Entries by iis.fisipol

Commentaries : Belajar dari Tragedi Kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki

Senjata nuklir adalah senjata pemusnah massal yang memiliki dampak paling dahsyat dibandingkan dengan senjata-senjata pemusnah massal yang lain. Senjata ini memiliki daya ledak yang sangat besar dan memberikan dampak yang sangat menghancurkan serta mematikan bagi umat manusia dan lingkungan sekitar. Seperti akibat dari ledakan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki yang dapat meluluh-lantakan sebuah kota, menghancurkan bangunan, merusak lingkungan sekitar, serta menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Dampak senjata nuklir bahkan dapat terus memberikan pengaruh jangka panjang kepada umat manusia maupun lingkungan alam di area tersebut. Ironisnya senjata nuklir adalah satu-satunya senjata pemusnah massal dan tidak manusiawi yang memiliki status legal sampai diadopsinya Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons, TPNW) tahun 2017.

Sepanjang sejarah, senjata nuklir baru digunakan dalam pertempuran antara kekuatan Sekutu melawan kekuatan Poros pada Perang Dunia Kedua. Pada pagi hari, di tanggal 6 Agustus 1945, pesawat Enola Gay yang diterbangkan oleh pilot bernama Paul W. Tibbets melintasi kota Hiroshima dan menjatuhkan sebuah bom atom ke pusat kota industri yang padat penduduk tersebut. Hasilnya adalah kehancuran yang masif. Mengutip dari ICAN, bom atom yang dijatuhkan tersebut memiliki daya ledak setara dengan 15.000 ton TNT, menyebabkan 140.000 penduduk meninggal di akhir tahun 1945, dan 70 persen bangunan rata dengan tanah. Sementara data dari Pemerintah Kota Hiroshima menyebutkan sebanyak 320.000 warga terdampak, di antaranya 118.000 warga meninggal pada hari itu juga. Pada waktu itu, penduduk Hiroshima berjumlah sekitar 350.000 jiwa. 

Tiga hari kemudian, pasukan Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom yang bernama “Fat Boy” ke kota Nagasaki yang berjarak 410 kilometer dari kota Hiroshima dan mengakibatkan sekitar 74.000 warga sipil meninggal dunia serta menghancurkan berbagai bangunan dan infrastruktur kota. Berbagai sumber melaporkan bahwa hanya dalam hitungan detik, sebuah ledakan bom atom dapat menyebabkan terbentuknya awan menyerupai kubah jamur setinggi 13 kilometer menjulang ke udara kota Hiroshima dan Nagasaki. Sesudahnya, gelombang panas menyapu kota menyebabkan kebakaran dan diikuti hujan abu yang mengguyur seluruh kota.

Seorang saksi bernama Tsutomu Yamaguchi ingat betul betapa mengerikan kejadian di hari itu. Mengutip dari dw.com, pagi itu Yamaguchi dalam perjalanan ke tempat kerja, tiba-tiba dia melihat sambaran kilat yang sangat menyilaukan dan kemudian terdengar ledakan yang sangat dahsyat. Ia mengalami luka bakar yang parah dan menyaksikan situasi di sekitarnya yang sangat kacau. Gedung perkantoran, rumah, jembatan dan bangunan lainnya hancur berantakan, membuat kota industri Hiroshima hampir rata tanah dan korban dengan luka bakar yang mengerikan bergelimpangan. Pengalaman serupa juga disampaikan oleh para hibakusha, sebutan bagi para korban selamat yang terdampak efek bom atom Hiroshima dan Nagasaki, diantaranya Matsushima Keijiro, Ogura Keiko, Takahashi Akihiro, dan beberapa lainnya. 

Yamaguchi merupakan seorang hibakusha yang unik, karena mengalami dua kali peristiwa pengeboman dua kota di negeri Sakura itu. Tidak menyangka akan adanya petaka serupa, mengutip dari Deutsche Welle (DW), Yamaguchi memutuskan kembali ke kampung halaman di Nagasaki pada tanggal 8 Agustus 1945 dimana keesokan harinya pasukan Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom di kota kelahirannya. Lagi, dia mengalami secara langsung kejadian mengerikan dalam sejarah hidupnya, bahkan dalam sejarah umat manusia di seluruh dunia. 

