranadipa, Ustad Abu Tholut pula menyampaikan beberapa kritik bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia. Menurut Abu Tholut, ada beberapa isu mengenai terorisme yang terabaikan, di mana isu terorisme dipengaruhi oleh proxy war diantara negara negara maju yang berebut pengaruh lewat organisasi paramiliter teroris. Lebih jauh, terorisme dapat dilihat sebagai bentuk konspirasi intelijen yang dinisiasi negara maju untuk menghindari deployment pasukannya sendiri ke dalam zona konflik yang diperebutkan. Abu Tholut menekankan bahwa deradikalisasi sangat berhubungan dengan politik, karena konstelasi politik global sangat mempengaruhi perkembangan terorisme.

Selain itu, masih terdapat kecenderungan untuk melakukan generalisasi paham-paham keislaman yang berbeda-beda yang dianut oleh para terduga dan tertuduh eks-teroris. Padahal, aliran maupun paham yang dianut sangatlah beragam. Generalisasi ini berujung pada pendekatan yang monolitik kepada para tertuduh maupun terduga eks-teroris, sehingga program tidak selalu efektif.

Untuk memaksimalkan pendekatan terhadap terduga dan tertuduh eks-teroris, Pranadipa dan Ustad Abu Tholut turut memberikan sarannya masing-masing. Pranadipa menegaskan bahwa pihak pemerintah maupun yang berkaitan harus memahami adanya struktur kuasa dan relasi sosial dalam blok-blok lembaga pemasyarakatan yang dialami oleh terduga. Selain itu, pemerintah harus memperbaiki komunikasi BNPT dan lembaga lain, melihat kepercayaan napi terhadap elemen-elemen dari luar yang masuk, serta perlunya membangun kepercayaan. Sementara, Ustad Abu Tholut menyatakan bahwa dalam melaksanakan pendekatan melalui program-programnya, pemerintah haruslah melihat radikalisme sesuai dengan konteks politik global yang ada mengingat pengaruhnya yang besar bagi kondisi domestik di Indonesia. Selain itu, generalisasi paham keislaman tertuduh dan terduga eks-teroris yang membuat program tidak efektif haruslah diubah. Pemerintah perlu melakukan metode penanganan yang berbeda-beda agar tujuan yang diidealkan dapat terwujud.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara

 

 

Agenda Kunjungan Tim Riset IIS UGM ke Republik Demokratik Timor Leste: Bagian Kedua

Setelah sebelumnya menjalani kegiatan wawancara dengan otoritas setempat terkait isu pertbatasan Indonesia – Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), tim penelitian Insittute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (DIHI-UGM) melaksanakan agenda riset selanjutnya yang berfokus pada pengambilan data kualitatif di level masyarakat akar rumput.

Tim penelitian berjudul ‘Solving the Territorial Border Dispute between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste in Hau Meni- Ana and Manusasi, District of Kefamenanu, Regency of Nort East Timor, Province of East Nusa Tenggara through Compliance to the Agreement and Prevention of Issue Internationalization’ yang terdiri atas Dr. Siti Mutiah Setiawati, MA (dosen DIHI-UGM), Dra Ratnawati, SU(dosen Politik dan Pemerintahan UGM), Drs. Susi Daryanti, M.Sc (dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM) serta Muhammad Indrawan Jatmika, MA (peneliti IIS) melanjutkan agenda  peninjauan kondisi rill perbatasan kedua negara  di Desa Manusasi dan Haumeni Ana, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi tersebut berbatasan langsung dengan Distrik Oecusse di wilayah Timor Leste.

Dalam kesempatan ini , tim peneliti melakukan audiensi dengan masyarakat setempat, aparatur pemerintah, serta pihak TNI- POLRI sebagai penjaga perbatasan. Pihak masyarakat dan aparatur setempat dalam audiensi tersebut menyampaikan bahwa sudah ada kesepakatan zonasi daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, namun pada praktiknya kesepakatan tersebut belum dapat diimplementasikan dengan baik karena faktor konflik kepentingan diantara masing-masing pihak masyarakat. Untuk menyelesaikan berbagai sengketa perbatasan, masyarakat selama ini selalu menjunjung tinggi nilai- nilai persaudaraan dan adat istiadat setempat sehingga potensi konflik dapat diminimalisir.

