[RECAP] Beyond the Great Wall #11: The Rise and Future of China’s Power Projection

Pada 20 November 2020 lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada menyelenggarkan forum Beyond the Great Wall edisi ke-11 secara daring melalui platform Zoom. Bertajuk “The Rise and Future of China’s Power Projection”, forum BTGW kali ini menghadirkan  dua pembicara. Pembicara pertama adalah Angelo Wijaya, founder dari Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM, yang memaparkan review dari buku yang berjudul Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’ Trap. Selanjutnya, Demas Nauvarian, mahasiswa S2 Hubungan Internasional di Universitas Airlangga, menyampaikan materinya yang bertajuk “The Evolution of Chinese Geostrategic Thinking and Strategic Culture: From Sea Power to Space Power.” Forum BTGW #11 turut menghadirkan Indrawan Jatmika, staf riset IIS UGM, sebagai moderator.

Membuka forum BTGW ke-11, Angelo Wijaya menyampaikan fakta bahwa dalam waktu dekat, Cina akan menjadi kekuatan nomor satu di dunia karena adanya prediksi bahwa ekonomi Cina di tahun 2024 akan semakin menguat, bahkan mengalahkan Amerika Serikat (AS). Tentu hal ini menjadi ancaman yang serius bagi AS, sehingga pilihan tindakan yang diambil adalah dengan menyatakan berbagai bentuk ketidaksetujuannya dengan Cina, berkompetisi, hingga perang dagang. Buku “Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap” mencoba untuk melengkapi apa yang dikemukakan Thucydides dalam kisah yang sangat legendaris dalam hubungan internasional, yaitu Perang Peloponnesian. Dalam hal ini, Graham Allison memperkenalkan istilah “Thucydides’ Trap”, yaitu tendensi terhadap perang ketika suatu kekuatan baru muncul untuk menggantikan kekuatan yang telah ada sebelumnya. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena pada nyatanya tidak semua negara memiliki tendensi untuk perang.

Berangkat dari hal itu, muncul pertanyaan besar: apakah sebenarnya AS dan Cina dapat lolos dari jebakan Thucydides? Angelo menyampaikan bahwa ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, utamanya bagi AS. Yang pertama adalah dengan mencoba untuk mengklarifikasi dan mengkaji kembali apa yang sebenarnya menjadi kepentingan vital AS. Dalam hal ini, persoalan mengenai Laut Cina Selatan perlu dipertanyakan lagi: apakah sebenarnya hal ini benar-benar menjadi prioritas bagi AS? Kedua, AS perlu untuk secara lebih teliti memahami apa yang sebenarnya tengah dilakukan oleh Cina, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri. Selanjutnya, jika telah memahami apa yang dilakukan oleh Cina, penting bagi AS untuk melakukan strategi yang dibutuhkan. Strategi harus disusun dengan memperhatikan situasi dalam skala makro. Yang terakhir, tantangan-tantangan dalam konteks domestik perlu dijadikan hal yang sentral bagi penentuan kebijakan luar negeri AS. Hal ini dapat berupa kepercayaan yang diperoleh dari institusi domestik, sistem sosial politik, serta yang terutama adalah masyarakat di dalamnya.

Angelo menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa kita harus melihat kebangkitan Cina secara holistik – bahwa pada dasarnya kebangkitan Cina sama saja dengan apa yang diinginkan oleh AS. “Dengan menjadi kekuatan besar yang baru, penting untuk mengingat salah satu kutipan dari film Spiderman, with a great power comes a greater responsibility,” ujar Angelo sebagai penutup.

Sesi kedua berfokus pada kekuatan laut dan luar angkasa Cina yang masih sangat jarang dibahas. Demas Nauvarian mengawali presentasinya dengan menjelaskan strategi besar Cina untuk harmonisasi instrumen-instrumen kekuatan yang dimilikinya dalam rangka untuk mencapai tujuan utamanya. Pendekatan yang digunakan dapat berupa pendekatan geostrategis yang mengutamakan aspek geografi dan penggunaan angkatan bersenjata ataupun pendekatan kultur strategis yang melihat aspek geografis dan historis untuk mencapai kesejahteraan. Setiap negara pada dasarnya memiliki prioritas isunya untuk menjadi kekuatan besar; sektor kelautan merupakan salah satu prioritas bagi Cina.

Berbicara mengenai strategi kelautan, ada dua pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk mengkaji kekuatan laut/classical sea power. Yang pertama adalah pendekatan ala Mahan, yaitu strategi angkatan laut yang berfokus pada modernisasi angkatan laut. Penggunaan angkatan laut, kekuatan, serta kontrol terhadap laut menjadi hal yang penting dalam pendekatan ini. Pendekatan kedua adalah strategi maritim ala Corbett yang menyoroti pentingnya kombinasi darat dan laut untuk mengontrol sektor kelautan. Dalam hal ini, elemen militer dan sipil, kekuatan darat dan laut, serta komando atas sektor kelautan menjadi hal yang krusial. Sejak mulai mengadopsi strategi dalam sektor kelautan, Cina berulang kali melakukan pendekatan yang berbeda sesuai dengan tujuan kepemimpinannya. Namun, saat ini strategi yang digunakan Cina adalah dengan mempertahankan dan membela mati-matian apa yang menjadi kepemilikan Cina dan melakukan klaim atas apa yang bukan merupakan kepunyaan Cina. Strategi ini menunjukkan dengan jelas bagaimana Cina cenderung asertif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perbatasan, utamanya di Laut Cina Selatan.

Berbicara mengenai sektor luar angkasa, Demas menyatakan bahwa sejatinya strategi untuk mengontrol sektor luar angkasa sangat bergantung dengan strategi maritim yang digunakan. Untuk saat ini, kekuatan luar angkasa Cina sedang berfokus pada berbagai upaya kerjasama dengan berbagai negara untuk pengembangannya. Sektor luar angkasa Cina yang mulai menguat perlahan-lahan membuat negara-negara Barat merasa terancam dengan keberadaan Cina. Sebagai catatan penting, seluruh strategi besar yang digunakan Cina untuk mencapai tujuannya sejatinya sangat berbeda jika dibandingkan dengan strategi ala Barat. Dalam menyusun strateginya, Cina memandang dunia dalam dua cara yang berbeda. Yang pertama adalah kepercayaan Konfusian yang menghindari penggunaan angkatan bersenjata untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pendekatan yang kedua adalah cara pandang para bellum ala realisme yang melihat struktur internasional sejatinya anarkis sehingga perlu untuk berperang. Kedua pendekatan ini digunakan Cina untuk membentuk strategi besarnya, terutama dalam bidang kelautan dan luar angkasa.