Tidak selesai di hari itu saja, ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki juga menyisakan berbagai penderitaan bagi hibakusha untuk jangka waktu yang lama. Paparan radiasi yang disebarkan menimbulkan penyakit-penyakit seperti kanker, leukimia, kerusakan organ, risiko keguguran tinggi, dan dampak psikologis berkepanjangan yang harus ditanggung oleh para penyintas. Dampak radiasi internal dari nuklir ini juga menjadi indikator yang diakui oleh Kementerian Kesehatan Jepang untuk menjadi basis pemberian kompensasi kepada para penyintas. Selain itu, para hibakusha juga harus mengalami diskriminasi sosial seumur hidupnya akibat stigma sebagai pembawa gen cacat dan penyakit. Selama berpuluh tahun, para hibakusha kesulitan untuk mencari pasangan dan diterima di lingkungan pekerjaan layaknya warga Jepang biasa.

Laporan dari Economic Stabilization Board di tahun 1949 juga menunjukkan kerugian ekonomi yang cukup fantastis akibat peristiwa tersebut. Kerugian yang ditimbulkan oleh kerusakan bangunan, infrastruktur, jalan, dan fasilitas komunikasi di Hiroshima dan Nagasaki mencapai total $17.682.000 (kurs 1947: 1 dolar AS/50 yen). Besaran ini belum termasuk biaya rehabilitasi kota, bantuan sosial bagi korban, dan pemulihan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan tidaklah main-main. Radiasi dari bom atom menyebabkan pencemaran bagi lahan dan hasil pertanian, perikanan, dan air bersih yang menjadi konsumsi sehari-hari tidak hanya oleh warga Hiroshima dan Nagasaki, tapi juga mencakup wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Radiasi ini menempel selama bertahun-tahun lamanya, menyebabkan kelangkaan sumber pangan lokal yang layak dikonsumsi.

Untuk mengenang sekaligus selalu mengingatkan masyarakat Jepang dan juga masyarakat global, maka pemerintah Jepang mendirikan 2 buah museum. Jika anda mengunjungi kota Hiroshima, Jepang, maka anda akan menemukan Hiroshima Peace Memorial Museum, di mana terdapat sebuah monumen peringatan peristiwa peledakan bom atom yang terjadi di kota tersebut 76 tahun yang lalu. Terdapat satu bangunan bernama Gembaku Dome, satu-satunya gedung yang masih tersisa hingga hari ini, menjadi saksi biru peristiwa memilukan di kota industri yang cukup maju di Jepang pada masanya. Sedangkan di kota Nagasaki didirikan Nagasaki Atomic Bomb Museum. Kedua Museum ini menyimpan sisa-sisa reruntuhan, foto, dan dokumen penting lainnya yang menghadirkan realita di masa kelam itu.

Belajar dari peristiwa di dua kota bersejarah di Jepang, penggunaan senjata nuklir di masa mendatang sama sekali tidak dapat dibenarkan secara moral dan kemanusiaan. Dampak yang ditimbulkannya tidak dapat memenuhi dua prinsip utama dari Hukum Humaniter Internasional, yaitu prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Saat senjata nuklir diledakkan, maka akibat dari ledakan itu tidak dapat membedakan siapa atau apa objek yang akan terkena dampaknya, apakah dia pihak dan objek militer atau sipil. Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan bahwa 90 persen korban adalah penduduk sipil yang seharusnya merupakan pihak-pihak yang wajib dilindungi dalam situasi apapun, bahkan dalam situasi perang. Begitupun, ledakan bom nuklir tersebut tidak dapat memilih hanya akan menyasar target militer, karena terbukti sebagian besar gedung dan infrastruktur sipil rusak dan hancur akibat pengeboman tersebut.

Penggunaan senjata nuklir di dua kota ini juga memberi pelajaran berharga bagaimana penggunaannya telah memberikan dampak yang tidak proporsional untuk mencapai tujuan militer yang sah. Dampak pengeboman tersebut telah menyebabkan kesakitan yang luar biasa dan tidak perlu, telah menghilangkan korban nyawa yang sangat masif, dan korban harta benda yang tak ternilai. Dampaknya pun tidak hanya dirasakan pada saat itu, tetapi terus berlanjut hingga puluhan tahun setelahnya. 