Proses resolusi konflik perbatasan ini juga terbantu dengan adanya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan diantara masyarakat perbatasan dengan masyarakat Timor Leste, sehingga nilai- nilai persaudaraan masih dijunjung tinggi. Meskipun begitu, masyarakat juga menuntut  ketegasan pemerintah pusat untuk segera menentukan batas- batas negara yang konkret dan telah disepakati secara government to government dengan Timor Leste, sehingga masyarakat Indonesia yang bersengketa memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat.

Di Desa Haumeni – Ana, tim peneliti IIS menemukan suatu problematika khusus, yaitu unsurveyed border atau wilayah perbatasan dimana belum pernah dilakukan survei oleh pemerintah, sehingga berpotensi menimbulkan konflik perbatasan diantara masyarakat. Selain faktor geografis yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, kurangnya pendekatan dengan masyarakat juga turut mempersulit eksekusi survei wilayah perbatasan di sekitar Desa Haumeni – Ana. Kombinasi diantara dua faktor inilah yang menyebabkan hingga saat ini belum ada survei perbatasan yang dilakukan di wilayah tersebut. Masyarakat juga menekankan bahwa para petugas survei belum dapat mengakomodasi kepentingan mereka dalam konflik sengketa perbatasan, dan malah cenderung menguntungkan pihak Timor Leste. Disharmonisasi pendapat antar kedua belah pihak menyebabkan terjadinya beberapa kali kasus penolakan dari masyarakat setempat dalam usaha survei wilayah perbatasan yang coba dilakukan oleh pihak- pihak terkait.


Penulis : Indrawan Jatmika & Raditya Bomantara
Penyunting : Alifiandi Rahman Yusuf & Wilibrordus Bintang Hartono

CANGKIR TEH #1: Problematika dan Tantangan Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Hak-hak Masyarakat Adat diatur tidak hanya dalam kapasitas sebagai masyarakat adat lokal dan warga negara, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat global. Namun, di Indonesia, kondisinya menjadi problematis karena, meski telah mengakui hak masyarakat adat di level internasional melalui penandatanganan dokumen UNDRIP, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur rekognisi dan pemenuhan hak masyarakat adat secara spesifik.

Untuk membahas permasalahan terkait, Jumat (1/3), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan “Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional” atau “CANGKIR TEH” untuk pertama kalinya, dengan tajuk diskusi “Hak Masyarakat Adat dan Politik Kewargaan di Indoesia”. Kegiatan berlangsung di Ruang BA-502, FISIPOL UGM dengan menghadirkan Ayu Diasti Rahmawati, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus peneliti utama riset “Plural Citizenship and the Politics of Indigenous Rights in Indonesia” yang didukung oleh lembaga SHAPE-SEA.

Pada kegiatan ini, Ayu memaparkan problematisasi serta temuan sementara dari riset yang masih berlanjut ini. Penelitian Ayu dan kawan-kawan, pada intinya, berusaha meneliti kompleksitas di balik pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia dengan dua studi kasus utama, yakni masyarakat adat di Kalimantan Barat dan masyarakat adat di Pati.

“Rancangan Undang-Undang tentang hak masyarakat adat ini sudah ada tiga versi, tapi sampai sekarang masih mandek, belum ada pengesahannya,” ujar Ayu.

Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kondisi “rights-talk” atas hak masyarakat adat, dalam artian, siapa saja aktor yang bermain dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor di balik pewacanaan atas hak masyarakat adat. Pasalnya,  aktor-aktor yang terlibat tidak memiliki kekuasaan yang setara sehingga menimbulkan proses pertentangan wacana yang tidak setara pula. Inilah yang  menyulitkan pengesahan dan rekognisi hak masyarakat adat di level negara.

