[IIS RECAP] Revisiting EU-Asia Pacific Relations through the EUSAAP Conference 2024 with IIS UGM and ICES

Yogyakarta, 21 May 2024 – In order to maintain security, stability, and prosperity in the Asia Pacific region, the European Union continues to strengthen its cooperation framework with countries in the region. It is reflected in the concrete action of the European Union initiated in 2021 through a cooperation map in seven priority sectors of cooperative relations, covering aspects of welfare, green energy transition, maritime governance, digital governance and partnerships, connectedness, security and defense, and human security. Aligning with the objectives of the European Union cooperation policy, the European Union Studies Association (EUSA), in collaboration with the Indonesian Community for European Studies (ICES) and Institute of International Studies, Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), held the EUSAAP Conference 2024. This conference aims to become a strategic forum for academics to exchange knowledge about innovations, conditions, and observations regarding changes in the foreign policy landscape of the European Union and countries in the Asia Pacific region from interdisciplinary perspectives.

The conference host, Mr. Muhadi Sugiono, delivered his welcoming speech at the opening session in Balai Senat, Universitas Gadjah Mada.

The EUSAAP Conference 2024 began with an opening session at Balai Senat, Universitas Gadjah Mada. This session included opening remarks from Mr. Muhadi Sugiono as the conference host, Prof. Martin Holland as EUSAAP Secretary General, and Prof. Dr. Wening Udasmoro as Vice Rector for Education and Learning of Universitas Gadjah Mada. The keynote speech and presentation were delivered by Mr. Stéphane Mechati, EU Delegation to Indonesia and Brunei Darussalam. The opening session continued with a roundtable discussion, which delved deeper into the main theme of the conference, Revisiting EU-Asia Pacific relations, led by Dr. Luqman Nul Hakim.

According to Prof. Dr. Wening Udasmoro, Vice Rector for Education and Learning of Universitas Gadjah Mada, the EUSAAP Conference 2024 serves as a significant platform for revisiting the European Union and Asia Pacific relations in the context of current urgent concerns. Prof. Dr. Wening Udasmoro emphasized that the conference serves not only to discover new strategies in partnerships but also to continuously evaluate the readiness and dedication to building strong partnerships between the European Union and Asia Pacific.

Reflecting on that urgency, Prof. Dr. Wening Udasmoro stated that the EUSAAP Conference 2024 is an important forum to produce inclusive knowledge for reshaping the global governance order. “As academics, we are crucial in providing nuances and perspectives on global governance. We are the beacon to produce inclusive knowledge that will be used for shaping or reshaping global governance. Hence, your participation in this conference would be highly appreciated,” said Prof. Dr. Wening Udasmoro.

In a short interview with the EUSAAP President, Mr. Muhadi Sugiono highlighted the dynamic relations between the European Union and Asia Pacific. The relationship between the two parties is considered promising because of their mutual interests. Nevertheless, the obstacles are reflected in the need to harmonize the multicultural condition of the European Union and countries in the Asia Pacific region. Therefore, efforts to enhance the relations between the European Union and Asia Pacific are crucial in order to foster security stability and encourage positive growth. “We need to build better communication and understanding that will create better relations. Hence, the real partnership can be achieved meaningfully,” Mr. Muhadi Sugiono explained.

The significance of the EUSAAP Conference 2024 towards the European Union and Asia Pacific relations was also delivered by Prof. Martin Holland, EUSAAP Secretary General. This conference serves as an essential measure to maintain the cooperation between the European Union and countries in the Asia Pacific region, along with the global geopolitical transition. It is interesting to see how experts, diplomats, and young postgraduates discussed their research. Indonesia’s rise as a global economic and cultural center has encouraged the European Union to recognize the diversity of the Asia Pacific region. In this regard, the European Union has attempted to change its approach towards the Asia Pacific region to create better political-economic policies.