Lebih dari tujuh dasawarsa sejak bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, derita kemanusiaan yang ditimbulkannya masih dirasakan dan mengusik rasa kemanusiaan kita. Tetapi, kesadaran untuk menghapuskan ancaman kemanusiaan tersebut dari muka bumi ternyata masih jauh dari harapan. Umat manusia masih hidup dalam bayang-bayang ancaman kepunahan dengan hampir 15.000 bom nuklir yang ada di dunia ini. Hadirnya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir pada tahun 2017 memberi secercah harapan bahwa dunia yang bebas dari bayang-bayang senjata nuklir bukan sebuah ilusi, sekalipun untuk mencapainya bukan perjalanan yang pendek dan mudah.

Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki memberi peringatan kepada kita untuk jangan pernah mengulang petaka kemanusiaan ini. Penting untuk meresapi secara mendalam, satu pesan penting yang tertulis di dekat Bel Perdamaian di Museum Hiroshima, ”We dedicate this bell as a symbol of Hiroshima Aspiration. Let all nuclear arms and wars be gone, and the nations live in true peace!” Pesan ini semestinya menyadarkan kita akan urgensi pelarangan senjata dan perang nuklir agar umat manusia dapat hidup dalam perdamaian yang hakiki.

Referensi

Bugnion, Francois. (1995). “Remembering Hiroshima. International Review of the Red Cross, No. 306. https://www.icrc.org/en/doc/resources/documents/article/other/57jmge.htm

Higan-No-Kai, Hiroshima. (1964). Hiroshima Peace Bell. https://travel.gaijinpot.com/hiroshima-peace-bell/

Hiroshima and Nagasaki Bombings. (2021). ICAN. https://www.icanw.org/hiroshima_and_nagasaki_bombings

Hiroshima’s Path to Reconstruction. (2015). Hiroshima Prefecture and The City of Hiroshima.

Kisah Tsutomu Yamaguchi Selamat dari Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki. (2020).

https://www.dw.com/id/tsutomu-yamaguchi-selamat-dari-bom-hiroshima-dan-nagasaki/a-54463122

Naono, Akino (2019). “The Origins of ‘Hibakusha’ as a Scientific and Political Classification of the Survivor”. Japanese Studies 39(3): 333-352.

Rothman, L. (2017). After the Bomb: Survivors of the Atomic Blast in Hiroshima and Nagasaki Share Their Stories. TIME. https://time.com/after-the-bomb/

Solomon, F. & Marston, R.  (1986). The Medical Implications of Nuclear War. National Academy of Sciences. http://www.nap.edu/catalog/940.html


Penulis : Ririn Tri Nurhayati

Commentaries : Jalan Terjal Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir

Bencana yang diakibatkan oleh ledakan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus untuk menghentikan perang di Pasifik adalah sebuah tragedi besar dalam sejarah umat manusia. Korban jiwa, skala kerusakan serta dampak yang ditimbulkan oleh ledakan senjata nuklir tersebut seolah membangunkan masyarakat internasional dari mimpi buruk dan mendorong tekad untuk memusnahkan senjata tersebut. Seruan untuk menghapuskan sepenuhnya senjata nuklir serta untuk mendirikan sebuah badan untuk menangani senjata nuklir menjadi resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB setelah lembaga dunia tersebut didirikan.

Tetapi, tekad untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran ternyata tidak cukup kuat untuk membebaskan dunia dari senjata nuklir. Terbukti, resolusi PBB untuk menghapuskan senjata nuklir tidak menghalangi negara-negara besar untuk mengembangkan senjata nuklir mereka. Tiga tahun setelah resolusi PBB dikeluarkan, Uni Soviet melakukan uji coba senjata nuklirnya di  Semipalatinsk, Kazakhstan dan menjadi negara kedua yang memiliki senjata nuklir. Inggris menyusul Uni Soviet dengan melakukan uji coba senjata nuklir di Australia pada tahun 1952, diikuti oleh Perancis di Pasifik Selatan tahun 1960 dan Cina di Provinsi Sinkiang pada tahun 1962. Praktis kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB identik dengan negara-negara yang memiliki senjata nuklir.

