IIS UGM Visit to PT Dirgantara Indonesia: Considering Drone Development Prospect in Indonesia

Indonesian should be proud with the newly-introduced Medium Altitude Long Endurance (MALE) drone named Elang Hitam (translated as: Black Eagle), on the end December 2019. Responding the newly-introduced drone, Raditya Bomantara, S.IP, Farah Andri, S.Ds, dan Denise Michelle from Disseminationa and Outreach of Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) visited the headquarter of PT Dirgantara Indonesia (PT DI) as a part of the global movement: Campain on Killer Robots, on Monday (20/01/2020). Muhammad Nainar and Ardya Paradipta from PT DI, as a representative from the team that developed the drone, briefed our team from IIS about Elang Hitam drone that day. The goal of our visit is to earn more informations and discuss further about the development of MALE drone and the use of its technology in Indonesia

MALE Elang Hitam is a project initiated by the Ministry of Defence, which also involves Agency for the Assessment and Application of Technology, Indonesian Air Force’s Research and Development body, and Bandung Institue of Technology, National Institute of Aeronautics and Space, PT DI, and PT Len Industri. Facing many difficulties in supervising the country borders became the start of Indonesian drone development. The lack of supervision on the borders had become an opportunity for smugglers, which then costs the government a fair amount. For that reason, MALE drone will be operated as a surveillance device for the borders with an intensive sortie (up to 24 hours), which would be impossible if the government use conventional aircraft.

There is a plan to arm MALE Elang Hitam, however, Nainar assured that the MALE developd right now is still far-fetched from what we know as Killer Robots. Ardya infromed that MALE drone will act as a reconnaissance, with borders surveillance sortie to transfer images using camera to the mission control. Those image then would be processed by the operator, before deciding further actions. This shows that the operational of MALE drone has not been fully autonomous and still dependant on human in the loop. Even if it is unarmed, MALE will still be able to help border surveillance by sending needed informations that later will be processed by the Indonesian Army.

At the end of the discussion, to reassure people worries about the use of MALE as killer robots, Nainar repeated that Indonesia still has a long way from adopting the killer robots technology. Other than technological factors, the MALE drone performance still need to be assessed and developed until it could be licensed and operated. The MALE technology will be used to supervise borders and not as a weapon since it is what Indonesia needs right now. MALE will also be potential in disaster mitigation such as forest fire, flood, and landslide. MALE will also be useful to get atmosphere imagery that will help with weather forecast. It has a lot more possible benefits other than just as a weapon of destruction if the government used it selectively and carefully.

After the discussion, our team had a chance to visit other facilities inside PT DI to directly observe the drone Wulung, which is the MALE predecessor, also some vehicles that operates as the mission control for the drones. Our team wrapped the visit with a photo session and token exchange with the representatives of PT DI.


Author : Denise Michelle, Raditya Bomantara

Editor : Angganararas Indriyosanti, Muhammad Nainar PT DI

Kunjungan IIS UGM ke PT Dirgantara Indonesia: Menilik Prospek Pengembangan Teknologi Pesawat Nirawak di Indonesia

Masyarakat Indonesia tentunya boleh berbangga dengan diperkenalkannya Pesawat Udara Nirawak (PUNA) terbaru kelas Medium Altitude Long Endurance (MALE) pada akhir Desember 2019 lalu yang diberi nama Elang Hitam. Sebagai respon atas pengenalan pesawat nirawak tersebut, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) yang diwakili oleh Raditya Bomantara, S.IP, Farah Andri, S.Ds, dan Denise Michelle dari divisi Diseminasi dan Outreach IIS UGM, melakukan kunjungan ke kantor pusat PT Dirgantara Indonesia (Persero) sebagai bagian dari kampanye global Campaign on Killer Robots pada Senin (20/1/2020) lalu. Sebagai narasumber, pihak PT Dirgantara Indonesia (DI) diwakili oleh Muhammad Nainar selaku project manager MALE dan Ardya Paradipta selaku perwakilan dari tim pengembang pesawat nirawak MALE Elang Hitam. Adapun tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk menggali informasi dan berdiskusi lebih dalam tentang progres pengembangan drone dan teknologi pesawat nirawak di Indonesia.

MALE Elang Hitam merupakan proyek inisasi Balitbang Kementerian Pertahanan dengan konsorsium yang terdiri dari Kementerian Pertahanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dinas Penelitian dan Pengembangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), PT DI dan PT Len Industri. Pengembangan drone tersebut diawali oleh kesadaran Pemerintah Indonesia yang mengalami kesulitan dalam mengawasi wilayah perbatasan. Kurang optimalnya pengawasan wilayah perbatasan sering dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab untuk menyelundupkan komoditas illegal, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Sebagai respon atas fenomena tersebut, pesawat nirawak MALE diproyeksikan sebagai sarana pengawasan wilayah perbatasan dengan tingkatan sorti yang lebih intensif dalam sehari (waktu operasional mencapai 24 jam), yang tentunya mustahil dilakukan apabila menggunakan pesawat konvensional karena keterbatasan fisik manusia.

Meskipun Pemerintah Indonesia memang mempertimbangkan untuk melengkapi MALE Elang Hitam dengan sistem persenjataan, Nainar memastikan bahwa MALE masih terlalu jauh dari apa yang kita kenal sebagai “Killer Robots”. Ardya menekankan bahwa fungsi utama MALE adalah untuk fungsi reconnaissance, dengan tahapan sorti pengawasan perbatasan, mengirim citra dengan menggunakan kamera kepada kontrol misi, dan kemudian diproses oleh operator sebelum menentukan tindakan lebih lanjut. Dengan kata lain, operasional MALE masih mengandalkan model human in the loop sehingga tidak sepenuhnya otonom. Tanpa senjata pun, MALE dapat membantu pengawasan perbatasan dengan memberikan informasi yang kemudian ditindaklanjuti oleh TNI selaku pengawas perbatasan.

