Institute of International Studies
BA Building, 5th Floor, 503
Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio-Justisia No.1 Bulaksumur
Yogyakarta 55281, Indonesia
Contact Us
Phone:
+62-274-563362 Ext. 115
+62-818-0650-7041 (WhatsApp)
E-Mail:
iis.fisipol@ugm.ac.id
[RECAP] 75 Tahun Terlalu Lama: Mengakhiri Senjata Nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir
/in Past Events/by iis.fisipolPada Sabtu, 15 Agustus 2020 lalu, Institute of International Studies UGM, bekerja sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) dan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), menyelenggarakan webinar bertajuk “75 tahun terlalu lama: mengakhiri senjata nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir” secara daring. Webinar yang diselenggarakan sebagai rangkaian dari tagar 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series ini menghadirkan 2 pembicara, yaitu Tim Wright sebagai Koordinator Traktat dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) dan Christian Donny Putranto selaku Penasihat Hukum International Committee of the Red Cross. Kegiatan kali ini dimoderatori oleh Muhadi Sugiono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang turut menjadi anggota tim kampanye ICAN.
Sebagai pembicara pertama, Christian Donny Putranto memaparkan kaitan antara Hukum Humaniter Internasional dan senjata nuklir. Diawali dari konsekuensi kemanusiaan yang sangat parah sebagai akibat dari dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, ICRC mulai mengajak anggota dari Konvensi Genewa 1946 untuk mulai menyusun perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir pada tahun 1950. 70 tahun sejak inisiasi itu muncul, sudah muncul berbagai perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir, namun seluruhnya masih terkesan parsial, misalnya hanya mengatur tentang proliferasinya serta melarang adanya tes dan percobaan senjata nuklir di area tertentu seperti di laut maupun orbit dekat bumi serta bulan. Sebagai implikasinya, hingga saat ini belum ada perjanjian yang secara menyeluruh melarang dan memiliki kekuatan untuk menghilangkan senjata nuklir di muka bumi walau sebenarnya jelas telah melanggar prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional. Donny memaparkan bahwa jika dilihat melalui kacamata Hukum Humaniter Internasional, penggunaan senjata nuklir melanggar prinsip distinction, proportionality, dan precautions, dimana senjata nuklir tidak dapat membedakan masyarakat sipil dan kombatan saat serangannya diluncurkan, menimbulkan cedera berlebihan, serta mengakibatkan kerusakan yang tidak diperlukan. Sayangnya, hingga saat ini Hukum Humaniter Internasional belum secara spesifik mengatur ketentuan atas penggunaan senjata nuklir walaupun konsekuensi kemanusiaannya sangat besar – yaitu menimbulkan lingkaran penderitaan yang tidak berkesudahan (endless cycle of suffering). Di akhir presentasinya, Donny mengajak untuk mengutamakan kemanusiaan diatas kepentingan yang lain melalui pelarangan senjata nuklir. Presentasi ditutup dengan sebuah refleksi penting, weapons that risk catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing peoples’ security.