Selain itu, politik kewargaan di Indonesia juga berkontribusi terhadap terkendalanya pemenuhan hak masyarakat adat. Pasalnya,  membership atau keanggotaan masyarakat adat saja masih sering dipertanyakan, bahkan dalam beberapa kesempatan tidak diakui oleh pemerintah. Ditambah lagi perdebatan tentang pemakaian istilah ‘indigenous‘ dan adat; perdebatan mengenai subjek atau objek yang harus terlebih dahulu direkogisi; dan berbagai polemik lain menambah kerumitan isu dan ambil bagian dalam tersendatnya pemenuhan hak.

Terlepas dari polemik yang terjadi, Ayu menyatakan bahwa perjuangan masyarakat adat ialah perjuangan kolektif. Perlu diingat bahwa masyarakat adat  merupakan aktor yang berperan besar dalam upaya pelestarian lingkungan. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan bahkan menyatakan bahwa masyarakat adat adalah salah satu aktor vital dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan sehingga, dalam melaksanakan aktivitasnya, masyarakat adat juga sedang berusaha menjaga bumi dari kerusakan.

“Mereka punya cara-cara tertentu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang sudah terbukti (dampaknya)”  tambah Ayu.

Untuk melakukan upaya-upaya terkait, masyarakat adat butuh regulasi yang menjamin hak-haknya. Karenanya, sebagai masyarakat umum, menjadi penting untuk bersama-sama membantu masyarakat  memperoleh hak-hak tersebut.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting
Angganararas Indriyosanti

Recent Developments in the EU & Its Impact to the EU-Indonesia Relations

H.E. Charles-Michel Geurts, Deputi Ketua Delegasi Uni Eropa (UE) untuk Indonesia dan Brunei Darussalam mengungkapkan UE dan Indonesia berbagi nilai yang sama, yakni Bhinneka Tunggal Ika yang jika ditranslasikan menjadi Unity in Diversity, dan tak lain merupakan moto dari UE. (11/02)

Acara yang bertajuk Recent Developments in the EU & Its Impact to the EU-Indonesia Relations menarik minat sebanyak 175 peserta yang memadati ruang Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Mereka berasal tidak hanya dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UGM, tetapi juga dari luar kampus UGM.

Kegiatan yang terselenggara atas kerjasama Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) dan Institute of International Studies (IIS) UGM ini berlangsung selama 2,5 jam dan dimoderatori oleh Drs. Muhadi Sugiono, MA, selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM yang memiliki keahlian dalam bidang Studi Eropa.

Geurts menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang penting bagi EU karena Indonesia berperan sebagai pasar maupun sebagai titik transit untuk barang-barang dari EU. EU juga telah secara konsisten berinvestasi di Indonesia dan menjadi investor non-Asia teratas bagi Indonesia. EU juga membutuhkan Indonesia untuk beberapa masalah keamanannya, misalnya kerja sama dalam peacekeeping dan disaster rescue operations.

UE merupakan sebuah organisasi supranasional yang beranggotakan 28 negara di Eropa. UE merupakan organisasi antarpemerintah pertama yang terintegrasi dalam berbagai bidang seperti bidang ekonomi melalui penggunaan Euro sebagai common currency, bidang politik melalui pembetukan Parlemen Eropa yang memiliki wewenang untuk membentuk hukum/legislasi yang berlaku di kawasan Uni Eropa, dan penetapan Schengen Area melalui penghapusan paspor dan semua jenis kontrol perbatasan lainnya di wilayah perbatasan bersama anggota UE.

Banyak pertanyaan yang diajukan peserta sebagai antusiasme terhadap acara. Kegiatan ini diakhiri dengan pemberian cindera mata kepada Charles-Michel Geurts oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro selaku Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM.


Penulis: Melisa Rachmania
Editor: Novi Dwi Asrianti

Ratifikasi TPNW Penting bagi Indonesia!

