Entries by webadmin.3-a2b2aa

Comprehending Contemporary China through “Beyond the Great Wall”

Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim.

Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim.

Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim.

 

 

Efforts to Intensify People to People Cooperation

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum in massa eget lorem laoreet viverra eget id nibh. Proin dapibus dictum nisl, vel euismod nulla porta vel. Etiam in risus varius, mattis nisi cursus, aliquam metus. Praesent pretium sem vel porttitor pharetra. Orci varius natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi imperdiet, metus quis hendrerit consequat, mauris ipsum suscipit felis, eu faucibus magna ex eu ante. Fusce lobortis leo eget molestie mattis. Vivamus accumsan elit maximus turpis tempor, id porttitor eros aliquet. Ut viverra arcu libero, nec interdum metus iaculis a. Quisque pulvinar, ex et maximus faucibus, nisi felis vehicula nulla, eu mollis felis elit sit amet mauris. Donec rhoncus augue ipsum, sed efficitur leo efficitur vel. Quisque hendrerit iaculis volutpat. Integer eget ullamcorper enim.

Integer tortor enim, luctus nec rutrum sed, iaculis id justo. Vestibulum dapibus luctus ullamcorper. Fusce eu eros eget lacus imperdiet congue. In eu enim eu odio ultricies luctus. Ut hendrerit aliquam ultrices. Phasellus rhoncus sagittis lectus interdum volutpat. Phasellus eu sodales ex, vel venenatis justo. Ut sed volutpat arcu. Cras sit amet lorem eget sem laoreet consequat. Duis mattis velit a massa pretium, ac suscipit felis iaculis. Nunc tempus luctus enim eget imperdiet. Sed non erat placerat, ullamcorper dui eu, molestie ipsum. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Sed imperdiet iaculis leo, nec aliquam quam dignissim eu.

Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Nullam massa ligula, finibus non lobortis nec, accumsan a odio. Duis erat arcu, blandit id porta id, fermentum in enim. Pellentesque at posuere sapien. Curabitur elit urna, tincidunt non suscipit a, mollis ut urna. Praesent semper ligula elit, nec auctor sapien porttitor sed. Praesent lacinia quam quis ligula euismod, quis ultrices diam posuere.

In consequat purus urna, sed volutpat neque laoreet ultricies. Suspendisse potenti. Proin dictum sed ex vel iaculis. Integer rhoncus venenatis vestibulum. Proin vitae purus dui. Pellentesque eget mi tempor, pretium magna quis, vestibulum lorem. Vivamus dictum nec ex ut posuere. Donec vitae est eget nisl lacinia sollicitudin in vulputate ligula. Aliquam ut condimentum mauris, at faucibus mauris.

Etiam rhoncus convallis lorem ac tincidunt. Vestibulum ut arcu feugiat massa lobortis molestie. Orci varius natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec eget ante ante. In lobortis sollicitudin turpis ac vestibulum. Integer consequat nulla in commodo elementum. Nunc euismod tristique ipsum, vitae dignissim magna. Orci varius natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Quisque feugiat, risus quis tempus euismod, mauris mauris cursus nulla, nec congue tellus neque id nunc. Duis vel imperdiet neque, a mattis diam. Morbi ut efficitur risus. Curabitur tellus nunc, aliquet vel velit ac, ornare tempor ipsum. Fusce vel rhoncus risus. Phasellus eget aliquam ex.

CANGKIR TEH #1: Problematika dan Tantangan Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Hak-hak Masyarakat Adat diatur tidak hanya dalam kapasitas sebagai masyarakat adat lokal dan warga negara, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat global. Namun, di Indonesia, kondisinya menjadi problematis karena, meski telah mengakui hak masyarakat adat di level internasional melalui penandatanganan dokumen UNDRIP, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur rekognisi dan pemenuhan hak masyarakat adat secara spesifik.

Untuk membahas permasalahan terkait, Jumat (1/3), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan “Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional” atau “CANGKIR TEH” untuk pertama kalinya, dengan tajuk diskusi “Hak Masyarakat Adat dan Politik Kewargaan di Indoesia”. Kegiatan berlangsung di Ruang BA-502, FISIPOL UGM dengan menghadirkan Ayu Diasti Rahmawati, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus peneliti utama riset “Plural Citizenship and the Politics of Indigenous Rights in Indonesia” yang didukung oleh lembaga SHAPE-SEA.

Pada kegiatan ini, Ayu memaparkan problematisasi serta temuan sementara dari riset yang masih berlanjut ini. Penelitian Ayu dan kawan-kawan, pada intinya, berusaha meneliti kompleksitas di balik pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia dengan dua studi kasus utama, yakni masyarakat adat di Kalimantan Barat dan masyarakat adat di Pati.