Pada akhir sesi diskusi, untuk menjawab kekhawatiran masyarakat terhadap penggunaan MALE sebagai senjata Killer Robots,  Nainar kembali menekankan bahwa Indonesia masih sangat jauh dari mengadopsi senjata Killer Robots. Selain beberapa faktor, seperti kekurangan teknologi, kepastian atas performa dan fungsi MALE tersebut harus menunggu berbagai tahapan yang harus dilewati oleh pesawat nirawak tersebut sebelum mendapatkan lisensi resmi dan layak operasional. Dari segi kebutuhan Indonesia sendiri, teknologi yang diusung MALE ini diproyeksikan sebagai wahana pengintai dan perbatasan, bukan sebagai platform persenjataan layaknya drone sekelas yang dimiliki oleh negara lain. Bahkan, MALE juga memiliki potensi untuk digunakan dalam sektor lain, yang membutuhkan keunggulan citra visual dari kamera MALE, yaitu mitigasi bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, longsor dan pencitraan atmosfer untuk mempermudah ramalan cuaca. Potensi yang dimiliki oleh pesawat nirawak jauh lebih besar dibandingkan pemanfaatan yang hanya semata-mata sebagai senjata pembunuh apabila digunakan dengan cermat dan selektif,.

Seusai sesi diskusi, tim IIS mendapatkan kesempatan untuk tur disekitar fasilitas hanggar PT DI dan mengamati langsung pesawat nirawak “Wulung” yang merupakan pesawat nir awak produksi PT DI pendahulu MALE, serta wahana kendaraan yang digunakan sebagai pusat kontrol misi pesawat nirawak. Terakhir, kunjungan ditutup dengan sesi foto bersama dan penyerahan suvenir kepada Nainar selaku perwakilan dari PT Dirgantara Indonesia.


Penulis : Denise Michelle, Raditya Bomantara

Editor : Angganararas Indriyosanti, Muhammad Nainar PT DI.

Press Conference #2 Natuna Waters Dispute : Legality of Nine Dash Line

On Tuesday (14/1), the Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held a press conference to discuss two important issues in international politics in early 2020. One of them is the territorial dispute of Natuna waters between  Indonesia and China.

Indrawan Jatmika, researcher at IIS UGM said that Indonesian government tends to move too slowly and is less responsive in responding to actions taken by China, who disrupts the North Natuna Sea by the inclusion of fishing boats and coast guard patrols that trespasses Indonesia’s Exclusive Economic Zone (EEZ). China often uses its historical setting, namely nine dash lines, as its foundation to claim the South China Sea region. Even though these nine dash lines clearly contradicts UNCLOS and intersects with Indonesia’s EEZ boundaries.

“The steps Indonesia is currently taking tend to try to tackle rather than to prevent the problem, because the issue in South China Sea was brought to attention at the beginning of the decade of 2010, especially in 2013-2014 when China began to have power due to rapid economic development,” Indrawan said.

Since the beginning of his administration in 2014, President Jokowi felt that the South China Sea case was not an Indonesian affair, therefore, there was no need for Indonesian interference. This then became a mindset that continues to this day. So when an issue like this occurs, the government is not ready and yet has a strategy to deal with it. As a result, each of the ministries’ responsibilities were intertwined, with each ministry having its own position to overcome this issue.

With Indonesia’s tendency ignoring this issue, Indonesia loses the opportunity to become an ASEAN leader. In fact, since the creation of ASEAN in 1967, Indonesia has always been regarded as the leader of ASEAN. This is quite unfortunate according to Indrawan. Indonesia should be able to lead and multilaterally consolidate ASEAN member countries to determine joint steps and attitudes to respond to China, while bringing this issue to various international forums on behalf of ASEAN.

Domestically, Indonesia also needs to be more assertive and ready to overcome this issue. Sending the military to Natuna or building a military base to Natuna doesn’t mean that Indonesia challenges China into a open war, but rather shows the readiness of Indonesia to defend it’s territorial sovereignty.

 

Indrawan’s explanation was followed by a presentation by Randy Wirasta Nandyatama, UGM lecturer in International Relations and an expert on Southeast Asian politics and security studies. According to Randy, this Chinese presence in Natuna is important because the fishing boats are escorted by coast guards who according to UNCLOS are paramilitary, because they are assisted by the state by providing escorts. This is the problem and makes the whole ordeal more complicated.

According to Randy, China took this action because it depended on the legitimacy of the Communist Party of China (CPC). The CPC can continue to rule if it can guarantee economic growth, maintain territorial integrity, and love of the motherland’s propaganda (nationalism).

“The territorial integrity point is a point that intersects with this case, because the CPC must defend the South China Sea which is considered as rightful territory of China. Most likely, the Chinese Government will find it difficult to retreat because according to China, the South China Sea is important for Chinese territorial integrity, “Randy said.

Previously, Indonesia limited its involvement in the issue of the South China Sea because Indonesia did not claim the Spratly Island in the waters of the South China Sea, so that previously there had been no dispute and direct contact between Indonesia and China. But now, it is important for Indonesia to be actively involved and more responsive in overcoming violations of regional sovereignty. Because in an international dispute, a country that can take care of an area and manage it seriously, it will be seen as more important and more appropriate for that region. This is what China is trying to pursue.

In line with what Indrawan said earlier, Indonesia’s response was considered to be less coordinated. The various ministry and institutions involved do not have uniform responses to this issue. So what can be done by the government is to coordinate more seriously and make stronger and well directed diplomacy efforts to maintain Natuna waters.