Perjalanan panjang perjuangan kampanye perlucutan senjata nuklir menghirup udara segar dengan disahkannya Treaty on The Prohibition of Nuclear Weapon (TPNW) pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, 7 Juli 2017 lalu. Guna memberikan gambaran lebih komprehensif terkait perjajian tersebut, Institute of International Studies bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melaksanakan kegiatan Seminar “Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapon (TPNW)”, pada hari Kamis (8/2) di Auditorium Mandiri Gedung BB Lantai 4, FISIPOL UGM.

Seminar ini menghadirkan Laurentius Amrih Jinangkung selaku Direktur Hukum dan Perjanjian Ekonomi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Muhammad Rifqi Muna selaku peneliti politik LIPI, Falconi Margono selaku Plt. Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kusnanto Anggoro selaku dosen FISIP Universitas Indonesia, dan Muhadi Sugiono selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus juru kampanye ICAN di Indonesia. Pemaparan serta diskusi substantif terjadi dengan membahas berbagai isu seputar TPNW.

Laurentius Amrih Jinangkung, selaku pembicara pertama, menyatakan bahwa menjadi penting untuk meratifikasi perjanjian TPNW. Meskipun telah ada berbagai konvensi seputar senjata nuklir, TPNW merupakan perjanjian internasional pertama yang secara eksplisit melarang adanya penggunaan, pengembangan, ataupun kepemilikan senjata nuklir.

Sepakat dengan hal tersebut, Dr. Muhammad Rifqi Muna-pembicara selanjutnya, menambahkan bahwa ratifikasi TPNW penting karena manfaat yang diperoleh dari ratifikasi TPNW lebih banyak dibandingkan kerugian bagi Indonesia. Dari aspek politik global, tindakan ini memiliki dampak berupa pemberian kekuatan dalam proses diplomasi internasional. Sebab, ini mendorong isolasi terhadap negara-negara yang masih menggunakan nuklir. Hal ini juga akan memperkuat posisi Indonesia sebab turut mendorong tatanan internasional yang berlandaskan etika global. Untuk domestik Indonesia, ratifikasi TPNW akan memberikan manfaat berupa terbukanya peluang ekonomi, serta akan memfokuskan tenaga dan pikiran Indonesia untuk pengembangan teknologi nuklir non senjata bagi kepentingan nasional.

Pemanfaatan teknologi nuklir non senjata kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Falconi Margono. Pemanfaatan tersebut dapat menguntungkan Indonesia di antaranya pada bidang energi, untuk dipergunakan sebagai pembangkit listrik; bidang kesehatan, untuk mengembangkan teknologi rontgen serta penelitian obat-obatan; bidang kepurbakalaan, untuk penghitungan jumlah umur artefak maupun fosil; dan bidang-bidang lainnya. Pemanfaatan pada bidang-bidang tersebut, sejalan dengan tujuan pemerintah atas pembangunan berkelanjutan tahun 2030, dengan berkomitmen mengembangkan tenaga nuklir untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Tidak hanya negara yang harus ambil peran dalam ratifikasi TPNW, Muhadi Sugiono, pembicara berikutnya pula menyatakan, bahwa untuk mendorong negara-negara lain ikut meratifikasi,  masyarakat sipil juga perlu ambil bagian. Salah satu cara adalah dengan membangun sebuah bentuk stereotyping untuk semua negara pemilik senjata nuklir yang tidak menandatangani TPNW, serta mendorong sebuah gerakan sosial politik, baik secara domestik maupun internasional terhadap aktor-aktor tersebut. Cara lain ialah dengan melakukan pendataan terhadap perusahaan- perusahaan yang memiliki investasi senjata nuklir.

