[RECAP] Beyond the Great Wall #15: Transforming Perceptions about China: The Role of Culture and Mass Media

On Friday (25/06), the Institute of International Studies UGM held the 15th edition of Beyond the Great Wall Forum, titled “Transforming Perceptions about China: The Role of Culture and Mass Media.” In this edition, BTGW was held online via the Zoom Meetings platform and invited two speakers. First, M. Habib Pashya, an assistant researcher of the International Relations department in Universitas Islam Indonesia, presented “Efforts to Improve China’s Bad Reputation in Indonesia through the Confucian Institute.” The second speaker is Aucky Adi Kurniawan, a student from Universitas Muhammadiyah Malang and researcher in Indonesia International Studies Academic Utilization Community, who presented “The Role of Chinese and Western Mass Media in Framing the Uyghur Conflict.” The moderator for this discussion was Indrawan Jatmika, staff of the Research Division in IIS UGM.

Whether it is in Indonesia or at the global level, people’s perception of China is often dominated by doctrines constructed from the West—which lens has been focused on China’s negative side. Responding to this, China is not staying still. Pashya stated that China had been actively engaging with cultural diplomacy since the Cold War era through his presentation. This is because China realizes that China’s political and economic power was relatively weak at the time. China’s cultural diplomacy is enforced through various programs, such as student exchange programs, international events such as the Beijing Olympic of 2008, social campaigns through mass media and radio, international aid such as the Belt and Road Initiative, and by establishing the Confucian Institute in countries all around the world. The Confucian Institute is aimed to promote the Mandarin language and Chinese culture globally. Right now, there are about 500 Confucian Institutes in almost 140 countries—including Indonesia. In Indonesia, the existence of the Confucian Institute has spread massively, especially after Confucianism is recognized as one of the state’s religions during Gus Dur’s presidency. The cultural, diplomatic strategy through the Confucian Institute is done along with the worsening of China’s reputation in Indonesia, especially with the stigmatization against communism and events such as the G30S and the 98 crisis. Essentially this strategy succeeds in bringing a more positive image about China in Indonesia—especially with the emergence of various collaborations with several universities and Muslim organizations. However, in 2019, negative perceptions about China rise significantly because of the Uyghur conflict, problems in the South China Sea, and the COVID-19 pandemic.

Focusing on media studies, through his presentation, Aucky explained that basically, “who controls the media, controls the world.” This is what Aucky calls the key behind China’s vigorous efforts in a media campaign, using media as a tool to fix its political image—especially about the Uyghur conflict. The Uyghur conflict has a long and extensive history; it is a minority ethnic group based in Xinjiang, often depicted by Western media as victims of genocide done by the Chinese government. There are many reports about the existence of concentration camps in Xinjiang intentionally built by the Chinese government to brainwash the Uyghur minorities to become supporters of the Chinese Communist Party (CCP). As a response, the CCP, through the Global Times, a media corporation under its wing, released several news reports framing the Uyghur conflict as a separatist movement. Hence, the Chinese government needs to take serious actions against such threats. Framing is done by publishing stories and news such as “Allegedly Missing Uyghurs Found Living Normally,” indicating that the Uyghur minority in China live normally—the total opposite of Western media reports. Such news is also used to counter stories published by media such as the New York Times, a media company under the wing of the US government, such as “Inside China’s Push to Turn Muslim Minorities into an Army of Workers.” Using the theoretical framework of constructivism and framing model analysis in journalism, Aucky stated that it is evident how mass media is used as a political instrument and a tool for propaganda, both by China and the West, especially regarding the politicization of the Uyghur problem.


Writer : Brigitta Kalina

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Beyond the Great Wall #15: Transformasi Persepsi terhadap Cina: Peran Budaya dan Media Massa

Pada Jumat (25/06) lalu, Institute of International Studies UGM menyelenggarakan forum Beyond the Great Wall bertajuk “Transformasi Persepsi terhadap Cina: Peran Budaya dan Media Massa”. Edisi ke-15 dari BTGW ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meetings dan menghadirkan 2 pembicara. M. Habib Pashya, asisten riset Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, menjadi pembicara pertama yang memaparkan materi mengenai “Upaya Perbaikan Identitas Cina yang Buruk di Indonesia melalui Institusi Konghucu”. Kedua, forum BTGW kali ini juga dihadiri oleh Aucky Adi Kurniawan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus Peneliti di Indonesia International Studies Academic Utilization Community, dengan materi yang berjudul “Peran Media Massa Cina dan Barat dalam Framing Konflik Uyghur”. Moderator diskusi kali ini adalah Indrawan Jatmika, staf Divisi Riset IIS UGM.

Berbicara mengenai persepsi masyarakat, baik di Indonesia maupun di lingkup global, terhadap Cina, seringkali didominasi oleh doktrin ala Barat—yang selama ini hanya fokus pada sisi negatif Cina. Menanggapi hal tersebut, Cina tidak tinggal diam. Pashya melalui presentasinya menyampaikan bahwa Cina secara aktif melakukan diplomasi budaya sejak perang dingin karena menyadari bahwa kekuatan ekonomi dan politiknya masih lemah di kala itu. Diplomasi budaya Cina dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu pertukaran pelajar, event seperti Beijing Olympic 2008, kampanye melalui media massa dan radio, bantuan internasional seperti Belt and Road Initiatives, serta pendirian institusi Konghucu di berbagai negara. Pendirian institusi Konghucu sendiri biasanya ditujukan untuk mempromosikan Bahasa Mandarin dan budaya Cina ke berbagai penjuru dunia. Hingga saat ini, telah ada setidaknya 500 institusi yang tersebar di 140 negara – termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, keberadaan institusi Konghucu telah tersebar cukup masif, utamanya setelah disahkannya Konghucu sebagai agama di Indonesia pada era Gus Dur. Strategi diplomasi budaya melalui institusi Konghucu ini dilakukan seiring dengan gencarnya persepsi buruk terhadap Cina di Indonesia, utamanya terkait dengan kuatnya label buruk komunisme di Indonesia dan juga peristiwa seperti G30S dan krisis 98. Pada dasarnya, strategi ini berhasil untuk menciptakan persepsi positif di Indonesia – utamanya seiring dengan munculnya berbagai kerjasama dengan berbagai universitas dan organisasi-organisasi Muslim. Namun, di tahun 2019, persepsi negatif terhadap Cina kembali memuncak seiring adanya isu Uyghur, Laut Cina Selatan, serta pandemi COVID-19.

