Demonstrasi: Ruang Publik yang Maskulin, Patriarkis, dan Ricuh?

Di Indonesia, demonstrasi memiliki konotasi yang negatif karena lekat dengan memori-memori yang menakutkan. Tanpa menghubungkan keduanya, demonstrasi—yang lebih populer dengan istilah ‘demo’—kerap diidentikkan dengan aksi laki-laki dan kericuhan. Hasilnya, terdapat ketakutan dan kekhawatiran dari keluarga maupun teman apabila anggota keluarga perempuan atau teman perempuan mereka mengikuti aksi massa. Demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia dua minggu belakangan membawa kisah-kisah baru tentang keterlibatan perempuan. Banyak perempuan yang ikut turun ke jalan, walaupun—berbicara dari pengalaman dan pengamatan pribadi—diwanti-wanti untuk tidak usah ikut oleh keluarga, dilarang hingga harus berbohong, atau lolos ikut dengan memanfaatkan cela tidak ditanya oleh keluarga karena dianggap sudah pasti tidak mungkin ikut.

Seusai aksi, cuitan-cuitan populer di Twitter dan beberapa refleksi teman-teman perempuan yang mengikuti aksi, menyayangkan demonstrasi yang dipercayai masih berbudaya patriarki. Demo yang di berbagai kota berakhir ricuh jadi ruang yang ‘tidak aman bagi perempuan’. Di tengah kondisi yang sulit, ada yang mengingat kerelaan para lelaki untuk ‘pasang badan’ dan memprioritaskan perempuan sebagai solidaritas. Ada pula yang mengkritik ‘perlakuan spesial’ untuk perempuan berlawanan dengan tuntutan perempuan yang ingin diperlukan dengan setara. Apabila ingin kesetaraan, mestinya perempuan siap dengan sifat alami demo yang keras dan berbahaya, kan?

Dari pengamatan tersebut, muncul sebuah kegelisahan: Apakah memang benar demonstrasi adalah ruang publik yang secara alamiah maskulin, patriarkis, dan ricuh? Atau ini sebenarnya masalah keterbatasan referensi dan imajinasi kita tentang aksi massa? Waktu saya terlibat dalam demonstrasi pada 23 September lalu, ketika berjalan pulang seusai aksi dengan teman-teman saya, ada seorang yang bersorak kepada saya, “hidup perempuan yang melawan!”. Pada saat itu saya merasa senang. Saya menganggap sorakan tersebut sebagai apresiasi personal. Saat saya kembali mengikuti demonstrasi seminggu kemudian, saya mendengar jargon-jargon: Hidup Mahasiswa Indonesia! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Buruh! Hidup Petani! beberapa kelompok lainnya juga disebutnya hingga kemudian diakhiri dengan Hidup Perempuan yang Melawan! Mendengar itu, saya merasa ada yang janggal. Saya percaya jargon tersebut datang dari maksud yang baik. Namun, dari situ saya baru menyadari, ternyata keikutsertaan perempuan dalam perlawanan masih dianggap sebagai sesuatu yang baru, unik, dan jarang sehingga perlu diberi label khusus. Padahal, dalam memori saya, perempuan telah dan selalu melawan.

Perempuan yang Melawan
Sepanjang sejarah, perempuan terlibat dalam berbagai perlawanan nirkekerasan di berbagai belahan dunia
memperjuangkan berbagai isu. Pada abad ke-19, di Amerika, perempuan berjuang untuk mendapatkan hak
pilih. Pada tahun 1970an, perempuan-perempuan di India melakukan aksi memeluk pohon yang dikenal sebagai ‘Gerakan Chipko’ untuk melindungi pohon dan hutan. Pada tahun 1976 hingga 1983, ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina melakukan aksi jaga untuk menuntut kepulangan anak-anak mereka yang dihilangkan paksa. Pada tahun 2003, dari Liberia, para perempuan melakukan kampanye perlawanan nirkekerasan yang menuntut perdamaian dan berakhirnya perang sipil. Pada tahun 2018, dari Swedia, seorang anak perempuan berusia lima belas tahun melakukan aksi mogok sekolah untuk menuntut kebijakan perubahan iklim. Aksinya sekarang menjadi sorotan global serta memantik berbagai aksi mogok dan demonstrasi di berbagai negara.
Indonesia juga menyimpan banyak cerita perlawanan nirkekerasan oleh perempuan. Sejak tahun 1990-an hingga 2010, dari tanah Mollo, Nusa Tenggara Timur, Mama Aleta Baun melawan perusahaan-perusahaan tambang marmer dengan menenun di atas batu. Dari Jawa Tengah, perempuan petani Kendeng datang ke Istana dan melakukan aksi mengecor kaki. Pada tahun 2017, dari Jawa Barat, perempuan warga adat Sunda Wiwitan berada di baris paling depan dalam aksi tidur untuk menghalau alat berat yang akan mengeksekusi lahan cagar budaya dan tanah adat Sunda Wiwitan. Sejak tahun 2017 pula, Women’s March diadakan di Indonesia. Sejak 18 Januari 2007, terinspirasi dari perlawanan ibu-ibu Plaza de Mayo, ibu-ibu dan keluarga korban pelanggaran HAM melakukan aksi Kamisan. Aksi tersebut masih berlanjut hingga sekarang.
Mengetahui ini semua, tidak rela rasanya untuk setuju dengan asumsi bahwa aksi massa adalah ranah laki-laki dan selalu berpotensi ricuh. Sepertinya, asumsi tersebut dari keterbatasan referensi dan imajinasi terhadap aksi massa.

Aksi Nirkekerasan
Menurut Gene Sharp (1973), seorang tokoh penting dalam studi nirkekerasan, demonstrasi—atau demo—
sebenarnya hanyalah satu dari 198 metode aksi nirkekerasan yang dapat dilakukan. Sharp dengan teorinya ‘consent theory of power’ percaya bahwa kekuasaan (power) tidak bersifat monolitik—melainkan pluralistis. Daya/kekuasaan seseorang bukan datang dari dirinya sendiri, melainkan diberikan oleh orang-orang yang membiarkan diri mereka dikuasai. Oleh karena itu, aksi nirkekerasan merupakan metode melawan tanpa kekerasan dengan menarik kepatuhan yang diberikan kepada lawan sehingga bisa lepas dari kuasa lawan.
Dalam praktiknya di negara demokratis, aksi nirkekerasan sering digunakan sebagai jalur informal ketika jalur-jalur formal tidak menyalurkan aspirasi rakyat. Dalam sejarahnya, aksi nirkekerasan merupakan metode dalam perlawanan nirkekerasan yang digunakan untuk melawan ketidakadilan sosial serta berbagai macam bentuk kekerasan struktural (Stephan dan Chenoweth, 2008; Sharp, 2013; Dudouet, 2017).

Artinya, demonstrasi sejatinya adalah salah satu metode perlawanan yang menolak baik kekerasan langsung
maupun kekerasan struktural. Sayangnya, riset oleh tim Damai Pangkal Damai yang meneliti aksi nirkekerasan
di Indonesia dari tahun 1997 sampai 2018 menemukan bahwa repertoar masyarakat Indonesia dalam melakukan aksi nirkekerasan masih terbatas pada demonstrasi. Dari 13,524 entri aksi nirkekerasan yang ditemukan, 5,362 (29,6%) di dalamnya merupakan aksi demonstrasi. Sayangnya lagi, repertoar utama dalam aksi nirkekerasan di Indonesia sendiri memiliki konotasi yang negatif.

Di bagian sebelumnya, telah dipaparkan repertoar-repertoar alternatif dalam melakukan aksi nirkekerasan.
Berbagai kisah perlawanan perempuan di atas bukan hanya untuk menunjukkan keikutsertaan perempuan dalam perlawanan sedari dulu, tetapi juga untuk memberikan memori perjuangan alternatif sebagai referensi dan ruang imajinasi yang baru dalam melakukan aksi massa. Aksi-aksi di atas bukan tanpa ancaman. Mama Aleta dan rakyat Mollo menghadapi intimidasi dan kekerasan
hingga harus bersembunyi di hutan selama melakukan perlawanan. Aksi mengecor kaki memiliki risiko kesehatan yang sangat tinggi. Perempuan Sunda Wiwitan memasang badan mereka di hadapan alat berat. Tanpa mengatakan bahwa perempuan adalah faktor penentu damainya suatu aksi, berbagai contoh oleh perempuan di atas mengajarkan pentingnya menahan diri untuk menggunakan kekerasan dalam aksi nirkekerasan. Dalam pertimbangan strategis, kesetiaan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam perlawanan adalah tentang (1) menjaga legitimasi perlawanan, dan (2) melawan secara kreatif.

Aksi nirkekerasan merupakan metode yang efektif bagi kelompok marginal/yang lebih lemah karena dia merupakan metode berkonflik yang kreatif. Dalam kondisi ketimpangan kekuatan, akan lebih sulit untuk menang dengan kekerasan. Masyarakat sipil tidak mungkin menang menggunakan kekerasan melawan negara sebagai entitas yang memiliki sumber daya ekonomi, legitimasi, media, dan sebagai pemilik hak melakukan kekerasan secara sah. Dan dengan menggunakan kekerasan, akan sangat mudah bagi negara untuk mendelegitimasi perlawanan dengan melabelinya sebagai ancaman yang dapat dihancurkan dengan kekerasan.

Maka, sesuai dengan apa yang ditawarkan Sharp, yang harus dilakukan adalah menarik sumber-sumber kekuasaan dari lawan—atau disebut pillars of support. Pillars of support ini dapat termanifestasi sebagai polisi, pasukan keamanan, partai politik, media, dan yang lainnya—termasuk lewat pembiaran atau act of omission. Menjaga legitimasi menjadi penting untuk menyasar pilar-pilar ini agar bersimpati dengan aktivis nirkekerasan sehingga mereka berhenti menopang penguasa dan berbalik mendukung perjuangan. Sebagai contoh singkat, strategi ini tercermin dalam gerakan ibu-ibu Plaza De Mayo. Menyadari segala bentuk tuntutan yang terlihat seperti ancaman bagi pemerintah hanya mendapat respons yang represif, ibu-ibu di Argentina datang sebagai ibu-ibu yang sedang mencari anaknya. Mereka berkeliling menggunakan syal putih yang menyimbolkan popok dengan dituliskan nama dan tanggal lahir anak-anak mereka yang hilang—menanyakan di mana anak mereka. Setidaknya terdapat tiga pilar yang berhasil mereka sasar: polisi, media, dan ibu-ibu yang tidak melawan. Polisi yang biasanya menangkap dan kemudian menghilangkan pula orang-orang yang mempertanyakan orang-orang yang dihilangkan, tidak bisa menangkap para perempuan yang sebagai seorang ibu menanyakan di mana anaknya. Media yang selama ini diam mulai menyoroti kasus dan perjuangan ini. Ibu-ibu yang selama ini diam mendapat keberanian dan bersolidaritas untuk melawan.

Memperluas Imajinasi Aksi Massa
Sepertinya, imajinasi kita melakukan aksi massa masih memberi ruang bagi kekerasan. Saat merencanakan aksi, kita menyiapkan mental dan energi untuk melindungi perempuan—alih-alih menyalurkannya untuk menciptakan ruang aman untuk bersama. Laki-laki dan perempuan adalah setara. Tentunya, kesetaraan itu terefleksikan dalam hak tidak mengalami kekerasan dan bukannya bertanding ketahanan mengalami kekerasan, bukan? Apakah imajinasi kita harus se-masochist itu? Di titik ini, kita mungkin perlu mengkaji ulang apakah demonstrasi 98 adalah referensi yang tepat untuk jadi pijakan imajinasi kita tentang gerakan mahasiswa? Padahal, ingatan masyarakat Indonesia tentang 1998 masih sangat terpolarisasi: Gerakan Mahasiswa 98 atau Kerusuhan 98? Ada yang mengingatnya sebagai kemenangan perlawanan, ada yang mengingatnya sebagai periode kekerasan yang mengerikan. Mungkin, kekhawatiran keikutsertaan perempuan dan konotasi negatif demonstrasi adalah produk memori-memori kekerasan masa lalu yang kita rayakan.

Aksi #GejayanMemanggil yang sudah dua kali dilakukan berlangsung dan berakhir dengan damai. Aksi ini juga berhasil tidak meninggalkan sampah, menjadi ruang yang aman bagi semua, akomodatif terhadap tuntutan perempuan, serta menjalin hubungan dengan polisi, pedagang, dan warga sekitar. Besar harapan saya, memori-memori ini dapat menjadi memori kolektif kita terhadap aksi nirkekerasan di Indonesia ke depannya. Tulisan ini mengajak mengingat berbagai perlawanan perempuan yang dapat menjadi referensi alternatif kita dalam melakukan aksi massa nirkekerasan. Di mana perempuan bukan hanya untuk dilindungi, bukan menjadi korban, tetapi melawan dan menolak kekerasan.

