Killer Robots: Evolution of Warfare or the Threat for Humanity?

On Thursday (29/11), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held Humanitarian Talk discussion as part of Campaign to Stop Killer Robots series with the theme “Coffee Talk on Killer Robots”. The event which was held at Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tried to offer a talk show concept which focuses on giving explanation to the public about the definition of killer robots, by discussing the advancement of information technology (IT), weaponry, and artificial intelligent (AI) in which all of them can not be separated by the advancement of the killer robots itself. IIS UGM held such series of events as a form of participation in global campaign under Campaign to Stop Killer Robots in order to raise awareness and increase the understanding of the people regarding the humanitarian consequences caused by Lethal Autonomous Weapon (LAWs). As a result, the campaign is expecting the emergence of solidarity to push the government in national level to not using autonomous weapons which will cause destruction and death of civilians.

On this occassion, IIS UGM invited Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, researcher at Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) also Dr. Sugeng Riyanto, lecturer at International Relations Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), both of the speakers have special interest on the advancement of killer robots. The discussion session is moderated by Yunizar Adiputera, M.A as the convener as well as the leader of Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM team.

The session was opened with foreword by Yunizar which explained a brief definition of LAWs. Autonomous weapon is different with drone, in which both have fundamental different on degree of control, target selection, and accuracy attack. Also, drone is not necessarily used for military purpose. On the other side, autonomous weapon is an independent weapon system which is designed for military purpose. Autonomous weapon is projected to bring forth a warfare revolution, minimize casualties from the military, and attacking target without human intervention so that it can be said as the third weapon revolution after the discovery of gun powder and atomic bomb. However, such weapon gains so many rejection from international community because of its vulnerability on operation system error, lack of capability to select target, also the degree of harm it might cause.

Sugeng opened his session by emphasizing that autonomous weapon system is inevitable, in which warfare always pushes for advancement and evolution of weaponry as a defense tool. Autonomous weapon system is an evolution of modern warfare, in which by using AI-based weapon with limited human intervention, military attempts to erase physical and psychological human limitation which is vulnerable with human error factor in order to create a more efficient warfare. However, Sugeng also explained that as the technology keeps evolving, autonomous weapon system brings several negative effects, such as the difficulties to decide the legal subject when there is civilian casualties, the loss of chivalry as a humanitarian element, also the loss of norm because of the loss of life by weapons that are not directly controlled by humans. Therefore, Sugeng concluded that the advantages possessed by autonomous weapon system makes the usage of the weapon by the military is inescapable thus a legally binding regulation is needed.

Resonating Sugeng, Rifqi also stated that military technology is indeed pushing the development of civilian technology, in which the technology development within the past 15 to 20 years has exceeded what has been able to be reached 300 years before. Rapid technological development is indeed a positive progress, but also bear negative impact. One of the negative impact can be seen in several cases, for instance is Stanislav Petrov – who had successfully prevented Nuclear War on September 26th, 1983 due to the nuclear warning system malfunction. For this case, it was the human judgment which was able to decide and prevent civilian casualties, meanwhile AI did not have such aspect. The usage of AI on autonomous weapon system forces human to be trapped in out of the loop scheme, where human is unable to interfere the decision making process of AI.This has become problematique since the scheme which should be used is human in the loop (human as the decision maker) or human on the loop (human can interfere the autonomous decision making process). Human dignity is at stake when the decision making process related to human’s life is decided by AI.

Meanwhile, regarding the role of Indonesia’s government in the middle of killer robots dilemma, Rifqi emphasized that Ministry of Foreign Affairs should take the role on pushing education in order to stop the usage and ban the autonomous weapon system. Strategy and comprehensive movement are needed in order to influence the world’s appraisal regarding smart weapons. Indonesia should be able to take the advantage its role as the Non-Permanent Member of UNSC in order to push the discussion regarding killer robots issue. Yunizar also added that in reality, Ministry of Foreign Affairs is quite slow on deciding its position. Indonesia is also lack of involvement on weapon treaties even though Indonesia has quite influential voice on such treaties. Therefore, it should be realized by the government they should express the need to ban killer robots through diplomacy. It should also be realized as well that it might be further challenge for them.


Writer : Raditya Bomantara

Editor and Translator : Thifani Tiara Ranti

Killer Robots : Evolusi Peperangan atau Ancaman Kemanusiaan?

Kamis (29/11) lalu, Insitute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan diskusi Humanitarian Talk sebagai rangkaian dari seri Campaign to Stop Killer Robots dengan tema “Coffee Talk on Killer Robots”. Kegiatan yang bertempat di Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada ini  mencoba mengusung konsep bincang santaiyang berfokus untuk memberikan penjelasan kepada sivitas akademika UGM dan masyarakat umum tentang definisi dari killer robots, dengan membahas kemajuan teknologi informasi, persenjataan, serta artificial intelligence (AI) yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan killer robots itu sendiri. IIS UGM menyelenggarakan serangkaian kegiatan ini sebagai bentuk partisipasi atas kampanye global Campaign to Stop Killer Robots untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konsekuensi kemanusiaan yang disebabkan oleh Lethal Autonomous Weapon System (LAWS). Melalui kampanye ini, diharapkan muncul solidaritas bersama untuk mendorong pemerintah di level nasional agar tidak menggunakan senjata-senjata otonom yang dapat menimbulkan kerusakan dan korban jiwa di kalangan masyarakat sipil. Sesi Coffee Talk sendiri merupakan sebuah forum diskusi internal

Pada kesempatan ini, IIS UGM mengundang Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Dr. Sugeng Riyanto, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dua pembicara yang memiliki ketertarikan khusus terhadap perkembangan killer robots. Sesi diskusi ini dimoderatori oleh Yunizar Adiputera, M.A selaku penanggung jawab sekaligus ketua tim Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM.

Sesi dibuka dengan pengantar oleh Yunizar yang memaparkan pengantar diskusi dengan menjelaskan secara singkat tentang definisi dari LAWS. Senjata otonom merupakan suatu perangkat yang berbeda dengan drone, di mana, selain memiliki tingkat pengendalian, pemilihan sasaran dan akurasi serangan yang berbeda secara fundamental, drone juga belum tentu digunakan sebagai sarana militer. Senjata otonom, di sisi lain, merupakan sistem senjata mandiri yang didesain secara khusus untuk keperluan militer. Senjata otonom diproyeksikan untuk dapat melahirkan revolusi peperangan, meminimalisir korban dari pihak milite, serta dapat menyerang sasaran tanpa tenaga manusia sehingga dapat disebut sebagai revolusi senjata ketiga setelah penemuan bubuk mesiu dan bom atom. Namun, senjata ini mendapatkan banyak penolakan dari dunia internasional karena rawan akan kesalahan sistem operasi, minimnya kapabilitas untuk memilih target, serta tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan.

