Institute of International Studies UGM
  • GOSOUTH
    • ABOUT GOSOUTH
    • GOSOUTH 2024
    • THE CONVENER
    • THE SPEAKERS
    • PROGRAM SCHEDULE
  • RESEARCH
    • DEMOCRACY, CONFLICT, AND SOCIAL INCLUSION
    • FOREIGN POLICIES, EMERGING POWERS, AND REGIONAL INTERSECTIONS
    • GLOBALISATION, DEVELOPMENT, AND ENVIRONMENT
    • SECURITY AND GLOBAL GOVERNANCE
  • ADVOCACY
    • NUCLEAR BAN CAMPAIGN
    • STOP KILLER ROBOTS
    • DAMAI PANGKAL DAMAI
  • PUBLICATIONS
    • BOOKS
    • BOOK REVIEW
    • BRIEF
    • COMMENTARIES
    • GLOBAL SOUTH REVIEW
    • FORTNIGHTLY REVIEW
    • MONOGRAPH SERIES
    • ANNUAL REPORT
    • PROCEEDINGS
    • OPEN SUBMISSION
  • PROGRAMS
    • PROGRAMS
    • PAST EVENTS
  • ABOUT US
    • WHO WE ARE
    • OUR TEAM
    • IIS LIBRARY
    • PARTNERS
    • VACANCY
  • CONTACT
  • Click to open the search input field Click to open the search input field Search
  • Menu Menu
webadmin.3-a2b2aa

About webadmin.3-a2b2aa

This author has not written his bio yet.
But we are proud to say that webadmin.3-a2b2aa contributed 180 entries already.

Entries by webadmin.3-a2b2aa

Beyond The Great Wall #7: Tantangan Cina di Awal Tahun 2020

February 28, 2020/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

Beyond The Great Wall #7 merupakan edisi pertama forum Beyond The Great Wall di tahun 2020. Pada kesempatan kali ini, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengundang dua pembicara untuk membahas mengenai tantangan di awal tahun 2020 bagi pemerintah Cina yang dapat menghambat perkembangan ekonomi Cina. Sebagai pembicara pertama, IIS UGM menghadirkan Nuruddin Al Akbar, Mahasiswa Doktoral Imu Politik, Universitas Gadjah Mada yang membawakan materi berjudul “Wuhan Jiayou: Kisah Cina menantang Konstruksi di Era Post-Truth”. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi pembicara kedua dengan reviu buku yang berjudul “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy”.  Pada BTGW kali ini, IIS UGM turut menghadirkan Indrawan Jatmika, peneliti IIS UGM sebagai moderator.

Pada awal tahun 2020, Cina kesulitan dalam menghadapi persebaran Coronavirus disease 2019 (Covid2019), yang kini menjadi pandemik global dan telah menjangkau banyak negara di dunia. Nuruddin memaparkan bahwa ada sebuah tren konstruksi dan narasi oleh media Internasional yang terkesan memojokkan dan menempatkan Cina sebagai “pesakitan” yang memulai pandemik virus Corona. Konstruksi dan narasi ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi perspektif masyarakat global terhadap Cina yang dianggap lalai dalam menyikapi persebaran virus tersebut. Konstruksi negatif terhadap Cina tersebut dinilai Nuruddin justru akan mempersulit tindakan pemerintah Cina dalam mengatasi virus Corona.

Tren inilah, yang disebut Nuruddin sebagai era “Post Truth”. Sebuah informasi yang dikemas sedemikian rupa sehingga sarat dengan ketidakpastian, menimbulkan keresahan dan kekhawatiran pada masyarakat luas. Informasi yang ditujukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang eksistensi dan langkah mitigasi virus Corona, justru menjadi sebuah pemicu berbagai problematika. Diantaranya adalah kekhawatiran yang tidak pasti akan penyebaran virus, ketakutan berlebihan, ketidakpercayaan pada pemerintah, dan puncaknya, rasisme terhadap masyarakat etnis Cina di seluruh dunia. Ironisnya, konstruksi yang sarat akan ketidakpastian ini juga pernah terjadi dalam epidemik SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) yang telah terjadi sebelumnya.

 

 

Fenomena “Wuhan Jiayou” yang terjadi di Wuhan sebagai pusat persebaran Corona virus dinilai Nuruddin berpotensi menjadi atas permasalahan Cina dalam menghadapi konstruksi di era Post Truth, termasuk dalam menghadapi penyebaran virus Corona. Pemerintah Cina perlu menerapkan semangat Wuhan Jiayou untuk melakukan dekonstruksi dengan membangun kesadaran dan semangat kerjasama dalam menghadapi persebaran virus tersebut, alih-alih ketidakpastian. Efek dari Wuhan Jiayou memiliki efek dekonstruksi narasi media barat yang bernuansa rasis dan memojokkan Cina, dan menggantikannya narasi baru yang lebih mengarah kepada solidaritas kemanusiaan dan persatuan, dan memberikan gambaran bahwa masyarakat Wuhan dan Cina membutuhkan dukungan moril dalam menghadapi pandemik Corona.

Apabila sesi pertama membahas mengenai kesulitan pemerintah Cina dalam menghadapi virus Corona, pada sesi kedua Nur Rachmat Yuliantoro memaparkan reviu dari buku Red Flags : Why Xi’s China is in Jeopardy?”, untuk memahami mengapa pemerintah Cina dibawah rezim Xi Jinping berada dalam situasi yang berbahaya. Buku tersebut menjelaskan mengenai 4 poin masalah yang dapat mengancam kestabilan dan perkembangan ekonomi Cina, dan menghubungkannya dengan filosofi dibalik bendera Cina (Red Flags).

Masalah pertama yang dihadapi pemerintah Cina adalah persoalan utang. Kemajuan ekonomi Cina selama ini dimotori oleh utang. Permasalahan utang dapat menggoyahkan perekonomian Cina. Hal ini juga berhubungan dengan masalah kedua, yaitu mata uang Yuan atau Reminbi yang masih diatur oleh pemerintah Cina dalam konteks nilai tukar hingga mobilitasnya. Masalah ketiga berasal dari Middle Income Trap, yang disebabkan oleh kontrol pemerintah dalam beberapa sektor penting ekonomi, sehingga membuat Cina sulit melanjutkan tahapan pembangunan selanjutnya. Masalah keempat adalah problematika populasi yang kian menua, sehingga usia angkatan kerja tidak sebanding dengan usia non produktif. Hal ini membuat masyarakat Cina secara keseluruhan menjadi tidak produktif. Keempat masalah inilah yang dinilai dapat menghambat atau bahkan membuat ekonomi Cina kolaps. Lebih jauh lagi, keempat masalah tersebut juga dapat mempengaruhi legitimasi Partai Komunis Cina dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai tahapan akhir “jeopardy” yang dimaksud oleh Magnus.


Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti

Rilis Pers #3: Pengaruh Penyebaran 2019-nCoV terhadap Politik dan Ekonomi Global serta Implikasinya terhadap Indonesia

February 6, 2020/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

Pada Rabu 5 Februari 2020, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas mengenai pengaruh politik dan ekonomi dari penyebaran virus 2019-nCoV atau yang lebih popular disebut sebagai Wuhan Novel Coronavirus. Pada kegiatan tersebut, ada 3 poin yang dibahas oleh Arindha Nityasari, Staf Peneliti IIS di bidang Ekonomi Politik dan Pembangunan Internasional dengan didampingi oleh Indrawan Jatmika, Staf Peneliti IIS di bidang Politik Global dan Keamanan. 

Kebijakan Evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai Kewajiban Pemerintah 

Poin pertama berfokus kepada kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi warga negara Indonesia yang berada di Cina. “Kami percaya, bahwa apa langkah yang sudah diambil pemerintah Indonesia mengevakuasi warga negara Indonesia dari Wuhan adalah keputusan tepat, karena sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk melindungi warga negaranya” papar Arindha. Kewajiban tersebut telah tertulis pada pasal 21 Undang-Undang no 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, dimana pemerintah Indonesia wajib menjaga warga negara Indonesia dari suatu ancaman yang nyata, yang dalam kasus ini berbentuk penyebaran wabah 2019-nCoV. Keputusan pemerintah juga disebut Arindha merupakan sebuah keputusan yang “cukup berani” mengingat resiko yang ditimbulkan dalam proses evakuasi tersebut, dimana terdapat tim evakuasi berisiko terpapar virus tersebut serta kemungkinan virus yang lolos deteksi pada WNI yang telah dievakuasi. 

Analisa Kebijakan Travel Ban Pemerintah Indonesia 

Poin kedua menjelaskan mengenai kebijakan travel ban oleh Pemerintah Indonesia baik dari maupun menuju Cina. Menurut Arindha, kebijakan ini dapat dijustifikasi karena ancaman 2019-nCoV yang telah melanda 7 negara anggota ASEAN, dan Indonesia memang harus merespon dengan cepat untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga memiliki momentum yang tepat karena mengandung dua nilai strategis. Pertama, pemberhentian yang dilakukan setelah evakuasi WNI berhasil dilakukan menghilangkan kemungkinan retaliasi dari Cina. Kedua, kebijakan dibuat setelah pengumuman World Health Organization yang menyatakan kondisi darurat kesehatan global. 

Namun, kebijakan travel ban tentunya menimbulkan beberapa pengaruh dalam hubungan Indonesia dan Cina. Pertama, semakin meningkatnya sentimen anti-Cina di Indonesia karena eksistensi warga Cina yang ada di Indonesia. Kedua, lesunya turisme yang diakibatkan oleh 

absennya turis-turis asal Cina yang selama ini telah menjadi salah satu penyumbang turisme bagi Indonesia, meskipun tidak akan bersifat permanen. Terakhir adalah kendala ekonomi yang muncul karena interdependensi ekonomi diantara kedua negara. Sebagai contoh, beberapa proyek pembangunan seperti proyek kereta cepat Indonesia tentunya akan ikut terpengaruh. 

Dampak Wabah 2019-nCoV Terhadap Ekonomi Cina 

Pada poin terakhir, Indrawan menganalisa dampak 2019-nCoV terhadap ekonomi Cina. Indrawan memaparkan kasus penyebaran SARS pada tahun 2002 sebagai acuan dalam menganalisa dampak ekonomi wabah 2019-nCoV. 2019-nCoV memiliki potensi pengaruh terhadap ekonomi Cina yang lebih besar dibanding SARS pada tahun 2002. Hal ini diperkirakan terjadi karena, persebaran wabah yang bertepatan dengan tahun baru Cina, dimana konsumsi masyarakat domestik seharusnya berada pada tingkat tertinggi. Tidak ada perputaran uang yang terjadi karena berbagai macam industri terpaksa berhenti beroperasi karena penyebaran virus. 

Wuhan sebagai pusat persebaran virus 2019-nCoV merupakan salah satu pusat industri Cina. Sehingga lumpuhnya Wuhan berarti lumpuhnya industri di daerah tersebut. Hal ini tentunya mempengaruhi baik perusahaan lokal maupun perusahaan-perusahaan besar yang membuka pabrik di Cina. Bahkan beberapa manufaktur besar seperti Apple terpaksa menutup pabriknya di Cina untuk sementara waktu, sehingga menimbulkan penurunan saham yang mencapai 8%. Selain itu, wabah ini juga mempengaruhi turunnya harga minyak dunia, karena Cina sebagai konsumen terbesar minyak bumi mengurangi konsumsi minyaknya, sehingga negara-negara produsen minyak harus mencari pasar alternatif. Tantangan utama bagi pemerintah Cina menurut Indrawan adalah memulihkan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi Cina, karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bentuk legitimasi Partai Komunis Cina dalam berkuasa. 

Apa yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia? 

Terakhir, Arindha menutup sesi konferensi dengan menyampaikan saran-saran bagi Pemerintah Indonesia dalam menghadapi persebaran virus 2019-nCoV. Pemerintah Indonesia harus mempersiapkan infrastruktur untuk menghadapi persebaran virus tersebut, karena selama ini masih ada kesan bahwa pemerintah Indonesia belum menganggap serius masalah ini. Diperlukan transparansi dari pemerintah Indonesia untuk memberikan ketenangan bagi masyarakat dengan menggambarkan persiapan pemerintah dalam menghadapi ancaman virus 2019-nCoV. Terakhir, pemerintah Indonesia juga harus mempertimbangkan durasi travel ban baik dari maupun menuju Cina, mengingat kebijakan tersebut berpengaruh langsung kepada interdependensi ekonomi diantara Indonesia dan Cina.


Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti

Press Conference #3: The Impact of 2019-nCoV spread towards the Global Political Economy and its Implication to Indonesia

February 6, 2020/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

On Wednesday (05/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held a press conference that ruminates over the impact of 2019-nCoV dispersion or widely known as the Wuhan Novel Coronavirus to the Global Political Economy. During the event, there are three major key points that are postulated by Arindha Nityasari, Research Staff of IIS in the field of International Political Economy and Development accompanied by Indrawan Jatmika, Research Staff of IIS in the field of Global Politics and Security.     