Berfokus pada kajian media, Aucky melalui presentasinya memaparkan bahwa pada dasarnya “who controls the media, controls the world.” Inilah yang disebut Aucky sebagai kunci dari gencarnya upaya Cina untuk memperbaiki citra politiknya melalui media, utamanya terkait dengan konflik Uyghur. Memiliki sejarah yang cukup panjang, Uyghur sebagai etnis yang tinggal di wilayah Xinjiang kerap kali dibingkai—oleh media barat—sebagai genosida yang dilakukan oleh Pemerintah Cina terhadap etnis minoritas. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa terdapat kamp konsentrasi di Xinjiang yang sengaja dibuat oleh Pemerintah Cina untuk mencuci otak mereka yang beretnis Uyghur agar menjadi pro Partai Komunis Cina (PKC). Seolah ingin membantah berita tersebut, PKC melalui Global Times, media yang berada dibawah naungannya, merilis berita-berita tandingan dengan menyatakan bahwa isu Uyghur adalah isu yang terkait dengan gerakan separatisme dan karenanya Pemerintah Cina harus melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah berbagai kegiatan yang mengancam integrasinya. Hal ini dilakukan dengan cara merilis berita “Allegedly Missing Uyghurs Found Living Normally” yang menyatakan bahwa kehidupan masyarakat beretnis Uyghur di Cina berjalan dengan normal, seratus delapan puluh derajat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh media barat. Berita ini juga dirilis untuk membantah tulisan-tulisan yang dirilis oleh New York Times, sebuah media massa yang berada di bawah naungan Pemerintah Amerika Serikat, salah satunya adalah “Inside China’s Push to Turn Muslim Minorities Into an Army of Workers”. Menggunakan landasan konseptual konstruktivisme dan analisis framing model dalam jurnalisme, Aucky menyatakan bahwa dapat dilihat jika media massa pada dasarnya digunakan oleh baik Cina ataupun negara-negara barat sebagai instrumen politik dan propaganda, utamanya terkait politisasi isu Uyghur.


Penulis : Brigitta Kalina

Penyunting : Mariola Yansverio

[RECAP] Webinar on Nonviolent Actions “Whoever Abandons Violence…”

On Thursday, April 29 2021, the Damai Pangkal Damai team, a database project on nonviolent action in Indonesia, alongside with Institute of International Studies UGM, held an online seminar on nonviolent action titled “Barangsiapa Meninggalkan Kekerasan…” (Whoever Abandons Violence). This webinar lasted two days, from the 29th until Friday the 30th, it was held as part of FISIPOL UGM 2021 research grant, publication, and community service program. This forum invited six speakers that represent six biggest nonviolent actions in Indonesia, the speakers for the first day of the event are Mama Aleta Baun (Pokja Dat), Ms Sukinah (Ibu-Ibu Kendeng), dan Arie Utami (Jeda Iklim). Meanwhile, speakers for the second day of the event are Ms. Sumarsih (Aksi Kamisan), Juwita Djatikusumah (Sunda Wiwitan), dan Gendis Syari (Gejayan Memanggil). The webinar on Friday was moderated by Diah Kusumaningrum, a researcher at IIS and lecturer at the Department of International Relations UGM, who also represents the Damai Pangkal Damai team. Meanwhile, on the first of the event, the moderator was Ayu Diasti Rahmawati.

Talking about nonviolent actions in Indonesia, the six speakers have their views regarding how each of their movements interprets nonviolence. On the first day of the webinar, the discussion was about nonviolent resistance on issues of environmentalism in Indonesia. Ms Sukinah, also known as Yu Nah, is part of the Kendeng Women Movement; they met with various public officials several times, both at the regional and local levels. They even went to the Merdeka Palace as part of their protest. These women of Kendeng who participate in the protest event cemented their own feet, making them the frontline of the movement to avoid violence and clashes with the police. For Yu Nah, whose resistance focuses on resisting the development of a cement factory in Kendeng, nonviolent resistance must be interpreted in the day to day context. For example, by stressing that the water people use in the village will be polluted, its existence will become scarce if the limestone mountains are gone. Like Yu Nah, Mama Aleta Baun also convinced women in Mollo by bringing up simple questions such as ‘If we do not protect natural resources, what will we eat? Where are we going to get water?” Aside from those simple questions, Mama Aleta stated that nonviolent action needs to be accompanied by several efforts, such as providing an example, giving time, having enough energy, having the will to sacrifice and be willing to contribute financially for the collective struggle. In addition to that, another critical aspect is the importance to educate the adversary. “The enemy is not there to be defeated, but it is there to be educated”, said Mama Aleta Baun. Lastly, Arie Utami, as a representation of Jeda Iklim, stated that in doing nonviolent actions, it is crucial to create a sense of safety for all the participants so that they are willing to partake in the movement. Because members of the Jeda Iklim movement come from different layers of society, some are still in school; it is crucial to focus on aspects of safety and coordination to mitigate risks. Concerning this, the key to the success of nonviolent resistance in Indonesia is to organize the protest creatively, brief, and coordinate well before the protest.