Sugeng membuka pemaparannya dengan menekankan bahwa sistem senjata otonom merupakan sebuah keniscayaan, di mana peperangan selalu mendorong perkembangan dan evolusi persenjataan sebagai alat pertahanan. Sistem senjata otonom merupakan evolusi peperangan modern, di mana dengan menggunakan senjata berbasis AI yang minim intervensi manusia, militer berusaha untuk menghilangkan batasan fisik dan psikis manusia yang rawan faktor human error sehingga melahirkan  peperangan yang lebih efisien. Namun, Sugeng juga memaparkan bahwa seiring dengan terobosan dan kemajuan yang dibawanya, sistem senjata otonom membawa beberapa aspek negatif, seperti sulitnya menentukan subjek hukum ketika ada korban di kalangan sipil, hilangnya sifat kesatriaan sebagai salah satu elemen humaniter, serta lenyapnya norma karena penghilangan nyawa oleh senjata yang tidak dikontrol langsung oleh manusia. Oleh karena itu, Sugeng menyimpulkan bahwa kelebihan yang dimiliki sistem senjata otonom membuat penggunaan senjata ini oleh militer sulit untuk dihindari sehingga diperlukan sebuah aturan yang legally binding dan dapat mengatur penggunaan senjata tersebut.

Senada dengan Sugeng, Rifqi menyatakan bahwa teknologi militer memang mendorong perkembangan teknologi sipil, di mana perkembangan teknologi pada 15 hingga 20 tahun terakhir jauh melampaui apa yang dicapai dalam lingkup 300 tahun sebelumnya.  Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya merupakan sebuah kemajuan yang positif, namun juga memiliki dampak-dampak negatif yang menyertainya. Dampak negatif ini dapat dilihat dari beberapa kasus, contohnya Stanislav Petrov–yang berhasil mencegah Perang Nuklir pada tahun 26 September 1983 karena malfungsi sistem peringatan nuklir Uni Soviet), pada kasus ini, penilaian manusialah yang dapat menentukan dan mencegah korban di kalangan sipil, sementara AI tidak memiliki aspek tersebut. Penggunaan AI pada sistem senjata otonom memaksa manusia terjebak dalam skema out of the loop, di mana manusia tidak dapat campur tangan dalam pengambilan keputusan oleh AI. Hal ini menjadi problematik karena seharusnya skema yang digunakan adalah human in the loop (manusia sebagai pengambil keputusan) atau human on the loop (manusia bisa melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan yang otonom). Hal ini membuat martabat manusia dipertaruhkan ketika proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nyawa manusia diputuskan oleh AI.

Sementara, perihal peran pemerintah Indonesia di tengah dilema killer robots, Rifqi menekankan bahwa Kementerian Luar Negeri harus berperan dalam mendorong edukasi untuk menghentikan penggunaan dan pelarangan sistem senjata otonom. Diperlukan strategi dan gerakan yang menyeluruh untuk dapat mempengaruhi penilaian dunia internasional akan senjata-senjata cerdas, dan Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk mendorong pembahasan mengenai isu killer robots.  Menambahkan, Yunizar menyatakan bahwa, pada kenyataannya, Kementerian Luar Negeri justru lambat dalam menetapkan posisi. Bahkan, Indonesia minim terlibat dalam traktat-traktat penggunaan senjata, meskipun Indonesia memiliki suara yang dapat berpengaruh dalam negosiasi traktat-traktat pelarangan senjata tersebut. Hal inilah yang harus disadari oleh pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dan menyuarakan pelarangan terhadap killer robots, dan mungkin akan menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia kedepannya.

 


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Thifani Tiara Ranti

Annual Convention on Global South #1: Revolusi Industri 4.0 dan Kerjasama Global South

Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM) telah menyelenggarakan acara Annual Convention on Global South atau GoSouth pada tanggal 5 dan 6 November 2019. Sebagai program perdana, GoSouth edisi perdana mengundang pembicara-pembicara dari lingkup nasional maupun internasional.  Acara ini disponsori oleh Bank Mandiri, Chandra Asri Petrochemical dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Indonesia.

Pada hari pertama, GoSouth beragendakan sesi seminar internasional dengan menghadirkan 4 pembicara yang membawakan materi terkait Global South dan Industri 4.0. Pada sesi pertama, IIS UGM mengundang Prof. Ashok Acharya, Profesor Ilmu Politik dari University of Delhi dan Prof. Mohtar Mas’oed, Profesor Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Pada sesi pertama, Cut Intan Aulianisa Isma selaku manajer dari IIS UGM berperan menjadi moderator. Pada sesi kedua, dihadirkan dua pembicara lain yaitu Shita Laksmi, Manajer Proyek Asia Diplo Foundation dan Nanang Chalid, Wakil Pimpinan Tokopedia. Treviliana Eka Putri, dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi moderator pada sesi ini.

Sesi hari pertama dibuka dengan sambutan dari Prof. Panut Mulyono, selaku rektor Universitas Gadjah Mada, yang mengingatkan kita akan perkembangan dunia dengan mengikuti revolusi industri 4.0 dimana teknologi telah berkembang dengan pesat dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik internasional. LAWs, AI dan Big Data kini dapat mempengaruhi ranah sosio-politik, menjadikan revolusi industri 4.0 bukan hanya sebagai fenomena global namun juga sebagai agenda global. Dibalik signifikansinya, revolusi industri 4.0 juga membawa tantangan, dan kita harus siap dalam menghadapi tantangan tersebut.

Sesi pertama dibuka oleh Cut Intan Aulianisa Isma selaku moderator, dengan tema “Global South : Perspective in International Relations”. Sesi pertama dibuka oleh Prof. Ashok Acharya yang membawakan materinya dengan topik “Rekindling the Bandung Spirit : Transnational Justice and the Global South”. dalam materinya, beliau menekankan kepada signifikansi dari Bandung Spirit dalam menghadapi RI 4.0 sebagai masyarakat Global South. Globalisasi mendatangkan banyak janji dan peluang, namun diikuti oleh problematika seperti ketimpangan yang meluas. Dalam hal ini, Bandung Spirit berperan sebagai katalis pemersatu dan norma global dalam menghadapi isu transanasional, khususnya global justice issue. Problematika global inequality haruslah direspon oleh sebuah koperasi global, namun tantangannya adalah untuk menemukan sebuah norma yang akan diikuti oleh seluruh negara-negara yang terkait, baik utara maupun selatan. Prof. Ashok mengakhiri materinya dengan membawa konsep Global/Transnational Justice, sebagai sebuah gerakan yang dimotori prinsip keadilan distributif yang diaplikasikan dari tingkat domestik hingga global.