 

[RECAP] Beyond The Great Wall #10 : Cina: Inisiatif di Bidang Energi dan Transportasi

Pada Jumat (18/9) lalu, Institute of International Studies (IIS) UGM kembali mengadakan forum diskusi dwibulanan Beyond the Great Wall (BTGW) secara daring. BTGW edisi kesepuluh kali ini menghadirkan Alfin Febrian Basundoro, Wakil Ketua Penalaran UPII UGM dan Caesar Leonardo, Director of Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM. Sesuai dengan tajuk kegiatan ”Cina: Inisiatif di Bidang Energi dan Transportasi Kedua pembicara akan mengangkat tema mengenai inisiatif Cina pada dua bidang yang berperan menopang pertumbuhan ekonomi Cina, yaitu bidang energi dan transportasi.

Sesi pertama dibuka oleh Alfin yang membawakan materinya dengan judul “New Eurasian Land Bridge: Ekspansi Sektor Perkeretaapian Tiongkok”. Sektor perkeretaapian telah lama menjadi tulang punggung Cina, dimana pada tahun 2007 semua propinsi di Cina telah tersambung via jalur kereta. Dengan panjang rel kereta api di Cina mencapai 140.000 KM, jaringan rel yang masif tersebut mendukung penyediaan kereta cepat bagi jutaan penduduk dan menjadikan Cina sebagai negara pemilik jaringan kereta api cepat terpanjang di Dunia. Selain membangun jaringan kereta api domestik, ekspansi sektor perkeretaapian Cina juga turut didukung dengan Kerjasama regional dengan beberapa negara, yang kemudian direalisasikan lewat program New Eurasian Land Bridge.

New Eurasian Land Bridge atau NELB sendiri merupakan sebuah koridor berbasis rel yang menghubungkan Cina, Asia tengah dan Eropa Timur. Sebagai bagian dari Belt and Road Initiatives, program ini disebut sebagai bentuk dari implementasi jalur sutra di era modern untuk mendukung kegiatan perekonomian melewati koridor Asia Tengah. Jalur darat dipilih sebagai alternatif dari jalur laut yang relatif lebih panjang dan memakan waktu lebih lama, dan menjanjikan perpindahan komoditas yang lebih efektif karena kereta api dapat membawa kargo lebih banyak apabila dibandingkan dengan jalur udara. Sejak dioperasikan pada tahun 2011, NELB mengalami peningkatan lalu lintas yang signifikan setiap tahunnya, dan telah berperan penting dalam menghubungkan dua benua serta meningkatkan investasi antara Cina dan Eropa.

Selanjutnya, Alfin menyampaikan bahwa NELB telah menguntungkan kedua belah pihak, namun juga harus menghadapi banyak tantangan kedepannya. Bagi Cina, NELB menjanjikan efektivitas dan kemudahan transportasi dan perpindahan komoditas, mendukung peningkatan perdagangan dengan negara-negara Eropa, serta mendukung diversifikasi komoditas yang dapat dikirimkan. Bagi negara-negara Eurasia, NELB menjanjikan terbukanya zona perdagangan bebas baru di kawasan Asia Tengah, menciptakan interkonektivitas di kawasan Eurasia, dan menghubungkan kawasan tersebut dengan koridor ekonomi lain di Eropa. Di sisi lain, NELB juga harus menghadapi beberapa tantangan, seperti perbedaan lebar rel, ketersediaan infrastruktur yang belum berimbang, kondisi politik negara-negara yang dilaluinya, hingga ketersediaan sumber daya manusia yang belum seragam.

Pada akhir pemaparannya, Alfin menyimpulkan bahwa NELB merupakan sebuah bagian yang sangat penting dari ekspansi sektor perkeretaapian Tiongkok yang telah berjalan lama. Dengan fitur-fitur yang disediakan, NELB tidak hanya menguntungkan Cina, namun juga mendukung perkembangan regional Asia Tengah dengan menyediakan sarana untuk mempercepat perputaran komoditas ekonomi dengan menyediakan jalur distribusi yang mendukung industri dari dua benua. Tidak heran, NELB menjadi salah satu salah satu dari 5 program andalan Cina di kawasan Asia Tengah.

Sesi dilanjutkan oleh Leo, yang memaparkan materinya yang bertema “Chinese Nuclear Energy Initiatives”. Sama halnya dengan bidang transportasi, bidang energi juga menjadi sangat penting bagi perkembangan ekonomi Cina di era Modern. Pengembangan energi nuklir dimulai oleh Mao Zedong pada tahun 1950an, dan masih terbatas pada kegunaan nuklir sebagai senjata. Pada era Deng Xiaoping, nuklir mulai dipandang sebagai sumber energi alternatif lewat program “four modernization” sebagai salah satu solusi bagi keamanan energi Cina. Reaktor nuklir Qinshan menjadi reaktor nuklir pertama CIna yang mulai beroperasi pada tahun 1991, dan menjadi awal dari pembangunan energi nuklir Cina yang progresif dan direncanakan untuk melampaui ekspor energi dari reaktor Amerika dan Eropa pada tahun 2035.

Menurut Leo, energi nuklir dipilih Cina karena memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan sumber energi alternatif lainnya. Dari segi emisi, energi nuklir memiliki emisi yang jauh lebih rendah dari bahan bakar fosil, karena memiliki efisiensi material yang tinggi. Selain itu, tingkat keterjangkauan energi listrik yang dihasilkan oleh tenaga nuklir juga relatif lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan listrik hasil batubara dan panel surya. Dari segi politik, negara-negara barat sudah mulai meninggalkan energi nuklir, dan mencari energi alternatif lain yang lebih aman. Sebagai implikasinya, Cina memiliki kesempatan untuk menjadi pionir industri pengembangan energi nuklir global

Dari segi pengembangan, orientasi pengembangan energi nuklir Cina mengalami perubahan yang cukup signifikan. Seperti yang telah disebutkan Alfin sebelumnya, pada era Deng Xiaoping, Cina mengembangkan energi nuklir untuk mencapai keamanan energi domestik. Cina menjalin kerja sama dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara yang sudah terlebih dahulu mengembangkan energi nuklir seperti Perancis dan Amerika Serikat. Untuk mengatasi faktor keterbatasan sumber daya, Cina mengekspor uranium dari negara-negara Afrika untuk menjamin suplai. Kini, Ketika keamanan energi domestik telah tercapai dan Cina telah memiliki pengalaman yang cukup dalam mengembangkan energi nuklir, Cina mulai mempersiapkan diri menjadi produsen yang mempromosikan penggunaan energi nuklir bagi negara lain. Perubahan orientasi ini juga didukung oleh  BRI, yang memberikan ruang bagi Cina untuk bekerjasama dengan negara negara lain dalam pengembangan industri energi nuklirnya.

