[RECAP] Beyond The Great Wall #9 : Cina dan Problematika di Era New Normal

Pada Sabtu (11/7) lalu, Institute of International Studies (IIS) UGM kembali mengadakan forum diskusi dwibulanan Beyond the Great Wall (BTGW) secara daring. BTGW edisi kesembilan menghadirkan Julian Lilihata, MA, alumnus Tsinghua University dan Arrizal Anugerah Jaknanihan, mahasiswa Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. BTGW edisi kali ini bertajuk “Cina: Problematika di Era New Normal” untuk menggambarkan tantangan yang dihadapi Cina di era new normal sembari terus berusaha menghadapi pandemi COVID-19 yang belum juga usai.

Forum diskusi diawali dengan pemaparan oleh Julian mengenai “Gelombang Kedua Virus Corona di Beijing”. Pada gelombang pertama penyebaran virus COVID-19 di Wuhan, terdapat kebimbangan dengan adanya kesimpangsiuran pemberitaan mengenai perkembangan awal kasus infeksi. Menurut South China Morning Post, kasus pertama terdeteksi pada 17 November 2019, sedangkan menurut Wall Street Journal, kasus pertama terdeteksi pada 10 Desember 2019. Pada masa awal penyebaran virus, terdapat beberapa dokter yang berusaha memperingatkan rekan sejawat mereka akan adanya kasus infeksi mirip SARS. Namun, Biro Keamanan Publik Wuhan memanggil dan melakukan represi terhadap delapan dokter tersebut dengan meminta mereka menandatangani surat pernyataan bahwa mereka telah melakukan aktivitas ilegal yang mengganggu keamanan publik. Penandatanganan ini disiarkan secara publik lewat Xinwen Lianbo.

Penanganan yang terbilang serius baru dijalankan di awal 2020. Pada 1 Januari 2020, Pasar Makanan Laut Huanan—tempat kasus-kasus pertama COVID-19 terdeteksi—ditutup. Dua minggu setelahnya, pengukuran suhu dilakukan di berbagai tempat umum. Penduduk yang demam langsung segera dirujuk ke klinik demam. Dua kasus COVID-19 di Beijing secara resmi terdeteksi pada 19 Januari 2020. Lima hari setelah kasus terdeteksi, telah banyak aksi pencegahan yang dilakukan seperti libur kerja, penyediaan masker dan hand sanitizers, pemeriksaan suhu di banyak titik, disinfeksi bangunan, penanganan pasien dengan gejala demam secara terpusat di 89 rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas klinik demam, penghentian kegiatan ibadah, dan penutupan layanan transportasi jarak jauh. Faktor yang berkontribusi membuat penyebaran virus ini semakin meluas adalah kesibukan penduduk pada satu minggu menjelang libur tahun baru Cina yang berlangsung pada pada 24 Januari-2 Februari. Selama periode tersebut, arus transportasi masih berjalan normal, seperti sebelum lockdown diberlakukan dan banyak orang telah mengambil cuti dari seminggu sebelumnya, sehingga menimbulkan indikasi pergerakan penduduk yang telah terjangkit di hari-hari sebelum lockdown diberlakukan.

Dengan adanya arus balik libur tahun baru Cina, periode puncak pertama infeksi wabah di Beijing terjadi pada 5 Februari dengan tambahan 114 kasus. Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah mengusahakan berbagai cara untuk mencegah penyebaran. Demi memberikan informasi secara tepat dan akurat untuk merespon wabah, pemerintah meluncurkan aplikasi Beijing Health Kit Apps. Aplikasi tersebut berfungsi sebagai media komunikasi dari pemerintah ke masyarakat terkait kebijakan selama pandemi sekaligus sebagai kartu identitas jika bepergian ke ruang publik. Selain itu, pembelian obat demam di apotek mewajibkan pelaporan KTP agar tercatat. Biro Keamanan Sosial Beijing pun memberikan perlindungan keluarga berpenghasilan ganda. Sebagai hasil dari respon yang cepat ini, terjadi penurunan kurva yang signifikan antara dua minggu pertama dengan dua minggu terakhir di bulan Februari.

Akibat pandemi, terdapat berbagai perubahan dan upaya adaptasi yang dilakukan, seperti munculnya revolusi tata cara makan. Adaptasi juga dilakukan dengan menghimbau warga asing untuk tidak kembali ke Beijing sebab banyak kasus COVID-19 yang merupakan kasus “impor”, yakni tercatat pada orang-orang yang tiba di Beijing dari negara lain. Pemerintah bahkan menghentikan penerbangan langsung ke Beijing dan mengalihkannya ke beberapa kota sekitar Beijing dengan angka infeksi COVID-19 yang lebih rendah. Tiga hari setelah kasus COVID-19 di Beijing memuncak, larangan masuknya warga asing ke Beijing diterapkan pemerintah pada 27 Maret.

Secara keseluruhan, angka kematian COVID-19 di Beijing lebih rendah dibandingkan epidemi SARS 2003 karena adanya upaya penanggulangan yang maksimal serta penegakan kebijakan yang agresif untuk menekan angka terinfeksi dan kematian akibat COVID-19. Selain itu, digitalisasi menjadi salah satu faktor penting karena mampu mengurangi kontak langsung, misalnya mengurangi pemakaian uang tunai (cashless) serta memudahkan identifikasi terhadap status kesehatan, dan memudahkan distribusi informasi lewat Beijing Health Kit App yang digunakan oleh warga setiap hari. Adanya kontribusi sukarelawan juga penting karena mereka berperan membantu pendataan, pelayanan terhadap kebutuhan sehari-hari, dan berbagai aktivitas rumah lainnya yang tidak dapat dilakukan oleh orang yang sedang dikarantina. Di samping beberapa upaya adaptasi untuk menekan angka kasus, penyebaran COVID-19 juga berdampak secara tidak langsung pada aspek politik negara Cina, yakni dengan meningkatnya tuntutan kebebasan untuk berpendapat, tepatnya setelah meninggalnya Dokter Li Wenliang (salah satu dari delapan dokter yang telah dibahas sebelumnya).

Pasca gelombang pertama, tanda-tanda normalisasi kehidupan publik yang sudah terlihat pada minggu pertama Juni tidak bertahan lama.  Pada minggu kedua, kembali ditemukan tiga kasus, dua di antaranya berasal dari Pusat Peneliti Daging Hewan di Fengtai. Kemudian, pada 13 Juni, ditemukan enam kasus dari transmisi lokal di pasar grosir makanan terbesar di Asia, yakni Pasar Xinfadi di Kecamatan Fengtai. Merespon kasus tersebut, pemerintah dengan tanggap melakukan berbagai upaya. Pemerintah langsung melakukan tiga langkah penting: sweeping, testing, dan isolation. Testing semakin masif dilakukan pada gelombang kedua ini, di mana seminggu setelah kasus ini juru bicara pemerintah menyebutkan bahwa telah ada 2,3 juta penduduk yang dites. Di minggu kedua bulan Juni, pemerintah juga menerapkan standar pengelolaan dengan tingkat genting (mekanisme masa perang) dan pada minggu selanjutnya, ruang publik kembali ditutup. Sebagai upaya disipliner, pemerintah melakukan pemecatan terhadap beberapa pejabat dan pengelola pasar Xinfadi yang dianggap bertanggung jawab. Perbedaan gelombang kedua dan gelombang pertama secara signifikan terlihat lewat testing yang dilakukan dengan lebih masif dan agresif ke orang-orang yang terdampak langsung maupun tidak langsung, adanya peningkatan masa karantina dari 14 menjadi 21 hari, pendataan orang-orang yang semakin ketat, isolasi yang lebih bersifat lokal serta penanganan berbeda bagi tiap tingkatan dari high risk, moderate risk, hingga low risk.