Apabila Prof. Ashok Acharya menekankan kepada tantangan di level global, Prof. Mohtar Mas’oed justru memandang fenomena Global South dari sudut pandang Indonesia lewat materinya,“Technologically Challenged Global South : An Indonesian Perspective”. Dalam materinya tersebut, Prof. Mohtar menekankan bahwa bagi Indonesia untuk menaiki gelombang perkembangan teknologi dibutuhkan  respon cepat terhadap perkembangan teknologi yang merupakan solusi neoliberal untuk krisis produksi kapitalis, dan hanya membawa keuntungan bagi sebagian golongan yang siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Sebagian negara selatan tertinggal karena konsekuensi politik, ekonomi dan sosial dari kesenjangan global yang berkembang dengan pesat, sementara keuntungan ekonomi dan sosial yang dibawa oleh perkembangan teknologi tetaplah terpusat pada negara-negara maju. Sehingga pada akhirnya negara negara Global South tetap mengandalkan teknologi yang kalah berkembang dari teknologi yang digunakan negara-negara maju. Indonesia tentu saja juga menjadi salah satu negara berkembang yang harus beradaptasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, karena area STI (Science, Technology and Innovation) yang tertinggal jauh dari negara-negara maju. Prof. Mohtar menutup paparannya dengan mengingatkan akan dilema hubungan selatan-selatan dengan membandingkan spirit solidaritas Konferensi Bandung 1955 dengan Realpolitik, yang menyebabkan fragmentasi diantara negara-negara Global South.

Setelah kedua pemapar selesai memaparkan materinya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang cukup progresif karena minat para peserta terhadap topik perkembangan teknologi dan industri 4.0. Selepas sesi tanya jawab, para pembicara dan peserta dipersilakan untuk menikmati makan siang dan melaksanakan ibadah sebelum dilanjutkan pada sesi kedua yang menghadirkan Shita Laksmi dan Nanang Chalid dengan moderator Treviliana Eka Putri bertema “Industry 4.0 In the Global Context”

Sesi kedua dimulai oleh Nanang Chalid, yang memulai sesi dengan sedikit membagikan pengalaman beliau sebagai alumni HI UGM yang membantunya dalam mencapai posisinya sekarang. Nanang memaparkan, bahwa Asia Tenggara dan Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Ekonomi Asia Tenggara sudah mulai berkembang dan menyesuaikan dengan proses digitalisasi, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup progresif dalam proses tersebut. E-commerce berkembang dengan pesat di Asia Tenggara, diiringi dengan peningkatan pengguna internet yang cukup drastis. Indonesia sendiri memiliki potensi e-commerce yang masif, karena menyediakan keuntungan finansial, dan lapangan kerja. Tokopedia yang menyadari potensi yang dimiliki oleh Indonesia, dapat sigap bergerak sebagai sebuah ekosistem penggerak ekonomi, yang menyediaka kemudahan, kemajuan dan kelebihan praktis kemajuan teknologi dalam aspek komersil. Di saat yang bersamaan, Tokopedia juga dapat berperan menjadi aktor yang membantu pemerintah dengan mengintegrasikan beberapa layanan pemerintah dengan layanan e-commerce yang diberikan. Dengan signifikansi peran tersebut, Tokopedia muncul sebagai salah satu pelopor industri 4.0 di Indonesia, sekaligus memberikan peluang bagi masyarakat untuk berperan sebagai pelaku ekonomi digital.

Shita Laksmi memandang revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi yang dibawanya sebagai sebuah tantangan, dan pengaruhnya kepada dunia Hubungan Internasonal. AI (artificial intellegence) dan perkembangannya yang pesat menyediakan alternatif tenaga kerja baru yang presisi dan mungkin dapat berperan didalam proses diplomasi, dimana AI dapat berperan baik sebagai alat diplomasi ataupun topik diplomasi. Contohnya, AI dapat berperan dalam pemprosesan teks diplomasi, karena presisi kerja yang tidak terganggu oleh faktor human error. AI juga dapat berperan dalam banyak sektor, seperti keamanan, ekonomi dan pengembangan luar angkasa, sehingga kita harus siap akan hadirnya AI dalam kehidupan sehari hari. Kembali kepada konteks hubungan internasional dan diplomasi, Kementerian Luar Negeri dan para diplomat juga harus bersiap dengan melakukan beberapa hal seperti inovasi, capacity building dan indicator track efforts untuk beradaptasi dengan perkembangan AI. Dalam konteks Global South, Shita mempertanyakan apakah perbedaan diantara utara dan selatan, serta relevansi pemisahan antara utara-selatan, karena relevansinya masih bisa diperdebatkan. Shita juga memaparkan contoh kebangkitan Cina, yang menurutnya justru memberi Cina pemenuhan kualifikasi sebagai negara utara.

Seusai pemaparan kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab kedua yang masih berjalan dengan cukup progresif diantara peserta seminar dan para pembicara. Sesi hari pertama dilanjutkan dengan pidato penutupan oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM dan inisiator dari konvensi GoSouth, yang menandakan berakhirnya hari pertama dari Annual Convention on Global South.

 


Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Angganararas Indriyosanti & Thifani Tiara Ranti

Relasi Indonesia-Rusia: Menilik Sejarah dan Membaca Prospek

Institute of International Studies — kembali menyelenggarakan kegiatan Ambassadorial Lecture pada Jumat (9/11) lalu. Edisi kuliah duta besar kali ini menghadirkan H. E. Lyudmila Georgievna Vorobieva, Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia. Kegiatan dilaksanakan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada dengan mengangkat tema “Russia in the Contemporary Global Politics, Its Power, Its Role and Its Leadership”.

Dalam paparannya, H.E. Lyudmila menyatakan bahwa Indonesia dan Rusia, secara historis, telah memiliki hubungan baik. Relasi ini telah dibangun sejak abad ke-17, ketika Rusia pertama kali membuka konsulat di Batavia pada tahun 1693. Hubungan ini kian menguat di bawah pemerintahan Soekarno dengan diadakannya kerjasama di berbagai lini.

Soekarno refers to Russians as brothers, and used the terms ‘Jauh di Mata Dekat di Hati’ ” ujar H.E. Lyudmila menegaskan.

Hingga kini, bukti kerjasama bilateral tersebut masih dapat ditemui, baik di Indonesia maupun Rusia. Salah satunya adalah Blue Mosque atau Masjid Biru di Moskow yang sampai sekarang masih menjadi ikon kultur Islam di Rusia. Blue Mosque direstorasi berdasarkan permintaan Presiden Soekarno kepada Presdien Nikita Khrushchev dalam salah satu kunjungannya ke Rusia.

Indonesia and Russia built a steady partnership in several sectors like Gelora Bung Karno, Rumah Sakit Persahabatan, and many more. This became the crystallization of the sweet relations between Soekarno’s Regime and the Pre Russian Federation government (USSR)” tambah H.E. Lyudmila.

Demikian pula secara kultural, jejak relasi Indonesia-Rusia dapat ditemukan pada lagu-lagu Indonesia yang dikenal erat, bahkan ditranslasikan ke Bahasa Rusia, seperti  lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ dan salah satu lagu berbahasa Sunda.

Meski sempat merenggang pasca berakhirnya pemerintahan Soekarno, relasi mampu dikembalikan dan dipelihara dengan baik hingga kini.

For Russia, Indonesia is one of the most important ally in South-East Asia and Pacific Region, both in politic and economic sector. Hopefully, Indonesia and Russia will keep maintain friendly relationship and become an important partner in the future” ungkap Lyudmila.