Sebagai penutup, Leo memaparkan beberapa tantangan yang harus dihadapi Cina kedepannya dalam mengembangkan energi nuklir. Pertama, Keraguan terhadap pengembangan energi nuklir. Keraguan tersebut didasari oleh faktor keamanan yang didasari oleh karena beberapa kecelakaan seperti kebocoran reaktor di Chernobyl dan Fukushima, dan sifat dari limbah nuklir yang radiatif.  Kedua, sumber energi alternatif lain yang lebih populer. Pemain besar dari industri bahan bakar fosil seperti Total lebih memilih untuk berinvestasi dalam pengembangan panel surya dan turbin angin dibanding energi nuklir. Ketiga, faktor Politik dalam negeri Cina. Meskipun sudah ada tendensi untuk menjadi pemain global dalam pengembangan energi nuklir, namun pada realitanya, pemerintah Cina masih sulit untuk lepas dari bahan bakar fosil yang masih dominan dipakai oleh sektor industri dalam negeri. Ketiga faktor ini, menurut Leo merupakan tantangan yang harus dihadapi Cina dalam pengembangan energi nuklir kedepannya.


 

[RECAP] Beyond The Great Wall #10 : China: Initiatives in Energy and Transportation

On Friday (18/9), Institute of International Studies/IIS UGM organized another edition of its bimonthly discussion forum Beyond the Great Wall/BTGW online. In its tenth edition, present were Alfin Febrian Basundoro, Vice President of UPII UGM and Caesar Leonardo, Director of Student Association of Belt and Road Initiative/SABRI UGM Chapter. Under the theme “China: Initiatives in Energy and Transportation”, the two speakers spoke on China’s dynamics in developing the two sectors which boost the growth of Chinese economy, namely energy and transportation.

Alfin began the first session by delivering his presentation on “New Eurasian Land Bridge: China’s Railroad Sector Expansion”. The railroad sector has long been serving as the backbone of the Chinese economy, in which all provinces in China had been linked via railway by 2007. With a total 140,000 km of railway, the massive rail network supports provision of rapid trains for millions of citizens and names China the country with the longest rapid train network in the world. Besides domestic development, regional cooperation realized through New Eurasian Land Bridge also supported China’s railroad expansion.

New Eurasian Land Bridge/NELB is a rail-based corridor linking China, Central Asia and Eastern Europe. As part of the Belt and Road Initiative, this program is an implementation of the modern silk road aimed at supporting intercontinental economic activities via Central Asia. Compared to the sea route which is relatively longer and takes more time to pass, land route is ultimately a better alternative. Moreover, land route allows better movements of commodities as trains are able to carry more cargo compared to planes.  Since its first operation in 2011, NELB saw significant increase in traffic every year and has been playing an important role linking two continents and promoting Chinese-European investment.

Alfin claimed that NELB benefited both parties; however, to achieve such benefits, it needs to face challenges ahead. To China, NELB promises effectivity, as well as ease of transportation and movement of commodity; bolsters increase in trade with European countries; and supports diversification of commodities exported. To Eurasian countries, NELB guarantees new free trade zone in Central Asia, Eurasian interconnectivity, and connection to other European economic corridors. On the other hand, NELB needs to overcome several obstacles, ranging from differences in railway width, imbalanced infrastructure, political conditions of related countries, to lack of human resource standardization.

He concluded that NELB is of paramount importance to China’s long-running railroad expansion. Not only does NELB serves China’s interests, but also it supports Central Asian development by providing effective distribution route to accelerate movement of commodities from two continents. No wonder NELB is one of the five priority programs of China’s in Central Asia.

Leo delivered the second session discussing “Chinese Nuclear Energy Initiatives”. Similar with that of transportation, the energy sector is central for the growth of modern Chinese economy. Nuclear development, initiated by Mao Zedong, began in 1950s and was limited to nuclear as mere weapons. Under Deng Xiaoping, nuclear was perceived as more of an alternative energy source through his program of “four modernizations” as one of the answers to the question of Chinese energy security. Qinshan nuclear reactor, then, became China’s first and started operation in 1991. Its establishment commenced the era of Chinese progressive nuclear energy development, which is expected to surpass American and European reactor energy export by 2035.

According to Leo, China preferred nuclear energy to other alternative sources due to several advantages. Nuclear emits less emission compared to fossil fuel because of its high material efficiency. Moreover, nuclear-generated electricity is relatively affordable compared to that from fossil fuel or solar panel. Politics-wise, western countries already left nuclear behind and started seeking other safer alternatives. Hence, China has the opportunity to lead the global nuclear energy development industry.

China’s nuclear orientation experienced a significant shift. As Leo mentioned, under Deng, China developed nuclear for the sake of domestic energy security. Hence, China cooperated with other nuclear-experienced countries like France and the US. To tackle the problem of limited resources, China also imported uranium from African countries to secure supply. Now, as China has achieved domestic energy security and possessed enough experiences in developing nuclear energy, it prepares itself to become a producer who promotes nuclear energy use to others. BRI supports such shift by giving space for China to initiate cooperation with other countries in developing their own nuclear industries.

Leo wrapped up his presentation by showcasing a number of future challenges China needs to face in developing its nuclear. First, there is an existing doubt in developing nuclear due to security problems like reactor leaks in Chernobyl and Fukushima, as well as issues of radioactive waste. Second, other alternative energy sources are more popular. Top fossil fuel industries like Total preferred to invest in solar panels or air turbins compared to nuclear. Third, China’s domestic politics still prefer fossil fuel. The government favors fossil that dominates domestic industrial use, despite the chance of being a global pioneer in nuclear development. All three problems, Leo believes, are the hindrances China has to overcome in the future of nuclear energy development.