“Indonesia has so far ignored the historical fishing rights of China, so Indonesia needs to go deeper into the foundation and reasons for China to intervene in Natuna. “There is also a need for an agreement option between the two countries where the two countries can work together and utilize resources simultaneously,” Randy concluded his presentation.


Author: Denise Michelle

Editor: Angganararas Indriyosanti

Press Conference #1 : US and Iran Conflict Escalation after the Death of General Soleimani

Tuesday (01/14/2020), Institute of International Studies, Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held a press conference responding the issue of conflict escalation between the United States and Iran. The murder of Major General Qasem Soleimani by the US drone attack escalate the tension between the two countries. This raises fears of a war between the two countries, which could possibly trigger World War III. To analyze the possibility of the aforementioned war, there are several things to consider. On this occasion, IIS UGM invited Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Head of the Department of International Relations Universitas Gadjah Mada and Yunizar Adiputera, MA., Lecturer at the Department of International Relations Universitas Gadjah Mada.

The United States has a long history of involvement in the Middle East region due to Israel’s existence as the US’ closest ally. It is no secret that the US is the enemy of most Middle Eastern countries. On the other hand, Iran is one of the US enemies who aggressively continues to develop its strength, and in response US is always trying weaken and hinder the development of Iran. The killing of Soleimani can be interpreted as US latest effort, with the justification that Soleimani had the intention to attack several strategic targets in the US.

But in reality, the justification’s validity mentioned by the White House is still unproven. On the contrary, there are statements stating that Donald Trump carrying out the attack as a diversion of issues to reduce the burden on the US domestic affairs. One of them being Trump’s impeachment, as well as an effort to boost Trump’s popularity in the upcoming election. This tactic was also used by former US President, George H. Bush Sr. who intervened in the Iraqi invasion of Kuwait. However, this strategy can turn against Trump if Trump’s political opponents use the economic issue as consideration in initiating war, whereas the condition of the US economy is actually not strong enough to support a war economy if the US declare war with Iran.

 

 

Can the US attack that killed Major General Qasem Soleimani be justified under International Law?

“It is difficult to justify (the attack). According to international law, the logic that has been built so far is only that (General Qasem Soleimani) is a terrorist, while according to international law, attacks can only be carried out on the basis of self-defense or if there is an imminent threat “

-Yunizar Adiputera, M.A, Lecturer in the Department of International Relations, Gadjah Mada University.-

In addition to the problems of US domestic affairs, there is a problem with the validity of attacks carried out against Soleimani under the international humanitarian law. An attack can only be justified as an act of self-defense or in response to an imminent threat. Trump said that this attack was a form of US self-defense against plans and acts of terrorism driven by Soleimani. It is difficult to justify the validity of the attack on Soleimani because until now, there has been no significant evidence of the threat brought by Qasem Soleimani. In addition, whether the attack are legal or not, the attack that killed Soleimani was also an unwise and unreasonable decision, because it could create a crisis and escalate conflict in the Middle East region.

 

Will the conflict between the two countries escalate so that it can trigger World War III?

“The United States and Iran both possess nuclear power, and if they fight, it will only create large-scale damage and the prospect of MAD (mutually assured destruction)”

-Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Head of the Department of International Relations, Gadjah Mada University –

For now, the possibility of World War III is considered by both interviewees as an unrealistic possibility due to several factors. First, the political situation is very different from the situation before World War I and II, where the majority of countries avoid open warfare and choose diplomacy. Second, the domestic factors of the two countries in conflict. On one hand, the US is affected by weak public support for war and also economies that are not ready for large-scale war, and on the other, Iran also has a military force far more inferior than the US, and the choice to declare war to US can lead to strategic blunders. Third, the prospect of mutually assured destruction that will occur because both the US and Iran both have nuclear weapons, which if used will only cause large-scale damage and harm both US and Iran along with other countries involved.

 

What can Indonesia do?

At the end of the session, the two speakers reminded of the significance of diplomacy in the modern era. DIHI and IIS UGM will always prioritize diplomacy and will not promote warfare as a solution. Although many parties consider the prestige of diplomacy to be less popular after several phenomena such as Brexit and Trump who prefer to use the power of the United States over diplomatic channels, in reality diplomacy has become more important than in previous eras. In this case, the Government of Indonesia can use diplomacy to prevent conflicts between the United States and Iran from escalating further.

 


Author: Raditya Bomantara

Editor: Denise Michelle

Beyond the Great Wall #6: Reconciliation of Economy and Environment

Environmental interests often clashes with economic ones, as if we have to choose one and sacrifice the other. However, one of the eco-city projects in China, Tianjin Eco-City, says otherwise. Arinda Putri, Bachelor of Political Science from Department of International Relations Universitas Gadjah, shared the results of her research on this matter in the 6th Beyond the Great Wall (BTGW), a bi-monthly public discussion organized by the Institute of International Studies on political, social, or economic issues related to China, on Friday (6/12). Alongside Arinda, M. Irsyad Abrar, student from Department of International Relations, and Nur Rachmat Yuliantoro, Head of the Department and the initiator of Beyond the Great Wall, attended the event as speakers.

In Irsyad Abrar’s explanation related to the challenges and responses of China to its energy security, it was conveyed that, until today, coal is still dominantly used in China, regardless of the environmental complication it caused.

“… in volume, (the use of coal) jumped very dramatically. This problem rises in line with the rise of China as the country with the second largest economy in the world.”, said Abrar.

Domestic pressure from the citizens, especially on the East Coast, as well as pressure from the global community has led China to try to use energy perceived ‘cleaner’ than coal, namely petroleum, natural gas and other new renewable energies. However, these resources have not been able to replace the massive use of coal. This is because the increased supply of alternative resources has not been able to match the speed of energy consumption increase in China.

“Several news channels reported that numerous coal mines are closing. In fact, a number of new coal mines, in Northeast China region of Manchuria, gained the permission to open recently.”, added Abrar.