Kerjasama kedua negara ini diharapkan tidak terhenti, terlebih menguat dalam berbagai sektor.  H.E. Lyudmila turut berpesan bahwa Indonesia dan Rusia, sebagai kekuatan global yang sedang bangkit, harus beradaptasi untuk menjawab tantangan global dan menjadi kekuatan dengan caranya sendiri. Bagi Rusia, soft power dan dialog antarnegara adalah  fokus utama, dan kerja sama dengan Indonesia diharapkan akan tetap berlanjut melalui cara-cara ini pula.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara Ranti

Annual Convention on Global South #2: Memandang Revolusi Industri dan Hubungan Internasional Melalui Tiga Kacamata Berbeda

Rabu, (6/11) hari ke-2 dari rangkaian acara Global South Conference 2019. Acara yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM). Setelah pemaparan materi seputar perspektif Global South mengenai Revolusi Industri 4.0 dalam konteks global oleh berbagai akademisi dan praktisi di bidang teknologi pada hari pertama. Hari kedua dilanjutkan dengan sesi diskusi secara lebih rinci di masing-masing panel. Sesi ini terbagi atas tiga panel yang mewakili masing-masing konsentrasi dari DIHI UGM, yaitu International Political Economy and Development, Peace and Conflict Studies, dan Global Politics and Security.

Setelah melalui rangkaian pengumpulan dan seleksi abstrak hingga pengumpulan full paper, masing-masing paper presenter yang telah diseleksi oleh tim materi Global South Conference hadir untuk memaparkan hasil risetnya masing-masing. Hasil riset yang disampaikan tentunya seputar dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap hubungan internasional yang dikaitkan dengan salah satu dari tiga konsentrasi diatas.

Dalam panel International Political Economy and Development, yang dimoderatori oleh Indrawan Jatmika selaku peneliti Institute of International Studies serta Muhammad Rum selaku dosen DIHI UGM,  terdapat sebelas paper presenter dengan hasil risetnya masing-masing, diantaranya seputar Big Data dari perspektif Selatan, Belt and Road Initiative, Trade War, Revolusi Industri 4.0 sebagai peluang kerjasama internasional, Global Value Chain, dan Free Trade. Sedangkan di panel Peace and Conflict Studies, terdapat sepuluh paper presenter yang mempresentasikan hasil risetnya. Di sesi pertama, panel ini dimoderatori oleh Angganararas Indriyosanti selaku peneliti Institute of International Studies dan sesi kedua dimoderatori oleh Indrawan Jatmika. Tulisan yang dipresentasikan seputar perdamaian dan konflik di Bangladesh, konflik dan krisis identitas di Rohingya, perubahan persepsi gender di Rohingya, serta gerakan sosial dan diseminasi informasi di era digital. Panel terakhir, yaitu panel Global Politics and Security dimoderatori oleh Randy Wirasta Nandyatama dan Treviliana Eka Putri, selaku dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. Dalam panel ini terdapat sembilan paper presenter dengan berbagai topik seputar informasi sebagai instrumen kekuasaan di era Revolusi Industri 4.0, dampak arus pengungsi Rohingya terhadap komunitas lokal, serta social media’s blackout di Srilanka. Setiap sesi presentasi diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab dua arah antara presenter dan peserta, mengingat diskusi panel ini terbuka untuk umum. Dalam ketiga panel diatas, paper presenter berasal dari berbagai universitas dari dalam maupun luar negeri.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Thifani Tiara Ranti

Globalization Talk #2: Mendiskusikan Sektor Pariwisata dalam Menghadapi Globalisasi

Meski membawa dampak positif dengan terbangunnya konektivitas yang lebih, pelaku usaha pariwisata pula dituntut melakukan berbagai perubahan akibat adanya globalisasi. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki fokus terhadap sektor pariwisata ialah Kabupaten Gunung Kidul. Menjadi tantangan tersendiri bagi para stakeholders di Kabupaten Gunung Kidul untuk melakukan berbagai penyesuaian yang diperlukan dalam menyongsong globalisasi dan segala dampak yang ada bersamanya. Guna mendiskusikan hal tersebut secara lebih mendalam, pada Selasa (15/10), Institute of International Studies bekerjasama dengan Kelas Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum Globalization Talk yang ke-2 “Manajemen Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul: Peluang dan Tantangan dalam Era Globalisasi”.

Kegiatan dilaksanakan di Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul dan dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Kelompok Sadar Wisata dari berbagai desa wisata di Gunungkidul, pengurus dinas pariwisata maupun dinas-dinas terkait di Kabupaten Gunung Kidul, serta stakeholder sektor pariwisata Kabupaten Gunung Kidul lainnya. Forum diharapkan dapat memberi dampak positif dengan memicu adanya pengembangan pariwisata yang lebih inovatif. 

Sebagai konsekuensi globalisasi, dengan mudah ditemukan beberapa keuntungan yang mampu mengoptimalkan pengembangan pariwisata di Gunung Kidul. Menurut Yuni Hartini, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Gunung Kidul, kemudahaan untuk mengakses informasi serta promosi via media massa menghasilkan masyarakat setempat yang semakin terbuka terhadap potensi dan pengembangan pariwisata lokal. Sepakat dengan hal tersebut, Budi Subaryadi dari Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Nglanggeran menyatakan bahwa globalisasi memberikan alternatif bagi metode pemasaran, yakni tak hanya melalui media cetak, tetapi juga media sosial.

Namun, bersamaan dengan itu, para stakeholder menyatakan terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula. Salah satu tantangan yang menjadi PR besar para pengelola sektor pariwisata ialah tantangan infrastruktur. Yuni menyatakan bahwa dampak globalisasi yang masif belum didampingi dengan adanya sarana prasarana yang maksimal yang dapat mendukung kegiatan pariwisata, terutama akses lalu lintas yang seringkali diterpa kemacetan dan belum menemukan solusi.

Tak hanya itu, sumber daya manusia juga menjadi tantangan atas globalisasi yang harus dihadapi, pasalnya sumber daya manusia yang bertugas mengelola media informasi sebagai sarana pemasaran masih kurang memadai. Serupa dengan hal tersebut,  Budi Subaryadi menyatakan bahwa keterbatasan ketersediaan pengelola masih menjadi masalah.

“Terkadang banyak masyarakat yang masih malas ikut, sehingga tidak ada regenerasi masyarakat yang bertanggungjawab mengelola pariwisata yang ada” tambah Budi

Menjembatani diskusi tersebut, Dr. Riza Noer Arfani, Direktur dari Institute of International Studies, memaparkan pandangannya atas fenomena ini dengan perspektif akademisi. Arfani menyatakan bahwa dalam menghadapi globalisasi, diperlukan adanya kompromi antara globalisasi itu sendiri dengan aspek lokal pariwisata. Dr. Riza menyebutnya sebagai “Glokal”, di mana pariwisata dapat dikembangkan secara global dengan tetap menganut nilai lokal secara sinergis. Dengan menganut konsep ini, diharapkan akan ada pembangunan sosial yang lebih merata dan terbangun integrasi dalam pengembangan pariwisata. Tak hanya itu, Arfani pula menambahkan pentingnya kerjasama antarpihak dalam menghadapi globalisasi.