[layerslider id=”31″]
Pembicara selanjutnya, Tim Wright dari ICAN, memaparkan tentang urgensi dari Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Ia membuka presentasi dengan menyatakan bahwa hingga saat ini, setidaknya ada 30.000 senjata nuklir di seluruh dunia. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat dampak yang ditimbulkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia, antara lain migrasi, dampak iklim global, kelaparan yang meluas akibat terganggunya produksi pertanian di seluruh dunia, serta krisis kemanusiaan karena dampak fisik yang ditimbulkan dari senjata nuklir secara langsung. Saat ini, satu-satunya perjanjian yang dapat diandalkan untuk menghapuskan senjata nuklir adalah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Sejak tahun 2017, perjanjian ini ada untuk mengatur penghapusan dan penghentian pengembangan senjata nuklir, termasuk senjata-senjata yang telah ada sebelumnya. Traktat Pelarangan Senjata Nuklir melarang senjata nuklir secara penuh melalui tidak adanya jumlah senjata nuklir yang dapat diterima maupun keadaan tertentu yang memperbolehkan pengembangan senjata nuklir. Hingga saat ini, sudah ada 122 negara yang menandatangani perjanjian ini, namun hanya 44 negara yang telah meratifikasinya. Dibutuhkan 6 negara lagi untuk meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir supaya perjanjian ini dapat benar-benar diimplementasikan di dunia. Poin yang selama ini menghambat negara-negara untuk menandatangani ataupun meratifikasi perjanjian ini, terutama negara-negara yang telah memiliki dan mengembangkan senjata nuklir, adalah adanya kepercayaan bahwa senjata nuklir adalah kekuatan bagi suatu negara, terutama karena deterrence effect yang ditimbulkan. Menurut Tim, cara yang paling tepat untuk menyangkal pemahaman ini adalah dengan memberi stigma kepada negara-negara yang masih menggunakan dan mengembangkan senjata nuklir. Ketika berbicara spesifik mengenai peranan Indonesia dalam Traktat Pelarangan Senjata Nuklir, Tim menyatakan bahwa langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan meratifikasi perjanjian ini. Hingga saat ini, Indonesia sebagai negara anggota Gerakan Non Blok telah secara aktif menyatakan di forum internasional bahwa senjata nuklir adalah senjata yang membahayakan kehidupan manusia. Namun, bagi Tim, Indonesia dapat meningkatkan lagi peranannya dengan lebih banyak berbicara mengenai dampak moral dari senjata nuklir dan yang paling penting adalah untuk segera meratifikasi perjanjian ini supaya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dapat segera diimplementasikan di seluruh dunia dan senjata nuklir dapat segera musnah dari muka bumi.
Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan
Penyunting : Medisita Febrina
[RECAP] 75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons Through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons
/in News (English), Past Events/by iis.fisipolOn Saturday, 15 August 2020, Institute of International Studies UGM, in collaboration with the International Committee of the Red Cross/ICRC and the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, organized a webinar titled “75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons” as a part of the “75th Anniversary of the Atomic Bombing Series”. Speaking on the webinar were Tim Wright, Campaign Coordinator for ICAN, and Christian Donny Putranto, legal advisor for ICRC; moderated by Muhadi Sugiono, a lecturer of Department of International Relations UGM and also a campaigner for ICAN.
The first speaker, Christian Donny Putranto, explained the correlation between nuclear weapons and international humanitarian law. Intrigued by the severe humanitarian repercussions of the Hiroshima-Nagasaki bombing, ICRC invited the members of Geneva Convention 1946 to develop a treaty regulating the use of nuclear weapons in 1950. Seventy years since the initiative was brought up, plenty of legal instruments regarding nuclear weapons have been formalized. However, all of them remain as partial bans. Some only regulate the proliferation aspect of them, while the others prohibit testing on specific locations (like the sea or earth/moon orbits). To this day, there hasn’t been a single treaty that possesses the power to fully ban nuclear weapons worldwide.
In fact, when observed through the lens of international humanitarian law, the use of nuclear weapons violates the principles of: (1) distinction, as the weapon is unable to distinguish civilians from combatants when launching attacks; (2) proportionality, since nuclear weapons cause disproportionately large damage compared to its initial military objective; (3) precautions, due to its nature of causing unnecessary suffering. Unfortunately, despite causing an endless cycle of suffering, international humanitarian law hasn’t specifically regulated the use of nuclear weapons. At the end of his presentation, Donny asked all parties to prioritize humanity above all else in this matter. He wrapped up with an important reflection: that weapons risking catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing people security.
[layerslider id=”31″]
The next speaker, Tim Wright from ICAN, demonstrated the urgency of the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons/TPNW. According to him, there are 30,000 existing nuclear weapons up to this day. This is disheartening, considering its detrimental impact on many aspects of human lives, including migration crisis, declining climate condition, famine caused by disruption of agriculture production, and direct physical damage on survivors. Currently, there is only one treaty which can be devised to abolish the weapon, which is the TPNW.
TPNW was formalized in 2017 to oversee the total abolition and discontinuation of nuclear weapons development, including pre-existing ones. The Treaty fully bans nuclear weapons, meaning there is no single circumstance under which nuclear weapons are allowed to be deployed nor developed. To date, 122 countries have signed the treaty, with only 44 of them having ratified it. The Treaty needs another six ratifications to enter into force.
The belief in the deterrence effect of nuclear weapons remains a major obstacle for countries to sign or ratify the Treaty. Tim argued that the most effective way to counter this paradigm is to burden nuclear-armed countries with negative stigma.
