Humanitarian Talk : Mencari Jalan Baru Damai Papua

Jumat, 5 Oktober 2019, Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum diskusi Humanitarian Talk bertajuk “Mencari Jalan Baru Damai Papua” di Ruang Sidang Dekanat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Forum ini diselenggarakan sebagai respon atas isu kekerasan dan kerusuhan di Papua yang memuncak di Wamena. Berawal dari ide Dr. Luqman-Nul Hakim, dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, kegiatan ini dibungkus dengan format diskusi akademik yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan isu di Papua, mulai dari dosen berbagai departemen, tenaga riset dari aneka pusat studi UGM, serta Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Dalam kesempatan tersebut, dihadirkan tiga pembicara yang memiliki perhatian khusus dengan isu Papua, yakni, Dr. Richard Chauvel dari Asia Institute, University of Melbourne yang sempat menjabat sebagai konsultan International Crisis Group in Papua; Amiruddin Al-Rahab, komisioner Komnas HAM dan koordinator Penegakkan HAM sekaligus aktivis di Papua Resource Center; Fransiskus Agustinus Djalong, M.A., peneliti senior PSKP sekaligus Dosen Departemen Sosiologi UGM yang memiliki fokus kajian konflik dan perdamaian dalam kerangka interlinkage security, development dan democracy. Ketiga pembicara bergantian memaparkan materinya sebelum diikuti oleh sesi tanya jawab dan diskusi. 

Diskusi dibuka dengan pemaparan oleh Richard Chauvel yang memaparkan pandangannya terkait eskalasi konflik di Papua. Menurut Richard, konflik Papua memiliki sejarah yang sangat panjang dan menjadi awal dari konflik yang sering terjadi belakangan ini. Identitas Papua menjadi suatu isu yang sensitif, di mana masyarakat Papua yang terlibat dalam program urbanisasi ke Jawa oleh pemerintah pusat dengan tujuan menumbuhkan nasionalisme serta menguatkan identitas ke-Indonesia-an, tetapi isu rasisme dan diskriminasi yang ditujukan kepada masyarakat Papua justru membuat identitas Papua menjadi lebih kuat. Misalnya, kasus kerusuhan yang terjadi dengan melibatkan kelompok mahasiswa Papua yang sempat terjadi di Surabaya belum lama ini. Seolah belum cukup, masalah juga diperkeruh oleh pemerintah yang seringkali menggunakan militer dan aparat kepolisian untuk “memadamkan” gerakan nasionalisme Papua, alih-alih memilih jalan negosiasi dan dialog dengan representasi masyarakat.

Di sisi lain, isu rasisme juga muncul saat para pendatang datang ke Papua. Identitas ras yang berbeda justru menciptakan sebuah segregasi yang justru merugikan dan menyakiti masyarakat Papua di tanahnya sendiri. Perlakuan tidak adil dari pemerintah memperkeruh suasana, di mana segala kasus kerusuhan dan kekerasan dibungkus sebagai problematika dan juga kesalahan masyarakat Papua yang alih-alih menerima heterogenitas Indonesia, malah memilih menyuarakan identitas sebagai masyarakat Papua ketimbang identitas sebagai bagian dari Indonesia. Padahal, masyarakat Papua, dalam kasus ini, justru menjadi korban dari diskriminasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat, hingga sesama kelompok masyarakat. Oleh karena itu, Richard juga mengajak para peserta diskusi untuk memandang konflik di Wamena dengan konteks yang lebih luas.