Referensi
Dudouet. (2017). Powering to Peace: Integrated Civil Resistance and Peacebuilding Strategies. International Center on Nonviolent Conflict. Retrieved from http://www.nonviolent-conflict.org
Sharp, G. (1973). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent.
———–. (2013). How nonviolent struggle works. United States: The Albert Einstein Institution.
Stephan, M., & Chenoweth, E. (2008). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. International Security, 33(1), 7-44. doi: 10.1162/isec.2008.33.1.7

Penulis : Grace Lolona Alexis Hutapea

Annegret Kramp-Karrenbauer Appointed as Germany’s New Defense Minister: What’s in Store?

On Wednesday (17/7/2019) in Bellevue Castle Berlin, Annegret Kramp-Karrenbauer (widely referred to by her
initials “AKK”) was appointed as Germany’s new defense minister to replace Ursula von der Leyen that left the post to become European Commission President. AKK, who has been dubbed as Angela Merkel’s protégé, also leads Germany’s center-right Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU) party. Naturally, her appointment also brought new changes and reactions within the German Armed Forces (Bundeswehr) and the CDU itself, German’s domestic political reconfiguration are on the move. Come as a surprise, almost no one expected the leader of the CDU to take the post, not with that kind of responsibility and challenge to divide concentration. Previously, Angela Merkel has emphasized the importance to replace von der Leyen with someone from CDU-Lower Saxony branch too to sit in the cabinet, however none of the CDU minister candidate came from there (Riedel, 2019). Surprisingly as well, she ‘beats’ Peter Tauber, the former CDU secretary general, veteran and current Reserve Captain in the Bundeswehr, a prominent candidate favored by the soldiers. This of course, disappointed many in the Bundeswehr. Yet, expecting defense minister to have served in the military to performed well is utterly nonsense, as minister can and should rely on the professionalism of the Bundeswehr, argued Carlo Masala, a security policy expert at the Bundeswehr University (Deutsche Welle, 2019).

Despite stumbled into a scandal when she accused the Bundeswehr to have some right-wing extremists within its rank (which drew heavy criticism from the troops), von der Leyen actually set good reference for her successor. Von der Leyen managed to keep the pace to modernize the Bundeswehr, in material, personnel and budget; making it as an ever ready armed forces in Europe and more attractive to young recruits. AKK has to stand to this standard, at least by avoiding controversies on ‘right-wing extremists’ comments, despite the effort to actually combat them within the Bundeswehr. She needs to genuinely learn and listen more to the troops with her non-military background to earn trust. “Germany can rely on you! And you can rely on me.”, as she said to the Bundeswehr (Frankfurter Allgemeine Zeitung, 2019).

Although simultaneously leading the CDU too, which many concerned the heavy burden and responsibility she
has to take, her appointment as defense minister can actually brought new wind of change for the Bundeswehr. The dual responsibilities means she has greater political weight as a CDU leader and can assert more power to influence the political arena in favor for the Bundeswehr needs; and it rarely happens, this is the first time since the 1960s. As her recent statement shows, this might well be the case, as she urged the needs to enlarge defense spending to 2% by 2024 despite heavy criticism from the opposition, which means 0,63% higher than the 2020 budget (Handelsblatt, 2019). The increase is to sustain Bundeswehr commitment to the NATO and EU, as well as a response to Donald Trump’s previous yelps at NATO members’ lack of commitment on defense budget. As von der Leyen take the seat in Brussels, Bundeswehr position and contribution might be increased; and it will require a lot of money. Starting out with good impression and ability to fulfill the commitment, AKK could be on the right track in the eyes of the Bundeswehr.

In the political sphere, this might be the beginning of German “Frauenpower” succession in the throne. As a former Minister-President of Saarland, AKK had earlier withdrawn from public office, but as if following the footstep of her mentor, Merkel, she took the ministerial job. Is it CDU strategy to prepare her as the next chancellor? AKK has never held any cabinet positions and the appointment could be a test-bed for what she has in store for Germany. As widely reported, Jens Spahn, another CDU veteran and Health Minister, was also eyeing the defense minister post in line with his ambition to become the next chancellor. On the other side, AKK appointment could also be seen as an attempt to boost CDU leverage after its catastrophic loss in European Parliament against the Green Party. Whether it is by design or not, we have to see AKK’s performance if she indeed wants to prepare for the 2021 elections; still plenty of time left for other candidates to outshine her. In the end, the defense minister is an appealing post for ambitious politicians that need good stepping stone, but that’s not what the Bundeswehr wants and needs. Time and attention need to be given by whoever become the defense minister for the 181.377 troops under his/her command, and it requires pure commitment (Bundeswehr,2019). For now, that’s what AKK needs to focus on, and other things will follow.

References:
Bundeswehr. (2019). Stärke: Militärisches Personal der Bundeswehr. Retrieved from https://www.
bundeswehr.de/portal/a/bwde/start/streitkraefte/grundlagen/staerke/!ut/p/z1/04_Sj9CPykss
y0xPLMnMz0vMAfIjo8zinSx8QnyMLI2MQgKcXQw8fY2dnAwDjYzcwwz1wwkpiAJKGAAjgb6wSmp-
pFAM8xxmRESCFSkH6UflZVYllihV5BfVJKTWqKXmAxyoX5kRmJeSk5qQ
H6yI0SgIDei3KDcUREAGR5wyw!!/dz/d5/L2dBISEvZ0FBIS9nQSEh/#Z7_B8LTL292
2TPCD0IM3BB1Q22TQ0
Deutsche Welle. (2019). New German Defense Minister Annegret Kramp-Karrenbauer out to win over
military.Retrieved from https://www.dw.com/en/new-german-defense- minister-annegret-krampkarrenbauer-
out-to-win-over-military/a-49722715
Frankfurter Allgemeine Zeitung. (2019). AKK zur Bundeswehr: „Sie können sich auf mich verlassen“ (Video
File). Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=ln5o03fHMEM
Handelsblatt. (2019). Kramp-Karrenbauer fordert deutlich höhere Rüstungsausgaben. Retrieved from https://
www.handelsblatt.com/politik/deutschland/bundeswehr-kramp-karrenbauer-fordert-deutlichhoehere-
ruestungsausgaben/24682774.html
Riedel, Donata. (2019). Von der Leyens Nachfolger soll noch heute feststehen. Handelsblatt. Retrieved
from https://www.handelsblatt.com/politik/deutschland/bundesverteidigungsministervon-
der-leyens-nachfolger-soll-noch-heute-feststehen/24667250.html?ticket=ST-5915893-
P1Zj0gNqbVxBAJdw9rUe-ap6

Writer :M. Ilham R. Adamy, S.IP

The Moral High Ground dalam Aksi Protes Anti-UU Ekstra disi Hong Kong

Tidak perlu menunggu lama untuk memperkirakan akhir dari aksi protes menentang inisiasi hukum ekstradisi
yang dicetus oleh pemerintah Hong Kong. Aksi protes dalam bentuk turun ke jalan yang dimulai sejak Maret 2019 ini diperkirakan akan terus berjalan selama kedua belah pihak bertahan dalam posisi politik masing – masing. Namun, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dan diproyeksikan dari keseluruhan proses ini, terutama yang berkaitan dengan aksi dan interaksi antara massa protes dan pemerintah Hong Kong.

“Bom Waktu” dari Revolusi Payung.

Pihak yang terlibat dalam protes ini merupakan orang yang pernah mengikuti Revolusi Payung atau Okupasi Sentral pada 2014. Revolusi Payung merupakan serangkaian protes atas tindakan politis dari pemerintah Republik Rakyat Tiongkok yang ikut campur dalam urusan pemerintah lokal melewati batas ketetapan dalam Hong Kong Basic Law. Pada aksi tersebut, para penggerak yang menyampaikan tuntutan agar nilai – nilai demokrasi liberal khas Hong Kong pra 1997 dikembalikan seutuhnya justru ditangkap. Sejak saat itu, “bom waktu” ketidakpuasan dan keputusasaan masyarakat sipil tertanam dan memulai hitung mundurnya, terutama setelah proses peradilan secara sepihak tersebut disertai dengan retorika nasionalistik yang didengungkan pejabat pemerintahan Hong Kong sendiri. Selain itu, akhir dari Revolusi Payung juga menumbuhkan kekhawatiran pelaku bisnis dari mancanegara akan semakin menguatnya kontrol pemerintah Cinaterhadap kota yang diperuntukkan sebagai Special Administratives Zones (SARs).

Hal ini jelas turut berimbas pada sendi perekonomian warga lokal. Pada akhirnya, ‘bom waktu’ itu
meledak ketika Undang-undang Ektradisi diumumkan pada Februari 2019. Landasan yang dikemukakan oleh para pembuat hukum bahwa UU ini akan membuahkan rasa keadilan karena menutup peluang pelaku untuk kabur dan tidak mempertanggungjawabkan tindakannya dianggap mengada–ada oleh masyarakat sipil. Mereka yakin bahwa pengadaan hukum ini merupakan taktik pemerintah Cina untuk menggerus secara perlahan hak-hak khusus yang dimiliki Hong Kong sebagai wilayah SAR. Status SAR tidak hanya memberikan pemerintah lokal Hong Kong sebuah otonomi yang tidak terbatas kepada urusan ekonomi, tetapi juga berbagai kebijakan vital dalam aspek politik, sosial, dan budaya. Di samping itu, hukum ekstradisi dipandang dapat
mengurangi ketertarikan investor dari luar RRT untuk berinvestasi, sehingga berimplikasi terhadap ketergantungan ekonomi yang semakin besar kepada pemerintah Beijing. Meningkatnya kontrol RRT terhadap berbagai aspek dalam pemerintahan dan masyarakat membuat Hong Kong di masa mendatang tidak ada bedanya sama sekali dengan kota-kota Tiongkok lain yang menyandang status Special Economic Zones (SEZs).

Metode Nirkekerasan sebagai Pilihan

Ratusan ribu warga Hong Kong memutuskan untuk menggunakan berbagai metode nirkekerasan yang didominasi oleh aksi demonstrasi dan pawai damai sebagai bentuk perlawanan terhadap rancangan UU ekstradisi. Demonstrasi dan pawai, menurut Gene Sharp, masuk dalam kategori protes dan persuasi nirkekerasan yang bertujuan untuk menarik perhatian, dukungan, dan kesadaran pemerintah maupun publik akan adanya sebuah isu penting yang harus segera ditanggapi. Aksi turun ke jalan sendiri juga merupakan kulminasi dari proses yang diawali oleh aksi representasi formal. Oposisi yang tersisa dalam legislatif telah berupaya mengulur waktu dan melakukan obstruksi terhadap proses formal pembuatan hukum, walaupun kemudian ditentang oleh kelompok pro pemerintahan yang berjumlah lebih besar. Di waktu yang bersamaan, lobi dari kelompok bisnis, hukum, hak asasi manusia, hingga demokrasi – baik yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara – gencar disuarakan agar pemberlakuan UU ini direvisi atau bahkan dihentikan sepenuhnya. Namun, lobi dan rekomendasi yang telah diupayakan tidak menuai respons yang signifikan dari pemerintah yang tetap melanjutkan proses pengesahan rancangan hingga awal Juni ini.

Aksi ini dapat bertahan lama hingga hari ini karena telah belajar dari kegagalan protes 2014. Aksi 2019 diorganisasi dalam kelompok – kelompok kepentingan yang tidak disatukan dalam hierarki tertentu dan memanfaatkan kemajuan teknologi berupa Apple Airdrop dan aplikasi pesan terenskripsi Telegram yang dapat mengantisipasi kemampuan intelijen yang dikerahkan pemerintah. Akan tetapi, ketika aksi nirkekerasan yang dilakukan masyarakat tidak menunjukkan perkembangan memuaskan, perasaan gelisah tentu membuncah.

