IIS Fortnightly Review #7 | Edisi 1 – 14 Agustus 2021

Our seventh edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Beyond Beijing-Jakarta: China’s Expanding Economic Partnerships with Indonesia’s Provinces (F. Tarissa)
• ‘We Dont’t Want This Anymore’: Guatemalans Strike Against Corruption Amidst the Pandemic (F. Tarissa)
• The Aftermath of South Africa’s Recent Unrest on Economic Recovery (F. Tarissa)
• Vaccine Passports Politics Amidst an Increasingly Polarized World (R.W Pradipta)

Access the review through https://simpan.ugm.ac.id/s/VnOFvOIgVAtGMS5

Commentaries : Signifikansi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir bagi Perdamaian Dunia dan Urgensi Indonesia

Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons/TPNW) pertama kali diadopsi pada tahun 7 Juli 2017 untuk menjawab kebutuhan akan sebuah instrumen hukum yang dapat mengatur kepemilikan dan pengembangan senjata nuklir bagi negara-negara anggotanya. Berangkat dari kekhawatiran akan terulangnya tragedi kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki di tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, TPNW diharapkan dapat menghentikan segala aktivitas yang berhubungan dengan senjata nuklir dan bermuara pada pemusnahan secara total.

Cara TPNW Bekerja

TPNW memiliki karakter yang unik jika dibandingkan dengan konvensi-konvensi pengaturan senjata nuklir yang telah ada sebelumnya, seperti Non-Proliferation Treaty (1968) dan konvensi tentang kawasan bebas-nuklir lainnya. Traktat ini tidak hanya melarang pengembangan, uji coba, pertukaran, penggunaan, dan penyimpanan senjata nuklir bagi negara anggota, tapi juga melarang mereka untuk menjadi ‘host’ bagi negara lain untuk melakukan aktivitas serupa. Selain itu, TPNW juga mengatur kewajiban negara membantu korban yang disebabkan oleh aktivitas nuklir, termasuk di antaranya memberi jaminan kesehatan, psikologis, dan tunjangan ekonomi. 

Secara teknis, negara-negara dapat memilih untuk menghilangkan kepemilikan dan keterlibatan mereka dalam aktivitas senjata nuklir sebelum meratifikasi TPNW atau secara berangsur dan konsisten mengurangi aktivitas tersebut dalam kurun waktu yang telah disepakati. Setelah negara-negara tersebut berhasil melucuti fasilitas senjata nuklirnya, International Atomic Energy Agency (IAEA) akan memberlakukan pengamanan ketat guna menjamin benar-benar tidak ada lagi fasilitas yang tersisa untuk digunakan di masa depan.

Secara prinsip, TPNW bekerja dengan cara kolektif melalui pemberian stigma pada senjata nuklir dan pihak-pihak yang melakukan aktivitas terkait. Sejarah menunjukkan bahwa senjata-senjata yang telah mendapat larangan seiring berjalannya waktu akan semakin kehilangan status politisnya – membuat kebutuhan akan senjata tersebut semakin menurun, perusahaan persenjataan semakin sulit mendapat bantuan dana untuk pengadaan senjata nuklir, dan para investor juga harus berpikir ulang untuk berinvestasi pada sektor tersebut karena ada reputasi baik yang menjadi taruhan. Dalam jangka panjang, berkurangnya signifikansi kepemilikan senjata nuklir secara global dapat mewujudkan cita-cita diciptakannya TPNW, yakni pemusnahan total senjata nuklir yang mengancam perdamaian dunia.

Sifat kolektif TPNW tidak hanya terletak pada stigmatisasi senjata nuklir, tapi juga pada efektivitas pemberlakuannya. TPNW hanya dapat secara hukum mengikat negara-negara yang telah melakukan ratifikasi, terlepas traktat itu sendiri telah resmi berlaku sejak tanggal 21 Januari 2021. Sehingga, meskipun terhitung hari ini (9/8/2021) sudah ada 55 negara yang meratifikasi, butir-butir perjanjian yang termuat di dalam TPNW belum bisa berlaku secara menyeluruh. Hal inilah yang kemudian mendorong urgensi diratifikasinya TPNW oleh lebih banyak negara, terutama mereka yang memiliki kapasitas senjata nuklir yang besar dan secara aktif mengembangkannya, seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, Perancis, dan Inggris. 

Namun, bukan berarti dukungan dari negara-negara yang tidak memiliki kapasitas serupa tidaklah penting. Senjata nuklir merupakan bencana yang dapat menimpa semua pihak tanpa diskriminasi. Dampak yang disebabkan oleh senjata nuklir tidak hanya memilih mereka yang mengibarkan perang, tapi juga mencakup rakyat sipil yang tidak bersalah dan lingkungan untuk jangka waktu yang panjang. Kompetisi pengembangan senjata nuklir juga mengakibatkan senjata ini semakin diminati sebagai strategi pertahanan negara – seperti yang pernah diungkapkan oleh PM Inggris, Boris Johnson, ketika mengumumkan keputusan untuk menambah hulu ledak nuklir Inggris. Sehingga, bukan tidak mungkin senjata ini akan diluncurkan jika perang terjadi di masa depan. Bukankah sejarah sudah membuktikannya?

