Entries by iis.fisipol

DPD #2

Letter of opposition or support. Ini adalah metode #2 dari 198 metode nirkekerasan a la Gene Sharp. Ia masuk dalam kategori “protes dan persuasi.”
.
Simak 196 metode nirkekerasan lainnya di #DamaiPangkalDamai, setiap Senin malam, melalui @iis_ugm

 

IIS Fortnightly Review #6 | Edisi 16 – 30 Juni 2021

Our sixth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Jokowi Issued Presidential Decree on Ranham, Omit Past Human Rights Violations (N. Raharema)
• Democracy Day to Demand Reforms in Nigeria (D. Laras)
• Extension of G20 Debt Suspension Service Initiative (DSSI): “A Double-Edged Sword in Disguise?” (P. Ega)
• ASEAN-EU Comprehensive Air Transport Agreement (AE CATA): A Novel Regionalism Approach to Keep the Aviation Industry Afloat Amidst COVID-19 (S. Hanief)

Access the review through : https://simpan.ugm.ac.id/s/VvSg3AJCOPVs4Sf

[RECAP] Beyond the Great Wall #15: Transforming Perceptions about China: The Role of Culture and Mass Media

On Friday (25/06), the Institute of International Studies UGM held the 15th edition of Beyond the Great Wall Forum, titled “Transforming Perceptions about China: The Role of Culture and Mass Media.” In this edition, BTGW was held online via the Zoom Meetings platform and invited two speakers. First, M. Habib Pashya, an assistant researcher of the International Relations department in Universitas Islam Indonesia, presented “Efforts to Improve China’s Bad Reputation in Indonesia through the Confucian Institute.” The second speaker is Aucky Adi Kurniawan, a student from Universitas Muhammadiyah Malang and researcher in Indonesia International Studies Academic Utilization Community, who presented “The Role of Chinese and Western Mass Media in Framing the Uyghur Conflict.” The moderator for this discussion was Indrawan Jatmika, staff of the Research Division in IIS UGM.

Whether it is in Indonesia or at the global level, people’s perception of China is often dominated by doctrines constructed from the West—which lens has been focused on China’s negative side. Responding to this, China is not staying still. Pashya stated that China had been actively engaging with cultural diplomacy since the Cold War era through his presentation. This is because China realizes that China’s political and economic power was relatively weak at the time. China’s cultural diplomacy is enforced through various programs, such as student exchange programs, international events such as the Beijing Olympic of 2008, social campaigns through mass media and radio, international aid such as the Belt and Road Initiative, and by establishing the Confucian Institute in countries all around the world. The Confucian Institute is aimed to promote the Mandarin language and Chinese culture globally. Right now, there are about 500 Confucian Institutes in almost 140 countries—including Indonesia. In Indonesia, the existence of the Confucian Institute has spread massively, especially after Confucianism is recognized as one of the state’s religions during Gus Dur’s presidency. The cultural, diplomatic strategy through the Confucian Institute is done along with the worsening of China’s reputation in Indonesia, especially with the stigmatization against communism and events such as the G30S and the 98 crisis. Essentially this strategy succeeds in bringing a more positive image about China in Indonesia—especially with the emergence of various collaborations with several universities and Muslim organizations. However, in 2019, negative perceptions about China rise significantly because of the Uyghur conflict, problems in the South China Sea, and the COVID-19 pandemic.

Focusing on media studies, through his presentation, Aucky explained that basically, “who controls the media, controls the world.” This is what Aucky calls the key behind China’s vigorous efforts in a media campaign, using media as a tool to fix its political image—especially about the Uyghur conflict. The Uyghur conflict has a long and extensive history; it is a minority ethnic group based in Xinjiang, often depicted by Western media as victims of genocide done by the Chinese government. There are many reports about the existence of concentration camps in Xinjiang intentionally built by the Chinese government to brainwash the Uyghur minorities to become supporters of the Chinese Communist Party (CCP). As a response, the CCP, through the Global Times, a media corporation under its wing, released several news reports framing the Uyghur conflict as a separatist movement. Hence, the Chinese government needs to take serious actions against such threats. Framing is done by publishing stories and news such as “Allegedly Missing Uyghurs Found Living Normally,” indicating that the Uyghur minority in China live normally—the total opposite of Western media reports. Such news is also used to counter stories published by media such as the New York Times, a media company under the wing of the US government, such as “Inside China’s Push to Turn Muslim Minorities into an Army of Workers.” Using the theoretical framework of constructivism and framing model analysis in journalism, Aucky stated that it is evident how mass media is used as a political instrument and a tool for propaganda, both by China and the West, especially regarding the politicization of the Uyghur problem.