Pada sesi kedua, Amiruddin memaparkan analisisnya mengenai akar permasalahan di antara hubungan pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Papua, bukan hanya menjadi provinsi yang paling jauh dari pemerintah pusat, kebijakan Papua juga terasa paling jauh dibincangkan. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman pemerintah pusat akan kepentingan masyarakat Papua. Berawal dari pemekaran provinsi, Papua telah menjadi subjek kebijakan yang salah sasaran. Hal ini tercermin pada kebijakan -kebijakan tiap presiden untuk Papua yang selalu berbeda, dan tidak pernah berkesinambungan, di mana kebijakan untuk Papua yang telah digagas oleh satu presiden hanya akan di-’reset’ kembali oleh presiden selanjutnya dengan kebijakan yang baru sesuai dengan apa yang dirasakan pemerintah berkuasa tentang latar belakang masalah Papua. Akibatnya, Papua seolah terasing dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat karena kebijakan pusat yang tidak tepat sasaran. Lebih jauh lagi, Amiruddin juga mengatakan bahwa aksi kekerasan dan kerusuhan yang muncul belakangan ini, seolah dipandang sebagai murni kesalahan masyarakat Papua, padahal pada kenyataannya pemerintah pusat juga turut bersalah dalam memicu situasi tidak kondusif ini.

Dalam mengidentifikasi masalah di Papua, pemerintah pusat juga telah melakukan kesalahan, di mana dialog yang dilakukan oleh pemerintah pusat cenderung ditujukan dengan segelintir orang dan kelompok yang justru memiliki kepentingan sama dengan pemerintah pusat, alih alih menyuarakan kepentingan masyarakat Papua. Pada akhirnya, pemerintah berdalih bahwa kepentingan dan aspirasi masyarakat Papua telah terpenuhi, meskipun pada kenyataannya, pemerintah pusat tutup mata atas aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh representasi masyarakat, dan justru menjustifikasi ketidakpeduliannya lewat dialog yang tidak mencerminkan suara masyarakat Papua. Problematika inilah yang memicu munculnya rasisme dan alienasi terhadap masyarakat Papua, yang notabene menjadi korban dari inkompetensi pemerintah pusat dalam mewadahi aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua. 

Pada sesi terakhir, Frans menutup sesi pembicara dengan mengangkat seputar isu rasisme yang muncul dan berujung kepada masalah yang tidak kunjung berakhir. Frans menyatakan, bahwa rumusan masalah akan konflik Papua tidak dapat dimonopoli karena rumitnya sejarah konflik tersebut. Kita tidak boleh melupakan bahwasanya Papua pun memiliki identitas yang bersifat jamak, dan tidak bisa seterusnya ditekan untuk menyingkirkan identitas Papua dan menggantikannya dengan identitas Indonesia, sementara masyarakat Papua masih menerima diskriminasi dan menjadi subyek rasisme dari berbagai pihak, dan ironisnya, negara turut berperan dalam menciptakan situasi tersebut. Kebijakan negara yang cenderung menganak-tirikan Papua pun turut memicu rasisme dan sudah dapat digolongkan sebagai sebuah state crime. Kebijakan Pemerintah pusat yang memarginalisasikan masyarakat Papua turut ambil andil dalam memelihara rasisme yang ditujukan kepada masyarakat Papua.

Seusai ketiga pembicara memaparkan materinya, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab untuk mendiskusikan tema sekaligus menutup acara. Tidak terasa, sesi tanya jawab yang seharusnya hanya dialokasikan sebanyak 1 sesi dengan 3 orang penanya, harus diperpanjang menjadi dua sesi karena minat para audiens, terutama dari perwakilan mahasiswa Papua yang hadir. Sesi tanya jawab berjalan dengan progresif, karena banyak peserta yang ingin mengungkapkan pertanyaan dan juga pendapatnya tentang isu Papua, memenuhi tujuan awal forum ini untuk berbagi informasi dan pengetahuan tentang konflik Papua.

Rumitnya konflik Papua mengarahkan kita kepada sebuah situasi, dimana konflik ini sudah tidak lagi hanya tentang rasisme semata. Kombinasi dari state crime yang memicu rasisme, framing dimana pemerintah cenderung membuang muka dan tidak peduli akan Papua, identitas Papua yang semakin menguat karena rasisme yang mereka terima dan faktor-faktor lain menjadikan resolusi konflik ini sulit dicapai. Untuk mencari jalan baru untuk damai di Papua, diperlukan niat yang baik dari semua aktor yang terlibat untuk duduk bersama, mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, dan kemudian mencari jalan untuk resolusi konflik berkepanjangan ini. Kita tidak boleh lupa, Papua adalah bagian dari Indonesia dan masyarakat Papua adalah saudara kita. Untuk mencari jalan damai, diperlukan dialog yang memfasilitasi aspirasi dan keluhan yang selama ini dipendam oleh masyarakat Papua.


Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Thifani Tiara

Jogja Creative Industry Forum: Platform Pertemuan dan Diskusi Praktisi Industri Kreatif Yogyakarta

Menurut Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), saat ini industri kreatif menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, nilai ekspor Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya mendudukki peringkat ke-8 nasional dengan nilai ekspor produk ekonomi kreatif sebesar 1,26%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah dan daya saing industri kreatif di DIY belum mencapai potensi maksimal karena terdapat beberapa faktor yang menghambat kemampuan ekspor dan usaha para pelaku industri kreatif untuk terintegrasi dalam pasar global.

Berangkat dari persoalan tersebut, peserta kelas Global Value Chain Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), bekerja sama dengan Institute of International Studies dan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM menyelenggarakan Talkshow Jogja Creative Industry Forum (JCIF), pada Rabu, 18 September 2019 berlokasi di Digital Library Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

JCIF bertujuan menjadi wadah bertemunya perwakilan dari beragam latar pendidikan dan profesi yang berkenaan dengan industri kreatif sekaligus menjadi sarana inisiasi strategi think-tank dalam sektor industri kreatif. Kegiatan dikemas dalam bentuk talk show guna memberi ruang pada pelaku usaha industri kreatif, pemerintah, akademisi serta publik untuk berdikusi mengenai tantangan dan peluang dalam sektor ekonomi kreatif di DIY, publik pun dapat ikut serta berdiskusi dalam kegiatan tersebut.

Talk show JCIF dibagi dalam dua sesi, di mana sesi pertama membahas seputar sinergi yang perlu dibangun antara pemerintah dan pengusaha dalam meningkatkan sektor industri kreatif DIY di pasar global, sementara sesi kedua membahas mengenai potensi rencana strategis yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam rangka upgradingguna memasarkan produk dan jasanya.

Sesi hari itu dibuka oleh Rendro Prasetyo, penyuluh Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi DIY dengan memberikan gambaran mengenai industri kreatif di Yogyakarta. Rendro menyatakan bahwa industri kreatif di Yogyakarta memiliki potensi yang besar tetapi pelaksanaannya belum optimal. Selain itu, terdapat beberapa peluang yang harus dimanfaatkan, seperti tingginya jumlah sumber daya manusia kreatif di Yogyakarta; adanya upaya aktif dari komunitas industri kreatif; adanya dukungan perguruan tinggi; adanya dukungan Sekolah Menengah Kejuruan; dan adanya citra Yogyakarta sebagai kiblat industri kreatif. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula dalam memaksimalkan potensi-potensi tersebut, seperti pembagian urusan industri kreatif antar operasi daerah yang belum jelas; belum adanya pangkalan data industri kreatif yang baik; banyaknya permasalahan di industri kreatif; industri kreatif yang mudah puas dan tidak melakukan upgrading diri; serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang belum jelas.

Talk show dilanjutkan dengan sharing dari pemilik industri kreatif. Pemilik industri kreatif yang hadir pada kegiatan hari itu datang dari berbagai klaster, termasuk klaster industri fesyen, industri daur ulang, industri kesehatan berbasis komunitas, serta industri kuliner. Dalam diskusi tersebut, para pelaku industri kreatif membagikan beberapa tips terkait melakukan usaha industri kreatif di Yogyakarta.