Pemaparan kedua dilanjutkan oleh Arrizal dengan judul “Dari Beijing ke Jalanan Hong Kong: Bagaimana Mahasiswa Membentuk Gerakan Demokrasi di Cina Kontemporer”. Meski di tengah pandemi, masyarakat Hong Kong tetap melakukan peringatan terhadap tragedi Tiananmen 1989 pada tanggal 4 Juni lalu. Di Cina, Protes Tiananmen telah menjadi simbol resiliensi gerakan demokrasi. Meski demokrasi dianggap tabu dalam pemerintahan Cina, demokrasi telah lama menjadi bagian dari diskursus identitas nasional Cina. Sebelum akhirnya Perang Saudara Cina dimenangkan oleh Partai Komunis Cina (PKC) pada tahun 1949, para pemimpin saat itu berusaha mengadopsi demokrasi sebagai salah satu prinsip negara.

Protes—utamanya yang dimotori mahasiswa—di Cina telah terjadi sejak lama, namun tidak selalu dilakukan untuk melawan otoritas yang ada. Terdapat dua fase protes di dataran Cina, yaitu yang didukung oleh elit politik (era Mao tahun 1949-1976 hingga tahun 1989-sekarang) dan yang melawan elit politik (era Republik tahun 1911-1949 hingga awal pasca Mao tahun 1976-1989). Namun, protes-protes ini berkesinambungan satu sama lain dan menjadi satu kesatuan.

Di bawah Deng Xiaoping, sistem politik Cina mengalami masa transisi dan tidak lagi menitikberatkan kebijakan pada aspek ideologi, sehingga mendukung adanya reformasi dalam ranah politik. Tidak seperti pada era Mao, PKC pada masa pemerintahan Deng Xiaoping mendorong publik untuk mengekspresikan opininya. Periode ini kerap disebut Beijing Spring (mengacu pada Arab Spring) karena memberi celah bagi gerakan prodemokrasi untuk muncul. Salah satu simbol yang paling berpengaruh adalah Tembok Xidan yang digunakan sebagai wujud “keterbukaan” PKC untuk melakukan agenda rejuvenasi.

Salah satu protes mahasiswa yang paling berpengaruh dalam sejarah Cina modern yang dimotori oleh kalangan mahasiswa adalah May Fourth pada tahun 1919. Protes ini diinisiasi untuk melawan hasil perjanjian Versailles yang dinilai “menjual” Cina pada negara-negara Barat dan Jepang. Peristiwa May Fourth kemudian menjadi tonggak gerakan mahasiswa di Cina dan mendorong gerakan nasionalisme di Cina. Pada tahun 1986, mahasiswa dari berbagai wilayah di Cina melaksanakan protes yang menuntut adanya reformasi politik. Protes ini pun mendapat dukungan tidak langsung dari Hu Yaobang, sekretaris jenderal PKC. Tiga tahun kemudian, terjadi protes Tiananmen untuk memperingati wafatnya Hu Yaobang. Peristiwa Tiananmen menjadi puncak dan hasil akumulasi dari protes-protes kecil mahasiswa sejak tahun 1976.

Menurut pemaparan Arrizal, terdapat setidaknya enam alasan mengapa protes dimotori oleh mahasiswa. Pertama, keberadaan kultur protes sejak masa pergerakan nasional yang kerap mendorong gerakan reformasi yang berasal dari universitas-universitas yang didirikan pada masa reformasi tersebut. Kedua, adanya dorongan moral dan identitas eksklusif mahasiswa karena mahasiswa dipandang sebagai kelompok yang memiliki privilese. Ketiga, lokasi yang terpusat; pada tahun 1930, 60% mahasiswa Cina terpusat hanya di dua kota, yaitu Beijing dan Shanghai. Keempat, sifat mahasiswa sebagai kelompok masyarakat sipil yang cukup otonom dibandingkan kelompok masyarakat sipil lainnya yang dibungkam. Kelima, keiistimewaan mahasiswa sebagai kelompok pertama yang terpapar ide mengenai demokrasi lewat pembelajaran di bangku kuliah dan diseminasi dari Barat. Terakhir, lemahnya keterikatan antara mahasiswa dan negara sejak imperial civil examination dihapus tahun 1905.

Untuk menutup pemaparannya, Arrizal menyampaikan bahwa protes mahasiswa yang terjadi sejak May Fourth tahun 1919, protes Tiananmen tahun 1989, hingga protes di Hong Kong saat ini tidak dapat dipandang sebagai gerakan yang sepenuhnya terpisah. Protes-protes tersebut merupakan satu kesatuan dari gerakan yang menuntut adanya demokrasi sejak awal. Kondisi politik, sosial, dan ekonomi Cina yang kini berbeda pun turut memengaruhi keberadaan protes serupa di abad ke-21.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Medisita Febrina

[RECAP] Cangkir Teh : Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta

The government’s move towards new normal as a policy alternative in tackling COVID-19 is thought-provoking, in particular regarding the aptness of both the government and the people in anticipating the situation. As the new normal scheme demands every member of the society to pay extra attention to their health (with, amongst many other measures, frequent handwashing), it is necessary to observe how water—as a vital element in preventing COVID-19 transmission—is being governed. Notably in urban poor areas, water governance needs to be scrutinized to ensure equal access.

Intrigued by the issue, Institute of International Studies organized Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) on Wednesday, 17 June 2020 online via Google Meet. Present in the fourth forum of Cangkir Teh was Marwa, M. Sc., a researcher in Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada, as the speaker. Marwa brought about the topic of “Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta”. In addition, Handono Ega—publication staff of IIS UGM—also attended as a moderator.

Marwa commenced the discussion by expressing the importance of discussing water governance issue. The matter is of great urgency as access to water in urban poor regions is still limited, particularly in Jakarta. Poor water governance poses the urban poor population as the group most vulnerable to lack of water, above all in times of pandemic. In defining water governance, Marwa put two approaches to use, namely the environmental justice approach and the feminist political ecology approach.

The environmental justice approach highlights the significance of recognition and participation aspects in water governance. The approach criticizes how established water governance policies are only fixated on water distribution between the elite and the urban poor, neglecting elements of recognition and participation. Such negligence contributes to the exclusion of urban poor population in the water governance scheme. The issue of recognition becomes an important point as limited access to water usually comes from urban poor settlements being deemed illegal. Moreover, the aspect of participation also needs to be taken into account, as the urban poor population is normally unable to participate in municipal water governance scheme, let alone in lower levels of households and communities. As the two facets were given little attention to in public discourse, existing policies are also void of them. Said policies include: (1) the cross-subsidy tariff scheme which, despite charging lower price to the urban poor, is yet to consider recognition; (2) the flexible payment mechanism which prioritizes subsidy, but overlooks recognition and participation; (3) the master meter program which provides an alternative for people who don’t own land certificates, but controversially legitimizes the “occupation” of illegal land by urban poor population.

Meanwhile, the feminist political ecology approach puts emphasis on the methods of daily water utilization. In practice, water governance and utilization might be policy-driven, requiring large-scale public collaboration, or needs-driven, usually limited to the vicinity of communities. In her analysis, Marwa asserted that access to water highly depends on the identity of an individual, covering his/her place of origins, type of settlement (whether permanent or semi-permanent), number of people in the household, status of land owner and even the individual’s place in the community. Different identities lead to different ways of obtaining access to water and certain identities are favored more compared to others. In aforesaid condition, the urban poor tend to be the one at disadvantage, having their access to water restricted. The feminist political ecology approach finds fault in the tendency of existing policies to generalize, causing inability to reach out to the society as a whole, especially the urban poor.