Specifically speaking on Indonesia’s role in TPNW, Tim reckoned that the government needs to ratify the treaty as a concrete action to abolish nuclear weapons. As a member of the Non-Bloc Movement, Indonesia has been actively expressing its concerns about nuclear weapons as a threat to humanity at international fora. Yet, Tim believed Indonesia still has room to enhance its participation in talking about the morality of the weapons. Most importantly, Indonesia needs to ratify the Treaty to deem it legitimate and finally free the world from nuclear threat.
Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan
Penyunting : Medisita Febrina
[RECAP] Pameran Foto Terpandu Virtual: Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir
/in Past Events/by iis.fisipolDalam rangka memperingati 75 tahun meledaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Institute of International Studies UGM menyelenggarakan pameran foto terpandu virtual yang bertajuk “Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir” pada Minggu, 9 Agustus 2020 lalu. Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian acara 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series yang diinisiasi oleh IIS UGM berkolaborasi dengan International Committee of the Red Cross/ICRC yang bertujuan menunjukkan urgensi pelarangan senjata nuklir dan ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Kegiatan dipandu oleh Muhadi Sugiono, anggota Tim Kampanye International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, dan Sonya Teresa, peneliti IIS UGM.
Pameran foto terpandu virtual “Dari Mata Hibakujumoku” terbagi ke dalam tiga sesi, yaitu sesi pameran foto virtual, sesi breakout room, serta sesi tanya jawab. Ada tiga babak dalam sesi pameran foto virtual. Dalam babak I yang berjudul “Dunia Abu-Abu Kehitaman”, pemandu menceritakan kisah Hibakujumoku—para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki—yang menyaksikan dan mengalami sendiri penderitaan akibat senjata nuklir. Foto-foto yang diperoleh dari ICRC, ICAN, Hiroshima Peace Memorial Museum, dan sumber-sumber lainnya memperlihatkan secara jelas betapa mengerikannya dampak pascaledakan—baik fisik maupun psikis—yang membawa trauma mendalam bagi para penyintas hingga saat ini.
Melalui babak II: “Penguasa-Penguasa Tamak dan Teriakan dalam Sunyi”, pemandu mengajak para peserta pameran untuk melihat bagaimana negara-negara tetap bersikeras untuk mengembangkan senjata nuklir walaupun dampak destruktif yang diciptakan sangat nyata. Babak ini juga menceritakan gelombang demonstrasi menentang pengembangan senjata nuklir yang telah bermunculan di berbagai belahan dunia sejak tahun ‘50-an. Namun, nyatanya, justru muncul persaingan senjata nuklir pada tahun ‘80-an, utamanya antara AS dan Uni Soviet. Peristiwa ini memicu demonstrasi yang lebih besar di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.
Sesi pameran terpandu virtual ditutup dengan babak ketiga yang bertajuk “Masa Depan Kita, Masih Adakah Senjata Nuklir di Sana?”. Pemandu mengajak kita untuk melihat bahwa sejak tahun 1996, negara-negara di dunia mulai merumuskan aturan-aturan perlucutan senjata nuklir. Namun, perang kepentingan antara negara-negara pemilik senjata nuklir menjadi hambatan terbesar dalam perumusan aturan tersebut. Di tahun 2017, PBB mengeluarkan mandat berupa negosiasi bagi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Hingga 75 tahun setelah tragedi di Hiroshima dan Nagasaki, 82 negara telah menandatangani dan 44 negara telah meratifikasi perjanjian tersebut. Supaya senjata ini dapat benar-benar lenyap dari dunia, perlu ada tujuh negara lagi yang meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Pada bagian inilah peran Indonesia dibutuhkan.