[RECAP] 75 Tahun Terlalu Lama: Mengakhiri Senjata Nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir

Pada Sabtu, 15 Agustus 2020 lalu, Institute of International Studies UGM, bekerja sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) dan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), menyelenggarakan webinar bertajuk “75 tahun terlalu lama: mengakhiri senjata nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir” secara daring. Webinar yang diselenggarakan sebagai rangkaian dari tagar 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series ini menghadirkan 2 pembicara, yaitu Tim Wright sebagai Koordinator Traktat dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) dan Christian Donny Putranto selaku Penasihat Hukum International Committee of the Red Cross. Kegiatan kali ini dimoderatori oleh Muhadi Sugiono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang turut menjadi anggota tim kampanye ICAN.

Sebagai pembicara pertama, Christian Donny Putranto memaparkan kaitan antara Hukum Humaniter Internasional dan senjata nuklir. Diawali dari konsekuensi kemanusiaan yang sangat parah sebagai akibat dari dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, ICRC mulai mengajak anggota dari Konvensi Genewa 1946 untuk mulai menyusun perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir pada tahun 1950. 70 tahun sejak inisiasi itu muncul, sudah muncul berbagai perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir, namun seluruhnya masih terkesan parsial, misalnya hanya mengatur tentang proliferasinya serta melarang adanya tes dan percobaan senjata nuklir di area tertentu seperti di laut maupun orbit dekat bumi serta bulan. Sebagai implikasinya, hingga saat ini belum ada perjanjian yang secara menyeluruh melarang dan memiliki kekuatan untuk menghilangkan senjata nuklir di muka bumi walau sebenarnya jelas telah melanggar prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional. Donny memaparkan bahwa jika dilihat melalui kacamata Hukum Humaniter Internasional, penggunaan senjata nuklir melanggar prinsip distinction, proportionality, dan precautions, dimana senjata nuklir tidak dapat membedakan masyarakat sipil dan kombatan saat serangannya diluncurkan, menimbulkan cedera berlebihan, serta mengakibatkan kerusakan yang tidak diperlukan. Sayangnya, hingga saat ini Hukum Humaniter Internasional belum secara spesifik mengatur ketentuan atas penggunaan senjata nuklir walaupun konsekuensi kemanusiaannya sangat besar – yaitu menimbulkan lingkaran penderitaan yang tidak berkesudahan (endless cycle of suffering). Di akhir presentasinya, Donny mengajak untuk mengutamakan kemanusiaan diatas kepentingan yang lain melalui pelarangan senjata nuklir. Presentasi ditutup dengan sebuah refleksi penting, weapons that risk catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing peoples’ security.

[layerslider id=”31″]

Pembicara selanjutnya, Tim Wright dari ICAN, memaparkan tentang urgensi dari Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Ia membuka presentasi dengan menyatakan bahwa hingga saat ini, setidaknya ada 30.000 senjata nuklir di seluruh dunia. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat dampak yang ditimbulkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia, antara lain migrasi, dampak iklim global, kelaparan yang meluas akibat terganggunya produksi pertanian di seluruh dunia, serta krisis kemanusiaan karena dampak fisik yang ditimbulkan dari senjata nuklir secara langsung.  Saat ini, satu-satunya perjanjian yang dapat diandalkan untuk menghapuskan senjata nuklir adalah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Sejak tahun 2017, perjanjian ini ada untuk mengatur penghapusan dan penghentian pengembangan senjata nuklir, termasuk senjata-senjata yang telah ada sebelumnya. Traktat Pelarangan Senjata Nuklir melarang senjata nuklir secara penuh melalui tidak adanya jumlah senjata nuklir yang dapat diterima maupun keadaan tertentu yang memperbolehkan pengembangan senjata nuklir. Hingga saat ini, sudah ada 122 negara yang menandatangani perjanjian ini, namun hanya 44 negara yang telah meratifikasinya. Dibutuhkan 6 negara lagi untuk meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir supaya perjanjian ini dapat benar-benar diimplementasikan di dunia. Poin yang selama ini menghambat negara-negara untuk menandatangani ataupun meratifikasi perjanjian ini, terutama negara-negara yang telah memiliki dan mengembangkan senjata nuklir, adalah adanya kepercayaan bahwa senjata nuklir adalah kekuatan bagi suatu negara, terutama karena deterrence effect yang ditimbulkan. Menurut Tim, cara yang paling tepat untuk menyangkal pemahaman ini adalah dengan memberi stigma kepada negara-negara yang masih menggunakan dan mengembangkan senjata nuklir. Ketika berbicara spesifik mengenai peranan Indonesia dalam Traktat Pelarangan Senjata Nuklir, Tim menyatakan bahwa langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan meratifikasi perjanjian ini. Hingga saat ini, Indonesia sebagai negara anggota Gerakan Non Blok telah secara aktif menyatakan di forum internasional bahwa senjata nuklir adalah senjata yang membahayakan kehidupan manusia. Namun, bagi Tim, Indonesia dapat meningkatkan lagi peranannya dengan lebih banyak berbicara mengenai dampak moral dari senjata nuklir dan yang paling penting adalah untuk segera meratifikasi perjanjian ini supaya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dapat segera diimplementasikan di seluruh dunia dan senjata nuklir dapat segera musnah dari muka bumi.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] 75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons Through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons

On Saturday, 15 August 2020, Institute of International Studies UGM, in collaboration with the International Committee of the Red Cross/ICRC and the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, organized a webinar titled “75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons” as a part of the “75th Anniversary of the Atomic Bombing Series”. Speaking on the webinar were Tim Wright, Campaign Coordinator for ICAN, and Christian Donny Putranto, legal advisor for ICRC; moderated by Muhadi Sugiono, a lecturer of Department of International Relations UGM and also a campaigner for ICAN.

The first speaker, Christian Donny Putranto, explained the correlation between nuclear weapons and international humanitarian law. Intrigued by the severe humanitarian repercussions of the Hiroshima-Nagasaki bombing, ICRC invited the members of Geneva Convention 1946 to develop a treaty regulating the use of nuclear weapons in 1950. Seventy years since the initiative was brought up, plenty of legal instruments regarding nuclear weapons have been formalized. However, all of them remain as partial bans. Some only regulate the proliferation aspect of them, while the others prohibit testing on specific locations (like the sea or earth/moon orbits). To this day, there hasn’t been a single treaty that possesses the power to fully ban nuclear weapons worldwide.

In fact, when observed through the lens of international humanitarian law, the use of nuclear weapons violates the principles of: (1) distinction, as the weapon is unable to distinguish civilians from combatants when launching attacks; (2) proportionality, since nuclear weapons cause disproportionately large damage compared to its initial military objective; (3) precautions, due to its nature of causing unnecessary suffering. Unfortunately, despite causing an endless cycle of suffering, international humanitarian law hasn’t specifically regulated the use of nuclear weapons. At the end of his presentation, Donny asked all parties to prioritize humanity above all else in this matter. He wrapped up with an important reflection: that weapons risking catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing people security.