Observance of the situation in Jakarta leads to the conclusion that the established water governance involving different stakeholders on different scales is unable to give decent access to water for the urban poor, primarily amidst the spread of COVID-19. Large-scale social distancing measures compelled the urban poor into compromising their need of water and sanitation essential to health. In a more general context, the neglect of recognition and participation results in difficulties for migrants in Jakarta in accessing water. Government’s effort, unfortunately, was limited to providing handwashing facilities, which is—definitely—inadequate to satisfy the population’s daily need of water. At the end of her presentation, Marwa suggested that, instead of continuously debating on remunicipalization and privatization, it is essential for the government to move towards better recognition and participation of the people in water governance process. Besides, while the urban poor has always been mere tool of propaganda in improving water governance, the pandemic should be the right momentum to voice the importance of just, flexible, and sustainable water governance for the whole population.


Writer : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Editor : Medisita Febrina

[RECAP] Cangkir Teh : Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta

Pergerakan pemerintah ke arah tatanan normal baru sebagai pilihan kebijakan dalam mengatasi pandemi COVID-19 saat ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disoroti, terutama berkaitan dengan kesiapan—baik masyarakat maupun pemerintah—dalam menghadapi situasi ini. Di saat tatanan normal baru menuntut seluruh komponen masyarakat untuk lebih memperhatikan kesehatan (yang salah satunya meliputi cuci tangan sesering mungkin), penting untuk melihat bagaimana pengelolaan air dilakukan. Utamanya di wilayah urban poor, pengelolaan air perlu diamati dalam rangka memastikan akses setara terhadap air yang menjadi komponen utama pencegahan penyebaran COVID-19.

Berangkat dari hal ini, Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) pada Rabu, 17 Juni 2020 secara daring melalui Google Meet. Forum Cangkir Teh edisi ke-4 menghadirkan Marwa, M. Sc., peneliti di Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada, sebagai pembicara. Marwa membawakan materi berjudul “Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta”. Selain itu, forum ini juga mengundang Handono Ega, staf publikasi IIS UGM, sebagai moderator.

Marwa membuka diskusi dengan menyatakan bahwa persoalan tata kelola air menjadi topik yang sangat penting untuk didiskusikan karena masih terbatasnya akses masyarakat terhadap air di wilayah urban poor, utamanya di Jakarta. Tata kelola air yang buruk pada akhirnya menjadikan masyarakat urban poor sebagai pihak yang paling rentan terhadap pandemi COVID-19. Marwa menggunakan dua pendekatan dalam mendefinisikan pengertian dari tata kelola air, yaitu pendekatan environmental justice dan feminist political ecology.

Pendekatan environmental justice menyoroti pentingnya aspek rekognisi dan partisipasi dalam tata kelola air. Pendekatan ini mengkritisi bagaimana selama ini proses tata kelola air hanya mengutamakan aspek distribusi antara elit dan urban poor. Bagi pendekatan ini, rekognisi dan partisipasi menjadi poin penting yang selama ini hilang dari bahasan tata kelola air dan berkontribusi terhadap proses eksklusi masyarakat urban poor dalam skema tata kelola air. Persoalan rekognisi menjadi poin yang penting karena selama ini pemukiman mereka kerap dianggap ilegal. Hal tersebut berimplikasi pada terhambatnya akses air bagi mereka. Di sisi lain, partisipasi juga menjadi persoalan yang penting karena dalam praktiknya, masyarakat urban poor tidak dapat berpartisipasi dalam skema tata kelola air skala kota, apalagi ke dalam skala yang lebih rendah seperti rumah tangga dan komunitas. Karena aspek rekognisi dan partisipasi kerap luput dari pembahasan mengenai tata kelola air, kebijakan yang ada pun juga belum mencakup aspek-aspek tersebut. Ragam kebijakan yang dimaksud, di antaranya, mencakup: (1) cross subsidy tariff yang, walaupun menarik biaya lebih murah kepada masyarakat urban poor, belum memperhatikan aspek rekognisi; (2) flexible payment mechanism yang mengutamakan subsidi, namun kurang memperhatikan aspek rekognisi dan partisipasi; (3) master meter program yang menjadi alternatif bagi masyarakat yang tidak memiliki surat tanah, namun menjadi kontroversial karena dianggap melegitimasi “okupasi” masyarakat urban poor terhadap tanah ilegal.

Sementara itu, pendekatan feminist political ecology lebih mengutamakan praktik metode penggunaan air dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktiknya, pengelolaan dan metode penggunaan air tergantung pada dua faktor, yaitu kebijakan (policy-driven) yang membutuhkan kerjasama publik dalam skala yang besar dan kebutuhan (needs-driven) yang biasanya terbatas pada skala komunitas terdekat. Dalam analisisnya, Marwa menyatakan bahwa akses terhadap air sangat tergantung pada identitas individu, seperti pendatang/warga asli, rumah permanen/semipermanen, jumlah orang per rumah, status pemilik tanah, bahkan kedudukan individu tersebut dalam komunitas. Identitas yang berbeda ini akan berpengaruh pada metode perolehan air seperti apa yang akan digunakan. Hal yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa sayangnya, identitas tertentu akan lebih diuntungkan dibanding yang lain. Salam konteks ini, urban poor menjadi pihak yang terancam tidak memperoleh akses terhadap air yang layak. Kritik yang disampaikan melalui pendekatan feminist political ecology cukup jelas, yaitu bahwa selama ini kebijakan yang dikeluarkan cenderung melakukan generalisasi dan pada akhirnya tidak mampu menjangkau keseluruhan masyarakat, terutama urban poor.

Jika melihat situasi di Jakarta, proses tata kelola air yang melibatkan berbagai stakeholder dalam skala yang berbeda-beda justru belum mampu memberikan akses terhadap air yang baik bagi masyarakat urban poor, terutama di masa pandemi COVID-19. Adanya kebijakan PSBB dalam rangka menekan angka penyebaran COVID-19 memaksa masyarakat untuk menegosiasikan kebutuhannya terhadap air dan sanitasi yang sangat penting bagi kesehatan. Akibat dari tidak diperhatikannya aspek rekognisi dan partisipasi, pendatang yang tinggal di Jakarta justru semakin kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap air. Upaya yang dilakukan pemerintah juga masih sebatas pengadaan fasilitas cuci tangan di daerah urban poor yang, tentunya, tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka terhadap air. Di akhir presentasinya, Marwa menyatakan bahwa alih-alih terus memperdebatkan persoalan remunisipalisasi dan privatisasi, penting bagi pemerintah untuk segera bergerak ke arah proses rekognisi dan partisipasi bagi masyarakat dalam proses tata kelola air. Tidak hanya itu, jika selama ini urban poor hanya dijadikan propaganda untuk memperbaiki proses tata kelola air, pandemi COVID-19 sejatinya menjadi momentum yang tepat untuk menyuarakan pentingnya pengelolaan air yang lebih adil, fleksibel, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] Beyond the Great Wall #8: China 2020: Traditional and Nontraditional Security Challenges

Amidst the pandemic that demands self-quarantine and working from home, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada managed to assemble the forum of Beyond the Great Wall #8 online through Google Meet on May 15, 2020. In its eighth edition, Beyond the Great Wall invited two speakers to discuss both traditional and nontraditional security challenges China is facing in 2020. Our first speaker Fadhil Sulaeman, who is currently serving as the Head of Research and Development for Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) UGM Chapter, delivered a presentation on the topic of “China’s Strategy in South China Sea”. Meanwhile, our second speaker Muhammad Reza, currently serving as a media analyst in PT Indonesia Indikator, addressed the topic of “China’s Medical Insurance System”. Also present in last Friday’s forum were Nur Rachmat Yuliantoro, currently acting as the Head of International Relations Department of UGM as well as the convener of Beyond the Great Wall, and Lucke Haryo S. P., IIS UGM library staff, as moderator.