In line with Prof. Holland’s statement, the Vice Head of the EU Delegation to Indonesia and Brunei Darussalam, Stéphane Mechati, underscored the importance of a forum to bring together diverse perspectives and interests from Indonesia and the European Union. Not just propaganda from a single party, but the European Union wants to build dialogue and reciprocal relations, establishing mutually advantageous partnerships for the European Union and the Asia Pacific Region.

One of the participants presented their research in the panel presentation and discussion.

Following the end of the opening session of the EUSAAP Conference 2024, the conference proceeded with a panel presentation and discussion held at the Faculty of Social and Political Sciences, UGM. Around 40 academics and researchers, both undergraduate and postgraduate from various countries, attended the panel presentation session. In addition to presenting their research findings, the academics also had the chance to exchange opinions and provide comments on the study related to the interactions between the European Union and Asia Pacific.

Written by: Albert Nathaniel & Anggita Fitri Ayu Lestari

[IIS RECAP] Webinar STAIR: The Politics of Video Games in IR

Jumat (8/09) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada telah menyelenggarakan edisi ketujuh dari Seminar STAIR (Science Technology and Arts in International Relations) secara daring via Zoom Meeting. Tema diskusi kali ini adalah “The Politics of Video Games in IR”. dalam kesempatan kali ini, IIS UGM mengundang dua pembicara untuk membagikan ilmunya seputar politik dalam dunia video game. Pembicara pertama adalah Dr. Ardian Indro Yuwono, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada yang juga sering meneliti tentang video game. Pembicara kedua adalah Amanda Dara Amadea, Alumni Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus perwakilan dari RIOT Games. Untuk mendampingi kedua pembicara, Masako Omposunggu (IIS UGM) bertugas sebagai moderator, dan turut didampingi oleh Suci Lestari Yuana (Inisiator program STAIR dan Dosen HI UGM) dan Muhammad Rum (Dosen HI UGM) yang berperan menjadi penanggap diskusi.

Diskusi dibuka dengan pembahasan singkat dari Dr. Ardian yang membahas mengenai bagaimana video game secara bertahap mulai menjadi salah satu media populer yang menarik untuk dikaji. Image video game yang dulu hanyalah sebatas permainan untuk melepas penat kini dapat menjadi objek penelitian tentang berbagai macam isu, termasuk politik. Isu – isu HI seperti konflik, perang, diskriminasi dan lain – lain juga terap ditemukan dalam video game, seperti contohnya game – game tahun 2000-an yang seringkali mengambil tema Perang di Afghanistan atau Irak sebagai hasil dari kampanye War on Terror Amerika Serikat sebagai respon atas serangan teror 9/11. Oleh karena itu, video game kini menjadi semakin menarik untuk diteliti, dan prospek video game yang semakin terjangkau oleh banyak pihak kedepannya juga berperan penting dalam hal tersebut.

Dara melanjutkan sesi dengan membagikan pengalamannya sebagai seorang alumni Ilmu Hubungan Internasional yang kini telah cukup lama berpartisipasi dalam dunia video game dan juga pandangannya terhadap situasi industri video game dewasa ini. Kini, video game menjadi lebih terbuka terhadap isu representasi, dan karakterisasi karakter – karakter video game modern telah mengalami transisi menjadi lebih representasi. Banyak karakter video game yang kini merepresentasikan berbagai komunitas dan etnis minoritas dalam lore-nya, terutama dengan game game dengan karakterisasi dan penggambaran lore yang kuat seperti halnya Valorant, Apex Legends, Overwatch, dan lain lain. Dengan inklusivitas yang terus berkembang , tentunya banyak pihak cukup optimis dengan masa depan industri video game.

Seusai sesi pemaparan singkat kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi diskusi yang melibatkan peserta dan kedua penanggap diskusi. Masako selaku moderator membantu memfasilitasi sesi diskusi yang berjalan dengan cukup kondusif dan dipenuhi oleh pertanyaan para peserta yang partisipatif. Para peserta mengajukan beberapa tanggapan dan pertanyaan, baik langsung lewat Zoom maupun lewat fitur chat yang tersedia.