Although a tone that tends to be pessimistic appears from the coal sector, the Tianjin Eco-City project brings a breath of fresh air in Chinese ecological discourse. Responding to the surge of coal consumption in China, various efforts were being done, including the establishment of Eco-City projects.

“There are several eco-city projects that have been initiated by the Chinese government since 2003. Most of them failed, but the Tianjin Eco-City project in collaboration with the Singapore government proves otherwise,” said Arinda.

This cooperation is carried out by means of exchanging resources between Singapore and China, namely  the transfer of water resources technology by enforcing the sovereignty of the water sector; procurement of water reclamation facilities; and restoration of Lake Jing, which functions as pollution disposal target  for over four decades.

“Through this collaboration, Tianjin has  become the first city in China where people are able to drink tap water.” explained Arinda further.

From an economic perspective, the impact of this collaboration is massive, the Gross Domestic Product (GDP) has increased since 2007. Moreover, in 2010-2014, Tianjin have had more than 10,000 tourists and 1000 companies with interest in investing.

A low-carbon behavior was also shown by residents of Tianjin Eco-City. One results of research conducted to local resident stated that 67.3% of respondents said they were willing to pay a monthly premium to support environmentally friendly electricity. Along with it, an environment-related education is also being taught from primary school. As a result, citizens from grass-root level acquired a better understanding of the concept of green and eco-city.

On the downside, this cooperation has allowed a wider sphere of authority owned by the companies. This has led to several compliance issues and surge other problems to local politics.

Nevertheless, the Eco City cooperation have cracked an answer to an ‘either or’ case of economy and environment, a long overdue debate.

At the end of the discussion, Nur Rachmat Yuliantoro symbolically closed the discussion to mark the end of the first BTGW  series. All six discussion conducted in this series has been an insightful introduction  to China’s politics and social issues. Beyond the Great Wall series will come back with a new format next year, stay in touch!

 

Author: Sonya Teresa Debora
Editor: Thifani Tiara Ranti

Rilis Pers #1 Eskalasi Konflik Amerika Serikat dan Iran : Kemungkinan Perang Dunia ke-III?

Selasa (14/1/2020), Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan konferensi pers sebagai respon atas isu eskalasi konflik diantara Amerika Serikat dan Iran. Terbunuhnya Mayor Jenderal Qasem Soleimani oleh serangan pesawat nirawak Amerika Serikat menjadi pemicu eskalasi tensi diantara Amerika Serikat dan Iran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang antara kedua negara, yang dapat memicu Perang Dunia III.  Untuk menganalisa kemungkinan terjadinya Perang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Dalam kesempatan ini, IIS UGM menghadirkan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Yunizar Adiputera, MA., Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

Amerika Serikat memiliki sejarah keterlibatan yang panjang di kawasan Timur Tengah karena eksistensi Israel sebagai sekutu dekatnya. Bukanlah rahasia umum bahwa Amerika adalah musuh dari sebagian besar negara Timur Tengah. Di sisi lain, Iran merupakan salah satu seteru AS yang secara agresif terus mengembangkan kekuatannya, sehingga AS akan berusaha untuk melemahkan dan menghambat perkembangan Iran. Pembunuhan Soleimani dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk dari upaya tersebut, dengan justifikasi bahwa Soleimani memiliki niatan untuk menyerang beberapa target strategis di Amerika.

Namun pada kenyataannya, justifikasi yang disebutkan oleh pihak Gedung Putih tersebut masih belum bisa dibuktikan keabsahannya. Sebaliknya, muncul pandangan yang menyatakan bahwa Donald Trump melakukan serangan tersebut adalah sebuah pengalihan isu untuk mengurangi beban dalam negeri AS yang sedang marak dengan isu pemakzulan Trump, sekaligus sebagai upaya mendongkrak popularitas Trump pada pemilu yang akan datang. Siasat ini pernah diterapkan oleh mantan Presiden AS, George H. Bush Sr. yang mengintervensi dalam invasi Irak ke Kuwait. Namun siasat ini dapat berbalik merugikan Trump apabila lawan politik Trump menggunakan isu ekonomi sebagai pertimbangan dalam inisiasi perang, dimana kondisi perekonomian AS sebenarnya tidak cukup kuat untuk mendukung ekonomi perang apabila AS berperan dengan Iran.

Apakah Serangan Amerika Serikat yang menewaskan Mayjen Qasem Soleimani dapat dibenarkan menurut Hukum Internasional?

Sulit dibenarkan secara hukum internasional, logika yang dibangun selama ini hanya bahwa iya (Jenderal Qasem Soleimani) adalah orang jahat atau teroris, sementara dalam hukum internasional serangan hanya bisa dilakukan atas dasar pembelaan diri (self-defense) atau jika ada ancaman yang mendesak (imminent)”

-Yunizar Adiputera, M.A, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.-

Selain problematika urusan domestik AS, terdapat problematika keabsahan serangan yang dilakukan terhadap Soleimani apabila ditinjau dengan hukum humaniter internasional. Sebuah serangan hanya  dapat dibenarkan sebagai tindakan bela diri (self-defence) atau respon atas sebuah ancaman yang mendesak (imminent threat). Trump mengatakan bahwa serangan ini adalah bentuk self-defence AS terhadap rencana dan aksi terorisme yang dimotori oleh Soleimani. Sulit untuk menjustifikasi keabsahan serangan atas Soleimani karena hingga saat ini belum ada bukti berarti akan ancaman yang dibawa oleh Qasem Soleimani. Selain itu, terlepas dari problematika legal atau tidaknya serangan tersebut, serangan yang menewaskan Soleimani juga merupakan sebuah serangan yang tidak bijak dan tidak masuk akal, karena dapat menciptakan krisis dan eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah.