Kekhawatiran akan munculnya persaingan dalam pengembangan senjata nuklir mendorong munculnya upaya-upaya untuk membatasi uji coba senjata nuklir seperti Perjanjian Antartika 1959 yang melarang uji coba nuklir maupun penimbunan limbah radioaktif di Antartika maupun Perjanjian Uji Coba Nuklir Parsial 1963 yang melarang uji coba nuklir di atmosfer, luar angkasa dan di bawah air. Sementara itu, berbagai protes terhadap pengembangan senjata nuklir mulai bermunculan. Di tengah-tengah meningkatnya persaingan Timur-Barat, sekelompok ilmuwan ternama yang dipelopori oleh Albert Einstein dan Bertrand Russell mengeluarkan manifesto yang mengingatkan akan bahaya perang nuklir dan mendesak semua negara untuk menyelesaikan perselisihan secara damai. Demonstrasi-demonstrasi menentang senjata nuklir juga berlangsung di berbagai negara. Pada tahun 1958 terbentuk Kampanye untuk Campaign for Nuclear Disarmament dengan simbol CND, yang sekarang dikenal sebagai simbol perdamaian.

Upaya internasional untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dengan visi untuk akhirnya menghapuskannya muncul dalam bentuk Perjanjian Non Proliferasi Nuklir atau NPT (Treaty on the Nuclear Non-Proliferation) tahun 1968. Perjanjian ini ditopang oleh 3 pilar yakni non proliferasi, perlucutan senjata, dan penggunaan energi nuklir untuk tujuan-tujuan damai. Melalui NPT, negara-negara yang hingga tahun 1968 belum melakukan uji coba senjata nuklir, dilarang mengembangkan atau memiliki senjata nuklir, sementara kelima negara yang telah melakukannya, berhak memiliki senjata nuklir meski tetap harus menunjukkan itikad untuk menghapuskannya. 

Sebagai sebuah rezim nuklir internasional, NPT relatif efektif untuk mencegah pengembangan atau kepemilikan senjata nuklir oleh lebih banyak negara, meskipun gagal menghalangi negara-negara tertentu seperti Israel, India, Pakistan dan Korea Utara. Sebagian negara-negara ini tidak menandatangani NPT. Disamping itu,  negara-negara pemilik senjata nuklir juga tidak pernah menunjukkan komitmen atau itikad baiknya untuk secara bertahap mengurangi dan akhirnya menghapuskan senjata nuklir dari doktrin pertahanan mereka. Berbagai negosiasi perlucutan senjata yang dilakukan cenderung lebih dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan kepemilikan senjata nuklir daripada mengurangi, apalagi menghapuskannya.

Konsekuensinya, sampai saat ini, hampir 15 ribu hulu ledak nuklir masih mengancam dan membayangi masa depan umat manusia, lebih dari 75 tahun sejak masyarakat internasional bertekad untuk menghapuskannya. Bahkan terdapat kecenderungan ancaman senjata nuklir semakin riil dan tidak lagi merupakan kemustahilan (lihat tulisan-tulisan berikutnya).

Diadopsinya Perjanjian Internasional Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons) yang dikenal dengan TPNW pada tahun 2017 menjadi harapan baru bagi umat manusia untuk hidup tanpa dibayangi ancaman senjata nuklir. TPNW bukan terminal terakhir dari upaya untuk mencapai dunia bebas dari senjata nuklir. Sebaliknya, TPNW merupakan awal dari perjalanan yang mungkin masih akan sangat panjang bagi terwujudnya dunia bebas senjata nuklir. Tetapi perjalanan harus dimulai. Bisa jadi, kita tidak akan menikmati dunia yang kita angankan itu, tetapi tidak berlebihan rasanya untuk berharap agar anak cucu kita yang akan hidup lebih damai bebas dari bayang-bayang ancaman senjata nuklir.