The forum starts with Fadhil explaining the importance of the South China Sea conflict. Three reasons exhibit this conflict’s significance: (1) the entrance of foreign vessels into Indonesia’s exclusive economic zone; (2) claims from Indonesia’s ASEAN neighbors on the conflict; (3) the involvement of the United States and China as important actors in international politics. South China Sea is a highly strategic territory due to abundance in natural resources, as well as its role as the main route for international trade. Furthermore, the disputed waters are infamous for various transnational crimes, ranging from trade of illegal goods to human and drug trafficking. Considering said strategic values of South China Sea, seven countries have put up overlapping claims on the territory. Fadhil pointed out three main islands on dispute, namely the Spratly Islands, the Paracel Islands, and the Scarborough Shoal. All three were of great significance to China’s interest, both in the ASEAN region and in international politics.

While describing the China-United States dynamics in the South China Sea conflict, Fadhil stated that confrontation between the two occurred as a result of different legal basis adopted to justify respective claims. The United States referred to Freedom of Navigation Operations as a result of international arbitration process, declaring South China Sea as international waters, resulting in freedom of movement and absence of obligation to report upon passage. On the other hand, China rejected the verdict and insisted on adhering to the principle of Innocent Passage. The principle implicates the obligation for vessels to report upon passage, as well as limited movement. Overlapping claims, combined with different stances on UNCLOS, made confrontation inevitable. However, China-United States confrontation has always been mere intimidation hitherto, i.e. Chinese and American vessels sailing in immediate vicinity of each other a while ago, and never resulted in an armed confrontation. Fadhil wrapped up his presentation with response to the question of whether the United States is bold enough to initiate physical confrontation with China.

“The United States is the only country capable of outdoing China’s naval force. However, escalating the conflict will present the United States as an aggressor. Hence, provocation and intimidation should be taken as solutions” Fadhil answered.

The second session focused on nontraditional security challenges China is facing in 2020, particularly in public health matters. Muhammad Reza began his presentation with an interesting fact: the Chinese government has only reformed its medical insurance system in 2015, relatively recent compared to Indonesia who launched its new insurance system in the first term of President Joko Widodo’s presidency. In order to improve its health services, China allocated 850 million yuan to support three types of insurance scheme: (1) the urban employment-based basic medical insurance, aimed for the working class living in cities; (2) urban resident medical insurance for children and students; (3) new rural cooperative medical scheme for rural residents. All types of subsidy apply for the entire Chinese population, except those in Macau and Hong Kong.

Reza made clear that although reformed, the Chinese medical insurance system is still flawed. The reimbursement rate for inpatient care facilities is still low and continues to decrease. Consequently, the government persistently attempts to refine its system, notably during the emergence of COVID-19 in China and its spread worldwide. Many parties view that the government’s approach in handling the spread of the virus is effective, covering lockdowns, strict supervision, as well as deployment of government intelligence agents and face recognition technology to track citizens. At the moment, the government is pursuing the development of artificial intelligence to prevent similar outbreaks in the future. Reza asserted that the significant budget will eventually be able to advance the system.

The forum is concluded with statements from Nur Rachmat Yuliantoro. Indonesia and the international community, according to Nur Rachmat, should not slack in keeping up with the issue of South China Sea despite the pandemic. Indonesia and ASEAN should not give in to China. In fact, Indonesia is under great obligation to ensure regional stability, particularly if China’s strategy threatens Indonesia’s straits. Meanwhile, in discussing China’s medical insurance system, Nur Rachmat affirmed that it is normal for China to have reformed its system only recently, followed by the ambition to develop artificial intelligence with an even larger budget than the United States’. Nur Rachmat argued that the employment of artificial intelligence by the Chinese government in the future will be massive, not only to tackle COVID-19, but also track its citizens.


Writer : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Editor : Medisita Febrina

[RECAP] Beyond the Great Wall #8: Cina di Tahun 2020: Tantangan Keamanan Tradisional dan Non Tradisional

Di tengah pandemi yang memaksa dunia untuk melakukan karantina diri dan bekerja dari rumah, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada berkesempatan untuk tetap menyelenggarakan forum Beyond the Great Wall #8 secara daring melalui Google Meet pada 15 Mei 2020. Pada edisi yang ke-8 ini, Beyond the Great Wall menghadirkan dua pembicara yang membahas mengenai tantangan keamanan tradisional dan nontradisional Cina. Pembicara pertama, Fadhil Sulaeman selaku Head of Research and Development di Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM, membawakan materi yang berjudul “Strategi Tiongkok di Laut Cina Selatan”. Pembicara kedua, Muhammad Reza sebagai Media Analyst di PT Indonesia Indikator, hadir dengan materi yang berjudul “Sistem Jaminan Kesehatan Tiongkok”. Forum BTGW kali ini turut menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro selaku Kepala Departemen HI UGM sekaligus convener kegiatan Beyond the Great Wall serta Lucke Haryo SP, staf Perpustakaan IIS UGM, sebagai moderator.

Sebagai pembuka dalam forum kali ini, Fadhil memaparkan bahwa konflik di Laut Cina Selatan menjadi isu yang sangat penting akibat tiga hal: (1) masuknya kapal asing ke wilayah ZEE Indonesia; (2) adanya klaim dari negara-negara anggota ASEAN dalam Laut Cina Selatan yang merupakan tetangga Indonesia; (3) keterlibatan dua aktor penting dalam politik internasional—Amerika Serikat dan Cina—di dalamnya. Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang sangat stategis karena sumber daya alam yang sangat melimpah di dalamnya serta perannya sebagai jalur lalu lintas perdagangan internasional. Tidak hanya itu, selama ini Laut Cina Selatan juga dikenal sebagai zona berbahaya dan chokepoints bagi berbagai bentuk kejahatan transnasional, seperti jalur perdagangan barang ilegal, perdagangan manusia, dan perdagangan narkoba. Mengingat betapa strategisnya lokasi ini, tujuh negara telah melakukan klaim atas Laut Cina Selatan yang saling tumpang tindih. Menurut Fadhil, ada tiga pulau utama yang menjadi rebutan bagi negara-negara yang melakukan klaim atas Laut Cina Selatan, yaitu Kepulauan Spratly, Paracel, dan Scarborough Shoal. Ketiganya memiliki signifikansi yang besar bagi kepentingan Cina, baik di kawasan ASEAN maupun dalam politik internasional secara keseluruhan.

Saat memaparkan mengenai relasi Amerika Serikat dan Cina dalam konflik di Laut Cina Selatan, Fadhil menyatakan bahwa konfrontasi keduanya dalam konflik tersebut terjadi karena keduanya menggunakan landasan hukum yang berbeda untuk mengklaim Laut Cina Selatan. Di satu sisi, Amerika Serikat menggunakan Hak Kebebasan Navigasi sebagai hasil putusan arbitrase internasional yang menyatakan bahwa Laut Cina Selatan adalah laut internasional, sehingga kapal asing yang melewati perairan ini tidak perlu lapor dan pergerakan kapal pun bebas. Di sisi lain, Cina menolak putusan tersebut dan menggunakan Hak Lintas Damai sebagai klaim atas Laut Cina Selatan. Implikasinya adalah seluruh kapal yang lewat wajib lapor kepada Cina dan pergerakannya pun dibatasi. Perbedaan klaim yang tidak berujung pada titik temu, ditambah dengan perbedaan posisi keduanya dalam UNCLOS, menjadikan konfrontasi tidak terelakkan. Walaupun begitu, hingga saat ini konfrontasi keduanya masih sebatas gertakan-gertakan semata, seperti peristiwa kapal AS dan Cina yang sangat berdekatan di Laut Cina Selatan beberapa waktu lalu, namun tidak sampai terjadi konflik bersenjata. Fadhil menutup presentasinya dengan mencoba untuk menjawab pertanyaan apakah AS berani untuk memulai konfrontasi fisik dengan Cina.

