[RECAP] Round Table Discussion: Global Development of Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) and Its Implications on Indonesia’s Foreign Policy and Defense

On Friday (6/3), Institute of International Studies, International Relations Department of Universitas Gadjah Mada collaborated with International Relations Department of Universitas Paramadina in organizing Round Table Discussion on Global Development of Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) and its implications on Indonesia’s foreign policy and defense. The event was attended by various stakeholders, ranging from government, scholars, the military, researchers, and experts who proceeded to discuss the matter in hand from different perspectives.

According to the International Committee of the Red Cross (ICRC), the working definition of autonomous weapons (also known as autonomous weapon systems/lethal autonomous weapon systems/killer robots) is a weapon system that possesses autonomy in executing its critical functions of selecting and attacking target without human intervention. Their development is a consequence of the industrial revolution. The lethality of this type of weapon is not inherent in itself. Instead, it depends on the characteristics of the weapons and how they are deployed.

Autonomous weapons are strongly related to international humanitarian law. Notwithstanding their close ties with war practices, there exists a discourse of the use of autonomous weapons in peace, particularly for law enforcement purposes. Many believe the weapon systems are capable of precise targeting, yet the debate on the risk of cyber attack during deployment persists, which constitutes the problem of accountability and alleged violation of international humanitarian law. The debate focuses upon who is responsible: the field operator, the commander, or the creator of its algorithm?

Beside legal considerations, ethics also need to be taken into account. In the forum, questions such as “will autonomous weapons be able to comply with international humanitarian law principles?”, “to what extent should humans have control on weapons?”, “as autonomous weapons are allowed to select and decide upon targets on their own, should it be considered crossing the line?” arose.

Thus far, Indonesian government has not taken a firm stance on the issue. Indonesia still serves as an observer and not a state party to the Convention on Certain Conventional Weapons (CCW). While Indonesia is not against the accession of the Convention, the government might have other priorities. That said, Indonesia has not come to the realization of the urgency and potential threat of the weapon to humanity, keeping in mind the existence of autonomous weapons will, slowly but surely, develop enormous destructive effect.

It is imperative that the Ministry of Foreign Affairs, with support from all national agencies, act as the frontline in convincing the government to access CCW. Moreover, CCW need to be translated into Bahasa in order to transform it into national law. In the future, Indonesia is also expected to increase participation in the forum. Otherwise, the discussion will only stay in academic domain.

As business of unmanned aerial vehicles (UAVs) is also in trend, Indonesia doesn’t want to be left out. Presiden Joko Widodo wished for UAVs to be developed. However, UAVs were not intended to be weapons originally, but to execute the mission of 3D: dull, dirty, dangerous. In other words, such aircrafts weren’t built to be armed. It changed, later, after the national army Tentara Nasional Indonesia (TNI) decided that drones should execute military missions. As much as UAV is beneficial, it can disrupt traffic airline, more so when armed. Unlike autonomous weapons, UAV is already regulated under several ministerial regulations.

The existence of autonomous weapons is highly dilemmatic. Their use is beneficial as they will not be able to experience fear, as well as select and attack targets on their own. Furthermore, they are less costly to deploy. On the other hand, autonomous weapons raise questions on the aspects of chivalry, humanity, and morality in war. In this situation, international humanitarian law plays a central role. Instead of limiting a country’s military advancement, international humanitarian law ensures that steps taken by states are in line with humanitarian principles. Its existence highlights how lack of regulation on autonomous weapons brings about concerns of accountability when violation occurs.

Right now, the utmost priority should be placed on defining typology of LAWS, as there is no existing consensus on the term autonomous weapon systems (AWS). Scholars ought to conduct research regarding autonomous weapons since it is a collective responsibility to create discourse on the urgency of the matter. It is important to note that the situation of AWS now is more complex compared to nuclear weapons. Total ban on autonomous weapons is difficult since the weapons are beneficial for military strategy, namely in efficiency and effectivity when destroying opponents in a shorter period. In addition, AWS also possess defensive aspects, making it even more difficult to entirely abolish them. In brief, the problem of AWS lies not on the core of their existence, but rather on how they are deployed.


Writer: Denise Michelle
Translator: Medisita Febrina

[RECAP] Round Table Discussion: Perkembangan Lethal Autonomous Weapon System (LAWS) Global dan Implikasinya Terhadap Politik Luar Negeri dan Pertahanan Indonesia

Pada hari Jumat (6/3) lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina kembali mengadakan Round Table Discussion untuk membahas Perkembangan senjata otonom dan implikasinya terhadap politik luar negeri dan pertahanan Indonesia. Round Table Discussion ini kembali mengundang berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, militer, peneliti, serta para ahli untuk mendiskusikan isu ini dari berbagai sudut pandang.

Menurut International Committee of the Red Cross (ICRC), working definition dari senjata otonom (dikenal pula dengan istilah autonomous weapon system, lethal autonomous weapon system, killer robots) adalah sistem persenjataan apapun yang memiliki otonomi dalam fungsi kritisnya dimana dapat memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia. Perkembangan senjata otonom ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya revolusi industri. Masalah mematikan atau tidaknya dari suatu senjata bukanlah hal yang inheren pada senjata, namun tergantung pada karakteristiknya dan bagaimana ia digunakan. Senjata otonom erat kaitannya dengan hukum humaniter internasional. Sampai saat ini ada diskursus bahwa senjata otonom tidak hanya dipakai pada masa perang, namun juga pada masa damai khususnya dalam konteks penegakan hukum. Banyak yang mengatakan bahwa senjata otonom sangat precise targeting, namun perdebatannya adalah bagaimana jika ada risiko serangan siber ketika senjata tersebut dikerahkan, yang sekaligus memicu dugaan pelanggaran dan permasalahan akuntabilitas. Muncul pula perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab, apakah operator lapangan, komandan, atau pembuat algoritmanya?

Selain pertimbangan hukum, diperlukan pula pertimbangan etis. Dalam forum pun muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti “apakah senjata otonom bisa patuh terhadap prinsip-prinsip dasar hukum humaniter?”, “sejauh mana manusia seharusnya memiliki kontrol atas senjata?”, “karena senjata otonom dapat memilih dan memutuskan targetnya sendiri, apakah hal ini crossing the line?”.