 

Referensi

 

Dowling, S. (2017). The monster atomic bomb that was too big to use. BBC News. https://www.bbc.com/future/article/20170816-the-monster-atomic-bomb-that-was-too-big-to-use

 

From misplaced emblem in London to iconic – the UN General Assembly across 70 years. (2016). United Nations. https://news.un.org/en/story/2016/01/519682-feature-misplaced-emblem-london-iconic-hall-un-general-assembly-across-70-years

 

People’s history of CND – demonstrators in Trafalgar Square in 1959. Campaign for Nuclear Disarmament. https://cnduk.org/peoples-history-of-cnd-demonstrators-in-trafalgar-square-1959/

 

SIPRI Yearbook 2021. (2021). Stockholm International Peace Research Institute. https://www.sipri.org/yearbook/2021


Writer : Muhadi Sugiono

DPD #1

Public speeches. Ini adalah metode #1 dari 198 metode nirkekerasan a la Gene Sharp. Ia masuk dalam kategori “protes dan persuasi.” .
Sepanjang sejarah, ada banyak pidato monumental yang berhasil menggerakkan ribuan orang untuk melawan.

Ada pidato “Freedom or Death” dari Emmeline Pankhurst yang menjadi semangat gerakan suffragette; ada pidato “I Have a Dream” dari Martin Luther King, Jr. yang mendorong diakhirinya segregasi rasial di Amerika Serikat; ada pidato Paus Paulus Yohannes II yang memotori gerakan Solidaritas di Polandia dan runtuhnya komunisme; dll.
.

Simak 195 metode nirkekerasan lainnya di #DamaiPangkalDamai, setiap Senin malam, melalui @iis_ugm 

DPD #2

Letter of opposition or support. Ini adalah metode #2 dari 198 metode nirkekerasan a la Gene Sharp. Ia masuk dalam kategori “protes dan persuasi.”
.
Simak 196 metode nirkekerasan lainnya di #DamaiPangkalDamai, setiap Senin malam, melalui @iis_ugm

 

IIS Fortnightly Review #6 | Edisi 16 – 30 Juni 2021

Our sixth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Jokowi Issued Presidential Decree on Ranham, Omit Past Human Rights Violations (N. Raharema)
• Democracy Day to Demand Reforms in Nigeria (D. Laras)
• Extension of G20 Debt Suspension Service Initiative (DSSI): “A Double-Edged Sword in Disguise?” (P. Ega)
• ASEAN-EU Comprehensive Air Transport Agreement (AE CATA): A Novel Regionalism Approach to Keep the Aviation Industry Afloat Amidst COVID-19 (S. Hanief)

Access the review through : https://simpan.ugm.ac.id/s/VvSg3AJCOPVs4Sf

[RECAP] Beyond the Great Wall #15: Transforming Perceptions about China: The Role of Culture and Mass Media

On Friday (25/06), the Institute of International Studies UGM held the 15th edition of Beyond the Great Wall Forum, titled “Transforming Perceptions about China: The Role of Culture and Mass Media.” In this edition, BTGW was held online via the Zoom Meetings platform and invited two speakers. First, M. Habib Pashya, an assistant researcher of the International Relations department in Universitas Islam Indonesia, presented “Efforts to Improve China’s Bad Reputation in Indonesia through the Confucian Institute.” The second speaker is Aucky Adi Kurniawan, a student from Universitas Muhammadiyah Malang and researcher in Indonesia International Studies Academic Utilization Community, who presented “The Role of Chinese and Western Mass Media in Framing the Uyghur Conflict.” The moderator for this discussion was Indrawan Jatmika, staff of the Research Division in IIS UGM.