“Amerika Serikat adalah satu-satunya negara yang dapat mengungguli kekuatan angkatan laut Tiongkok, tetapi meningkatkan eskalasi akan menggambarkan AS sebagai agresor. Maka dari itu, provokasi dan daya gentar adalah jalan tengah,” ujar Fadhil sekaligus menutup bahasan keamanan tradisional Cina di tahun 2020.

Sesi kedua berfokus pada tantangan keamanan nontradisional Cina di tahun 2020, khususnya pada bidang kesehatan. Muhammad Reza memulai pemaparannya dengan sebuah fakta yang menarik, yaitu bahwa pemerintah Cina baru mereformasi sistem jaminan kesehatannya di tahun 2015. Perubahan tersebut cukup baru, terutama jika dibandingkan dengan Indonesia yang baru merilis BPJS di era kepemimpinan Jokowi periode pertama. Untuk memperbaiki layanan kesehatannya, Cina mengalokasikan dana sebesar 850 juta yuan yang terbagi dalam tiga tipe subsidi kesehatan, yaitu urban employment-based basic yang ditujukan bagi para pekerja di kota, urban resident bagi anak-anak dan pelajar, serta new cooperative for rural residents yang dialokasikan bagi masyarakat pedesaan. Tiga tipe subsidi pembayaran jaminan kesehatan ini berlaku di seluruh Cina, kecuali Macau dan Hong Kong.

Dalam materi yang diberikan, Reza menyatakan bahwa walaupun telah mengalami reformasi, sistem jaminan kesehatan di Tiongkok masih memiliki kelemahan. Hal ini dapat dilihat dari angka reimbursement rawat inap yang tergolong rendah dan terus mengalami penurunan hingga saat ini. Tentu saja, pemerintah Cina terus mengupayakan perbaikan layanan kesehatannya, terutama ketika pandemi COVID-19 muncul di Cina dan menyebar secara masif ke seluruh dunia. Dalam hal ini, upaya Cina untuk mengatasi COVID-19 dinilai oleh berbagai pihak cukup efektif, terutama di tingkat domestik, melalui pemberlakuan lockdown, pengawasan yang sangat ketat, serta pengerahan mata-mata pemerintah dan penggunaan teknologi pengenalan wajah untuk melacak warga negara Cina. Saat ini, pemerintah Cina telah mengupayakan untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam rangka mencegah munculnya kasus serupa COVID-19 di masa depan. Menurut Reza, alokasi dana yang besar perlahan-lahan mampu memperbaiki sistem jaminan kesehatan di Tiongkok.

Forum ditutup dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Nur Rachmat Yuliantoro. Pertama, Nur Rachmat menyatakan bahwa Indonesia dan dunia tidak boleh lengah atas isu Laut Cina Selatan walaupun sedang menghadapi wabah COVID-19. Menurutnya, Indonesia dan ASEAN tidak boleh tunduk begitu saja dengan Cina. Indonesia juga sebenarnya memiliki kewenangan yang cukup besar bagi stabilitas kawasan, terutama jika strategi Cina dinilai mengancam selat-selat Indonesia. Mengenai sistem jaminan kesehatan di Cina, Nur Rachmat menyatakan bahwa sebenarnya wajar jika Cina baru saja memperbaiki sistem jaminan kesehatannya. Namun, perbaikan ini juga disertai dengan pengembangan teknologi artificial intelligence yang cukup masif, bahkan anggarannya melebihi Amerika Serikat. Menurut Nur Rachmat, penggunaan artificial intelligence oleh Cina ke depannya akan sangat masif, baik untuk mengatasi COVID-19 maupun untuk melacak warga negaranya.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] Round Table Discussion: Global Development of Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) and Its Implications on Indonesia’s Foreign Policy and Defense

On Friday (6/3), Institute of International Studies, International Relations Department of Universitas Gadjah Mada collaborated with International Relations Department of Universitas Paramadina in organizing Round Table Discussion on Global Development of Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) and its implications on Indonesia’s foreign policy and defense. The event was attended by various stakeholders, ranging from government, scholars, the military, researchers, and experts who proceeded to discuss the matter in hand from different perspectives.

According to the International Committee of the Red Cross (ICRC), the working definition of autonomous weapons (also known as autonomous weapon systems/lethal autonomous weapon systems/killer robots) is a weapon system that possesses autonomy in executing its critical functions of selecting and attacking target without human intervention. Their development is a consequence of the industrial revolution. The lethality of this type of weapon is not inherent in itself. Instead, it depends on the characteristics of the weapons and how they are deployed.

Autonomous weapons are strongly related to international humanitarian law. Notwithstanding their close ties with war practices, there exists a discourse of the use of autonomous weapons in peace, particularly for law enforcement purposes. Many believe the weapon systems are capable of precise targeting, yet the debate on the risk of cyber attack during deployment persists, which constitutes the problem of accountability and alleged violation of international humanitarian law. The debate focuses upon who is responsible: the field operator, the commander, or the creator of its algorithm?

Beside legal considerations, ethics also need to be taken into account. In the forum, questions such as “will autonomous weapons be able to comply with international humanitarian law principles?”, “to what extent should humans have control on weapons?”, “as autonomous weapons are allowed to select and decide upon targets on their own, should it be considered crossing the line?” arose.

Thus far, Indonesian government has not taken a firm stance on the issue. Indonesia still serves as an observer and not a state party to the Convention on Certain Conventional Weapons (CCW). While Indonesia is not against the accession of the Convention, the government might have other priorities. That said, Indonesia has not come to the realization of the urgency and potential threat of the weapon to humanity, keeping in mind the existence of autonomous weapons will, slowly but surely, develop enormous destructive effect.

It is imperative that the Ministry of Foreign Affairs, with support from all national agencies, act as the frontline in convincing the government to access CCW. Moreover, CCW need to be translated into Bahasa in order to transform it into national law. In the future, Indonesia is also expected to increase participation in the forum. Otherwise, the discussion will only stay in academic domain.

As business of unmanned aerial vehicles (UAVs) is also in trend, Indonesia doesn’t want to be left out. Presiden Joko Widodo wished for UAVs to be developed. However, UAVs were not intended to be weapons originally, but to execute the mission of 3D: dull, dirty, dangerous. In other words, such aircrafts weren’t built to be armed. It changed, later, after the national army Tentara Nasional Indonesia (TNI) decided that drones should execute military missions. As much as UAV is beneficial, it can disrupt traffic airline, more so when armed. Unlike autonomous weapons, UAV is already regulated under several ministerial regulations.

The existence of autonomous weapons is highly dilemmatic. Their use is beneficial as they will not be able to experience fear, as well as select and attack targets on their own. Furthermore, they are less costly to deploy. On the other hand, autonomous weapons raise questions on the aspects of chivalry, humanity, and morality in war. In this situation, international humanitarian law plays a central role. Instead of limiting a country’s military advancement, international humanitarian law ensures that steps taken by states are in line with humanitarian principles. Its existence highlights how lack of regulation on autonomous weapons brings about concerns of accountability when violation occurs.