Setelah menyaksikan pameran foto terpandu virtual, para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok breakout room. Melalui forum yang lebih kecil ini, para peserta—dipandu oleh masing-masing perwakilan dari IIS—mencoba untuk merefleksikan beberapa pertanyaan seusai melihat pameran foto dan cerita di baliknya: Apakah saat mendengar kata Hiroshima dan Nagasaki, impresi Anda sama seperti dengan apa yang dilihat dari Hibakujumoku? Apakah alasan yang digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir cukup masuk akal? Apakah Anda akan selamat jika tiba-tiba mendapatkan serangan senjata nuklir? Secara aktif, para peserta saling berdiskusi dan bertukar opini dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada diskusi forum-forum kecil ini, mayoritas peserta percaya bahwa pengembangan senjata nuklir bukanlah hal yang masuk akal jika melihat dari dampaknya. Penting bagi negara-negara untuk sadar betul mengenai pentingnya perlucutan senjata nuklir sehingga dapat benar-benar musnah dari dunia. Berbagai pertanyaan yang muncul dalam diskusi ini selanjutnya dibahas dalam forum yang lebih besar dalam sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, para peserta berkesempatan untuk bertanya dan secara langsung dijawab oleh Muhadi Sugiono serta Christian Donny Putranto, penasihat hukum International Committee of the Red Cross (ICRC), yang turut hadir dalam pameran foto terpandu virtual kali ini.
Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan
Penyunting : Medisita Febrina
[RECAP] Virtual Photo Exhibition: Through the Eyes of Hibakujumoku: Living Under the Shadows of Nuclear Weapons
/in News (English), Past Events/by iis.fisipolIn commemoration of the seventy-fifth year since the Hiroshima-Nagasaki tragedy, Institute of International Studies/ IIS UGM organized a virtually-guided photo exhibition titled “Through the Eyes of Hibakujumoku: Living Under the Shadows of Nuclear Weapons” on 9 August, 2020. In collaboration with the International Committee of the Red Cross/ICRC, the exhibition was initiated by IIS UGM as part of the 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series. It tried to showcase the urgency of nuclear weapons ban through ratification of the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Muhadi Sugiono, a campaigner for the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, and Sonya Teresa, an IIS researcher, guided the event.
The event was divided into three sections: virtual exhibition, breakout sessions, and question-and-answer session. The virtual exhibition, itself, comprised of three stages. The first, “A World of Dark Ashes”, told accounts of the catastrophe in the perspective of hibakujumoku—in Japanese, meaning trees that survived the bombing—through narrations delivered by the guide. The photographs, collected from ICRC, ICAN, Hiroshima Peace Memorial Museum, and other reliable sources exhibited post-explosion atrocities—both physical and psychological—which brought immense trauma upon survivors to this day.
In the second stage, “Greedy Rulers and Screams in Silence”, participants looked at how states insisted on developing nuclear weapons despite evident destructive effects. The photographs also told stories of social movements against nuclear weapons development since the 1950s. However, nuclear race persisted in the 1980s, particularly between the US and the Soviet Union. The phenomenon incited larger demonstrations in Europe, the US, and Japan.
The last stage, “In Our Future, Will Nuclear Weapons Still Be There?”, showcased how states have started discussions on nuclear weapons ban since 1996. However, clash of interest between states continued to be the biggest obstacle in the creation of a legal instrument. In 2017, UN issued a mandate in the form of negotiation for the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. To this day, 82 states have signed the Treaty, while 44 others have ratified it. To ensure total abolition, the Treaty needs another seven states to ratify. This is where the Indonesian government needs to step in.
After the exhibition ended, the participants were divided into three small breakout rooms. In the small discussion forums led by IIS representatives, the participants tried to reflect several important questions related to the photographs and the stories behind them: When you hear the word Hiroshima and Nagasaki, did you imagine the same impression as that of hibakujumoku’s? Does the reasoning behind nuclear weapons development make sense? If there were to be a nuclear explosion now, will you survive? The majority of participants agreed that nuclear weapons development is not worth the after effect. Hence, it is necessary that states fully realize the importance of disarmament and total abolition. After answering and exchanging thoughts on the matter, the discussion continued in the larger forum for a question-and-answer session, with added insights from Muhadi Sugiono and Christian Donny Putranto, legal advisor for ICRC.