 

Apakah konflik diantara kedua negara akan mengalami eskalasi sehingga dapat memicu Perang Dunia III?

Amerika Serikat dan Iran sama-sama memiliki kekuatan nuklir, dan apabila keduanya berperang, hanya akan menciptakan kerusakan skala besar dan prospek terjadinya MAD (mutually assured destruction)

-Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada –

Untuk saat ini, kemungkinan terjadinya Perang Dunia III dinilai kedua narasumber sebagai sebuah kemungkinan yang tidak realistis karena beberapa faktor. Pertama, situasi politik yang sangatlah berbeda dengan situasi sebelum Perang Dunia I dan II, dimana mayoritas negara menghindari perang terbuka dan memilih diplomasi. Kedua, faktor domestik dari kedua negara yang berkonflik. Disatu sisi AS dipengaruhi oleh dukungan publik yang lemah atas perang dan juga ekonomi yang tidak siap untuk perang skala besar, dan disisi lain Iran juga memiliki kekuatan militer yang jauh lebih inferior dibandingkan AS sehingga pilihan untuk melakukan perang terbuka dapat mengarah kepada blunder strategis. Ketiga, prospek mutually assured destruction yang akan terjadi karena baik AS dan Iran sama sama memiliki senjata nuklir, yang apabila digunakan hanya akan menimbulkan kerusakan skala besar dan merugikan kedua negara.

 

Apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia?

Pada akhir sesi rilis, kedua narasumber mengingatkan akan signifikansi diplomasi di era modern. DIHI dan IIS UGM akan selalu mengutamakan jalur diplomasi dan tidak akan mempromosikan peperangan sebagai solusi. Meskipun banyak pihak menilai pamor diplomasi menjadi kurang populer setelah beberapa fenomena seperti Brexit dan Trump yang lebih memilih menggunakan power Amerika Serikat dibanding jalur diplomasi, namun pada kenyataannya justru diplomasi menjadi lebih penting dibanding era sebelumnya. Pada kasus ini, Pemerintah Indonesia dapat menggunakan jalur diplomasi untuk mencegah konflik diantara Amerika Serikat dan Iran bereskalasi lebih jauh.


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Denise Michelle

Rilis Pers #2 Sengketa Perairan Natuna antara Pemerintah Indonesia dengan Cina : Legalitas Nine Dash Line

Selasa (14/1) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas dua isu penting dalam politik internasional yang mengawali tahun 2020 ini. Salah satunya adalah sengketa perairan Natuna yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Cina.

Indrawan Jatmika, selaku peneliti IIS menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia cenderung bergerak terlalu lambat dan kurang responsif dalam menanggapi aksi yang dilakukan Cina di Laut Natuna Utara dengan masuknya kapal nelayan dan patroli penjaga pantai yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan teritorial Indonesia. Cina kerap menggunakan latar historisnya, yaitu nine dash lines sebagai landasannya dalam mengklaim wilayah Laut Cina Selatan. Padahal nine dash lines ini jelas bertentangan dengan UNCLOS dan bersinggungan dengan batas ZEE Indonesia.

“Langkah yang diambil Indonesia saat ini cenderung mengobati dibandingkan mencegah, karena isu di Laut Cina Selatan sudah bergulir ketika awal dekade 2010 terutama di tahun 2013-2014 ketika Cina mulai memiliki power akibat perkembangan ekonomi yang berkembang pesat,” ujar Indrawan.

Sejak awal pemerintahannya di tahun 2014, Jokowi merasa bahwa kasus Laut Cina Selatan bukanlah urusan Indonesia sehingga tidak perlu campur tangan Indonesia. Hal ini kemudian menjadi mindset yang terbangun dan berlanjut hingga saat ini. Sehingga ketika isu seperti ini terjadi, pemerintah cenderung tidak siap dan belum memiliki strategi untuk menanganinya. Yang terjadi malah saling lempar tanggung jawab antar kementerian, dimana masing-masing kementerian memiliki posisinya masing-masing dalam mengatasi isu ini.

Dengan Indonesia yang cenderung mengabaikan isu ini, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin ASEAN. Padahal, sejak awal berdirinya ASEAN tahun 1967, Indonesia selalu dianggap sebagai pemimpin ASEAN. Hal ini cukup disayangkan menurut Indrawan. Indonesia seharusnya dapat memimpin dan melakukan konsolidasi secara multilateral ke negara-negara anggota ASEAN untuk menentukan langkah dan sikap bersama untuk merespon Cina, sekaligus membawa isu ini ke berbagai forum internasional atas nama ASEAN.

Secara domestik, Indonesia juga perlu lebih tegas dan siap dalam mengatasi isu ini. Dengan mengirimkan militer ke Natuna atau membangun pangkalan militer ke Natuna bukan berarti tantangan perang dari Indonesia, namun lebih menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menindak pelanggar kedaulatan wilayah Indonesia.

Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh Randy Wirasta Nandyatama, dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus pakar kajian politik dan keamanan Asia Tenggara. Menurut Randy, kasus Cina ini menjadi penting karena kapal nelayan dijaga oleh penjaga pantai yang menurut UNCLOS adalah paramilitary, karena dibantu oleh negara dengan memberikan pengawalan. Inilah yang menjadi masalah dan membuat masalah tersebut menjadi pelik.

Menurut Randy, Cina melakukan aksi ini karena bergantung pada legitimasi Partai Komunis Cina (PKC). PKC dapat terus berkuasa apabila dapat menjamin pertumbuhan ekonomi, menjaga integritas teritorial, dan propaganda kecintaan tanah air (nasionalisme).

“Poin integritas teritorial menjadi poin yang bersinggungan dengan kasus ini, karena PKC harus mempertahankan Laut Cina Selatan yang dinilai merupakan hak Cina. Kemungkinan besar, Pemerintah Cina akan sulit untuk mundur karena menurut Cina, Laut Cina Selatan penting bagi integritas teritorial Cina,” ujar Randy.