Right now, the utmost priority should be placed on defining typology of LAWS, as there is no existing consensus on the term autonomous weapon systems (AWS). Scholars ought to conduct research regarding autonomous weapons since it is a collective responsibility to create discourse on the urgency of the matter. It is important to note that the situation of AWS now is more complex compared to nuclear weapons. Total ban on autonomous weapons is difficult since the weapons are beneficial for military strategy, namely in efficiency and effectivity when destroying opponents in a shorter period. In addition, AWS also possess defensive aspects, making it even more difficult to entirely abolish them. In brief, the problem of AWS lies not on the core of their existence, but rather on how they are deployed.


Writer: Denise Michelle
Translator: Medisita Febrina

[RECAP] Round Table Discussion: Perkembangan Lethal Autonomous Weapon System (LAWS) Global dan Implikasinya Terhadap Politik Luar Negeri dan Pertahanan Indonesia

Pada hari Jumat (6/3) lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina kembali mengadakan Round Table Discussion untuk membahas Perkembangan senjata otonom dan implikasinya terhadap politik luar negeri dan pertahanan Indonesia. Round Table Discussion ini kembali mengundang berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, militer, peneliti, serta para ahli untuk mendiskusikan isu ini dari berbagai sudut pandang.

Menurut International Committee of the Red Cross (ICRC), working definition dari senjata otonom (dikenal pula dengan istilah autonomous weapon system, lethal autonomous weapon system, killer robots) adalah sistem persenjataan apapun yang memiliki otonomi dalam fungsi kritisnya dimana dapat memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia. Perkembangan senjata otonom ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya revolusi industri. Masalah mematikan atau tidaknya dari suatu senjata bukanlah hal yang inheren pada senjata, namun tergantung pada karakteristiknya dan bagaimana ia digunakan. Senjata otonom erat kaitannya dengan hukum humaniter internasional. Sampai saat ini ada diskursus bahwa senjata otonom tidak hanya dipakai pada masa perang, namun juga pada masa damai khususnya dalam konteks penegakan hukum. Banyak yang mengatakan bahwa senjata otonom sangat precise targeting, namun perdebatannya adalah bagaimana jika ada risiko serangan siber ketika senjata tersebut dikerahkan, yang sekaligus memicu dugaan pelanggaran dan permasalahan akuntabilitas. Muncul pula perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab, apakah operator lapangan, komandan, atau pembuat algoritmanya?

Selain pertimbangan hukum, diperlukan pula pertimbangan etis. Dalam forum pun muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti “apakah senjata otonom bisa patuh terhadap prinsip-prinsip dasar hukum humaniter?”, “sejauh mana manusia seharusnya memiliki kontrol atas senjata?”, “karena senjata otonom dapat memilih dan memutuskan targetnya sendiri, apakah hal ini crossing the line?”.

Sejauh ini, di level internasional pemerintah Indonesia belum memiliki posisi terhadap eksistensi senjata otonom. Indonesia tidak menentang atau menolak aksesi Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), hanya saja sejauh ini mungkin prioritas negara berbeda. Indonesia pun belum menjadi state party di CCW dan hanya menjadi observer. Dengan fakta bahwa Indonesia hanya menjadi observer di CCW, menunjukkan belum adanya kesadaran Indonesia akan urgensi dan potensi ancaman senjata otonom bagi manusia. Karena cepat atau lambat, eksistensi senjata otonom akan menimbulkan efek destruktif yang besar. Perlu membuktikan kepada pemerintah bahwa aksesi CCW itu penting, dengan melibatkan semua agensi nasional, dimana Kementerian Luar Negeri harus menjadi garda terdepan untuk mewujudkan kepentingan ini menjadi kepentingan bersama. Selain itu, CCW juga harus diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yang berarti dalam bentuk hukum. Kedepannya, Indonesia diharapkan pula lebih aktif dalam forum, karena jika tidak, diskusinya hanya akan berhenti di ranah akademis.

Saat ini, bisnis unmanned aerial vehicle (UAV) sedang tren, sehingga Indonesia tidak mau ketinggalan dalam konteks ini. Presiden Joko Widodo pun menginginkan agar UAV dikembangkan. Awalnya, UAV dibuat bukan untuk senjata, namun untuk melaksanakan misi 3D: Dull, Dirty, dan Dangerous. Pada awalnya, pesawat yang dibangun tidak untuk dipasang senjata, namun TNI ingin agar drone bisa melakukan tindakan sehingga dipersenjatai. Di satu sisi keberadaan UAV menarik, namun di sisi lain ketika diterbangkan, UAV bisa saja mengganggu traffic airline, apalagi jika dipersenjatai. Berbeda dengan senjata otonom, aturan mengenai UAV sudah diatur dalam beberapa permenhub atau permenkominfo.

Jika ditelaah, eksistensi senjata otonom sangat dilematis. Di satu sisi, dalam penyerangan sangat bagus karena tidak takut dan dapat memilih dan menyerang target. Selain itu, senjata otonom cenderung tidak costly. Namun di sisi lain, senjata otonom membuat kita mempertanyakan aspek chivalrous dari perang serta aspek kemanusiaan dan moralitas. Hukum humaniter internasional bukan bermaksud membatasi kebutuhan pengembangan militer suatu negara, namun memastikan agar tindakan yang diambil negara sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kekhawatiran jika senjata otonom digunakan tanpa adanya aturan yang mengatur adalah mengenai pertanggungjawaban jika terjadi tindakan yang melanggar.

Urgensi utama kini adalah untuk mendefinisikan tipologi yang jelas mengenai apa yang dimaksud sebagai LAWS, karena sampai saat ini belum ada konsensus mengenai terma autonomous weapon system (AWS). Para akademisi juga harus mengkaji riset yang berkaitan dengan senjata otonom, sehingga menjadi PR bersama untuk membangun diskursus urgensi isu ini. Situasi AWS jauh lebih kompleks dibandingkan dengan senjata nuklir. Sulit untuk melarang senjata otonom secara total, karena pertimbangannya adalah penggunaan teknologi ini bisa menguntungkan dari sisi militer terutama karena esensi strategi militer, yakni efisiensi dan efektivitas dimana kita dapat mengatasi musuh dalam waktu lebih singkat. Selain itu, AWS juga memiliki aspek defensif sehingga membuatnya sulit untuk dihapuskan secara total. Singkatnya, permasalahan AWS sendiri bukan mengenai esensi dari AWS tetapi bagaimana AWS digunakan.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti

Globalization Talk #3 : Globalization Talk and Educating on Globalization

On Monday (24/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) conducted the third session of the acclaimed Globalization Talk discussion with the theme “Global Citizenship and Educating on Globalization”. On this occasion, IIS UGM have the opportunity to invite Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor at Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC), Hiroshima University, accompanied by Dr. Riza Noer Arfani, Director of IIS UGM to deliver the materials regarding the matter of globalization, global citizenship and education in encountering the phenomenon of globalization. Besides the speakers, IIS UGM also invited Cut Intan Aulianisa Isma, Manager of IIS UGM who is the moderator of the event, as well as several High school teacher representatives athwart Yogyakarta as the guest participant of the event.

Nakaya opened the session by deliberating the quintessential temporal phenomenon of globalization. Globalization unequivocally asserts global implications to various stakeholders, let it be positive nor negative impacts it induces. Ad exemplum, one of the positive impacts imposed by Globalization would be its instantaneous information diffusion, ergo the public have faster access to information. Inasmuch, an expeditious transfer of information prompted the trend of false information dispersal (hoax) nor information that has not been approved of its validity, hence instigating panic and unrest to the public. The introduction was closed with a compelling rhetorical question by Nakaya; “who is capable of averting the negative implications and optimizes the positive aspects of Globalization?”.