Di samping itu, dukungan secara masif dari berbagai negara dapat menguatkan relevansi dari nilai-nilai yang terkandung dalam TPNW. Negara yang sebelumnya percaya bahwa senjata nuklir merupakan solusi pertahanan yang baik dapat berubah pikiran setelah menyaksikan banyaknya negara yang memutuskan untuk meratifikasi TPNW. Bukan hanya sekedar tidak lagi melihat senjata nuklir sebagai solusi, negara-negara ini juga dapat berempati kepada pihak-pihak yang ingin bebas dari momok tersebut dan merasa turut bertanggung jawab atas kemaslahatan orang banyak.  Hal ini terbukti saat Perancis dan Cina bergabung ke dalam Non-Proliferation Treaty setelah beberapa dekade sebelumnya menunjukkan pertentangan.

Peran Indonesia

Indonesia tidaklah terkecuali. Indonesia merupakan salah satu saksi sejarah dan bagian dari sekelompok negara yang paling awal membubuhkan tanda tangan untuk TPNW pada tanggal 20 September 2017. Namun, hingga saat ini tindakan tersebut belum dilanjutkan oleh ratifikasi. 

Pelucutan senjata nuklir seharusnya menjadi salah satu perhatian dan komponen penting dari politik luar negeri Indonesia yang seyogianya diikuti dengan tindakan nyata, yakni ratifikasi. Ratifikasi oleh Indonesia memiliki nilai dan pengaruh yang sangat signifikan bagi TPNW – meskipun saat ini Indonesia belum memiliki kapasitas senjata nuklir. Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah populasi sebanyak 260 juta jiwa. Jika diakumulasikan dengan total 1,08 miliar warga yang dinaungi oleh 55 negara peratifikasi TPNW lainnya, maka buah ratifikasi Indonesia dapat melindungi 1,34 miliar manusia dari ancaman perang nuklir di masa depan. 

Indonesia juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi internasional bergengsi, termasuk di antaranya G20 dan Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFEZ). Bergabungnya Indonesia ke dalam TPNW dapat mempengaruhi negara-negara lain untuk turut mengambil langkah serupa. Sebagai anggota SEANWFEZ sendiri, ratifikasi TPNW dapat dilihat sebagai upaya perluasan global dari tujuan awal dibentuknya organisasi tersebut, yakni mewujudkan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir. Terlebih, jika dilihat dari perspektif keamanan, Indonesia bukanlah negara yang dapat duduk tenang bila penggunaan senjata nuklir menjadi lumrah di masa depan. Indonesia rawan akan konflik perbatasan serta aktivitas kejahatan transnasional. Alam Indonesia yang luas dan kaya juga akan sangat terdampak oleh segala bentuk aktivitas senjata nuklir.

Pada hakikatnya, meratifikasi TPNW bukanlah sekedar tentang kewajiban Indonesia untuk menjaga ketertiban dunia dan perdamaian abadi seperti yang telah diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945, tapi juga merupakan bentuk tuntutan akan hak seluruh warga negara atas ruang hidup yang aman dan bebas dari ancaman eksistensial hingga generasi-generasi yang akan datang.

Referensi

 

Booth, W. (2021). Boris Johnson’s vision for post-brexit ‘Global Britain’ includes more nuclear weapons. Washington Post. https://www.nytimes.com/2020/10/25/world/americas/nuclear-weapons-prohibition-treaty.html

 

Gladstone, R. (2020). Treaty to prohibit nuclear weapons passes important threshold. The New York Times. https://www.nytimes.com/2020/10/25/world/americas/nuclear-weapons-prohibition-treaty.html

 

How the treaty works. (2021). ICAN. https://www.icanw.org/how_the_tpnw_works

 

Lovold, M. (2021). Why does the nuclear ban treaty matter. International Committee of the Red Cross. https://www.icrc.org/en/document/why-nuclear-ban-treaty-matters

 

Marin-Bosch, M.  A nuclear weapons-free world: is it achievable? United Nations. https://www.un.org/en/chronicle/article/nuclear-weapons-free-world-it-achievable


Penulis : Cut Intan Auliannisa Isma

Commentaries : Bayang-Bayang Ancaman Senjata Nuklir 76 tahun setelah Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki

Dilansir dari studi yang dilaksanakan oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), terhitung awal tahun 2021, ada sekitar 13.080 senjata nuklir di dunia. Jumlah ini merupakan akumulasi dari kepemilikan senjata nuklir oleh 9 negara, baik negara yang memiliki senjata nuklir secara sah (nuclear weapons states), yakni kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, maupun yang tidak sah (states with nuclear weapons) seperti India, Pakistan, Israel dan Korea Utara. Walaupun jumlah ini merupakan sebuah penurunan dari awal tahun 2020, terdapat peningkatan jumlah senjata nuklir yang saat ini dikerahkan dengan kekuatan operasional dari 3.720 hingga 3.825 (Global Nuclear Arsenals Grow as States Continue to Modernize, 2021). Sekitar 2.000 diantaranya yang merupakan milik Rusia atau Amerika Serikat masih disiagakan dan dapat setiap saat digunakan. Jumlah yang tidak sedikit ini merupakan sebuah peringatan bahwa ancaman senjata nuklir masih membayang-bayangi dunia, 76 tahun setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. 

Pengembangan yang dilakukan oleh negara-negara pemilik senjata nuklir juga dapat dilihat dari penambahan arsenal dan peningkatan kualitas senjata nuklir mereka. Tiongkok baru-baru ini dilaporkan telah secara berangsur meningkatkan ukuran dan mendiversifikasikan komposisi arsenal nuklir mereka (China, 2021). Hal ini menambah kekhawatiran akan stabilitas dan keamanan internasional. Selain itu, mengacu Integrated Review of Security, Defence, Development and Foreign Policy yang dirilis pada bulan Maret 2021, Inggris melaporkan bahwa mereka memutuskan untuk meningkatkan jumlah persediaan hulu ledak nuklir sebanyak 260. Inggris menyatakan keputusan ini dilakukan karena kekhawatiran atas meningkatnya ancaman kontemporer, khususnya persaingan global dan proliferasi teknologi baru. Langkah yang dilakukan Inggris merupakan kemunduran dari janji Inggris pada tahun 2010 untuk mengurangi persediaan menjadi di bawah 180 pada pertengahan 2020. 

Ketegangan geopolitik yang muncul antara negara-negara pemilik senjata nuklir juga dapat berperan pada meningkatnya ancaman senjata nuklir. Sebagai contoh, hubungan bilateral Amerika Serikat dan Rusia yang bersitegang, membuat kedua kepala negara tidak ragu untuk menggunakan senjata nuklir mereka apabila kepentingannya terganggu. Walaupun pada Juni 2021 ini Presiden Putin dan Presiden Biden telah setuju bahwa “nuclear war cannot be won and must never be fought (perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan oleh karena itu tidak boleh sampai dilakukan),” setahun lalu ketegangan kedua negara memunculkan narasi bahwa penggunaan senjata nuklir sangat memungkinkan. Mengamati kejadian ini, CEO NTI Ernest J. Moniz dan mantan senator Sam Nunn berpendapat bahwa “Not since the 1962 Cuban missile crisis has the risk of a U.S-Russian confrontation involving the use of nuclear weapons been as high as it is today (konfrontasi antara AS dan Rusia berkaitan dengan senjata nuklir tidak pernah setinggi hari ini sejak krisis misil Kuba pada tahun 1962).” 

Kekhawatiran terhadap ancaman senjata nuklir juga didorong oleh kurangnya transparansi beberapa negara pemilik senjata nuklir. SIPRI memaparkan bahwa ketersediaan informasi tentang status persenjataan nuklir yang dapat dipercaya antara negara-negara pemilik senjata nuklir bervariasi. AS dan Inggris telah mengeluarkan cukup banyak informasi mengenai kemampuan nuklir mereka masing-masing. Sama seperti AS dan Inggris, Prancis juga melaporkan beberapa informasi penting mereka. Rusia menolak untuk membagi informasi persenjataan nuklir mereka secara terbuka, walaupun ada indikasi bahwa Rusia mengabarkan beberapa informasi ini kepada AS. Studi SIPRI juga menunjukkan bahwa Tiongkok lebih terbuka dalam melaporkan kekuatan persenjataan nuklir mereka dibandingkan beberapa tahun lalu, meskipun tidak diimbangi dengan informasi mengenai rencana pengembangannya di masa depan yang masih sangat sedikit. India dan Pakistan telah membuat pernyataan tentang uji coba rudal mereka, namun informasi tentang status atau ukuran persenjataan nuklir yang dimiliki tetap dirahasiakan. Sama seperti India dan Pakistan, Korea Utara juga mengakui uji coba rudal dan senjata nuklir telah dilaksanakan, namun tidak memberikan informasi mengenai kapasitas senjata nuklir mereka. Sesuai dengan kebijakan lamanya, Israel hingga saat ini tidak mengomentari persenjataan nuklir mereka. Kurangnya transparansi dari negara-negara pemilik senjata nuklir dan tidak terprediksinya ketegangan geopolitik yang mungkin muncul, berperan terhadap meningkatnya rasa takut akan munculnya perang nuklir lain. 

Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan sekitar 129.000 hingga 226.000 orang yang kebanyakan adalah warga sipil merupakan pengingat betapa destruktif dan berbahayanya perang nuklir. Harapan para warga sipil bergantung pada rasionalitas kepala negara untuk terus mengingat dampak dari perang nuklir dan menahan diri untuk menggunakan senjata nuklir yang dimiliki sebagai senjata perang. Akan tetapi kekhawatiran muncul di tahun 2018 silam ketika Donald Trump yang saat itu masih menjabat sebagai presiden AS, tidak ragu melontarkan ancaman untuk menyerang negara lain dengan senjata nuklirnya. Trump menanggapi pernyataan pemimpin Korea Utara –Kim Jong Un – bahwa “[the] Nuclear Button is always on my table (Tombol Nuklir selalu berada di atas meja saya), dengan cuitan “…I too have a Nuclear Button, but it is a much bigger and more powerful than his, and my Button works! (Saya juga memiliki Tombol Nuklir, yang lebih besar dan lebih kuat dari miliknya, dan Tombol saya bekerja).” Tidak ragunya kepala negara dalam melontarkan ancaman untuk menggunakan Tombol Nuklir mereka dan memulai perang nuklir di abad ke 21, terus mengingatkan bahwa selama senjata nuklir masih ada dan terus dikembangkan maka dunia masih berada dibawah ancaman perang nuklir.

Studi survei yang dilaksanakan oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) terhadap lebih dari 16.000 generasi milenial (responden berumur antara 20-35) di 16 negara yang dibagi menjadi negara yang mengalami perang atau konflik dan negara yang tidak, menunjukkan bahwa kekhawatiran akan pecahnya perang nuklir masih membayangi generasi milenial. Menurut hasil studi yang bertajuk Millennials on War, 54% responden meyakini bahwa senjata nuklir masih akan digunakan sebagai alat perang dalam 10 tahun ke depan. Mayoritas responden (84%) menunjukkan oposisi mereka terhadap penggunaan senjata nuklir dalam keadaan apapun. Sekitar 64% responden setuju bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir harus mengeliminasi senjata nuklir mereka, dan 59% responden setuju bahwa negara yang tidak memiliki senjata nuklir tidak perlu memilikinya. 

Referensi

Biden and Putin agree: “Nuclear war cannot be won and must never be fought.” (2021). DW. https://www.dw.com/en/biden-and-putin-agree-nuclear-war-cannot-be-won-and-must-never-be-fought/a-57921072

China. (2021). NTI. https://www.nti.org/learn/countries/china/

Global Britain in a competitive age: The Integrated Review of Security, Defence, Development and Foreign Policy. (2021). HM Government. https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/969402/The_Integrated_Review_of_Security__Defence__Development_and_Foreign_Policy.pdf

Global nuclear arsenals grow as states continue to modernize. (2021). Stockholm International Peace Research. https://www.sipri.org/media/press-release/2021/global-nuclear-arsenals-grow-states-continue-modernize-new-sipri-yearbook-out-now

Løvold, M. (2020). Lessons from the ICRC’s Millennials on War Survey for Communication and Advocacy on Nuclear Weapons. Journal for Peace and Nuclear Disarmament, 3(2), 410–417. https://doi.org/10.1080/25751654.2020.1859216

Millennials on War. (2020). International Committee of the Red Cross.

Moniz, E. J., & Nunn, S. (2019). The Return of Doomsday: The New Nuclear Arms Race -and How Washington and Moscow Can Stop It. Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/articles/russian-federation/2019-08-06/return-doomsday

SIPRI Yearbook 2019. (2019). https://www.sipri.org/yearbook/2019/06

Trump to Kim: My nuclear button is “bigger and more powerful.” (2018). BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-42549687

United Kingdom. (2021). NTI. https://www.nti.org/learn/countries/united-kingdom/


Penulis : Nabilah Nur Abiyanti

Commentaries : Belajar dari Tragedi Kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki

Senjata nuklir adalah senjata pemusnah massal yang memiliki dampak paling dahsyat dibandingkan dengan senjata-senjata pemusnah massal yang lain. Senjata ini memiliki daya ledak yang sangat besar dan memberikan dampak yang sangat menghancurkan serta mematikan bagi umat manusia dan lingkungan sekitar. Seperti akibat dari ledakan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki yang dapat meluluh-lantakan sebuah kota, menghancurkan bangunan, merusak lingkungan sekitar, serta menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Dampak senjata nuklir bahkan dapat terus memberikan pengaruh jangka panjang kepada umat manusia maupun lingkungan alam di area tersebut. Ironisnya senjata nuklir adalah satu-satunya senjata pemusnah massal dan tidak manusiawi yang memiliki status legal sampai diadopsinya Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons, TPNW) tahun 2017.