Meski demikian, masih terdapat potensi ancaman proliferasi senjata-senjata lain di dunia. Kusnanto Anggoro memaparkan bahwa meski ratifikasi TPNW yang menciptakan rezim non-proliferasi akan memiliki kontribusi untuk menciptakan dunia tanpa senjata nuklir, TPNW tidak sepenuhnya menjamin dunia yang lebih aman; baik karena aktor-aktor non negara, seperti teroris, maupun munculnya berbagai senjata mematikan baru. Potensi kemungkinan berkembangnya senjata nuklir pun masih ada karena masih terlalu banyak alternatif jalan menuju perang, karenanya Kusnanto mengimbau Indonesia untuk tetap bersiap menghadapi potensi kemungkinan berkembangnya senjata nuklir di masa depan.


Institute of International Studies (IIS) adalah mitra resmi ICAN di Indonesia. Sejak 2013, IIS telah terlibat aktif dalam upaya kampanye, baik di Indonesia maupun Asia Tenggara, guna mendorong tercapainya pengadopsian TPNW .Saat ini, IIS fokus pada upaya mendorong pemerintah Indonesia agar segera meratifikasi traktat tersebut. Simak dokumentasi kegiatan kampanye perlucutan senjata nuklir disini


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Angganararas Indriyosanti

Mendalami Cina Terkini Melalui “Beyond the Great Wall”

Perkembangan Cina sebagai sebuah negara yang semakin dinamis dan asertif menarik perhatian masyarakat internasional. Tak terkecuali di kalangan akademisi hubungan internasional di Indonesia. Dalam rangka menghadirkan forum bagi kalangan profesional untuk mendiskusikan isu-isu terbaru politik domestik maupun politik luar negeri Cina, Institute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI), Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 2019 menyelenggarakan forum akademik “Beyond the Great Wall” (BTGW).

BTGW merefleksikan situasi Cina terbaru yang menembus batas konotasi “Tembok Besar”, kokoh, statis, dan isolatif. Makin maraknya diskusi publik di Indonesia yang khusus membahas Cina membuat Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, pengajar DIHI UGM yang mendedikasikan ilmunya dalam studi politik Cina, perlu mengambil bagian dalam arus akademik ini. Terlebih, setelah DIHI-UGM melaksanakan pembaharuan kurikulum, kelas-kelas yang mempelajari politik Cina mendapat porsi yang tidak sebesar dahulu.

BTGW diharapkan dapat mengakomodasi wadah diskusi bagi berbagai kalangan untuk mengembangkan ketertarikan pada studi Cina. Dalam edisi kali ini, selain menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro, BTGW juga mengundang Hikmatul Akbar, M.Si, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ (UPN ‘V’) Yogyakarta. Ayusia Sabitha Kusuma, M.Sc.Soc Universitas Jendral Soedirman yang juga dijadwalkan menjadi pemateri sayangnya tidak dapat hadir karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.

Hikmatul Akbar membuka forum BTGW dengan memaparkan Cina baru di bawah Xi Jinping yang ditandai dengan perluasan pengaruh negara. Semenjak menjabat sebagai Presiden, Xi Jinping cenderung berusaha memusatkan kendali kekuasaan dibawah pengaruhnya. Dalam rangka memastikan stabilitas kebijakan yang ia jalankan, Xi Jinping membawahi secara langsung usuran politik, ekonomi, kebijakan luar negeri, dan bahkan menjadi komando tertinggi angkatan bersenjata Cina. Hal ini tidak lain dilaksanakan dalam rangka mewujudukan “Zhungguo Meng – The Chinese Dream”, yang ditandai dengan Cina sebagai pusat ekonomi, teknologi, dan peradaban diantara negara-negara lain.

Insiatif One Belt One Road kemudian menjelma sebagai instrumen utama dalam implementasi mimpi-mimpi Cina tersebut. Melalui kebijakan bantuan pembangunan infrastruktur tanpa syarat yang memberatkan, Cina mampu menyambungkan jalur-jalur perdagangan strategis di darat dan laut yang memusat ke Cina. Perang dagang, khususnya dengan Amerika Serikat, yang mengiringi ambisi Cina tersebut menurut Hikmatul Akbar disikapi secara terbuka.Cina berusaha tetap menghormati keputusan proteksionis negara-negara lain sembari mengedepankan dialog untuk menyelesaikan krisis ini.