Sejauh ini, di level internasional pemerintah Indonesia belum memiliki posisi terhadap eksistensi senjata otonom. Indonesia tidak menentang atau menolak aksesi Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), hanya saja sejauh ini mungkin prioritas negara berbeda. Indonesia pun belum menjadi state party di CCW dan hanya menjadi observer. Dengan fakta bahwa Indonesia hanya menjadi observer di CCW, menunjukkan belum adanya kesadaran Indonesia akan urgensi dan potensi ancaman senjata otonom bagi manusia. Karena cepat atau lambat, eksistensi senjata otonom akan menimbulkan efek destruktif yang besar. Perlu membuktikan kepada pemerintah bahwa aksesi CCW itu penting, dengan melibatkan semua agensi nasional, dimana Kementerian Luar Negeri harus menjadi garda terdepan untuk mewujudkan kepentingan ini menjadi kepentingan bersama. Selain itu, CCW juga harus diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yang berarti dalam bentuk hukum. Kedepannya, Indonesia diharapkan pula lebih aktif dalam forum, karena jika tidak, diskusinya hanya akan berhenti di ranah akademis.

Saat ini, bisnis unmanned aerial vehicle (UAV) sedang tren, sehingga Indonesia tidak mau ketinggalan dalam konteks ini. Presiden Joko Widodo pun menginginkan agar UAV dikembangkan. Awalnya, UAV dibuat bukan untuk senjata, namun untuk melaksanakan misi 3D: Dull, Dirty, dan Dangerous. Pada awalnya, pesawat yang dibangun tidak untuk dipasang senjata, namun TNI ingin agar drone bisa melakukan tindakan sehingga dipersenjatai. Di satu sisi keberadaan UAV menarik, namun di sisi lain ketika diterbangkan, UAV bisa saja mengganggu traffic airline, apalagi jika dipersenjatai. Berbeda dengan senjata otonom, aturan mengenai UAV sudah diatur dalam beberapa permenhub atau permenkominfo.

Jika ditelaah, eksistensi senjata otonom sangat dilematis. Di satu sisi, dalam penyerangan sangat bagus karena tidak takut dan dapat memilih dan menyerang target. Selain itu, senjata otonom cenderung tidak costly. Namun di sisi lain, senjata otonom membuat kita mempertanyakan aspek chivalrous dari perang serta aspek kemanusiaan dan moralitas. Hukum humaniter internasional bukan bermaksud membatasi kebutuhan pengembangan militer suatu negara, namun memastikan agar tindakan yang diambil negara sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kekhawatiran jika senjata otonom digunakan tanpa adanya aturan yang mengatur adalah mengenai pertanggungjawaban jika terjadi tindakan yang melanggar.

Urgensi utama kini adalah untuk mendefinisikan tipologi yang jelas mengenai apa yang dimaksud sebagai LAWS, karena sampai saat ini belum ada konsensus mengenai terma autonomous weapon system (AWS). Para akademisi juga harus mengkaji riset yang berkaitan dengan senjata otonom, sehingga menjadi PR bersama untuk membangun diskursus urgensi isu ini. Situasi AWS jauh lebih kompleks dibandingkan dengan senjata nuklir. Sulit untuk melarang senjata otonom secara total, karena pertimbangannya adalah penggunaan teknologi ini bisa menguntungkan dari sisi militer terutama karena esensi strategi militer, yakni efisiensi dan efektivitas dimana kita dapat mengatasi musuh dalam waktu lebih singkat. Selain itu, AWS juga memiliki aspek defensif sehingga membuatnya sulit untuk dihapuskan secara total. Singkatnya, permasalahan AWS sendiri bukan mengenai esensi dari AWS tetapi bagaimana AWS digunakan.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti

Globalization Talk #3 : Globalization Talk and Educating on Globalization

On Monday (24/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) conducted the third session of the acclaimed Globalization Talk discussion with the theme “Global Citizenship and Educating on Globalization”. On this occasion, IIS UGM have the opportunity to invite Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor at Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC), Hiroshima University, accompanied by Dr. Riza Noer Arfani, Director of IIS UGM to deliver the materials regarding the matter of globalization, global citizenship and education in encountering the phenomenon of globalization. Besides the speakers, IIS UGM also invited Cut Intan Aulianisa Isma, Manager of IIS UGM who is the moderator of the event, as well as several High school teacher representatives athwart Yogyakarta as the guest participant of the event.

Nakaya opened the session by deliberating the quintessential temporal phenomenon of globalization. Globalization unequivocally asserts global implications to various stakeholders, let it be positive nor negative impacts it induces. Ad exemplum, one of the positive impacts imposed by Globalization would be its instantaneous information diffusion, ergo the public have faster access to information. Inasmuch, an expeditious transfer of information prompted the trend of false information dispersal (hoax) nor information that has not been approved of its validity, hence instigating panic and unrest to the public. The introduction was closed with a compelling rhetorical question by Nakaya; “who is capable of averting the negative implications and optimizes the positive aspects of Globalization?”.

The discussion session was recommended by Nakaya by ruminating the exegesis of “Global Citizenship”. Global Citizenship is a solution which asserts public mobility in encountering the impacts of globalization, may it be positive nor negative effects. Nakaya elaborates, that global citizenship can be marked through several features, which is (1) capable of accepting diversity and respect to human rights, (2) exhibiting a collaborative mindset in the sense of exercising dispute settlement mechanisms through cooperative and collective means in the absence of conflict, and (3) situating a positive and active key role in sustaining order among the global community. In order for an individual to possess such features, the paramount importance of honing ones attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills and behavioral capabilities should be exercised.

 

 

In order to obtain such key elemental features, globalization education comes to place in fostering such skills. Globalization education acts to foster a just political literacy, sense of violence, and an orientation to social justice. By nature political literacy is mandatory in order to decipher globalization and its implications, hence we can respond properly to the dispersal of globalization. Sense of violence is the awareness to any form of violence, starting from direct violence to ecological violence. The social justice aspect is marked by the apprehension to the concept of justice that is not rigid and sundry in nature, consequently it erects an intellection to assure justice and equality to all parties. The aforementioned aspects can be elaborated through the process of globalization education which should be implemented in Indonesia.

In order to escalate the quality of Global Citizenship, Nakaya offers the concept of Resident Oriented Tourism as a means of development. Resident Oriented Tourism by itself is a form of reciprocal tourism interaction, which does not only bring profit to the tourists that are visiting but also to its local communities, as well it leverages the quality development of human resources in the tourist attraction. In order to realize such practices, the elements of local communities should actively participate in implementing the practices of tourism, and alter the value and image of exclusivity with values that are amiable to global diversity. Nakaya stipulates Yogyakarta as a suitable location in implementing resident oriented tourism and globalization education, due to its status as the epicenter of culture and education in Indonesia. The Special Region of Yogyakarta can act as the hub of global citizenship education through the methods of resident oriented tourism by upholding the value of conviviality, sense of pride to local culture, creativity and active participation in fabricating a tourist destination that is capable of accepting the global community.