Sebelumnya, Indonesia membatasi keterlibatannya dalam isu Laut Cina Selatan karena Indonesia tidak mengklaim Pulau Spratly di perairan Laut Cina Selatan, sehingga sebelumnya belum ada sengketa dan singgungan langsung antara Indonesia dan Cina. Namun kini, penting bagi Indonesia untuk terlibat aktif dan lebih responsif dalam mengatasi pelanggaran kedaulatan wilayah ini. Karena dalam sengketa internasional, negara yang dapat menjaga sebuah wilayah dan mengelolanya secara serius, maka akan dipandang lebih penting dan lebih pantas akan wilayah tersebut. Hal inilah yang berusaha dikejar oleh Cina.

Sejalan dengan yang disampaikan Indrawan sebelumnya, respon Indonesia dinilai kurang terkoordinir. Berbagai lembaga dan institusi yang terlibat tidak memiliki keseragaman respon terhadap isu ini. Sehingga yang dapat dilakukan adalah koordinasi yang lebih serius dan membuat upaya diplomasi mempertahankan perairan Natuna lebih kuat dan terarah.

“Indonesia selama ini masih mengabaikan historical fishing rights Cina, sehingga Indonesia perlu lebih mendalami landasan dan alasan Cina untuk melakukan intervensi di Natuna. Diperlukan juga adanya opsi kesepakatan diantara kedua negara dimana kedua negara dapat bekerjasama dan memanfaatkan sumber daya secara bersamaan,” tutur Randy menutup paparannya.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Angganararas Indriyosanti

Beyond the Great Wall #6: Menilik Jejak dan Merintis Langkah Cina

Kerap kali, kepentingan lingkungan dibenturkan dengan kepentingan ekonomi, seolah harus memilih satu dan mengorbankan yang lainnya. Namun, salah satu proyek eco-city di Cina, yakni Tianjin Eco-City, berkata lain. Arinda Putri, alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) membagikan hasil risetnya mengenai hal ini dalam Beyond the Great Wall ke-6, kegiatan dwibulanan yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Jum’at (6/12) lalu. Selain Arinda, M. Irsyad Abrar, mahasiswa HI UGM, dan Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen HI UGM sekaligus convener dari kegiatan Beyond the Great Wall, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini.

Dalam paparan Irsyad Abrar terkait tantangan dan respon Cina atas keamanan energinya, disampaikan bahwa hingga kini batu bara masih merupakan energi yang dipakai secara dominan oleh Cina, terlepas dari faktor lingkungan yang ditimbulkannya.

“…secara volume (penggunaan batu bara) melonjak sangat drastis. Ini bersamaan dengan naiknya Cina sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di dunia” ujar Abrar.

Tekanan domestik dari warga Cina, khususnya di Pesisir Timur, serta tekanan masyarakat global membuat Cina mencoba menggunakan energi yang dipersepsikan lebih “bersih” dari batu bara, contohnya minyak bumi, gas alam, dan energi baru terbarukan lainnya. Meski demikian, sumber daya ini belum dapat menggantikan penggunaan batu bara di Cina yang sangat masif. Hal ini dikarenakan peningkatan pasokan sumber daya alternatif tersebut belum dapat menandingi kecepatan peningkatan konsumsi energi di Cina. 

“Di berita, dikabarkan bahwa ada banyak tambang batu bara yang ditutup. Tapi sebenarnya ada juga tambang-tambang batu bara baru di daerah Timur Laut Cina Manchuria yang diperbolehkan baru-baru ini” tambah Abrar. 

Meski nada yang cenderung pesimistik tampak dari paparan tersebut, proyek Tianjin Eco-City membawa angin segar dalam diskursus ekologi Cina. Merespon lonjakan konsumsi batu bara di Cina yang menyentuh angka 87,5 persen, berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi efek lingkungan dari konsumsi tersebut maupun dari berbagai aktivitas produksi polusi lainnya.

“Ada beberapa proyek eco-city yang telah digagas pemerintah Cina, bahkan sejak tahun 2003. Tetapi kebanyakan gagal, satu-satunya yang berhasil ialah proyek Tianjin Eco-City yang bekerjasama dengan pemerintah Singapura” 

 

 

Kerja sama ini dilaksanakan dengan cara diadakannya pertukaran sumber daya, dari pihak Singapura dan Cina; transfer teknologi sumber daya air dengan melakukan penegakkan kedaulatan bidang air, dalam artian mengurangi ketergantungan pada air minum kemasan impor; pengadaan fasilitas reklamasi air; dan melakukan pemulihan Danau Jing yang sebelumnya menjadi tempat pembuangan polusi selama empat dekade.

 

“Melalui kerja sama ini, Tianjin bahkan menjadi kota pertama yang keran airnya bisa diminum, padahal sebelumnya perairan di Tianjin, contohnya Danau Jing, sangat tercemar” jelas Arinda.

 

Dampak dari kerja sama ini sangat besar, dari aspek ekonomi, Produk Domestik Bruto meningkat pada tahun 2007 hingga 2011. Terlebih lagi, pada tahun 2010-2014, Tianjin kedatangan lebih dari 10.000 wisatawan serta 1000 perusahaan dengan intensi investasi.

Bagi masyarakat setempat, dampak positif muncul dari perilaku rendah karbon ditunjukkan oleh penduduk Tianjin Eco-City, bahkan ketika dilakukan penelitian, 67,3 persen responden menyatakan bersedia membayar premi bulanan untuk mendukung listrik ramah lingkungan. Pendidikan terkait lingkungan hidup pula digalang sejak sekolah dasar. Alhasil, warga akar rumput jadi lebih memahami konsep green dan eco-city.