Whether it is in Indonesia or at the global level, people’s perception of China is often dominated by doctrines constructed from the West—which lens has been focused on China’s negative side. Responding to this, China is not staying still. Pashya stated that China had been actively engaging with cultural diplomacy since the Cold War era through his presentation. This is because China realizes that China’s political and economic power was relatively weak at the time. China’s cultural diplomacy is enforced through various programs, such as student exchange programs, international events such as the Beijing Olympic of 2008, social campaigns through mass media and radio, international aid such as the Belt and Road Initiative, and by establishing the Confucian Institute in countries all around the world. The Confucian Institute is aimed to promote the Mandarin language and Chinese culture globally. Right now, there are about 500 Confucian Institutes in almost 140 countries—including Indonesia. In Indonesia, the existence of the Confucian Institute has spread massively, especially after Confucianism is recognized as one of the state’s religions during Gus Dur’s presidency. The cultural, diplomatic strategy through the Confucian Institute is done along with the worsening of China’s reputation in Indonesia, especially with the stigmatization against communism and events such as the G30S and the 98 crisis. Essentially this strategy succeeds in bringing a more positive image about China in Indonesia—especially with the emergence of various collaborations with several universities and Muslim organizations. However, in 2019, negative perceptions about China rise significantly because of the Uyghur conflict, problems in the South China Sea, and the COVID-19 pandemic.

Focusing on media studies, through his presentation, Aucky explained that basically, “who controls the media, controls the world.” This is what Aucky calls the key behind China’s vigorous efforts in a media campaign, using media as a tool to fix its political image—especially about the Uyghur conflict. The Uyghur conflict has a long and extensive history; it is a minority ethnic group based in Xinjiang, often depicted by Western media as victims of genocide done by the Chinese government. There are many reports about the existence of concentration camps in Xinjiang intentionally built by the Chinese government to brainwash the Uyghur minorities to become supporters of the Chinese Communist Party (CCP). As a response, the CCP, through the Global Times, a media corporation under its wing, released several news reports framing the Uyghur conflict as a separatist movement. Hence, the Chinese government needs to take serious actions against such threats. Framing is done by publishing stories and news such as “Allegedly Missing Uyghurs Found Living Normally,” indicating that the Uyghur minority in China live normally—the total opposite of Western media reports. Such news is also used to counter stories published by media such as the New York Times, a media company under the wing of the US government, such as “Inside China’s Push to Turn Muslim Minorities into an Army of Workers.” Using the theoretical framework of constructivism and framing model analysis in journalism, Aucky stated that it is evident how mass media is used as a political instrument and a tool for propaganda, both by China and the West, especially regarding the politicization of the Uyghur problem.


Writer : Brigitta Kalina

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Beyond the Great Wall #15: Transformasi Persepsi terhadap Cina: Peran Budaya dan Media Massa

Pada Jumat (25/06) lalu, Institute of International Studies UGM menyelenggarakan forum Beyond the Great Wall bertajuk “Transformasi Persepsi terhadap Cina: Peran Budaya dan Media Massa”. Edisi ke-15 dari BTGW ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meetings dan menghadirkan 2 pembicara. M. Habib Pashya, asisten riset Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, menjadi pembicara pertama yang memaparkan materi mengenai “Upaya Perbaikan Identitas Cina yang Buruk di Indonesia melalui Institusi Konghucu”. Kedua, forum BTGW kali ini juga dihadiri oleh Aucky Adi Kurniawan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus Peneliti di Indonesia International Studies Academic Utilization Community, dengan materi yang berjudul “Peran Media Massa Cina dan Barat dalam Framing Konflik Uyghur”. Moderator diskusi kali ini adalah Indrawan Jatmika, staf Divisi Riset IIS UGM.

Berbicara mengenai persepsi masyarakat, baik di Indonesia maupun di lingkup global, terhadap Cina, seringkali didominasi oleh doktrin ala Barat—yang selama ini hanya fokus pada sisi negatif Cina. Menanggapi hal tersebut, Cina tidak tinggal diam. Pashya melalui presentasinya menyampaikan bahwa Cina secara aktif melakukan diplomasi budaya sejak perang dingin karena menyadari bahwa kekuatan ekonomi dan politiknya masih lemah di kala itu. Diplomasi budaya Cina dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu pertukaran pelajar, event seperti Beijing Olympic 2008, kampanye melalui media massa dan radio, bantuan internasional seperti Belt and Road Initiatives, serta pendirian institusi Konghucu di berbagai negara. Pendirian institusi Konghucu sendiri biasanya ditujukan untuk mempromosikan Bahasa Mandarin dan budaya Cina ke berbagai penjuru dunia. Hingga saat ini, telah ada setidaknya 500 institusi yang tersebar di 140 negara – termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, keberadaan institusi Konghucu telah tersebar cukup masif, utamanya setelah disahkannya Konghucu sebagai agama di Indonesia pada era Gus Dur. Strategi diplomasi budaya melalui institusi Konghucu ini dilakukan seiring dengan gencarnya persepsi buruk terhadap Cina di Indonesia, utamanya terkait dengan kuatnya label buruk komunisme di Indonesia dan juga peristiwa seperti G30S dan krisis 98. Pada dasarnya, strategi ini berhasil untuk menciptakan persepsi positif di Indonesia – utamanya seiring dengan munculnya berbagai kerjasama dengan berbagai universitas dan organisasi-organisasi Muslim. Namun, di tahun 2019, persepsi negatif terhadap Cina kembali memuncak seiring adanya isu Uyghur, Laut Cina Selatan, serta pandemi COVID-19.