“Rancangan Undang-Undang tentang hak masyarakat adat ini sudah ada tiga versi, tapi sampai sekarang masih mandek, belum ada pengesahannya,” ujar Ayu.

Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kondisi “rights-talk” atas hak masyarakat adat, dalam artian, siapa saja aktor yang bermain dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor di balik pewacanaan atas hak masyarakat adat. Pasalnya,  aktor-aktor yang terlibat tidak memiliki kekuasaan yang setara sehingga menimbulkan proses pertentangan wacana yang tidak setara pula. Inilah yang  menyulitkan pengesahan dan rekognisi hak masyarakat adat di level negara.

Selain itu, politik kewargaan di Indonesia juga berkontribusi terhadap terkendalanya pemenuhan hak masyarakat adat. Pasalnya,  membership atau keanggotaan masyarakat adat saja masih sering dipertanyakan, bahkan dalam beberapa kesempatan tidak diakui oleh pemerintah. Ditambah lagi perdebatan tentang pemakaian istilah ‘indigenous‘ dan adat; perdebatan mengenai subjek atau objek yang harus terlebih dahulu direkogisi; dan berbagai polemik lain menambah kerumitan isu dan ambil bagian dalam tersendatnya pemenuhan hak.

Terlepas dari polemik yang terjadi, Ayu menyatakan bahwa perjuangan masyarakat adat ialah perjuangan kolektif. Perlu diingat bahwa masyarakat adat  merupakan aktor yang berperan besar dalam upaya pelestarian lingkungan. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan bahkan menyatakan bahwa masyarakat adat adalah salah satu aktor vital dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan sehingga, dalam melaksanakan aktivitasnya, masyarakat adat juga sedang berusaha menjaga bumi dari kerusakan.

“Mereka punya cara-cara tertentu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang sudah terbukti (dampaknya)”  tambah Ayu.

Untuk melakukan upaya-upaya terkait, masyarakat adat butuh regulasi yang menjamin hak-haknya. Karenanya, sebagai masyarakat umum, menjadi penting untuk bersama-sama membantu masyarakat  memperoleh hak-hak tersebut.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting
Angganararas Indriyosanti

Recent Developments in the EU & Its Impact to the EU-Indonesia Relations

H.E. Charles-Michel Geurts, Deputi Ketua Delegasi Uni Eropa (UE) untuk Indonesia dan Brunei Darussalam mengungkapkan UE dan Indonesia berbagi nilai yang sama, yakni Bhinneka Tunggal Ika yang jika ditranslasikan menjadi Unity in Diversity, dan tak lain merupakan moto dari UE. (11/02)

Acara yang bertajuk Recent Developments in the EU & Its Impact to the EU-Indonesia Relations menarik minat sebanyak 175 peserta yang memadati ruang Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Mereka berasal tidak hanya dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UGM, tetapi juga dari luar kampus UGM.

Kegiatan yang terselenggara atas kerjasama Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) dan Institute of International Studies (IIS) UGM ini berlangsung selama 2,5 jam dan dimoderatori oleh Drs. Muhadi Sugiono, MA, selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM yang memiliki keahlian dalam bidang Studi Eropa.

Geurts menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang penting bagi EU karena Indonesia berperan sebagai pasar maupun sebagai titik transit untuk barang-barang dari EU. EU juga telah secara konsisten berinvestasi di Indonesia dan menjadi investor non-Asia teratas bagi Indonesia. EU juga membutuhkan Indonesia untuk beberapa masalah keamanannya, misalnya kerja sama dalam peacekeeping dan disaster rescue operations.

UE merupakan sebuah organisasi supranasional yang beranggotakan 28 negara di Eropa. UE merupakan organisasi antarpemerintah pertama yang terintegrasi dalam berbagai bidang seperti bidang ekonomi melalui penggunaan Euro sebagai common currency, bidang politik melalui pembetukan Parlemen Eropa yang memiliki wewenang untuk membentuk hukum/legislasi yang berlaku di kawasan Uni Eropa, dan penetapan Schengen Area melalui penghapusan paspor dan semua jenis kontrol perbatasan lainnya di wilayah perbatasan bersama anggota UE.

Banyak pertanyaan yang diajukan peserta sebagai antusiasme terhadap acara. Kegiatan ini diakhiri dengan pemberian cindera mata kepada Charles-Michel Geurts oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro selaku Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM.


Penulis: Melisa Rachmania
Editor: Novi Dwi Asrianti

Ratifikasi TPNW Penting bagi Indonesia!