The discussion session was recommended by Nakaya by ruminating the exegesis of “Global Citizenship”. Global Citizenship is a solution which asserts public mobility in encountering the impacts of globalization, may it be positive nor negative effects. Nakaya elaborates, that global citizenship can be marked through several features, which is (1) capable of accepting diversity and respect to human rights, (2) exhibiting a collaborative mindset in the sense of exercising dispute settlement mechanisms through cooperative and collective means in the absence of conflict, and (3) situating a positive and active key role in sustaining order among the global community. In order for an individual to possess such features, the paramount importance of honing ones attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills and behavioral capabilities should be exercised.

 

 

In order to obtain such key elemental features, globalization education comes to place in fostering such skills. Globalization education acts to foster a just political literacy, sense of violence, and an orientation to social justice. By nature political literacy is mandatory in order to decipher globalization and its implications, hence we can respond properly to the dispersal of globalization. Sense of violence is the awareness to any form of violence, starting from direct violence to ecological violence. The social justice aspect is marked by the apprehension to the concept of justice that is not rigid and sundry in nature, consequently it erects an intellection to assure justice and equality to all parties. The aforementioned aspects can be elaborated through the process of globalization education which should be implemented in Indonesia.

In order to escalate the quality of Global Citizenship, Nakaya offers the concept of Resident Oriented Tourism as a means of development. Resident Oriented Tourism by itself is a form of reciprocal tourism interaction, which does not only bring profit to the tourists that are visiting but also to its local communities, as well it leverages the quality development of human resources in the tourist attraction. In order to realize such practices, the elements of local communities should actively participate in implementing the practices of tourism, and alter the value and image of exclusivity with values that are amiable to global diversity. Nakaya stipulates Yogyakarta as a suitable location in implementing resident oriented tourism and globalization education, due to its status as the epicenter of culture and education in Indonesia. The Special Region of Yogyakarta can act as the hub of global citizenship education through the methods of resident oriented tourism by upholding the value of conviviality, sense of pride to local culture, creativity and active participation in fabricating a tourist destination that is capable of accepting the global community.

The revelation evinced by Nakaya is closed by Riza, who expresses his support towards the importance of Yogyakarta as the epicenter of education and economy in Indonesia. Yogyakarta poses a lucrative potential as a prospective tourist region, and offers the potential in the exchange of ideas, experience and information. The education sector can act as an anchor for the pivot of tourism development. As the director of IIS, Riza also stipulates the affirmed and willingness of IIS in support of educating the community of Yogyakarta pertaining to globalization, which is in line to the stream of research conducted by IIS in the manifestation of advocating. Such alacrity is reflected by the conduct of the previous two antecedent Globalization Talk, viz – Globalization Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) and #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) by IIS UGM.


Author : Raditya Bomantara

Editor : Handono Ega P.

Round Table Discussion: Towards Indonesia’s Ratification of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)

On March 5th, Institute of International Studies, International Relations Department of Universitas Gadjah Mada collaborated with International Relations Department of Universitas Paramadina in organizing Round Table Discussion on Indonesia’s process towards the ratification of Treaty on Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). This event was attended by various stakeholders, including scholars, government, and the military. Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB—Head of the International Relations Department of Universitas Paramadina—along with Dr. Muhadi Sugiono, MA– lecturer from International Relations Department of Universitas Gadjah Mada, as well as campaigner of International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN)—officially started off the event.

The existence of nuclear weapons is closely related to the Cold War. However, nuclear weapons never ceased to develop after it ended. Despite considerable amount of bilateral and multilateral efforts to achieve disarmament, the existence of nuclear weapons endures, partly due to the myth that believes nuclear weapons are beneficial to peace. This condition encouraged civil society, through CSOs, to change the view.

Since 2013, a different perspective in examining nuclear weapons has developed. Instead of mere weapon, nuclear weapons are viewed as a threat to humanity, be it because of its explosion, radiation, or environmental damage. Rather than standing by itself as the only peril to human existence, nuclear weapons might also present itself as a start of an even worse climate crisis.

The effort to abolish nuclear weapons could not succeed through Non-Proliferation Treaty (NPT), as the regime had legal loopholes and lacked legal basis to justify why countries were obliged to disarm. Said flaws encouraged the formulation of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). The enforcement of the treaty gave birth to a legal framework capable of deeming nuclear weapons illegal, so that anyone developing them could be sentenced. TPNW has been adopted since 2017, with 122 countries in favor, 1 abstain, and 1 country against. To date, 82 countries have signed the treaty, including Indonesia. To enable TPNW to enter into force, at least 50 countries have to ratify it. Thus far, 35 countries have ratified the treaty, a large portion of them small countries affected by past trials of nuclear weapons. The adoption of TPNW will not weaken NPT, but rather positively impact its implementation. TPNW requires a greater commitment from state parties on its nuclear program.

International Committee of the Red Cross (ICRC) reckons that it is inadequate to consider nuclear weapons merely from legal perspective. International humanitarian law believes that regulations on nuclear weapons should refer to the opinion of the International Court of Justice in 1996 on the Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons. Referring to the Opinion, nuclear weapons are absolutely prohibited, as they violate plenty of humanitarian principles. However, as it was an advisory opinion, it was not binding and only constituted further debate on what was written. In viewing nuclear weapons, it is also imperative to consider Klausula Martens, which stated that an act of war that has not been specifically regulated under an international community regime needs to be regulated based on humanitarian principles and public opinion.

A few options are available for Indonesia regarding nuclear weapons, which are to ban, to regulate, or to permit its use. Considering Indonesia is one of the first to sign TPNW, she is morally bound to obey the treaty. Therefore, the only thing left to be discussed is its ratification, which relies on the synergy and cooperation between the Ministry of Defense and the Ministry of Foreign Affairs. The challenge that must be tackled in the process of disarmament is the military opinion that nuclear weapons are vital for deterrence of power, which believes that countries need to possess power to dominate other countries in order to tone down aggression.

Now is the right time to ratify TPNW. In the future led by milennials, perceptions on weapons will shift to a more nationalist, assertive, and aggressive view. Future leaders will not see nuclear as an atomic bomb, but rather as a low-yield nuclear weapon with explosive force of only a few kilotons,  appropriate to be deployed anywhere. Election trends in 2029 might also be utterly different, filled with issues regarding domestic politics, caliphate, and conservative members of the assembly, hindering attention on ratification process that tends to be extensive. Fortunately, the Minister of Foreign Affairs, Retno Marsudi, realized the importance of TPNW and declared that Indonesia is on its way to ratification.

One of the critics brought up about RTD is the absence of the term ‘weapon’ in TPNW. Its absence was on purpose, which was to anticipate potential shift of existing definitions due to nuclear technology advancement. However, we need to acknowledge that this extension constitutes a blurred and overgeneralized definition.

It is remarkable that the creation of TPNW succeeded in spite of the resentment from countries who own nuclear weapons. As TPNW was purely initiated by third-world countries or countries from the global south, its formulation was not pressured by nuclear weapon owners and more determined by countries victim to nuclear weapons. In the context of deterrence, nuclear weapons may not constitute large-scale wars, but instead small-scaled ones.

As a middle power, Indonesia is quite influential in shaping the international community to be more predicted and in order. Therefore, it is necessary Indonesia to ratify the TPNW in order to strengthen the international effort to abolish nuclear weapons entirely. Ratification will not inflict a significant loss on Indonesia, but rather bring significant gain to the international community. In addition, the treaty doesn’t limit the development of nuclear energy for peaceful uses.

Lastly, TPNW is expected to change approaches to nuclear weapon as a political tool. The process of ratification is in the hands of the Directorate of International Cooperation and Disarmament of the Ministry of Foreign Affairs and the president. It is highly dependent on whether the president identifies this issue as an urgent matter or not.