Sepanjang sejarah, senjata nuklir baru digunakan dalam pertempuran antara kekuatan Sekutu melawan kekuatan Poros pada Perang Dunia Kedua. Pada pagi hari, di tanggal 6 Agustus 1945, pesawat Enola Gay yang diterbangkan oleh pilot bernama Paul W. Tibbets melintasi kota Hiroshima dan menjatuhkan sebuah bom atom ke pusat kota industri yang padat penduduk tersebut. Hasilnya adalah kehancuran yang masif. Mengutip dari ICAN, bom atom yang dijatuhkan tersebut memiliki daya ledak setara dengan 15.000 ton TNT, menyebabkan 140.000 penduduk meninggal di akhir tahun 1945, dan 70 persen bangunan rata dengan tanah. Sementara data dari Pemerintah Kota Hiroshima menyebutkan sebanyak 320.000 warga terdampak, di antaranya 118.000 warga meninggal pada hari itu juga. Pada waktu itu, penduduk Hiroshima berjumlah sekitar 350.000 jiwa. 

Tiga hari kemudian, pasukan Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom yang bernama “Fat Boy” ke kota Nagasaki yang berjarak 410 kilometer dari kota Hiroshima dan mengakibatkan sekitar 74.000 warga sipil meninggal dunia serta menghancurkan berbagai bangunan dan infrastruktur kota. Berbagai sumber melaporkan bahwa hanya dalam hitungan detik, sebuah ledakan bom atom dapat menyebabkan terbentuknya awan menyerupai kubah jamur setinggi 13 kilometer menjulang ke udara kota Hiroshima dan Nagasaki. Sesudahnya, gelombang panas menyapu kota menyebabkan kebakaran dan diikuti hujan abu yang mengguyur seluruh kota.

Seorang saksi bernama Tsutomu Yamaguchi ingat betul betapa mengerikan kejadian di hari itu. Mengutip dari dw.com, pagi itu Yamaguchi dalam perjalanan ke tempat kerja, tiba-tiba dia melihat sambaran kilat yang sangat menyilaukan dan kemudian terdengar ledakan yang sangat dahsyat. Ia mengalami luka bakar yang parah dan menyaksikan situasi di sekitarnya yang sangat kacau. Gedung perkantoran, rumah, jembatan dan bangunan lainnya hancur berantakan, membuat kota industri Hiroshima hampir rata tanah dan korban dengan luka bakar yang mengerikan bergelimpangan. Pengalaman serupa juga disampaikan oleh para hibakusha, sebutan bagi para korban selamat yang terdampak efek bom atom Hiroshima dan Nagasaki, diantaranya Matsushima Keijiro, Ogura Keiko, Takahashi Akihiro, dan beberapa lainnya. 

Yamaguchi merupakan seorang hibakusha yang unik, karena mengalami dua kali peristiwa pengeboman dua kota di negeri Sakura itu. Tidak menyangka akan adanya petaka serupa, mengutip dari Deutsche Welle (DW), Yamaguchi memutuskan kembali ke kampung halaman di Nagasaki pada tanggal 8 Agustus 1945 dimana keesokan harinya pasukan Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom di kota kelahirannya. Lagi, dia mengalami secara langsung kejadian mengerikan dalam sejarah hidupnya, bahkan dalam sejarah umat manusia di seluruh dunia. 

Tidak selesai di hari itu saja, ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki juga menyisakan berbagai penderitaan bagi hibakusha untuk jangka waktu yang lama. Paparan radiasi yang disebarkan menimbulkan penyakit-penyakit seperti kanker, leukimia, kerusakan organ, risiko keguguran tinggi, dan dampak psikologis berkepanjangan yang harus ditanggung oleh para penyintas. Dampak radiasi internal dari nuklir ini juga menjadi indikator yang diakui oleh Kementerian Kesehatan Jepang untuk menjadi basis pemberian kompensasi kepada para penyintas. Selain itu, para hibakusha juga harus mengalami diskriminasi sosial seumur hidupnya akibat stigma sebagai pembawa gen cacat dan penyakit. Selama berpuluh tahun, para hibakusha kesulitan untuk mencari pasangan dan diterima di lingkungan pekerjaan layaknya warga Jepang biasa.

Laporan dari Economic Stabilization Board di tahun 1949 juga menunjukkan kerugian ekonomi yang cukup fantastis akibat peristiwa tersebut. Kerugian yang ditimbulkan oleh kerusakan bangunan, infrastruktur, jalan, dan fasilitas komunikasi di Hiroshima dan Nagasaki mencapai total $17.682.000 (kurs 1947: 1 dolar AS/50 yen). Besaran ini belum termasuk biaya rehabilitasi kota, bantuan sosial bagi korban, dan pemulihan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan tidaklah main-main. Radiasi dari bom atom menyebabkan pencemaran bagi lahan dan hasil pertanian, perikanan, dan air bersih yang menjadi konsumsi sehari-hari tidak hanya oleh warga Hiroshima dan Nagasaki, tapi juga mencakup wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Radiasi ini menempel selama bertahun-tahun lamanya, menyebabkan kelangkaan sumber pangan lokal yang layak dikonsumsi.