The Moral High Ground
Seperti halnya pada Revolusi Payung, aksi damai kali ini kembali direspons negatif oleh pemerintah. Menggunakan teori Christopher R. Mitchell, konflik yang seharusnya dapat dimitigasi justru didorong untuk semakin mengganas. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap peserta protes meningkat seiring aksi yang berlanjut hingga kini. Beberapa insiden kekerasan juga melibatkan gang/sindikat kejahatan yang diduga bekerja sama dengan aparat. Carrie Lam sebagai wajah utama pemerintah lokal dalam posisi Kepala Eksekutif Hong Kong menunjukkan sikap yang cenderung agitatif: dari sebelumnya mengatakan bahwa protes ini sebagai kerusuhan (kemudian meralatnya, lalu dimunculkan kembali oleh pihak kepolisian) hingga mengkritisi orang tua dari anak – anak yang terlibat dalam pengorganisasian protes lintas generasi. Sentimen ini dikobarkan oleh media lokal yang condong pada pemerintah maupun media RRT, hingga menimbulkan efek adu domba dalam masyarakat. Carrie beserta kepolisian tidak menepati janji untuk mendengarkan keinginan massa maupun bertanggung jawab lebih terhadap keamanan masyarakat, seperti yang pernah disampaikan ketika ia meminta maaf kepada publik pada 18 Juni lalu. Janji kosong  ini semakin tercoreng mengingat bahwa rancangan UU undang – undang ekstradisi tidak juga ditarik dari proses legislatif.z

Ketiadaan upaya deeskalasi konflik dapat berujung kepada entrapment yang sewaktu – waktu dapat terjadi, terutama setelah pemerintah Beijing mengirim sinyal bahwa opsi militer dapat digunakan untuk menghentikan aksi protes yang dianggap mengganggu stabilitas nasional dan memicu perlawanan kepada RRT sebagai pemimpin dalam sistem “satu negara, dua otonomi”. Dalam kondisi sekarang, massa protes pantas menyandang posisi moral high ground ketika secara disiplin dan teratur menjalankan aksi nirkekerasan, walaupun dilawan dengan metode sebaliknya oleh otoritas. Namun, apakah hal tersebut cukup untuk mendorong masa depan berpihak kepada mereka? Satu dari tiga kemungkinan dapat terjadi: (1) konsesi politik diberikan untuk memenuhi tuntutan massa; (2) protes dihentikan paksa tanpa pemberian konsesi politik seperti 2014; hingga (3) protes berakhir dengan melibatkan militer yang tentu mengingatkan dunia kepada Peristiwa Tiananmen 1989. Sembari mengirimkan simpati kepada aksi protes di Hong Kong, harapan dan dukungan akan kedua belah pihak dapat saling mendengarkan satu sama lain demi masa depan Hong Kong yang lebih baik patut didengungkan sebelum pengorbanan lebih besar harus terjadi.

References:
Chan, Holmes. 2019. “Ex-Governor Chris Patten Says Extradition Bill ‘worst Thing’ for Hong Kong since 1997,
as Carrie Lam Faces Grilling.” Hong Kong Free Press HKFP (blog). May 22, 2019. https://www.
hongkongfp.com/2019/05/22/ex-governor-chris-patten-says-extradition-bill-worst-thing-hongkong-
since-1997-carrie-lam-faces-grilling/.
Cheung, Helier, and Roland Hughes. 2019. “The Background You Need on the Hong Kong Protests.” BBC News,
July 25, 2019, sec. China. https://www.bbc.com/news/world-asia-china-48607723.
Cheung, Tony. 2019. “Top Beijing Representative Condemns Attack and Vows Punishment.” News. South China
Morning Post. July 22, 2019. https://www.scmp.com/news/hong-kong/politics/article/3019556/topbeijing-
representative-hong-kong-condemns-attack.
Coconuts Hong Kong. 2019. “So the Bill Is ‘Dead’…but How Dead, Exactly? Lam’s Choice of Words Raises
Eyebrows.” Coconuts. July 9, 2019. https://coconuts.co/hongkong/news/the-bill-is-dead-but-howdead-
google-trends-shows-spike-in-searches-for-idiom-used-by-carrie-lam-to-describe-extraditionbill/.
Dapiran, Antony. 2014. “Mixed Legacy for Hong Kong’s Umbrella Movement.” News. The Weekend Australian.
December 15, 2014. https://www.theaustralian.com.au/business/business-spectator/news-story/
mixed-legacy-for-hong-kongs-umbrella-movement/4859528763fdcfb21fe1a21f41d95727.
Graham-Harrison, Emma. 2019. “China Flaunts Military Muscle as It Seeks to Quell Hong Kong’s ‘Colour
Revolution.’” The Guardian, August 13, 2019, sec. World news. https://www.theguardian.com/
world/2019/aug/13/colour-revolution-jibe-implies-china-will-stop-at-little-to-crush-hong-kongprotests.
Hale, Erin. 2019. “‘Frightened, Angry and Exhausted’: Hong Kong Protesters Apologise for Airport Violence.” The
Guardian, August 14, 2019, sec. World news. https://www.theguardian.com/world/2019/aug/14/
frightened-angry-and-exhausted-hong-kong-protesters-apologise-for-airport-violence.
Hei, Jacky Chan Man, and Jun Pang. 2019. “The Untold Story of Hong Kong’s Protests Is How One Simple
Slogan Connects Us.” The Guardian, July 10, 2019, sec. Opinion. https://www.theguardian.com/
commentisfree/2019/jul/11/the-untold-story-of-hong-kongs-protests-is-how-one-simple-sloganconnects-
us.
Ives, Mike. 2019. “What Is Hong Kong’s Extradition Bill?” The New York Times, June 10, 2019, sec. World.
https://www.nytimes.com/2019/06/10/world/asia/hong-kong-extradition-bill.html.
Kuo, Lily. 2019a. “Hong Kong’s Peace Prospects Recede amid Teargas and Smoke.” The Guardian, August 6, 2019,
sec. World news. https://www.theguardian.com/world/2019/aug/06/hong-kong-peace-prospectsteargas-
protests.
———. 2019b. “Beijing’s New Weapon to Muffle Hong Kong Protests: Fake News.” The Observer, August 11,
2019, sec. World news. https://www.theguardian.com/world/2019/aug/11/hong-kong-china-unrestbeijing-
media-response.
Mitchell, C. R. 1997. The Structure of International Conflict. Nachdr. Basingstoke: Macmillan.
Scobell, Andrew, and Min Gong. 2016. “Whither Hong Kong?” RAND Corporation, Perspective, , 18.
Shao, Grace. 2019. “Violence Is Escalating in Hong Kong. Here Are Three Possible Outcomes.” News. CNBC. July
29, 2019. https://www.cnbc.com/2019/07/29/violence-is-escalating-in-hong-kong-here-are-threepotential-
outcomes.html.
Sharp, Gene. 1998. The Methods of Nonviolent Action. Edited by Gene Sharp and Marina Finkelstein. The
Politics of Nonviolent Action, Part 2. Boston, Ma: Porter Sargent.
Solomon, Feliz. 2019. “Hong Kong Is On the Frontlines of a Global Battle For Freedom.” Feature. Time. June 13, 2019. https://time.com/longform/hong-kong-protests/.
“Special Administrative Regions (SARs): Specifics of Doing Business in Hong Kong & Macau.” 2019. Business. Intrepid Sourcing and Services. July 24, 2019. https://intrepidsourcing.com/trade-wiki/special-administrative-regions-sars-specifics-of-hong-kong-macau/.

Penulis : Wilibrordus Bintang Hartono

Japan’s Agenda behind Its Chemical Export Curb to South Korea

Japan hinted a trade war with its neighbor, South Korea by limiting its exports on fluorinated polyimide, a chemical material often used for semiconductor in chips and for TV or smartphone screens earlier this month. It is known that Japan is South Korea’s largest supplier when it comes to chemicals that are critical for technological products. These components are commonly used by South Korean tech companies. Japan stated that they have been suspicious over the mismanagement of the chemical compounds, worrying South Korea might illegally transfer them to North Korea as the compounds are applicable for weapons too (Lee, 2019).

By putting national security as its main motive to restrict trade relations, Japan has actually demonstrated its
inconsistency in supporting international trade system. Shinzo Abe, Japan’s Prime Minister, just recently expressed the stance of the country in supporting “free, fair, and indiscriminate trade” during G20 Summit held in Osaka last June (Reuters, 2019), only to break his own promise not long after. This sudden change makes us wonder whether or not security is the real reason behind Japan’s chemical compound export restriction to South Korea. The action could be a form of retaliation against the recent South Korea’s decision to request for a redress in a form of financial compensation from Japanese companies that utilized forced labor from South Korea during colonialism era (1910-1945). This causes an economic issue as it consequently requires Mitsubishi Heavy Industries Ltd. to pay $134,000 for each 10 plaintiffs and Sumitomo Metal Corp. to pay $88,000 for each 4 plaintiffs (Lee, 2019). Such measures potentially harm the running of their business as well as the reputation of the companies. Thus, Japan might have seen the export curb policy as the perfect retaliation since it would bring similar harmful effect to South Korean tech companies, considering the country is currently in urgent need to diversify their alternative suppliers for said chemicals (Su-hyun, 2019).

Alternatively, the motive behind the export limitation might be simply a protection towards Japan’s domestic
market. Foreign technological products are currently dominating Japanese market. For instance, Japanese prefers iPhone and Huawei more than local brands for smartphone choices. It is also said that Japanese giant tech companies cannot compete with foreign products including Apple (Statista, 2019). The decline of Japanese technology brands was started since South Korea took over the international market of technological products with its low-cost products and massive business on semiconductors (Osanai, n.d.). Japan has gradually been losing its prowess due to lack of innovation in their product development. They tend to focus more on the hardware improvement and was reported to spend less amount of budget for research and development compared to its major competitor, Samsung (Wakabayashi, 2012). Therefore, the export curb to South Korea can also be seen as an attempt by Japan to protect its domestic market because the cost of South Korean products will rise, and thus limit the product options for Japanese.

In conclusion, seeing how the two countries are retaliating against each other, it is less likely that the trade war will die down anytime soon. The continuous trade war will certainly exacerbate current global trade situation which has been worsened by the larger scale of existing trade war between China and the US. Any conflict between Japan and South Korea surfacing at the present and in the future cannot be separated from their prolonged historical sentiment. Thus, the harmonious relationship between both countries depend heavily on how they will untangle the messy thread from the past and focus on the future collaboration.

References:
Lee, C. Japan-South Korea trade dispute threatens global tech market. Japan Today. Retrieved from https://
japantoday.com/category/tech/japan-south-korea-trade-spatthreatens- global-tech-market
Lee, Y. (2019). Why Japan and South Korea Still Spar Over History. Bloomberg. Retrieved from https://www.
bloomberg.com/news/articles/2019-07-01/why-japan-and-southkorea-still-spar-over-historyquicktake
Osanai, A. (n.d.). Can the Japanese consumer electronics industry resuscitate itself? Rethinking the overblown
approach to product development. Retrieved July 22, 2019, from https://yab.yomiuri.co.jp/adv/wol/
dy/opinion/gover-eco_121009.html
Reuters. (2019). Japan PM Abe calls for strong G20 message on free trade. Reuters. Retrieved from https://www.
reuters.com/article/us-g20-summit-abe/japan-pm-abecalls-for-strong-g20-message-on-free-tradeidUSKCN1TT0DZ
Statista. (2019). Share of smartphone models sold in Japan during the month of April 2019, by model. Retrieved
July 22, 2019, from https://www.statista.com/statistics/755692/japan-smartphone-market-share-bymodel/
Su-hyun, S. (2019). S. Korean biz groups in emergency mode as Korea-Japan feud drags on. The Korea Herald.
Retrieved from http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20190715000661&ACE_SEARCH=1
Wakabayashi. (2012). How Japan Lost Its Electronics Crown. The Wall Street Journal. Retrieved from https://
www.wsj.com/articles/SB10000872396390444840104577551972061864692

Writer : Arindha Nityasari

President Jokowi’s Vision on Indonesia 2019-2024: the Grand Old Talk on Investment and the Missing Points on Technological Utilizatio

As General Election Commission has officially announced Joko Widodo as the elected President of Indonesia for 2019-2024, thus he presented his vision through an open speech entitled Visi Indonesia (Indonesian Vision) on Sunday, 14 July 2019. He underlined the urgency to be open towards investment as he believes that it is equal to wider job opportunity. On that occasion, he also stated that supportive bureaucracy should be built to lubricate such investment and any party indicated hindering the investment will face severe consequences.
Jokowi did well in explaining how investment will create wider job opportunities, however here comes few missing points that were promoted many times during his presidential debate, but were not mentioned at all on the recent speech.

The Missing Points in the Speech

During his presidential campaign, Jokowi took pride in his deep understanding on the utilization of technology in many sectors, including digital economy development (CNN Indonesia, 2019). He has also expressed his ambition on building technology infrastructure that will provide an established digital economy ecosystem as an incentive for businessmen or entrepreneurs to grow more productively and rapidly. In addition, Jokowi has articulated his commitment in the development of digital economy as stated during the G20 Summit in Osaka last June (Anya, 2019). Therefore, it is a huge miss that Jokowi did not mention about the technological utilization and its impact to investment in one of the visions on Indonesia 2019-2024.

Jokowi could have explored on these following points more strategically: 1) boosting up economic development
through technology, 2) building technological infrastructure, and 3) potential new policies in supporting digital
economy. Citizens might have wanted to know more about those because he seemed very clear in his stance in
supporting technology advancement and developing digital economy proven by his previous speeches and what
he has done during his first term. The continuation of the program is such a promise for the actors playing roles
in the industry and for those who were not informed well about the mutual correlation between investment and
technological advancement.

