Demonstrasi: Ruang Publik yang Maskulin, Patriarkis, dan Ricuh?
Di Indonesia, demonstrasi memiliki konotasi yang negatif karena lekat dengan memori-memori yang menakutkan. Tanpa menghubungkan keduanya, demonstrasi—yang lebih populer dengan istilah ‘demo’—kerap diidentikkan dengan aksi laki-laki dan kericuhan. Hasilnya, terdapat ketakutan dan kekhawatiran dari keluarga maupun teman apabila anggota keluarga perempuan atau teman perempuan mereka mengikuti aksi massa. Demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia dua minggu belakangan membawa kisah-kisah baru tentang keterlibatan perempuan. Banyak perempuan yang ikut turun ke jalan, walaupun—berbicara dari pengalaman dan pengamatan pribadi—diwanti-wanti untuk tidak usah ikut oleh keluarga, dilarang hingga harus berbohong, atau lolos ikut dengan memanfaatkan cela tidak ditanya oleh keluarga karena dianggap sudah pasti tidak mungkin ikut.
Seusai aksi, cuitan-cuitan populer di Twitter dan beberapa refleksi teman-teman perempuan yang mengikuti aksi, menyayangkan demonstrasi yang dipercayai masih berbudaya patriarki. Demo yang di berbagai kota berakhir ricuh jadi ruang yang ‘tidak aman bagi perempuan’. Di tengah kondisi yang sulit, ada yang mengingat kerelaan para lelaki untuk ‘pasang badan’ dan memprioritaskan perempuan sebagai solidaritas. Ada pula yang mengkritik ‘perlakuan spesial’ untuk perempuan berlawanan dengan tuntutan perempuan yang ingin diperlukan dengan setara. Apabila ingin kesetaraan, mestinya perempuan siap dengan sifat alami demo yang keras dan berbahaya, kan?
Dari pengamatan tersebut, muncul sebuah kegelisahan: Apakah memang benar demonstrasi adalah ruang publik yang secara alamiah maskulin, patriarkis, dan ricuh? Atau ini sebenarnya masalah keterbatasan referensi dan imajinasi kita tentang aksi massa? Waktu saya terlibat dalam demonstrasi pada 23 September lalu, ketika berjalan pulang seusai aksi dengan teman-teman saya, ada seorang yang bersorak kepada saya, “hidup perempuan yang melawan!”. Pada saat itu saya merasa senang. Saya menganggap sorakan tersebut sebagai apresiasi personal. Saat saya kembali mengikuti demonstrasi seminggu kemudian, saya mendengar jargon-jargon: Hidup Mahasiswa Indonesia! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Buruh! Hidup Petani! beberapa kelompok lainnya juga disebutnya hingga kemudian diakhiri dengan Hidup Perempuan yang Melawan! Mendengar itu, saya merasa ada yang janggal. Saya percaya jargon tersebut datang dari maksud yang baik. Namun, dari situ saya baru menyadari, ternyata keikutsertaan perempuan dalam perlawanan masih dianggap sebagai sesuatu yang baru, unik, dan jarang sehingga perlu diberi label khusus. Padahal, dalam memori saya, perempuan telah dan selalu melawan.
Perempuan yang Melawan
Sepanjang sejarah, perempuan terlibat dalam berbagai perlawanan nirkekerasan di berbagai belahan dunia
memperjuangkan berbagai isu. Pada abad ke-19, di Amerika, perempuan berjuang untuk mendapatkan hak
pilih. Pada tahun 1970an, perempuan-perempuan di India melakukan aksi memeluk pohon yang dikenal sebagai ‘Gerakan Chipko’ untuk melindungi pohon dan hutan. Pada tahun 1976 hingga 1983, ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina melakukan aksi jaga untuk menuntut kepulangan anak-anak mereka yang dihilangkan paksa. Pada tahun 2003, dari Liberia, para perempuan melakukan kampanye perlawanan nirkekerasan yang menuntut perdamaian dan berakhirnya perang sipil. Pada tahun 2018, dari Swedia, seorang anak perempuan berusia lima belas tahun melakukan aksi mogok sekolah untuk menuntut kebijakan perubahan iklim. Aksinya sekarang menjadi sorotan global serta memantik berbagai aksi mogok dan demonstrasi di berbagai negara.