Perjalanan panjang perjuangan kampanye perlucutan senjata nuklir menghirup udara segar dengan disahkannya Treaty on The Prohibition of Nuclear Weapon (TPNW) pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, 7 Juli 2017 lalu. Guna memberikan gambaran lebih komprehensif terkait perjajian tersebut, Institute of International Studies bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melaksanakan kegiatan Seminar “Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapon (TPNW)”, pada hari Kamis (8/2) di Auditorium Mandiri Gedung BB Lantai 4, FISIPOL UGM.

Seminar ini menghadirkan Laurentius Amrih Jinangkung selaku Direktur Hukum dan Perjanjian Ekonomi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Muhammad Rifqi Muna selaku peneliti politik LIPI, Falconi Margono selaku Plt. Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kusnanto Anggoro selaku dosen FISIP Universitas Indonesia, dan Muhadi Sugiono selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus juru kampanye ICAN di Indonesia. Pemaparan serta diskusi substantif terjadi dengan membahas berbagai isu seputar TPNW.

Laurentius Amrih Jinangkung, selaku pembicara pertama, menyatakan bahwa menjadi penting untuk meratifikasi perjanjian TPNW. Meskipun telah ada berbagai konvensi seputar senjata nuklir, TPNW merupakan perjanjian internasional pertama yang secara eksplisit melarang adanya penggunaan, pengembangan, ataupun kepemilikan senjata nuklir.

Sepakat dengan hal tersebut, Dr. Muhammad Rifqi Muna-pembicara selanjutnya, menambahkan bahwa ratifikasi TPNW penting karena manfaat yang diperoleh dari ratifikasi TPNW lebih banyak dibandingkan kerugian bagi Indonesia. Dari aspek politik global, tindakan ini memiliki dampak berupa pemberian kekuatan dalam proses diplomasi internasional. Sebab, ini mendorong isolasi terhadap negara-negara yang masih menggunakan nuklir. Hal ini juga akan memperkuat posisi Indonesia sebab turut mendorong tatanan internasional yang berlandaskan etika global. Untuk domestik Indonesia, ratifikasi TPNW akan memberikan manfaat berupa terbukanya peluang ekonomi, serta akan memfokuskan tenaga dan pikiran Indonesia untuk pengembangan teknologi nuklir non senjata bagi kepentingan nasional.

Pemanfaatan teknologi nuklir non senjata kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Falconi Margono. Pemanfaatan tersebut dapat menguntungkan Indonesia di antaranya pada bidang energi, untuk dipergunakan sebagai pembangkit listrik; bidang kesehatan, untuk mengembangkan teknologi rontgen serta penelitian obat-obatan; bidang kepurbakalaan, untuk penghitungan jumlah umur artefak maupun fosil; dan bidang-bidang lainnya. Pemanfaatan pada bidang-bidang tersebut, sejalan dengan tujuan pemerintah atas pembangunan berkelanjutan tahun 2030, dengan berkomitmen mengembangkan tenaga nuklir untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Tidak hanya negara yang harus ambil peran dalam ratifikasi TPNW, Muhadi Sugiono, pembicara berikutnya pula menyatakan, bahwa untuk mendorong negara-negara lain ikut meratifikasi,  masyarakat sipil juga perlu ambil bagian. Salah satu cara adalah dengan membangun sebuah bentuk stereotyping untuk semua negara pemilik senjata nuklir yang tidak menandatangani TPNW, serta mendorong sebuah gerakan sosial politik, baik secara domestik maupun internasional terhadap aktor-aktor tersebut. Cara lain ialah dengan melakukan pendataan terhadap perusahaan- perusahaan yang memiliki investasi senjata nuklir.

Meski demikian, masih terdapat potensi ancaman proliferasi senjata-senjata lain di dunia. Kusnanto Anggoro memaparkan bahwa meski ratifikasi TPNW yang menciptakan rezim non-proliferasi akan memiliki kontribusi untuk menciptakan dunia tanpa senjata nuklir, TPNW tidak sepenuhnya menjamin dunia yang lebih aman; baik karena aktor-aktor non negara, seperti teroris, maupun munculnya berbagai senjata mematikan baru. Potensi kemungkinan berkembangnya senjata nuklir pun masih ada karena masih terlalu banyak alternatif jalan menuju perang, karenanya Kusnanto mengimbau Indonesia untuk tetap bersiap menghadapi potensi kemungkinan berkembangnya senjata nuklir di masa depan.