The revelation evinced by Nakaya is closed by Riza, who expresses his support towards the importance of Yogyakarta as the epicenter of education and economy in Indonesia. Yogyakarta poses a lucrative potential as a prospective tourist region, and offers the potential in the exchange of ideas, experience and information. The education sector can act as an anchor for the pivot of tourism development. As the director of IIS, Riza also stipulates the affirmed and willingness of IIS in support of educating the community of Yogyakarta pertaining to globalization, which is in line to the stream of research conducted by IIS in the manifestation of advocating. Such alacrity is reflected by the conduct of the previous two antecedent Globalization Talk, viz – Globalization Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) and #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) by IIS UGM.


Author : Raditya Bomantara

Editor : Handono Ega P.

Round Table Discussion: Towards Indonesia’s Ratification of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)

On March 5th, Institute of International Studies, International Relations Department of Universitas Gadjah Mada collaborated with International Relations Department of Universitas Paramadina in organizing Round Table Discussion on Indonesia’s process towards the ratification of Treaty on Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). This event was attended by various stakeholders, including scholars, government, and the military. Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB—Head of the International Relations Department of Universitas Paramadina—along with Dr. Muhadi Sugiono, MA– lecturer from International Relations Department of Universitas Gadjah Mada, as well as campaigner of International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN)—officially started off the event.

The existence of nuclear weapons is closely related to the Cold War. However, nuclear weapons never ceased to develop after it ended. Despite considerable amount of bilateral and multilateral efforts to achieve disarmament, the existence of nuclear weapons endures, partly due to the myth that believes nuclear weapons are beneficial to peace. This condition encouraged civil society, through CSOs, to change the view.

Since 2013, a different perspective in examining nuclear weapons has developed. Instead of mere weapon, nuclear weapons are viewed as a threat to humanity, be it because of its explosion, radiation, or environmental damage. Rather than standing by itself as the only peril to human existence, nuclear weapons might also present itself as a start of an even worse climate crisis.

The effort to abolish nuclear weapons could not succeed through Non-Proliferation Treaty (NPT), as the regime had legal loopholes and lacked legal basis to justify why countries were obliged to disarm. Said flaws encouraged the formulation of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). The enforcement of the treaty gave birth to a legal framework capable of deeming nuclear weapons illegal, so that anyone developing them could be sentenced. TPNW has been adopted since 2017, with 122 countries in favor, 1 abstain, and 1 country against. To date, 82 countries have signed the treaty, including Indonesia. To enable TPNW to enter into force, at least 50 countries have to ratify it. Thus far, 35 countries have ratified the treaty, a large portion of them small countries affected by past trials of nuclear weapons. The adoption of TPNW will not weaken NPT, but rather positively impact its implementation. TPNW requires a greater commitment from state parties on its nuclear program.

International Committee of the Red Cross (ICRC) reckons that it is inadequate to consider nuclear weapons merely from legal perspective. International humanitarian law believes that regulations on nuclear weapons should refer to the opinion of the International Court of Justice in 1996 on the Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons. Referring to the Opinion, nuclear weapons are absolutely prohibited, as they violate plenty of humanitarian principles. However, as it was an advisory opinion, it was not binding and only constituted further debate on what was written. In viewing nuclear weapons, it is also imperative to consider Klausula Martens, which stated that an act of war that has not been specifically regulated under an international community regime needs to be regulated based on humanitarian principles and public opinion.

A few options are available for Indonesia regarding nuclear weapons, which are to ban, to regulate, or to permit its use. Considering Indonesia is one of the first to sign TPNW, she is morally bound to obey the treaty. Therefore, the only thing left to be discussed is its ratification, which relies on the synergy and cooperation between the Ministry of Defense and the Ministry of Foreign Affairs. The challenge that must be tackled in the process of disarmament is the military opinion that nuclear weapons are vital for deterrence of power, which believes that countries need to possess power to dominate other countries in order to tone down aggression.

Now is the right time to ratify TPNW. In the future led by milennials, perceptions on weapons will shift to a more nationalist, assertive, and aggressive view. Future leaders will not see nuclear as an atomic bomb, but rather as a low-yield nuclear weapon with explosive force of only a few kilotons,  appropriate to be deployed anywhere. Election trends in 2029 might also be utterly different, filled with issues regarding domestic politics, caliphate, and conservative members of the assembly, hindering attention on ratification process that tends to be extensive. Fortunately, the Minister of Foreign Affairs, Retno Marsudi, realized the importance of TPNW and declared that Indonesia is on its way to ratification.

One of the critics brought up about RTD is the absence of the term ‘weapon’ in TPNW. Its absence was on purpose, which was to anticipate potential shift of existing definitions due to nuclear technology advancement. However, we need to acknowledge that this extension constitutes a blurred and overgeneralized definition.

It is remarkable that the creation of TPNW succeeded in spite of the resentment from countries who own nuclear weapons. As TPNW was purely initiated by third-world countries or countries from the global south, its formulation was not pressured by nuclear weapon owners and more determined by countries victim to nuclear weapons. In the context of deterrence, nuclear weapons may not constitute large-scale wars, but instead small-scaled ones.

As a middle power, Indonesia is quite influential in shaping the international community to be more predicted and in order. Therefore, it is necessary Indonesia to ratify the TPNW in order to strengthen the international effort to abolish nuclear weapons entirely. Ratification will not inflict a significant loss on Indonesia, but rather bring significant gain to the international community. In addition, the treaty doesn’t limit the development of nuclear energy for peaceful uses.

Lastly, TPNW is expected to change approaches to nuclear weapon as a political tool. The process of ratification is in the hands of the Directorate of International Cooperation and Disarmament of the Ministry of Foreign Affairs and the president. It is highly dependent on whether the president identifies this issue as an urgent matter or not.


Writer : Denise Michelle
Translator : Medisita Febrina

Round Table Discussion: Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)

Pada Kamis 5 Maret 2020 lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina mengadakan Round Table Discussion untuk membahas proses Indonesia menuju ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Acara ini mengundang berbagai pihak terkait, mulai dari akademisi, pemerintah, dan militer. Acara ini dibuka oleh Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB, ketua program studi Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, dan Drs. Muhadi Sugiono, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus campaigner International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN).