Seusai sesi diskusi, kedua pembicara diberikan waktu untuk memberikan closing statement untuk mengakhiri sesi, sebelum acara ditutup oleh moderator

 

[IIS RECAP] Diskusi Bulanan & Webinar STAIR “STAIR Community 101 : Science, Technology and Arts in International Relations”

Selasa (22/08) lalu, Institute of International Studies dan Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Diskusi Bulanan sekaligus edisi #6 dari Webinar STAIR dengan tema “STAIR Community 101 : Science, Technology and Arts in International Relations”. Edisi kali ini menghadirkan Suci Lestari Yuana, Dosen Ilmu Hubungan Internasional sekaligus inisiator dari program STAIR yang akan membagikan pengantar mengenai STAIR dan proyeksi ke depan bagaimana STAIR community akan dikembangkan. Sebagai moderator, Cornelia Laras Gigih Kineta, Staf Divisi Riset IIS UGM hadir untuk memandu diskusi.

Acara kali ini diselenggarakan secara hybrid di Common Room Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan disiarkan lewat platform Zoom Meeting. Acara dihadiri oleh civitas akademika HI UGM, mulai dari dosen – dosen hingga mahasiswa.

Dalam kesempatan kali ini, agenda pembahasan meliputi beberapa hal seputar STAIR, seperti apa itu STAIR, limitasi dalam ilmu Hubungan Internasional, kontribusi STAIR terhadap HI, dan perkembangan komunitas STAIR yang berada di bawah naungan IIS UGM. Sesi diawali dengan pembahasan singkat mengenai apa yang dimaksud dengan STAIR, dan bagaimana STAIR dapat dihubungkan dengan ilmu Hubungan Internasional.

Bagian kedua membahas mengenai limitasi dari HI dalam memandang isu – isu STAIR, yang dibatasi oleh externalism (memisahkan antara studi HI dengan sains and teknologi), instrumentalism (sains dan teknologi cuma dipandang sebagai alat yang netral secara politik, padahal erat dengan isu politik), Ideational bias (kajian – kajian HI masih cenderung bias terhadap ide, dan membuat teori – teori HI menjadi One dimensional theory)

Bagian ketiga membahas mengenai kontribusi STAIR, karena STAIR dapat menawarkan pemahaman yang berbeda untuk mendiskusikan sebuah teknologi, dan dapat memberikan “warna” baru kepada studi HI secara umum. Pembahasan diakhiri dengan update mengenai status update komunitas STAIR di bawah IIS UGM, dan beberapa topik menarik yang mungkin dapat diadopsi menjadi topik diskusi STAIR selanjutnya. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan para partisipan daring dan luring.

Secara umum, acara berlangsung dengan lancar dan kondusif, dan diikuti oleh peserta – peserta yang aktif dan partisipatif, baik luring maupun daring.

[RECAP] STAIR #5 : Alternative Futures for Gig Economy

Selasa (18/07) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bersama dengan Research Center for Politics and Government, Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (PolGov UGM) dan The Hague University of Applied Sciences menyelenggarakan edisi bulan Juli dari seri Webinar STAIR (Science, Technology and Art in International Relations). Edisi kali ini mengambil tema Gig Economy dengan tajuk “Alternative Futures for Gig Economy” dan merupakan edisi perdana STAIR yang diselenggarakan secara hybrid di Ruang BA 201 FISIPOL UGM dan disiarkan via Zoom Meeting IIS UGM. Acara berlangsung dari pukul 13.00 hingga 15.00 WIB dan dihadiri oleh para peserta yang  antusias dalam mendengarkan diskusi ketiga narasumber tentang Gig Economy, baik daring maupun luring.