Institute of International Studies (IIS) adalah mitra resmi ICAN di Indonesia. Sejak 2013, IIS telah terlibat aktif dalam upaya kampanye, baik di Indonesia maupun Asia Tenggara, guna mendorong tercapainya pengadopsian TPNW .Saat ini, IIS fokus pada upaya mendorong pemerintah Indonesia agar segera meratifikasi traktat tersebut. Simak dokumentasi kegiatan kampanye perlucutan senjata nuklir disini


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Angganararas Indriyosanti

Mendalami Cina Terkini Melalui “Beyond the Great Wall”

Perkembangan Cina sebagai sebuah negara yang semakin dinamis dan asertif menarik perhatian masyarakat internasional. Tak terkecuali di kalangan akademisi hubungan internasional di Indonesia. Dalam rangka menghadirkan forum bagi kalangan profesional untuk mendiskusikan isu-isu terbaru politik domestik maupun politik luar negeri Cina, Institute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI), Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 2019 menyelenggarakan forum akademik “Beyond the Great Wall” (BTGW).

BTGW merefleksikan situasi Cina terbaru yang menembus batas konotasi “Tembok Besar”, kokoh, statis, dan isolatif. Makin maraknya diskusi publik di Indonesia yang khusus membahas Cina membuat Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, pengajar DIHI UGM yang mendedikasikan ilmunya dalam studi politik Cina, perlu mengambil bagian dalam arus akademik ini. Terlebih, setelah DIHI-UGM melaksanakan pembaharuan kurikulum, kelas-kelas yang mempelajari politik Cina mendapat porsi yang tidak sebesar dahulu.

BTGW diharapkan dapat mengakomodasi wadah diskusi bagi berbagai kalangan untuk mengembangkan ketertarikan pada studi Cina. Dalam edisi kali ini, selain menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro, BTGW juga mengundang Hikmatul Akbar, M.Si, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ (UPN ‘V’) Yogyakarta. Ayusia Sabitha Kusuma, M.Sc.Soc Universitas Jendral Soedirman yang juga dijadwalkan menjadi pemateri sayangnya tidak dapat hadir karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.

Hikmatul Akbar membuka forum BTGW dengan memaparkan Cina baru di bawah Xi Jinping yang ditandai dengan perluasan pengaruh negara. Semenjak menjabat sebagai Presiden, Xi Jinping cenderung berusaha memusatkan kendali kekuasaan dibawah pengaruhnya. Dalam rangka memastikan stabilitas kebijakan yang ia jalankan, Xi Jinping membawahi secara langsung usuran politik, ekonomi, kebijakan luar negeri, dan bahkan menjadi komando tertinggi angkatan bersenjata Cina. Hal ini tidak lain dilaksanakan dalam rangka mewujudukan “Zhungguo Meng – The Chinese Dream”, yang ditandai dengan Cina sebagai pusat ekonomi, teknologi, dan peradaban diantara negara-negara lain.

Insiatif One Belt One Road kemudian menjelma sebagai instrumen utama dalam implementasi mimpi-mimpi Cina tersebut. Melalui kebijakan bantuan pembangunan infrastruktur tanpa syarat yang memberatkan, Cina mampu menyambungkan jalur-jalur perdagangan strategis di darat dan laut yang memusat ke Cina. Perang dagang, khususnya dengan Amerika Serikat, yang mengiringi ambisi Cina tersebut menurut Hikmatul Akbar disikapi secara terbuka.Cina berusaha tetap menghormati keputusan proteksionis negara-negara lain sembari mengedepankan dialog untuk menyelesaikan krisis ini.

Dalam sesi kedua, Nur Rachmat Yuliantoro mendiskusikan hasil membaca buku “Age of Ambitions: Chasing Fortune, Truth, and Faith in the New China” karya Evan Osnos. Secara garis besar, buku tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Cina kontemporer dalam menggapai kemakmuran, kebenaran, dan keyakinan. Melalui buku ini, Osnos menyelipkan satu cerita yang merefleksikan keingan masyarakat Cina dalam mencapai keinginan-keinginan tersebut, dan rintangan-rintangan yang menghadangnya.

Kemakmuran digambarkan Osnos melalui kisah Gong Hainan.Gong Hainan memiliki latar belakang keluarga miskin di pedesaan, namun berkat kegigihannya berhasil melanjutkan pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar Master. Apa yang terjadi pada Gong mencerminkan pandangan masyarakat Cina mengenai kemakmuran, yang ditandai dengan bekerja di perkotaan dan memiliki gelar pendidikan tinggi. Hal ini mendorong arus urbanisasi yang tinggi tiap tahunnya.

Adapun Kebenaran bersumber dari dinobatkannya Liu Xiaobo, aktivis pro-demokrasi Cina sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2010. Cina yang sebelumnya telah menjatuhi hukuman tahanan rumah terhadap Liu atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara menjadi berang karenanya. Liu menjadi contoh mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat Cina untuk memperoleh kebenaran berekspresi dan berpendapat tanpa adanya tekanan dari pemerintah.