Eksistensi senjata nuklir sangat erat kaitannya dengan perang dingin, namun meskipun perang dingin telah berakhir senjata nuklir masih ada dan terus berkembang. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk melucuti senjata nuklir, baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral. Namun yang membuat senjata nuklir masih bertahan hingga saat ini adalah mitos yang terus berkembang atasnya, salah satunya adalah mitos bahwa senjata nuklir dianggap memiliki manfaat untuk mendamaikan. Hal ini membuat masyarakat sipil, melalui civil society organization (CSO) merasa perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan ini.

Sejak tahun 2013, muncul perkembangan pandangan yang berbeda tentang senjata nuklir. Senjata nuklir bukanlah senjata, melainkan ancaman kemanusiaan yang jika digunakan bisa mengancam kemanusiaan, baik karena ledakannya, radiasinya, maupun dampaknya terhadap lingkungan. Jika dilihat, dua ancaman eksistensi manusia saat ini adalah perubahan iklim dan senjata nuklir. Senjata nuklir bisa menjadi awal dari perubahan iklim yang semakin parah. Upaya menghapus senjata nuklir tidak dapat dilakukan dengan rezim Non-Proliferation Treaty (NPT) yang ada, karena di NPT ada celah hukum dan tidak ada basis hukum yang menyatakan alasan mengapa negara-negara harus melucuti. Berkaca pada kekurangan dalam NPT, maka mendorong lahirnya Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Dengan berlakunya TPNW, lahirlah kerangka hukum yang membuat nuklir menjadi senjata ilegal, sehingga siapapun yang mengembangkannya dapat dipidana. TPNW telah diadopsi sejak tahun 2017, dengan  122 negara yang mendukung, 1 negara abstain, dan 1 negara menolak. Sejauh ini, telah ada 82 negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Untuk membuat TPNW enter into force, perlu setidaknya 50 negara untuk meratifikasinya, sejauh ini 35 negara telah meratifikasinya. Sebagian besar adalah negara-negara kecil yang terdampak oleh adanya senjata nuklir karena pernah menjadi lokasi uji coba. Dengan diadopsinya TPNW tidak akan memperlemah NPT, malah memberi dampak positif bagi implementasi NPT. TPNW menuntut komitmen yang lebih besar dari state-party terkait program nuklirnya.

International Committee of the Red Cross (ICRC) memandang bahwa senjata nuklir tidak cukup jika hanya dilihat dari aspek hukum. Dari perspektif hukum humaniter, yang menjadi tolak ukurnya adalah pendapat mahkamah internasional tahun 1996. Namun, yang disampaikan oleh mahkamah internasional hanya bersifat advisory opinion, sehingga sifatnya kurang mengikat dan apa yang dituliskan cukup membawa perdebatan yang lebih panjang lagi. Senjata nuklir adalah sesuatu yang mutlak dilarang, karena berdasarkan asas hukum humaniter, banyak sekali prinsip humaniter yang dilanggar. Dalam melihat senjata nuklir, perlu mengingat adanya klausula martens, yakni ketika ada sebuah peraturan atau tindakan peperangan yang belum diatur secara spesifik dalam rezim komunitas internasional, maka senjata atau perilaku tersebut harus diatur berdasarkan prinsip kemanusiaan dan bagaimana publik berkata.

Indonesia memiliki beberapa pilihan terkait isu ini, yaitu melarang, meregulasi, atau membiarkan. Mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang pertama menandatangani TPNW, berarti Indonesia telah terikat secara moral. Yang perlu dibahas adalah bagaimana bentuk ratifikasinya. Perlu ada sinergi dan kerjasama antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri dalam hal ini. Meski demikian, dari sudut pandang militer, senjata nuklir dibutuhkan karena adanya deterrence of power, dimana setiap negara harus mempunyai kekuatan untuk menguasai negara lain dan negara lain akan melakukan hal yang sama. Dalam militer dipercayai bahwa jika suatu negara kuat dan mempunyai senjata, maka negara lain tidak akan melakukan agresi. Karenanya sulit untuk melakukan disarmament.

Kini adalah kesempatan emas untuk meratifikasi TPNW. Karena kelak, ketika generasi milenial memimpin pada tahun 2030, cara pandangnya akan berbeda dan cenderung lebih nasionalistik, asertif, dan agresif. Di masa depan, generasi tersebut tidak akan memikirkan nuklir seperti bom atom, melainkan sebagai low-yield nuclear weapon yang daya ledaknya hanya beberapa kiloton dan dapat digunakan dimana saja. Tren pada pemilu 2029 pun bisa saja sangat berbeda, terkait dengan politik domestik, khilafah, serta elit politik di DPR yang menjadi lebih konservatif, sehingga proses ratifikasi akan lebih sulit. Mengingat di DPR membutuhkan waktu yang lama dari saat penandatanganan hingga ratifikasi. Namun dalam pesannya untuk ICAN, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia, menyadari pentingnya eksistensi traktat ini dan mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses menuju ratifikasi. 

Salah satu kritik yang dilontarkan dalam RTD ini adalah ketiadaan terma ‘senjata’ dalam TPNW. Ketiadaan terma senjata nyatanya merupakan sesuatu yang disengaja untuk mengantisipasi state party agar tidak berupaya menyalahgunakannya. Karena perlu disadari bahwa perkembangan teknologi akan menggeser definisi-definisi yang telah ada, sehingga maknanya sengaja diperluas untuk mengantisipasi perkembangan teknologi kedepannya yang turut melibatkan nuklir. Meski harus diakui bahwa memang membuat definisinya menjadi sangat luas dan kurang jelas. 

Meski demikian, TPNW lahir dari proses yang cukup unik karena semua negara pemilik senjata nuklir sangat takut dan tidak menyukai traktat ini. TPNW murni diinisiasi oleh negara dunia ketiga atau negara-negara Selatan. Sehingga dalam proses inisiasi dan pembuatannya pun tidak ada tekanan dari negara-negara yang memiliki senjata, namun justru dari negara korban. Ini merupakan traktat yang justru ditolak dan dihindari oleh negara-negara pemilik senjata nuklir karena secara tegas menyatakan bahwa senjata nuklir dilarang. Dalam konteks deterrence, senjata nuklir mungkin tidak menghadirkan perang dalam skala besar, namun berbeda halnya dengan perang skala kecil.