 

The Evacuation of Indonesian Citizens as a State Imperative  

The first point pivots on the policy-induced by the Indonesian government, which revolves around the relocation and evacuation of Indonesian citizens within China. “We believe, that the steps taken by the Indonesian government to evacuate Indonesian citizens from Wuhan is a pragmatic take to the issue, because it has been one of the state’s imperative to protect its citizens”. Such policy is stipulated within Article 21 of the Constitutional Act of 1999 number 37 on foreign affairs, at which the state is mandated to protect its citizens from a veridical threat, in which scilicet to this case would be the spread of 2019-nCoV epidemic. The state’s decision as described by Arindha to be “quite daring” despite the risks that may erect during the evacuation process. By which the risk of dispersion directed to the evacuating team is probable, moreover the probability of a carrier to the virus amongst the evacuated citizens to be undetected imposes a high risk to the evacuation process.          

 

An analysis of Indonesia’s Travel Ban Policy

The second point elucidates the travel ban policy by the Indonesian government, let it be flights from China or towards China. According to Arindha, this policy can be justified due to the threat of 2019-nCoV which have diffused 7 ASEAN member states, ergo Indonesia must take a direct and quick response to the spread. Furthermore, the policy has the right momentum due to its’ two strategic values. Firstly, the discontinuation that is induced after the evacuation of Indonesian citizens has been successfully executed impedes the chances of retaliation by China. Secondly, the policy was devised after the statement that is delivered by the World Health Organization which imparts the condition to be a global health threat.

Notwithstanding, the travel ban policy by consequence fabricates several impacts on the inter-states relations of China and Indonesia. First, the increase of anti-Chinese sentiment in Indonesia due to the presence of Chinese citizens athwart Indonesia. Second, the decline of tourism that is caused by the absence of Chinese tourists has been one of the major contributors to the Indonesian tourism industry, despite it being temporary. Lastly, there is economic pressure that is framed due to the economic interdependence between the two partying states. Ad exemplum, several infrastructure projects such as the high-speed railway will determinedly be swayed.

The Impact of 2019-nCoV epidemic to China’s Economy

At the last point, Indrawan scrutinizes the impact of 2019-nCoV on China’s economy. Indrawan imparted the case of SARS dispersion in 2002 as a reference to decipher the economic impact of 2019-nCoV. 2019-nCoV has a bigger potential to influence China’s economy in contrast to the SARS outbreak in 2002. This phenomenon is estimated to be directly caused by, the spread of the epidemic which concur during Chinese New Year, whereupon the domestic consumption should be at its peak. Subsequently, there was no occurring cash flow due to the industry shutdown imposed as a result of the virus’ dispersion.   

The city of Wuhan, which is the source of the 2019-nCoV virus is one of the industrial centers of China. This by consequence impacted the performance of local enterprises as well as large corporations that are stationed within Wuhan, China. Inasmuch, several manufacturing giants such as Apple are forced to temporarily close down their factories in China. Consequently, this imposes a major drop to the stock market that reaches the rate of 8%. Furthermore, this epidemic induces a downturn to the price of crude oil globally, as one of the major consumers of global crude oil the threat imposed by the virus reduces the consumption of oil by Chinese industries, hence the majority of oil-producing countries are in need to seek an alternative market. According to Indrawan the primary challenge for the Chinese government is to revitalize its economy and to negate the significant economic impacts prompted by the virus, as China’s economic growth is one of the main methods for the Chinese Communist Party to legitimatize its rule.                       

 

What measures can the Indonesian Government take?

In sum, Arindha closed the session of the press conference by conveying several suggestions to the Indonesian government in tackling the issue at hand. The Indonesian government should arrange an infrastructure to counter the spread of the virus because there is a common doxa where the Indonesian government does not take serious measures towards the issue. The paramount importance of transparency within the Indonesian government brings assurance to the citizens by delivering the actions and preparations made by the government in countering the threat of 2019-nCoV virus. Last but not least, the Indonesian government should also reconsider the duration of the travel ban, let it be from or towards China, apropos to the direct impact of the policy induces to the economic interdependence between China and Indonesia.


Writer: Raditya Bomantara
Translator: Handono Ega

Indonesia’s Response on South China Sea : Too Late, Too Lame

January 13, 2020/in Commentaries/by webadmin.3-a2b2aa

At the beginning of the new decade, international community were immediately greeted with several turmoil. One that received the most attention from Indonesian audiences was the sailing of several Chinese vessels into Indonesia’s Exclusive Economic Zone in the Natuna Islands region, Riau Islands Province. Moreover, two of the dozens vessels sailing were Chinese coastguard vessels specifically tasked to secure the interests of China in its claimed territory in the South China Sea (Lo, 2020).

This event certainly received a strong reaction from the people of Indonesia. Firstly, this is because the China’s action in Natuna region is clearly an illegal act. China specifically violated the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), which regulates maritime control zones based on coastlines. The law clearly states that a country’s Exclusive Economic Zone (EEZ) is 200 km from the country’s outer coastline. However, China itself has their own version of EEZ called the Nine-Dash Line which is a line made unilaterally by China without going through legal conventions. The determination of the nine-dash line itself refers to the historical territory of the seas of Chinese fishermen since the Dynasty era and begin to pop up in the map of modern China since 1947. Legally since 2016, an arbitral tribunal constituted under Annex VII to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea ruled that China has no legal basis to claim “historic rights” within its nine-dash line (Jiangtao & Mai, 2020). With such unlawful behavior, it is not surprising that the public demand the Indonesian government to react strongly in order to maintain the country’s authority and sovereignty.

The second reason that made the community’s react aggressively was people’s sentiment towards China in Indonesia. Since the election period, the issue of China has become one of the main issues where President Jokowi is considered to be too dependent on China. In the economic sector, Mr. President sometimes considered tending to marginalize his domestic public interests to keep China happy. Along with the issue of Uyghurs, which recently receives a sharp spotlight from Indonesian Moslem, who strongly condemn China’s treatment towards Uyghurs Moslem minority. The government response to the violation of sovereignty by China is highly awaited because it is considered to be a test of Indonesia’s assertiveness in dealing with threats from outside, especially a real threat from China, a country that Indonesia is considered to be too dependent on.

When China finally does its action in Natuna, which actually has been feared since the escalation of South China Sea dispute in the mid- 2010s, Indonesian government can not provide a strong response that could satisfy the public interest and give a tangible solutions for the problem. In its response, Indonesia seem to be unprepared to face the problem of sovereignty claims in the South China Sea. Although a form of diplomatic protest note had been submitted to the Chinese ministry of foreign affairs, the contents of the diplomatic note were rejected outright by the Chinese side by emphasizing that they have claims in the region. To appease public, Indonesian government tried to explain that this problem was not a serious problem that had to be exaggerated (Anwar, 2020).