Although President Jokowi missed stating the points on utilization of technologies for economic development and digital economy on his speech last Sunday, hopefully he will still commit to the matters. If he is persistent to build more receptive condition towards investment, he might as well include more investment on digital economy or technological infrastructures. Nonetheless, several things are needed to be improved in regards of utilization of technology and digital economy to make them work efficiently. Firstly, government needs to provide more space for entrepreneurs to innovate. It is not good to control them too much as it can hinder their creativity to innovate (The Jakarta Post, 2018).

Secondly, providing better climate for investors to invest in digital economy and technological infrastructures is
important. It can be seen from the data by Investment Coordinating Board that FDI invested in technological
sector were still relatively low in 2016-2018. However, investment in technological sector indeed increased in the first quarter of 2019 and that is a good sign for enhancement. FDI should also be prioritized considering that investment from abroad will be followed up with transfer of technology that is important as Indonesia is still learning to adapt to the new technology.

Lastly, as digital economy is prone to cyber attacks such as issues on users’ privacy and the transaction processes, the government should strengthen its cyber security and legal frameworks to ensure the potential risks will be managed accordingly. Strengthening cyber security may be achieved by reinforcing cyber diplomacy with other countries because such attacks are often done in a transnational manner. Therefore, there should be a cooperation from government-to-government or business-to-business in regards of cyber attacks on economic facilities such as fintech that work similarly to conventional bank. We can learn this by how Japan proposed international agreement to secure data exchange (Anya, 2019).

References
Anya, A. (2019). Jokowi focuses on digital economy, human capital at Osaka G20 Summit. The Jakarta Post.
Retrieved from https://www.thejakartapost.com/news/2019/06/28/jokowi-focuses-on-digitaleconomy-
human-capital-at-osaka-g20-summit.html
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2019). Press Release Investment Realization in the First Quarter of 2019
Reached Rp 195.1 Trillion, Increased by 5.3% (Press Release April 2019). Retrieved from: https://
www.bkpm.go.id/en/publication/press-release
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2018). Press Release Investment Realization in the First Quarter of 2018
Remain Increase Significantly, Reached About Rp 185.3 trillion (Press Release April 2018). Retrieved
from: https://www.bkpm.go.id/en/publication/press-release
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2017). Press Release Investment Realization in First Quarter of 2017
Reached Rp. 165.8 trillion (Press Release April 2017). Retrieved from: https://www.bkpm.go.id/en/
publication/press-release
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2016). Press Release Investment Realization in First Quarter of 2016
Rose 17,6% “Optimism on Improved Investment Climate Confirmed” (Press Release April 2016).
Retrieved from: https://www.bkpm.go.id/en/publication/press-release
CNN Indonesia. (2019, February 19). Full Debat Kedua Capres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto
[Video File]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=Ck4gJyO4GMc
The Jakarta Post. (2018). BKPM helps accelerate digital economy wave in Indonesia. The Jakarta Post. Retrieved
from https://www.thejakartapost.com/adv/2018/11/12/bkpm-helps-accelerate-digital-economywave-
in-indonesia.html

Writer : Arindha Nityasari

Mau Bekerja Sama atau Saling Tuding Terkait Kabut Asap?

Kebakaran hutan tropis dan lahan gambut yang melanda Asia Tenggara bagian selatan menunjukkan adanya
masalah kolaborasi antar negara anggota ASEAN dalam upaya pencegahan dan penanggulangan bencana kabut asap. Peringatan pada pertemuan ke-21 Sub-Regional Ministerial Steering Committee on Transboundary Haze Pollution (21st MSC) yang menyatakan bahwa titik api berpotensi meningkat sebagai implikasi dari perubahan pola cuaca tidak dihiraukan secara lanjut (ASEAN, 2019a). Ketika kebakaran muncul hingga semakin sulit ditanggulangi, upaya nasional dari masing-masing negara tentu tidaklah cukup. Di tengah bencana ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Indonesia, Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan pernyataan bahwa Malaysia ikut andil terhadap kabut asap hasil kebakaran yang meliputi Indonesia.

Balasan menyengat datang dari Menteri Lingkungan Malaysia, Yeo Bee Yin yang mengatakan bahwa Indonesia
tidak dapat menyangkal ketika data yang disediakan oleh badan ASEAN berbicara bahwa titik api lebih banyak
berada di wilayah Indonesia (Jong, 2019). Menyikapi balasan itu, Menteri Siti berujar bahwa Malaysia gagal
membaca data dan lebih baik berkonsentrasi saja untuk menanggulangi tantangan yang dialami masing masing negara (JPNN, 2019). Pertukaran pesan di atas tidak berujung pada diskusi penyelesaian bersama masalah kebakaran dan kabut asap. Justru, ini menguatkan preseden antara Indonesia, Malaysia beserta Singapura bahwa negara lain bersalah atas bencana/kerusakan lingkungan yang terjadi di negara masing-masing. Keadaan menjadi semakin berbahaya ketika narasi yang selama ini dibangun dikuatkan sembari menolak uluran bantuan oleh negara tetangga karena dianggap melukai harga diri bangsa. Seperti yang disampaikan oleh Jati Witjaksono, juru bicara Kementerian LHK baru –baru ini (BBC, 2019).

Minimnya pembicaraan terkait perlindungan lingkungan dan mitigasi bencana bisa jadi merupakan antitesis
dari upaya peningkatan kerja sama ekonomi sebagai bagian dari ASEAN Economic Community. Padahal,
penelusuran lebih jauh akan menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab kebakaran adalah pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan sawit Malaysia dan Singapura setelah mendapat izin dari pemerintah Indonesia dan sebaliknya. Langkah untuk menyegel wilayah usaha perusahaan sawit serta tindakan hukum di tingkat nasional (Tjandraningsih, 2019) seharusnya juga diiringi komitmen untuk bekerja sama menyiapkan langkah penanggulangan potensi terjadinya bencana di masa depan.

Peristiwa kebakaran hutan dalam skala besar tahun 2019 menunjukkan kelemahan ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP) sebagai instrumen utama dalam menanggulangi bencana kabut asap lintasbatas (ASEAN, 2019b). Sekedar menyelenggarakan pertemuan dan mengeluarkan langkah kerja penanggulangan untuk dikerjakan masing-masing pihak tidak memberi dampak signifikan dalam usaha penanggulangan bencana. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran untuk mencapai kesepakatan bersama, mengingat kondisi geografis negara yang terdiri dari berbagi pulau dan berbatasan dengan banyak negara tetangga. Secara praktis tidak mungkin untuk mengeluarkan satu sama lain dari upaya mitigasi bencana kabut asap. Sinyal yang telah dikeluarkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, bahwa kerja sama jangka panjang antara negaranya dengan Indonesia untuk menangani bencana (Annuar, 2019) patut disambut untuk meningkatkan kerjasama dalam hal penanggulangan bencana. Sembari menyiapkan bentuk konkrit penyelenggaraan kerja sama, Presiden Joko Widodo dan jajarannya perlu menanggapi positif dengan menggandeng negara ASEAN lain dalam usaha mitigasi bencana kabut asap. Kerja sama Indonesia dan Malaysia dapat menjadi katalis agar target Asia Tenggara Bebas Kabut Asap 2020 yang dicanangkan bersama dengan AATHP benar-benar tercapai.

Referensi:
Annuar, A. (2019, September 15). Amid blame game, Dr M insists long-term haze solution requires international
cooperation | Malay Mail. Retrieved September 16, 2019, from MalayMail website: https://www.
malaymail.com/news/malaysia/2019/09/15/amid-blame-game-dr-m-insists-long-term-hazesolution-
requires-international/1790783
ASEAN. (2019a, August 9). MEDIA RELEASE: Twenty-First Meeting of The Sub-Regional Ministerial Steering
Committee on Transboundary Haze Pollution (21st MSC) | ASEAN Haze Action Online. Retrieved
September 16, 2019, from https://haze.asean.org/2019/08/media-release-twenty-first-meeting-ofthe-
sub-regional-ministerial-steering-committee-on-transboundary-haze-pollution-21st-msc/
ASEAN. (2019b, September 16). COP to AATHP (Conference of the Parties to the ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution). Retrieved September 16, 2019, from Association of Southeast Asian
Nations website: https://asean.org/asean-socio-cultural/cop-to-aathp-conference-of-the-parties-tothe-
asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution/
BBC. (2019, September 16). Kebakaran hutan dan lahan kian meluas dan kabut asap semakin parah, BNPB
kewalahan padamkan api. BBC News Indonesia. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/
indonesia-49708970
Jong, H. N. (2019, September 12). Indonesian minister draws fire for denial of transboundary haze problem.
Retrieved September 16, 2019, from Mongabay Environmental News website: https://news.
mongabay.com/2019/09/indonesian-minister-draws-fire-for-denial-of-transboundary-haze-problem/
JPNN. (2019, September 13). Menjawab Kritik Malaysia Soal Asap, Siti Nurbaya: Untuk Apa Berkelit? Retrieved
September 16, 2019, from Www.jpnn.com website: http://www.jpnn.com/news/menjawab-kritikmalaysia-
soal-asap-siti-nurbaya-untuk-apa-berkelit
Tjandraningsih, C. T. (2019, September 14). Indonesia admits haze crossing to Malaysia, charges Malaysian
firms. Retrieved September 16, 2019, from Kyodo News+ website: https://english.kyodonews.net/
news/2019/09/200dcf3e6570-indonesia-admits-haze-crossing-to-malaysia-charges-malaysian-firms.
html


Penulis: Wilibrordus Bintang Hartono

Southeast Asia’s Waste Ban: The emergence of a Global Waste Crises

Two years ago, Beijing has announced to reduce its global waste imports on plastic and paper waste at a commensurate rate. As the mecca of global waste imports; China imports 56 percent of the total global waste imports. This decision induces a gargantuan shift over the practice of the recycling industry at a global scale. Subsequently, developed countries such as; Canada, US, UK, and Japan innately sought alternatives in recycling their plastic and paper wastes. Thus, developed countries starts to export their wastes to Southeast Asian countries, such as Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia and Cambodia due to their maxed out capacity  recycle plastic and paper wastes (Imahashi, 2019). However, since the beginning of July 2019,  number of Southeast Asian countries start to implement heavy restriction on waste imports. Such injunction enforced by Southeast Asian countries arises the question over how such action is enacted as a mean to respond to the trend that is present within the nexus of the global waste management (Scheneuberg, 2019).

The heavy restriction over waste imports by a myriad of Southeast Asian countries, this exhibit an act of recrimination over the fabrication of a global waste management structure since the shock imparted by China’s decision. To some extent, the act of adopting heavy restrictions is followed under the ramifications of environmental degradation, prompted by the plastic waste that is imported. Albeit, further allegations over the transport of unsorted plastic waste by waste smuggler athwart Southeast Asian countries merits heavy implementation of governmental controls on waste imports. Hence the conception over the consequence of unsorted plastic waste in shipping containers that brings contamination to the local environment through chemical run-off, is articulated as the common believe that heavily supports the means of increasing restriction on waste imports (Imahashi, 2019). Conversely, according to the 2018 waste management report by the World Bank; over 90 percent of wastes in developing countries are disposed in an unregulated and perilous manner, as only 10 percent of waste in developing countries is recycled. In a sense, most contaminated plastic wastes are incinerated in an open area, therefore causing serious health and environmental consequences (Kaza, 2018).

The inception of Southeast Asian nations argumentation in tightening the control of its waste imports deliberately propagate an environmental credo among its Southeast Asian communities and as a means to strengthen the execution of its protectionist regulations over waste management. One of the raison d’etre for the influx of waste exports to Southeast Asian countries is the lack of import controls and stipulations that are implemented (Peter, 2019). The emerging trend of increasing restrictions over waste imports of plastic and paper by Southeast Asian nations can be scoped upon the vista of consequentialist impacts that the waste imports induces to the local environment and communities through the increasing quota sent waste across Southeast Asian nations. The quasi-verity that there is 1,600 unsorted plastic waste of polyethyleneterephthalate and Polyvinyl Chloride imported in Cambodia mid-July which brings contamination to nearby landfill, and the emission of toxic fumes in Malaysia due to the incineration of imported plastic wastes acts as one of the pivotal impetuses in articulating tighter protectionist controls over the transfer of waste in most Southeast Asian nations (Vicheika, 2019).

Therefore, in order to analyze the tightening of waste control in Southeast Asia since China’s waste ban, one must scrutinize the processes of waste displacement that is assorted in developed countries. As a meticulous oversight, on the micromanagement of local waste assortment should be imperative in order to sustain the global recycling industry (Kaza, 2018). By embarking the need to manage waste exports by developed countries and conceptualizing an environmentality ethos by waste exporters this may provide a solution over the contamination caused to the waste importing countries (O’Neil, 2019). Australia’s Prime Minister Scott Morison starts to adopt a plethora of incentives in limiting waste exports by industry partnership and consultation in a given timeline. Scott Morison avers over the need of providing jobs to local communities by limiting the number of waste exports and to start invest over the local recycling industry (Australian Associated Press, 2019).

