[RECAP] Pameran Foto Terpandu Virtual: Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir

Dalam rangka memperingati 75 tahun meledaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Institute of International Studies UGM menyelenggarakan pameran foto terpandu virtual yang bertajuk “Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir” pada Minggu, 9 Agustus 2020 lalu. Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian acara 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series yang diinisiasi oleh IIS UGM berkolaborasi dengan International Committee of the Red Cross/ICRC yang bertujuan menunjukkan urgensi pelarangan senjata nuklir dan ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Kegiatan dipandu oleh Muhadi Sugiono, anggota Tim Kampanye International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, dan Sonya Teresa, peneliti IIS UGM.

Pameran foto terpandu virtual “Dari Mata Hibakujumoku” terbagi ke dalam tiga sesi, yaitu sesi pameran foto virtual, sesi breakout room, serta sesi tanya jawab. Ada tiga babak dalam sesi pameran foto virtual. Dalam babak I yang berjudul “Dunia Abu-Abu Kehitaman”, pemandu menceritakan kisah Hibakujumoku—para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki—yang menyaksikan dan mengalami sendiri penderitaan akibat senjata nuklir. Foto-foto yang diperoleh dari ICRC, ICAN, Hiroshima Peace Memorial Museum, dan sumber-sumber lainnya memperlihatkan secara jelas betapa mengerikannya dampak pascaledakan—baik fisik maupun psikis—yang membawa trauma mendalam bagi para penyintas hingga saat ini.

Melalui babak II: “Penguasa-Penguasa Tamak dan Teriakan dalam Sunyi”, pemandu mengajak para peserta pameran untuk melihat bagaimana negara-negara tetap bersikeras untuk mengembangkan senjata nuklir walaupun dampak destruktif yang diciptakan sangat nyata. Babak ini juga menceritakan gelombang demonstrasi menentang pengembangan senjata nuklir yang telah bermunculan di berbagai belahan dunia sejak tahun ‘50-an. Namun, nyatanya, justru muncul persaingan senjata nuklir pada tahun ‘80-an, utamanya antara AS dan Uni Soviet. Peristiwa ini memicu demonstrasi yang lebih besar di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Sesi pameran terpandu virtual ditutup dengan babak ketiga yang bertajuk “Masa Depan Kita, Masih Adakah Senjata Nuklir di Sana?”. Pemandu mengajak kita untuk melihat bahwa sejak tahun 1996, negara-negara di dunia mulai merumuskan aturan-aturan perlucutan senjata nuklir. Namun, perang kepentingan antara negara-negara pemilik senjata nuklir menjadi hambatan terbesar dalam perumusan aturan tersebut. Di tahun 2017, PBB mengeluarkan mandat berupa negosiasi bagi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Hingga 75 tahun setelah tragedi di Hiroshima dan Nagasaki, 82 negara telah menandatangani dan 44 negara telah meratifikasi perjanjian tersebut. Supaya senjata ini dapat benar-benar lenyap dari dunia, perlu ada tujuh negara lagi yang meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Pada bagian inilah peran Indonesia dibutuhkan.

Setelah menyaksikan pameran foto terpandu virtual, para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok breakout room. Melalui forum yang lebih kecil ini, para peserta—dipandu oleh masing-masing perwakilan dari IIS—mencoba untuk merefleksikan beberapa pertanyaan seusai melihat pameran foto dan cerita di baliknya: Apakah saat mendengar kata Hiroshima dan Nagasaki, impresi Anda sama seperti dengan apa yang dilihat dari Hibakujumoku? Apakah alasan yang digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir cukup masuk akal? Apakah Anda akan selamat jika tiba-tiba mendapatkan serangan senjata nuklir? Secara aktif, para peserta saling berdiskusi dan bertukar opini dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada diskusi forum-forum kecil ini, mayoritas peserta percaya bahwa pengembangan senjata nuklir bukanlah hal yang masuk akal jika melihat dari dampaknya. Penting bagi negara-negara untuk sadar betul mengenai pentingnya perlucutan senjata nuklir sehingga dapat benar-benar musnah dari dunia. Berbagai pertanyaan yang muncul dalam diskusi ini selanjutnya dibahas dalam forum yang lebih besar dalam sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, para peserta berkesempatan untuk bertanya dan secara langsung dijawab oleh Muhadi Sugiono serta Christian Donny Putranto, penasihat hukum International Committee of the Red Cross (ICRC), yang turut hadir dalam pameran foto terpandu virtual kali ini.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.