Salah satunya ialah Drg. Ferry Yuliana Syarif, founder dari Gendhis Bag yang bergerak dalam industri fesyen, menyatakan bahwa dalam menjalankan industri kreatif segala aktivitas yang dilakukan harus dari hati, dalam artian semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan bukan hanya berorientasi pada materi. Prinsip “bisnis dari hati” ini tampak dari cara Gendhis Bag berbagi tentang cara produksi ke berbagai industri mikro di aneka daerah di Indonesia hingga mengembangkan sumber daya manusia yang ada.  Tips lainnya yang dibagikan Drg. Ferry ialah harus adanya pengembangan bisnis dengan basis business-to-business (B2B), selalu memiliki inovasi dan kreativitas, tim yang solid, dan sosial media yang kuat.

Senada dengan Drg. Ferry yang memiliki dampak sosial dalam menjalankan industri kreatif, Sekti Mulatsih, founderdari Rakyat Peduli Lingkungan atau lebih dikenal dengan sebutan RAPEL juga dihadirkan untuk berbagi mengenai usaha yang ia jalankan.  Inisiasi RAPEL lahir dari kegelisahan Sekti mengenai lingkungan karena ditemukannyamissing link dalam proses pengolahan sampah di Indonesia. Alhasil, RAPEL lahir sebagai industri yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Yogyakart

Pandangan dari para pemilik industri kreatif tersebut kemudian dilengkapi dengan pandangan dari beberapa pakar yang dunianya bersinggungan dengan industri kreatif. Pakar-pakar tersebut meliputi Drs. Prijo Mustiko, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, yang menyatakan bahwa perlu adanya kerjasama quadrohelix di antara akademisi, bisnis, komunitas, dan birokrasi pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif; serta Dian Prijomustiko dari Bali Industry Creative Center yang menggarisbawahi beberapa aksi yang harus diambil oleh pemerintah apabila ingin mengembangkan industri kreatif, yakni harus adanya “burning platform”, reviu regulasi yang sudah ada, kebijakan yang mengatur industri kreatif, serta rencana strategis pemerintah.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara

Beyond the Great Wall #4 : Cina : Masa Lalu dan Masa Depan

Masa lalu dan masa depan adalah dua periode kontradiktif yang seringkali tidak dapat dibahas dalam satu sesi diskusi. Namun, dalam konteks sebuah negara, masa lalu dan masa depan menyimpan signifikansi yang sama dan tidak kalah penting. Dibalik peningkatan perannya dalam konstelasi politik global, Cina tentunya memiliki masa lalu yang kaya dan patut untuk dibahas. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil Cina di dalam politik global, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja masa lalu Cina yang juga menjadi landasan Cina di masa modern. Kontradiksi diantara dua kata kunci “masa lalu” dan “masa depan” inilah, yang menjadi topik dari Forum Beyond The Great Wall kali ini.

Edisi #4 Forum Beyond The Great Wall (BTGW) memiliki tajuk “Cina : Masa Lalu dan Masa Depan” untuk menyesuaikan disimilaritas di antara materi yang dibawakan, kegiatan BTGW menghadirkan Irfan Halim S.Psi, Asisten Klinik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Arindha Nityasari S.IP, Peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada. Berbeda dengan topik-topik diskusi BTGW sebelumnya, diskusi kali ini mengangkat tema yang menggambarkan dua aspek kontradiktif atas Cina. Irfan menyinggung masa lalu Cina dengan membahas Uighur lewat perspektif psikologi sejarah dan bagaimana isu ini dikaitkan dengan ilmu Hubungan Internasional, sementara Arindha memandang masa depan Cina dengan mendiskusikan prospek dan tantangan perkembangan Artificial Intelligence di Cina dengan mereview buku “A.I Superpowers : China, Silicon Valley and The New World Order” karya Kai Fu Lee.