Writer : Brigitta Kalina Tristani Hernawan
Editor : Medisita Febrina
[RECAP] IIS UGM Berpartisipasi dalam Tanggap Darurat COVID-19
/in Past Events/by iis.fisipolDalam menghadapi situasi pandemi COVID-19, Institute of International Studies (IIS) UGM turut berpartisipasi dalam berbagai upaya tanggap darurat COVID-19, di antaranya melalui skema hibah pengabdian masyarakat FISIPOL UGM. Sejak 12 Juni 2020, IIS UGM, bekerja sama dengan Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM dengan diketuai oleh Ibu Siti Daulah Khoiriati, MA, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, melaksanakan program hibah pengabdian kepada masyarakat tanggap darurat Covid-19 FISIPOL UGM 2020 dengan judul “Penguatan Usaha Rumah Tangga Perempuan Menghadapi Dampak COVID-19 Melalui Pembentukan Online Marketplace berbasis Media Sosial.” Kegiatan ini ditujukan kepada Koperasi Mitra Insani di daerah Godean, Yogyakarta. Kegiatan ini memprioritaskan kelompok perempuan dikarenakan di Koperasi Mitra Insani, kelompok perempuan berperan sebagai kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya. Dengan adanya pandemi, maka sumber pemasukan bagi para pelaku usaha perempuan di Koperasi Mitra Insani mengalami penurunan karena warung makanan yang diharuskan tutup untuk mengurangi risiko terpapar virus. Oleh karenanya, program ini dilakukan untuk mendukung kegiatan jual beli masyarakat selama pandemi COVID-19 melalui pembekalan literasi digital dan pemanfaatan media sosial sebagai sarana promosi dan penjualan.
Mengingat situasi yang mengharuskan adanya physical distancing, maka program ini dilaksanakan melalui Kuliah Whatsapp (KULWAP) untuk menyampaikan materi setiap minggunya. Melalui KULWAP yang dilaksanakan selama tiga minggu berturut-turut, IIS dan PSPD UGM berbagi pengetahuan dengan pelaku usaha perempuan Koperasi Mitra Insani Yogyakarta untuk menunjang kelangsungan aktivitas jual beli daring berbagai macam produk, mulai dari makanan hingga pakaian. Materi yang disampaikan meliputi penjelasan fitur-fitur Whatsapp yang bermanfaat untuk memasarkan produk, cara memotret produk untuk menghasilkan gambar yang menarik, serta metode pengemasan produk makanan atau bahan makanan agar tetap segar selama disimpan atau dikirim. Dalam penyampaian materi pun dibantu oleh narasumber dari luar, yaitu Tito Ardiyan selaku fotografer profesional dan Ibu Arifah selaku peneliti di Pusat Studi Perdagangan Dunia sekaligus dosen di Fakultas Pertanian UGM.
[layerslider id=”30″]
Setelah KULWAP berakhir, ibu-ibu Koperasi Mitra Insani Yogyakarta pun langsung mempraktikkan materi yang telah disampaikan. Dengan materi pemanfaatan fitur Whatsapp, para pelaku usaha pun semakin mahir memanfaatkan fitur status dan broadcast Whatsapp untuk mempromosikan produk. Pemasaran produk semakin efektif dengan kemampuan ibu-ibu mengambil gambar produk dengan pencahayaan yang cukup, sudut pandang yang mampu memperlihatkan rincian produk, serta pemanfaatan kontras warna untuk menonjolkan produk. Terakhir, produk makanan yang dijual juga akan tahan lama karena para pelaku usaha dapat semakin meminimalisasi paparan oksigen terhadap makanan selama penyimpanan.
Demi meningkatkan kelangsungan aktivitas jual beli daring, IIS UGM membantu menyusun alur online marketplace baru di Whatsapp untuk dimanfaatkan oleh ibu-ibu anggota koperasi. Nantinya, para anggota akan memasarkan produknya lewat katalog di akun Whatsapp Business yang dikelola oleh Ibu Askiyah selaku kepala koperasi. Pembeli akan melihat produk yang dipasarkan lewat katalog di Whatsapp Koperasi Mitra Insani dan menghubungi akun tersebut untuk membeli produk yang diinginkan. Harapannya, aktivitas jual beli yang terpusat akan memudahkan pemasaran produk dan pengelolaan transaksi dalam skala yang lebih besar.