[layerslider id=”31″]

The next speaker, Tim Wright from ICAN, demonstrated the urgency of the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons/TPNW. According to him, there are 30,000 existing nuclear weapons up to this day. This is disheartening, considering its detrimental impact on many aspects of human lives, including migration crisis, declining climate condition, famine caused by disruption of agriculture production, and direct physical damage on survivors. Currently, there is only one treaty which can be devised to abolish the weapon, which is the TPNW.

TPNW was formalized in 2017 to oversee the total abolition and discontinuation of nuclear weapons development, including pre-existing ones. The Treaty fully bans nuclear weapons, meaning there is no single circumstance under which nuclear weapons are allowed to be deployed nor developed. To date, 122 countries have signed the treaty, with only 44 of them having ratified it. The Treaty needs another six ratifications to enter into force.

The belief in the deterrence effect of nuclear weapons remains a major obstacle for countries to sign or ratify the Treaty. Tim argued that the most effective way to counter this paradigm is to burden nuclear-armed countries with negative stigma.

Specifically speaking on Indonesia’s role in TPNW, Tim reckoned that the government needs to ratify the treaty as a concrete action to abolish nuclear weapons. As a member of the Non-Bloc Movement, Indonesia has been actively expressing its concerns about nuclear weapons as a threat to humanity at international fora. Yet, Tim believed Indonesia still has room to enhance its participation in talking about the morality of the weapons. Most importantly, Indonesia needs to ratify the Treaty to deem it legitimate and finally free the world from nuclear threat.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] Pameran Foto Terpandu Virtual: Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir

Dalam rangka memperingati 75 tahun meledaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Institute of International Studies UGM menyelenggarakan pameran foto terpandu virtual yang bertajuk “Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir” pada Minggu, 9 Agustus 2020 lalu. Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian acara 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series yang diinisiasi oleh IIS UGM berkolaborasi dengan International Committee of the Red Cross/ICRC yang bertujuan menunjukkan urgensi pelarangan senjata nuklir dan ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Kegiatan dipandu oleh Muhadi Sugiono, anggota Tim Kampanye International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, dan Sonya Teresa, peneliti IIS UGM.

Pameran foto terpandu virtual “Dari Mata Hibakujumoku” terbagi ke dalam tiga sesi, yaitu sesi pameran foto virtual, sesi breakout room, serta sesi tanya jawab. Ada tiga babak dalam sesi pameran foto virtual. Dalam babak I yang berjudul “Dunia Abu-Abu Kehitaman”, pemandu menceritakan kisah Hibakujumoku—para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki—yang menyaksikan dan mengalami sendiri penderitaan akibat senjata nuklir. Foto-foto yang diperoleh dari ICRC, ICAN, Hiroshima Peace Memorial Museum, dan sumber-sumber lainnya memperlihatkan secara jelas betapa mengerikannya dampak pascaledakan—baik fisik maupun psikis—yang membawa trauma mendalam bagi para penyintas hingga saat ini.

Melalui babak II: “Penguasa-Penguasa Tamak dan Teriakan dalam Sunyi”, pemandu mengajak para peserta pameran untuk melihat bagaimana negara-negara tetap bersikeras untuk mengembangkan senjata nuklir walaupun dampak destruktif yang diciptakan sangat nyata. Babak ini juga menceritakan gelombang demonstrasi menentang pengembangan senjata nuklir yang telah bermunculan di berbagai belahan dunia sejak tahun ‘50-an. Namun, nyatanya, justru muncul persaingan senjata nuklir pada tahun ‘80-an, utamanya antara AS dan Uni Soviet. Peristiwa ini memicu demonstrasi yang lebih besar di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Sesi pameran terpandu virtual ditutup dengan babak ketiga yang bertajuk “Masa Depan Kita, Masih Adakah Senjata Nuklir di Sana?”. Pemandu mengajak kita untuk melihat bahwa sejak tahun 1996, negara-negara di dunia mulai merumuskan aturan-aturan perlucutan senjata nuklir. Namun, perang kepentingan antara negara-negara pemilik senjata nuklir menjadi hambatan terbesar dalam perumusan aturan tersebut. Di tahun 2017, PBB mengeluarkan mandat berupa negosiasi bagi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Hingga 75 tahun setelah tragedi di Hiroshima dan Nagasaki, 82 negara telah menandatangani dan 44 negara telah meratifikasi perjanjian tersebut. Supaya senjata ini dapat benar-benar lenyap dari dunia, perlu ada tujuh negara lagi yang meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Pada bagian inilah peran Indonesia dibutuhkan.

Setelah menyaksikan pameran foto terpandu virtual, para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok breakout room. Melalui forum yang lebih kecil ini, para peserta—dipandu oleh masing-masing perwakilan dari IIS—mencoba untuk merefleksikan beberapa pertanyaan seusai melihat pameran foto dan cerita di baliknya: Apakah saat mendengar kata Hiroshima dan Nagasaki, impresi Anda sama seperti dengan apa yang dilihat dari Hibakujumoku? Apakah alasan yang digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir cukup masuk akal? Apakah Anda akan selamat jika tiba-tiba mendapatkan serangan senjata nuklir? Secara aktif, para peserta saling berdiskusi dan bertukar opini dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada diskusi forum-forum kecil ini, mayoritas peserta percaya bahwa pengembangan senjata nuklir bukanlah hal yang masuk akal jika melihat dari dampaknya. Penting bagi negara-negara untuk sadar betul mengenai pentingnya perlucutan senjata nuklir sehingga dapat benar-benar musnah dari dunia. Berbagai pertanyaan yang muncul dalam diskusi ini selanjutnya dibahas dalam forum yang lebih besar dalam sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, para peserta berkesempatan untuk bertanya dan secara langsung dijawab oleh Muhadi Sugiono serta Christian Donny Putranto, penasihat hukum International Committee of the Red Cross (ICRC), yang turut hadir dalam pameran foto terpandu virtual kali ini.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] Virtual Photo Exhibition: Through the Eyes of Hibakujumoku: Living Under the Shadows of Nuclear Weapons

In commemoration of the seventy-fifth year since the Hiroshima-Nagasaki tragedy, Institute of International Studies/ IIS UGM organized a virtually-guided photo exhibition titled “Through the Eyes of Hibakujumoku: Living Under the Shadows of Nuclear Weapons” on 9 August, 2020. In collaboration with the International Committee of the Red Cross/ICRC, the exhibition was initiated by IIS UGM as part of the 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series. It tried to showcase the urgency of nuclear weapons ban through ratification of the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Muhadi Sugiono, a campaigner for the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, and Sonya Teresa, an IIS researcher, guided the event.