Di bagian terakhir, Keyakinan, Osnos menampilkan kasus tabrak lari yang dialami bocah berumur 2 tahun bernama Wang Yue. Tragisnya, pasca mengalami kecelakaan tersebut, tidak ada satupun orang yang menolong Wang Yue. Baru orang ke-14 yang lewat lah – seorang nenek – yang berinisiatif membawa anak tersebut ke rumah sakit. Kendati mendapat kecaman publik, kasus Wang Yue menurut Osnos menggambarkan keyakinan baru yang muncul di tengah masyarakat, bahwa menolong orang adalah tindakan tidak berguna dan hanya merepotkan diri sendiri. Apabila kita telaah lebih jauh, sikap individualistis tersebut bersumber dari korupnya sistem penegakan hukum di Cina yang memungkinkan seseorang dikriminalisasi karena menolong orang lain.

Pada sesi penutup, Nur Rachmat menyimpulkan bahwa berdasarkan buku tersebut, kita dapat melihat Cina yang sedang berada dalam kondisi dilematis. Di satu sisi, meningkatnya tingkat kesejahteraan melahirkan masyarakat yang mengaspirasikan kebebasan dan kritis terhadap sistem pemerintahan yang berjalan. Sementara di sisi lain, demi mencapai visi langgenggnya kekuasaan Partai Komunis, pemerintah cenderung mengedepankan cara-cara yang cenderung otoriter.


Penulis: Alifiandi Rahman Yusuf
Penyunting: Angganararas Indriyosanti 

‘A True Partner for World Peace’: Strategi Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB Periode 2019-2020

Indonesia kembali terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 pada Juni 2018 lalu. Keanggotaan mewakili kawasan Asia – Pasifik di DK PBB diraih setelah menerima 144 suara dukungan dari negara anggota PBB lainnya.

Sesuai dengan slogan yang disuarakan selama kampanye pencalonan keanggotaan DK PBB, yaitu ‘A True Partner for World Peace’, Indonesia selama masa keanggotaannya berkomitmen untuk aktif dalam perwujudan perdamaian di tingkat internasional. Guna mengawal terwujudnya slogan ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Institute of International Studies (IIS UGM) mengadakan sosialisasi bertajuk Strategi Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang diselenggarakan pada Kamis (7/2), di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM yang dihadiri peserta dari berbagai institusi di Yogyakarta dan sekitarnya.

Seminar ini dibawa oleh beberapa pembicara, diantaranya Dr. Dafri Agussalim, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, Grata Endah Werdaningtyas selaku Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI, serta Koordinator Harian Satuan Tugas DK PBB Kemlu RI, Hari Prabowo. Mereka mendiskusikan berbagai strategi, tantangan, serta peluang diplomasi yang dapat dilakukan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB.

Dalam sesi pertama, Dafri Agussalim membahas kontribusi yang telah dilakukan Indonesia pada tiga kesempatan sebelumnya sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang menunjukkan kepercayaan masyarakat internasional untuk memilih Indonesia ke-4 kalinya. Dafri juga memaparkan masalah yang telah menunggu Indonesia, antara lain konflik kepentingan antar anggota permanen DK PBB, sulitnya memprediksi kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Trump, serta penyelesaian isu Palestina yang semakin rumit dalam beberapa waktu terakhir. Tantangan tersebut belum tentu terselesaikan sepanjang masa keanggotaan Indonesia, namun Dafri menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi agenda setter dalam penyelesaian isu-isu tersebut.

Selanjutnya, Grata Endah Werdyaningtas memulai sesi kedua dengan menceritakan perjuangan kampanye Indonesia untuk keanggotaan DK PBB. Persaingan dengan Maladewa dalam mengisi jatah untuk Asia – Pasifik menunjukkan bahwa permasalahan keamanan dunia saling tarik – menarik antara permasalahan tradisional dan non-tradisional. Menjadi penting untuk Indonesia memenuhi tanggung jawab dengan menjalankan peran sesuai mandat DK PBB dan menyesuaikannya dengan konteks keamanan dan perdamaian yang relevan.

Tanggung jawab yang besar tentu mendatangkan kemampuan yang besar. Indonesia sebagai anggota DK memiliki benefit, yaitu mandat DK yang mengikat secara hukum sehingga pengaruh keputusannya lebih terasa dampaknya, secara signifikan turut memberi keputusan final pemilihan Sekjen PBB beserta penurunan pasukan perdamaian, serta dapat menggalang kerjasama dengan sesama anggota DK PBB lainnya. Ini menimbulkan dampak berupa meningkatkan suara dan kredibilitas Indonesia di ranah internasional yang menurut Grata akan fokus mengadvokasi upaya – upaya perdamaian seperti perlucutan senjata, binadamai, pasukan perdamaian, antiterorisme, non-proliferasi nuklir, dan tentu saja, permasalahan tentang Palestina.

Dalam sesi selanjutnya, pembicara ketiga yaitu Hari Prabowo selaku Koordinator Harian Satgas DK PBB berfokus untuk menjelaskan peran-peran yang akan diambil oleh Indonesia selama mengisi rotasi kepresidenan DK PBB pada bulan Mei 2019 mendatang. Selain menjalankan tugas-tugas operasional seperti memimpin pertemuan dan pembahasan DK PBB, Indonesia juga akan memiliki wewenang untuk mengangkat isu prioritas tertentu untuk dibahas di debat terbuka serta menyelenggarakan signature event ketika menjalani rotasi Presiden DK PBB.  Ini juga menjadi ajang untuk menciptakan warisan dalam PBB, misalnya dengan menghasilkan dokumen yang berkontribusi konkrit dalam aktivitas DK PBB, seperti pada tahun 1996, Indonesia menghasilkan Wisnumurti Guidelines yang memfasilitasi proses pemilihan Sekjen PBB yang berkeadilan bagi semua negara anggota.

Mendekati penghujung acara, sesi tanya jawab yang dipandu oleh moderator Veronica Rompis berlangsung substantif.  Mengutip dari Grata Endah, harapan setelah terselenggaranya acara ini adalah, “Keanggotaan DK PBB ini bukan milik Kemlu saja, tetapi milik bangsa. Maka, Kemlu mengharapkan dukungan konstruktif dari masyarakat.”


Penulis: Heidira Witri Hadayani
Penyunting: Angganararas Indriyosanti

Making Sense of ASEAN: Leaders and Secretariat’s Role in Democratization

Hari ini, 8 Agustus 2018, menandai 51 tahun terbentuknya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Di awal Agustus 1967, Adam Malik, Tun Abdul Razak dari Malaysia, Narcisco Ramos dari Filipina, S. Rajaratnam dari Singapura, dan Thanat Khoman dari Thailand akhirnya memutuskan untuk membentuk ASEAN di lapangan golf di Bangsaen, Thailand. Severino mendeskripsikan momen tersebut sebagai tie-less on easy chair di mana para delegasi negara-negara terkait bermain golf di pagi hari, rapat di siang hari, dan makan malam santai di malam hari (Severino 2006). Pada 8 Agustus, seluruh persiapan untuk penandatanganan deklarasi di Bangkok telah matang. Di bawah perintah Soeharto, Adam Malik melakukan serangkaian perbincangan dengan pimpinan Malaysia untuk menghentikan Konfrontasi, kemudian melakukan negosiasi perdamaian serta menaksir kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi untuk menjamin koeksistensi perdamaian di antara negaranegara Asia Tenggara. Pada awalnya, asosiasi tersebut dibentuk  guna membendung pesebaran komunisme di masa Perang Dingan. Karenanya, ASEAN sendiri memiliki motif politik guna memastikan terciptanya keamanan regional. Dalam bahasa sehari-hari, Khoo How San menjelaskan peran ASEAN sama dengan kelompok pengawas yang betugas untuk memastikan stabilitas regional (Khoo, 2000).

Dari perspektif keamanan tradisional, dapat dikatakan bahwa ASEAN telah berhasil menjalankan fungsi
utamanya, yakni memastikan ketiadaan perang. Namun, setelah Perang Dingin berakhir, regionalisme di dunia telah menunjukkan perluasan cakupan dalam kerja sama. ASEAN kemudian mengembangkan tiga pilar kerja samanya, yakni Keamanan dan Politik, Ekonomi, dan Sosial Kultural. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Rizal Sukma, demokrasi seharusnya juga menjadi salah satu agenda ASEAN (Sukma, 2009). Tahun lalu, institut kami mempublikasikan buku dalam rangka memperingati hari jadi ASEAN ke-50 dengan judul 50 Years of Amity and Enmity: The Politics of ASEAN Cooperation yang disunting oleh Dr. Poppy S. Winanti dan saya. Dari buku tersebut, kami telah memahami bahwa terlepas dari kesuksesan ASEAN dalam menginisiasi dan mengimplementasi kerja sama sektoral, masih terdapat beberapa tantangan dan halangan menuju kerja sama lebih dalam.

Saat ini, sektor Keamanan dan Politik ASEAN menunjukkan perkembangan yang tidak mengesankan. ASEAN telah dua kali gagal membuat pernyataan bersama guna menekan Cina dalam permasalahan Laut Cina Selatan. Selain itu, praktik demokrasi dan kebebasan sipil negara-negara anggota ASEAN tergolong lemah (Index of Democracy, 2017; Freedom in the World Index, 2017). Di sektor ekonomi, sejak tahun 2011 ASEAN belum mempublikasikan laporan resmi dan akademisi memproyeksikan hanya 79,5% target ASEAN Economic Community (AEC) yang tercapai pada tahun 2016 (Menon & Melendez, 2016). Kami percaya bahwa laporan AEC perlu dipublikasikan kembali. Di sisi lain, terdapat keanehan pada sektor Sosial Kultural, di mana manajemen kebencanaan dan polusi asap termasuk di dalamnya. Keputusan tersebut merefleksikan pendekatan ASEAN yang melepaskan natur politis dari penanganan bencana dan polusi asap. Terlebih mengingat ASEAN yang mengusung konsesus dan prinsip nonintervensi—ASEAN Way. Secara
tradisional, ASEAN mengusung konsep nonintervensi karena dinilai lebih menarik bagi rezim yang kurang  demokratis. Contohnya, Junta Militer Myanmar yang melihat keanggotaan ASEAN sebagi cara meningkatkan kehadiran dan memperoleh legitimasi  ketika bergabung pada tahun 1997 (McCarthy, 2008).

Mempertimbangkan tantangan-tantangan ini, kami berargumen bahwa praktik demokratisasi yang lemah merupakan sumber dari ketidakefektifan pengawasan dan kurang progresifnya regionalisme Asia Tenggara. Kami ingin merefleksikan perkembangan terkini dengan usia 51 tahun ASEAN. Kami percaya bahwa ada momentum dan kesempatan yang muncul akibat transformasi politik dan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini beberapa tahun terakhir. Perkembangan ekonomi di Asia Tenggara telah menghasilkan lebih banyak masyarakat kelas menengah yang melek informasi. Perkembangan politik terbaru di Myanmar dan Malaysia ikut mengindikasikan keterbukaan politik pada level tertentu.

Menciptakan kembali momentum untuk perubahan Kunci perbaikan ASEAN bergantung pada kondisi politik domestik negara-negara anggotanya. Semakin demokratis sebuah masyarakat, maka semakin besar kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi memperbaiki kebijakan. Hal tersebut tidak hanya berlaku dalam tingkatan domestik, tetapi juga dalam kebijakan luar negeri dan regionalisme. Melalui evaluasi masyarakat, ASEAN dapat dimonitor dengan lebih baik. Dalam kondisi demokratis, pemimpin negara anggota akan berusaha lebih keras membuktikan pada konstituennya bahwa mereka mengantarkan aspirasi kebijakan luar negeri mengenai ASEAN.

Oleh karena itu, peran diplomat prodemokrasi dan birokrat ASEAN dalam mempromosikan demokrasi menjadi sangat penting. Kita perlu mendukung diplomat muda Indonesia yang mempromosikan nilainilai demokrasi, seperti yang telah lebih dulu dilakukan diplomat-diplomat Filipina dan Thailand. Di Malaysia, jika perjanjian politik antara Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim berjalan dengan baik, maka kita akan melihat kembalinya Anwar, seorang pemimpin prodemokrasi yang pernah mendukung ide untuk memperkaya ASEAN Way.

Agenda untuk meredefinisi ASEAN Way dalam rangka mendukung demokratisasi hanya dapat berjalan apabila ASEAN memiliki pemimpin nasional yang progresif dan sekretariat yang lebih kuat. McCarthy menyoroti perkembangan konsep yang diciptakan pemimpin-pemimpin inovatif untuk menentang pendekatan tradisional ASEAN Way. Anwar Ibrahim mengembangkan terminologi “Intervensi Konstruktif” pada masa jabatannya sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia. Intervensi Konstruktif ialah ide untuk memberi kesempatan bagi negara anggota ASEAN untuk melakukan intervensi atas urusan domestik negara anggota. Menurut Anwar, hal tersebut cukup penting mengingat adanya perluasan ASEAN. Logikanya, beberapa anggota baru yang tidak demokratis (Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja) akan segera bergabung dengan ASEAN. Ide ini kemudian ditolak.

Untuk mengaktualisasi ide tersebut, menteri luar negeri Thailand saat itu, Surin Pitsuwan, mengajukan ide “Flexible Engagement.” Kata-kata “diskusi yang jujur dan terbuka” serta “tekanan-rekan-sejawat atau tekanan yang-bersahabat” dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan Flexible Engagement (Katanyuu, 2006). Konsep ini memperbolehkan negara anggota untuk mendiskusikan atau mengkritisi kondisi domestik negara anggota lain apabila ada implikasi lintas batas negara. Namun, sekali lagi, ide ini ditolak. Sebagai alternatif dari ide tersebut, “Enhanced Interaction” diperkenalkan untuk memberi ruang bagi negara anggota untuk mengkritisi negara anggota ASEAN lain. Namun, ASEAN sebagai institusi dilarang untuk melakukan hal tersebut.

Lagi, di tahun 2003, diinisasi oleh pemerintahan Thaksin Shinawatra ketika Surin Pisuwan mengenalkan kebijakan luar negeri Thailand “Forward Engagement” (Katanyuu, 2006). Di bawah kerangka kerja ini, Thailand mengusulkan sebuah mekanisme rekonsiliasi dan demokratisasi di Burma melalui serangkaian konsultasi. Meskipun aksi tersebut merupakan kebijakan luar negeri Thailand, kita menyaksikan sosok Surin Pitsuwan yang dapat mendorong dukungan positif bagi demokrasi, sebagaimana ditawarkan oleh Anwar Ibrahim. Apa yang dapat kita tiru kini ialah penggunaan strategi Surin Pitsuwan untuk melahirkan konsep baru dan nilai universal pada isu-isu sensitif seperti aksi humaniter dan manajemen kebencanaan. Pada tahun 2008, Surin Pitsuwan selaku Sekretaris Jenderal ASEAN menerapkan norma “Responsibility to Protect” (R2P) merespons Siklon Nargis Myanmar. ASEAN berhasil meyakinkan Myanmar supaya lebih terbuka terhadap aksi-aksi humaniter dari komunitas internasional. Hal tersebut kemudian menjadi dasar rasa percaya diri Myanmar sebelum demokratisasi pada tahun 2010. Dari peristiwa tersebut, Sekretariat ASEAN seharusnya tidak hanya menjadi sebuah kantor yang baik. Terakhir, mendukung demokratisasi di ASEAN juga berarti
memperkuat demokrasi di dalam. Dengan apresiasi yang diberikan ASEAN terhadap demokrasi kita, kecil kemungkinan elit politik dan pemimpin untuk bertindak otoriter atau non-demokratis.

Referensi:
Katanyuu, R. (2006). Beyond Non-Interference in ASEAN: The Association’s Role in Myanmar’s National Reconciliation and Democratization. Asian Survey, 825-845.
Koo, H.S. (2000). ASEAN as a “Neighborhood Watch Group.” Contemporary Southeast Asia, 22(2), 279-301.
McCharty, S. (2008). Burma and ASEAN: Estranged Bedfellows. Asian Survey, 911-935.
Menon, J. & Melendez, A. C. (2018). Realizing an ASEAN Economic Community: Progress and Remaining
Challenge. The Singapore Economic Review, 63(1).
Severino, R. C. (2006). Southeast Asia in Search of an ASEAN Community: Insights from the Former ASEAN Secretary General. Singapore: ISEAS.
Sukma, R. (2009). Political Development: A Democracy Agenda for ASEAN? In D. K. Emmerson, Hard Choices: Security, Democracy, and Regionalism in Southeast Asia (pp. 135-150). Singapore: ISEAS.


Penulis: Muhammad Rum, IMAS

ASEAN Summit 2019 Achieved a New History

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem.

Nulla consequat massa quis enim. Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer.

  • Donec posuere vulputate arcu.
  • Phasellus accumsan cursus velit.
  • Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae;
  • Sed aliquam, nisi quis porttitor congue

Nunc nec neque. Phasellus leo dolor, tempus non, auctor et, hendrerit quis, nisi. Curabitur ligula sapien, tincidunt non, euismod vitae, posuere imperdiet, leo. Maecenas malesuada. Praesent congue erat at massa. Sed cursus turpis vitae tortor.

  • Donec posuere vulputate arcu.
  • Phasellus accumsan cursus velit.
  • Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae;
  • Sed aliquam, nisi quis porttitor congue

The US Election and NAFTA Trade Agreements

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem.

Nulla consequat massa quis enim. Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim.

Nunc nec neque. Phasellus leo dolor, tempus non, auctor et, hendrerit quis, nisi. Curabitur ligula sapien, tincidunt non, euismod vitae, posuere imperdiet, leo. Maecenas malesuada. Praesent congue erat at massa. Sed cursus turpis vitae tortor.

  • Donec posuere vulputate arcu.
  • Phasellus accumsan cursus velit.
  • Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae;
  • Sed aliquam, nisi quis porttitor congue