The lack of response regarding the issue of South China Sea started since the 2014 presidential campaign period. At that time, when asked about Indonesia’s position regarding South China Sea, Jokowi stated emphatically that Indonesia had no part in the South China sea dispute. According to him there is no area of Indonesia that is under a threat to be claimed in this dispute (Arief, 2014). After becoming president, it was clear that Jokowi were hesitate and reluctant to resolve the problems in South China Sea. Whereas since 2016, China has openly stated that some parts of the Natuna sea is included in the territorial waters of China based on nine-dash line that they use for territorial determination. The World Maritime Axis declared by the president in fact also does not provide any solution other than strengthening domestic maritime connectivity through infrastructure development. During his first period as president, Jokowi seemed hesitant to take confident steps in order to not sever relations with China as one of the main business and investment partners who played a major role in financing the development efforts undertaken by the Joko Widodo government (Conelly, 2017).

Indonesia’s biggest opportunity lost is to bring this problem to the international level and become a leader for ASEAN countries who are also in dispute in this region. In practice, Indonesia tends to take its own steps without involving other ASEAN countries in taking strategic steps against China. This makes other countries in Southeast Asia become more isolated and vulnerable to the pressure of Chinese diplomacy (Conelly, 2017). Whereas, Indonesia’s leadership in dealing with China in South China Sea dispute can also become the answer to all doubts about Indonesia’s role as a natural born leader in the ASEAN region which increasingly has become irrelevant after the end of the New Order Regime. In dealing with China in this dispute, countries in ASEAN now tend to take their own steps so that they don’t need to put strong diplomatic pressure on Beijing. As a result, violations after violations are still being carried out by China in disputed areas in the South China Sea. The presence of Indonesia as the leader of ASEAN countries in this dispute can also reduce interdependence to global major power while preventing the involvement of outsiders which could actually heightened the political atmosphere. For example, the US involvement in South China Sea dispute, with a global political climate that is heating up, the involvement of outsiders such as the US in the South China Sea dispute can trigger more serious conflicts such as the possibility of an armed war in the East Asia region that is feared to have a chain effect to encourage another major war in the near future.

What’s Next for Indonesia?

Now that China has seriously disrupted Indonesia’s sovereignty in Natuna waters, of course, strategic steps must be taken immediately by the Indonesian government. Unilateral diplomacy efforts have been carried out and led resulting in explicit rejection by the Chinese government. This exact moment is the time for Indonesia to shift through a multilateral approach in response to China. Multilateral diplomacy involving other ASEAN countries which are also in dispute must be implemented immediately. Indonesia must emerge as the leader of ASEAN by bringing the issue of the South China Sea dispute as the main topic to be discussed at the ASEAN Summit which is scheduled to take place in April / May 2020.

Although armed conflict is not the best way out of this dispute given the potential causality that can be generated, steps like sending the military to Natuna Island to face the worst possibility is a step that needs to be explored as long as it is still in accordance with the rules of international law, especially with the need to convince public that Indonesia is serious in dealing with violations of sovereignty and responding the claim on the Jokowi government‘s dependence on China.

 

References
Anwar, M. (2020). Luhut: Soal Natuna Tak Usah Dibesar-Besarkan Lah!. Retrieved 6 January 2020, from https:// www.cnbcindonesia.com/news/20200103200210-4-127579/luhut-soal-natuna-tak-usah-dibesarbesarkan-lah

Arief, T. (2014). DEBAT CAPRES: Jokowi Menyatakan Indonesia Tidak Terlibat Sengketa Laut China Selatan | Kabar24 – Bisnis.com. Retrieved 6 January 2020, from https://kabar24.bisnis.com/ read/20140623/355/237935/debat-capres-jokowi-menyatakan-indonesia-tidak-terlibat-sengketalaut-china-selatan

Conelly, A. (2017). Indonesia di Laut China Selatan: Berjalan Sendiri. Lowry Institute. Retrieved from https://www. lowyinstitute.org/sites/default/files/documents/Indonesia%20di%20Laut%20Cina%20Selatan.pdf

Jiangtao, S., & Mai, J. (2020). China’s Xi Jinping rejects any action based on international court’s South China Sea ruling. Retrieved 6 January 2020, from https://www.scmp.com/news/china/diplomacy-defence/ article/1988990/chinas-xi-jinping-rejects-any-action-based

Lo, K. (2020). Indonesia-Beijing dispute could lead to tough South China Sea code. Retrieved 6 January 2020, from https://www.scmp.com/news/china/diplomacy/article/3044374/how-indonesias-south-chinasea-dispute-beijing-could-lead


Writer : Muhammad Indrawan Jatmika

Beyond the Great Wall #6: Menilik Jejak dan Merintis Langkah Cina

December 10, 2019/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

Kerap kali, kepentingan lingkungan dibenturkan dengan kepentingan ekonomi, seolah harus memilih satu dan mengorbankan yang lainnya. Namun, salah satu proyek eco-city di Cina, yakni Tianjin Eco-City, berkata lain. Arinda Putri, alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) membagikan hasil risetnya mengenai hal ini dalam Beyond the Great Wall ke-6, kegiatan dwibulanan yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Jum’at (6/12) lalu. Selain Arinda, M. Irsyad Abrar, mahasiswa HI UGM, dan Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen HI UGM sekaligus convener dari kegiatan Beyond the Great Wall, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini.

Dalam paparan Irsyad Abrar terkait tantangan dan respon Cina atas keamanan energinya, disampaikan bahwa hingga kini batu bara masih merupakan energi yang dipakai secara dominan oleh Cina, terlepas dari faktor lingkungan yang ditimbulkannya.

“…secara volume (penggunaan batu bara) melonjak sangat drastis. Ini bersamaan dengan naiknya Cina sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di dunia” ujar Abrar.

Tekanan domestik dari warga Cina, khususnya di Pesisir Timur, serta tekanan masyarakat global membuat Cina mencoba menggunakan energi yang dipersepsikan lebih “bersih” dari batu bara, contohnya minyak bumi, gas alam, dan energi baru terbarukan lainnya. Meski demikian, sumber daya ini belum dapat menggantikan penggunaan batu bara di Cina yang sangat masif. Hal ini dikarenakan peningkatan pasokan sumber daya alternatif tersebut belum dapat menandingi kecepatan peningkatan konsumsi energi di Cina. 

“Di berita, dikabarkan bahwa ada banyak tambang batu bara yang ditutup. Tapi sebenarnya ada juga tambang-tambang batu bara baru di daerah Timur Laut Cina Manchuria yang diperbolehkan baru-baru ini” tambah Abrar. 

Meski nada yang cenderung pesimistik tampak dari paparan tersebut, proyek Tianjin Eco-City membawa angin segar dalam diskursus ekologi Cina. Merespon lonjakan konsumsi batu bara di Cina yang menyentuh angka 87,5 persen, berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi efek lingkungan dari konsumsi tersebut maupun dari berbagai aktivitas produksi polusi lainnya.