The event was divided into three sections: virtual exhibition, breakout sessions, and question-and-answer session. The virtual exhibition, itself, comprised of three stages. The first, “A World of Dark Ashes”, told accounts of the catastrophe in the perspective of hibakujumoku—in Japanese, meaning trees that survived the bombing—through narrations delivered by the guide.  The photographs, collected from ICRC, ICAN, Hiroshima Peace Memorial Museum, and other reliable sources exhibited post-explosion atrocities—both physical and psychological—which brought immense trauma upon survivors to this day.

In the second stage, “Greedy Rulers and Screams in Silence”, participants looked at how states insisted on developing nuclear weapons despite evident destructive effects. The photographs also told stories of social movements against nuclear weapons development since the 1950s. However, nuclear race persisted in the 1980s, particularly between the US and the Soviet Union. The phenomenon incited larger demonstrations in Europe, the US, and Japan.

The last stage, “In Our Future, Will Nuclear Weapons Still Be There?”, showcased how states have started discussions on nuclear weapons ban since 1996. However, clash of interest between states continued to be the biggest obstacle in the creation of a legal instrument. In 2017, UN issued a mandate in the form of negotiation for the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. To this day, 82 states have signed the Treaty, while 44 others have ratified it. To ensure total abolition, the Treaty needs another seven states to ratify. This is where the Indonesian government needs to step in.

After the exhibition ended, the participants were divided into three small breakout rooms. In the small discussion forums led by IIS representatives, the participants tried to reflect several important questions related to the photographs and the stories behind them: When you hear the word Hiroshima and Nagasaki, did you imagine the same impression as that of hibakujumoku’s? Does the reasoning behind nuclear weapons development make sense? If there were to be a nuclear explosion now, will you survive? The majority of participants agreed that nuclear weapons development is not worth the after effect. Hence, it is necessary that states fully realize the importance of disarmament and total abolition. After answering and exchanging thoughts on the matter, the discussion continued in the larger forum for a question-and-answer session, with added insights from Muhadi Sugiono and Christian Donny Putranto, legal advisor for ICRC.


Writer : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Editor : Medisita Febrina

[RECAP] IIS UGM Berpartisipasi dalam Tanggap Darurat COVID-19

Dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19, Institute of International Studies (IIS) UGM turut berpartisipasi dalam berbagai upaya tanggap darurat COVID-19, di antaranya melalui skema hibah pengabdian masyarakat FISIPOL UGM. Sejak 12 Juni 2020, IIS UGM, bekerja sama dengan Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM dengan diketuai oleh Ibu Siti Daulah Khoiriati, MA, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, melaksanakan program hibah pengabdian kepada masyarakat tanggap darurat Covid-19 FISIPOL UGM 2020 dengan judul “Penguatan Usaha Rumah Tangga Perempuan Menghadapi Dampak COVID-19 Melalui Pembentukan Online Marketplace berbasis Media Sosial.” Kegiatan ini ditujukan kepada Koperasi Mitra Insani di daerah Godean, Yogyakarta. Kegiatan ini memprioritaskan kelompok perempuan dikarenakan di Koperasi Mitra Insani, kelompok perempuan berperan sebagai kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya. Dengan adanya pandemi, maka sumber pemasukan bagi para pelaku usaha perempuan di Koperasi Mitra Insani mengalami penurunan karena warung makanan yang diharuskan tutup untuk mengurangi risiko terpapar virus. Oleh karenanya, program ini dilakukan untuk mendukung kegiatan jual beli masyarakat selama pandemi COVID-19 melalui pembekalan literasi digital dan pemanfaatan media sosial sebagai sarana promosi dan penjualan.

Mengingat situasi yang mengharuskan adanya physical distancing, maka program ini dilaksanakan melalui Kuliah Whatsapp (KULWAP) untuk menyampaikan materi setiap minggunya. Melalui KULWAP yang dilaksanakan selama tiga minggu berturut-turut, IIS dan PSPD UGM berbagi pengetahuan dengan pelaku usaha perempuan Koperasi Mitra Insani Yogyakarta untuk menunjang kelangsungan aktivitas jual beli daring berbagai macam produk, mulai dari makanan hingga pakaian. Materi yang disampaikan meliputi penjelasan fitur-fitur Whatsapp yang bermanfaat untuk memasarkan produk, cara memotret produk untuk menghasilkan gambar yang menarik, serta metode pengemasan produk makanan atau bahan makanan agar tetap segar selama disimpan atau dikirim. Dalam penyampaian materi pun dibantu oleh narasumber dari luar, yaitu Tito Ardiyan selaku fotografer profesional dan Ibu Arifah selaku peneliti di Pusat Studi Perdagangan Dunia sekaligus dosen di Fakultas Pertanian UGM.

[layerslider id=”30″]

Setelah KULWAP berakhir, ibu-ibu Koperasi Mitra Insani Yogyakarta pun langsung mempraktikkan materi yang telah disampaikan. Dengan materi pemanfaatan fitur Whatsapp, para pelaku usaha pun semakin mahir memanfaatkan fitur status dan broadcast Whatsapp untuk mempromosikan produk. Pemasaran produk semakin efektif dengan kemampuan ibu-ibu mengambil gambar produk dengan pencahayaan yang cukup, sudut pandang yang mampu memperlihatkan rincian produk, serta pemanfaatan kontras warna untuk menonjolkan produk. Terakhir, produk makanan yang dijual juga akan tahan lama karena para pelaku usaha dapat semakin meminimalisasi paparan oksigen terhadap makanan selama penyimpanan.