Irfan memulai sesi pertama dengan memaparkan materi terkait sejarah etnik Uighur yang selama ini menerima diskriminasi dan tersegregasi dari masyarakat maupun pemerintah Cina. Ilmu Psikologi dan Ilmu Hubungan Internasional yang sekilas tidak dapat disandingkan bersama, menjadi landasan Irfan untuk mengangkat isu ini. Di mana, keduanya relevansi ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan mandat Konstruktivisme. Sebagai sebuah ilmu yang bersifat micro-oriented, tentunya Ilmu Psikologi akan kesulitan memberikan analisis makro yang dibutuhkan dalam menganalisa dunia hubungan internasional. Namun, konstruktivisme, dalam hal ini, hadir untuk memahami sejarah maupun struktur sosial yang ada dan dapat dikaitkan dengan Ilmu Psikologi yang berusaha memahami aktor-aktor, yang bertindak dipengaruhi oleh socio-environment, di dalam suatu peristiwa.

Dalam konteks relasi Cina-Uighur, Irfan menekankan bahwa bahasa dan narasi berkaitan erat dengan perspektif masyarakat internasional atas isu tersebut. Narasi yang dibuat oleh masyarakat Uighur tentang bagaimana opresi Cina, tentunya berlawanan dengan narasi pemerintah Cina yang menganggap bahwa Uighur merupakan sebuah gerakan separatis yang sistematis. Lebih jauh, Irfan memaparkan kasus di mana pemerintah Cina memfabrikasi gerakan damai atau gerakan kecil untuk membuat negara sebagai sebuah narasi “pembebasan” masyarakat Uighur untuk melawan gerakan separatis. Dalam kasus status Xinjiang pun terdapat perbenturan narasi. Pada satu sisi, Xinjiang dianggap pemerintah Cina sebagai sebuah daerah otonom, sementara Uighur mendukung pendirian Turkistan Timur.

Dalam relasinya dengan negara lain dan dalam merespon tuduhan opresi terhadap Uighur, pemerintah Cina cenderung bersikap pasif dan defensif. Cina menganggap urusan Uighur adalah sebuah urusan internal dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Cina justru mengkritisi kembali sikap hipokrit dan bias negara-negara lain yang mengkritik kebijakan dalam negeri Cina. Hal ini juga berhubungan dengan kontrol media sosial yang diterapkan pemerintah Cina, di mana semua konten media sosial terkait Uighur dapat diawasi oleh pemerintah.  Selain itu, menurut Irfan, narasi Indonesia tentang Uighur yang membawa slogan “Solidaritas Sesama Muslim” kurang tepat sasaran karena latar budaya Uighur yang sebenarnya multietnik.

Pada penghujung sesi pertama, Irfan menyimpulkan paparannya dengan menyatakan bahwa eksistensi narasi yang berbenturan dan polarisasi dunia internasional sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap konflik ini. Beberapa negara yang masih memiliki kepentingan dan kerjasama dengan Cina tidak begitu vokal dalam mengangkat isu opresi Uighur dan cenderung membiarkan Cina menjalankan kebijakan dalam negerinya. Di sisi lain, beberapa negara membingkai kasus ini sebagai sebuah opresi etnik dan meletakkan pemerintah Cina pada posisi antagonis utama dalam narasi tersebut, dan Uighur sebagai korban opresi pemerintah. 

 

 

Pada sesi kedua, BTGW dilanjutkan dengan pemaparan hasil reviu buku oleh Arindha Nityasari. Artificial Intelligence (AI) sendiri adalah kemampuan mesin untuk mengadaptasi beberapa sifat manusia, seperti reasoning, berpikir logis, dan memberi preferensi pilihan. Secara garis besar, buku ini menceritakan kondisi teknologi global, sejarah perkembangan teknologi di Cina, dan kelembagaan serta ekosistem teknologi di Cina. Kemajuan yang ada membawa beberapa perubahan bagi Cina, salah satunya, revolusi Cina dari age of discovery, yang berorientasi pada penemuan dan penciptaan sesuatu, menjadi age of implementation yang berfokus pada implementasi produk dan teknologi. Perubahan lainnya yang terjadi adalah pergeseran Cina dari age of expertise, dengan orientasi sebagai ahli teknologi, menjadi age of data, dengan munculnya tren analisa data. Di era yang semakin maju ini, analisa data tentunya menjadi modal yang penting, mengingat AI yang berbasis pada data. 