In conjecture to the phenomenon of waste ban athwart Southeast Asian nations, the response embedded by most Southeast Asian countries brings a significant impact over the exercise of the global recycling industry. Hence, further actions of micro-waste management at the grass-root level through the conceptualization of environmental ethos by waste exporters’ communities may bring a solution to the assortment of waste in waste importing countries. Through the tightening of waste controls in waste importing countries limits over the transport of illegally transported wastes that are causing environmental degradation.

References:
Imahashi, R. (2019). Tensions over trash exports to Asia heap pressure on companies. [online] Nikkei Asian
Review. Available at: https://asia.nikkei.com/Spotlight/Environment/Tensions-over-trash-exports-toAsia-heap-pressure-on-companies [Accessed 11 Aug. 2019].
Kaza, S., Bhada-Tata, P., Ionkova, K., Van Woerden, F. and Yao, L. (2018.). What a waste 2.0
O’Niel, K. (2019). As more developing countries reject plastic waste exports, wealthy nations seek solutions at
home. [online] The Conversation. Available at: https://theconversation.com/as-more-developingcountries-reject-plastic-waste-exports-wealthy-nations-seek-solutions-at-home-117163 [Accessed 13
Aug. 2019].
Peter, Z. (2019). ASEAN Urged to Adopt Full Ban on Plastic Waste Imports. [online] Voice of America. Available at: https://www.voanews.com/east-asia/asean-urged-adopt-full-ban-plastic-waste-imports [Accessed
9 Aug. 2019].
Press, A. (2019). Australia will ban export of recyclable waste ‘as soon as practicable’, PM vows. [online] the
Guardian. Available at: https://www.theguardian.com/environment/2019/aug/09/australia-to-banexport-of-recyclable-waste-as-soon-as-practicable-pm-vows [Accessed 13 Aug. 2019]..
Schauenberg, T. (2019). After China’s import ban, where to with the world’s waste? | DW | 05.04.2019. [online]
DW.COM. Available at: https://www.dw.com/en/after-chinas-import-ban-where-to-with-theworlds-waste/a-48213871-0 [Accessed 27 Jul. 2019].
Vicheika, K. (2019). Cambodia Rejects 1,600 Tons of Plastic Waste From US, Canada. [online] Voice of America. Available at: https://www.voanews.com/east-asia-pacific/cambodia-rejects-1600-tons-plastic-wasteus-canada [Accessed 9 Aug. 2019].


Writer : Handono Ega

Untuk Apa Nirkekerasan Kalau…

Tiada hari tanpa aksi damai. Rasa-rasanya, di Indonesia ini, selalu saja ada yang sedang protes dan melawan. Sebagian besar darinya dilakukan melalui unjuk rasa alias demonstrasi — diiringi orasi, poster, happening art, dan lain-lain. Tapi, ada juga yang berbentuk petisi, lagu, karikatur, membisu, mogok makan, mogok kerja, mogok sekolah, boikot, embargo, dan sebagainya. Database DamaiPangkalDamai yang dibuat oleh tim peneliti Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) mencatat lebih dari 13.000 aksi nirkekerasan antara 1999 hingga 2017. Artinya, di era Reformasi ini, paling tidak ada 2 aksi damai per hari di Indonesia. Beberapa yang paling terkenal adalah Kamisan, yang sudah berlangsung lebih dari 600 minggu, Kartini Kendeng yang mengecor kaki dengan semen di depan istana negara, serta rangkaian demonstrasi #ReformasiDikorupsi.  Ketiga aksi terakhir ini mungkin membuat kita berpikir: untuk apa memilih cara-cara nirkekerasan jika lawan yang kita hadapi bebal, tidak punya nurani, atau bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan? Apakah perlawanan secara nirkekerasan dapat membawa kita pada tujuan yang ingin dicapai?

Apa itu Aksi Nirkekerasan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penting bagi kita menentukan apa yang kita maksud dengan aksi nirkekerasan. Secara teknis, aksi nirkekerasan dapat dimaknai sebagai istilah payung bagi aneka metode perlawanan yang tidak menggunakan kekerasan, setidaknya terhadap orang lain (lihat Weber dan Burrowes 1991). Jadi, yang dilakukan oleh biksu yang membakar diri sebagai protes terhadap perang Vietnam, oleh tahanan politik Irlandia Utara yang berminggu-minggu mogok makan memprotes kesewenangan pemerintah, oleh Kartini Kendeng yang mengecor kaki dengan semen karena menolak tanahnya dijadikan pabrik semen, dan sebagainya, masuk dalam definisi aksi nirkekerasan. Ini karena aneka “kekerasan” di atas mereka tujukan pada diri mereka sendiri, bukan pada pihak lain yang berkeberatan menanggung sakit dan luka. Sedangkan, musyawarah, berunding, dan diskusi bukan aksi nirkekerasan karena — meski tidak ada unsur kekerasannya — hal-hal ini bukan bentuk perlawanan. Bayangkan negosiasi antara buruh dan perusahaan. Di sini, mereka sedang berusaha mencapai kesepakatan soal gaji, cuti, atau lainnya. Dengan kata lain, mereka sedang “bekerja sama” mencari titik temu. Negosiasi antara mereka bukanlah aksi nirkekerasan, tetapi unjuk rasa atau mogok yang dilakukan sebelum, setelah, atau berbarengan dengan negosiasi merupakan aksi nirkekerasan.

Pada tahun 1973, seorang ilmuwan bernama Gene Sharp mengidentifikasi 198 metode nirkekerasan. Metode-metode
ini ia bagi ke dalam 3 kategori. Yang pertama adalah protes dan persuasi, di mana pelaku “sekadar” mengekspresikan dukungan atau ketidaksetujuan terhadap hal tertentu. Contohnya termasuk demonstrasi, pawai, orasi, petisi, poster, lagu, happening art, deklarasi, penghargaan lancung, dan sebagainya. Kamisan, sebagaimana aksi ibu-ibu di Argentina pada tahun 1970an yang mencari anak mereka yang dihilangkan paksa oleh negara, masuk dalam kelompok ini, tepatnya dalam metode nomor 16, yaitu picketing.

Yang kedua adalah nonkooperasi. Di sini, pelaku aksi tidak hanya menyatakan menolak sesuatu, tetapi juga menarik partisipasinya dari praktik yang tidak ia setujui. Aneka mogok, embargo, dan boikot masuk dalam kategori ini. Dalam mogok (metode nomor 97), buruh tidak hanya berdemonstrasi menagih janji perusahaan, tetapi juga berhenti memberikan tenaganya pada proses produksi yang menurutnya eksploitatif. Dalam boikot (metode nomor 77), konsumen tidak hanya menyerukan kemerdekaan Palestina, tetapi juga berhenti memberikan uang kepada produk-produk yang menyokong perekonomian Zionis Israel. Greta Thunberg dan jutaan siswa sekolah di seluruh dunia tidak hanya menuntut pengurangan emisi karbon, tetapi juga menarik diri dari kegiatan pembelajaran di sekolah (metode nomor 62) yang menurut mereka tidak pro-sains dan tidak mengajarkan kedaruratan persoalan
iklim global.

Yang terakhir adalah intervensi nirkekerasan. Di sini, pelaku tidak hanya menunjukkan posisinya dan menarik partisipasinya dari praktik tertentu, tetapi juga secara aktif berusaha menghentikan praktik yang ditentangnya itu. Contohnya adalah Mama Aleta Baun dan ibu-ibu di Mollo yang duduk menenun di atas bukit sehingga perusahaan tidak dapat menambang marmer dari bukit itu (metode nomor 173, pendudukan nirkekerasan) atau komunitas Sunda Wiwitan yang berbaring di ruas jalan guna menghalangi proses eksekusi pengambilalihan tanah di wilayah adat mereka (metode nomor 172, blokade nirkekerasan). Para Kartini Kendeng pun masuk ke dalam kategori ini, yaitu metode nomor 158, exposure to the elements. Serupa dengan logika biksu yang membakar diri di tengah Perang Vietnam, ibu-ibu petani Kendeng menempatkan diri dalam “situasi bahaya” guna mendorong pemerintah menghentikan kebijakan mereka.

Bagaimana Aksi Nirkekerasan Bekerja?
Pada tahun 1962, seorang ilmuwan bernama George Lakey mengidentifikasi tiga cara kerja aksi nirkekerasan. Yang pertama adalah konversi, di mana pelaku aksi berhasil mengetuk nurani lawan sehingga lawan tersebut berbalik mendukung tujuan pelaku aksi. Di tengah gerakan People Power 1986 yang menuntut mundurnya Presiden Marcos, tentara Filipina urung maju menghalau demonstran begitu melihat seorang biarawati berlutut dan berdoa di garis paling depan. Para tentara pun tersentuh oleh aksi biarawati tersebut — jika seorang rohaniwan rela mati terlindas tank alih-alih membiarkan para demonstran terluka, pasti tujuan yang diusung gerakan tersebut mulia dan karenanya perlu didukung.

Yang kedua adalah koersi, di mana pelaku aksi tidak memberikan pilihan lain kepada lawan selain berhenti. Contohnya adalah Chico Mendes dan para aktivis Brazil yang merantai diri mereka di pohon-pohon guna mencegah orang-orang yang hendak melakukan penebangan di Hutan Amazon. Di sini, para penebang tidak tersentuh hatinya untuk mendukung ide-ide pelestarian hutan. Akan tetapi, ia terpaksa berhenti menebang karena tidak ingin didakwa membunuh orang.

Yang ketiga adalah persuasi. Jika dibayangkan dalam sebuah spektrum, persuasi ada di antara konversi dan koersi. Di satu sisi, para pelaku aksi belum berhasil membuat pihak-pihak lain sepakat pada tujuan mereka. Akan tetapi, di sisi lain, mereka berhasil menunjukkan bahwa mereka bukan aktor anarkis yang irasional yang pantas menerima kekerasan. Pada titik tertentu, interaksi antara mahasiswa, pelajar, dan kelompok-kelompok yang bergabung dalam #GejayanMemanggil dengan para polisi dapat digambarkan sebagai persuasi. Bisa jadi, institusi kepolisian maupun individu-individu polisi yang bertugas saat itu belum sepenuhnya sepakat dengan tuntutan masyarakat, termasuk soal perlu disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Akan tetapi, polisi teryakinkan bahwa peserta aksi #GejayanMemanggil bukan perusuh melainkan warga negara yang sedang mengekspresikan pendapatnya. Karenanya, alih-alih merespon dengan gas air mata dan water cannon, polisi menjalankan fungsi pengamanan secara nirkekerasan pula — termasuk dengan memodifikasi jalur lalu lintas.

Selain yang di atas, ada cara keempat yang dikenalkan oleh Gene Sharp, yaitu disintegrasi. Di sini, aksi nirkekerasan bekerja perlahan-lahan, di mana pilar-pilar penyokong kekuasaan lawan satu per satu ditarik keluar. Kembali ke contoh dari Filipina, gelombang protes yang ada tidak seketika membuat Marcos jatuh. Perlahan tapi pasti, People Power mendorong individu dan lembaga supayamenarik dukungan mereka terhadap Marcos. Pertama, para staf komisi pemilihan umum menolak memalsukan penghitungan surat suara Marcos. Lalu, gereja Katholik yang dipimpin Kardinal Sin menyatakan mendukung tuntutan rakyat. Tak lama kemudian, pers berhenti mengikutiarahan negara untuk hanya menayangkan berita pro-Marcos, tentara berhenti mengikuti perintah menembak demonstran, dan seterusnya, hingga Marcos terpaksa lari menyelamatkan diri dan keluarganya ke luar negeri.

Mengapa Memilih Metode Nirkekerasan?
Jadi, mengapa kita harus memilih metode nirkekerasan? Relevankah menggunakan metode ini mengingat lawan kita nampaknya bebal, tidak punya nurani, dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan? Jawabannya: justru karena lawan kita demikian, kita harus setia pada nirkekerasan.

Pertama, semakin besar kekuasaan lawan, semakin mudah ia mendelegitimasi tujuan kita. Dengan aksesnya yang besar terhadap alat-alat kekerasan dan media komunikasi, negara yang otoriter dapat dengan mudah mencap kita sebagai warga negara yang subversif, anarkis, irasional, ditunggangi kepentingan politik praktis, potensial rusuh, dan sebagainya. Perusahaan juga mudah saja mengatakan buruhnya malas dan manja, atau mengatakan petani dan masyarakat adat yang tidak mau melepas tanah dan sistem pertanian mereka sebagai kolot, egois, dan tidak propembangunan.