Untuk mendukung diskusi, IIS UGM menghadirkan tiga narasumber dari beragam latar belakang untuk membagikan pemikiran dan pengalamannya terkait gig economy. Narasumber pertama adalah Martijn Arets (Founder GigCV), yang hadir secara luring di ruang BA 201 FISIPOL UGM. Nabiyla Risfa Izzati (Phd Candidate, Queen Mary University of London) turut hadir secara daring via Zoom Meeting sebagai narasumber kedua. Sebagai narasumber ketiga dan terakhir, IIS UGM menghadirkan M. Sena Lupdhika (Penggiat Platform Coop Indonesia) secara daring. Suci Lestari Yuana (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Inisiator dari program STAIR) hadir secara luring untuk menemani ketiga narasumber sebagai moderator.

Dalam edisi kali ini, para narasumber mengajak para peserta luring maupun daring untuk bersama menelaah bagaimana kemajuan teknologi membentuk kembali lanskap hubungan internasional dan mengubah cara kita bekerja. Dari membayangkan model ketenagakerjaan baru hingga mengeksplorasi implikasi etis dari teknologi baru, diskusi kali ini bertujuan untuk bersama-sama mendiskusikan dan membahas prospek masa depan di mana inovasi, keberlanjutan, dan nilai-nilai yang berpusat pada manusia berkembang dalam ranah peluang gig economy.

Sesi pemaparan singkat oleh ketiga narasumber dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang diikuti oleh peserta baik  luring maupun daring secara aktif dan partisipatif.

[RECAP] Diskusi dan Sosialisasi “Signifikansi dan Implikasi Ratifikasi TPNW”

Jumat (21/07) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bersama dengan Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan acara diskusi dan sosialisasi “Signifikansi dan Implikasi Ratifikasi TPNW”. Acara diskusi yang diselenggarakan di Ruang Sidang Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tersebut melibatkan tim IIS UGM, tim dari Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri serta beberapa dosen dan akademisi dari berbagai fakultas di UGM. pada kesempatan tersebut, dibahas mengenai urgensi dari ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons bagi Indonesia, salah satu dari negara pertama yang menandatangani traktat. Namun, proses ke arah ratifikasi masih cukup panjang dan belum mengalami progres berarti. 

Sesi dibuka dengan paparan oleh Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata yang membahas mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan proses ratifikasi TPNW. Situasi rezim perlucutan senjata global dan situasi kawasan yang kurang kondusif menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi lamanya proses ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Namun, pada dasarnya kementerian – kementerian yang terlibat memiliki keselarasan visi dan menyadari urgensi dari ratifikasi TPNW bagi Indonesia, dan menyadari bahaya dari senjata nuklir.

Sesi kemudian dilanjutkan oleh paparan laporan ICAN terkait pengeluaran negara-negara pemilik senjata nuklir untuk mengembangkan senjata tersebut. Data tersebut menunjukkan bahwa 9 negara pemilik senjata nuklir menghabiskan dana sebesar 82.9 milyar dollar, dan dipimpin oleh Amerika Serikat dan Tiongkok. Regulasi senjata nuklir tidak hanya harus menyelesaikan problematika kuantitas senjata nuklir, tetapi juga kualitas dari senjata nuklir yang terus ditingkatkan oleh negara-negara tersebut.

Setelah sesi pemaparan, sesi dilanjutkan dengan sesi diskusi yang melibatkan para dosen-dosen dari berbagai fakultas di UGM yang secara bergantian menyampaikan pendapatnya mengenai isu senjata nuklir dan potensi nuklir sebagai energi alternatif. Sesi diskusi berjalan dengan cukup aktif dan kondusif, sebelum kemudian dilanjutkan dengan sesi penutup dan makan siang bersama di University Club, Universitas Gadjah Mada (UC UGM).

[RECAP] STAIR #4 : Politik Seni dan Budaya dalam HI

Kamis (22/06) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan mini workshop sekaligus edisi terbaru dari seri webinar STAIR (Science, Technology and Arts in International Relations). Edisi kali ini bertemakan “Politik Seni dan Budaya dalam HI”, dan dibuat untuk mempresentasikan dan mendiskusikan proposal dari mahasiswa kelas Studi Independen STAIR prodi S1 HI UGM yang mengusung berbagai topik menarik seperti pameran seni, analisis sinema, hingga filosofi kebudayaan. Acara diselenggarakan secara daring via Zoom Meeting, dan berlangsung dari pukul 13.00 hingga 15.00 WIB

Dalam kesempatan kali ini, IIS UGM menghadirkan tiga narasumber yang juga merupakan anggota kelas Studi Independen STAIR prodi S1 HI UGM yang membawakan bermacam macam tema proposal dengan tema seputar seni dan budaya di depan para peserta yang berasal dari kelas Studi Independen maupun peserta umum.