Dalam sesi kedua, Nur Rachmat Yuliantoro mendiskusikan hasil membaca buku “Age of Ambitions: Chasing Fortune, Truth, and Faith in the New China” karya Evan Osnos. Secara garis besar, buku tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Cina kontemporer dalam menggapai kemakmuran, kebenaran, dan keyakinan. Melalui buku ini, Osnos menyelipkan satu cerita yang merefleksikan keingan masyarakat Cina dalam mencapai keinginan-keinginan tersebut, dan rintangan-rintangan yang menghadangnya.

Kemakmuran digambarkan Osnos melalui kisah Gong Hainan.Gong Hainan memiliki latar belakang keluarga miskin di pedesaan, namun berkat kegigihannya berhasil melanjutkan pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar Master. Apa yang terjadi pada Gong mencerminkan pandangan masyarakat Cina mengenai kemakmuran, yang ditandai dengan bekerja di perkotaan dan memiliki gelar pendidikan tinggi. Hal ini mendorong arus urbanisasi yang tinggi tiap tahunnya.

Adapun Kebenaran bersumber dari dinobatkannya Liu Xiaobo, aktivis pro-demokrasi Cina sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2010. Cina yang sebelumnya telah menjatuhi hukuman tahanan rumah terhadap Liu atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara menjadi berang karenanya. Liu menjadi contoh mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat Cina untuk memperoleh kebenaran berekspresi dan berpendapat tanpa adanya tekanan dari pemerintah.

Di bagian terakhir, Keyakinan, Osnos menampilkan kasus tabrak lari yang dialami bocah berumur 2 tahun bernama Wang Yue. Tragisnya, pasca mengalami kecelakaan tersebut, tidak ada satupun orang yang menolong Wang Yue. Baru orang ke-14 yang lewat lah – seorang nenek – yang berinisiatif membawa anak tersebut ke rumah sakit. Kendati mendapat kecaman publik, kasus Wang Yue menurut Osnos menggambarkan keyakinan baru yang muncul di tengah masyarakat, bahwa menolong orang adalah tindakan tidak berguna dan hanya merepotkan diri sendiri. Apabila kita telaah lebih jauh, sikap individualistis tersebut bersumber dari korupnya sistem penegakan hukum di Cina yang memungkinkan seseorang dikriminalisasi karena menolong orang lain.

Pada sesi penutup, Nur Rachmat menyimpulkan bahwa berdasarkan buku tersebut, kita dapat melihat Cina yang sedang berada dalam kondisi dilematis. Di satu sisi, meningkatnya tingkat kesejahteraan melahirkan masyarakat yang mengaspirasikan kebebasan dan kritis terhadap sistem pemerintahan yang berjalan. Sementara di sisi lain, demi mencapai visi langgenggnya kekuasaan Partai Komunis, pemerintah cenderung mengedepankan cara-cara yang cenderung otoriter.


Penulis: Alifiandi Rahman Yusuf
Penyunting: Angganararas Indriyosanti 

‘A True Partner for World Peace’: Strategi Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB Periode 2019-2020

Indonesia kembali terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 pada Juni 2018 lalu. Keanggotaan mewakili kawasan Asia – Pasifik di DK PBB diraih setelah menerima 144 suara dukungan dari negara anggota PBB lainnya.

Sesuai dengan slogan yang disuarakan selama kampanye pencalonan keanggotaan DK PBB, yaitu ‘A True Partner for World Peace’, Indonesia selama masa keanggotaannya berkomitmen untuk aktif dalam perwujudan perdamaian di tingkat internasional. Guna mengawal terwujudnya slogan ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Institute of International Studies (IIS UGM) mengadakan sosialisasi bertajuk Strategi Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang diselenggarakan pada Kamis (7/2), di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM yang dihadiri peserta dari berbagai institusi di Yogyakarta dan sekitarnya.