Meski dengan diadakannya kerja sama ini wewenang perusahaan menjadi lebih luas dibandingkan wewenang pemerintah dan masih terdapat permasalahan terkait kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi yang berlaku serta beberapa permasalahan aspek politis lainnya, kerja sama ini membuktikan adanya rekonsiliasi pertumbuhan ekonomi dengan penyelesaian masalah ekologi yang selama ini menjadi perdebatan panjang.

Mengakhiri kegiatan BTGW ke-6 Nur Rachmat Yuliantoro selaku convener dari kegiatan Beyond the Great Wall berbagi kisah terkait kedatangannya ke Cina November lalu melalui foto-foto tangkapannya. Pada akhir kegiatan Nur Rachmat Yuliantoro menutup rangkaian kegiatan BTGW, sebagai forum diskusi terkait perkembangan politik, sosial, ekonomi, serta isu-isu lain yang terjadi di Cina pada tahun 2019. Nantikan kegiatan Beyond the Great Wall dengan format baru di tahun depan!


Penulis : Sonya Teresa Debora

Editor : Thifani Tiara Ranti

Killer Robots: Evolution of Warfare or the Threat for Humanity?

On Thursday (29/11), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held Humanitarian Talk discussion as part of Campaign to Stop Killer Robots series with the theme “Coffee Talk on Killer Robots”. The event which was held at Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tried to offer a talk show concept which focuses on giving explanation to the public about the definition of killer robots, by discussing the advancement of information technology (IT), weaponry, and artificial intelligent (AI) in which all of them can not be separated by the advancement of the killer robots itself. IIS UGM held such series of events as a form of participation in global campaign under Campaign to Stop Killer Robots in order to raise awareness and increase the understanding of the people regarding the humanitarian consequences caused by Lethal Autonomous Weapon (LAWs). As a result, the campaign is expecting the emergence of solidarity to push the government in national level to not using autonomous weapons which will cause destruction and death of civilians.

On this occassion, IIS UGM invited Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, researcher at Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) also Dr. Sugeng Riyanto, lecturer at International Relations Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), both of the speakers have special interest on the advancement of killer robots. The discussion session is moderated by Yunizar Adiputera, M.A as the convener as well as the leader of Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM team.

The session was opened with foreword by Yunizar which explained a brief definition of LAWs. Autonomous weapon is different with drone, in which both have fundamental different on degree of control, target selection, and accuracy attack. Also, drone is not necessarily used for military purpose. On the other side, autonomous weapon is an independent weapon system which is designed for military purpose. Autonomous weapon is projected to bring forth a warfare revolution, minimize casualties from the military, and attacking target without human intervention so that it can be said as the third weapon revolution after the discovery of gun powder and atomic bomb. However, such weapon gains so many rejection from international community because of its vulnerability on operation system error, lack of capability to select target, also the degree of harm it might cause.

Sugeng opened his session by emphasizing that autonomous weapon system is inevitable, in which warfare always pushes for advancement and evolution of weaponry as a defense tool. Autonomous weapon system is an evolution of modern warfare, in which by using AI-based weapon with limited human intervention, military attempts to erase physical and psychological human limitation which is vulnerable with human error factor in order to create a more efficient warfare. However, Sugeng also explained that as the technology keeps evolving, autonomous weapon system brings several negative effects, such as the difficulties to decide the legal subject when there is civilian casualties, the loss of chivalry as a humanitarian element, also the loss of norm because of the loss of life by weapons that are not directly controlled by humans. Therefore, Sugeng concluded that the advantages possessed by autonomous weapon system makes the usage of the weapon by the military is inescapable thus a legally binding regulation is needed.

Resonating Sugeng, Rifqi also stated that military technology is indeed pushing the development of civilian technology, in which the technology development within the past 15 to 20 years has exceeded what has been able to be reached 300 years before. Rapid technological development is indeed a positive progress, but also bear negative impact. One of the negative impact can be seen in several cases, for instance is Stanislav Petrov – who had successfully prevented Nuclear War on September 26th, 1983 due to the nuclear warning system malfunction. For this case, it was the human judgment which was able to decide and prevent civilian casualties, meanwhile AI did not have such aspect. The usage of AI on autonomous weapon system forces human to be trapped in out of the loop scheme, where human is unable to interfere the decision making process of AI.This has become problematique since the scheme which should be used is human in the loop (human as the decision maker) or human on the loop (human can interfere the autonomous decision making process). Human dignity is at stake when the decision making process related to human’s life is decided by AI.

Meanwhile, regarding the role of Indonesia’s government in the middle of killer robots dilemma, Rifqi emphasized that Ministry of Foreign Affairs should take the role on pushing education in order to stop the usage and ban the autonomous weapon system. Strategy and comprehensive movement are needed in order to influence the world’s appraisal regarding smart weapons. Indonesia should be able to take the advantage its role as the Non-Permanent Member of UNSC in order to push the discussion regarding killer robots issue. Yunizar also added that in reality, Ministry of Foreign Affairs is quite slow on deciding its position. Indonesia is also lack of involvement on weapon treaties even though Indonesia has quite influential voice on such treaties. Therefore, it should be realized by the government they should express the need to ban killer robots through diplomacy. It should also be realized as well that it might be further challenge for them.


Writer : Raditya Bomantara

Editor and Translator : Thifani Tiara Ranti

Killer Robots : Evolusi Peperangan atau Ancaman Kemanusiaan?