Berikut alur tata kelola online marketplace yang ditawarkan untuk Koperasi Mitra Insani:
Selain berpartisipasi dalam upaya pembentukan online marketplace bagi para pelaku usaha perempuan di Koperasi Mitra Insani, IIS UGM turut berpartisipasi dalam membantu jogjabregas.id, salah satu inisiatif hibah pengabdian masyarakat tanggap darurat COVID-19 FISIPOL UGM. Jogjabregas.id berupaya membangun pangkalan informasi seputar cara baru beradaptasi dengan situasi pandemi yang dilakukan oleh warga Yogyakarta di bidang pendidikan serta kesejahteraan. Inisiatif jogjabregas.id ini terdiri dari empat tema konten, yaitu Segar Waras, Kampung Berdaya, Pintar dari Rumah, dan Serba Serbi Covid.
IIS UGM berkolaborasi dengan jogjabregas.id untuk Kampung Berdaya, sebuah program yang bertujuan mengumpulkan dan menceritakan kembali kisah inisiatif-inisiatif baik dan inspiratif warga Yogyakarta untuk beradaptasi dengan pandemi, sembari menjaga kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan bersama melalui penyediaan infografis, artikel, serta podcast. Kolaborasi IIS UGM ini diharapkan dapat turut mengedukasi masyarakat luas, khususnya warga Yogyakarta dalam beradaptasi di tengah pandemi ini.
Penulis: Brigitta Kalina, Denise Michelle, Medisita Febrina
[RECAP] IIS UGM Emergency Response to Mitigate the Repercussions of the COVID-19 Pandemic
/in News (English), Past Events/by iis.fisipolTogether with Center for World Trade Studies (CWTS UGM), Institute of International Studies (IIS UGM) took part in alleviating the negative effects of the pandemic on businesses by participating in the community service grant scheme provided by Faculty of Social and Political Sciences (FISIPOL UGM). Starting from 12 June 2020, the team, led by Siti Daulah Khoiriati, MA—a lecturer in the Department of International Relations UGM—implemented a program titled “Reinforcement of Women-Owned Home-Based Businesses in the Wake of COVID-19 through Social Media-Based Online Marketplace”. This activity targeted the members of all-female Koperasi Mitra Insani located in Godean, Yogyakarta, in which most of the members acted as breadwinners in the family. Amidst the pandemic, income for members of the co-op—which mostly sold F&B products—decreased as their food stalls were forced to close down to prevent transmission. Hence, the program aimed to enable the members to continue commercial activities by equipping them with digital literacy and social media utilization skills.
As the pandemic situation required physical distancing, the program was delivered weekly through Whatsapp. For three consecutive weeks, IIS and CWTS UGM shared useful know-hows with members of the co-op which will help them in promoting and selling their goods—ranging from F&B to garments—online. The insights included elaboration on Whatsapp features for promotional purposes, ways to take decent pictures of the products, and best food packing methods. Tito Ardiyan, a professional photographer, as well as Arifah, a researcher in CWTS UGM and lecturer in the Faculty of Agriculture UGM, were invited to help in delivering the insights.
[layerslider id=”30″]
Immediately after the sessions ended, the members practiced the previously-taught skills. They were able to utilize Whatsapp status and broadcast features to spread information about the products. Promotion became even more effective as they took better pictures with adequate lighting, right angles, as well as color contrast. Lastly, the products would stay fresh longer as the members were able to minimize oxygen exposure better.
In order to boost online commercial activities, IIS UGM helped in creating a new online marketplace flow using Whatsapp. The members will promote their products through a Whatsapp business account organized by Ibu Askiyah as head of the co-op. Customers will view the co-op’s products through a catalogue published on the account and contact the account to place a purchase. Setting up a business account, hopefully, will centralize transactions and enable better promotion, as well as simplify organization of transactions on a larger scale. In detail, here is how the online marketplace will work:
IIS UGM also collaborated with jogjabregas.id, a community service initiative in the form of an information base containing insights on best ways to adapt to the pandemic practiced by people residing in Yogyakarta. The insights are placed under four themes, revolving around topics of education and welfare, including Segar Waras, Kampung Berdaya, Pintar dari Rumah, and Serba Serbi COVID.
Through production of infographics, articles, and podcasts, IIS UGM collaborated with jogjabregas.id in disseminating information under section Kampung Berdaya. In hopes of educating the public, the program aims to share inspiring stories and honorable initiatives to maintain health, safety, and welfare set up by Yogyakarta residents in the middle of COVID-19 spread.
Writer: Brigitta Kalina, Denise Michelle, Medisita Febrina
Translator: Medisita Febrina