On the second day of the event, the forum invited Ms Sumarsih, Ms Djuwita Djati, and Gendis Syari to discuss defending human rights. For Ms Sumarsih, Aksi Kamisan, done with the picketing method in front of the presidential palace by wearing black attires, is the ideal form of nonviolent action. In Aksi Kamisan, nonviolent actions were chosen because peaceful methods can attack the opponent’s “moral jiujutsu”.  Around 600 protests have been done, Aksi Kamisan has developed itself into being an educative source for anyone who wants to learn about politics (including the police). Moreover, it has become room for research. Unlike Aksi Kamisan with its picketing method, the Sunda Wiwitan community, led by Ms Djuwita Djati, uses another form of nonviolence by lying down in the middle of the roadblock access to indigenous land that the government are going to grab. Despite experiencing many forms of structural violence due to their beliefs, the Sunda Wiwitan community continue to involve itself in nonviolent resistance because they believe that it can attack the authorities’ moral jiujutsu. In many of their actions, when officers are going to grab their indigenous land or when clashes occur, the Sunda Wiwitan movement started to lay down on the road and sing the Ibu Pertiwi song—symbolizing a sense of connection between the motherland as a biological mother. The nonviolence spirit is also celebrated by the Gejayan Memanggi movement that took place in Yogyakarta in 2019. According to Gendis, the reason why Gejayan Memanggil, whose majority of participants are university students, could be done peacefully is because of three things, which are 1) The location pick of Gejayan, which holds significant meaning, and coordination with local residents—through “kula nuwun”, 2) The emphasis on collective identity and stressing on the idea that violence is not an option, and 3) The form of resistance that leans more towards a political carnival was successful in attracting many parties to join, including those who never participated in a protest before. In this case, Gendis stated that nonviolent and inclusive action coupled with the motivation to create a civil union in a binary political context enabled Gejayan Memanggil to attract broad participation.


Writer : Brigita Kalina

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Webinar Perlawanan Nirkekerasan “Barangsiapa Meninggalkan Kekerasan…”

Pada Kamis, 29 April 2021 lalu, tim Damai Pangkal Damai, badan pangkalan aksi nirkekerasan di Indonesia, bersama dengan Institute of International Studies UGM menyelenggarakan Webinar Perlawanan Nirkekerasan bertajuk “Barangsiapa Meninggalkan Kekerasan…”. Sebagai rangkaian dari kegiatan dibawah hibah penelitian, publikasi, dan pengabdian kepada masyarakat FISIPOL UGM 2021, webinar ini diselenggarakan selama 2 hari hingga Jumat, 30 April 2021. Webinar perlawanan nirkekerasan kali ini mengundang 6 pembicara yang menjadi perwakilan dari 6 aksi nirkekerasan terbesar di Indonesia, antara lain Mama Aleta Baun (Pokja Dat), Ibu Sukinah (Ibu-Ibu Kendeng), dan Arie Utami (Jeda Iklim) untuk webinar yang diselenggarakan di hari pertama serta Ibu Sumarsih (Aksi Kamisan), Juwita Djatikusumah (Sunda Wiwitan), dan Gendis Syari (Gejayan Memanggil) sebagai pembicara untuk hari kedua. Pada webinar kali ini, Diah Kusumaningrum, peneliti IIS dan dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM yang juga merupakan perwakilan dari tim Damai Pangkal Damai, menjadi moderator pada hari kedua dan ditemani oleh Ayu Diasti Rahmawati sebagai moderator di hari pertama.

Berbicara mengenai aksi nirkekerasan di Indonesia, keenam pembicara memiliki pandangannya tersendiri tentang bagaimana gerakan yang mereka lakukan memaknainya. Di hari pertama, sesi webinar berfokus pada perjuangan aksi di Indonesia untuk melawan upaya perusakan lingkungan. Beberapa kali menemui para pejabat provinsi hingga ke Istana Merdeka, aksi dari Ibu Sukinah (Yu Nah) bersama dengan Ibu-Ibu Kendeng untuk melakukan semen kaki ini dilaksanakan dengan menjadikan ibu-ibu sebagai garda terdepan aksi dalam rangka untuk menghindari kekerasan dan bentrok dengan aparat. Bagi Yu Nah, yang berfokus pada aksi melawan pembangunan pabrik semen di Kendeng, aksi nirkekerasan harus diturunkan pada konteks sehari-hari, seperti dengan menekankan bahwa air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari akan tercemar dan terancam keberadaannya jika gunung kapur hilang. Serupa dengan Yu Nah, Mama Aleta Baun juga meyakinkan para ibu-ibu di Mollo dengan mempertanyakan hal yang sederhana, “Jika kita tidak mempertahankan kekayaan alam, apa yang akan kita makan? Dimana kita akan mendapatkan sumber air?”. Selain pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut, Mama Aleta menyatakan bahwa usaha untuk melakukan aksi nirkekerasan juga harus dibarengi dengan beberapa aspek supaya berhasil, yaitu dengan memberi contoh, mau meluangkan waktu, harus memiliki energi yang cukup, mau berkorban, hingga bersedia untuk mengeluarkan dana sendiri untuk perjuangan bersama ini. Tidak berhenti disitu, poin penting lainnya adalah pentingnya untuk memberikan pelajaran kepada lawan. “Lawan bukan untuk dikalahkan melainkan untuk diubah dan diberi pengetahuan,” ujar Mama Aleta Baun. Terakhir, Arie Utami sebagai perwakilan dari Jeda Iklim menyatakan bahwa dalam melakukan aksi nirkekerasan penting untuk menciptakan rasa aman bagi para partisipan, sehingga mereka mau terlibat dalam aksi tersebut. Karena anggota dari Jeda Iklim berasal dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang masih bersekolah, penting untuk memperhatikan aspek keamanan dan koordinasi dalam rangka untuk mengantisipasi risiko yang lebih besar. Berkaitan dengan hal ini, melakukan aksi dengan cara yang kreatif ditambah dengan adanya pembekalan dan koordinasi sebelum aksi menjadi kunci penting dari keberhasilan aksi nirkekerasan di Indonesia.