“Ada beberapa proyek eco-city yang telah digagas pemerintah Cina, bahkan sejak tahun 2003. Tetapi kebanyakan gagal, satu-satunya yang berhasil ialah proyek Tianjin Eco-City yang bekerjasama dengan pemerintah Singapura” 

 

 

Kerja sama ini dilaksanakan dengan cara diadakannya pertukaran sumber daya, dari pihak Singapura dan Cina; transfer teknologi sumber daya air dengan melakukan penegakkan kedaulatan bidang air, dalam artian mengurangi ketergantungan pada air minum kemasan impor; pengadaan fasilitas reklamasi air; dan melakukan pemulihan Danau Jing yang sebelumnya menjadi tempat pembuangan polusi selama empat dekade.

 

“Melalui kerja sama ini, Tianjin bahkan menjadi kota pertama yang keran airnya bisa diminum, padahal sebelumnya perairan di Tianjin, contohnya Danau Jing, sangat tercemar” jelas Arinda.

 

Dampak dari kerja sama ini sangat besar, dari aspek ekonomi, Produk Domestik Bruto meningkat pada tahun 2007 hingga 2011. Terlebih lagi, pada tahun 2010-2014, Tianjin kedatangan lebih dari 10.000 wisatawan serta 1000 perusahaan dengan intensi investasi.

Bagi masyarakat setempat, dampak positif muncul dari perilaku rendah karbon ditunjukkan oleh penduduk Tianjin Eco-City, bahkan ketika dilakukan penelitian, 67,3 persen responden menyatakan bersedia membayar premi bulanan untuk mendukung listrik ramah lingkungan. Pendidikan terkait lingkungan hidup pula digalang sejak sekolah dasar. Alhasil, warga akar rumput jadi lebih memahami konsep green dan eco-city.

Meski dengan diadakannya kerja sama ini wewenang perusahaan menjadi lebih luas dibandingkan wewenang pemerintah dan masih terdapat permasalahan terkait kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi yang berlaku serta beberapa permasalahan aspek politis lainnya, kerja sama ini membuktikan adanya rekonsiliasi pertumbuhan ekonomi dengan penyelesaian masalah ekologi yang selama ini menjadi perdebatan panjang.

Mengakhiri kegiatan BTGW ke-6 Nur Rachmat Yuliantoro selaku convener dari kegiatan Beyond the Great Wall berbagi kisah terkait kedatangannya ke Cina November lalu melalui foto-foto tangkapannya. Pada akhir kegiatan Nur Rachmat Yuliantoro menutup rangkaian kegiatan BTGW, sebagai forum diskusi terkait perkembangan politik, sosial, ekonomi, serta isu-isu lain yang terjadi di Cina pada tahun 2019. Nantikan kegiatan Beyond the Great Wall dengan format baru di tahun depan!


Penulis : Sonya Teresa Debora

Editor : Thifani Tiara Ranti

Killer Robots: Evolution of Warfare or the Threat for Humanity?

November 29, 2019/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

On Thursday (29/11), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held Humanitarian Talk discussion as part of Campaign to Stop Killer Robots series with the theme “Coffee Talk on Killer Robots”. The event which was held at Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tried to offer a talk show concept which focuses on giving explanation to the public about the definition of killer robots, by discussing the advancement of information technology (IT), weaponry, and artificial intelligent (AI) in which all of them can not be separated by the advancement of the killer robots itself. IIS UGM held such series of events as a form of participation in global campaign under Campaign to Stop Killer Robots in order to raise awareness and increase the understanding of the people regarding the humanitarian consequences caused by Lethal Autonomous Weapon (LAWs). As a result, the campaign is expecting the emergence of solidarity to push the government in national level to not using autonomous weapons which will cause destruction and death of civilians.

On this occassion, IIS UGM invited Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, researcher at Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) also Dr. Sugeng Riyanto, lecturer at International Relations Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), both of the speakers have special interest on the advancement of killer robots. The discussion session is moderated by Yunizar Adiputera, M.A as the convener as well as the leader of Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM team.

The session was opened with foreword by Yunizar which explained a brief definition of LAWs. Autonomous weapon is different with drone, in which both have fundamental different on degree of control, target selection, and accuracy attack. Also, drone is not necessarily used for military purpose. On the other side, autonomous weapon is an independent weapon system which is designed for military purpose. Autonomous weapon is projected to bring forth a warfare revolution, minimize casualties from the military, and attacking target without human intervention so that it can be said as the third weapon revolution after the discovery of gun powder and atomic bomb. However, such weapon gains so many rejection from international community because of its vulnerability on operation system error, lack of capability to select target, also the degree of harm it might cause.

Sugeng opened his session by emphasizing that autonomous weapon system is inevitable, in which warfare always pushes for advancement and evolution of weaponry as a defense tool. Autonomous weapon system is an evolution of modern warfare, in which by using AI-based weapon with limited human intervention, military attempts to erase physical and psychological human limitation which is vulnerable with human error factor in order to create a more efficient warfare. However, Sugeng also explained that as the technology keeps evolving, autonomous weapon system brings several negative effects, such as the difficulties to decide the legal subject when there is civilian casualties, the loss of chivalry as a humanitarian element, also the loss of norm because of the loss of life by weapons that are not directly controlled by humans. Therefore, Sugeng concluded that the advantages possessed by autonomous weapon system makes the usage of the weapon by the military is inescapable thus a legally binding regulation is needed.

Resonating Sugeng, Rifqi also stated that military technology is indeed pushing the development of civilian technology, in which the technology development within the past 15 to 20 years has exceeded what has been able to be reached 300 years before. Rapid technological development is indeed a positive progress, but also bear negative impact. One of the negative impact can be seen in several cases, for instance is Stanislav Petrov – who had successfully prevented Nuclear War on September 26th, 1983 due to the nuclear warning system malfunction. For this case, it was the human judgment which was able to decide and prevent civilian casualties, meanwhile AI did not have such aspect. The usage of AI on autonomous weapon system forces human to be trapped in out of the loop scheme, where human is unable to interfere the decision making process of AI.This has become problematique since the scheme which should be used is human in the loop (human as the decision maker) or human on the loop (human can interfere the autonomous decision making process). Human dignity is at stake when the decision making process related to human’s life is decided by AI.

Meanwhile, regarding the role of Indonesia’s government in the middle of killer robots dilemma, Rifqi emphasized that Ministry of Foreign Affairs should take the role on pushing education in order to stop the usage and ban the autonomous weapon system. Strategy and comprehensive movement are needed in order to influence the world’s appraisal regarding smart weapons. Indonesia should be able to take the advantage its role as the Non-Permanent Member of UNSC in order to push the discussion regarding killer robots issue. Yunizar also added that in reality, Ministry of Foreign Affairs is quite slow on deciding its position. Indonesia is also lack of involvement on weapon treaties even though Indonesia has quite influential voice on such treaties. Therefore, it should be realized by the government they should express the need to ban killer robots through diplomacy. It should also be realized as well that it might be further challenge for them.