Demi meningkatkan kelangsungan aktivitas jual beli daring, IIS UGM membantu menyusun alur online marketplace baru di Whatsapp untuk dimanfaatkan oleh ibu-ibu anggota koperasi. Nantinya, para anggota akan memasarkan produknya lewat katalog di akun Whatsapp Business yang dikelola oleh Ibu Askiyah selaku kepala koperasi. Pembeli akan melihat produk yang dipasarkan lewat katalog di Whatsapp Koperasi Mitra Insani dan menghubungi akun tersebut untuk membeli produk yang diinginkan. Harapannya, aktivitas jual beli yang terpusat akan memudahkan pemasaran produk dan pengelolaan transaksi dalam skala yang lebih besar.
Berikut alur tata kelola online marketplace yang ditawarkan untuk Koperasi Mitra Insani:

Selain berpartisipasi dalam upaya pembentukan online marketplace bagi para pelaku usaha perempuan di Koperasi Mitra Insani, IIS UGM turut berpartisipasi dalam membantu jogjabregas.id, salah satu inisiatif hibah pengabdian masyarakat tanggap darurat COVID-19 FISIPOL UGM. Jogjabregas.id berupaya membangun pangkalan informasi seputar cara baru beradaptasi dengan situasi pandemi yang dilakukan oleh warga Yogyakarta di bidang pendidikan serta kesejahteraan. Inisiatif jogjabregas.id ini terdiri dari empat tema konten, yaitu Segar Waras, Kampung Berdaya, Pintar dari Rumah, dan Serba Serbi Covid.

IIS UGM berkolaborasi dengan jogjabregas.id untuk Kampung Berdaya, sebuah program yang bertujuan mengumpulkan dan menceritakan kembali kisah inisiatif-inisiatif baik dan inspiratif warga Yogyakarta untuk beradaptasi dengan pandemi, sembari menjaga kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan bersama melalui penyediaan infografis, artikel, serta podcast. Kolaborasi IIS UGM ini diharapkan dapat turut mengedukasi masyarakat luas, khususnya warga Yogyakarta dalam beradaptasi di tengah pandemi ini.


Penulis: Brigitta Kalina, Denise Michelle, Medisita Febrina

[RECAP] IIS UGM Emergency Response to Mitigate the Repercussions of the COVID-19 Pandemic

Together with Center for World Trade Studies (CWTS UGM), Institute of International Studies (IIS UGM) took part in alleviating the negative effects of the pandemic on businesses by participating in the community service grant scheme provided by Faculty of Social and Political Sciences (FISIPOL UGM). Starting from 12 June 2020, the team, led by Siti Daulah Khoiriati, MA—a lecturer in the Department of International Relations UGM—implemented a program titled “Reinforcement of Women-Owned Home-Based Businesses in the Wake of COVID-19 through Social Media-Based Online Marketplace”. This activity targeted the members of all-female Koperasi Mitra Insani located in Godean, Yogyakarta, in which most of the members acted as breadwinners in the family. Amidst the pandemic, income for members of the co-op—which mostly sold F&B products—decreased as their food stalls were forced to close down to prevent transmission. Hence, the program aimed to enable the members to continue commercial activities by equipping them with digital literacy and social media utilization skills.  

As the pandemic situation required physical distancing, the program was delivered weekly through Whatsapp. For three consecutive weeks, IIS and CWTS UGM shared useful know-hows with members of the co-op which will help them in promoting and selling their goods—ranging from F&B to garments—online. The insights included elaboration on Whatsapp features for promotional purposes, ways to take decent pictures of the products, and best food packing methods. Tito Ardiyan, a professional photographer, as well as Arifah, a researcher in CWTS UGM and lecturer in the Faculty of Agriculture UGM, were invited to help in delivering the insights. 

[layerslider id=”30″]

Immediately after the sessions ended, the members practiced the previously-taught skills. They were able to utilize Whatsapp status and broadcast features to spread information about the products. Promotion became even more effective as they took better pictures with adequate lighting, right angles, as well as color contrast. Lastly, the products would stay fresh longer as the members were able to minimize oxygen exposure better.  

In order to boost online commercial activities, IIS UGM helped in creating a new online marketplace flow using Whatsapp. The members will promote their products through a Whatsapp business account organized by Ibu Askiyah as head of the co-op. Customers will view the co-op’s products through a catalogue published on the account and contact the account to place a purchase. Setting up a business account, hopefully, will centralize transactions and enable better promotion, as well as simplify organization of transactions on a larger scale. In detail, here is how the online marketplace will work: 

  1. The organizer will store images of each member’s products to establish an online catalogue.
  2. The organizer will include images of the products on the catalogue and promote them.
  3. Customers will place purchases and finish payments via Whatsapp business account. 
  4. Members will ship the goods directly to customers.
  5. The organizer will hand the revenue to the members after charging an administration fee. The fee will be collected to pursue collective necessity.

IIS UGM also collaborated with jogjabregas.id, a community service initiative in the form of an information base containing insights on best ways to adapt to the pandemic practiced by people residing in Yogyakarta. The insights are placed under four themes, revolving around topics of education and welfare, including Segar Waras, Kampung Berdaya, Pintar dari Rumah, and Serba Serbi COVID. 

Through production of infographics, articles, and podcasts, IIS UGM collaborated with jogjabregas.id in disseminating information under section Kampung Berdaya. In hopes of educating the public, the program aims to share inspiring stories and honorable initiatives to maintain health, safety, and welfare set up by Yogyakarta residents in the middle of COVID-19 spread.


Writer: Brigitta Kalina, Denise Michelle, Medisita Febrina
Translator: Medisita Febrina

[RECAP] Beyond The Great Wall #9 : China and Issues Amidst the New Normal

On Saturday (11/7), Institute of International Studies (IIS UGM) organized its bimonthly discussion forum Beyond the Great Wall/BTGW virtually. The ninth edition of BTGW invited Julian Lilihata, MA, alumna of Tsinghua University and Arrizal Anugerah Jaknanihan, undergraduate student of Department of International Relations UGM. The discussion titled “China: Issues Amidst the New Normal” tried to illustrate the challenges China is facing in the era of new normal, while still fighting the relentless COVID-19 pandemic.

Julian began the discussion, “The Second Wave of Coronavirus in Beijing”, by describing the situation of the first wave pandemic in China. When the first outbreak occurred in Wuhan, there had been a mistake in declaring the outset of the virus spread as a result of obscure reporting. According to South China Morning Post, the first case was discovered on 17th November 2019, while Wall Street Journal reported that the first case was detected on 10th December 2019. At the dawn of the outbreak, eight doctors tried to warn the public and conduct research on the virus. However, they were stopped by the Wuhan Public Security Bureau and were called to sign a letter declaring their involvement in illegal activity that disrupted public order. The signing was aired via Xinwen Lianbo.