“Selain itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah adanya kerja sama di antara berbagai pihak, seperti pihak lokal dengan leading firm di luar agar pariwisata mengglobal” tambah Dr. Riza.

Sesi paparan tersebut diikuti dengan diskusi antar para pemangku kepentingan pariwisata di Gunungkidul dan ditutup dengan kunjungan Kelompok Sadar Wisata Gunungkidul.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara Ranti

  

Beyond the Great Wall #5: Menilik Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina

Dewasa ini, peran Cina dalam panggung internasional semakin meluas. Hal ini dapat dilihat melalui proyek kerjasama Cina yang semakin ekspansif, terutama melalui Belt and Road Initiative (BRI). Keberhasilan BRI sebagai salah satu proyek besar Cina ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai aspek, baik domestik maupun terkait relasinya dengan negara lain. Terdapat berbagai peluang dan tantangan yang dapat mempengaruhi kerja sama Cina, termasuk dalam BRI. Untuk itu, pada Jumat (11/10) lalu, Institute of International Studies kembali mengadakan forum Beyond the Great Wall untuk ke-5 kalinya dengan mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina”. BTGW kali ini menghadirkan Umi Qodarsasi, S.IP, M.A, dosen program studi pemikiran politik IAIN Kudus, dan William Help, Presiden Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Universitas Gadjah Mada.

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan Umi mengenai “Cina di Afrika: Peluang dan Tantangan BRI.” Cina turut menjalin kerja sama ekonomi dengan Afrika karena Afrika dipandang sebagai “the rising continent” dan “the hopeful continent”. Pandangan ini muncul karena adanya prediksi bahwa perekonomian Afrika akan terus berakselerasi. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Afrika antara lain ialah meningkatnya permintaan global akan minyak, emas, logam, dan mineral yang merupakan salah satu cadangan utama Afrika; urbanisasi dan potensi penduduk usia muda sebagai tenaga kerja; serta meningkatkan ekspor untuk mendorong investasi yang besar.

Afrika menjadi region yang menyuplai pasokan sumber daya alam bagi Cina sekaligus pasar untuk produk dan jasa dari Cina. Hal ini semakin memperkuat posisi Cina di Afrika, terutama karena Cina berusaha melindungi apa yang menjadi kepentingannya. Bentuk kerja sama antara Cina dan Afrika termanifestasikan dalam Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC), di mana FOCAC merupakan platform kerja sama multilateral antara Cina dengan negara-negara Afrika. FOCAC membawa perubahan yang signifikan bagi hubungan Cina dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika, di mana Cina menjadi mitra pembangunan utama bagi Afrika, baik di bidang perdagangan, investasi, maupun bantuan dan hibah.

Afrika merupakan salah satu wilayah yang terlibat dalam proyek BRI sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang saling membutuhkan antar keduanya. Di satu sisi, negara-negara yang dilalui jalur BRI akan mendapat investasi yang lebih besar, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur, di mana di Afrika sektor energi dan transportasi yang menjadi fokus utama. Cina memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman berjumlah besar (big loans) pada Afrika dengan kompensasi dalam bentuk kekuasaan Cina atas sektor mineral dan minyak di Afrika. DI sisi lain, Afrika dan seluruh sumber dayanya juga turut menguntungkan Cina.
Menurut Umi, tantangan BRI bagi negara-negara Afrika ialah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi dengan kondusifitas kondisi politik negara, hal ini memicu masing-masing negara Afrika untuk tetap memiliki kondisi politik yang kondusif dan menjaga kualitas good governance agar dapat terus berpartisipasi dalam BRI. Di lain sisi, eksistensi BRI pula harus mendorong daya saing produk domestik dan melahirkan adanya inovasi produk. Namun, ketergantungan negara-negara Afrika kepada Cina dan bantuannya juga menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi.

“Bantuan yang diberikan harus disertai pembangunan domestik dan digunakan secara proporsional agar tidak terjadi ketergantungan. Negara-negara Afrika harus membangun kedaulatan dan perekonomian secara mandiri agar terhindar dari apa yang negara-negara barat khawatirkan sebagai bentuk neokolonialisme,” ujar Umi menutup pemaparannya.\

Pemaparan dilanjutkan oleh William yang membahas mengenai dampak tensi Cina dan Hong Kong terhadap BRI. Jika dilihat lebih jauh, tensi antara Cina dan Hong Kong mulai terjadi sejak tahun 2011. Namun, baru-baru ini diperparah dengan adanya extradition law bill yang kembali memperparah tensi antar keduanya.

Dalam kaitannya dengan BRI, Kepentingan dan prioritas BRI di Hong Kong dapat dilihat melalui 5 indikator, yaitu people to people bond, financial integration, unimpeded trade, policy coordination, dan facilities connectivity. Hong Kong sendiri membawa keuntungan bagi BRI karena tidak hanya berfokus pada sektor raw materials (mentah), tetapi juga sektor manufaktur.
Selain itu, Hong Kong memiliki perekonomian yang sangat terbuka dengan koneksi eksternal yang luas dan kuat. Proyek BRI yang melibatkan Hong Kong ada di bidang perdagangan dan ekonomi, inovasi dan teknologi, layanan keuangan, pertukaran orang, serta logistik internasional, pengiriman, dan transportasi.

Dalam melihat pengaruh tensi antara Cina dan Hong Kong terhadap BRI, William menggunakan alat analisis konflik bawang (onion tool) dengan melihat kebutuhan, kepentingan, dan posisi dari masing-masing pihak. Menurut William, BRI merupakan kepentingan (interest) dari Cina dan Hong Kong. Cina dan Hong Kong sama-sama ingin menyejahterakan variabel-variabel yang ada di setiap pihak yang berkonflik (dalam bidang ekonomi).

Selama posisi Beijing di Hong Kong masih terjaga dan memegang status quo, proyek BRI di Hong Kong memiliki tendensi untuk terganggu, kecuali dalam hal-hal yang bersifat lebih teknis seperti adanya boikot produk Cina. Meski demikian, BRI memberikan dampak yang positif dan menguntungkan bagi Cina dan Hong Kong.

Humanitarian Talk : Mencari Jalan Baru Damai Papua

Jumat, 5 Oktober 2019, Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum diskusi Humanitarian Talk bertajuk “Mencari Jalan Baru Damai Papua” di Ruang Sidang Dekanat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Forum ini diselenggarakan sebagai respon atas isu kekerasan dan kerusuhan di Papua yang memuncak di Wamena. Berawal dari ide Dr. Luqman-Nul Hakim, dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, kegiatan ini dibungkus dengan format diskusi akademik yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan isu di Papua, mulai dari dosen berbagai departemen, tenaga riset dari aneka pusat studi UGM, serta Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Dalam kesempatan tersebut, dihadirkan tiga pembicara yang memiliki perhatian khusus dengan isu Papua, yakni, Dr. Richard Chauvel dari Asia Institute, University of Melbourne yang sempat menjabat sebagai konsultan International Crisis Group in Papua; Amiruddin Al-Rahab, komisioner Komnas HAM dan koordinator Penegakkan HAM sekaligus aktivis di Papua Resource Center; Fransiskus Agustinus Djalong, M.A., peneliti senior PSKP sekaligus Dosen Departemen Sosiologi UGM yang memiliki fokus kajian konflik dan perdamaian dalam kerangka interlinkage security, development dan democracy. Ketiga pembicara bergantian memaparkan materinya sebelum diikuti oleh sesi tanya jawab dan diskusi. 

Diskusi dibuka dengan pemaparan oleh Richard Chauvel yang memaparkan pandangannya terkait eskalasi konflik di Papua. Menurut Richard, konflik Papua memiliki sejarah yang sangat panjang dan menjadi awal dari konflik yang sering terjadi belakangan ini. Identitas Papua menjadi suatu isu yang sensitif, di mana masyarakat Papua yang terlibat dalam program urbanisasi ke Jawa oleh pemerintah pusat dengan tujuan menumbuhkan nasionalisme serta menguatkan identitas ke-Indonesia-an, tetapi isu rasisme dan diskriminasi yang ditujukan kepada masyarakat Papua justru membuat identitas Papua menjadi lebih kuat. Misalnya, kasus kerusuhan yang terjadi dengan melibatkan kelompok mahasiswa Papua yang sempat terjadi di Surabaya belum lama ini. Seolah belum cukup, masalah juga diperkeruh oleh pemerintah yang seringkali menggunakan militer dan aparat kepolisian untuk “memadamkan” gerakan nasionalisme Papua, alih-alih memilih jalan negosiasi dan dialog dengan representasi masyarakat.

Di sisi lain, isu rasisme juga muncul saat para pendatang datang ke Papua. Identitas ras yang berbeda justru menciptakan sebuah segregasi yang justru merugikan dan menyakiti masyarakat Papua di tanahnya sendiri. Perlakuan tidak adil dari pemerintah memperkeruh suasana, di mana segala kasus kerusuhan dan kekerasan dibungkus sebagai problematika dan juga kesalahan masyarakat Papua yang alih-alih menerima heterogenitas Indonesia, malah memilih menyuarakan identitas sebagai masyarakat Papua ketimbang identitas sebagai bagian dari Indonesia. Padahal, masyarakat Papua, dalam kasus ini, justru menjadi korban dari diskriminasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat, hingga sesama kelompok masyarakat. Oleh karena itu, Richard juga mengajak para peserta diskusi untuk memandang konflik di Wamena dengan konteks yang lebih luas.

Pada sesi kedua, Amiruddin memaparkan analisisnya mengenai akar permasalahan di antara hubungan pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Papua, bukan hanya menjadi provinsi yang paling jauh dari pemerintah pusat, kebijakan Papua juga terasa paling jauh dibincangkan. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman pemerintah pusat akan kepentingan masyarakat Papua. Berawal dari pemekaran provinsi, Papua telah menjadi subjek kebijakan yang salah sasaran. Hal ini tercermin pada kebijakan -kebijakan tiap presiden untuk Papua yang selalu berbeda, dan tidak pernah berkesinambungan, di mana kebijakan untuk Papua yang telah digagas oleh satu presiden hanya akan di-’reset’ kembali oleh presiden selanjutnya dengan kebijakan yang baru sesuai dengan apa yang dirasakan pemerintah berkuasa tentang latar belakang masalah Papua. Akibatnya, Papua seolah terasing dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat karena kebijakan pusat yang tidak tepat sasaran. Lebih jauh lagi, Amiruddin juga mengatakan bahwa aksi kekerasan dan kerusuhan yang muncul belakangan ini, seolah dipandang sebagai murni kesalahan masyarakat Papua, padahal pada kenyataannya pemerintah pusat juga turut bersalah dalam memicu situasi tidak kondusif ini.

Dalam mengidentifikasi masalah di Papua, pemerintah pusat juga telah melakukan kesalahan, di mana dialog yang dilakukan oleh pemerintah pusat cenderung ditujukan dengan segelintir orang dan kelompok yang justru memiliki kepentingan sama dengan pemerintah pusat, alih alih menyuarakan kepentingan masyarakat Papua. Pada akhirnya, pemerintah berdalih bahwa kepentingan dan aspirasi masyarakat Papua telah terpenuhi, meskipun pada kenyataannya, pemerintah pusat tutup mata atas aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh representasi masyarakat, dan justru menjustifikasi ketidakpeduliannya lewat dialog yang tidak mencerminkan suara masyarakat Papua. Problematika inilah yang memicu munculnya rasisme dan alienasi terhadap masyarakat Papua, yang notabene menjadi korban dari inkompetensi pemerintah pusat dalam mewadahi aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua. 

Pada sesi terakhir, Frans menutup sesi pembicara dengan mengangkat seputar isu rasisme yang muncul dan berujung kepada masalah yang tidak kunjung berakhir. Frans menyatakan, bahwa rumusan masalah akan konflik Papua tidak dapat dimonopoli karena rumitnya sejarah konflik tersebut. Kita tidak boleh melupakan bahwasanya Papua pun memiliki identitas yang bersifat jamak, dan tidak bisa seterusnya ditekan untuk menyingkirkan identitas Papua dan menggantikannya dengan identitas Indonesia, sementara masyarakat Papua masih menerima diskriminasi dan menjadi subyek rasisme dari berbagai pihak, dan ironisnya, negara turut berperan dalam menciptakan situasi tersebut. Kebijakan negara yang cenderung menganak-tirikan Papua pun turut memicu rasisme dan sudah dapat digolongkan sebagai sebuah state crime. Kebijakan Pemerintah pusat yang memarginalisasikan masyarakat Papua turut ambil andil dalam memelihara rasisme yang ditujukan kepada masyarakat Papua.

Seusai ketiga pembicara memaparkan materinya, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab untuk mendiskusikan tema sekaligus menutup acara. Tidak terasa, sesi tanya jawab yang seharusnya hanya dialokasikan sebanyak 1 sesi dengan 3 orang penanya, harus diperpanjang menjadi dua sesi karena minat para audiens, terutama dari perwakilan mahasiswa Papua yang hadir. Sesi tanya jawab berjalan dengan progresif, karena banyak peserta yang ingin mengungkapkan pertanyaan dan juga pendapatnya tentang isu Papua, memenuhi tujuan awal forum ini untuk berbagi informasi dan pengetahuan tentang konflik Papua.

Rumitnya konflik Papua mengarahkan kita kepada sebuah situasi, dimana konflik ini sudah tidak lagi hanya tentang rasisme semata. Kombinasi dari state crime yang memicu rasisme, framing dimana pemerintah cenderung membuang muka dan tidak peduli akan Papua, identitas Papua yang semakin menguat karena rasisme yang mereka terima dan faktor-faktor lain menjadikan resolusi konflik ini sulit dicapai. Untuk mencari jalan baru untuk damai di Papua, diperlukan niat yang baik dari semua aktor yang terlibat untuk duduk bersama, mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, dan kemudian mencari jalan untuk resolusi konflik berkepanjangan ini. Kita tidak boleh lupa, Papua adalah bagian dari Indonesia dan masyarakat Papua adalah saudara kita. Untuk mencari jalan damai, diperlukan dialog yang memfasilitasi aspirasi dan keluhan yang selama ini dipendam oleh masyarakat Papua.


Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Thifani Tiara

Jogja Creative Industry Forum: Platform Pertemuan dan Diskusi Praktisi Industri Kreatif Yogyakarta

Menurut Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), saat ini industri kreatif menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, nilai ekspor Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya mendudukki peringkat ke-8 nasional dengan nilai ekspor produk ekonomi kreatif sebesar 1,26%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah dan daya saing industri kreatif di DIY belum mencapai potensi maksimal karena terdapat beberapa faktor yang menghambat kemampuan ekspor dan usaha para pelaku industri kreatif untuk terintegrasi dalam pasar global.

Berangkat dari persoalan tersebut, peserta kelas Global Value Chain Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), bekerja sama dengan Institute of International Studies dan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM menyelenggarakan Talkshow Jogja Creative Industry Forum (JCIF), pada Rabu, 18 September 2019 berlokasi di Digital Library Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

JCIF bertujuan menjadi wadah bertemunya perwakilan dari beragam latar pendidikan dan profesi yang berkenaan dengan industri kreatif sekaligus menjadi sarana inisiasi strategi think-tank dalam sektor industri kreatif. Kegiatan dikemas dalam bentuk talk show guna memberi ruang pada pelaku usaha industri kreatif, pemerintah, akademisi serta publik untuk berdikusi mengenai tantangan dan peluang dalam sektor ekonomi kreatif di DIY, publik pun dapat ikut serta berdiskusi dalam kegiatan tersebut.

Talk show JCIF dibagi dalam dua sesi, di mana sesi pertama membahas seputar sinergi yang perlu dibangun antara pemerintah dan pengusaha dalam meningkatkan sektor industri kreatif DIY di pasar global, sementara sesi kedua membahas mengenai potensi rencana strategis yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam rangka upgradingguna memasarkan produk dan jasanya.

Sesi hari itu dibuka oleh Rendro Prasetyo, penyuluh Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi DIY dengan memberikan gambaran mengenai industri kreatif di Yogyakarta. Rendro menyatakan bahwa industri kreatif di Yogyakarta memiliki potensi yang besar tetapi pelaksanaannya belum optimal. Selain itu, terdapat beberapa peluang yang harus dimanfaatkan, seperti tingginya jumlah sumber daya manusia kreatif di Yogyakarta; adanya upaya aktif dari komunitas industri kreatif; adanya dukungan perguruan tinggi; adanya dukungan Sekolah Menengah Kejuruan; dan adanya citra Yogyakarta sebagai kiblat industri kreatif. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula dalam memaksimalkan potensi-potensi tersebut, seperti pembagian urusan industri kreatif antar operasi daerah yang belum jelas; belum adanya pangkalan data industri kreatif yang baik; banyaknya permasalahan di industri kreatif; industri kreatif yang mudah puas dan tidak melakukan upgrading diri; serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang belum jelas.

Talk show dilanjutkan dengan sharing dari pemilik industri kreatif. Pemilik industri kreatif yang hadir pada kegiatan hari itu datang dari berbagai klaster, termasuk klaster industri fesyen, industri daur ulang, industri kesehatan berbasis komunitas, serta industri kuliner. Dalam diskusi tersebut, para pelaku industri kreatif membagikan beberapa tips terkait melakukan usaha industri kreatif di Yogyakarta.

Salah satunya ialah Drg. Ferry Yuliana Syarif, founder dari Gendhis Bag yang bergerak dalam industri fesyen, menyatakan bahwa dalam menjalankan industri kreatif segala aktivitas yang dilakukan harus dari hati, dalam artian semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan bukan hanya berorientasi pada materi. Prinsip “bisnis dari hati” ini tampak dari cara Gendhis Bag berbagi tentang cara produksi ke berbagai industri mikro di aneka daerah di Indonesia hingga mengembangkan sumber daya manusia yang ada.  Tips lainnya yang dibagikan Drg. Ferry ialah harus adanya pengembangan bisnis dengan basis business-to-business (B2B), selalu memiliki inovasi dan kreativitas, tim yang solid, dan sosial media yang kuat.

Senada dengan Drg. Ferry yang memiliki dampak sosial dalam menjalankan industri kreatif, Sekti Mulatsih, founderdari Rakyat Peduli Lingkungan atau lebih dikenal dengan sebutan RAPEL juga dihadirkan untuk berbagi mengenai usaha yang ia jalankan.  Inisiasi RAPEL lahir dari kegelisahan Sekti mengenai lingkungan karena ditemukannyamissing link dalam proses pengolahan sampah di Indonesia. Alhasil, RAPEL lahir sebagai industri yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Yogyakart

Pandangan dari para pemilik industri kreatif tersebut kemudian dilengkapi dengan pandangan dari beberapa pakar yang dunianya bersinggungan dengan industri kreatif. Pakar-pakar tersebut meliputi Drs. Prijo Mustiko, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, yang menyatakan bahwa perlu adanya kerjasama quadrohelix di antara akademisi, bisnis, komunitas, dan birokrasi pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif; serta Dian Prijomustiko dari Bali Industry Creative Center yang menggarisbawahi beberapa aksi yang harus diambil oleh pemerintah apabila ingin mengembangkan industri kreatif, yakni harus adanya “burning platform”, reviu regulasi yang sudah ada, kebijakan yang mengatur industri kreatif, serta rencana strategis pemerintah.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara

Beyond the Great Wall #4 : Cina : Masa Lalu dan Masa Depan

Masa lalu dan masa depan adalah dua periode kontradiktif yang seringkali tidak dapat dibahas dalam satu sesi diskusi. Namun, dalam konteks sebuah negara, masa lalu dan masa depan menyimpan signifikansi yang sama dan tidak kalah penting. Dibalik peningkatan perannya dalam konstelasi politik global, Cina tentunya memiliki masa lalu yang kaya dan patut untuk dibahas. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil Cina di dalam politik global, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja masa lalu Cina yang juga menjadi landasan Cina di masa modern. Kontradiksi diantara dua kata kunci “masa lalu” dan “masa depan” inilah, yang menjadi topik dari Forum Beyond The Great Wall kali ini.

Edisi #4 Forum Beyond The Great Wall (BTGW) memiliki tajuk “Cina : Masa Lalu dan Masa Depan” untuk menyesuaikan disimilaritas di antara materi yang dibawakan, kegiatan BTGW menghadirkan Irfan Halim S.Psi, Asisten Klinik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Arindha Nityasari S.IP, Peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada. Berbeda dengan topik-topik diskusi BTGW sebelumnya, diskusi kali ini mengangkat tema yang menggambarkan dua aspek kontradiktif atas Cina. Irfan menyinggung masa lalu Cina dengan membahas Uighur lewat perspektif psikologi sejarah dan bagaimana isu ini dikaitkan dengan ilmu Hubungan Internasional, sementara Arindha memandang masa depan Cina dengan mendiskusikan prospek dan tantangan perkembangan Artificial Intelligence di Cina dengan mereview buku “A.I Superpowers : China, Silicon Valley and The New World Order” karya Kai Fu Lee.