Writer : Raditya Bomantara

Editor and Translator : Thifani Tiara Ranti

Killer Robots : Evolusi Peperangan atau Ancaman Kemanusiaan?

November 29, 2019/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

Kamis (29/11) lalu, Insitute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan diskusi Humanitarian Talk sebagai rangkaian dari seri Campaign to Stop Killer Robots dengan tema “Coffee Talk on Killer Robots”. Kegiatan yang bertempat di Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada ini  mencoba mengusung konsep bincang santaiyang berfokus untuk memberikan penjelasan kepada sivitas akademika UGM dan masyarakat umum tentang definisi dari killer robots, dengan membahas kemajuan teknologi informasi, persenjataan, serta artificial intelligence (AI) yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan killer robots itu sendiri. IIS UGM menyelenggarakan serangkaian kegiatan ini sebagai bentuk partisipasi atas kampanye global Campaign to Stop Killer Robots untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konsekuensi kemanusiaan yang disebabkan oleh Lethal Autonomous Weapon System (LAWS). Melalui kampanye ini, diharapkan muncul solidaritas bersama untuk mendorong pemerintah di level nasional agar tidak menggunakan senjata-senjata otonom yang dapat menimbulkan kerusakan dan korban jiwa di kalangan masyarakat sipil. Sesi Coffee Talk sendiri merupakan sebuah forum diskusi internal

Pada kesempatan ini, IIS UGM mengundang Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Dr. Sugeng Riyanto, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dua pembicara yang memiliki ketertarikan khusus terhadap perkembangan killer robots. Sesi diskusi ini dimoderatori oleh Yunizar Adiputera, M.A selaku penanggung jawab sekaligus ketua tim Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM.

Sesi dibuka dengan pengantar oleh Yunizar yang memaparkan pengantar diskusi dengan menjelaskan secara singkat tentang definisi dari LAWS. Senjata otonom merupakan suatu perangkat yang berbeda dengan drone, di mana, selain memiliki tingkat pengendalian, pemilihan sasaran dan akurasi serangan yang berbeda secara fundamental, drone juga belum tentu digunakan sebagai sarana militer. Senjata otonom, di sisi lain, merupakan sistem senjata mandiri yang didesain secara khusus untuk keperluan militer. Senjata otonom diproyeksikan untuk dapat melahirkan revolusi peperangan, meminimalisir korban dari pihak milite, serta dapat menyerang sasaran tanpa tenaga manusia sehingga dapat disebut sebagai revolusi senjata ketiga setelah penemuan bubuk mesiu dan bom atom. Namun, senjata ini mendapatkan banyak penolakan dari dunia internasional karena rawan akan kesalahan sistem operasi, minimnya kapabilitas untuk memilih target, serta tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan.

Sugeng membuka pemaparannya dengan menekankan bahwa sistem senjata otonom merupakan sebuah keniscayaan, di mana peperangan selalu mendorong perkembangan dan evolusi persenjataan sebagai alat pertahanan. Sistem senjata otonom merupakan evolusi peperangan modern, di mana dengan menggunakan senjata berbasis AI yang minim intervensi manusia, militer berusaha untuk menghilangkan batasan fisik dan psikis manusia yang rawan faktor human error sehingga melahirkan  peperangan yang lebih efisien. Namun, Sugeng juga memaparkan bahwa seiring dengan terobosan dan kemajuan yang dibawanya, sistem senjata otonom membawa beberapa aspek negatif, seperti sulitnya menentukan subjek hukum ketika ada korban di kalangan sipil, hilangnya sifat kesatriaan sebagai salah satu elemen humaniter, serta lenyapnya norma karena penghilangan nyawa oleh senjata yang tidak dikontrol langsung oleh manusia. Oleh karena itu, Sugeng menyimpulkan bahwa kelebihan yang dimiliki sistem senjata otonom membuat penggunaan senjata ini oleh militer sulit untuk dihindari sehingga diperlukan sebuah aturan yang legally binding dan dapat mengatur penggunaan senjata tersebut.

Senada dengan Sugeng, Rifqi menyatakan bahwa teknologi militer memang mendorong perkembangan teknologi sipil, di mana perkembangan teknologi pada 15 hingga 20 tahun terakhir jauh melampaui apa yang dicapai dalam lingkup 300 tahun sebelumnya.  Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya merupakan sebuah kemajuan yang positif, namun juga memiliki dampak-dampak negatif yang menyertainya. Dampak negatif ini dapat dilihat dari beberapa kasus, contohnya Stanislav Petrov–yang berhasil mencegah Perang Nuklir pada tahun 26 September 1983 karena malfungsi sistem peringatan nuklir Uni Soviet), pada kasus ini, penilaian manusialah yang dapat menentukan dan mencegah korban di kalangan sipil, sementara AI tidak memiliki aspek tersebut. Penggunaan AI pada sistem senjata otonom memaksa manusia terjebak dalam skema out of the loop, di mana manusia tidak dapat campur tangan dalam pengambilan keputusan oleh AI. Hal ini menjadi problematik karena seharusnya skema yang digunakan adalah human in the loop (manusia sebagai pengambil keputusan) atau human on the loop (manusia bisa melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan yang otonom). Hal ini membuat martabat manusia dipertaruhkan ketika proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nyawa manusia diputuskan oleh AI.

Sementara, perihal peran pemerintah Indonesia di tengah dilema killer robots, Rifqi menekankan bahwa Kementerian Luar Negeri harus berperan dalam mendorong edukasi untuk menghentikan penggunaan dan pelarangan sistem senjata otonom. Diperlukan strategi dan gerakan yang menyeluruh untuk dapat mempengaruhi penilaian dunia internasional akan senjata-senjata cerdas, dan Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk mendorong pembahasan mengenai isu killer robots.  Menambahkan, Yunizar menyatakan bahwa, pada kenyataannya, Kementerian Luar Negeri justru lambat dalam menetapkan posisi. Bahkan, Indonesia minim terlibat dalam traktat-traktat penggunaan senjata, meskipun Indonesia memiliki suara yang dapat berpengaruh dalam negosiasi traktat-traktat pelarangan senjata tersebut. Hal inilah yang harus disadari oleh pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dan menyuarakan pelarangan terhadap killer robots, dan mungkin akan menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia kedepannya.

 


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Thifani Tiara Ranti

Annual Convention on Global South #1: Revolusi Industri 4.0 dan Kerjasama Global South

November 28, 2019/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM) telah menyelenggarakan acara Annual Convention on Global South atau GoSouth pada tanggal 5 dan 6 November 2019. Sebagai program perdana, GoSouth edisi perdana mengundang pembicara-pembicara dari lingkup nasional maupun internasional.  Acara ini disponsori oleh Bank Mandiri, Chandra Asri Petrochemical dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Indonesia.

