Beyond the Great Wall #5: Menilik Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina

Dewasa ini, peran Cina dalam panggung internasional semakin meluas. Hal ini dapat dilihat melalui proyek kerjasama Cina yang semakin ekspansif, terutama melalui Belt and Road Initiative (BRI). Keberhasilan BRI sebagai salah satu proyek besar Cina ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai aspek, baik domestik maupun terkait relasinya dengan negara lain. Terdapat berbagai peluang dan tantangan yang dapat mempengaruhi kerja sama Cina, termasuk dalam BRI. Untuk itu, pada Jumat (11/10) lalu, Institute of International Studies kembali mengadakan forum Beyond the Great Wall untuk ke-5 kalinya dengan mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina”. BTGW kali ini menghadirkan Umi Qodarsasi, S.IP, M.A, dosen program studi pemikiran politik IAIN Kudus, dan William Help, Presiden Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Universitas Gadjah Mada.

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan Umi mengenai “Cina di Afrika: Peluang dan Tantangan BRI.” Cina turut menjalin kerja sama ekonomi dengan Afrika karena Afrika dipandang sebagai “the rising continent” dan “the hopeful continent”. Pandangan ini muncul karena adanya prediksi bahwa perekonomian Afrika akan terus berakselerasi. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Afrika antara lain ialah meningkatnya permintaan global akan minyak, emas, logam, dan mineral yang merupakan salah satu cadangan utama Afrika; urbanisasi dan potensi penduduk usia muda sebagai tenaga kerja; serta meningkatkan ekspor untuk mendorong investasi yang besar.

Afrika menjadi region yang menyuplai pasokan sumber daya alam bagi Cina sekaligus pasar untuk produk dan jasa dari Cina. Hal ini semakin memperkuat posisi Cina di Afrika, terutama karena Cina berusaha melindungi apa yang menjadi kepentingannya. Bentuk kerja sama antara Cina dan Afrika termanifestasikan dalam Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC), di mana FOCAC merupakan platform kerja sama multilateral antara Cina dengan negara-negara Afrika. FOCAC membawa perubahan yang signifikan bagi hubungan Cina dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika, di mana Cina menjadi mitra pembangunan utama bagi Afrika, baik di bidang perdagangan, investasi, maupun bantuan dan hibah.

Afrika merupakan salah satu wilayah yang terlibat dalam proyek BRI sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang saling membutuhkan antar keduanya. Di satu sisi, negara-negara yang dilalui jalur BRI akan mendapat investasi yang lebih besar, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur, di mana di Afrika sektor energi dan transportasi yang menjadi fokus utama. Cina memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman berjumlah besar (big loans) pada Afrika dengan kompensasi dalam bentuk kekuasaan Cina atas sektor mineral dan minyak di Afrika. DI sisi lain, Afrika dan seluruh sumber dayanya juga turut menguntungkan Cina.
Menurut Umi, tantangan BRI bagi negara-negara Afrika ialah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi dengan kondusifitas kondisi politik negara, hal ini memicu masing-masing negara Afrika untuk tetap memiliki kondisi politik yang kondusif dan menjaga kualitas good governance agar dapat terus berpartisipasi dalam BRI. Di lain sisi, eksistensi BRI pula harus mendorong daya saing produk domestik dan melahirkan adanya inovasi produk. Namun, ketergantungan negara-negara Afrika kepada Cina dan bantuannya juga menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi.

“Bantuan yang diberikan harus disertai pembangunan domestik dan digunakan secara proporsional agar tidak terjadi ketergantungan. Negara-negara Afrika harus membangun kedaulatan dan perekonomian secara mandiri agar terhindar dari apa yang negara-negara barat khawatirkan sebagai bentuk neokolonialisme,” ujar Umi menutup pemaparannya.\

Pemaparan dilanjutkan oleh William yang membahas mengenai dampak tensi Cina dan Hong Kong terhadap BRI. Jika dilihat lebih jauh, tensi antara Cina dan Hong Kong mulai terjadi sejak tahun 2011. Namun, baru-baru ini diperparah dengan adanya extradition law bill yang kembali memperparah tensi antar keduanya.

Dalam kaitannya dengan BRI, Kepentingan dan prioritas BRI di Hong Kong dapat dilihat melalui 5 indikator, yaitu people to people bond, financial integration, unimpeded trade, policy coordination, dan facilities connectivity. Hong Kong sendiri membawa keuntungan bagi BRI karena tidak hanya berfokus pada sektor raw materials (mentah), tetapi juga sektor manufaktur.
Selain itu, Hong Kong memiliki perekonomian yang sangat terbuka dengan koneksi eksternal yang luas dan kuat. Proyek BRI yang melibatkan Hong Kong ada di bidang perdagangan dan ekonomi, inovasi dan teknologi, layanan keuangan, pertukaran orang, serta logistik internasional, pengiriman, dan transportasi.

Dalam melihat pengaruh tensi antara Cina dan Hong Kong terhadap BRI, William menggunakan alat analisis konflik bawang (onion tool) dengan melihat kebutuhan, kepentingan, dan posisi dari masing-masing pihak. Menurut William, BRI merupakan kepentingan (interest) dari Cina dan Hong Kong. Cina dan Hong Kong sama-sama ingin menyejahterakan variabel-variabel yang ada di setiap pihak yang berkonflik (dalam bidang ekonomi).

Selama posisi Beijing di Hong Kong masih terjaga dan memegang status quo, proyek BRI di Hong Kong memiliki tendensi untuk terganggu, kecuali dalam hal-hal yang bersifat lebih teknis seperti adanya boikot produk Cina. Meski demikian, BRI memberikan dampak yang positif dan menguntungkan bagi Cina dan Hong Kong.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.