Begitu kita menggunakan kekerasan, mudah bagi lawan mendelegitimasi kita. Pada titik ini, semakin sulit bagi kita menarik simpati, dukungan, apalagi partisipasi warga dalam mencapai tujuan kita. Terlebih lagi, mana mungkin kita bisa menang melawan pihak yang alat-alat kekerasannya lebih canggih dan lebih legitimate daripada kita? Kedua, aneka penelitian menunjukkan bahwa aksi nirkekerasan bisa efektif membawa para pelakunya mencapai tujuan mereka. Peter Ackerman dan Jack DuVall (2000) mengklaim abad ke-21 sebagai abad nirkekerasan, di mana banyak sekali diktator berhasil diturunkan tidak melalui kudeta berdarah tetapi aksi nirkekerasan. Studi Maria Stephan dan Erica Chenoweth (2008, 2011) menunjukkan bahwa tingkat efektivitas aksi nirkekerasan adalah 53%, sedangkan perlawanan dengan kekerasan hanya 26% saja yang berhasil. Juga, penelitian Veronique
Dudouet (2015, 2017) menceritakan beberapa konflik industri dan agraria serta aksi separatisme justru berhasil ketika berubah strategi, dari kekerasan ke nirkekerasan. Merayakan trend ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan mencanangkan 2001 hingga 2010 sebagai dekade budaya perdamaian dan nirkekerasan.

Jadi, alih-alih bertanya apakah aksi nirkekerasan itu efektif, mari bertanya bagaimana menjadikan aksi nirkekerasan efektif. Merujuk pada consent theory of power yang dikenalkan oleh Gene Sharp (1973), aksi nirkekerasan adalah perlawanan yang menyasar sumber-sumber kekuasaan lawan, termasuk di dalamnya sumber daya finansial, legitimasi hukum, kepatuhan warga, dan sebagainya. Pada titik ini, ada empat hal yang perlu diingat.

Pertama, sudahkah kita memilih metode atau kombinasi metode nirkekerasan yang tepat? Apakah metode pilihan kita punya unsur kejut yang bisa mendorong konversi, koersi, dan persuasi — atau jangan-jangan metodenya sudah terlalu lazim dan dapat dibaca lawan? Apakah kategori metode kita — protes dan persuasi, nonkooperasi, atau intervensi nirkekerasan — mencerminkan militansi yang sepadan dengan tingkat konfliknya? Barangkali, untuk isu sedarurat kebakaran hutan atau pemanasan global, demonstrasi (yang masuk dalam kategori protes dan persuasi) tidak cukup.

Kedua, sudahkah kita menyasar pilar kekuasaan yang genting bagi lawan? Apakah metode kita secara efektif menghalangi lawan mendapatkan aneka sumber daya yang mereka butuhkan? Apakah pilihan metode kita bisa membekukan aliran uang, informasi, kepatuhan, dan hal lain yang diperlukan oleh lawan? Dalam rangka mendorong pengesahan sebuah undang-undang, sudahkah kita memainkan hubungan konstituensi antara masing-masing anggota parlemen dengan rakyat yang memilihnya? Dalam rangka mendorong hubungan kerja yang lebih adil dan manusiawi, apakah para konsumen sudah cukup strategis menahan aliran uang kepada perusahaan-perusahaan yang membayar buruhnya di bawah upah minimum regional?

Ketiga, sudahkah kita mengedepankan agen yang sesuai? Di Argentina, perjuangan mencari orang-orang yang dihilangkan secara paksa baru berhasil ketika yang maju ke garis depan adalah para ibu. Dalam isu darurat iklim, orang baru mulai bergerak ketika yang mogok adalah para pelajar. Dalam isu #MeToo, titik balik baru tercapai ketika para laki-laki menunjukkan penolakan mereka terhadap toxic masculinity.

Keempat, sudahkah kita membayangkan endgame dari “permainan catur” kita dengan lawan? Tentu kita bermain catur untuk menang, atau setidaknya remis — bukan sekadar iseng. Tapi jangan lupa, lawan kita pun bermain untuk menang atau remis — bukan untuk kalah. Kalau kita membayangkan bahwa salah satu ujung dari perlawanan kita adalah adanya penyelesaian yang damai di Papua, maka di samping turun ke jalan dan sebagainya, kita perlu menjadi bagian dalam dialog soal Papua. Jika kita membayangkan bahwa salah satu tujuan aksi kita adalah kembalinya militer ke dalam barak, maka tidak cukup bagi kita meneriakkan slogan itu. Kita juga harus terlibat dalam upaya-upaya mendorong profesionalisme militer.

Jadi, alih-alih memperdebatkan efektivitas dan relevansi aksi nirkekerasan, lebih produktif rasanya memastikan aksi nirkekerasan kita efektif dan relevan.

Referensi:
Ackerman, P., & DuVall, J. (2000). A force more powerful. Basingstoke: Palgrave.
Chenoweth, E. and Stephan, M. (2011). Why civil resistance works. New York: Columbia Univ. Press.
Dudouet. V. (2015). Civil resistance and conflict transformation. London: Routledge.
————. (2017). Powering to Peace: Integrated Civil Resistance and Peacebuilding Strategies. International Center on Nonviolent Conflict. Retrieved from http://www.nonviolent-conflict.org
Sharp, G. (1973). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent.
Stephan, M., & Chenoweth, E. (2008). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. International Security, 33(1), 7-44. doi: 10.1162/isec.2008.33.1.7
Weber, T., & Burrowes, R. (1991). Nonviolence: An Introduction. Melbourne: Peace Dossier 27.


Penulis: Diah Kusumaningrum

Refleksi dari Aksi # GejayanMemanggil

Pada tanggal 23 dan 30 September lalu, berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak bersama-sama turun ke jalan dan melancarkan aksi #GejayanMemanggil di tengah tajuk “Reformasi Dikorupsi.” Aksi protes tidak hanya muncul di Yogyakarta, melainkan juga di berbagai kota lainnya seperti Jakarta, Malang, Solo, Semarang, Surabaya, Makassar, dan lainnya. Secara umum, gelombang protes ini muncul secara serentak guna mendesak penundaan dan pengkajian ulang beberapa Undang-Undang (UU) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dianggap bermasalah seperti RKUHP, UU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, dan mendesak pengesahan segera RUU PKS.

Saya sendiri mengikuti jalannya aksi #GejayanMemanggil pertama dan kedua. Pada aksi pertama di 23 September, saya mengikuti aksi sejak pagi dari mulai berkumpul di Taman Sansiro FISIPOL, berjalan ke Bundaran UGM, dan dilanjutkan dengan march menuju Jalan Gejayan. Di aksi kedua tanggal 30 September, awalnya saya memiliki kekhawatiran akan jalannya aksi setelah melihat berbagai bentuk provokasi dan pelintiran beberapa kelompok mengenai tujuan aksi. Namun, pada aksi kedua, teman-teman Aliansi Rakyat Bergerak berhasil membuktikan keselarasan tujuan dengan cara protes yang damai. Setelah mengikuti rangkaian aksi ini, terdapat dua hal yang menurut saya cukup penting untuk diapresiasi.

Pertama, aksi #GejayanMemanggil membuktikan bahwa aksi protes yang nirkekerasan itu bisa dilakukan. Sejak awal, teman-teman di dalam gerakan ini memang sudah menekankan bahwa aksi yang akan dilakukan di Jalan Gejayan adalah aksi damai. Yang dimaksud dengan damai disini adalah aksi yang tidak melibatkan cara-cara kekerasan misalnya seperti merusak fasilitas warga dan umum, tidak melakukan tindak-tindak provokasi kepada siapapun, dan tidak mengganggu jalannya kegiatan warga di sekitar wilayah aksi. Poin ketiga ini bahkan dilanjutkan dengan anjuran agar massa aksi mendukung jalannya perekonomian warga sekitar dengan membeli dagangan dan berbicara dengan para penjual yang sedang bekerja.

#GejayanMemanggil menerapkan dan mengkombinasikan beberapa metode nirkekerasan pada saat aksi kemarin antara lain seperti marching, orasi, die-in (berpura-pura mati), pertunjukan musik, pertunjukan teatrikal, bernyanyi, pengunaan bunyi dan simbol. Pemilihan cara-cara nirkekerasan seperti ini lebih mudah dalam menarik simpati dan dukungan dari warga sekitar dibandingkan dengan cara kekerasan. Selain itu, dengan tidak melakukan kekerasan, peserta aksi tidak memberikan legitimasi bagi pihak manapun untuk melakukan represi atau penyerangan. Apabila hal itu pun tetap terjadi, kesalahan dan tanggung jawab ada pada pihak yang menyerang tersebut.

Satu hal yang terlihat cukup jelas dari aksi di Gejayan kemarin adalah bagaimana hubungan antara massa aksi dengan polisi tetap baik. Polisi-polisi yang hadir saat aksi terlihat tidak membawa senjata dan hadir hanya untuk menertibkan lalu lintas bukan massa aksi. Di sini, peserta aksi dan polisi berhasil menjaga hubungan yang tidak saling mengantagoniskan.

Kedua, hal lain yang membuat saya cukup senang berada di tengah-tengah massa aksi #GejayanMemanggil adalah keberagaman elemen yang ikut berpartisipasi. Mereka meliputi individu atau kelompok aktivis perempuan, mahasiswa Papua, kelompok tani, dan juga pelajar yang ikut pada pelaksanaan aksi kedua. Dari pengamatan saya terhadap proses persiapan dan perumusan tuntutan pada saat konsolidasi pra aksi, saya melihat teman-teman dalam gerakan ini berusaha melibatkan pihak-pihak yang terkait untuk turut merumuskan tuntutan sampai penentuan redaksi kata. Saat merumuskan tuntutan mengenai Papua, maka teman-teman Papualah yang diminta untuk berbagi pengalaman dan pandangan terlebih dahulu. Saat merumuskan tuntutan mengenai RUU PKS, teman-teman komunitas perempuan juga diminta untuk menyampaikan hasil kajian dan pengalaman setelah mengawal lambatnya proses pengesahan RUU ini sejak awal hingga kemarin. Saat merumuskan tuntutan mengenai RUU Pertanahan, teman-teman komunitas petani menyampaikan apa dampak yang akan terjadi apabila RUU tersebut disahkan. Namun, proses perumusan tidak terbatas hanya ditentukan oleh kelompok-kelompok tersebut. Peserta aksi lainnya juga diberikan ruang untuk saling menanggapi dan memberikan masukan pada saat konsolidasi pra aksi.

Dengan menggunakan cara ini, tuntutan yang pada akhirnya disampaikan dalam aksi #GejayanMemanggil tidakmengambang dan asal cetus, melainkan tetap kontekstual dan sesuai dengan kenyataan yang dihadapi oleh masingmasing kelompok yang telah dan akan menerima dampak langsung dari kebijakan pemerintah tersebut. Meskipun demikian, masih ada beberapa catatan penting yang perlu direfleksikan bersama dari gerakan ini dan juga dari tren aksi di beberapa kota lainnya di Indonesia.

Pertama adalah pentingnya memperluas imaji tentang repertoar perlawanan terutama oleh mahasiswa. Saya terlibat dalam sebuah riset bernama Damai Pangkal Damai (DPD) yang mengumpulkan data mengenai aksiaksi nirkekerasan yang dilakukan di Indonesia sejak tahun 1999 atau Reformasi dari salah satu koran nasional, yaitu KOMPAS. Dari pengalaman saya membaca satu per satu lembar koran sepanjang tahun 2004, pilihan metode nirkekerasan yang dilakukan pada aksi kemarin menampilkan bentuk-bentuk yang sama dengan berbagai aksi demonstrasi yang pernah dilakukan di Indonesia. Metode yang paling umum ditemui adalah demonstrasi atau assemblies of protest or support. Biasanya aksi demonstrasi ini akan diikuti dengan penggunaan poster, spanduk, yelyel, aksi teatrikal, atau bernyanyi.

Pengamatan ini terbukti dari temuan awal riset DPD, yang menunjukkan bahwa dari 13.524 data aksi nirkekerasan yang terkumpul (sejak tahun 1999 sampai 2017), sebanyak 5.362 aksi (39.6%) adalah demonstrasi. Sebanyak 2.084 aksi lainnya (15.4%) adalah penggunaan spanduk, poster, dan komunikasi tertulis. Angka ini kemudian disusul dengan penggunaan orasi sebanyak 779 kali (5.8%), blokade secara nirkekerasan/nonviolent obstruction sebanyak 536 kali (4%), marches sebanyak 464 (3.4%), deklarasi oleh organisasi dan institusi sebanyak 349 kali (2.6%), pertunjukan seni peran dan musik sebanyak 328 kali (2.4%), slogan, karikatur, dan simbol sebanyak 186 kali (1.4%), dan pendudukan secara nirkekerasan/nonviolent occupation sebanyak 170 kali (1.3%). Apabila dilihat kembali, rangkaian aksi yang dilakukan di Gejayan tempo hari juga kurang lebih menunjukkan repertoar perlawanan yang sama dengan tren repertoar di Indonesia secara keseluruhan. Bukan artinya aksi ini kurang kreatif, namun ini menunjukkan imaji perlawanan kita yang masih terbatas.