Writer : Denise Michelle
Translator : Medisita Febrina

Round Table Discussion: Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)

Pada Kamis 5 Maret 2020 lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina mengadakan Round Table Discussion untuk membahas proses Indonesia menuju ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Acara ini mengundang berbagai pihak terkait, mulai dari akademisi, pemerintah, dan militer. Acara ini dibuka oleh Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB, ketua program studi Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, dan Drs. Muhadi Sugiono, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus campaigner International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN).

Eksistensi senjata nuklir sangat erat kaitannya dengan perang dingin, namun meskipun perang dingin telah berakhir senjata nuklir masih ada dan terus berkembang. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk melucuti senjata nuklir, baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral. Namun yang membuat senjata nuklir masih bertahan hingga saat ini adalah mitos yang terus berkembang atasnya, salah satunya adalah mitos bahwa senjata nuklir dianggap memiliki manfaat untuk mendamaikan. Hal ini membuat masyarakat sipil, melalui civil society organization (CSO) merasa perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan ini.

Sejak tahun 2013, muncul perkembangan pandangan yang berbeda tentang senjata nuklir. Senjata nuklir bukanlah senjata, melainkan ancaman kemanusiaan yang jika digunakan bisa mengancam kemanusiaan, baik karena ledakannya, radiasinya, maupun dampaknya terhadap lingkungan. Jika dilihat, dua ancaman eksistensi manusia saat ini adalah perubahan iklim dan senjata nuklir. Senjata nuklir bisa menjadi awal dari perubahan iklim yang semakin parah. Upaya menghapus senjata nuklir tidak dapat dilakukan dengan rezim Non-Proliferation Treaty (NPT) yang ada, karena di NPT ada celah hukum dan tidak ada basis hukum yang menyatakan alasan mengapa negara-negara harus melucuti. Berkaca pada kekurangan dalam NPT, maka mendorong lahirnya Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Dengan berlakunya TPNW, lahirlah kerangka hukum yang membuat nuklir menjadi senjata ilegal, sehingga siapapun yang mengembangkannya dapat dipidana. TPNW telah diadopsi sejak tahun 2017, dengan  122 negara yang mendukung, 1 negara abstain, dan 1 negara menolak. Sejauh ini, telah ada 82 negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Untuk membuat TPNW enter into force, perlu setidaknya 50 negara untuk meratifikasinya, sejauh ini 35 negara telah meratifikasinya. Sebagian besar adalah negara-negara kecil yang terdampak oleh adanya senjata nuklir karena pernah menjadi lokasi uji coba. Dengan diadopsinya TPNW tidak akan memperlemah NPT, malah memberi dampak positif bagi implementasi NPT. TPNW menuntut komitmen yang lebih besar dari state-party terkait program nuklirnya.

International Committee of the Red Cross (ICRC) memandang bahwa senjata nuklir tidak cukup jika hanya dilihat dari aspek hukum. Dari perspektif hukum humaniter, yang menjadi tolak ukurnya adalah pendapat mahkamah internasional tahun 1996. Namun, yang disampaikan oleh mahkamah internasional hanya bersifat advisory opinion, sehingga sifatnya kurang mengikat dan apa yang dituliskan cukup membawa perdebatan yang lebih panjang lagi. Senjata nuklir adalah sesuatu yang mutlak dilarang, karena berdasarkan asas hukum humaniter, banyak sekali prinsip humaniter yang dilanggar. Dalam melihat senjata nuklir, perlu mengingat adanya klausula martens, yakni ketika ada sebuah peraturan atau tindakan peperangan yang belum diatur secara spesifik dalam rezim komunitas internasional, maka senjata atau perilaku tersebut harus diatur berdasarkan prinsip kemanusiaan dan bagaimana publik berkata.

Indonesia memiliki beberapa pilihan terkait isu ini, yaitu melarang, meregulasi, atau membiarkan. Mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang pertama menandatangani TPNW, berarti Indonesia telah terikat secara moral. Yang perlu dibahas adalah bagaimana bentuk ratifikasinya. Perlu ada sinergi dan kerjasama antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri dalam hal ini. Meski demikian, dari sudut pandang militer, senjata nuklir dibutuhkan karena adanya deterrence of power, dimana setiap negara harus mempunyai kekuatan untuk menguasai negara lain dan negara lain akan melakukan hal yang sama. Dalam militer dipercayai bahwa jika suatu negara kuat dan mempunyai senjata, maka negara lain tidak akan melakukan agresi. Karenanya sulit untuk melakukan disarmament.

Kini adalah kesempatan emas untuk meratifikasi TPNW. Karena kelak, ketika generasi milenial memimpin pada tahun 2030, cara pandangnya akan berbeda dan cenderung lebih nasionalistik, asertif, dan agresif. Di masa depan, generasi tersebut tidak akan memikirkan nuklir seperti bom atom, melainkan sebagai low-yield nuclear weapon yang daya ledaknya hanya beberapa kiloton dan dapat digunakan dimana saja. Tren pada pemilu 2029 pun bisa saja sangat berbeda, terkait dengan politik domestik, khilafah, serta elit politik di DPR yang menjadi lebih konservatif, sehingga proses ratifikasi akan lebih sulit. Mengingat di DPR membutuhkan waktu yang lama dari saat penandatanganan hingga ratifikasi. Namun dalam pesannya untuk ICAN, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia, menyadari pentingnya eksistensi traktat ini dan mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses menuju ratifikasi. 

Salah satu kritik yang dilontarkan dalam RTD ini adalah ketiadaan terma ‘senjata’ dalam TPNW. Ketiadaan terma senjata nyatanya merupakan sesuatu yang disengaja untuk mengantisipasi state party agar tidak berupaya menyalahgunakannya. Karena perlu disadari bahwa perkembangan teknologi akan menggeser definisi-definisi yang telah ada, sehingga maknanya sengaja diperluas untuk mengantisipasi perkembangan teknologi kedepannya yang turut melibatkan nuklir. Meski harus diakui bahwa memang membuat definisinya menjadi sangat luas dan kurang jelas. 

Meski demikian, TPNW lahir dari proses yang cukup unik karena semua negara pemilik senjata nuklir sangat takut dan tidak menyukai traktat ini. TPNW murni diinisiasi oleh negara dunia ketiga atau negara-negara Selatan. Sehingga dalam proses inisiasi dan pembuatannya pun tidak ada tekanan dari negara-negara yang memiliki senjata, namun justru dari negara korban. Ini merupakan traktat yang justru ditolak dan dihindari oleh negara-negara pemilik senjata nuklir karena secara tegas menyatakan bahwa senjata nuklir dilarang. Dalam konteks deterrence, senjata nuklir mungkin tidak menghadirkan perang dalam skala besar, namun berbeda halnya dengan perang skala kecil.

Indonesia sebagai negara kekuatan menengah (middle power) memiliki kedudukan yang cukup  berpengaruh dalam menciptakan dunia internasional yang lebih terprediksi dan teratur. Penting bagi Indonesia untuk segera meratifikasi TPNW. Karena dengan meratifikasi, Indonesia berarti memperkuat norma internasional dalam rangka penghapusan senjata nuklir secara total. Tak hanya itu, meratifikasi TPNW tidak memberikan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, karena biaya yang dikeluarkan cenderung rendah, namun membawa dampak positif bagi dunia internasional secara relatif signifikan. Selain itu, dalam traktat ini tidak ada pembatasan pengembangan energi nuklir selama untuk tujuan damai (peaceful uses). Traktat ini diharapkan dapat membawa perubahan dalam cara pandang terhadap senjata nuklir sebagai alat politik. Proses ratifikasi ada di tangan Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri dan Presiden. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah presiden melihat isu ini sebagai sesuatu yang mendesak atau tidak.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti