[RECAP] 75 Tahun Terlalu Lama: Mengakhiri Senjata Nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir
Pada Sabtu, 15 Agustus 2020 lalu, Institute of International Studies UGM, bekerja sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) dan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), menyelenggarakan webinar bertajuk “75 tahun terlalu lama: mengakhiri senjata nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir” secara daring. Webinar yang diselenggarakan sebagai rangkaian dari tagar 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series ini menghadirkan 2 pembicara, yaitu Tim Wright sebagai Koordinator Traktat dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) dan Christian Donny Putranto selaku Penasihat Hukum International Committee of the Red Cross. Kegiatan kali ini dimoderatori oleh Muhadi Sugiono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang turut menjadi anggota tim kampanye ICAN.
Sebagai pembicara pertama, Christian Donny Putranto memaparkan kaitan antara Hukum Humaniter Internasional dan senjata nuklir. Diawali dari konsekuensi kemanusiaan yang sangat parah sebagai akibat dari dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, ICRC mulai mengajak anggota dari Konvensi Genewa 1946 untuk mulai menyusun perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir pada tahun 1950. 70 tahun sejak inisiasi itu muncul, sudah muncul berbagai perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir, namun seluruhnya masih terkesan parsial, misalnya hanya mengatur tentang proliferasinya serta melarang adanya tes dan percobaan senjata nuklir di area tertentu seperti di laut maupun orbit dekat bumi serta bulan. Sebagai implikasinya, hingga saat ini belum ada perjanjian yang secara menyeluruh melarang dan memiliki kekuatan untuk menghilangkan senjata nuklir di muka bumi walau sebenarnya jelas telah melanggar prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional. Donny memaparkan bahwa jika dilihat melalui kacamata Hukum Humaniter Internasional, penggunaan senjata nuklir melanggar prinsip distinction, proportionality, dan precautions, dimana senjata nuklir tidak dapat membedakan masyarakat sipil dan kombatan saat serangannya diluncurkan, menimbulkan cedera berlebihan, serta mengakibatkan kerusakan yang tidak diperlukan. Sayangnya, hingga saat ini Hukum Humaniter Internasional belum secara spesifik mengatur ketentuan atas penggunaan senjata nuklir walaupun konsekuensi kemanusiaannya sangat besar – yaitu menimbulkan lingkaran penderitaan yang tidak berkesudahan (endless cycle of suffering). Di akhir presentasinya, Donny mengajak untuk mengutamakan kemanusiaan diatas kepentingan yang lain melalui pelarangan senjata nuklir. Presentasi ditutup dengan sebuah refleksi penting, weapons that risk catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing peoples’ security.
Pembicara selanjutnya, Tim Wright dari ICAN, memaparkan tentang urgensi dari Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Ia membuka presentasi dengan menyatakan bahwa hingga saat ini, setidaknya ada 30.000 senjata nuklir di seluruh dunia. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat dampak yang ditimbulkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia, antara lain migrasi, dampak iklim global, kelaparan yang meluas akibat terganggunya produksi pertanian di seluruh dunia, serta krisis kemanusiaan karena dampak fisik yang ditimbulkan dari senjata nuklir secara langsung. Saat ini, satu-satunya perjanjian yang dapat diandalkan untuk menghapuskan senjata nuklir adalah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Sejak tahun 2017, perjanjian ini ada untuk mengatur penghapusan dan penghentian pengembangan senjata nuklir, termasuk senjata-senjata yang telah ada sebelumnya. Traktat Pelarangan Senjata Nuklir melarang senjata nuklir secara penuh melalui tidak adanya jumlah senjata nuklir yang dapat diterima maupun keadaan tertentu yang memperbolehkan pengembangan senjata nuklir. Hingga saat ini, sudah ada 122 negara yang menandatangani perjanjian ini, namun hanya 44 negara yang telah meratifikasinya. Dibutuhkan 6 negara lagi untuk meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir supaya perjanjian ini dapat benar-benar diimplementasikan di dunia. Poin yang selama ini menghambat negara-negara untuk menandatangani ataupun meratifikasi perjanjian ini, terutama negara-negara yang telah memiliki dan mengembangkan senjata nuklir, adalah adanya kepercayaan bahwa senjata nuklir adalah kekuatan bagi suatu negara, terutama karena deterrence effect yang ditimbulkan. Menurut Tim, cara yang paling tepat untuk menyangkal pemahaman ini adalah dengan memberi stigma kepada negara-negara yang masih menggunakan dan mengembangkan senjata nuklir. Ketika berbicara spesifik mengenai peranan Indonesia dalam Traktat Pelarangan Senjata Nuklir, Tim menyatakan bahwa langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan meratifikasi perjanjian ini. Hingga saat ini, Indonesia sebagai negara anggota Gerakan Non Blok telah secara aktif menyatakan di forum internasional bahwa senjata nuklir adalah senjata yang membahayakan kehidupan manusia. Namun, bagi Tim, Indonesia dapat meningkatkan lagi peranannya dengan lebih banyak berbicara mengenai dampak moral dari senjata nuklir dan yang paling penting adalah untuk segera meratifikasi perjanjian ini supaya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dapat segera diimplementasikan di seluruh dunia dan senjata nuklir dapat segera musnah dari muka bumi.
Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan
Penyunting : Medisita Febrina