Indonesia sebagai negara kekuatan menengah (middle power) memiliki kedudukan yang cukup  berpengaruh dalam menciptakan dunia internasional yang lebih terprediksi dan teratur. Penting bagi Indonesia untuk segera meratifikasi TPNW. Karena dengan meratifikasi, Indonesia berarti memperkuat norma internasional dalam rangka penghapusan senjata nuklir secara total. Tak hanya itu, meratifikasi TPNW tidak memberikan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, karena biaya yang dikeluarkan cenderung rendah, namun membawa dampak positif bagi dunia internasional secara relatif signifikan. Selain itu, dalam traktat ini tidak ada pembatasan pengembangan energi nuklir selama untuk tujuan damai (peaceful uses). Traktat ini diharapkan dapat membawa perubahan dalam cara pandang terhadap senjata nuklir sebagai alat politik. Proses ratifikasi ada di tangan Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri dan Presiden. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah presiden melihat isu ini sebagai sesuatu yang mendesak atau tidak.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti

Globalization Talk #3 : Global Citizenship and Educating on Globalization

Pada hari Senin, 24 Februari 2020 Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan sesi ketiga kegiatan Globalization Talk yang bertajuk “Global Citizenship and Educating on Globalization”. Dalam kegiatan ini, IIS UGM berkesempatan mengundang Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor dari Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC) Hiroshima University, yang didampingi oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM untuk menyampaikan materinya mengenai globalisasi, kewarganegaraan global dan Pendidikan dalam menghadapi globalisasi. Selain para pembicara, IIS UGM juga mengundang Cut Intan Aulianisa Isma, manajer IIS UGM yang berperan sebagai moderator dan beberapa perwakilan guru dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai peserta tamu.

Acara dibuka dengan pemaparan oleh Nakaya yang menyampaikan pengantar mengenai fenomena globalisasi. Globalisasi tentunya membawa efek global ke berbagai kalangan, baik itu dampak positif maupun negatif. Sebagai contoh, salah satu dampak positif globalisasi adalah persebaran informasi yang lebih cepat, sehingga masyarakat global lebih cepat mengakses sebuah informasi. Namun, persebaran informasi yang cepat tersebut juga diikuti oleh tren penyebaran informasi yang salah (hoax) ataupun informasi yang belum dapat ditentukan kebenarannya, sehingga justru menimbulkan kepanikan maupun keresahan bagi masyarakat. Pengantar ini ditutup dengan sebuah pertanyaan yang menarik dari Nakaya, yaitu: “Siapakah yang dapat menangkal aspek negatif dan mengoptimalkan aspek positif dari globalisasi?”

Sesi pembahasan materi dilanjutkan Nakaya dengan membahas mengenai penjabaran dari “Global Citizenship.” Global Citizenship merupakan solusi yang membuat masyarakat dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak-dampak globalisasi, baik dampak positif maupun negatif. Nakaya menjelaskan, global citizenship dapat ditandai dengan beberapa ciri: yaitu (1) mampu menerima diversitas dan dapat menghormati hak asasi manusia, (2) memiliki pola pikir yang bersifat kolaboratif dan kooperatif dengan manusia lain untuk menyelesaikan sebuah masalah secara kolektif tanpa konflik, dan (3) memainkan peran aktif dan bersifat positif dalam tatanan masyarakat global. Untuk memiliki ciri-ciri tersebut, diperlukan beberapa elemen umum yang harus dipenuhi, yaitu attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills dan behavioral capacities.

 

 

Untuk memenuhi elemen-elemen penting tersebutlah, maka edukasi globalisasi diperlukan. Edukasi globalisasi berperan untuk menumbuhkan literasi politik yang baik, sense of violence, dan orientasi social justice. Literasi politik merupakan sebuah keharusan dalam memahami globalisasi dan pengaruh-pengaruhnya, sehingga kita dapat merespon persebaran globalisasi dengan tepat. Sense of violence merupakan kesadaran atas bentuk-bentuk kekerasan, mulai dari direct violence hingga ecological violence. Aspek social justice ditandai dengan pemahaman akan konsep justice yang sangat beragam dan tidak rigid, sehingga muncul pemikiran untuk memastikan keadilan dan kesetaraan untuk semua pihak. Seluruh aspek diatas dapat dikembangkan melalui proses edukasi globalisasi yang tepat dan diterapkan di Indonesia

Untuk meningkatkan kualitas Global Citizenship, Nakaya menawarkan konsep Resident Oriented Tourism sebagai sarana pengembangnya. Resident oriented tourism sendiri merupakan sebuah bentuk interaksi pariwisata timbal-balik, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi turis yang berkunjung namun juga penduduk lokal daerah tersebut, dan tentunya akan membantu mengembangkan kualitas sumber daya manusia di lokasi pariwisata. Untuk merealisasikannya, elemen-elemen masyarakat lokal harus berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pariwisata tersebut, dan merubah nilai -nilai dan imej eksklusivitas dengan nilai-nilai yang ramah terhadap diversitas global. Yogyakarta sendiri dinilai Nakaya merupakan sebuah lokasi yang cocok untuk mengembangkan resident oriented tourism dan edukasi globalisasi, karena statusnya sebagai pusat budaya dan pendidikan di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta dapat berperan menjadi pusat edukasi global citizenship lewat metode resident oriented tourism, dengan menjunjung nulai-nilai keramahan, kebanggaan akan budaya lokal, kreativitas, dan partisipasi aktif dalam menciptakan destinasi pariwisata yang dapat menerima masyarakat global.

Pemaparan Nakaya ditutup oleh Riza yang menyatakan dukungannya atas pentingnya posisi Yogyakarta sebagai pusat ekonomi dan pendidikan di Indonesia. Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, dan menawarkan potensi pertukaran ide, pengalaman dan informasi yang potensial. Sektor Pendidikan dapat menjadi jangkar yang menjadi fokus pengembangan pariwisata tersebut. Sebagai direktur IIS, Riza juga menyatakan kesiapan dan kesediaan IIS dalam mendukung edukasi masyarakat Yogyakarta tentang globalisasi, yang sejalan dengan hilirisasi riset IIS dan  berbentuk advokasi. Kesiapan ini tercermin dengan penyelenggaraan dua edisi Globalization Talk sebelumnya, yaitu Globalisation Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) dan #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) oleh IIS UGM.


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Angganararas Indriyosanti

Beyond the Great Wall #7 : China’s Challenge in early 2020

Beyond the Great Wall #, 7 is the first edition of the notorious Beyond the Great Wall Forum that occurs in the year of 2020. On this occasion, the Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) invited two key speakers to scrutinize the threats to China in the early years of 2020 which may impede the economic development of China. For the main speaker, IIS UGM invited Nurrudin Al Akbar, a doctoral student in Political Science, Universitas Gadjah Mada brought up the topic titled as “Wuhan Jiayou: China’s tale in Challenging the Social Construct in the Era of Pot-Truth?”, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, a lecturer in the discipline of International Relations, Universitas Gadjah Mada became the second speaker who brought out a contextualization in the book “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy?”. In this BTGW series, IIS UGM invited Indrawan, a researcher at IIS UGM as the moderator.

As we all know that in early 2020, China struggles to face the dire dispersion of the Coronavirus disease 209 (Covid2019), which has now become a global pandemic that spans through a myriad of states globally. Nuruddin stipulates that there is a trend of narration and construction by the International media nor the Western which situated China as the “convict” who initiated the Coronavirus. The construction and narration become relevant, due to its capability to influence the international community’s perspective towards China. Hence, creating an accusation over China’s negligence in hindering the dispersion of the aforementioned virus. According to Nuruddin the negative construction towards China by in turn may hamper the Chinese government’s efforts in managing the spread of coronavirus.

This particular trend is abbreviated by Nurudin as the era of “Post Truth”—in which information that is fashioned in such manner consequently erects uncertainty and a vexatious environment to the masses. The information that is fabricated and given to the public regarding the existence and mitigating measures utilized, by in turn becomes the trigger to several problematics, such as fret towards the spread of the virus, excessive fear, the lack of trust towards the government, and to its peak, would be the inception of Sino phobic sentiments and racism directed towards the global Chinese ethnicity. Ironically, the construction towards uncertainty has previously occurred during the spread of the SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) epidemic as well as the MERS (Middle East Respiratory Syndrome) epidemic.

 

The phenomenon of “Wuhan Jiayou” that occurs in Wuhan, that is the center of the Coronavirus spread is remarked by Nuruddin to be potentially vexing in facing the construction within the era of Post Truth, which also includes the complication in managing the dispersion of the coronavirus. The Chinese government should appeal to the Wuhan Jiayou spirit in order to deconstruct and foster the awareness of synergetic movements in tackling the spread of the virus. The impact imparted by the Wuhan Jiayou has the effect of deconstruction directed towards the Western media which inclines to postulate on racist based elucidation towards China. Ergo, by changing such narration to a new narration that postulates on the notion of human integrity and unity, exhibits an image that the Wuhan community of China requires a moral foundation and support in facing the corona epidemic.

Notwithstanding, if the first session contemplates over the complications that the Chinese government faces in tackling the Coronavirus, the second session postulates over the book review of “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy?” by Nur Rachmat Yuliantoro.  In order to decipher over the reality in which the Chinese government under Xi Jinping’s’ administration is in jeopardy, the book explores on four different key points that may threaten and destabilize the economic growth of China, in correlation to the symbolization and philosophy of the Chinese flag (Red Flags).

The first issue faced by the Chinese government would be the debt issues, in which contemporary Chinese economic growth is steered by debt which may dismantle Chinese economic stability. This also correlates to the second issue that is the Yuan and Renminbi currency that is still swayed by the Chinese government in the context of mobility and exchange rate. The third issue would be the Middle-Income trap, which is caused by the state control over several industrial sectors, hence causing difficulties for China to advance their next stage of development. The fourth issue would be the aging population phenomenon, hence rendering an unproductive working-age population. Four of these issues are regarded to negate Chinese economic development to the possibility of collapse. Furthermore, four of these issues may threaten the legitimacy of the Chinese Communist Party and it may erect distrust by the public towards the party, hence leaving it to a state of Jeopardy as emphasized by Magnus.      


Writer : Raditya Bomantara
Editor: Handono Ega P.

Beyond The Great Wall #7: Tantangan Cina di Awal Tahun 2020

Beyond The Great Wall #7 merupakan edisi pertama forum Beyond The Great Wall di tahun 2020. Pada kesempatan kali ini, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengundang dua pembicara untuk membahas mengenai tantangan di awal tahun 2020 bagi pemerintah Cina yang dapat menghambat perkembangan ekonomi Cina. Sebagai pembicara pertama, IIS UGM menghadirkan Nuruddin Al Akbar, Mahasiswa Doktoral Imu Politik, Universitas Gadjah Mada yang membawakan materi berjudul “Wuhan Jiayou: Kisah Cina menantang Konstruksi di Era Post-Truth”. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi pembicara kedua dengan reviu buku yang berjudul “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy”.  Pada BTGW kali ini, IIS UGM turut menghadirkan Indrawan Jatmika, peneliti IIS UGM sebagai moderator.

Pada awal tahun 2020, Cina kesulitan dalam menghadapi persebaran Coronavirus disease 2019 (Covid2019), yang kini menjadi pandemik global dan telah menjangkau banyak negara di dunia. Nuruddin memaparkan bahwa ada sebuah tren konstruksi dan narasi oleh media Internasional yang terkesan memojokkan dan menempatkan Cina sebagai “pesakitan” yang memulai pandemik virus Corona. Konstruksi dan narasi ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi perspektif masyarakat global terhadap Cina yang dianggap lalai dalam menyikapi persebaran virus tersebut. Konstruksi negatif terhadap Cina tersebut dinilai Nuruddin justru akan mempersulit tindakan pemerintah Cina dalam mengatasi virus Corona.

Tren inilah, yang disebut Nuruddin sebagai era “Post Truth”. Sebuah informasi yang dikemas sedemikian rupa sehingga sarat dengan ketidakpastian, menimbulkan keresahan dan kekhawatiran pada masyarakat luas. Informasi yang ditujukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang eksistensi dan langkah mitigasi virus Corona, justru menjadi sebuah pemicu berbagai problematika. Diantaranya adalah kekhawatiran yang tidak pasti akan penyebaran virus, ketakutan berlebihan, ketidakpercayaan pada pemerintah, dan puncaknya, rasisme terhadap masyarakat etnis Cina di seluruh dunia. Ironisnya, konstruksi yang sarat akan ketidakpastian ini juga pernah terjadi dalam epidemik SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) yang telah terjadi sebelumnya.

 

 

Fenomena “Wuhan Jiayou” yang terjadi di Wuhan sebagai pusat persebaran Corona virus dinilai Nuruddin berpotensi menjadi atas permasalahan Cina dalam menghadapi konstruksi di era Post Truth, termasuk dalam menghadapi penyebaran virus Corona. Pemerintah Cina perlu menerapkan semangat Wuhan Jiayou untuk melakukan dekonstruksi dengan membangun kesadaran dan semangat kerjasama dalam menghadapi persebaran virus tersebut, alih-alih ketidakpastian. Efek dari Wuhan Jiayou memiliki efek dekonstruksi narasi media barat yang bernuansa rasis dan memojokkan Cina, dan menggantikannya narasi baru yang lebih mengarah kepada solidaritas kemanusiaan dan persatuan, dan memberikan gambaran bahwa masyarakat Wuhan dan Cina membutuhkan dukungan moril dalam menghadapi pandemik Corona.

Apabila sesi pertama membahas mengenai kesulitan pemerintah Cina dalam menghadapi virus Corona, pada sesi kedua Nur Rachmat Yuliantoro memaparkan reviu dari buku Red Flags : Why Xi’s China is in Jeopardy?”, untuk memahami mengapa pemerintah Cina dibawah rezim Xi Jinping berada dalam situasi yang berbahaya. Buku tersebut menjelaskan mengenai 4 poin masalah yang dapat mengancam kestabilan dan perkembangan ekonomi Cina, dan menghubungkannya dengan filosofi dibalik bendera Cina (Red Flags).

Masalah pertama yang dihadapi pemerintah Cina adalah persoalan utang. Kemajuan ekonomi Cina selama ini dimotori oleh utang. Permasalahan utang dapat menggoyahkan perekonomian Cina. Hal ini juga berhubungan dengan masalah kedua, yaitu mata uang Yuan atau Reminbi yang masih diatur oleh pemerintah Cina dalam konteks nilai tukar hingga mobilitasnya. Masalah ketiga berasal dari Middle Income Trap, yang disebabkan oleh kontrol pemerintah dalam beberapa sektor penting ekonomi, sehingga membuat Cina sulit melanjutkan tahapan pembangunan selanjutnya. Masalah keempat adalah problematika populasi yang kian menua, sehingga usia angkatan kerja tidak sebanding dengan usia non produktif. Hal ini membuat masyarakat Cina secara keseluruhan menjadi tidak produktif. Keempat masalah inilah yang dinilai dapat menghambat atau bahkan membuat ekonomi Cina kolaps. Lebih jauh lagi, keempat masalah tersebut juga dapat mempengaruhi legitimasi Partai Komunis Cina dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai tahapan akhir “jeopardy” yang dimaksud oleh Magnus.


Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti

Rilis Pers #3: Pengaruh Penyebaran 2019-nCoV terhadap Politik dan Ekonomi Global serta Implikasinya terhadap Indonesia

Pada Rabu 5 Februari 2020, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas mengenai pengaruh politik dan ekonomi dari penyebaran virus 2019-nCoV atau yang lebih popular disebut sebagai Wuhan Novel Coronavirus. Pada kegiatan tersebut, ada 3 poin yang dibahas oleh Arindha Nityasari, Staf Peneliti IIS di bidang Ekonomi Politik dan Pembangunan Internasional dengan didampingi oleh Indrawan Jatmika, Staf Peneliti IIS di bidang Politik Global dan Keamanan. 

Kebijakan Evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai Kewajiban Pemerintah 

Poin pertama berfokus kepada kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi warga negara Indonesia yang berada di Cina. “Kami percaya, bahwa apa langkah yang sudah diambil pemerintah Indonesia mengevakuasi warga negara Indonesia dari Wuhan adalah keputusan tepat, karena sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk melindungi warga negaranya” papar Arindha. Kewajiban tersebut telah tertulis pada pasal 21 Undang-Undang no 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, dimana pemerintah Indonesia wajib menjaga warga negara Indonesia dari suatu ancaman yang nyata, yang dalam kasus ini berbentuk penyebaran wabah 2019-nCoV. Keputusan pemerintah juga disebut Arindha merupakan sebuah keputusan yang “cukup berani” mengingat resiko yang ditimbulkan dalam proses evakuasi tersebut, dimana terdapat tim evakuasi berisiko terpapar virus tersebut serta kemungkinan virus yang lolos deteksi pada WNI yang telah dievakuasi. 

Analisa Kebijakan Travel Ban Pemerintah Indonesia 

Poin kedua menjelaskan mengenai kebijakan travel ban oleh Pemerintah Indonesia baik dari maupun menuju Cina. Menurut Arindha, kebijakan ini dapat dijustifikasi karena ancaman 2019-nCoV yang telah melanda 7 negara anggota ASEAN, dan Indonesia memang harus merespon dengan cepat untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga memiliki momentum yang tepat karena mengandung dua nilai strategis. Pertama, pemberhentian yang dilakukan setelah evakuasi WNI berhasil dilakukan menghilangkan kemungkinan retaliasi dari Cina. Kedua, kebijakan dibuat setelah pengumuman World Health Organization yang menyatakan kondisi darurat kesehatan global. 

Namun, kebijakan travel ban tentunya menimbulkan beberapa pengaruh dalam hubungan Indonesia dan Cina. Pertama, semakin meningkatnya sentimen anti-Cina di Indonesia karena eksistensi warga Cina yang ada di Indonesia. Kedua, lesunya turisme yang diakibatkan oleh 

absennya turis-turis asal Cina yang selama ini telah menjadi salah satu penyumbang turisme bagi Indonesia, meskipun tidak akan bersifat permanen. Terakhir adalah kendala ekonomi yang muncul karena interdependensi ekonomi diantara kedua negara. Sebagai contoh, beberapa proyek pembangunan seperti proyek kereta cepat Indonesia tentunya akan ikut terpengaruh. 

Dampak Wabah 2019-nCoV Terhadap Ekonomi Cina 

Pada poin terakhir, Indrawan menganalisa dampak 2019-nCoV terhadap ekonomi Cina. Indrawan memaparkan kasus penyebaran SARS pada tahun 2002 sebagai acuan dalam menganalisa dampak ekonomi wabah 2019-nCoV. 2019-nCoV memiliki potensi pengaruh terhadap ekonomi Cina yang lebih besar dibanding SARS pada tahun 2002. Hal ini diperkirakan terjadi karena, persebaran wabah yang bertepatan dengan tahun baru Cina, dimana konsumsi masyarakat domestik seharusnya berada pada tingkat tertinggi. Tidak ada perputaran uang yang terjadi karena berbagai macam industri terpaksa berhenti beroperasi karena penyebaran virus. 

Wuhan sebagai pusat persebaran virus 2019-nCoV merupakan salah satu pusat industri Cina. Sehingga lumpuhnya Wuhan berarti lumpuhnya industri di daerah tersebut. Hal ini tentunya mempengaruhi baik perusahaan lokal maupun perusahaan-perusahaan besar yang membuka pabrik di Cina. Bahkan beberapa manufaktur besar seperti Apple terpaksa menutup pabriknya di Cina untuk sementara waktu, sehingga menimbulkan penurunan saham yang mencapai 8%. Selain itu, wabah ini juga mempengaruhi turunnya harga minyak dunia, karena Cina sebagai konsumen terbesar minyak bumi mengurangi konsumsi minyaknya, sehingga negara-negara produsen minyak harus mencari pasar alternatif. Tantangan utama bagi pemerintah Cina menurut Indrawan adalah memulihkan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi Cina, karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bentuk legitimasi Partai Komunis Cina dalam berkuasa. 

Apa yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia? 

Terakhir, Arindha menutup sesi konferensi dengan menyampaikan saran-saran bagi Pemerintah Indonesia dalam menghadapi persebaran virus 2019-nCoV. Pemerintah Indonesia harus mempersiapkan infrastruktur untuk menghadapi persebaran virus tersebut, karena selama ini masih ada kesan bahwa pemerintah Indonesia belum menganggap serius masalah ini. Diperlukan transparansi dari pemerintah Indonesia untuk memberikan ketenangan bagi masyarakat dengan menggambarkan persiapan pemerintah dalam menghadapi ancaman virus 2019-nCoV. Terakhir, pemerintah Indonesia juga harus mempertimbangkan durasi travel ban baik dari maupun menuju Cina, mengingat kebijakan tersebut berpengaruh langsung kepada interdependensi ekonomi diantara Indonesia dan Cina.


Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti

Press Conference #3: The Impact of 2019-nCoV spread towards the Global Political Economy and its Implication to Indonesia

On Wednesday (05/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held a press conference that ruminates over the impact of 2019-nCoV dispersion or widely known as the Wuhan Novel Coronavirus to the Global Political Economy. During the event, there are three major key points that are postulated by Arindha Nityasari, Research Staff of IIS in the field of International Political Economy and Development accompanied by Indrawan Jatmika, Research Staff of IIS in the field of Global Politics and Security.     

 

The Evacuation of Indonesian Citizens as a State Imperative  

The first point pivots on the policy-induced by the Indonesian government, which revolves around the relocation and evacuation of Indonesian citizens within China. “We believe, that the steps taken by the Indonesian government to evacuate Indonesian citizens from Wuhan is a pragmatic take to the issue, because it has been one of the state’s imperative to protect its citizens”. Such policy is stipulated within Article 21 of the Constitutional Act of 1999 number 37 on foreign affairs, at which the state is mandated to protect its citizens from a veridical threat, in which scilicet to this case would be the spread of 2019-nCoV epidemic. The state’s decision as described by Arindha to be “quite daring” despite the risks that may erect during the evacuation process. By which the risk of dispersion directed to the evacuating team is probable, moreover the probability of a carrier to the virus amongst the evacuated citizens to be undetected imposes a high risk to the evacuation process.          

 

An analysis of Indonesia’s Travel Ban Policy

The second point elucidates the travel ban policy by the Indonesian government, let it be flights from China or towards China. According to Arindha, this policy can be justified due to the threat of 2019-nCoV which have diffused 7 ASEAN member states, ergo Indonesia must take a direct and quick response to the spread. Furthermore, the policy has the right momentum due to its’ two strategic values. Firstly, the discontinuation that is induced after the evacuation of Indonesian citizens has been successfully executed impedes the chances of retaliation by China. Secondly, the policy was devised after the statement that is delivered by the World Health Organization which imparts the condition to be a global health threat.

Notwithstanding, the travel ban policy by consequence fabricates several impacts on the inter-states relations of China and Indonesia. First, the increase of anti-Chinese sentiment in Indonesia due to the presence of Chinese citizens athwart Indonesia. Second, the decline of tourism that is caused by the absence of Chinese tourists has been one of the major contributors to the Indonesian tourism industry, despite it being temporary. Lastly, there is economic pressure that is framed due to the economic interdependence between the two partying states. Ad exemplum, several infrastructure projects such as the high-speed railway will determinedly be swayed.

The Impact of 2019-nCoV epidemic to China’s Economy

At the last point, Indrawan scrutinizes the impact of 2019-nCoV on China’s economy. Indrawan imparted the case of SARS dispersion in 2002 as a reference to decipher the economic impact of 2019-nCoV. 2019-nCoV has a bigger potential to influence China’s economy in contrast to the SARS outbreak in 2002. This phenomenon is estimated to be directly caused by, the spread of the epidemic which concur during Chinese New Year, whereupon the domestic consumption should be at its peak. Subsequently, there was no occurring cash flow due to the industry shutdown imposed as a result of the virus’ dispersion.   

The city of Wuhan, which is the source of the 2019-nCoV virus is one of the industrial centers of China. This by consequence impacted the performance of local enterprises as well as large corporations that are stationed within Wuhan, China. Inasmuch, several manufacturing giants such as Apple are forced to temporarily close down their factories in China. Consequently, this imposes a major drop to the stock market that reaches the rate of 8%. Furthermore, this epidemic induces a downturn to the price of crude oil globally, as one of the major consumers of global crude oil the threat imposed by the virus reduces the consumption of oil by Chinese industries, hence the majority of oil-producing countries are in need to seek an alternative market. According to Indrawan the primary challenge for the Chinese government is to revitalize its economy and to negate the significant economic impacts prompted by the virus, as China’s economic growth is one of the main methods for the Chinese Communist Party to legitimatize its rule.                       

 

What measures can the Indonesian Government take?

In sum, Arindha closed the session of the press conference by conveying several suggestions to the Indonesian government in tackling the issue at hand. The Indonesian government should arrange an infrastructure to counter the spread of the virus because there is a common doxa where the Indonesian government does not take serious measures towards the issue. The paramount importance of transparency within the Indonesian government brings assurance to the citizens by delivering the actions and preparations made by the government in countering the threat of 2019-nCoV virus. Last but not least, the Indonesian government should also reconsider the duration of the travel ban, let it be from or towards China, apropos to the direct impact of the policy induces to the economic interdependence between China and Indonesia.


Writer: Raditya Bomantara
Translator: Handono Ega