Irfan memulai sesi pertama dengan memaparkan materi terkait sejarah etnik Uighur yang selama ini menerima diskriminasi dan tersegregasi dari masyarakat maupun pemerintah Cina. Ilmu Psikologi dan Ilmu Hubungan Internasional yang sekilas tidak dapat disandingkan bersama, menjadi landasan Irfan untuk mengangkat isu ini. Di mana, keduanya relevansi ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan mandat Konstruktivisme. Sebagai sebuah ilmu yang bersifat micro-oriented, tentunya Ilmu Psikologi akan kesulitan memberikan analisis makro yang dibutuhkan dalam menganalisa dunia hubungan internasional. Namun, konstruktivisme, dalam hal ini, hadir untuk memahami sejarah maupun struktur sosial yang ada dan dapat dikaitkan dengan Ilmu Psikologi yang berusaha memahami aktor-aktor, yang bertindak dipengaruhi oleh socio-environment, di dalam suatu peristiwa.

Dalam konteks relasi Cina-Uighur, Irfan menekankan bahwa bahasa dan narasi berkaitan erat dengan perspektif masyarakat internasional atas isu tersebut. Narasi yang dibuat oleh masyarakat Uighur tentang bagaimana opresi Cina, tentunya berlawanan dengan narasi pemerintah Cina yang menganggap bahwa Uighur merupakan sebuah gerakan separatis yang sistematis. Lebih jauh, Irfan memaparkan kasus di mana pemerintah Cina memfabrikasi gerakan damai atau gerakan kecil untuk membuat negara sebagai sebuah narasi “pembebasan” masyarakat Uighur untuk melawan gerakan separatis. Dalam kasus status Xinjiang pun terdapat perbenturan narasi. Pada satu sisi, Xinjiang dianggap pemerintah Cina sebagai sebuah daerah otonom, sementara Uighur mendukung pendirian Turkistan Timur.

Dalam relasinya dengan negara lain dan dalam merespon tuduhan opresi terhadap Uighur, pemerintah Cina cenderung bersikap pasif dan defensif. Cina menganggap urusan Uighur adalah sebuah urusan internal dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Cina justru mengkritisi kembali sikap hipokrit dan bias negara-negara lain yang mengkritik kebijakan dalam negeri Cina. Hal ini juga berhubungan dengan kontrol media sosial yang diterapkan pemerintah Cina, di mana semua konten media sosial terkait Uighur dapat diawasi oleh pemerintah.  Selain itu, menurut Irfan, narasi Indonesia tentang Uighur yang membawa slogan “Solidaritas Sesama Muslim” kurang tepat sasaran karena latar budaya Uighur yang sebenarnya multietnik.

Pada penghujung sesi pertama, Irfan menyimpulkan paparannya dengan menyatakan bahwa eksistensi narasi yang berbenturan dan polarisasi dunia internasional sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap konflik ini. Beberapa negara yang masih memiliki kepentingan dan kerjasama dengan Cina tidak begitu vokal dalam mengangkat isu opresi Uighur dan cenderung membiarkan Cina menjalankan kebijakan dalam negerinya. Di sisi lain, beberapa negara membingkai kasus ini sebagai sebuah opresi etnik dan meletakkan pemerintah Cina pada posisi antagonis utama dalam narasi tersebut, dan Uighur sebagai korban opresi pemerintah. 

 

 

Pada sesi kedua, BTGW dilanjutkan dengan pemaparan hasil reviu buku oleh Arindha Nityasari. Artificial Intelligence (AI) sendiri adalah kemampuan mesin untuk mengadaptasi beberapa sifat manusia, seperti reasoning, berpikir logis, dan memberi preferensi pilihan. Secara garis besar, buku ini menceritakan kondisi teknologi global, sejarah perkembangan teknologi di Cina, dan kelembagaan serta ekosistem teknologi di Cina. Kemajuan yang ada membawa beberapa perubahan bagi Cina, salah satunya, revolusi Cina dari age of discovery, yang berorientasi pada penemuan dan penciptaan sesuatu, menjadi age of implementation yang berfokus pada implementasi produk dan teknologi. Perubahan lainnya yang terjadi adalah pergeseran Cina dari age of expertise, dengan orientasi sebagai ahli teknologi, menjadi age of data, dengan munculnya tren analisa data. Di era yang semakin maju ini, analisa data tentunya menjadi modal yang penting, mengingat AI yang berbasis pada data. 

“Sekarang, siapa yang mempunyai data, maka dialah yang powerful,” tutur Arindha.

Kondisi ini membuat semua negara berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin data. Karenanya, Cina kini ada pada posisi yang unggul sebab rakyatnya rela memberikan data demi kemudahan hidupnya.

Salah satu hal menarik dari buku ini yang turut diangkat oleh Arindha adalah budaya copycat di Cina. Cina mengakui bahwa copycat merupakan kunci perkembangan teknologi di Cina karena latar belakang ekonomi Cina yang awalnya bergantung pada manufaktur dan produksi sendiri, bergeser menjadi bergantung pada mengikuti produk-produk lain sebagai proses transfer teknologi. Ekosistem AI Cina terletak pada para gladiator atau para peniru pengusaha dan dukungan pemerintah dengan data berlimpah didukung dengan adanya insinyur AI, meski masih dalam jumlah terbatas. Hal ini membuat pemerintah Cina berupaya meningkatkan pengembangan Greater Bay Area di Cina yang sangat technology-oriented, bahkan disebut Silicon Valley versi Cina, sebagai usaha memfasilitasi kebutuhan Cina akan insinyur AI.

Dalam buku ini, dijelaskan pula beberapa perbedaan antara Cina dengan Silicon Valley. Di mana, Cina cenderung lebih market-driven sehingga mengikuti keinginan pasar, sementara Silicon Valley cenderung value-driven sehingga memiliki dorongan untuk terus berinovasi dan tidak berbasis keinginan pasar. Selain itu, Cina lebih bersifat survival-oriented sedangkan Silicon Valley cenderung lebih bersifat innovationoriented.

Di akhir buku, dipaparkan bahwa terdapat empat gelombang permasalahan yang fundamental, gelombang pertama adalah internet AI, gelombang kedua adalah business AI, gelombang ketiga adalah perception AI, dan yang terakhir adalah autonomous AI, di mana tiga perusahaan besar Cina mulai menciptakan autonomous AI untuk menganalisa dan membaca tren masyarakat yang dapat disesuaikan dengan algoritma. 

Di penghujung acara, Arindha menutup pemaparan dengan pertanyaan reflektif bagi peserta diskusi “Bukan siapakah super power-nya, tetapi siapkah kita dengan era yang belum pernah terjadi sebelumnya?”


Penulis Berita : Handono Ega, Raditya Bomantara & Denise Michelle

Penyunting : Sonya Teresa Debora & Thifani Tiara Ranti