Sharp (1973) menunjukkan terdapat setidaknya 198 macam metode nirkekerasan, yang kemudian dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu protes dan persuasi, nonkooperasi, dan intervensi. Ketiga kategori ini berbeda dalam tingkatan perlawanannya. Protes dan persuasi bertujuan untuk menunjukkan dukungan atau penolakan, nonkooperasi bertujuan untuk menarik diri atau menolak bekerja sama dengan praktik yang dilawan, sementara intervensi bertujuan untuk menghentikan atau mengganggu jalannya status quo. Selain dari blokade jalan dan mengosongkan kelas-kelas, metode-metode yang digunakan pada #GejayanMemanggil tergolong pada kategori protes dan persuasi.

Kedua, kita juga perlu membuat gerakan perlawanan menjadi lebih strategis. Beberapa hari belakangan, muncul pandangan skeptis di kalangan masyarakat Indonesia terhadap efektivitas perlawanan nirkekerasan. Pandangan ini muncul setelah melihat bagaimana berbagai aksi damai yang dimulai oleh mahasiswa dalam tajuk “Reformasi Dikorupsi” pada akhirnya tetap menghadapi represi dari polisi. Bahkan, rasa skeptis ini semakin kuat setelah membandingkan aksi belakangan dengan aksi-aksi damai yang telah lama dilakukan di Indonesia seperti Kamisan di depan Istana Negara yang hingga sekarang tidak menghasilkan pencapaian memuaskan dan tetap menerima represi dari aparat kepolisian. Kegagalan perlawanan kita sebenarnya tidak berada pada pilihan metode nirkekerasannya, melainkan mungkin pada rancangan perlawanan kita yang kurang strategis.

Salah satu cara untuk membuat perlawanan nirkekerasan lebih strategis adalah dengan menyasar lawan yang tepat. Cara terbaik untuk membuat perlawanan tepat sasaran adalah dengan menyerang langsung kepada sumber kekuasaan lawan. Popovic (2007) menjelaskan mengenai pillars of support atau pilar-pilar penyokong kekuasaan yang mencakup institusi kepolisian, militer, lembaga birokrasi seperti badan legislatif dan yudikatif, pegawai negeri sipil, sistem pendidikan, lembaga keagamaan, media yang dikuasai pemerintah, pelaku bisnis, dan komponen masyarakat lokal. Kekuasaan pemerintah bergantung pada kepatuhan setiap elemen yang ada di dalam pilar-pilar ini. Saat orang-orang di berbagai pilar ini memutuskan untuk tidak patuh terhadap pemerintah, maka kekuasaan pemerintah akan semakin terancam.

Perlawanan nirkekerasan yang strategis berusaha menarik dukungan-dukungan di berbagai pilar ini sehingga bisa meruntuhkan kekuasaan lawan. Strategi ini dilandaskan pada pandangan bahwa kekuasaan tidak bersifat monolitik melainkan pluralistik. Untuk berkuasa, pemerintah membutuhkan kepatuhan dari orang-orang di berbagai insititusi yang menyokong keberlangsungannya. Cara menarik dukungan dari pilar ini bisa dengan mengkonversi, koersi, persuasi (Leakey 1962).

Apabila melihat beberapa aksi seperti di Jakarta, Makassar, NTB, dan Medan yang berujung pada bentrokan antara massa aksi dengan kepolisian, mungkin satu hal yang perlu kita lakukan bersama adalah mengubah sikap dalam menghadapi aparat. Daripada menunjukkan sikap yang keras dan mengantagoniskan aparat kepolisian, akan lebih efektif apabila kita melakukan aksi yang membuat para polisi ini turut mendukung jalannya rangkaian protes kita. Memang tidak mudah, apalagi kalau pemahaman mengenai cara-cara nirkekerasan juga tidak dimiliki oleh aparat. Namun, pada akhirnya pilihan untuk setia pada cara nirkekerasan akan membuat pihak kepolisian memiliki legitimasi yang lemah untuk menyerang kita.

Ketiga, kita masih perlu memperkuat ikatan antarelemen masyarakat yang kemarin telah berhasil dipertemukan dalam aksi. Di aksi #GejayanMemanggil, terdapat begitu banyak kelompok dan individu dengan latar belakang berbeda-beda yang memutuskan untuk menyatukan suara dan bersama-sama menunjukkan perlawanan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pertemuan berbagai kelompok ini bisa terjadi karena isu yang dibahas cukup massif dan memang memengaruhi banyak komponen masyarakat. Mungkin apabila isu yang dibahas lebih sempit, misalnya hanya RUU PKS atau RUU Pertanahan saja, dukungan yang datang tidak akan seberagam itu. Maka, salah satu tugas yang perlu kita lakukan dari sekarang adalah untuk semakin memperkuat ikatan yang sudah terbentuk ini.

Aliansi Rakyat Bergerak sudah cukup berhasil menyatukan berbagai kelompok ke dalam satu kategori, yaitu rakyat. Namun, pengkategorian ini mungkin tidak akan bertahan lama dan akan mulai terurai kembali seiring waktu. Yang perlu dilakukan adalah upaya brokering yang secara sengaja dilakukan untuk menciptakan hubungan baru antaraktor yang sebelumnya tidak saling terhubung. Salah satu tantangan besar pergerakan di Indonesia adalah kondisi masyarakat yang terfragmentasi baik antarkelas, gender, agama, dan lainnya. Maka cara untuk menghadapi tantangan ini adalah dengan merawat dan memperkuat hubungan yang interseksional. Dengan adanya hubungan ini akan mempermudah penggalangan dukungan dari satu sama lain setiap kali terdapat masalah baru yang perlu diselesaikan dengan cara perlawanan nirkekerasan.

Terakhir, pentingnya mempersiapkan dan memperkuat kemampuan negosiasi. Di kalangan aktivis pro demokrasi di Indonesia, seringkali negosiasi dengan pihak lawan dilihat sebagai satu kekalahan atau kemunduran. Padahal, untuk mencapai end game dari perlawanan nirkekerasan kita membutuhkan proses negosiasi dengan pihak yang kita lawan. Maka, hal yang perlu dilakukan justru adalah mempersiapkan diri untuk melakukan negosiasi alih-alih menghindari kesempatan-kesempatan dialog dan bersikap keras kepala meminta lawan memenuhi seluruh tuntutan kita tanpa ada proses deliberasi secara langsung.
Kemampuan negosisasi, terutama dalam konflik memang perlu dilatih dan dipertajam. Hal paling dasar yang harus disiapkan sebelum memulai negosiasi adalah batas atas dan batas bawah tuntutan. Penentuan batasan-batasan ini harus dilakukan dengan menerawang satu, dua, atau tiga langkah ke depan yang akan dilakukan oleh lawan, layaknya bermain catur. Dengan mempersiapkan keahlian negosiasi, perlawanan nirkekerasan yang kita lakukan akan bisa menghasilkan pencapaian yang lebih membanggakan dan bukan “manusia-manusia yang seketika ajaib” setelah keluar dari Istana Presiden.

Ingat, negosiasi tidak sama artinya dengan kompromi. Perjuangan demi hak-hak fundamental, seperti kebebasan berpendapat, hak berkeyakinan, kesetaraan gender, hak menentukan nasib sendiri, dan berbagai hak lainnya adalah perjuangan yang tidak boleh diakhiri dengan kompromi. Negosiasi yang dilakukan tidak boleh menanggalkan hak-hak ini dari agen demokrasi yang sedang berjuang. Maka, saat gerakan sipil hendak memilih dan mempersiapkan negosiatornya, satu hal yang pertama kali harus dipastikan adalah keberpihakan orang tersebut terhadap hak-hak orang yang diwakilinya.

Saat ini, agenda Reformasi Dikorupsi menghadapi babak baru setelah anggota baru DPR telah dilantik pada 1 Oktober kemarin.
Aksi-aksi yang kita lakukan beberapa hari lalu masih belum cukup strategis menyasar orang-orang yang berlindung dibalik gerbang gedung DPR. Apabila kita masih ingin mengawal proses penyusunan dan pengesahan berbagai RUU bermasalah kemarin, maka kita perlu memikirkan bentuk aksi nirkekerasan yang bisa menyerang para pejabat DPR ini secara langsung. Tepatnya, kita perlu memikirkan cara nirkekerasan yang bisa efektif memberikan sanksi apabila para anggota DPR masih belum mau bekerja sama untuk menerima suara dan masukan masyarakat sipil.

Penulis : Coory Yohana Pakpahan

Bukan Hanya Demonstrasi: 198 Metode Aksi Nirkekerasan untuk Melemahkan Pilar Kekuasaan

Sejak 23 September lalu, ribuan masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan untuk memprotes pemerintah. Beragam tuntutan disuarakan, mulai dari penolakan terhadap beberapa rancangan undang-undang yang dinilai mencederai demokrasi hingga desakan untuk menghentikan perlakuan represif dan pelanggaran HAM terhadap rakyat. Gelombang protes terbesar sejak Reformasi 1998 tersebut dilakukan dengan cara-cara damai atau nirkekerasan, meskipun tidak dipungkiri bahwa pada beberapa kasus sempat terjadi kerusuhan antar massa aksi dan aparat keamanan.

Satu hal menarik yang baru-baru ini menuai perdebatan di media sosial dan forum diskusi adalah munculnya skeptisisme terhadap penggunaan cara-cara nirkekerasan dalam gerakan-gerakan rakyat. Sebagian warganet mulai mempertanyakan efektivitas unjuk rasa damai bagi upaya penyampaian aspirasi di hadapan negara yang terus-menerus melanggengkan kekerasan. Mereka yang skeptis merasa bahwa negara tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam perebutan kekuasaan, sehingga rakyat yang melawan dengan nirkekerasan tidak akan digubris oleh pemerintah atau bahkan disakiti dan dipersekusi. Skeptisisme ini patut kita cermati kembali. Jika kita menginginkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih damai di masa depan, maka kita perlu membayangkan cara-cara berkonflik yang dalam jangka panjang dapat memutus rantai kekerasan.

Berbagai gerakan damai—seperti Aksi Kamisan, #ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, tolak reklamasi, Petani Kendeng Melawan, dan Aliansi Masyarakat Papua—yang dinilai tidak membuahkan hasil dan malah disambut oleh represi aparat, bukanlah penanda bagi kegagalan aksi nirkekerasan. Alih-alih memadamkan semangat nirkekerasan dalam gerakan rakyat, kita justru perlu memikirkan ulang strategi kita; bahwa barangkali bentuk aksi nirkekerasan yang kita gunakan selama ini belum secara tepat menyasar “lawan” atau struktur kekuasaan opresif yang hendak kita ubah. Tulisan ini akan membahas metode-metode nirkekerasan dalam upaya melawan “pilar-pilar” kekuasaan. Apa saja jenis dan contoh metode nirkekerasan? Bagaimana pemilihan metode nirkekerasan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan gerakan? Metode apa yang berpotensi meningkatkan efektivitas aksi nirkekerasan, namun masih luput dari repertoar gerakan-gerakan masyarakat sipil selama ini?

Aksi Nirkekerasan dan Pilar-pilar yang Mendukung Kekuasaan

Melawan penguasa opresif lewat jalur nirkekerasan adalah sebuah pilihan yang mensyaratkan kita untuk terlebih dahulu memahami cara kerja kekuasaan politik. Kekuasaan tidak secara mutlak dan alamiah dimiliki oleh orang-orang yang berkuasa. Sebaliknya, penguasa dapat berkuasa karena rakyat yang memungkinkannya. Penguasa bergantung pada kepatuhan, ketundukan, dan kesediaan dari masyarakat yang dikuasainya.

Ketundukan masyarakat ini kemudian menjadi sumber kekuasaan yang menurut Popovic dkk (2007) mewujud dalam enam bentuk: (1) otoritas, yakni perpaduan antara kapasitas untuk memerintah dan keyakinan masyarakat bahwa perintah tersebut dapat dilegitimasi; (2) sumber daya manusia, yakni kumpulan orang dan kelompok yang mematuhi dan bekerja sama dengan penguasa baik secara sukarela maupun karena ditekan; (3) pengetahuan dan keahlian yang dipasok oleh para ahli atau cendekiawan kepada penguasa; (4) sumber daya material, seperti kontrol atau akses terhadap kekayaan, sumber daya alam, finansial, serta sarana komunikasi dan transportasi; (5) faktor-faktor tidak berwujud, terdiri atas serangkaian kebiasaan, sikap, nilai-nilai psikologis, kultural, relijius, maupun ideologis yang dapat memengaruhi masyarakat untuk tunduk dan membantu penguasa; dan (6) sanksi, yaitu penggunaan hukuman untuk memastikan ketundukan masyarakat agar penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya. Ketakutan yang muncul dari ancaman ataupun adanya kemungkinan dikenai sanksi seringkali membawa dampak lebih kuat daripada penerapan sanksi itu sendiri. Salah satu inti dari perjuangan nirkekerasan adalah upaya-upaya mengubah pola ketundukan masyarakat agar tidak lagi menyuplai sumber-sumber kekuasaan tersebut.