Seminar ini dibawa oleh beberapa pembicara, diantaranya Dr. Dafri Agussalim, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, Grata Endah Werdaningtyas selaku Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI, serta Koordinator Harian Satuan Tugas DK PBB Kemlu RI, Hari Prabowo. Mereka mendiskusikan berbagai strategi, tantangan, serta peluang diplomasi yang dapat dilakukan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB.

Dalam sesi pertama, Dafri Agussalim membahas kontribusi yang telah dilakukan Indonesia pada tiga kesempatan sebelumnya sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang menunjukkan kepercayaan masyarakat internasional untuk memilih Indonesia ke-4 kalinya. Dafri juga memaparkan masalah yang telah menunggu Indonesia, antara lain konflik kepentingan antar anggota permanen DK PBB, sulitnya memprediksi kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Trump, serta penyelesaian isu Palestina yang semakin rumit dalam beberapa waktu terakhir. Tantangan tersebut belum tentu terselesaikan sepanjang masa keanggotaan Indonesia, namun Dafri menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi agenda setter dalam penyelesaian isu-isu tersebut.

Selanjutnya, Grata Endah Werdyaningtas memulai sesi kedua dengan menceritakan perjuangan kampanye Indonesia untuk keanggotaan DK PBB. Persaingan dengan Maladewa dalam mengisi jatah untuk Asia – Pasifik menunjukkan bahwa permasalahan keamanan dunia saling tarik – menarik antara permasalahan tradisional dan non-tradisional. Menjadi penting untuk Indonesia memenuhi tanggung jawab dengan menjalankan peran sesuai mandat DK PBB dan menyesuaikannya dengan konteks keamanan dan perdamaian yang relevan.

Tanggung jawab yang besar tentu mendatangkan kemampuan yang besar. Indonesia sebagai anggota DK memiliki benefit, yaitu mandat DK yang mengikat secara hukum sehingga pengaruh keputusannya lebih terasa dampaknya, secara signifikan turut memberi keputusan final pemilihan Sekjen PBB beserta penurunan pasukan perdamaian, serta dapat menggalang kerjasama dengan sesama anggota DK PBB lainnya. Ini menimbulkan dampak berupa meningkatkan suara dan kredibilitas Indonesia di ranah internasional yang menurut Grata akan fokus mengadvokasi upaya – upaya perdamaian seperti perlucutan senjata, binadamai, pasukan perdamaian, antiterorisme, non-proliferasi nuklir, dan tentu saja, permasalahan tentang Palestina.

Dalam sesi selanjutnya, pembicara ketiga yaitu Hari Prabowo selaku Koordinator Harian Satgas DK PBB berfokus untuk menjelaskan peran-peran yang akan diambil oleh Indonesia selama mengisi rotasi kepresidenan DK PBB pada bulan Mei 2019 mendatang. Selain menjalankan tugas-tugas operasional seperti memimpin pertemuan dan pembahasan DK PBB, Indonesia juga akan memiliki wewenang untuk mengangkat isu prioritas tertentu untuk dibahas di debat terbuka serta menyelenggarakan signature event ketika menjalani rotasi Presiden DK PBB.  Ini juga menjadi ajang untuk menciptakan warisan dalam PBB, misalnya dengan menghasilkan dokumen yang berkontribusi konkrit dalam aktivitas DK PBB, seperti pada tahun 1996, Indonesia menghasilkan Wisnumurti Guidelines yang memfasilitasi proses pemilihan Sekjen PBB yang berkeadilan bagi semua negara anggota.

Mendekati penghujung acara, sesi tanya jawab yang dipandu oleh moderator Veronica Rompis berlangsung substantif.  Mengutip dari Grata Endah, harapan setelah terselenggaranya acara ini adalah, “Keanggotaan DK PBB ini bukan milik Kemlu saja, tetapi milik bangsa. Maka, Kemlu mengharapkan dukungan konstruktif dari masyarakat.”


Penulis: Heidira Witri Hadayani
Penyunting: Angganararas Indriyosanti