Pada hari pertama, GoSouth beragendakan sesi seminar internasional dengan menghadirkan 4 pembicara yang membawakan materi terkait Global South dan Industri 4.0. Pada sesi pertama, IIS UGM mengundang Prof. Ashok Acharya, Profesor Ilmu Politik dari University of Delhi dan Prof. Mohtar Mas’oed, Profesor Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Pada sesi pertama, Cut Intan Aulianisa Isma selaku manajer dari IIS UGM berperan menjadi moderator. Pada sesi kedua, dihadirkan dua pembicara lain yaitu Shita Laksmi, Manajer Proyek Asia Diplo Foundation dan Nanang Chalid, Wakil Pimpinan Tokopedia. Treviliana Eka Putri, dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi moderator pada sesi ini.

Sesi hari pertama dibuka dengan sambutan dari Prof. Panut Mulyono, selaku rektor Universitas Gadjah Mada, yang mengingatkan kita akan perkembangan dunia dengan mengikuti revolusi industri 4.0 dimana teknologi telah berkembang dengan pesat dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik internasional. LAWs, AI dan Big Data kini dapat mempengaruhi ranah sosio-politik, menjadikan revolusi industri 4.0 bukan hanya sebagai fenomena global namun juga sebagai agenda global. Dibalik signifikansinya, revolusi industri 4.0 juga membawa tantangan, dan kita harus siap dalam menghadapi tantangan tersebut.

Sesi pertama dibuka oleh Cut Intan Aulianisa Isma selaku moderator, dengan tema “Global South : Perspective in International Relations”. Sesi pertama dibuka oleh Prof. Ashok Acharya yang membawakan materinya dengan topik “Rekindling the Bandung Spirit : Transnational Justice and the Global South”. dalam materinya, beliau menekankan kepada signifikansi dari Bandung Spirit dalam menghadapi RI 4.0 sebagai masyarakat Global South. Globalisasi mendatangkan banyak janji dan peluang, namun diikuti oleh problematika seperti ketimpangan yang meluas. Dalam hal ini, Bandung Spirit berperan sebagai katalis pemersatu dan norma global dalam menghadapi isu transanasional, khususnya global justice issue. Problematika global inequality haruslah direspon oleh sebuah koperasi global, namun tantangannya adalah untuk menemukan sebuah norma yang akan diikuti oleh seluruh negara-negara yang terkait, baik utara maupun selatan. Prof. Ashok mengakhiri materinya dengan membawa konsep Global/Transnational Justice, sebagai sebuah gerakan yang dimotori prinsip keadilan distributif yang diaplikasikan dari tingkat domestik hingga global.

Apabila Prof. Ashok Acharya menekankan kepada tantangan di level global, Prof. Mohtar Mas’oed justru memandang fenomena Global South dari sudut pandang Indonesia lewat materinya,“Technologically Challenged Global South : An Indonesian Perspective”. Dalam materinya tersebut, Prof. Mohtar menekankan bahwa bagi Indonesia untuk menaiki gelombang perkembangan teknologi dibutuhkan  respon cepat terhadap perkembangan teknologi yang merupakan solusi neoliberal untuk krisis produksi kapitalis, dan hanya membawa keuntungan bagi sebagian golongan yang siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Sebagian negara selatan tertinggal karena konsekuensi politik, ekonomi dan sosial dari kesenjangan global yang berkembang dengan pesat, sementara keuntungan ekonomi dan sosial yang dibawa oleh perkembangan teknologi tetaplah terpusat pada negara-negara maju. Sehingga pada akhirnya negara negara Global South tetap mengandalkan teknologi yang kalah berkembang dari teknologi yang digunakan negara-negara maju. Indonesia tentu saja juga menjadi salah satu negara berkembang yang harus beradaptasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, karena area STI (Science, Technology and Innovation) yang tertinggal jauh dari negara-negara maju. Prof. Mohtar menutup paparannya dengan mengingatkan akan dilema hubungan selatan-selatan dengan membandingkan spirit solidaritas Konferensi Bandung 1955 dengan Realpolitik, yang menyebabkan fragmentasi diantara negara-negara Global South.

Setelah kedua pemapar selesai memaparkan materinya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang cukup progresif karena minat para peserta terhadap topik perkembangan teknologi dan industri 4.0. Selepas sesi tanya jawab, para pembicara dan peserta dipersilakan untuk menikmati makan siang dan melaksanakan ibadah sebelum dilanjutkan pada sesi kedua yang menghadirkan Shita Laksmi dan Nanang Chalid dengan moderator Treviliana Eka Putri bertema “Industry 4.0 In the Global Context”

Sesi kedua dimulai oleh Nanang Chalid, yang memulai sesi dengan sedikit membagikan pengalaman beliau sebagai alumni HI UGM yang membantunya dalam mencapai posisinya sekarang. Nanang memaparkan, bahwa Asia Tenggara dan Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Ekonomi Asia Tenggara sudah mulai berkembang dan menyesuaikan dengan proses digitalisasi, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup progresif dalam proses tersebut. E-commerce berkembang dengan pesat di Asia Tenggara, diiringi dengan peningkatan pengguna internet yang cukup drastis. Indonesia sendiri memiliki potensi e-commerce yang masif, karena menyediakan keuntungan finansial, dan lapangan kerja. Tokopedia yang menyadari potensi yang dimiliki oleh Indonesia, dapat sigap bergerak sebagai sebuah ekosistem penggerak ekonomi, yang menyediaka kemudahan, kemajuan dan kelebihan praktis kemajuan teknologi dalam aspek komersil. Di saat yang bersamaan, Tokopedia juga dapat berperan menjadi aktor yang membantu pemerintah dengan mengintegrasikan beberapa layanan pemerintah dengan layanan e-commerce yang diberikan. Dengan signifikansi peran tersebut, Tokopedia muncul sebagai salah satu pelopor industri 4.0 di Indonesia, sekaligus memberikan peluang bagi masyarakat untuk berperan sebagai pelaku ekonomi digital.