Writer : Brigitta Kalina

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Beyond the Great Wall #15: Transformasi Persepsi terhadap Cina: Peran Budaya dan Media Massa

Pada Jumat (25/06) lalu, Institute of International Studies UGM menyelenggarakan forum Beyond the Great Wall bertajuk “Transformasi Persepsi terhadap Cina: Peran Budaya dan Media Massa”. Edisi ke-15 dari BTGW ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meetings dan menghadirkan 2 pembicara. M. Habib Pashya, asisten riset Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, menjadi pembicara pertama yang memaparkan materi mengenai “Upaya Perbaikan Identitas Cina yang Buruk di Indonesia melalui Institusi Konghucu”. Kedua, forum BTGW kali ini juga dihadiri oleh Aucky Adi Kurniawan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus Peneliti di Indonesia International Studies Academic Utilization Community, dengan materi yang berjudul “Peran Media Massa Cina dan Barat dalam Framing Konflik Uyghur”. Moderator diskusi kali ini adalah Indrawan Jatmika, staf Divisi Riset IIS UGM.

Berbicara mengenai persepsi masyarakat, baik di Indonesia maupun di lingkup global, terhadap Cina, seringkali didominasi oleh doktrin ala Barat—yang selama ini hanya fokus pada sisi negatif Cina. Menanggapi hal tersebut, Cina tidak tinggal diam. Pashya melalui presentasinya menyampaikan bahwa Cina secara aktif melakukan diplomasi budaya sejak perang dingin karena menyadari bahwa kekuatan ekonomi dan politiknya masih lemah di kala itu. Diplomasi budaya Cina dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu pertukaran pelajar, event seperti Beijing Olympic 2008, kampanye melalui media massa dan radio, bantuan internasional seperti Belt and Road Initiatives, serta pendirian institusi Konghucu di berbagai negara. Pendirian institusi Konghucu sendiri biasanya ditujukan untuk mempromosikan Bahasa Mandarin dan budaya Cina ke berbagai penjuru dunia. Hingga saat ini, telah ada setidaknya 500 institusi yang tersebar di 140 negara – termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, keberadaan institusi Konghucu telah tersebar cukup masif, utamanya setelah disahkannya Konghucu sebagai agama di Indonesia pada era Gus Dur. Strategi diplomasi budaya melalui institusi Konghucu ini dilakukan seiring dengan gencarnya persepsi buruk terhadap Cina di Indonesia, utamanya terkait dengan kuatnya label buruk komunisme di Indonesia dan juga peristiwa seperti G30S dan krisis 98. Pada dasarnya, strategi ini berhasil untuk menciptakan persepsi positif di Indonesia – utamanya seiring dengan munculnya berbagai kerjasama dengan berbagai universitas dan organisasi-organisasi Muslim. Namun, di tahun 2019, persepsi negatif terhadap Cina kembali memuncak seiring adanya isu Uyghur, Laut Cina Selatan, serta pandemi COVID-19.

Berfokus pada kajian media, Aucky melalui presentasinya memaparkan bahwa pada dasarnya “who controls the media, controls the world.” Inilah yang disebut Aucky sebagai kunci dari gencarnya upaya Cina untuk memperbaiki citra politiknya melalui media, utamanya terkait dengan konflik Uyghur. Memiliki sejarah yang cukup panjang, Uyghur sebagai etnis yang tinggal di wilayah Xinjiang kerap kali dibingkai—oleh media barat—sebagai genosida yang dilakukan oleh Pemerintah Cina terhadap etnis minoritas. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa terdapat kamp konsentrasi di Xinjiang yang sengaja dibuat oleh Pemerintah Cina untuk mencuci otak mereka yang beretnis Uyghur agar menjadi pro Partai Komunis Cina (PKC). Seolah ingin membantah berita tersebut, PKC melalui Global Times, media yang berada dibawah naungannya, merilis berita-berita tandingan dengan menyatakan bahwa isu Uyghur adalah isu yang terkait dengan gerakan separatisme dan karenanya Pemerintah Cina harus melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah berbagai kegiatan yang mengancam integrasinya. Hal ini dilakukan dengan cara merilis berita “Allegedly Missing Uyghurs Found Living Normally” yang menyatakan bahwa kehidupan masyarakat beretnis Uyghur di Cina berjalan dengan normal, seratus delapan puluh derajat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh media barat. Berita ini juga dirilis untuk membantah tulisan-tulisan yang dirilis oleh New York Times, sebuah media massa yang berada di bawah naungan Pemerintah Amerika Serikat, salah satunya adalah “Inside China’s Push to Turn Muslim Minorities Into an Army of Workers”. Menggunakan landasan konseptual konstruktivisme dan analisis framing model dalam jurnalisme, Aucky menyatakan bahwa dapat dilihat jika media massa pada dasarnya digunakan oleh baik Cina ataupun negara-negara barat sebagai instrumen politik dan propaganda, utamanya terkait politisasi isu Uyghur.


Penulis : Brigitta Kalina

Penyunting : Mariola Yansverio

IIS Fortnightly Review #5 | Edisi 1 – 15 Juni 2021

Our fifth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Colombia and Its Growing Mass Movement: “They Can’t Take It Anymore” (V. Winona)
• Why COVID-19 Vaccination in Poorer Nations Has Slowed, Posing Global Risks (S. Aryawangsa)
• How COVID-19 Pandemic Could Impede The Catch-Up of Poor Countries With Rich Ones (M. Yansverio)
• Global Nursing Shortage and Health Inequality (N. Raharema)

Our Fortnightly Review is also mobile friendly! Access the review throught : https://simpan.ugm.ac.id/s/GnuzILvb6SfY5mL

IIS Fortnightly Review #4 | Edisi 16 – 31 Mei 2021

Our fourth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• ‘Social Media is The Mass Protest’: Solidarity with Palestinians Grows Online (M. Yansverio)
• Drown in Water, Still Die of Thirst: Jakarta’s Water Issues (R. Puspita)
• US’ Biden Administration Approved $735 Million Weapons Sale to Israel (N. Raharema)
• ‘Diggin in, Myanmar’s Military Junta Detains US Journalist’: A Sign of Government Weakness (F. Gabriel)

Access the review throug : https://simpan.ugm.ac.id/s/NXd5uTKVnbsIegU

[RECAP] Webinar on Nonviolent Actions “Whoever Abandons Violence…”

On Thursday, April 29 2021, the Damai Pangkal Damai team, a database project on nonviolent action in Indonesia, alongside with Institute of International Studies UGM, held an online seminar on nonviolent action titled “Barangsiapa Meninggalkan Kekerasan…” (Whoever Abandons Violence). This webinar lasted two days, from the 29th until Friday the 30th, it was held as part of FISIPOL UGM 2021 research grant, publication, and community service program. This forum invited six speakers that represent six biggest nonviolent actions in Indonesia, the speakers for the first day of the event are Mama Aleta Baun (Pokja Dat), Ms Sukinah (Ibu-Ibu Kendeng), dan Arie Utami (Jeda Iklim). Meanwhile, speakers for the second day of the event are Ms. Sumarsih (Aksi Kamisan), Juwita Djatikusumah (Sunda Wiwitan), dan Gendis Syari (Gejayan Memanggil). The webinar on Friday was moderated by Diah Kusumaningrum, a researcher at IIS and lecturer at the Department of International Relations UGM, who also represents the Damai Pangkal Damai team. Meanwhile, on the first of the event, the moderator was Ayu Diasti Rahmawati.

Talking about nonviolent actions in Indonesia, the six speakers have their views regarding how each of their movements interprets nonviolence. On the first day of the webinar, the discussion was about nonviolent resistance on issues of environmentalism in Indonesia. Ms Sukinah, also known as Yu Nah, is part of the Kendeng Women Movement; they met with various public officials several times, both at the regional and local levels. They even went to the Merdeka Palace as part of their protest. These women of Kendeng who participate in the protest event cemented their own feet, making them the frontline of the movement to avoid violence and clashes with the police. For Yu Nah, whose resistance focuses on resisting the development of a cement factory in Kendeng, nonviolent resistance must be interpreted in the day to day context. For example, by stressing that the water people use in the village will be polluted, its existence will become scarce if the limestone mountains are gone. Like Yu Nah, Mama Aleta Baun also convinced women in Mollo by bringing up simple questions such as ‘If we do not protect natural resources, what will we eat? Where are we going to get water?” Aside from those simple questions, Mama Aleta stated that nonviolent action needs to be accompanied by several efforts, such as providing an example, giving time, having enough energy, having the will to sacrifice and be willing to contribute financially for the collective struggle. In addition to that, another critical aspect is the importance to educate the adversary. “The enemy is not there to be defeated, but it is there to be educated”, said Mama Aleta Baun. Lastly, Arie Utami, as a representation of Jeda Iklim, stated that in doing nonviolent actions, it is crucial to create a sense of safety for all the participants so that they are willing to partake in the movement. Because members of the Jeda Iklim movement come from different layers of society, some are still in school; it is crucial to focus on aspects of safety and coordination to mitigate risks. Concerning this, the key to the success of nonviolent resistance in Indonesia is to organize the protest creatively, brief, and coordinate well before the protest.

On the second day of the event, the forum invited Ms Sumarsih, Ms Djuwita Djati, and Gendis Syari to discuss defending human rights. For Ms Sumarsih, Aksi Kamisan, done with the picketing method in front of the presidential palace by wearing black attires, is the ideal form of nonviolent action. In Aksi Kamisan, nonviolent actions were chosen because peaceful methods can attack the opponent’s “moral jiujutsu”.  Around 600 protests have been done, Aksi Kamisan has developed itself into being an educative source for anyone who wants to learn about politics (including the police). Moreover, it has become room for research. Unlike Aksi Kamisan with its picketing method, the Sunda Wiwitan community, led by Ms Djuwita Djati, uses another form of nonviolence by lying down in the middle of the roadblock access to indigenous land that the government are going to grab. Despite experiencing many forms of structural violence due to their beliefs, the Sunda Wiwitan community continue to involve itself in nonviolent resistance because they believe that it can attack the authorities’ moral jiujutsu. In many of their actions, when officers are going to grab their indigenous land or when clashes occur, the Sunda Wiwitan movement started to lay down on the road and sing the Ibu Pertiwi song—symbolizing a sense of connection between the motherland as a biological mother. The nonviolence spirit is also celebrated by the Gejayan Memanggi movement that took place in Yogyakarta in 2019. According to Gendis, the reason why Gejayan Memanggil, whose majority of participants are university students, could be done peacefully is because of three things, which are 1) The location pick of Gejayan, which holds significant meaning, and coordination with local residents—through “kula nuwun”, 2) The emphasis on collective identity and stressing on the idea that violence is not an option, and 3) The form of resistance that leans more towards a political carnival was successful in attracting many parties to join, including those who never participated in a protest before. In this case, Gendis stated that nonviolent and inclusive action coupled with the motivation to create a civil union in a binary political context enabled Gejayan Memanggil to attract broad participation.


Writer : Brigita Kalina

Editor : Mariola Yansverio

[RECAP] Webinar Perlawanan Nirkekerasan “Barangsiapa Meninggalkan Kekerasan…”

Pada Kamis, 29 April 2021 lalu, tim Damai Pangkal Damai, badan pangkalan aksi nirkekerasan di Indonesia, bersama dengan Institute of International Studies UGM menyelenggarakan Webinar Perlawanan Nirkekerasan bertajuk “Barangsiapa Meninggalkan Kekerasan…”. Sebagai rangkaian dari kegiatan dibawah hibah penelitian, publikasi, dan pengabdian kepada masyarakat FISIPOL UGM 2021, webinar ini diselenggarakan selama 2 hari hingga Jumat, 30 April 2021. Webinar perlawanan nirkekerasan kali ini mengundang 6 pembicara yang menjadi perwakilan dari 6 aksi nirkekerasan terbesar di Indonesia, antara lain Mama Aleta Baun (Pokja Dat), Ibu Sukinah (Ibu-Ibu Kendeng), dan Arie Utami (Jeda Iklim) untuk webinar yang diselenggarakan di hari pertama serta Ibu Sumarsih (Aksi Kamisan), Juwita Djatikusumah (Sunda Wiwitan), dan Gendis Syari (Gejayan Memanggil) sebagai pembicara untuk hari kedua. Pada webinar kali ini, Diah Kusumaningrum, peneliti IIS dan dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM yang juga merupakan perwakilan dari tim Damai Pangkal Damai, menjadi moderator pada hari kedua dan ditemani oleh Ayu Diasti Rahmawati sebagai moderator di hari pertama.

Berbicara mengenai aksi nirkekerasan di Indonesia, keenam pembicara memiliki pandangannya tersendiri tentang bagaimana gerakan yang mereka lakukan memaknainya. Di hari pertama, sesi webinar berfokus pada perjuangan aksi di Indonesia untuk melawan upaya perusakan lingkungan. Beberapa kali menemui para pejabat provinsi hingga ke Istana Merdeka, aksi dari Ibu Sukinah (Yu Nah) bersama dengan Ibu-Ibu Kendeng untuk melakukan semen kaki ini dilaksanakan dengan menjadikan ibu-ibu sebagai garda terdepan aksi dalam rangka untuk menghindari kekerasan dan bentrok dengan aparat. Bagi Yu Nah, yang berfokus pada aksi melawan pembangunan pabrik semen di Kendeng, aksi nirkekerasan harus diturunkan pada konteks sehari-hari, seperti dengan menekankan bahwa air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari akan tercemar dan terancam keberadaannya jika gunung kapur hilang. Serupa dengan Yu Nah, Mama Aleta Baun juga meyakinkan para ibu-ibu di Mollo dengan mempertanyakan hal yang sederhana, “Jika kita tidak mempertahankan kekayaan alam, apa yang akan kita makan? Dimana kita akan mendapatkan sumber air?”. Selain pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut, Mama Aleta menyatakan bahwa usaha untuk melakukan aksi nirkekerasan juga harus dibarengi dengan beberapa aspek supaya berhasil, yaitu dengan memberi contoh, mau meluangkan waktu, harus memiliki energi yang cukup, mau berkorban, hingga bersedia untuk mengeluarkan dana sendiri untuk perjuangan bersama ini. Tidak berhenti disitu, poin penting lainnya adalah pentingnya untuk memberikan pelajaran kepada lawan. “Lawan bukan untuk dikalahkan melainkan untuk diubah dan diberi pengetahuan,” ujar Mama Aleta Baun. Terakhir, Arie Utami sebagai perwakilan dari Jeda Iklim menyatakan bahwa dalam melakukan aksi nirkekerasan penting untuk menciptakan rasa aman bagi para partisipan, sehingga mereka mau terlibat dalam aksi tersebut. Karena anggota dari Jeda Iklim berasal dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang masih bersekolah, penting untuk memperhatikan aspek keamanan dan koordinasi dalam rangka untuk mengantisipasi risiko yang lebih besar. Berkaitan dengan hal ini, melakukan aksi dengan cara yang kreatif ditambah dengan adanya pembekalan dan koordinasi sebelum aksi menjadi kunci penting dari keberhasilan aksi nirkekerasan di Indonesia.

Webinar di hari kedua yang mendatangkan Ibu Sumarsih, Ibu Djuwita Djati, dan Gendhis Syari berada dalam tema payung perjuangan atas HAM. Bagi Ibu Sumarsih, Aksi Kamisan yang memilih metode picketing di depan istana negara dengan atribut hitam merupakan pilihan aksi nirkekerasan yang paling ideal. Aksi nirkekerasan dipilih karena dengan melakukan aksi damai, hal ini dapat menyerang “moral jiujutsu” lawan. Telah mencapai aksi yang lebih dari 600, Aksi Kamisan telah berkembang sebagai rumah pendidikan bagi polisi hingga bagi mereka yang ingin belajar mengenai politik dan menjadi ruang penelitian. Berbeda dengan Aksi Kamisan yang menggunakan picketing, komunitas Sunda Wiwitan yang dipimpin oleh Ibu Djuwita Djati melakukan aksi rebahan di tengah jalan dalam rangka untuk “menutup” akses ke tanah adat yang akan diambil alih oleh pemerintah. Mengalami berbagai bentuk diskriminasi struktural akibat menjadi penghayat kepercayaan, komunitas Sunda Wiwitan tetap menekankan pendekatan nirkekerasan dalam melaksanakan aksinya karena dibaliknya terkandung berbagai makna yang mampu menyerang moral jiujutsu aparat. Dalam berbagai perlawanan yang dilakukan ketika aparat akan mengeksekusi lahan Sunda Wiwitan, aksi yang dilakukan memiliki makna persatuan antara ibu pertiwi dan ibu kandung, yang dilambangkan dengan aksi rebahan di jalan hingga menyanyikan lagu Ibu Pertiwi ketika terjadi dorong-mendorong dengan aparat. Semangat nirkekerasan juga dilakukan oleh aksi Gejayan Memanggil yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 2019 lalu. Menurut Gendis, faktor yang menyebabkan aksi Gejayan Memanggil yang diikuti oleh utamanya kalangan mahasiswa mampu berjalan dengan damai ini karena adanya 3 hal, yaitu 1) Penentuan tempat di Gejayan yang memiliki berbagai makna disertai dengan adanya koordinasi dan “kula nuwun” kepada warga setempat, 2) Penekanan identitas kolektif daripada kelompok serta bagaimana kekerasan bukanlah pilihan, dan 3) Bentuk perlawanan yang lebih mengarah kepada karnaval politik, sehingga mampu menarik antusiasme berbagai pihak, termasuk mereka yang tidak pernah mengikuti aksi sebelumnya. Dalam hal ini, Gendis menyatakan bahwa pilihan aksi secara nirkekerasan dan inklusif yang dibarengi dengan keinginan untuk menciptakan gelombang sipil dalam konteks politik yang biner membuat Gejayan Memanggil berhasil untuk menarik partisipasi yang luas.


Penulis : Brigitta Kalina

Penyunting : Mariola Yansverio