“Sekarang, siapa yang mempunyai data, maka dialah yang powerful,” tutur Arindha.

Kondisi ini membuat semua negara berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin data. Karenanya, Cina kini ada pada posisi yang unggul sebab rakyatnya rela memberikan data demi kemudahan hidupnya.

Salah satu hal menarik dari buku ini yang turut diangkat oleh Arindha adalah budaya copycat di Cina. Cina mengakui bahwa copycat merupakan kunci perkembangan teknologi di Cina karena latar belakang ekonomi Cina yang awalnya bergantung pada manufaktur dan produksi sendiri, bergeser menjadi bergantung pada mengikuti produk-produk lain sebagai proses transfer teknologi. Ekosistem AI Cina terletak pada para gladiator atau para peniru pengusaha dan dukungan pemerintah dengan data berlimpah didukung dengan adanya insinyur AI, meski masih dalam jumlah terbatas. Hal ini membuat pemerintah Cina berupaya meningkatkan pengembangan Greater Bay Area di Cina yang sangat technology-oriented, bahkan disebut Silicon Valley versi Cina, sebagai usaha memfasilitasi kebutuhan Cina akan insinyur AI.

Dalam buku ini, dijelaskan pula beberapa perbedaan antara Cina dengan Silicon Valley. Di mana, Cina cenderung lebih market-driven sehingga mengikuti keinginan pasar, sementara Silicon Valley cenderung value-driven sehingga memiliki dorongan untuk terus berinovasi dan tidak berbasis keinginan pasar. Selain itu, Cina lebih bersifat survival-oriented sedangkan Silicon Valley cenderung lebih bersifat innovationoriented.

Di akhir buku, dipaparkan bahwa terdapat empat gelombang permasalahan yang fundamental, gelombang pertama adalah internet AI, gelombang kedua adalah business AI, gelombang ketiga adalah perception AI, dan yang terakhir adalah autonomous AI, di mana tiga perusahaan besar Cina mulai menciptakan autonomous AI untuk menganalisa dan membaca tren masyarakat yang dapat disesuaikan dengan algoritma. 

Di penghujung acara, Arindha menutup pemaparan dengan pertanyaan reflektif bagi peserta diskusi “Bukan siapakah super power-nya, tetapi siapkah kita dengan era yang belum pernah terjadi sebelumnya?”


Penulis Berita : Handono Ega, Raditya Bomantara & Denise Michelle

Penyunting : Sonya Teresa Debora & Thifani Tiara Ranti

CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia

CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia

Pendekatan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi terduga eks-terorisme ialah deradikalisasi. Proses ini dilakukan dengan memoderasikan pemahaman dan mengembalikan orang-orang yang telah terpapar radikalisme untuk kembali memahami Pancasila dan UUD 1945. Namun, hingga kini efektivitas maupun alternatif dari pendekatan ini masih diperdebatkan.

Guna membahas deradikalisasi dan perdebatan yang mengitarinya secara lebih jauh, pada Kamis (29/8), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) yang ke-3 dengan mengangkat tema “Mempelajari dan Mencari Pendekatan Alternatif dalam Diskursus dan Kebijakan Deradikalisasi di Indonesia”. Kegiatan ini menghadirkan Ustad Abu Tholut Al-Jawiy, pemerhati gerakan Islam, dan Hardya Pranadipa, mahasiswa Master of Arts Human Rights, Gender, and Conflict Studies: Social Justice Perspective di International Institute of of Social Studies (ISS) of Erasmus University Rotterdam. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang BA 101 FISIPOL UGM dan terbuka untuk umum.

Dalam membahas pendekatan deradikalisasi di Indonesia, Pranadipa, sebagai pembicara pembuka pada diskusi hari itu, melihat bagaimana wacana deradikalisasi merupakan wacana dominan terkait penanganan terduga eks-teroris di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana pembentukkan wacana deradikalisasi dilakukan oleh elemen-elemen kunci di Indonesia, di mana narasi deradikalisasi dapat ditemukan dalam instruksi Polri maupun TNI, program-program NGO lokal dan internasional, laporan pemerintah dan think tank, serta berbagai program pemerintah.