Proposal pertama yang dibahas adalah “Politik Transnasional Sumbu Filosofi Yogyakarta” dari Aldi Haydar Mulia, yang membahas mengenai aspek politik transnasional dari sumbu filosofi Yogyakarta yang terdiri dari terdiri dari 3 komponen, yaitu Tugu Pal Putih, Kraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.

Presentasi Aldi dilanjutkan oleh Herstianing Kumala, dengan proposal kedua yang bertajuk “Pameran Seni dan Kesetaraan Gender di Amerika Latin”. Dengan mengambil studi kasus di wilayah Amerika Latin, Hersti mencoba menganalisa bagaimana pameran seni digunakan sebagai sarana pendukung kesetaraan gender.

Sebagai presenter proposal ketiga dan terakhir, Gantar Eliezer Sinaga mempresentasikan proposalnya yang berjudul “Film, Diaspora dan Neo-orientalisme”. Dalam sesi terakhir ini para peserta diajak untuk memandang film dari sudut pandang yang berbeda, dan bagaimana film tersebut dapat dihubungkan dengan perspektif Neo-orientalisme.

Sesi presentasi oleh ketiga presenter dan sesi diskusi didukung oleh Suci Lestari Yuana (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Inisiator dari program STAIR) yang berperan sebagai moderator. Mini Workshop STAIR  “Politik Seni dan Budaya dalam HI” dihadiri oleh peserta-peserta yang antusias dan cukup partisipatif dalam mengajukan pertanyaan seputar proposal yang dibawakan oleh ketiga presenter.

 

 

[RECAP] Sarasehan Bijak Memilih: Roadshow ke Jogja!

Rabu, (31/05) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM)telah  berkolaborasi dengan Bijak Memilih Indonesia, NALAR Institute dan Think Policy untuk menyelenggarakan “Sarasehan Bijak Memilih : Roadshow ke Jogja!”, dengan tujuan untuk mempertemukan para pegiat komunitas lintas isu agar dapat saling bertukar pikiran tentang isu – isu kebijakan yang perlu mendapatkan perhatian serius dari calon wakil rakyat serta kepala dan wakil kepala negara. Acara bertempat di Selasar Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM), dan menghadirkan pembicara – pembicara berkualitas yang akan membagikan aspirasinya sekaligus mengajak para peserta untuk berpikir bersama tentang berbagai macam isu.

Pada sesi pertama yang disebut sebagai Sesi Orasi, tim panitia mengundang Obed Kresna (Pegiat Sosial dan Manajer PARES), Gusti Nur Asla Shabia (FIAN & Sekolah Tani Muda) dan Kalis Mardiasih (Pegiat Isu Toleransi). Sebagai narasumber pertama, Obed membawakan isu “Keadilan Sosial : Pendidikan untuk Semua”, dan mengangkat mengenai isu ketidak – merataan pendidikan bagi masyarakat Indonesia, dan betapa urgensi dari isu tersebut bagi calon wakil rakyat dalam pemilihan yang akan datang. Shabia melanjutkan sesi orasi dengan topik “Krisis Iklim” dan mengangkat isu lingkungan dan AMDAL yang seringkali tidak diperhatikan. Terakhir, Kalis hadir untuk membahas mengenai isu “Keragaman dan Toleransi” dan mengangkat isu keragaman masyarakat dan hal-hal yang dapat membahayakan toleransi di antara masyarakat Indonesia yang heterogen.

Sesi Orasi kemudian dilanjutkan dengan Sesi Aspirasi, dimana para peserta acara diarahkan untu membagi diri menjadi  tiga klaster kecil sesuai dengan tiga isu yang diangkat pada Sesi Orasi. Mendampingi para peserta di masing-masing kluster, tim panitia mengundangn Joko Susilo (NALAR Institute) untuk menemani peserta di klaster isu keadilan sosial, Cut Intan Aulianisa Isma (IIS UGM) di isu krisis iklim, dan Yosef Bambang (NALAR Institute) di isu keberagaman dan toleransi. Pada akhir sesi aspirasi, masing masing kluster isu menunjuk satu perwakilan untuk naik ke panggung orasi dan membagikan kesimpulan dan pemikiran dari masing masing isu untuk peserta – peserta lain.

Seusai sesi orasi, acara dilanjutkan dengan sesi terakhir sebagai penutup rangkaian acara, yaitu Panggung Seni, yang menghadirkan Sindana (Ketjilbergerak) yang membawakan dua lagu bagi para peserta, sebelum diakhiri dengan sesi foto bersama.

Acara kali ini berlangsung dengan cukup lancar dan kondusif, dan diikuti oleh hampir 50 peserta yang cukup antusias dan partisipatif.

 

 

[RECAP] Beyond the Great Wall #26: Chinese Cuisine & Soft Power

Jumat (26/05) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan edisi ke-26 dari serial diskusi dwibulanan Beyond The Great Wall. Edisi ke-26 kali ini mengangkat tema “Chinese Cuisine & Soft Power”, dan membahas mengenai makanan dan minuman sebagai sebuah komponen dari penyebaran soft power Cina ke negara – negara lain. Untuk membahas mengenai topik ini, pada kesempatan tersebut IIS UGM mengundang dua pembicara untuk membahas materinya, yaitu Mohammad Izam Dwi Sukma, (Mahasiswa Studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia) dan Nadya Zafira (Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada). Sebagai moderator, IIS UGM mengundang Selma Theofany (Staf Divisi Riset Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada). Sebelum sesi materi dimulai, Theo sebagai moderator menyampaikan tata tertib ruang diskusi sekaligus memeprkenalkan kedua pembicara secara singkat

Sesi dibuka oleh Mohammad Izam Dwi Sukma, yang membawakan materinya yang berjudul “Bisnis Minuman Manis : Komponen Soft Power Terkini Tiongkok?”. dalam materinya kali ini, Izam mengangkat kasus studi merk minuman manis Mixue, sebagai salah satu merk minuman manis asal negeri tirai bambu yang dengan cepat menjamur dan berhasil membuka cabangnya di berbagai kota di Indonesia. Lewat berbagai macam brand (termasuk Mixue), Cina dapat memproyeksikan produk minuman manisnya sebagai salah satu komponen soft power yang merambah berbagai kota di Indonesia, dan mampu menyaingi merk dagang lain yang menjual produk sejenis.

Seusai pemaparan Izam, Nadya melanjutkan sesi BTGW #26 dengan membawakan materi power pointnya dengan judul “What Makes Nasi Goreng So Good?”. Lewat materinya,  Nadya membahas mengenai kuliner-kuliner dan resep makanan Tiongkok yang telah mendunia, dan bahkan setelah melalui proses waktu yang tidak sebentar, mengalami proses asimilasi dengan produk – produk makanan lokal untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat negara yang dituju. Lewat proses naturalisasi resep kuliner, resep – resep masakan Cina menjadi dikenal di seluruh bagian dunia dan dapat menyesuaikan dengan lidah masyarakat lokal (salah satu contohnya, adalah nasi goreng).

Seusai pemaparan oleh kedua narasumber, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang berlangsung dengan kondusif dan lancar, sebelum kemudian ditutup dengan closing statement oleh kedua narasumber. Pada kesempatan kali ini BTGW #26 dihadiri oleh sekitar 40 partisipan yang cukup antusias dan partisipatif.

 

[RECAP] Nonton Bareng dan Diskusi Dragon for Sale

Jumat (9/06) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerja sama dengan HI CINE dan dengan izin Tim Ekspedisi Indonesia Baru menyelenggarakan acara nonton bareng dan diskusi film “Dragon for Sale” di Auditorium lt. IV Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM). Dalam kesempatan tersebut diputar episode satu dan dua dari quintology film Dragon For Sale, yaitu “Episode 1 : Sailing” dan “Episode 2 : Hiking” yang diikuti dengan sesi diskusi yang menghadirkan tiga narasumber, Dandhy Laksono (Sutradara Dragon for Sale dan Tim Ekspedisi Indonesia Baru), Raras Cahyafitri (Dosen dan Peneliti IIS & DIHI UGM) dan Gregorius Afioma (Peneliti Sunspirit). Acara dihadiri sekitar 50 peserta dari berbagai kalangan.

Film dokumenter Dragon For Sale mengungkap kisah mereka yang harus membayar harga mahal dari proyek ambisius 10 Bali Baru, salah satunya membangun Pulau Komodo untuk menjadi destinasi wisata internasional di Kota Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Film ini menyoroti bagaimana masyarakat lokal membangun resistensi, memperjuangkan model alternatif pariwisata yang tidak mendegradasi lingkungan dan menjunjung tinggi HAM.

Di episode pertama, diperlihatkan bagaimana ide pemerintah untuk membuat Taman Nasional Komodo menjadi obyek wisata premium mempengaruhi para pelaku usaha perahu wisata yang menyediakan paket wisata bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam Taman Nasional Komodo. Dengan naiknya harga  tiket masuk komodo secara masif dan dominasi pelaku wisata dengan kapal – kapal phinisi premium, muncul pertanyaan : sebenarnya kebijakan ini dibuat untuk menguntungkan siapa?

Di episode kedua, kita melihat dampak ekologis dari proyek pengembangan Bajo menjadi kawasan pendukung pariwisata Taman Nasional Komodo. Muncul banyak penolakan dari masyarakat yang mempertanyakan aspek konservasi dan keberlanjutan dari rencana pemerintah dalam mengembangkan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo.

Seusai pemutaran film Dandhy dan Gregorius bergabung dengan para partisipan secara daring, sementara Raras hadir langsung di auditorium untuk berdiskusi bersama membahas mengenai kedua episode yang telah diputar. Acara diskusi berjalan dengan lancar dan kondusif, dan para peserta mengikuti rangkaian acara dengan cukup antusias.

Kunjungan Tim BSKLN Kementerian Luar Negeri : Foreign Policy Circle Talks (FPCP) “Konstelasi Politik Global dan Polugri” & Diskusi Terbatas “Isu Isu Strategis di Kawasan Eropa dan Amerika”

Foreign Policy Circle Talks (FPCP) “Konstelasi Politik Global dan Polugri”

Selasa (13/6) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menerima kedatangan tim Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri dengan agenda Foreign Policy Circle Talks (FPCP) “Konstelasi Politik Global dan Polugri”. Acara yang berlangsung di Ruang Sidang Dekanat FISIPOL UGM melibatkan Tim dari BSKLN Kementerian Luar Negeri, IIS UGM, ASC UGM, CFDS UGM, PSPD UGM dan Dosen-dosen HI UGM. Acara berhasil diselenggarakan dengan kondusif dan lancar di Ruang Sidang Dekanat FISIPOL UGM.

 

Diskusi Terbatas “Isu Isu Strategis di Kawasan Eropa dan Amerika”

Sehari setelahnya, Rabu (14/6) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bersama dengan Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan agenda kedua, yaitu Diskusi Terbatas “Isu Isu Strategis di Kawasan Eropa dan Amerika”. Dalam acara yang melibatkan BSKLN, IIS dan Dosen-dosen HI UGM tersebut dibahas mengenai isu-isu terkini di kawasan Eropa dan Amerika. Acara diskusi tersebut diselenggarakan di auditorium Lt.IV FISIPOL UGM dan berjalan dengan kondusif dan lancar.