Indonesia juga menyimpan banyak cerita perlawanan nirkekerasan oleh perempuan. Sejak tahun 1990-an hingga 2010, dari tanah Mollo, Nusa Tenggara Timur, Mama Aleta Baun melawan perusahaan-perusahaan tambang marmer dengan menenun di atas batu. Dari Jawa Tengah, perempuan petani Kendeng datang ke Istana dan melakukan aksi mengecor kaki. Pada tahun 2017, dari Jawa Barat, perempuan warga adat Sunda Wiwitan berada di baris paling depan dalam aksi tidur untuk menghalau alat berat yang akan mengeksekusi lahan cagar budaya dan tanah adat Sunda Wiwitan. Sejak tahun 2017 pula, Women’s March diadakan di Indonesia. Sejak 18 Januari 2007, terinspirasi dari perlawanan ibu-ibu Plaza de Mayo, ibu-ibu dan keluarga korban pelanggaran HAM melakukan aksi Kamisan. Aksi tersebut masih berlanjut hingga sekarang.
Mengetahui ini semua, tidak rela rasanya untuk setuju dengan asumsi bahwa aksi massa adalah ranah laki-laki dan selalu berpotensi ricuh. Sepertinya, asumsi tersebut dari keterbatasan referensi dan imajinasi terhadap aksi massa.
Aksi Nirkekerasan
Menurut Gene Sharp (1973), seorang tokoh penting dalam studi nirkekerasan, demonstrasi—atau demo—
sebenarnya hanyalah satu dari 198 metode aksi nirkekerasan yang dapat dilakukan. Sharp dengan teorinya ‘consent theory of power’ percaya bahwa kekuasaan (power) tidak bersifat monolitik—melainkan pluralistis. Daya/kekuasaan seseorang bukan datang dari dirinya sendiri, melainkan diberikan oleh orang-orang yang membiarkan diri mereka dikuasai. Oleh karena itu, aksi nirkekerasan merupakan metode melawan tanpa kekerasan dengan menarik kepatuhan yang diberikan kepada lawan sehingga bisa lepas dari kuasa lawan.
Dalam praktiknya di negara demokratis, aksi nirkekerasan sering digunakan sebagai jalur informal ketika jalur-jalur formal tidak menyalurkan aspirasi rakyat. Dalam sejarahnya, aksi nirkekerasan merupakan metode dalam perlawanan nirkekerasan yang digunakan untuk melawan ketidakadilan sosial serta berbagai macam bentuk kekerasan struktural (Stephan dan Chenoweth, 2008; Sharp, 2013; Dudouet, 2017).
Artinya, demonstrasi sejatinya adalah salah satu metode perlawanan yang menolak baik kekerasan langsung
maupun kekerasan struktural. Sayangnya, riset oleh tim Damai Pangkal Damai yang meneliti aksi nirkekerasan
di Indonesia dari tahun 1997 sampai 2018 menemukan bahwa repertoar masyarakat Indonesia dalam melakukan aksi nirkekerasan masih terbatas pada demonstrasi. Dari 13,524 entri aksi nirkekerasan yang ditemukan, 5,362 (29,6%) di dalamnya merupakan aksi demonstrasi. Sayangnya lagi, repertoar utama dalam aksi nirkekerasan di Indonesia sendiri memiliki konotasi yang negatif.
Di bagian sebelumnya, telah dipaparkan repertoar-repertoar alternatif dalam melakukan aksi nirkekerasan.
Berbagai kisah perlawanan perempuan di atas bukan hanya untuk menunjukkan keikutsertaan perempuan dalam perlawanan sedari dulu, tetapi juga untuk memberikan memori perjuangan alternatif sebagai referensi dan ruang imajinasi yang baru dalam melakukan aksi massa. Aksi-aksi di atas bukan tanpa ancaman. Mama Aleta dan rakyat Mollo menghadapi intimidasi dan kekerasan
hingga harus bersembunyi di hutan selama melakukan perlawanan. Aksi mengecor kaki memiliki risiko kesehatan yang sangat tinggi. Perempuan Sunda Wiwitan memasang badan mereka di hadapan alat berat. Tanpa mengatakan bahwa perempuan adalah faktor penentu damainya suatu aksi, berbagai contoh oleh perempuan di atas mengajarkan pentingnya menahan diri untuk menggunakan kekerasan dalam aksi nirkekerasan. Dalam pertimbangan strategis, kesetiaan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam perlawanan adalah tentang (1) menjaga legitimasi perlawanan, dan (2) melawan secara kreatif.
Aksi nirkekerasan merupakan metode yang efektif bagi kelompok marginal/yang lebih lemah karena dia merupakan metode berkonflik yang kreatif. Dalam kondisi ketimpangan kekuatan, akan lebih sulit untuk menang dengan kekerasan. Masyarakat sipil tidak mungkin menang menggunakan kekerasan melawan negara sebagai entitas yang memiliki sumber daya ekonomi, legitimasi, media, dan sebagai pemilik hak melakukan kekerasan secara sah. Dan dengan menggunakan kekerasan, akan sangat mudah bagi negara untuk mendelegitimasi perlawanan dengan melabelinya sebagai ancaman yang dapat dihancurkan dengan kekerasan.
Maka, sesuai dengan apa yang ditawarkan Sharp, yang harus dilakukan adalah menarik sumber-sumber kekuasaan dari lawan—atau disebut pillars of support. Pillars of support ini dapat termanifestasi sebagai polisi, pasukan keamanan, partai politik, media, dan yang lainnya—termasuk lewat pembiaran atau act of omission. Menjaga legitimasi menjadi penting untuk menyasar pilar-pilar ini agar bersimpati dengan aktivis nirkekerasan sehingga mereka berhenti menopang penguasa dan berbalik mendukung perjuangan. Sebagai contoh singkat, strategi ini tercermin dalam gerakan ibu-ibu Plaza De Mayo. Menyadari segala bentuk tuntutan yang terlihat seperti ancaman bagi pemerintah hanya mendapat respons yang represif, ibu-ibu di Argentina datang sebagai ibu-ibu yang sedang mencari anaknya. Mereka berkeliling menggunakan syal putih yang menyimbolkan popok dengan dituliskan nama dan tanggal lahir anak-anak mereka yang hilang—menanyakan di mana anak mereka. Setidaknya terdapat tiga pilar yang berhasil mereka sasar: polisi, media, dan ibu-ibu yang tidak melawan. Polisi yang biasanya menangkap dan kemudian menghilangkan pula orang-orang yang mempertanyakan orang-orang yang dihilangkan, tidak bisa menangkap para perempuan yang sebagai seorang ibu menanyakan di mana anaknya. Media yang selama ini diam mulai menyoroti kasus dan perjuangan ini. Ibu-ibu yang selama ini diam mendapat keberanian dan bersolidaritas untuk melawan.
Memperluas Imajinasi Aksi Massa
Sepertinya, imajinasi kita melakukan aksi massa masih memberi ruang bagi kekerasan. Saat merencanakan aksi, kita menyiapkan mental dan energi untuk melindungi perempuan—alih-alih menyalurkannya untuk menciptakan ruang aman untuk bersama. Laki-laki dan perempuan adalah setara. Tentunya, kesetaraan itu terefleksikan dalam hak tidak mengalami kekerasan dan bukannya bertanding ketahanan mengalami kekerasan, bukan? Apakah imajinasi kita harus se-masochist itu? Di titik ini, kita mungkin perlu mengkaji ulang apakah demonstrasi 98 adalah referensi yang tepat untuk jadi pijakan imajinasi kita tentang gerakan mahasiswa? Padahal, ingatan masyarakat Indonesia tentang 1998 masih sangat terpolarisasi: Gerakan Mahasiswa 98 atau Kerusuhan 98? Ada yang mengingatnya sebagai kemenangan perlawanan, ada yang mengingatnya sebagai periode kekerasan yang mengerikan. Mungkin, kekhawatiran keikutsertaan perempuan dan konotasi negatif demonstrasi adalah produk memori-memori kekerasan masa lalu yang kita rayakan.
Aksi #GejayanMemanggil yang sudah dua kali dilakukan berlangsung dan berakhir dengan damai. Aksi ini juga berhasil tidak meninggalkan sampah, menjadi ruang yang aman bagi semua, akomodatif terhadap tuntutan perempuan, serta menjalin hubungan dengan polisi, pedagang, dan warga sekitar. Besar harapan saya, memori-memori ini dapat menjadi memori kolektif kita terhadap aksi nirkekerasan di Indonesia ke depannya. Tulisan ini mengajak mengingat berbagai perlawanan perempuan yang dapat menjadi referensi alternatif kita dalam melakukan aksi massa nirkekerasan. Di mana perempuan bukan hanya untuk dilindungi, bukan menjadi korban, tetapi melawan dan menolak kekerasan.
Referensi
Dudouet. (2017). Powering to Peace: Integrated Civil Resistance and Peacebuilding Strategies. International Center on Nonviolent Conflict. Retrieved from http://www.nonviolent-conflict.org
Sharp, G. (1973). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent.
———–. (2013). How nonviolent struggle works. United States: The Albert Einstein Institution.
Stephan, M., & Chenoweth, E. (2008). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. International Security, 33(1), 7-44. doi: 10.1162/isec.2008.33.1.7
Penulis : Grace Lolona Alexis Hutapea