Sumber-sumber kekuasaan dipertahankan dan dikelola melalui beragam institusi atau kelompok yang mendukung struktur kekuasaan. Institusi-institusi ini dapat disebut sebagai “pilar-pilar dukungan” kekuasaan yang mencakup diantaranya: kepolisian, militer, lembaga birokrasi seperti badan legislatif dan yudikatif, pegawai negeri sipil, sistem pendidikan, lembaga keagamaan, media yang dikuasai pemerintah, pelaku bisnis, dan komponen masyarakat lokal. Dalam logika nirkekerasan, perebutan kekuasaan dilakukan dengan cara-cara untuk memengaruhi orang-orang yang memberi dukungan maupun menjadi bagian dari pilar-pilar tersebut. Tujuannya adalah supaya orang-orang tersebut bersedia mengikis loyalitasnya terhadap lawan kita, dan menolak menyediakan berbagai hal yang melanggengkan sumber-sumber kekuasaan lawan (seperti keahlian, pengetahuan, sumber daya material, tenaga maupun waktu). Aksi nirkekerasan yang kita lakukan sepatutnya mampu memengaruhi individu/kelompok untuk menarik dukungannya terhadap lawan dan mengalihkan dukungan tersebut bagi gerakan rakyat. Alih-alih memukul mundur atau menepis mereka yang selama ini mendukung rezim penguasa, kita dapat melakukan aksi-aksi nirkekerasan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka agar mau beralih mendukung gerakan kita. Lantas pertanyaannya adalah: metode nirkekerasan seperti apa saja yang dapat melemahkan sumber-sumber kekuasaan dan pilar dukungan milik pihak yang hendak dilawan?

198 Metode Aksi Nirkekerasan

Demonstrasi atau unjuk rasa yang seringkali kita lihat di berbagai tempat hanyalah satu dari 198 macam metode aksi nirkekerasan. Gene Sharp (1973) menjelaskan tiga jenis kategori metode nirkekerasan. Pertama, protes dan persuasi, yakni metode-metode yang menggunakan aksi-aksi simbolis untuk mempersuasi dan sebatas menunjukkan bahwa para pelaku aksi sedang menolak, melawan, ataupun mendukung sesuatu. Protes dan persuasi dalam nirkekerasan dapat juga menunjukkan ekspresi perasaan personal atau posisi moral seseorang dalam suatu isu sosial politik. Ada tiga tujuan utama protes dan persuasi: (1) memengaruhi lawan dengan cara memicu perhatian dan publisitas terhadap suatu isu, sehingga meyakinkan lawan untuk berubah. Dapat juga dilakukan dengan memperingatkan lawan, bahwa jika ia tidak berubah, maka akan terjadi kondisi atau aksi yang lebih buruk. (2) berkomunikasi dengan publik ataupun bystanders agar dapat menarik perhatian dan dukungan terhadap perubahan yang dikehendaki. Kemudian (3) memengaruhi kelompok yang menjadi korban atau secara langsung terdampak oleh isu tersebut, untuk mendorong mereka melakukan sesuatu seperti terlibat dalam aksi-aksi nirkekerasan. Contoh protes dan persuasi beraneka ragam, misalnya orasi, menandatangani petisi, mempertunjukkan slogan, poster, spanduk dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, mementaskan drama atau musik, dan parade. Dapat juga dilakukan dengan mengekspresikan kekecewaan/tuntutan melalui aksi-aksi simbolik, seperti membawa payung hitam dalam Aksi Kamisan, membawa keranda mayat atau karangan bunga, dan berdiam diri untuk memperingati kematian suatu tokoh.

Kedua, nonkooperasi, yakni metode aksi nirkekerasan yang mana pelaku aksi secara sengaja menarik diri dari atau menolak bekerja sama dengan orang, institusi, rezim, maupun aktivitas yang sedang dilawannya. Pelaku aksi dapat, misalnya, mengabaikan keberadaan lawannya, berhenti membeli suatu produk, berhenti bekerja, menolak mematuhi aturan hukum, menduduki tempat-tempat umum, atau menolak membayar pajak. Inti dari nonkooperasi adalah melakukan aksi-aksi yang dapat memperlamban, menghentikan, menahan, atau menantang relasi sosial, ekonomi, dan politik yang ada. Nonkooperasi ditujukan untuk menarik atau melemahkan dukungan terhadap individu/kelompok yang dianggap telah melakukan kesalahan atau ketidakadilan. Contohnya dapat berupa mogok kerja, mogok sekolah, secara sengaja tidak mematuhi aturan atau kebijakan lembaga pemerintahan, memboikot barang atau jasa yang dijual, menolak membayar sewa atau pajak secara terorganisir, hingga menduduki jalanan untuk menghentikan arus lalu lintas, kendaraan berat atau menghalangi pegawai pemerintah bekerja.  Salah satu ilustrasi nonkooperasi adalah aksi para petani Kendeng yang menolak pembangunan pabrik semen dengan menduduki tapak pabrik dan tidur di jalan untuk mencegah alat berat yang hendak beroperasi.

Ketiga, intervensi nirkekerasan, yakni upaya-upaya untuk mengintervensi status quo dengan cara-cara yang dapat mendisrupsi dan bahkan mengobrak-abrik pola perilaku, kebijakan, relasi, maupun institusi yang dianggap keliru atau tidak adil. Berbeda dengan dua kategori sebelumnya, intervensi nirkekerasan membawa tantangan bagi lawan yang bersifat langsung dan cepat. Apabila berhasil, efek disruptif dari metode ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Intervensi nirkekerasan berpotensi mendorong perubahan melalui mekanisme psikologis, fisik, sosial, ekonomi, dan politik yang membuat lawan mengakomodasi tuntutan ataupun mengubah pendiriannya. Contoh intervensi psikologis yang populer yaitu aksi menyemen kaki oleh petani Kendeng dan aksi mogok makan selama berhari-hari yang dilakukan Gandhi. Dengan secara sukarela mengekspose diri sendiri terhadap penderitaan atau ketidaknyamanan, pelaku aksi dapat menimbulkan tekanan psikologis, moral atau emosional terhadap pihak lain yang diharapkan untuk berubah atau melakukan tindakan tertentu. Contoh lain yang termasuk dalam intervensi fisik yaitu menduduki suatu fasilitas dengan cara tinggal atau duduk di sana dalam jangka waktu tertentu untuk mendisrupsi pola aktivitas normal dan menciptakan pola baru, misalnya membuka fasilitas itu bagi kelompok yang sebelumnya tereksklusi.

Semua ragam metode nirkekerasan tersebut dilancarkan dengan tujuan untuk membangun simpati atau dukungan yang lebih luas terhadap pelaku aksi nirkekerasan, sekaligus memberi dorongan atau tekanan kepada lawan agar bersedia melakukan perubahan maupun memenuhi tuntutan gerakan. Ketika lawan memilih merespon nirkekerasan dengan brutalitas atau kekerasan, masyarakat mulai mempertanyakan ketidakadilan dan sikap represif lawan terhadap gerakan yang berkomitmen untuk menyuarakan protes secara damai. Dengan strategi dan repertoar yang tepat sasaran, gerakan nirkekerasan dapat menumbuhkan perasaan gelisah, simpati dan kemarahan masyarakat terhadap lawan yang kemudian akan mendorong aksi nyata (misalnya berupa, pemberian dukungan moral maupun material bagi gerakan, ikut melakukan aksi nirkekerasan dengan protes, mogok kerja, ataupun menciptakan tekanan politik dan ekonomi kepada penguasa).

Menilik Penggunaan Metode Nirkekerasan di Indonesia Belakangan Ini

Tim penelitian Damai Pangkal Damai dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada mengompilasi data aksi-aksi nirkekerasan yang terjadi di Indonesia sejak Reformasi hingga tahun 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 13,524 data aksi nirkekerasan yang terkumpul, sekitar 88.3% termasuk dalam kategori protes dan persuasi (umumnya berupa unjuk rasa/demonstrasi). Sisanya, hanya 7% aksi menggunakan metode intervensi nirkekerasan dan 4% menggunakan nonkooperasi. Kecenderungan gerakan-gerakan untuk menitikberatkan penggunaan metode protes dan persuasi sebagai repertoar aksi ini tampaknya juga muncul dalam gelombang protes #ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, #MahasiswaBergerak di beberapa kota pada September silam.

Sebagian besar metode yang digunakan dalam aksi-aksi di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan kota-kota lainnya masih berfokus pada jenis protes dan persuasi. Bentuk metodenya termasuk: membawa berbagai poster, spanduk, banner, menampilkan simbol-simbol tertentu (seperti tanda sama dengan [=] dalam aksi #GejayanMemanggilJilid2), orasi, menyanyikan yel-yel, menampilkan slogan, membuat gambar dan tulisan di dinding, berjalan kaki dari satu titik lokasi ke lokasi lain, menampilkan aksi teatrikal, menampilkan pertunjukan musikal, menandatangani petisi change.org, dan membuat deklarasi sikap bersama.

Serangkaian metode protes dan persuasi tersebut di satu sisi mampu meningkatkan publisitas dan dukungan dari masyarakat luas, bahkan pada derajat tertentu dirasa telah menarik perhatian pemerintah selaku pihak yang dilawan atau dituntut. Namun, sebagaimana keresahan terhadap gerakan-gerakan lain yang telah berlangsung bertahun-tahun, apakah melakukan metode protes dan persuasi saja sudah cukup untuk melemahkan sumber-sumber kekuasaan dan pilar pendukung kekuasaan lawan? Pada dasarnya, aksi-aksi belakangan ini juga memenuhi kategori nonkooperasi melalui repertoar untuk mengosongkan ruang-ruang kelas dan kantor yang banyak beredar di media sosial. Namun perihal yang perlu dicermati lebih jauh adalah sejauh mana para pelaku aksi menyadari tujuan dari metode nonkooperasinya dan apakah metode nonkooperasi telah dilakukan secara strategis dan terkoordinir (misal dengan mempersuasi elemen masyarakat yang lebih luas, selain mahasiswa dan pelajar, untuk ikut melancarkan nonkooperasi). Selain itu, perlu juga menelusuri metode-metode nirkekerasan lain yang dapat memperbesar tekanan kepada lawan supaya bersedia mengubah sikapnya.

Meskipun beberapa bentuk metode intervensi nirkekerasan—seperti aksi gerakan petani Kendeng yang menyemen kaki dan Aksi Kamisan yang berdiam diri di depan istana negara setiap Kamis sejak 12 tahun silam—terlihat belum mencapai tujuan finalnya, bukan berarti metode tersebut tidak membuahkan hasil apapun. Bukan pula berarti kita tidak perlu menjajaki kemungkinan untuk melakukan metode-metode nirkekerasan lain dalam aksi-aksi di masa mendatang. Bahkan pada kenyataannya, gerakan-gerakan akar rumput selama ini telah meningkatkan perhatian dan dukungan masyarakat di tingkat nasional maupun internasional. Berkat aksi nirkekerasan yang dilakukan gerakan-gerakan tersebut, orang-orang yang dulunya hanya bystanders kini mulai ikut gelisah dan marah. Semakin banyak forum diskusi atau dialog di ruang-ruang publik yang berinisiatif mengangkat diskursus tentang isu yang sedang diperjuangkan gerakan-gerakan nirkekerasan.

Struktur kekuasaan opresif yang berusaha kita lawan memang memiliki akses kuat terhadap berbagai sumber kekuasaan, sehingga menyebabkan konflik antara rezim penguasa dan gerakan rakyat menjadi bersifat asimetris. Hal ini mungkin menuntun pada anggapan bahwa jalan kekerasan dirasa seolah lebih cepat dan efektif untuk membawa perubahan. Namun, barangkali kita perlu memikirkan ulang pilihan kita untuk melawan melalui cara-cara kekerasan. Di dalam perebutan kekuasaan yang senantiasa timpang, apakah melawan dengan kekerasan dapat melemahkan pilar-pilar dukungan yang menyokong rezim penguasa, atau justru sebaliknya, memperkuat dukungan terhadap penguasa? Apakah jalan kekerasan memungkinkan kita untuk menarik lebih banyak dukungan publik ke dalam agenda perjuangan, ataukah malah akan menimbulkan antipati sehingga menjauhkan dukungan bagi gerakan-gerakan rakyat? Pertanyaan-pertanyaan ini sepatutnya terus kita ingat dalam upaya pencapaian tujuan-tujuan gerakan, sekaligus menjadi bahan untuk mengevaluasi dan memperbaiki strategi aksi nirkekerasan. 

Penulis : Husna Yuni Wulansari