Serious actions were only taken in the beginning of 2020. On 1st January 2020, the authorities closed Huanan Seafood Market (where the first cases of COVID-19 were discovered). Two weeks later, massive temperature measurement was conducted in several public spaces. People with high body temperature were immediately taken to the hospital. In Beijing, the first two cases were identified on 19th January 2020. Five days following the discovery, plenty of prevention measures were applied, namely days off work, provision of face masks and hand sanitizers, temperature measurement, disinfection, centralized treatment for COVID-19 patients in 89 hospitals, and termination of religious events and long-distance transportation services. Activities in the week prior to Chinese New Year holiday—from 24th January to 2nd February—were major factors in the spike of cases, in which people still travel with public transportations and go on vacations despite lockdown in Wuhan beginning on 23rd January.

Following the Chinese New Year influx, the first wave of COVID-19 cases in Beijing peaked on 5th February with additional 114 cases. In response to the phenomenon, the government put various prevention measures in place. In order to disseminate precise and accurate information about government’s discretion regarding the pandemic, mobile application Beijing Health Kit Apps was launched as a medium of communication between the government and the people. The app also served as a digital identification card that can be used in public facilities. Moreover, purchase of fever medicine required identification card as an attempt to record possible COVID-19 cases. The Beijing Social Security Bureau also provided protection for dual-income families. As a result of such fast response, the curve between the first and last two weeks of COVID-19 cases in Beijing fell.

Subsequent to the outbreak, numerous adaptations and changes were made, such as new eating manner and change in reckless spitting habit. Changes were also made in foreign flights, in which foreign citizens were suggested not to fly back to Beijing as many cases were “imported”, meaning that many were transmitted from foreign citizens. The government even stopped direct flights to Beijing and diverted the flights to surrounding cities with less COVID-19 cases. Three days after COVID-19 cases peaked in Beijing, the ban on foreign citizens entry were imposed on 27th March.

[layerslider id=”29″]

By the end of the first wave, COVID-19 death rate was lower compared to SARS 2003 by virtue of maximal treatment and aggressive prevention policy enforcement. Moreover, digitalization played an important role, as it effectively reduced direct contact through practice of cashless transactions, simplified identification process through digital identification card, and assisted information distribution via Beijing Health Kit App used daily by the people. The presence of volunteers also contributed immensely to alleviating the spread of COVID-19, as they helped keep record of the people in quarantine, distributed food, and assisted in doing house chores unable to be done by those confined. As much as the pandemic affected daily lives directly, it also affected the people indirectly. It roused the people’s quest for rights of free speech, particularly in the case of Dr. Li Wenliang’s death.

After the first wave ended, signs of normal activities that were seen in the first week of June didn’t last long. The following week, three new cases were discovered, two of them found in Fengtai Meat Food Research Center. On 13th June, another six cases from local transmission in Xinfadi Market—the biggest grocery market in Asia—located in Fengtai District were detected. Responding to the newfound cases, the government immediately took action. Three core steps were taken: sweeping, testing, and isolation. The testing became more massive in the second wave, in which, a week after the new cases emerged, 2.3 million people had been tested. The government also applied wartime mechanism in management standards. In the third week of June, public spaces were, again, closed. Correspondingly, several responsible government officials and authorities of the Xinfadi Market were fired. The second wave was quite distinct compared to the first, as the testing was more aggressive and massive, both on those who were directly and indirectly affected. Several other measures also made the second wave stood out from the first, with extended quarantine duration from 14 days to 21 days, stricter track recording of people, and local isolation, as well as different types of isolation depending on the level of risk: high, moderate, and low.

Arrizal delivered the second presentation titled “From Beijing to the Streets of Hong Kong: How Students Form the Democratization Movement in Contemporary China”. Despite the pandemic, the people of Hong Kong persisted to commemorate the Tiananmen 1989 Tragedy on 4th June. In China, the Tiananmen Protest had become resilience symbol of democratization movements. Though the discussion on democratization is still taboo in the Chinese government, democracy has long become a part of the Chinese national identity discourse. Before the Chinese Civil War was won by the Chinese Communist Party/ CCP in 1949, Chinese leaders then attempted to adopt democracy as one of the nation’s principles.

Protests—mainly the ones driven by university students—has been occurring in China for a long time, although not always meant to go against the authorities. In mainland China, two phases of protests occurred: protests supported by the political elite in Mao’s era (1949-1976) and 1989-now; and protests organized against the political elite in the era of Republic (1911-1949) until the early post-Mao years (1976-1989). Despite being different in characteristics, these protests should be viewed in unity as a continuous series of events.

Under Deng Xiaoping, the Chinese political system underwent a transition phase and no longer focused on ideological aspects. Such character promoted reform in the field of politics. Unlike in Mao’s presidency, the CCP in Deng’s era encouraged the public to express their opinion. This period is often referred to as the Beijing Spring—derived from the term Arab Spring—as it gave space for pro-democracy movements to rise. One of the most influential pro-democracy symbols were the Xidan Walls illustrating CCP’s “openness” to proceed with the rejuvenation agenda.

One of the most influential student protests in modern Chinese history were the May Fourth 1919. The movement was initiated to counter the outcome of Versailles Treaty which was viewed as an attempt to turn China over to Japan and western countries. The May Fourth became a pillar for the following student protests and eventually prompted the nationalist movement in China. In 1986, students from all over China organized a protest demanding a political reform. The protest secured an indirect support from Hu Yaobang, then CCP’s secretary general. Three years later, the Tiananmen Protest were organized to commemorate his passing. The occurrence was the accumulation and peak of small student protests since 1976.

According to Arrizal, there were—at least—six reasons why protests were often organized by university students. First, the protest culture, which was born in the era of nationalist movements, kept driving reform movements in universities established in said reformation era. Also, presence of moral support and exclusive identity of university students supported such protests. Third, centralized location allowed easier assembly; in 1930, 60% of Chinese students were only concentrated in two cities, Beijing and Shanghai. Fourth, university students, unlike other repressed groups in the civil society, had self-determining characteristics as a group. They were also privileged with exposure to ideas of democracy through formal education and western dissemination. Lastly, university students had weaker bonds with the state ever since the Imperial Civil Examination was abolished in 1905.

Wrapping up his explanation, Arrizal stated that student protests following the May Fourth 1919, Tiananmen 1989, and Hong Kong protests can’t be viewed as entirely separate movements. Said protests should be seen in unity of a long-established democratization movement. Different political, social, and economic condition in China today also influenced the existence of similar protests in the 21st century.


Writer: Denise Michelle
Translator: Medisita Febrina