Untuk mengenang sekaligus selalu mengingatkan masyarakat Jepang dan juga masyarakat global, maka pemerintah Jepang mendirikan 2 buah museum. Jika anda mengunjungi kota Hiroshima, Jepang, maka anda akan menemukan Hiroshima Peace Memorial Museum, di mana terdapat sebuah monumen peringatan peristiwa peledakan bom atom yang terjadi di kota tersebut 76 tahun yang lalu. Terdapat satu bangunan bernama Gembaku Dome, satu-satunya gedung yang masih tersisa hingga hari ini, menjadi saksi biru peristiwa memilukan di kota industri yang cukup maju di Jepang pada masanya. Sedangkan di kota Nagasaki didirikan Nagasaki Atomic Bomb Museum. Kedua Museum ini menyimpan sisa-sisa reruntuhan, foto, dan dokumen penting lainnya yang menghadirkan realita di masa kelam itu.

Belajar dari peristiwa di dua kota bersejarah di Jepang, penggunaan senjata nuklir di masa mendatang sama sekali tidak dapat dibenarkan secara moral dan kemanusiaan. Dampak yang ditimbulkannya tidak dapat memenuhi dua prinsip utama dari Hukum Humaniter Internasional, yaitu prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Saat senjata nuklir diledakkan, maka akibat dari ledakan itu tidak dapat membedakan siapa atau apa objek yang akan terkena dampaknya, apakah dia pihak dan objek militer atau sipil. Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan bahwa 90 persen korban adalah penduduk sipil yang seharusnya merupakan pihak-pihak yang wajib dilindungi dalam situasi apapun, bahkan dalam situasi perang. Begitupun, ledakan bom nuklir tersebut tidak dapat memilih hanya akan menyasar target militer, karena terbukti sebagian besar gedung dan infrastruktur sipil rusak dan hancur akibat pengeboman tersebut.

Penggunaan senjata nuklir di dua kota ini juga memberi pelajaran berharga bagaimana penggunaannya telah memberikan dampak yang tidak proporsional untuk mencapai tujuan militer yang sah. Dampak pengeboman tersebut telah menyebabkan kesakitan yang luar biasa dan tidak perlu, telah menghilangkan korban nyawa yang sangat masif, dan korban harta benda yang tak ternilai. Dampaknya pun tidak hanya dirasakan pada saat itu, tetapi terus berlanjut hingga puluhan tahun setelahnya. 

Lebih dari tujuh dasawarsa sejak bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, derita kemanusiaan yang ditimbulkannya masih dirasakan dan mengusik rasa kemanusiaan kita. Tetapi, kesadaran untuk menghapuskan ancaman kemanusiaan tersebut dari muka bumi ternyata masih jauh dari harapan. Umat manusia masih hidup dalam bayang-bayang ancaman kepunahan dengan hampir 15.000 bom nuklir yang ada di dunia ini. Hadirnya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir pada tahun 2017 memberi secercah harapan bahwa dunia yang bebas dari bayang-bayang senjata nuklir bukan sebuah ilusi, sekalipun untuk mencapainya bukan perjalanan yang pendek dan mudah.

Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki memberi peringatan kepada kita untuk jangan pernah mengulang petaka kemanusiaan ini. Penting untuk meresapi secara mendalam, satu pesan penting yang tertulis di dekat Bel Perdamaian di Museum Hiroshima, ”We dedicate this bell as a symbol of Hiroshima Aspiration. Let all nuclear arms and wars be gone, and the nations live in true peace!” Pesan ini semestinya menyadarkan kita akan urgensi pelarangan senjata dan perang nuklir agar umat manusia dapat hidup dalam perdamaian yang hakiki.

Referensi

Bugnion, Francois. (1995). “Remembering Hiroshima. International Review of the Red Cross, No. 306. https://www.icrc.org/en/doc/resources/documents/article/other/57jmge.htm

Higan-No-Kai, Hiroshima. (1964). Hiroshima Peace Bell. https://travel.gaijinpot.com/hiroshima-peace-bell/

Hiroshima and Nagasaki Bombings. (2021). ICAN. https://www.icanw.org/hiroshima_and_nagasaki_bombings

Hiroshima’s Path to Reconstruction. (2015). Hiroshima Prefecture and The City of Hiroshima.

Kisah Tsutomu Yamaguchi Selamat dari Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki. (2020).

https://www.dw.com/id/tsutomu-yamaguchi-selamat-dari-bom-hiroshima-dan-nagasaki/a-54463122

Naono, Akino (2019). “The Origins of ‘Hibakusha’ as a Scientific and Political Classification of the Survivor”. Japanese Studies 39(3): 333-352.

Rothman, L. (2017). After the Bomb: Survivors of the Atomic Blast in Hiroshima and Nagasaki Share Their Stories. TIME. https://time.com/after-the-bomb/

Solomon, F. & Marston, R.  (1986). The Medical Implications of Nuclear War. National Academy of Sciences. http://www.nap.edu/catalog/940.html


Penulis : Ririn Tri Nurhayati

Commentaries : Jalan Terjal Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir

Bencana yang diakibatkan oleh ledakan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus untuk menghentikan perang di Pasifik adalah sebuah tragedi besar dalam sejarah umat manusia. Korban jiwa, skala kerusakan serta dampak yang ditimbulkan oleh ledakan senjata nuklir tersebut seolah membangunkan masyarakat internasional dari mimpi buruk dan mendorong tekad untuk memusnahkan senjata tersebut. Seruan untuk menghapuskan sepenuhnya senjata nuklir serta untuk mendirikan sebuah badan untuk menangani senjata nuklir menjadi resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB setelah lembaga dunia tersebut didirikan.

Tetapi, tekad untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran ternyata tidak cukup kuat untuk membebaskan dunia dari senjata nuklir. Terbukti, resolusi PBB untuk menghapuskan senjata nuklir tidak menghalangi negara-negara besar untuk mengembangkan senjata nuklir mereka. Tiga tahun setelah resolusi PBB dikeluarkan, Uni Soviet melakukan uji coba senjata nuklirnya di  Semipalatinsk, Kazakhstan dan menjadi negara kedua yang memiliki senjata nuklir. Inggris menyusul Uni Soviet dengan melakukan uji coba senjata nuklir di Australia pada tahun 1952, diikuti oleh Perancis di Pasifik Selatan tahun 1960 dan Cina di Provinsi Sinkiang pada tahun 1962. Praktis kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB identik dengan negara-negara yang memiliki senjata nuklir.

Kekhawatiran akan munculnya persaingan dalam pengembangan senjata nuklir mendorong munculnya upaya-upaya untuk membatasi uji coba senjata nuklir seperti Perjanjian Antartika 1959 yang melarang uji coba nuklir maupun penimbunan limbah radioaktif di Antartika maupun Perjanjian Uji Coba Nuklir Parsial 1963 yang melarang uji coba nuklir di atmosfer, luar angkasa dan di bawah air. Sementara itu, berbagai protes terhadap pengembangan senjata nuklir mulai bermunculan. Di tengah-tengah meningkatnya persaingan Timur-Barat, sekelompok ilmuwan ternama yang dipelopori oleh Albert Einstein dan Bertrand Russell mengeluarkan manifesto yang mengingatkan akan bahaya perang nuklir dan mendesak semua negara untuk menyelesaikan perselisihan secara damai. Demonstrasi-demonstrasi menentang senjata nuklir juga berlangsung di berbagai negara. Pada tahun 1958 terbentuk Kampanye untuk Campaign for Nuclear Disarmament dengan simbol CND, yang sekarang dikenal sebagai simbol perdamaian.

Upaya internasional untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dengan visi untuk akhirnya menghapuskannya muncul dalam bentuk Perjanjian Non Proliferasi Nuklir atau NPT (Treaty on the Nuclear Non-Proliferation) tahun 1968. Perjanjian ini ditopang oleh 3 pilar yakni non proliferasi, perlucutan senjata, dan penggunaan energi nuklir untuk tujuan-tujuan damai. Melalui NPT, negara-negara yang hingga tahun 1968 belum melakukan uji coba senjata nuklir, dilarang mengembangkan atau memiliki senjata nuklir, sementara kelima negara yang telah melakukannya, berhak memiliki senjata nuklir meski tetap harus menunjukkan itikad untuk menghapuskannya. 

Sebagai sebuah rezim nuklir internasional, NPT relatif efektif untuk mencegah pengembangan atau kepemilikan senjata nuklir oleh lebih banyak negara, meskipun gagal menghalangi negara-negara tertentu seperti Israel, India, Pakistan dan Korea Utara. Sebagian negara-negara ini tidak menandatangani NPT. Disamping itu,  negara-negara pemilik senjata nuklir juga tidak pernah menunjukkan komitmen atau itikad baiknya untuk secara bertahap mengurangi dan akhirnya menghapuskan senjata nuklir dari doktrin pertahanan mereka. Berbagai negosiasi perlucutan senjata yang dilakukan cenderung lebih dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan kepemilikan senjata nuklir daripada mengurangi, apalagi menghapuskannya.

Konsekuensinya, sampai saat ini, hampir 15 ribu hulu ledak nuklir masih mengancam dan membayangi masa depan umat manusia, lebih dari 75 tahun sejak masyarakat internasional bertekad untuk menghapuskannya. Bahkan terdapat kecenderungan ancaman senjata nuklir semakin riil dan tidak lagi merupakan kemustahilan (lihat tulisan-tulisan berikutnya).

Diadopsinya Perjanjian Internasional Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons) yang dikenal dengan TPNW pada tahun 2017 menjadi harapan baru bagi umat manusia untuk hidup tanpa dibayangi ancaman senjata nuklir. TPNW bukan terminal terakhir dari upaya untuk mencapai dunia bebas dari senjata nuklir. Sebaliknya, TPNW merupakan awal dari perjalanan yang mungkin masih akan sangat panjang bagi terwujudnya dunia bebas senjata nuklir. Tetapi perjalanan harus dimulai. Bisa jadi, kita tidak akan menikmati dunia yang kita angankan itu, tetapi tidak berlebihan rasanya untuk berharap agar anak cucu kita yang akan hidup lebih damai bebas dari bayang-bayang ancaman senjata nuklir.

 

Referensi

 

Dowling, S. (2017). The monster atomic bomb that was too big to use. BBC News. https://www.bbc.com/future/article/20170816-the-monster-atomic-bomb-that-was-too-big-to-use

 

From misplaced emblem in London to iconic – the UN General Assembly across 70 years. (2016). United Nations. https://news.un.org/en/story/2016/01/519682-feature-misplaced-emblem-london-iconic-hall-un-general-assembly-across-70-years

 

People’s history of CND – demonstrators in Trafalgar Square in 1959. Campaign for Nuclear Disarmament. https://cnduk.org/peoples-history-of-cnd-demonstrators-in-trafalgar-square-1959/

 

SIPRI Yearbook 2021. (2021). Stockholm International Peace Research Institute. https://www.sipri.org/yearbook/2021


Writer : Muhadi Sugiono

IIS Fortnightly Review #6 | Edisi 16 – 30 Juni 2021

Our sixth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Jokowi Issued Presidential Decree on Ranham, Omit Past Human Rights Violations (N. Raharema)
• Democracy Day to Demand Reforms in Nigeria (D. Laras)
• Extension of G20 Debt Suspension Service Initiative (DSSI): “A Double-Edged Sword in Disguise?” (P. Ega)
• ASEAN-EU Comprehensive Air Transport Agreement (AE CATA): A Novel Regionalism Approach to Keep the Aviation Industry Afloat Amidst COVID-19 (S. Hanief)

Access the review through : https://simpan.ugm.ac.id/s/VvSg3AJCOPVs4Sf

IIS Fortnightly Review #5 | Edisi 1 – 15 Juni 2021

Our fifth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Colombia and Its Growing Mass Movement: “They Can’t Take It Anymore” (V. Winona)
• Why COVID-19 Vaccination in Poorer Nations Has Slowed, Posing Global Risks (S. Aryawangsa)
• How COVID-19 Pandemic Could Impede The Catch-Up of Poor Countries With Rich Ones (M. Yansverio)
• Global Nursing Shortage and Health Inequality (N. Raharema)

Our Fortnightly Review is also mobile friendly! Access the review throught : https://simpan.ugm.ac.id/s/GnuzILvb6SfY5mL

IIS Fortnightly Review #4 | Edisi 16 – 31 Mei 2021

Our fourth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• ‘Social Media is The Mass Protest’: Solidarity with Palestinians Grows Online (M. Yansverio)
• Drown in Water, Still Die of Thirst: Jakarta’s Water Issues (R. Puspita)
• US’ Biden Administration Approved $735 Million Weapons Sale to Israel (N. Raharema)
• ‘Diggin in, Myanmar’s Military Junta Detains US Journalist’: A Sign of Government Weakness (F. Gabriel)

Access the review throug : https://simpan.ugm.ac.id/s/NXd5uTKVnbsIegU

IIS Fortnightly Review #3 | Edisi 1 – 15 Mei 2021

IIS Fortnightly Review edisi 1-15 Mei 2021 dapat diunduh melalui tautan berikut : https://simpan.ugm.ac.id/s/1Y2cBVRupMdlYU3

Beyond The Great Wall #14 | Dinamika Geoekonomi Belt and Road Initiative

Jumat (23/04) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan Forum Diskusi Beyond The Great Wall (BTGW) edisi ke-14. Dalam kesempatan tersebut, IIS UGM mengundang Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, yang juga sedang menjalani Studi Doktoral dengan disertasi mengenai kebijakan luar negeri Tiongkok. Probo didampingi oleh Brigitta Kalina, staf divisi diseminasi IIS UGM yang berperan sebagai moderator.

Dalam kesempatan tersebut, Probo membawakan materinya yang berjudul “Belt and Road Initative RRT : Kemunculan dan Perluasan Orde Developmentalisme di Indo-Pasifik Tandingan Liberalisme AS”. Lewat materinya tersebut, Probo menganalisa peluang berkembangnya BRI sebagai wujud Developmentalisme RRT di kawasan Indo-Asia-Pasifik, dan membandingkannya dengan liberalisme a la Amerika Serikat, yang mengalami kemerosotan di era Presiden Donald Trump.