Beyond the Great Wall #6: Menilik Jejak dan Merintis Langkah Cina

Kerap kali, kepentingan lingkungan dibenturkan dengan kepentingan ekonomi, seolah harus memilih satu dan mengorbankan yang lainnya. Namun, salah satu proyek eco-city di Cina, yakni Tianjin Eco-City, berkata lain. Arinda Putri, alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) membagikan hasil risetnya mengenai hal ini dalam Beyond the Great Wall ke-6, kegiatan dwibulanan yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Jum’at (6/12) lalu. Selain Arinda, M. Irsyad Abrar, mahasiswa HI UGM, dan Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen HI UGM sekaligus convener dari kegiatan Beyond the Great Wall, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini.

Dalam paparan Irsyad Abrar terkait tantangan dan respon Cina atas keamanan energinya, disampaikan bahwa hingga kini batu bara masih merupakan energi yang dipakai secara dominan oleh Cina, terlepas dari faktor lingkungan yang ditimbulkannya.

“…secara volume (penggunaan batu bara) melonjak sangat drastis. Ini bersamaan dengan naiknya Cina sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di dunia” ujar Abrar.

Tekanan domestik dari warga Cina, khususnya di Pesisir Timur, serta tekanan masyarakat global membuat Cina mencoba menggunakan energi yang dipersepsikan lebih “bersih” dari batu bara, contohnya minyak bumi, gas alam, dan energi baru terbarukan lainnya. Meski demikian, sumber daya ini belum dapat menggantikan penggunaan batu bara di Cina yang sangat masif. Hal ini dikarenakan peningkatan pasokan sumber daya alternatif tersebut belum dapat menandingi kecepatan peningkatan konsumsi energi di Cina. 

“Di berita, dikabarkan bahwa ada banyak tambang batu bara yang ditutup. Tapi sebenarnya ada juga tambang-tambang batu bara baru di daerah Timur Laut Cina Manchuria yang diperbolehkan baru-baru ini” tambah Abrar. 

Meski nada yang cenderung pesimistik tampak dari paparan tersebut, proyek Tianjin Eco-City membawa angin segar dalam diskursus ekologi Cina. Merespon lonjakan konsumsi batu bara di Cina yang menyentuh angka 87,5 persen, berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi efek lingkungan dari konsumsi tersebut maupun dari berbagai aktivitas produksi polusi lainnya.

“Ada beberapa proyek eco-city yang telah digagas pemerintah Cina, bahkan sejak tahun 2003. Tetapi kebanyakan gagal, satu-satunya yang berhasil ialah proyek Tianjin Eco-City yang bekerjasama dengan pemerintah Singapura” 

 

 

Kerja sama ini dilaksanakan dengan cara diadakannya pertukaran sumber daya, dari pihak Singapura dan Cina; transfer teknologi sumber daya air dengan melakukan penegakkan kedaulatan bidang air, dalam artian mengurangi ketergantungan pada air minum kemasan impor; pengadaan fasilitas reklamasi air; dan melakukan pemulihan Danau Jing yang sebelumnya menjadi tempat pembuangan polusi selama empat dekade.

 

“Melalui kerja sama ini, Tianjin bahkan menjadi kota pertama yang keran airnya bisa diminum, padahal sebelumnya perairan di Tianjin, contohnya Danau Jing, sangat tercemar” jelas Arinda.

 

Dampak dari kerja sama ini sangat besar, dari aspek ekonomi, Produk Domestik Bruto meningkat pada tahun 2007 hingga 2011. Terlebih lagi, pada tahun 2010-2014, Tianjin kedatangan lebih dari 10.000 wisatawan serta 1000 perusahaan dengan intensi investasi.

Bagi masyarakat setempat, dampak positif muncul dari perilaku rendah karbon ditunjukkan oleh penduduk Tianjin Eco-City, bahkan ketika dilakukan penelitian, 67,3 persen responden menyatakan bersedia membayar premi bulanan untuk mendukung listrik ramah lingkungan. Pendidikan terkait lingkungan hidup pula digalang sejak sekolah dasar. Alhasil, warga akar rumput jadi lebih memahami konsep green dan eco-city.

Meski dengan diadakannya kerja sama ini wewenang perusahaan menjadi lebih luas dibandingkan wewenang pemerintah dan masih terdapat permasalahan terkait kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi yang berlaku serta beberapa permasalahan aspek politis lainnya, kerja sama ini membuktikan adanya rekonsiliasi pertumbuhan ekonomi dengan penyelesaian masalah ekologi yang selama ini menjadi perdebatan panjang.

Mengakhiri kegiatan BTGW ke-6 Nur Rachmat Yuliantoro selaku convener dari kegiatan Beyond the Great Wall berbagi kisah terkait kedatangannya ke Cina November lalu melalui foto-foto tangkapannya. Pada akhir kegiatan Nur Rachmat Yuliantoro menutup rangkaian kegiatan BTGW, sebagai forum diskusi terkait perkembangan politik, sosial, ekonomi, serta isu-isu lain yang terjadi di Cina pada tahun 2019. Nantikan kegiatan Beyond the Great Wall dengan format baru di tahun depan!


Penulis : Sonya Teresa Debora

Editor : Thifani Tiara Ranti

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.