Menurut Pranadipa, tujuan akhir deradikalisasi ialah agar terduga dan tertuduh eks-teroris berpindah ideologi dari jihad kekerasan menjadi Pancasila. Dalam menjalankan pendekatan ini, terduga dan tertuduh teroris menjalani proses rehabilitasi yang menjauhkan mereka dari paham radikalisme, di mana proses ini jauh dari praktik penahanan konvensional. Dengan pembinaan dan pelatihan yang intens selama proses rehabilitasi, terduga dan tertuduh teroris dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat untuk mengembangkan potensi napi. Melalui proses ini, ideologi yang selama ini dipegang oleh terduga dan tertuduh teroris diubah dengan menanamkan pemahaman keislaman yang lebih moderat, serta menumbuhkan nasionalisme dan loyalitas kepada Pancasila.  Pendekatan deradikalisasi di Indonesia ini turut dikuatkan dengan adanya PP. No. 99 tahun 2012.

Namun, Pranadipa menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak selalu berhasil. Setidaknya terdapat empat hal yang menghasilkan respon penolakan dari terduga dan tertuduh eks-teroris, yakni tata cara pelaksanaan program; desain program: agama, bangsa, dan “orang luar”; komunikasi; serta relasi dan struktur sosial di dalam lapas pemasyarakatan. Pranadipa menyatakan bahwa hal-hal ini diakibatkan oleh meningkatnya grievances yang sejalan dengan menurunnya trust.

Senada dengan Pranadipa, Ustad Abu Tholut pula menyampaikan beberapa kritik bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia. Menurut Abu Tholut, ada beberapa isu mengenai terorisme yang terabaikan, di mana isu terorisme dipengaruhi oleh proxy war diantara negara negara maju yang berebut pengaruh lewat organisasi paramiliter teroris. Lebih jauh, terorisme dapat dilihat sebagai bentuk konspirasi intelijen yang dinisiasi negara maju untuk menghindari deployment pasukannya sendiri ke dalam zona konflik yang diperebutkan. Abu Tholut menekankan bahwa deradikalisasi sangat berhubungan dengan politik, karena konstelasi politik global sangat mempengaruhi perkembangan terorisme.

Selain itu, masih terdapat kecenderungan untuk melakukan generalisasi paham-paham keislaman yang berbeda-beda yang dianut oleh para terduga dan tertuduh eks-teroris. Padahal, aliran maupun paham yang dianut sangatlah beragam. Generalisasi ini berujung pada pendekatan yang monolitik kepada para tertuduh maupun terduga eks-teroris, sehingga program tidak selalu efektif.

Untuk memaksimalkan pendekatan terhadap terduga dan tertuduh eks-teroris, Pranadipa dan Ustad Abu Tholut turut memberikan sarannya masing-masing. Pranadipa menegaskan bahwa pihak pemerintah maupun yang berkaitan harus memahami adanya struktur kuasa dan relasi sosial dalam blok-blok lembaga pemasyarakatan yang dialami oleh terduga. Selain itu, pemerintah harus memperbaiki komunikasi BNPT dan lembaga lain, melihat kepercayaan napi terhadap elemen-elemen dari luar yang masuk, serta perlunya membangun kepercayaan. Sementara, Ustad Abu Tholut menyatakan bahwa dalam melaksanakan pendekatan melalui program-programnya, pemerintah haruslah melihat radikalisme sesuai dengan konteks politik global yang ada mengingat pengaruhnya yang besar bagi kondisi domestik di Indonesia. Selain itu, generalisasi paham keislaman tertuduh dan terduga eks-teroris yang membuat program tidak efektif haruslah diubah. Pemerintah perlu melakukan metode penanganan yang berbeda-beda agar tujuan yang diidealkan dapat terwujud.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara