CANGKIR TEH #1: Problematika dan Tantangan Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Hak-hak Masyarakat Adat diatur tidak hanya dalam kapasitas sebagai masyarakat adat lokal dan warga negara, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat global. Namun, di Indonesia, kondisinya menjadi problematis karena, meski telah mengakui hak masyarakat adat di level internasional melalui penandatanganan dokumen UNDRIP, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur rekognisi dan pemenuhan hak masyarakat adat secara spesifik.

Untuk membahas permasalahan terkait, Jumat (1/3), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan “Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional” atau “CANGKIR TEH” untuk pertama kalinya, dengan tajuk diskusi “Hak Masyarakat Adat dan Politik Kewargaan di Indoesia”. Kegiatan berlangsung di Ruang BA-502, FISIPOL UGM dengan menghadirkan Ayu Diasti Rahmawati, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus peneliti utama riset “Plural Citizenship and the Politics of Indigenous Rights in Indonesia” yang didukung oleh lembaga SHAPE-SEA.

Pada kegiatan ini, Ayu memaparkan problematisasi serta temuan sementara dari riset yang masih berlanjut ini. Penelitian Ayu dan kawan-kawan, pada intinya, berusaha meneliti kompleksitas di balik pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia dengan dua studi kasus utama, yakni masyarakat adat di Kalimantan Barat dan masyarakat adat di Pati.

“Rancangan Undang-Undang tentang hak masyarakat adat ini sudah ada tiga versi, tapi sampai sekarang masih mandek, belum ada pengesahannya,” ujar Ayu.

Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kondisi “rights-talk” atas hak masyarakat adat, dalam artian, siapa saja aktor yang bermain dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor di balik pewacanaan atas hak masyarakat adat. Pasalnya,  aktor-aktor yang terlibat tidak memiliki kekuasaan yang setara sehingga menimbulkan proses pertentangan wacana yang tidak setara pula. Inilah yang  menyulitkan pengesahan dan rekognisi hak masyarakat adat di level negara.

Selain itu, politik kewargaan di Indonesia juga berkontribusi terhadap terkendalanya pemenuhan hak masyarakat adat. Pasalnya,  membership atau keanggotaan masyarakat adat saja masih sering dipertanyakan, bahkan dalam beberapa kesempatan tidak diakui oleh pemerintah. Ditambah lagi perdebatan tentang pemakaian istilah ‘indigenous‘ dan adat; perdebatan mengenai subjek atau objek yang harus terlebih dahulu direkogisi; dan berbagai polemik lain menambah kerumitan isu dan ambil bagian dalam tersendatnya pemenuhan hak.

Terlepas dari polemik yang terjadi, Ayu menyatakan bahwa perjuangan masyarakat adat ialah perjuangan kolektif. Perlu diingat bahwa masyarakat adat  merupakan aktor yang berperan besar dalam upaya pelestarian lingkungan. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan bahkan menyatakan bahwa masyarakat adat adalah salah satu aktor vital dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan sehingga, dalam melaksanakan aktivitasnya, masyarakat adat juga sedang berusaha menjaga bumi dari kerusakan.

“Mereka punya cara-cara tertentu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang sudah terbukti (dampaknya)”  tambah Ayu.

Untuk melakukan upaya-upaya terkait, masyarakat adat butuh regulasi yang menjamin hak-haknya. Karenanya, sebagai masyarakat umum, menjadi penting untuk bersama-sama membantu masyarakat  memperoleh hak-hak tersebut.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting
Angganararas Indriyosanti

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.