Kamis (29/11) lalu, Insitute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan diskusi Humanitarian Talk sebagai rangkaian dari seri Campaign to Stop Killer Robots dengan tema “Coffee Talk on Killer Robots”. Kegiatan yang bertempat di Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada ini  mencoba mengusung konsep bincang santaiyang berfokus untuk memberikan penjelasan kepada sivitas akademika UGM dan masyarakat umum tentang definisi dari killer robots, dengan membahas kemajuan teknologi informasi, persenjataan, serta artificial intelligence (AI) yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan killer robots itu sendiri. IIS UGM menyelenggarakan serangkaian kegiatan ini sebagai bentuk partisipasi atas kampanye global Campaign to Stop Killer Robots untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konsekuensi kemanusiaan yang disebabkan oleh Lethal Autonomous Weapon System (LAWS). Melalui kampanye ini, diharapkan muncul solidaritas bersama untuk mendorong pemerintah di level nasional agar tidak menggunakan senjata-senjata otonom yang dapat menimbulkan kerusakan dan korban jiwa di kalangan masyarakat sipil. Sesi Coffee Talk sendiri merupakan sebuah forum diskusi internal

Pada kesempatan ini, IIS UGM mengundang Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Dr. Sugeng Riyanto, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dua pembicara yang memiliki ketertarikan khusus terhadap perkembangan killer robots. Sesi diskusi ini dimoderatori oleh Yunizar Adiputera, M.A selaku penanggung jawab sekaligus ketua tim Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM.

Sesi dibuka dengan pengantar oleh Yunizar yang memaparkan pengantar diskusi dengan menjelaskan secara singkat tentang definisi dari LAWS. Senjata otonom merupakan suatu perangkat yang berbeda dengan drone, di mana, selain memiliki tingkat pengendalian, pemilihan sasaran dan akurasi serangan yang berbeda secara fundamental, drone juga belum tentu digunakan sebagai sarana militer. Senjata otonom, di sisi lain, merupakan sistem senjata mandiri yang didesain secara khusus untuk keperluan militer. Senjata otonom diproyeksikan untuk dapat melahirkan revolusi peperangan, meminimalisir korban dari pihak milite, serta dapat menyerang sasaran tanpa tenaga manusia sehingga dapat disebut sebagai revolusi senjata ketiga setelah penemuan bubuk mesiu dan bom atom. Namun, senjata ini mendapatkan banyak penolakan dari dunia internasional karena rawan akan kesalahan sistem operasi, minimnya kapabilitas untuk memilih target, serta tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan.

Sugeng membuka pemaparannya dengan menekankan bahwa sistem senjata otonom merupakan sebuah keniscayaan, di mana peperangan selalu mendorong perkembangan dan evolusi persenjataan sebagai alat pertahanan. Sistem senjata otonom merupakan evolusi peperangan modern, di mana dengan menggunakan senjata berbasis AI yang minim intervensi manusia, militer berusaha untuk menghilangkan batasan fisik dan psikis manusia yang rawan faktor human error sehingga melahirkan  peperangan yang lebih efisien. Namun, Sugeng juga memaparkan bahwa seiring dengan terobosan dan kemajuan yang dibawanya, sistem senjata otonom membawa beberapa aspek negatif, seperti sulitnya menentukan subjek hukum ketika ada korban di kalangan sipil, hilangnya sifat kesatriaan sebagai salah satu elemen humaniter, serta lenyapnya norma karena penghilangan nyawa oleh senjata yang tidak dikontrol langsung oleh manusia. Oleh karena itu, Sugeng menyimpulkan bahwa kelebihan yang dimiliki sistem senjata otonom membuat penggunaan senjata ini oleh militer sulit untuk dihindari sehingga diperlukan sebuah aturan yang legally binding dan dapat mengatur penggunaan senjata tersebut.

Senada dengan Sugeng, Rifqi menyatakan bahwa teknologi militer memang mendorong perkembangan teknologi sipil, di mana perkembangan teknologi pada 15 hingga 20 tahun terakhir jauh melampaui apa yang dicapai dalam lingkup 300 tahun sebelumnya.  Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya merupakan sebuah kemajuan yang positif, namun juga memiliki dampak-dampak negatif yang menyertainya. Dampak negatif ini dapat dilihat dari beberapa kasus, contohnya Stanislav Petrov–yang berhasil mencegah Perang Nuklir pada tahun 26 September 1983 karena malfungsi sistem peringatan nuklir Uni Soviet), pada kasus ini, penilaian manusialah yang dapat menentukan dan mencegah korban di kalangan sipil, sementara AI tidak memiliki aspek tersebut. Penggunaan AI pada sistem senjata otonom memaksa manusia terjebak dalam skema out of the loop, di mana manusia tidak dapat campur tangan dalam pengambilan keputusan oleh AI. Hal ini menjadi problematik karena seharusnya skema yang digunakan adalah human in the loop (manusia sebagai pengambil keputusan) atau human on the loop (manusia bisa melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan yang otonom). Hal ini membuat martabat manusia dipertaruhkan ketika proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nyawa manusia diputuskan oleh AI.

Sementara, perihal peran pemerintah Indonesia di tengah dilema killer robots, Rifqi menekankan bahwa Kementerian Luar Negeri harus berperan dalam mendorong edukasi untuk menghentikan penggunaan dan pelarangan sistem senjata otonom. Diperlukan strategi dan gerakan yang menyeluruh untuk dapat mempengaruhi penilaian dunia internasional akan senjata-senjata cerdas, dan Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk mendorong pembahasan mengenai isu killer robots.  Menambahkan, Yunizar menyatakan bahwa, pada kenyataannya, Kementerian Luar Negeri justru lambat dalam menetapkan posisi. Bahkan, Indonesia minim terlibat dalam traktat-traktat penggunaan senjata, meskipun Indonesia memiliki suara yang dapat berpengaruh dalam negosiasi traktat-traktat pelarangan senjata tersebut. Hal inilah yang harus disadari oleh pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dan menyuarakan pelarangan terhadap killer robots, dan mungkin akan menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia kedepannya.

 


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Thifani Tiara Ranti