Webinar di hari kedua yang mendatangkan Ibu Sumarsih, Ibu Djuwita Djati, dan Gendhis Syari berada dalam tema payung perjuangan atas HAM. Bagi Ibu Sumarsih, Aksi Kamisan yang memilih metode picketing di depan istana negara dengan atribut hitam merupakan pilihan aksi nirkekerasan yang paling ideal. Aksi nirkekerasan dipilih karena dengan melakukan aksi damai, hal ini dapat menyerang “moral jiujutsu” lawan. Telah mencapai aksi yang lebih dari 600, Aksi Kamisan telah berkembang sebagai rumah pendidikan bagi polisi hingga bagi mereka yang ingin belajar mengenai politik dan menjadi ruang penelitian. Berbeda dengan Aksi Kamisan yang menggunakan picketing, komunitas Sunda Wiwitan yang dipimpin oleh Ibu Djuwita Djati melakukan aksi rebahan di tengah jalan dalam rangka untuk “menutup” akses ke tanah adat yang akan diambil alih oleh pemerintah. Mengalami berbagai bentuk diskriminasi struktural akibat menjadi penghayat kepercayaan, komunitas Sunda Wiwitan tetap menekankan pendekatan nirkekerasan dalam melaksanakan aksinya karena dibaliknya terkandung berbagai makna yang mampu menyerang moral jiujutsu aparat. Dalam berbagai perlawanan yang dilakukan ketika aparat akan mengeksekusi lahan Sunda Wiwitan, aksi yang dilakukan memiliki makna persatuan antara ibu pertiwi dan ibu kandung, yang dilambangkan dengan aksi rebahan di jalan hingga menyanyikan lagu Ibu Pertiwi ketika terjadi dorong-mendorong dengan aparat. Semangat nirkekerasan juga dilakukan oleh aksi Gejayan Memanggil yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 2019 lalu. Menurut Gendis, faktor yang menyebabkan aksi Gejayan Memanggil yang diikuti oleh utamanya kalangan mahasiswa mampu berjalan dengan damai ini karena adanya 3 hal, yaitu 1) Penentuan tempat di Gejayan yang memiliki berbagai makna disertai dengan adanya koordinasi dan “kula nuwun” kepada warga setempat, 2) Penekanan identitas kolektif daripada kelompok serta bagaimana kekerasan bukanlah pilihan, dan 3) Bentuk perlawanan yang lebih mengarah kepada karnaval politik, sehingga mampu menarik antusiasme berbagai pihak, termasuk mereka yang tidak pernah mengikuti aksi sebelumnya. Dalam hal ini, Gendis menyatakan bahwa pilihan aksi secara nirkekerasan dan inklusif yang dibarengi dengan keinginan untuk menciptakan gelombang sipil dalam konteks politik yang biner membuat Gejayan Memanggil berhasil untuk menarik partisipasi yang luas.


Penulis : Brigitta Kalina

Penyunting : Mariola Yansverio

[RECAP] Cangkir Teh #2: “The Transformation of Indonesia’s South-South Cooperation: From Solidarity to Interests?”

On Friday March 19th, the Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), held the second edition of the Cangkir Teh discussion virtually using Zoom Meetings. In this occasion, IIS UGM invited Rizky Alif Alvian, a professor at the International Relations Department, Universitas Gadjah Mada, as a speaker in this discussion–titled “The Transformation of Indonesia’s South-South Cooperation: From Solidarity to Interests?”. Alongside Rizky, IIS UGM also invited Muhammad Indrawan Jatmika, research staff at IIS UGM as the moderator of this discussion.

In this discussion, Rizky explained an article that he wrote with Dr. Poppy S. Winanti, titled “Indonesia’s South-South cooperation: when normative and material interests converged”. The article was published in the International Relations of the Asia Pacific journal in the September 2019 edition. Through this discussion, Rizky invites the participants to discuss the transformation dynamics of Indonesia’s South-South cooperation and the combination between normative and material interests that are involved–influenced by the political dynamic Indonesia experience.

Rizky opened the session by analyzing the definition of the “South” that is often used in the development discourse, where he sees that the majority of the Global South states experience the same fate as postcolonial countries. This can be seen from the actors who are involved in the Bandung Conference. These Global South states then form a cooperation initiative based on two foundations. First, normative interests, based on the shared sense of fate and the will to no longer be an object of the Global North, and material interests, based on each country’s political and economic interests, including Indonesia.

However, over time, South-South cooperation experienced a transformation, including those done by Indonesia. Consequently, the motivation of the cooperation that started with a normative foundation shifted to a convergence between normative and material interests. In this contemporary era, Rizky argues that Indonesia’s foundation of South-South cooperation is a convergence between normative and material goods.

Furthermore, Rizky divided Indonesia’s South-South cooperation into three different phases. During the Old Order, Indonesia’s South-South cooperation was fully based on normative interests grounded on solidarity to make a revolutionary Global South cooperation. In the second phase, under the New Order, Indonesia started to prioritize material goods by prioritizing political and economic gains as the main backdrop in designing South-South cooperation. The last phase, or the third phase, is marked by the convergence between normative and material interests–started during the Reform era and is continually preserved until now.

After the presentation, Rizky invited the participants to discuss together the South-South cooperation Indonesia has done. Moderated by Indrawan, the discussion session went well and was filled with the participants’ enthusiasm.


Writer : Raditya Bomantara

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Cangkir Teh #2 : “Transformasi Kerjasama Selatan-Selatan Indonesia: Dari Solidaritas ke Kepentingan?”

Jumat (19/03) Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan diskusi Cangkir Teh edisi kedua secara virtual melalui platform Zoom Meetings. Pada kesempatan kali ini, IIS UGM mengundang Rizky Alif Alfian, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada untuk menjadi narasumber dalam diskusi yang bertajuk “Transformasi Kerjasama Selatan-Selatan Indonesia: Dari Solidaritas ke Kepentingan?”. Untuk mendampingi Rizky, IIS UGM mengundang Muhammad Indrawan Jatmika, Staf Peneliti IIS UGM sebagai moderator diskusi.

Pada kesempatan tersebut, Rizky membahas mengenai artikel yang ditulisnya bersama dengan Dr. Poppy S. Winanti, dan berjudul “Indonesia’s South–South cooperation: when normative and material interests converged“. Artikel tersebut telah terbit pada jurnal International Relations of the Asia-Pacific edisi  September 2019. Lewat diskusi tersebut, Rizky mengajak para partisipan Cangkir Teh untuk mendiskusikan bersama mengenai dinamika transformasi Kerjasama Selatan-Selatan yang dilakukan oleh Indonesia, dan kombinasi kepentingan normatif dan material yang terjadi seiring dengan berubahnya situasi politik di Indonesia.

Rizky membuka sesi dengan menjelaskan mengenai definisi “Selatan” yang digunakan dalam pembangunan argumen, dimana ia melihat bahwa mayoritas negara-negara selatan memiliki kesamaan nasib sebagai negara-negara post-colonialism. Hal ini dapat dilihat dari partisipan yang terlibat didalam konferensi Bandung.  Selanjutnya, negara-negara selatan membangun kerja sama dengan dilandasi dua kepentingan yang berbeda, yaitu normatif, yang didasari oleh persamaan nasib dan keinginan untuk tidak lagi menjadi obyek dari negara – negara utara, dan material, yang didasaro oleh kepentingan politik dan ekonomi masing-masing negara, termasuk Indonesia.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, terjadi transformasi kerja sama selatan-selatan yang dilakukan oleh Indonesia, dimana motivasi Kerjasama yang awalnya didasari oleh kepentingan  normatif mengalami transformasi menjadi konvergensi kepentingan normatif dan material. Kepentingan normatif juga mengalami transformasi dari sistem internasional menjadi kompromi. Pada era kontemporer ini, Rizky berargumen bahwa Indonesia melandasi kerja sama selatan-selatannya dengan konvergensi antara kepentingan normatif dan material.

Selanjutnya, Rizky juga membagi transformasi kerja sama selatan – selatan yang dilakukan oleh Indonesia kedalam 3 fase berbeda. Pada fase pertama yang berlangsung pada masa Orde Lama, Kerjasama selatan-selatan Indonesia sepenuhnya didasari oleh kepentingan normatif dan berlandaskan solidaritas untuk membangun kerjasama antar negara selatan yang revolusioner. Pada fase kedua, Indonesia mulai beralih untuk mengutamakan kepentingan material, dibawah kepemimpinan Orde Baru, yang mementingkan kepentingan politik dan ekonomi dalam merancang kerja sama selatan-selatan. Fase terakhir atau fase ketiga ditandai dengan terjadinya konvergensi diantara kepentingan normatif dan material, dan dimulai pada era reformasi, dan masih terus dipertahankan sampai saat ini.

Seusai pemaparan materi, Rizky mengajak para peserta untuk mendiskusikan bersama tentang kerja sama selatan-selatan yang telah dilakukan oleh Indonesia. Dengan dimoderatori Indrawan, sesi diskusi berjalan dengan cukup kondusif dan dipenuhi dengan antusiasme dari para peserta yang terlibat


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Mariola Yansverio

[RECAP] Beyond the Great Wall #13: China and Maritime Sovereignty

On Friday (26/02), Institute of International Studies UGM organized the 13th edition of Beyond the Great Wall Forum, titled “China and  Maritime Sovereignty”. The forum was held online via Zoom Meeting platform. In this event, BTGW invited Aristyo Rizka Darmawan, a professor and researcher for the Center for Sustainable Ocean Policy in the Faculty of Law of Universitas Indonesia. Aristyo’s presentation was titled “China’s New Coast Guard Law: Illegal and Escalatory”. This forum was moderated by Nur Rachmat Yuliantoro, a professor in the International Relations Department UGM.

Last February, the Chinese government has officially authorized China’s New Coast Guard Law. This legislation allows China’s Coast Guard (CCG) to mobilize all capabilities (including the use of force) against parties that are deemed to be interfering with China’s maritime sovereignty and jurisdiction. According to Aristyo’s presentation, this new legislation violates international law and would in fact, escalate tensions among bordering states. At the beginning of his presentation, Aristyo explained that the CCG has a long history in its development. Since 2013, the CCG Bureau was formed to unify China’s legal maritime entities, titled the “Five Dragons, ” including China Marine Surveillance, Chinese Coast Guard, Chinese Maritime Patrol, China Fisheries Law Enforcement Command, and General Administration of Customs. This effort is part of China’s grand ambition to sustain and protect its territorial integration, especially regarding China’s Nine-Dash Line claim that has provoked conflict with East Asian and Southeast Asian states.

Highlighting this issue from the jurisdiction and international law aspect, Aristyo stated that the CCG law is essentially illegal. The CCG law is highly problematic from the jurisdiction side because it would violate other states’ sovereignty, which is legally guaranteed under international law. In addition to that, China’s Nine-Dash line claim would make any territory under the claim illegal. The new law that would allow the CCG’s use of force against parties deemed to interfere in China’s jurisdiction and maritime sovereignty violates international law that forbids any activity in a disputed territory. Not only that, the new CCG law explicitly violates several international laws and treaties, namely the UNCLOS and the UN Charter. Through its new CCG law, China has violated international instruments that forbid states to employ their military capability in resolving maritime disputes.

Moreover, Aristyo explained the new CCG law’s escalation impact; it would increase tensions between China and its bordering countries. China’s Nine-Dash Line claim has pushed itself into being stuck in several maritime disputes with East Asian and Southeast Asian countries. So far, China shows no hesitation in employing coercive means and threatening these countries, even though there is an ongoing effort to negotiate a Code of Conduct (CoC). The new CCG bill’s authorisation will have sour implications towards the CoC negotiation process, sending a message that Beijing does not take the negotiations seriously. Tensions will escalate not only with states who are directly involved in this dispute, but also with the US—noting that the US also plays a role in this maritime territorial dispute.

At the end of his presentation, Aristyo stated that several international actors could take several actions in regards to China passing the new CCG Law. According to him, other claimant countries or countries concerned with the South China Sea dispute could have shown a more robust response. In this case, the response can be in the form of condemnation or pressure against China to quickly evoke or amend the law. In terms of Indonesia, Aristyo claimed that the Indonesian Ministry of Foreign Affairs had invited the Chinese Ambassador for talks, but the invitation was left unanswered. Aristyo suggested that it is time for Indonesia to send a diplomatic note to Beijing to show a concrete effort of Indonesia’s commitment to ensuring peace in the Southeast Asian region. Nevertheless, he also stresses that Indonesia must be prepared for all possibilities, especially because Indonesian maritime resources are far behind China’s.


Writer : Brigitta Kalina

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Beyond the Great Wall #13: Cina dan Kedaulatan Maritim

Jumat (26/02), Institute of International Studies UGM menyelenggarakan forum “Beyond the Great Wall” edisi ke-13 yang bertajuk “Cina dan Kedaulatan Maritim”. Forum diselanggarakan secara daring melalui media Zoom Meetings. Pada forum kali ini, BTGW menghadirkan Aristyo Rizka Darmawan, dosen dan peneliti Center for Sustainable Ocean Policy, Fakultas Hukum Indonesia. Aristyo membawakan materi dengan judul “China’s New Coast Guard Law: Illegal and Escalatory.” Tidak hanya itu, BTGW #13 juga menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM, sebagai moderator.

Pada Februari lalu, Cina telah mengesahkan China’s New Coast Guard Law, sebuah undang-undang yang mengizinkan China’s Coast Guard (CCG) untuk mengerahkan segala kemampuan (termasuk penggunaan senjata) kepada pihak yang dianggap mengganggu kedaulatan dan yurisdiksi kemaritiman Cina. Berangkat dari hal tersebut, melalui materi yang disampaikannya, Aristyo menyatakan bahwa undang-undang ini sejatinya melanggar hukum internasional, dan justru akan mengekskalasi konflik diantara negara-negara yang berbatasan laut dengan Cina. Di awal pemaparannya, Aristyo menjelaskan bahwa CCG memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. Sejak tahun 2013, CCG Bureau dibentuk untuk menyatukan badan-badan hukum maritim yang dibentuk oleh Cina dengan sebutan “Five Dragons” yang meliputi China Marine Surveillance, Chinese Coast Guard, Chinese Maritime Patrol, China Fisheries Law Enforcement Command, dan General Administration of Customs. Upaya ini tentunya dilakukan sebagai bagian dari ambisi Cina untuk mempertahakan integrasi wilayahnya, utamanya terkait dengan klaim Nine-Dash Line yang telah memicu terjadinya konflik dengan negara-negara di Asia Timur maupun Asia Tenggara.

Aristyo menyatakan bahwa hukum CCG sejatinya ilegal. Dari yurisdiksinya, hukum CCG sangat problematis karena pengesahan hukum CCG berarti akan melanggar kedaulatan negara lain, yang memiliki klaim wilayah yang legal di mata hukum intenasional. Selain itu, klaim Nine-Dash Line Cina menjadikan wilayah yang terletak di bawah klaim tersebut menjadi ilegal. Hukum baru yang membolehkan CCG untuk mengerahkan senjata dan melakukan berbagai upaya kepada pihak yang dianggap melanggar kedaulatan dan yurisdiksi Cina secara jelas telah melanggar ketentuan hukum internasional yang melarang berbagai bentuk kegiatan di wilayah yang masih disengketakan. Tidak hanya itu, hukum baru CCG juga secara jelas melanggar berbagai hukum dan perjanjian internasional seperti UNCLOS dan Piagam PBB. Instrumen-instrumen tersebut melarang berbagai negara untuk menggunakan kapasitas militernya dalam menyelesaikan sengketa laut menjadi poin yang jelas-jelas dilanggar oleh Cina melalui hukum baru CCG.

Selanjutnya, Aristyo juga menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum baru CCG justru akan mengeskalasi tensi antara Cina dan negara-negara yang berbatasan laut dengannya. Selama ini, klaim Nine-Dash Line Cina telah membuatnya tersangkut dalam berbagai sengketa maritim dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Cina bahkan tidak segan-segan menggunakan upaya-upaya yang koersif dan mengancam negara-negara tersebut kendati upaya negosiasi Code of Conduct (CoC) sedang berlangsung. Pengesahan hukum baru CCG justru akan memperburuk proses negosiasi CoC yang sedang diupayakan dan menunjukkan bahwa Beijing tidak serius dalam upaya negosiasi CoC. Tidak hanya itu, pengesahan hukum baru CCG juga akan meningkatkan tensi yang telah terjadi antara Cina dan Amerika Serikat (AS), mengingat hadirnya AS di wilayah yang berkonflik dengan Cina.

Di ujung presentasinya, Aristyo menyatakan bahwa ada beberapa hal yang mestinya mampu dilakukan oleh berbagai aktor internasional terkait disahkannya hukum baru CCG. Menurutnya, negara-negara yang mengklaim dan berkepentingan dalam isu Laut Cina Selatan seharusnya mampu merespon dengan lebih kuat. Respon ini dapat berupa kecaman dan tekanan kepada Cina untuk segera merubah ataupun meniadakan undang-undang ini. Selain itu, berbicara secara spesifik mengenai Indonesia, Aristyo mengklaim bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah melakukan panggilan kepada Duta Besar Cina di Indonesia. Namun, tidak mendapatkan jawaban. Baginya, sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengirimkan nota diplomatik kepada Beijing sebagai bentuk nyata komitmen Indonesia untuk menjaga perdamaian di wilayah Asia Tenggara. Walaupun begitu, ia juga menggarisbawahi bahwa Indonesia harus bersiap atas segala kemungkinan yang terjadi mengingat sumber daya dan kapabilitas maritim Indonesia masih sangat jauh dibawah Cina.


Penulis : Brigitta Kalina

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Cangkir Teh #1 : “Membela Demokrasi di Tengah Pandemi — Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020”

Edisi perdana Cangkir Teh pada tahun 2021 telah diselenggarakan pada hari Senin 22 Februari 2021, dan merupakan hasil kerjsama Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dengan Tim Damai Pangkal Damai (DPD). Agenda utama pertemuan Cangkir Teh kali ini, adalah untuk mendiskusikan dan membedah laporan “Membela Demokrasi di Tengah Pandemi — Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020”. Pada edisi kali ini, IIS UGM mengundang 3 pembicara, yaitu Diah Kusumaningrum, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada dan peneliti IIS UGM, Ihsan Ali Fauzi, perwakilan dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, dan Puri Kencana Putri, perwakilan Accenture Malaysia dan mantan wartawan KontraS. Sesi ini dimoderatori oleh Cut Intan Aulianisa Isma, Manajer IIS UGM

Diah membuka sesi dengan membahas mengenai latar belakang dari Tim Damai Pangkal Damai, yang merupakan proyek database aksi nirkekerasan di Indonesia pada era reformasi. Bekerjasama dengan mahasiswa-mahasiswa yang berdedikasi, Tim DPD telah berhasil mencatat 14.023 aksi nirkekerasan di Indonesia pada era reformasi.  Database tersebut diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang membutuhkan untuk menyelenggarakan aksi-aksi damai, mulai dari mahasiswa, masyarakat adat, hingga jurnalis yang dapat mempelajari jurnalisme damai. Diah juga berharap, bahwa pemerintah dan aparat juga dapat mempelajari prinsip-prinsip nirkekerasan, dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, dan memperkuat struktur demokrasi yang telah ada. Tim DPD percaya, bahwa kultur yang paling penting dalam demokrasi adalah kontestasi dengan menerapkan prinsip-prinsip nirkekerasan.

Sesi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai isi dari laporan “Membela Demokrasi di Tengah Pandemi — Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020” diharapkan dapat menjadi dokumen yang dapat digunakan untuk menjadi refleksi dari aksi-aksi nirkekerasan yang telah diterapkan di Indonesia pada era Reformasi, dan diluncurkan bertepatan dengan World Day of Social Justice. Laporan ini dibagi menjadi beberapa bagian, dan dimulai dengan executive summary. Diah memaparkan bahwa tahun 2020 juga ditandai oleh mulai digunakannya secara meluas aksi-aksi nirkekerasan pada berbagai macam gerakan diseluruh dunia, mulai dari Indonesia, Amerika, Tunisia, Hong Kong, dan lain lain, dan dapat dikategorikan kedalam 198 metode aksi nirkekerasan ala Gene Sharp. Pandemi tidak membuat aksi-aksi nirkekerasan diseluruh dunia berakhir, dan justru membuat aksi nirkekerasan jauh lebih penting dibandingkan sebelumnya.

Pandemi membuat aksi nirkekerasan terus berjalan, dan justru memperkenalkan aktor-aktor baru dalam aksi nirkekerasan, seperti penggemar KPop, Ibu-ibu kulit putih kelas menengah di Amerika hingga veteran perang. Selain itu, intensitas aksi di berbagai tempat juga meningkat, dan menjadi obyek solidaritas dan pembelajaran transnasional. Namun, di sisi lain aksi-aksi nirkekerasan justru disalah gunakan oleh gerakan sayap kanan seperti gerakan anti vaksin dan anti masker, hingga gerakan supremasi kulit putih, dan juga dapat disambut dengan represi oleh negara dimana aksi tersebut berlangsung. Sebagai penutup, Diah merekomendasikan untuk mewajarkan aksi nirkekerasan sebagai bagian dari kultur demokrasi, dan tidak perlu dihadapi dengan represi.

Sesi dilanjutkan oleh Ihsan yang menyampaikan apresiasinya bahwa database DPD sangatlah penting dalam mendukung studi-studi nirkekerasan di Indonesia, dan merupakan sebuah output yang baik dari kampus. Ihsan mendukung pelibatan Mahasiswa dalam kegiatan riset seperti yang telah dilakukan oleh DPD, dan berharap kampus-kampus di Indonesia dapat menggunakan database aksi nirkekerasan tersebut. Namun, Ihsan juga memaparkan beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh tim DPD kedepannya, mulai dari keberlanjutan, hingga kerjasama media, dimana database tim DPD sejauh ini baru dibuat dengan 1 media (KOMPAS) sebagai sumber data. Mungkin untuk kedepannya, Ihsan berharap tim DPD dan IIS dapat memilih alternatif sumber lain selain kompas.

Terakhir, Ihsan menyampaikan sedikit kekhawatirannya atas perubahan dasar aksi nirkekerasan dari luring menjadi daring. Ihsan menekankan, bahwa ada kemungkinan bahwa actor-aktor lama yang sebelumnya aktif dalam gerakan nirkekerasan justru menjadi pasif setelah terjadinya pandemi dan represi rezim. Apakah pemain-pemain baru dalam gerakan nirkekerasan daring menghentikan partisipasi pemain pemain lama? Apakah aktivisme daring yang berdasarkan klik kemudian partisipasi selesai? Bagaimana civil society menghadapi sumber daya daring yang dimiliki oleh negara seperti buzzer dan influencer? Terakhir, Ihsan juga menekankan bahwa laporan juga perlu mencatat mengenai kekalahan-kekalahan aksi nirkekerasan yang terjadi.

Sebagai narasumber terakhir, Puri turut menyampaikan apresiasinya terhadap hasil kerja dari tim DPD, dan berharap bahwa output dari tim DPD dapat digunakan secara luas oleh berbagai pihak. Puri juga memaparkan materinya yang berjudul “Otoritarianisme Digital” sebagai saran untuk tim DPD dalam menjalankan penelitian untuk kedepannya. Otoritarianisme digital menjadi lebih marak setelah terjadinya pandemi, dan ditandai dengan Kerjasama otoritas pemerintahan dengan gerakan-gerakan sayap kanan yang melaksanakan kampanye-kampanye yang bertentangan dan suara-suara masyarakat sipil dan secara tidak langsung menghalangi terjadinya kritik-kritik tegas terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, dalam kasus yang terjadi di Amerika Serikat, otoritas negara juga menjalankan praktik-praktik digital buruk lain seperti espionase, surveillance, hingga intervensi pemilu. Pada praktiknya, otoritarianisme digital yang dilakukan oleh negara mengancam kebebasan berekspresi masyarakat sipil dalam ranah digital.

Sesi ditutup dengan sesi diskusi yang melibatkan para pembicara dengan seluruh peserta diskusi Cangkir Teh, yang berjalan dengan cukup kondusif.


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Mariola Yansverio

[RECAP] Cangkir Teh #1 : : “Defending Democracy Amidst a Pandemic–Nonviolent resistance in Indonesia and the World 2020.”

The first Cangkir Teh discussion was held on Monday, February 22nd 2021. The discussion was a collaborative effort between the Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) and Damai Pangkal Damai Team (DPD). This forum’s main agenda is to discuss and dissect the “Defending Democracy Amidst a Pandemic–Nonviolent resistance in Indonesia and the World 2020” report. On this occasion, IIS invited three speakers, which are: Diah Kusumaningrum, International Relations Professor at Universitas Gadjah Mada and researcher at IIS UGM, Ihsan Ali Fauzi, representative of Centre for the Study of Religion and Democracy (PUSAD) Paramadina, and Puri Kencana Putri, representative of Accenture Malaysia and ex-journalist for KontraS. This session was moderated by Cut Intan Auliannisa Isma, Manager of IIS UGM.

Diah started the discussion by explaining the background of the Damai Pangkal Damai initiative, a project aiming to create a database of nonviolent actions in Indonesia during the Reform era. The team, also involving students’ role, has successfully compiled 14.023 nonviolent actions in Indonesia during the reform era. It is hoped that the database would assist actors who are willing to involve themselves in nonviolent actions, including students, indigenous communities, or even journalists who are eager to learn about peaceful journalism. Additionally, Diah also hopes that the government and the police would learn nonviolent principles and implement those in daily life whilst also strengthening democracy in Indonesia. The DPD team believes that the most crucial culture in democracy is conducting contestations whilst implementing nonviolent principles.

The session is then continued by discussing the report’s content. It is hoped that the report would act as a document that can be used in reflecting and learning about nonviolent actions in Indonesia during the Reform era, as it was launched on World Day of Social Justice. The report is divided into several essential parts, starting with an executive summary. Diah stated that in 2020, nonviolent methods of actions were widely adopted in various movements around the world, starting from Indonesia, the US, Tunisia, Hong Kong, and many others–all of which can be categorized in Gene SHarp’s 198 methods of nonviolent action. This proved that the pandemic does not end the mobilization of nonviolent actions in the world; instead, it makes nonviolent action increasingly more important than before.

The COVID-19 pandemic does not diminish the mobilization of nonviolent actions. Instead, it introduces new actors in nonviolent action, such as KPop fans, middle-class white American women, and even war veterans. Other than that, the intensity of actions in various places are also increasing, and they become objects of solidarity and transnational learning. Unfortunately, in some cases, nonviolent actions are often appropriated by right-wing movements, such as anti-mask and anti-vaccine protests and even white supremacist campaigns. It is also regrettable how in many cases, nonviolent actions also receive repression from the state. In her closing statement, Diah advocates for the normalization of nonviolent actions as a part of democratic culture and it should not be met with repression.

Furthermore, the second speaker continued the session, Ihsan, who articulated his appreciation towards the DPD database. Ihsan stated that the database supports nonviolent studies in Indonesia and is a significant and great output from campus. Ihsan also supports students’ involvement in the research process, and he hopes that other universities in Indonesia would use the database. However, Ihsan also expressed a few challenges that the DPD team will face in the future, including continuity and media partnership. So far, the database has only been used by one media (KOMPAS) as a data resource. Ihsan hopes that the DPD team and IIS could pick an alternative partner other than Kompas in the future.

Lastly, Ihsan expressed his concerns about the shifting of the arena from offline to online. Ihsan emphasized that there is a possibility that those who previously actively participated in nonviolent actions have become disengaged because of the pandemic and state repression. Are the new players in online nonviolent actions stop the participation of previous players? Do the participation of online activists stop at clicking their gadgets, or do they go beyond that? How does civil society respond to the online presence of the state through buzzers and influencers? Lastly, Ihsan also stresses that the report also needs to write about the defeat that nonviolent actions experience.

As the last speaker, Putri also expressed her appreciation for the work the DPD team does, she also hopes that many actors in the society could widely use the output of the DPD team. Besides, Putri presented her materials, titled “Digital Authoritarianism” or “Otoritarianisme Digital”, as an input for the DPD team in conducting their future research. Digital authoritarianism becomes more apparent during the pandemic, marked by the government’s collaboration with right-wing movements. Those right-wing groups often involve themselves in advocating voices that are not in line with civil society’s voices; their involvement also indirectly hinders criticism against the government. Furthermore, cases in the US show that the state also involves espionage, digital surveillance, and even intervention in elections. In practice, the state’s digital authoritarianism threatens freedom of expression in the digital sphere.

The forum is closed with a discussion session that involves both the speakers and the participants, which went very well.


Writer : Raditya Bomantara

Editor : Mariola Yansverio