Berfokus pada kajian media, Aucky melalui presentasinya memaparkan bahwa pada dasarnya “who controls the media, controls the world.” Inilah yang disebut Aucky sebagai kunci dari gencarnya upaya Cina untuk memperbaiki citra politiknya melalui media, utamanya terkait dengan konflik Uyghur. Memiliki sejarah yang cukup panjang, Uyghur sebagai etnis yang tinggal di wilayah Xinjiang kerap kali dibingkai—oleh media barat—sebagai genosida yang dilakukan oleh Pemerintah Cina terhadap etnis minoritas. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa terdapat kamp konsentrasi di Xinjiang yang sengaja dibuat oleh Pemerintah Cina untuk mencuci otak mereka yang beretnis Uyghur agar menjadi pro Partai Komunis Cina (PKC). Seolah ingin membantah berita tersebut, PKC melalui Global Times, media yang berada dibawah naungannya, merilis berita-berita tandingan dengan menyatakan bahwa isu Uyghur adalah isu yang terkait dengan gerakan separatisme dan karenanya Pemerintah Cina harus melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah berbagai kegiatan yang mengancam integrasinya. Hal ini dilakukan dengan cara merilis berita “Allegedly Missing Uyghurs Found Living Normally” yang menyatakan bahwa kehidupan masyarakat beretnis Uyghur di Cina berjalan dengan normal, seratus delapan puluh derajat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh media barat. Berita ini juga dirilis untuk membantah tulisan-tulisan yang dirilis oleh New York Times, sebuah media massa yang berada di bawah naungan Pemerintah Amerika Serikat, salah satunya adalah “Inside China’s Push to Turn Muslim Minorities Into an Army of Workers”. Menggunakan landasan konseptual konstruktivisme dan analisis framing model dalam jurnalisme, Aucky menyatakan bahwa dapat dilihat jika media massa pada dasarnya digunakan oleh baik Cina ataupun negara-negara barat sebagai instrumen politik dan propaganda, utamanya terkait politisasi isu Uyghur.


Penulis : Brigitta Kalina

Penyunting : Mariola Yansverio

IIS Fortnightly Review #5 | Edisi 1 – 15 Juni 2021

Our fifth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Colombia and Its Growing Mass Movement: “They Can’t Take It Anymore” (V. Winona)
• Why COVID-19 Vaccination in Poorer Nations Has Slowed, Posing Global Risks (S. Aryawangsa)
• How COVID-19 Pandemic Could Impede The Catch-Up of Poor Countries With Rich Ones (M. Yansverio)
• Global Nursing Shortage and Health Inequality (N. Raharema)

Our Fortnightly Review is also mobile friendly! Access the review throught : https://simpan.ugm.ac.id/s/GnuzILvb6SfY5mL

IIS Fortnightly Review #4 | Edisi 16 – 31 Mei 2021

Our fourth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• ‘Social Media is The Mass Protest’: Solidarity with Palestinians Grows Online (M. Yansverio)
• Drown in Water, Still Die of Thirst: Jakarta’s Water Issues (R. Puspita)
• US’ Biden Administration Approved $735 Million Weapons Sale to Israel (N. Raharema)
• ‘Diggin in, Myanmar’s Military Junta Detains US Journalist’: A Sign of Government Weakness (F. Gabriel)

Access the review throug : https://simpan.ugm.ac.id/s/NXd5uTKVnbsIegU