Shita Laksmi memandang revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi yang dibawanya sebagai sebuah tantangan, dan pengaruhnya kepada dunia Hubungan Internasonal. AI (artificial intellegence) dan perkembangannya yang pesat menyediakan alternatif tenaga kerja baru yang presisi dan mungkin dapat berperan didalam proses diplomasi, dimana AI dapat berperan baik sebagai alat diplomasi ataupun topik diplomasi. Contohnya, AI dapat berperan dalam pemprosesan teks diplomasi, karena presisi kerja yang tidak terganggu oleh faktor human error. AI juga dapat berperan dalam banyak sektor, seperti keamanan, ekonomi dan pengembangan luar angkasa, sehingga kita harus siap akan hadirnya AI dalam kehidupan sehari hari. Kembali kepada konteks hubungan internasional dan diplomasi, Kementerian Luar Negeri dan para diplomat juga harus bersiap dengan melakukan beberapa hal seperti inovasi, capacity building dan indicator track efforts untuk beradaptasi dengan perkembangan AI. Dalam konteks Global South, Shita mempertanyakan apakah perbedaan diantara utara dan selatan, serta relevansi pemisahan antara utara-selatan, karena relevansinya masih bisa diperdebatkan. Shita juga memaparkan contoh kebangkitan Cina, yang menurutnya justru memberi Cina pemenuhan kualifikasi sebagai negara utara.

Seusai pemaparan kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab kedua yang masih berjalan dengan cukup progresif diantara peserta seminar dan para pembicara. Sesi hari pertama dilanjutkan dengan pidato penutupan oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM dan inisiator dari konvensi GoSouth, yang menandakan berakhirnya hari pertama dari Annual Convention on Global South.

 


Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Angganararas Indriyosanti & Thifani Tiara Ranti

Annual Convention on Global South #2: Memandang Revolusi Industri dan Hubungan Internasional Melalui Tiga Kacamata Berbeda

November 7, 2019/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aa

Rabu, (6/11) hari ke-2 dari rangkaian acara Global South Conference 2019. Acara yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM). Setelah pemaparan materi seputar perspektif Global South mengenai Revolusi Industri 4.0 dalam konteks global oleh berbagai akademisi dan praktisi di bidang teknologi pada hari pertama. Hari kedua dilanjutkan dengan sesi diskusi secara lebih rinci di masing-masing panel. Sesi ini terbagi atas tiga panel yang mewakili masing-masing konsentrasi dari DIHI UGM, yaitu International Political Economy and Development, Peace and Conflict Studies, dan Global Politics and Security.

Setelah melalui rangkaian pengumpulan dan seleksi abstrak hingga pengumpulan full paper, masing-masing paper presenter yang telah diseleksi oleh tim materi Global South Conference hadir untuk memaparkan hasil risetnya masing-masing. Hasil riset yang disampaikan tentunya seputar dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap hubungan internasional yang dikaitkan dengan salah satu dari tiga konsentrasi diatas.

Dalam panel International Political Economy and Development, yang dimoderatori oleh Indrawan Jatmika selaku peneliti Institute of International Studies serta Muhammad Rum selaku dosen DIHI UGM,  terdapat sebelas paper presenter dengan hasil risetnya masing-masing, diantaranya seputar Big Data dari perspektif Selatan, Belt and Road Initiative, Trade War, Revolusi Industri 4.0 sebagai peluang kerjasama internasional, Global Value Chain, dan Free Trade. Sedangkan di panel Peace and Conflict Studies, terdapat sepuluh paper presenter yang mempresentasikan hasil risetnya. Di sesi pertama, panel ini dimoderatori oleh Angganararas Indriyosanti selaku peneliti Institute of International Studies dan sesi kedua dimoderatori oleh Indrawan Jatmika. Tulisan yang dipresentasikan seputar perdamaian dan konflik di Bangladesh, konflik dan krisis identitas di Rohingya, perubahan persepsi gender di Rohingya, serta gerakan sosial dan diseminasi informasi di era digital. Panel terakhir, yaitu panel Global Politics and Security dimoderatori oleh Randy Wirasta Nandyatama dan Treviliana Eka Putri, selaku dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. Dalam panel ini terdapat sembilan paper presenter dengan berbagai topik seputar informasi sebagai instrumen kekuasaan di era Revolusi Industri 4.0, dampak arus pengungsi Rohingya terhadap komunitas lokal, serta social media’s blackout di Srilanka. Setiap sesi presentasi diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab dua arah antara presenter dan peserta, mengingat diskusi panel ini terbuka untuk umum. Dalam ketiga panel diatas, paper presenter berasal dari berbagai universitas dari dalam maupun luar negeri.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Thifani Tiara Ranti

Media Research: “Indonesia – EU Bilateral Relations Update 2013”

July 30, 2019/in Global Politics and Security, Previous Research/by webadmin.3-a2b2aa

Media Research: “Indonesia – EU Bilateral Relations Update 2013”

The research, usually shorten as “Update 2013”, was part of a long-term vision of EUROS. It mainly collect both government’s press release or mass-media expose on Indonesia and EU bilateral relations during 2013. In the report, EUROS made several commentaries andreview, especially on how EUROS put the dynamics of their relations in academic context, how we underline which would be the salient issues during 2013, and what it could bring to the future of Indonesia-EU relations.On a long-run, the research could be serves as a basis for EUROS to analyze the nature ofIndonesia – EU relations. EUROS planned to design a research or policy paper constructedfrom 5-years or 10-years basis of this “Update”research.

Riset ini mengumpulkan informasi mengenai hubungan bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa yang terdapat pada media maupun rilis pers oleh pemerintah kedua negara selama tahun 2013. Selanjutnya, informasi yang dikumpulkan dianalisis dengan argumen akademis yang kemudian diberi catatan khusus untuk isu-isu penting dan masa depan hubungan Uni Eropa dan Indonesia.

Page 1 of 18123›»

Latest News

  • [IIS Brief] Indonesia and Japan: Navigating Geopolitical Shifts in the 21st CenturyMarch 25, 2025 - 2:46 pm
  • IIS Monograph Series #9 | Damai Pangkal Damai – Tidak Baik-Baik Saja: Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2024February 19, 2025 - 10:35 am
  • [IIS Commentaries] Kebijakan Luar Negeri 100 Hari Pemerintahan PrabowoFebruary 14, 2025 - 10:11 am
  • IIS Monograph Series #7 | No Man’s Land No Longer: Kontestasi Sumber Daya dan Geopolitik di Kawasan ArktikJanuary 3, 2025 - 2:17 pm
  • IIS Fortnightly Review #84 | Edisi 1 – 15 December 2024December 20, 2024 - 1:31 pm

Follow us on Facebook

Institute of International Studies

BA Building, 5th Floor, 503
Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada

Jl. Sosio-Justisia No.1 Bulaksumur
Yogyakarta 55281, Indonesia

Contact Us

Phone:
+62-274-563362 Ext. 115
+62-818-0650-7041 (WhatsApp)

E-Mail:
iis.fisipol@ugm.ac.id

FOLLOW OUR ACTIVITIES!

© Copyright 2021 - Institute of International Studies UGM - Enfold Theme by Kriesi
  • GOSOUTH
  • RESEARCH
  • ADVOCACY
  • PUBLICATIONS
  • PROGRAMS
  • ABOUT US
  • CONTACT
Scroll to top Scroll to top Scroll to top
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju