[RECAP] 75 Tahun Terlalu Lama: Mengakhiri Senjata Nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir

Pada Sabtu, 15 Agustus 2020 lalu, Institute of International Studies UGM, bekerja sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) dan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), menyelenggarakan webinar bertajuk “75 tahun terlalu lama: mengakhiri senjata nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir” secara daring. Webinar yang diselenggarakan sebagai rangkaian dari tagar 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series ini menghadirkan 2 pembicara, yaitu Tim Wright sebagai Koordinator Traktat dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) dan Christian Donny Putranto selaku Penasihat Hukum International Committee of the Red Cross. Kegiatan kali ini dimoderatori oleh Muhadi Sugiono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang turut menjadi anggota tim kampanye ICAN.

Sebagai pembicara pertama, Christian Donny Putranto memaparkan kaitan antara Hukum Humaniter Internasional dan senjata nuklir. Diawali dari konsekuensi kemanusiaan yang sangat parah sebagai akibat dari dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, ICRC mulai mengajak anggota dari Konvensi Genewa 1946 untuk mulai menyusun perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir pada tahun 1950. 70 tahun sejak inisiasi itu muncul, sudah muncul berbagai perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir, namun seluruhnya masih terkesan parsial, misalnya hanya mengatur tentang proliferasinya serta melarang adanya tes dan percobaan senjata nuklir di area tertentu seperti di laut maupun orbit dekat bumi serta bulan. Sebagai implikasinya, hingga saat ini belum ada perjanjian yang secara menyeluruh melarang dan memiliki kekuatan untuk menghilangkan senjata nuklir di muka bumi walau sebenarnya jelas telah melanggar prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional. Donny memaparkan bahwa jika dilihat melalui kacamata Hukum Humaniter Internasional, penggunaan senjata nuklir melanggar prinsip distinction, proportionality, dan precautions, dimana senjata nuklir tidak dapat membedakan masyarakat sipil dan kombatan saat serangannya diluncurkan, menimbulkan cedera berlebihan, serta mengakibatkan kerusakan yang tidak diperlukan. Sayangnya, hingga saat ini Hukum Humaniter Internasional belum secara spesifik mengatur ketentuan atas penggunaan senjata nuklir walaupun konsekuensi kemanusiaannya sangat besar – yaitu menimbulkan lingkaran penderitaan yang tidak berkesudahan (endless cycle of suffering). Di akhir presentasinya, Donny mengajak untuk mengutamakan kemanusiaan diatas kepentingan yang lain melalui pelarangan senjata nuklir. Presentasi ditutup dengan sebuah refleksi penting, weapons that risk catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing peoples’ security.

Pembicara selanjutnya, Tim Wright dari ICAN, memaparkan tentang urgensi dari Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Ia membuka presentasi dengan menyatakan bahwa hingga saat ini, setidaknya ada 30.000 senjata nuklir di seluruh dunia. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat dampak yang ditimbulkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia, antara lain migrasi, dampak iklim global, kelaparan yang meluas akibat terganggunya produksi pertanian di seluruh dunia, serta krisis kemanusiaan karena dampak fisik yang ditimbulkan dari senjata nuklir secara langsung.  Saat ini, satu-satunya perjanjian yang dapat diandalkan untuk menghapuskan senjata nuklir adalah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Sejak tahun 2017, perjanjian ini ada untuk mengatur penghapusan dan penghentian pengembangan senjata nuklir, termasuk senjata-senjata yang telah ada sebelumnya. Traktat Pelarangan Senjata Nuklir melarang senjata nuklir secara penuh melalui tidak adanya jumlah senjata nuklir yang dapat diterima maupun keadaan tertentu yang memperbolehkan pengembangan senjata nuklir. Hingga saat ini, sudah ada 122 negara yang menandatangani perjanjian ini, namun hanya 44 negara yang telah meratifikasinya. Dibutuhkan 6 negara lagi untuk meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir supaya perjanjian ini dapat benar-benar diimplementasikan di dunia. Poin yang selama ini menghambat negara-negara untuk menandatangani ataupun meratifikasi perjanjian ini, terutama negara-negara yang telah memiliki dan mengembangkan senjata nuklir, adalah adanya kepercayaan bahwa senjata nuklir adalah kekuatan bagi suatu negara, terutama karena deterrence effect yang ditimbulkan. Menurut Tim, cara yang paling tepat untuk menyangkal pemahaman ini adalah dengan memberi stigma kepada negara-negara yang masih menggunakan dan mengembangkan senjata nuklir. Ketika berbicara spesifik mengenai peranan Indonesia dalam Traktat Pelarangan Senjata Nuklir, Tim menyatakan bahwa langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan meratifikasi perjanjian ini. Hingga saat ini, Indonesia sebagai negara anggota Gerakan Non Blok telah secara aktif menyatakan di forum internasional bahwa senjata nuklir adalah senjata yang membahayakan kehidupan manusia. Namun, bagi Tim, Indonesia dapat meningkatkan lagi peranannya dengan lebih banyak berbicara mengenai dampak moral dari senjata nuklir dan yang paling penting adalah untuk segera meratifikasi perjanjian ini supaya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dapat segera diimplementasikan di seluruh dunia dan senjata nuklir dapat segera musnah dari muka bumi.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] 75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons Through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons

On Saturday, 15 August 2020, Institute of International Studies UGM, in collaboration with the International Committee of the Red Cross/ICRC and the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, organized a webinar titled “75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons” as a part of the “75th Anniversary of the Atomic Bombing Series”. Speaking on the webinar were Tim Wright, Campaign Coordinator for ICAN, and Christian Donny Putranto, legal advisor for ICRC; moderated by Muhadi Sugiono, a lecturer of Department of International Relations UGM and also a campaigner for ICAN.

The first speaker, Christian Donny Putranto, explained the correlation between nuclear weapons and international humanitarian law. Intrigued by the severe humanitarian repercussions of the Hiroshima-Nagasaki bombing, ICRC invited the members of Geneva Convention 1946 to develop a treaty regulating the use of nuclear weapons in 1950. Seventy years since the initiative was brought up, plenty of legal instruments regarding nuclear weapons have been formalized. However, all of them remain as partial bans. Some only regulate the proliferation aspect of them, while the others prohibit testing on specific locations (like the sea or earth/moon orbits). To this day, there hasn’t been a single treaty that possesses the power to fully ban nuclear weapons worldwide.

In fact, when observed through the lens of international humanitarian law, the use of nuclear weapons violates the principles of: (1) distinction, as the weapon is unable to distinguish civilians from combatants when launching attacks; (2) proportionality, since nuclear weapons cause disproportionately large damage compared to its initial military objective; (3) precautions, due to its nature of causing unnecessary suffering. Unfortunately, despite causing an endless cycle of suffering, international humanitarian law hasn’t specifically regulated the use of nuclear weapons. At the end of his presentation, Donny asked all parties to prioritize humanity above all else in this matter. He wrapped up with an important reflection: that weapons risking catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing people security.

The next speaker, Tim Wright from ICAN, demonstrated the urgency of the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons/TPNW. According to him, there are 30,000 existing nuclear weapons up to this day. This is disheartening, considering its detrimental impact on many aspects of human lives, including migration crisis, declining climate condition, famine caused by disruption of agriculture production, and direct physical damage on survivors. Currently, there is only one treaty which can be devised to abolish the weapon, which is the TPNW.

TPNW was formalized in 2017 to oversee the total abolition and discontinuation of nuclear weapons development, including pre-existing ones. The Treaty fully bans nuclear weapons, meaning there is no single circumstance under which nuclear weapons are allowed to be deployed nor developed. To date, 122 countries have signed the treaty, with only 44 of them having ratified it. The Treaty needs another six ratifications to enter into force.

The belief in the deterrence effect of nuclear weapons remains a major obstacle for countries to sign or ratify the Treaty. Tim argued that the most effective way to counter this paradigm is to burden nuclear-armed countries with negative stigma.

Specifically speaking on Indonesia’s role in TPNW, Tim reckoned that the government needs to ratify the treaty as a concrete action to abolish nuclear weapons. As a member of the Non-Bloc Movement, Indonesia has been actively expressing its concerns about nuclear weapons as a threat to humanity at international fora. Yet, Tim believed Indonesia still has room to enhance its participation in talking about the morality of the weapons. Most importantly, Indonesia needs to ratify the Treaty to deem it legitimate and finally free the world from nuclear threat.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] Pameran Foto Terpandu Virtual: Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir

Dalam rangka memperingati 75 tahun meledaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Institute of International Studies UGM menyelenggarakan pameran foto terpandu virtual yang bertajuk “Dari Mata Hibakujumoku: Hidup di Bawah Bayang-Bayang Senjata Nuklir” pada Minggu, 9 Agustus 2020 lalu. Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian acara 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series yang diinisiasi oleh IIS UGM berkolaborasi dengan International Committee of the Red Cross/ICRC yang bertujuan menunjukkan urgensi pelarangan senjata nuklir dan ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Kegiatan dipandu oleh Muhadi Sugiono, anggota Tim Kampanye International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, dan Sonya Teresa, peneliti IIS UGM.

Pameran foto terpandu virtual “Dari Mata Hibakujumoku” terbagi ke dalam tiga sesi, yaitu sesi pameran foto virtual, sesi breakout room, serta sesi tanya jawab. Ada tiga babak dalam sesi pameran foto virtual. Dalam babak I yang berjudul “Dunia Abu-Abu Kehitaman”, pemandu menceritakan kisah Hibakujumoku—para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki—yang menyaksikan dan mengalami sendiri penderitaan akibat senjata nuklir. Foto-foto yang diperoleh dari ICRC, ICAN, Hiroshima Peace Memorial Museum, dan sumber-sumber lainnya memperlihatkan secara jelas betapa mengerikannya dampak pascaledakan—baik fisik maupun psikis—yang membawa trauma mendalam bagi para penyintas hingga saat ini.

Melalui babak II: “Penguasa-Penguasa Tamak dan Teriakan dalam Sunyi”, pemandu mengajak para peserta pameran untuk melihat bagaimana negara-negara tetap bersikeras untuk mengembangkan senjata nuklir walaupun dampak destruktif yang diciptakan sangat nyata. Babak ini juga menceritakan gelombang demonstrasi menentang pengembangan senjata nuklir yang telah bermunculan di berbagai belahan dunia sejak tahun ‘50-an. Namun, nyatanya, justru muncul persaingan senjata nuklir pada tahun ‘80-an, utamanya antara AS dan Uni Soviet. Peristiwa ini memicu demonstrasi yang lebih besar di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Sesi pameran terpandu virtual ditutup dengan babak ketiga yang bertajuk “Masa Depan Kita, Masih Adakah Senjata Nuklir di Sana?”. Pemandu mengajak kita untuk melihat bahwa sejak tahun 1996, negara-negara di dunia mulai merumuskan aturan-aturan perlucutan senjata nuklir. Namun, perang kepentingan antara negara-negara pemilik senjata nuklir menjadi hambatan terbesar dalam perumusan aturan tersebut. Di tahun 2017, PBB mengeluarkan mandat berupa negosiasi bagi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Hingga 75 tahun setelah tragedi di Hiroshima dan Nagasaki, 82 negara telah menandatangani dan 44 negara telah meratifikasi perjanjian tersebut. Supaya senjata ini dapat benar-benar lenyap dari dunia, perlu ada tujuh negara lagi yang meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Pada bagian inilah peran Indonesia dibutuhkan.

Setelah menyaksikan pameran foto terpandu virtual, para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok breakout room. Melalui forum yang lebih kecil ini, para peserta—dipandu oleh masing-masing perwakilan dari IIS—mencoba untuk merefleksikan beberapa pertanyaan seusai melihat pameran foto dan cerita di baliknya: Apakah saat mendengar kata Hiroshima dan Nagasaki, impresi Anda sama seperti dengan apa yang dilihat dari Hibakujumoku? Apakah alasan yang digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir cukup masuk akal? Apakah Anda akan selamat jika tiba-tiba mendapatkan serangan senjata nuklir? Secara aktif, para peserta saling berdiskusi dan bertukar opini dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada diskusi forum-forum kecil ini, mayoritas peserta percaya bahwa pengembangan senjata nuklir bukanlah hal yang masuk akal jika melihat dari dampaknya. Penting bagi negara-negara untuk sadar betul mengenai pentingnya perlucutan senjata nuklir sehingga dapat benar-benar musnah dari dunia. Berbagai pertanyaan yang muncul dalam diskusi ini selanjutnya dibahas dalam forum yang lebih besar dalam sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, para peserta berkesempatan untuk bertanya dan secara langsung dijawab oleh Muhadi Sugiono serta Christian Donny Putranto, penasihat hukum International Committee of the Red Cross (ICRC), yang turut hadir dalam pameran foto terpandu virtual kali ini.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] Virtual Photo Exhibition: Through the Eyes of Hibakujumoku: Living Under the Shadows of Nuclear Weapons

In commemoration of the seventy-fifth year since the Hiroshima-Nagasaki tragedy, Institute of International Studies/ IIS UGM organized a virtually-guided photo exhibition titled “Through the Eyes of Hibakujumoku: Living Under the Shadows of Nuclear Weapons” on 9 August, 2020. In collaboration with the International Committee of the Red Cross/ICRC, the exhibition was initiated by IIS UGM as part of the 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series. It tried to showcase the urgency of nuclear weapons ban through ratification of the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Muhadi Sugiono, a campaigner for the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, and Sonya Teresa, an IIS researcher, guided the event.

The event was divided into three sections: virtual exhibition, breakout sessions, and question-and-answer session. The virtual exhibition, itself, comprised of three stages. The first, “A World of Dark Ashes”, told accounts of the catastrophe in the perspective of hibakujumoku—in Japanese, meaning trees that survived the bombing—through narrations delivered by the guide.  The photographs, collected from ICRC, ICAN, Hiroshima Peace Memorial Museum, and other reliable sources exhibited post-explosion atrocities—both physical and psychological—which brought immense trauma upon survivors to this day.

In the second stage, “Greedy Rulers and Screams in Silence”, participants looked at how states insisted on developing nuclear weapons despite evident destructive effects. The photographs also told stories of social movements against nuclear weapons development since the 1950s. However, nuclear race persisted in the 1980s, particularly between the US and the Soviet Union. The phenomenon incited larger demonstrations in Europe, the US, and Japan.

The last stage, “In Our Future, Will Nuclear Weapons Still Be There?”, showcased how states have started discussions on nuclear weapons ban since 1996. However, clash of interest between states continued to be the biggest obstacle in the creation of a legal instrument. In 2017, UN issued a mandate in the form of negotiation for the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. To this day, 82 states have signed the Treaty, while 44 others have ratified it. To ensure total abolition, the Treaty needs another seven states to ratify. This is where the Indonesian government needs to step in.

After the exhibition ended, the participants were divided into three small breakout rooms. In the small discussion forums led by IIS representatives, the participants tried to reflect several important questions related to the photographs and the stories behind them: When you hear the word Hiroshima and Nagasaki, did you imagine the same impression as that of hibakujumoku’s? Does the reasoning behind nuclear weapons development make sense? If there were to be a nuclear explosion now, will you survive? The majority of participants agreed that nuclear weapons development is not worth the after effect. Hence, it is necessary that states fully realize the importance of disarmament and total abolition. After answering and exchanging thoughts on the matter, the discussion continued in the larger forum for a question-and-answer session, with added insights from Muhadi Sugiono and Christian Donny Putranto, legal advisor for ICRC.


Writer : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Editor : Medisita Febrina

[RECAP] IIS UGM Berpartisipasi dalam Tanggap Darurat COVID-19

Dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19, Institute of International Studies (IIS) UGM turut berpartisipasi dalam berbagai upaya tanggap darurat COVID-19, di antaranya melalui skema hibah pengabdian masyarakat FISIPOL UGM. Sejak 12 Juni 2020, IIS UGM, bekerja sama dengan Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM dengan diketuai oleh Ibu Siti Daulah Khoiriati, MA, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, melaksanakan program hibah pengabdian kepada masyarakat tanggap darurat Covid-19 FISIPOL UGM 2020 dengan judul “Penguatan Usaha Rumah Tangga Perempuan Menghadapi Dampak COVID-19 Melalui Pembentukan Online Marketplace berbasis Media Sosial.” Kegiatan ini ditujukan kepada Koperasi Mitra Insani di daerah Godean, Yogyakarta. Kegiatan ini memprioritaskan kelompok perempuan dikarenakan di Koperasi Mitra Insani, kelompok perempuan berperan sebagai kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya. Dengan adanya pandemi, maka sumber pemasukan bagi para pelaku usaha perempuan di Koperasi Mitra Insani mengalami penurunan karena warung makanan yang diharuskan tutup untuk mengurangi risiko terpapar virus. Oleh karenanya, program ini dilakukan untuk mendukung kegiatan jual beli masyarakat selama pandemi COVID-19 melalui pembekalan literasi digital dan pemanfaatan media sosial sebagai sarana promosi dan penjualan.

Mengingat situasi yang mengharuskan adanya physical distancing, maka program ini dilaksanakan melalui Kuliah Whatsapp (KULWAP) untuk menyampaikan materi setiap minggunya. Melalui KULWAP yang dilaksanakan selama tiga minggu berturut-turut, IIS dan PSPD UGM berbagi pengetahuan dengan pelaku usaha perempuan Koperasi Mitra Insani Yogyakarta untuk menunjang kelangsungan aktivitas jual beli daring berbagai macam produk, mulai dari makanan hingga pakaian. Materi yang disampaikan meliputi penjelasan fitur-fitur Whatsapp yang bermanfaat untuk memasarkan produk, cara memotret produk untuk menghasilkan gambar yang menarik, serta metode pengemasan produk makanan atau bahan makanan agar tetap segar selama disimpan atau dikirim. Dalam penyampaian materi pun dibantu oleh narasumber dari luar, yaitu Tito Ardiyan selaku fotografer profesional dan Ibu Arifah selaku peneliti di Pusat Studi Perdagangan Dunia sekaligus dosen di Fakultas Pertanian UGM.

Setelah KULWAP berakhir, ibu-ibu Koperasi Mitra Insani Yogyakarta pun langsung mempraktikkan materi yang telah disampaikan. Dengan materi pemanfaatan fitur Whatsapp, para pelaku usaha pun semakin mahir memanfaatkan fitur status dan broadcast Whatsapp untuk mempromosikan produk. Pemasaran produk semakin efektif dengan kemampuan ibu-ibu mengambil gambar produk dengan pencahayaan yang cukup, sudut pandang yang mampu memperlihatkan rincian produk, serta pemanfaatan kontras warna untuk menonjolkan produk. Terakhir, produk makanan yang dijual juga akan tahan lama karena para pelaku usaha dapat semakin meminimalisasi paparan oksigen terhadap makanan selama penyimpanan.

Demi meningkatkan kelangsungan aktivitas jual beli daring, IIS UGM membantu menyusun alur online marketplace baru di Whatsapp untuk dimanfaatkan oleh ibu-ibu anggota koperasi. Nantinya, para anggota akan memasarkan produknya lewat katalog di akun Whatsapp Business yang dikelola oleh Ibu Askiyah selaku kepala koperasi. Pembeli akan melihat produk yang dipasarkan lewat katalog di Whatsapp Koperasi Mitra Insani dan menghubungi akun tersebut untuk membeli produk yang diinginkan. Harapannya, aktivitas jual beli yang terpusat akan memudahkan pemasaran produk dan pengelolaan transaksi dalam skala yang lebih besar.
Berikut alur tata kelola online marketplace yang ditawarkan untuk Koperasi Mitra Insani:

Selain berpartisipasi dalam upaya pembentukan online marketplace bagi para pelaku usaha perempuan di Koperasi Mitra Insani, IIS UGM turut berpartisipasi dalam membantu jogjabregas.id, salah satu inisiatif hibah pengabdian masyarakat tanggap darurat COVID-19 FISIPOL UGM. Jogjabregas.id berupaya membangun pangkalan informasi seputar cara baru beradaptasi dengan situasi pandemi yang dilakukan oleh warga Yogyakarta di bidang pendidikan serta kesejahteraan. Inisiatif jogjabregas.id ini terdiri dari empat tema konten, yaitu Segar Waras, Kampung Berdaya, Pintar dari Rumah, dan Serba Serbi Covid.

IIS UGM berkolaborasi dengan jogjabregas.id untuk Kampung Berdaya, sebuah program yang bertujuan mengumpulkan dan menceritakan kembali kisah inisiatif-inisiatif baik dan inspiratif warga Yogyakarta untuk beradaptasi dengan pandemi, sembari menjaga kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan bersama melalui penyediaan infografis, artikel, serta podcast. Kolaborasi IIS UGM ini diharapkan dapat turut mengedukasi masyarakat luas, khususnya warga Yogyakarta dalam beradaptasi di tengah pandemi ini.


Penulis: Brigitta Kalina, Denise Michelle, Medisita Febrina

[RECAP] IIS UGM Emergency Response to Mitigate the Repercussions of the COVID-19 Pandemic

Together with Center for World Trade Studies (CWTS UGM), Institute of International Studies (IIS UGM) took part in alleviating the negative effects of the pandemic on businesses by participating in the community service grant scheme provided by Faculty of Social and Political Sciences (FISIPOL UGM). Starting from 12 June 2020, the team, led by Siti Daulah Khoiriati, MA—a lecturer in the Department of International Relations UGM—implemented a program titled “Reinforcement of Women-Owned Home-Based Businesses in the Wake of COVID-19 through Social Media-Based Online Marketplace”. This activity targeted the members of all-female Koperasi Mitra Insani located in Godean, Yogyakarta, in which most of the members acted as breadwinners in the family. Amidst the pandemic, income for members of the co-op—which mostly sold F&B products—decreased as their food stalls were forced to close down to prevent transmission. Hence, the program aimed to enable the members to continue commercial activities by equipping them with digital literacy and social media utilization skills.  

As the pandemic situation required physical distancing, the program was delivered weekly through Whatsapp. For three consecutive weeks, IIS and CWTS UGM shared useful know-hows with members of the co-op which will help them in promoting and selling their goods—ranging from F&B to garments—online. The insights included elaboration on Whatsapp features for promotional purposes, ways to take decent pictures of the products, and best food packing methods. Tito Ardiyan, a professional photographer, as well as Arifah, a researcher in CWTS UGM and lecturer in the Faculty of Agriculture UGM, were invited to help in delivering the insights. 

Immediately after the sessions ended, the members practiced the previously-taught skills. They were able to utilize Whatsapp status and broadcast features to spread information about the products. Promotion became even more effective as they took better pictures with adequate lighting, right angles, as well as color contrast. Lastly, the products would stay fresh longer as the members were able to minimize oxygen exposure better.  

In order to boost online commercial activities, IIS UGM helped in creating a new online marketplace flow using Whatsapp. The members will promote their products through a Whatsapp business account organized by Ibu Askiyah as head of the co-op. Customers will view the co-op’s products through a catalogue published on the account and contact the account to place a purchase. Setting up a business account, hopefully, will centralize transactions and enable better promotion, as well as simplify organization of transactions on a larger scale. In detail, here is how the online marketplace will work: 

  1. The organizer will store images of each member’s products to establish an online catalogue.
  2. The organizer will include images of the products on the catalogue and promote them.
  3. Customers will place purchases and finish payments via Whatsapp business account. 
  4. Members will ship the goods directly to customers.
  5. The organizer will hand the revenue to the members after charging an administration fee. The fee will be collected to pursue collective necessity.

IIS UGM also collaborated with jogjabregas.id, a community service initiative in the form of an information base containing insights on best ways to adapt to the pandemic practiced by people residing in Yogyakarta. The insights are placed under four themes, revolving around topics of education and welfare, including Segar Waras, Kampung Berdaya, Pintar dari Rumah, and Serba Serbi COVID. 

Through production of infographics, articles, and podcasts, IIS UGM collaborated with jogjabregas.id in disseminating information under section Kampung Berdaya. In hopes of educating the public, the program aims to share inspiring stories and honorable initiatives to maintain health, safety, and welfare set up by Yogyakarta residents in the middle of COVID-19 spread.


Writer: Brigitta Kalina, Denise Michelle, Medisita Febrina
Translator: Medisita Febrina

[RECAP] Beyond The Great Wall #9 : China and Issues Amidst the New Normal

On Saturday (11/7), Institute of International Studies (IIS UGM) organized its bimonthly discussion forum Beyond the Great Wall/BTGW virtually. The ninth edition of BTGW invited Julian Lilihata, MA, alumna of Tsinghua University and Arrizal Anugerah Jaknanihan, undergraduate student of Department of International Relations UGM. The discussion titled “China: Issues Amidst the New Normal” tried to illustrate the challenges China is facing in the era of new normal, while still fighting the relentless COVID-19 pandemic.

Julian began the discussion, “The Second Wave of Coronavirus in Beijing”, by describing the situation of the first wave pandemic in China. When the first outbreak occurred in Wuhan, there had been a mistake in declaring the outset of the virus spread as a result of obscure reporting. According to South China Morning Post, the first case was discovered on 17th November 2019, while Wall Street Journal reported that the first case was detected on 10th December 2019. At the dawn of the outbreak, eight doctors tried to warn the public and conduct research on the virus. However, they were stopped by the Wuhan Public Security Bureau and were called to sign a letter declaring their involvement in illegal activity that disrupted public order. The signing was aired via Xinwen Lianbo.

Serious actions were only taken in the beginning of 2020. On 1st January 2020, the authorities closed Huanan Seafood Market (where the first cases of COVID-19 were discovered). Two weeks later, massive temperature measurement was conducted in several public spaces. People with high body temperature were immediately taken to the hospital. In Beijing, the first two cases were identified on 19th January 2020. Five days following the discovery, plenty of prevention measures were applied, namely days off work, provision of face masks and hand sanitizers, temperature measurement, disinfection, centralized treatment for COVID-19 patients in 89 hospitals, and termination of religious events and long-distance transportation services. Activities in the week prior to Chinese New Year holiday—from 24th January to 2nd February—were major factors in the spike of cases, in which people still travel with public transportations and go on vacations despite lockdown in Wuhan beginning on 23rd January.

Following the Chinese New Year influx, the first wave of COVID-19 cases in Beijing peaked on 5th February with additional 114 cases. In response to the phenomenon, the government put various prevention measures in place. In order to disseminate precise and accurate information about government’s discretion regarding the pandemic, mobile application Beijing Health Kit Apps was launched as a medium of communication between the government and the people. The app also served as a digital identification card that can be used in public facilities. Moreover, purchase of fever medicine required identification card as an attempt to record possible COVID-19 cases. The Beijing Social Security Bureau also provided protection for dual-income families. As a result of such fast response, the curve between the first and last two weeks of COVID-19 cases in Beijing fell.

Subsequent to the outbreak, numerous adaptations and changes were made, such as new eating manner and change in reckless spitting habit. Changes were also made in foreign flights, in which foreign citizens were suggested not to fly back to Beijing as many cases were “imported”, meaning that many were transmitted from foreign citizens. The government even stopped direct flights to Beijing and diverted the flights to surrounding cities with less COVID-19 cases. Three days after COVID-19 cases peaked in Beijing, the ban on foreign citizens entry were imposed on 27th March.

By the end of the first wave, COVID-19 death rate was lower compared to SARS 2003 by virtue of maximal treatment and aggressive prevention policy enforcement. Moreover, digitalization played an important role, as it effectively reduced direct contact through practice of cashless transactions, simplified identification process through digital identification card, and assisted information distribution via Beijing Health Kit App used daily by the people. The presence of volunteers also contributed immensely to alleviating the spread of COVID-19, as they helped keep record of the people in quarantine, distributed food, and assisted in doing house chores unable to be done by those confined. As much as the pandemic affected daily lives directly, it also affected the people indirectly. It roused the people’s quest for rights of free speech, particularly in the case of Dr. Li Wenliang’s death.

After the first wave ended, signs of normal activities that were seen in the first week of June didn’t last long. The following week, three new cases were discovered, two of them found in Fengtai Meat Food Research Center. On 13th June, another six cases from local transmission in Xinfadi Market—the biggest grocery market in Asia—located in Fengtai District were detected. Responding to the newfound cases, the government immediately took action. Three core steps were taken: sweeping, testing, and isolation. The testing became more massive in the second wave, in which, a week after the new cases emerged, 2.3 million people had been tested. The government also applied wartime mechanism in management standards. In the third week of June, public spaces were, again, closed. Correspondingly, several responsible government officials and authorities of the Xinfadi Market were fired. The second wave was quite distinct compared to the first, as the testing was more aggressive and massive, both on those who were directly and indirectly affected. Several other measures also made the second wave stood out from the first, with extended quarantine duration from 14 days to 21 days, stricter track recording of people, and local isolation, as well as different types of isolation depending on the level of risk: high, moderate, and low.

Arrizal delivered the second presentation titled “From Beijing to the Streets of Hong Kong: How Students Form the Democratization Movement in Contemporary China”. Despite the pandemic, the people of Hong Kong persisted to commemorate the Tiananmen 1989 Tragedy on 4th June. In China, the Tiananmen Protest had become resilience symbol of democratization movements. Though the discussion on democratization is still taboo in the Chinese government, democracy has long become a part of the Chinese national identity discourse. Before the Chinese Civil War was won by the Chinese Communist Party/ CCP in 1949, Chinese leaders then attempted to adopt democracy as one of the nation’s principles.

Protests—mainly the ones driven by university students—has been occurring in China for a long time, although not always meant to go against the authorities. In mainland China, two phases of protests occurred: protests supported by the political elite in Mao’s era (1949-1976) and 1989-now; and protests organized against the political elite in the era of Republic (1911-1949) until the early post-Mao years (1976-1989). Despite being different in characteristics, these protests should be viewed in unity as a continuous series of events.

Under Deng Xiaoping, the Chinese political system underwent a transition phase and no longer focused on ideological aspects. Such character promoted reform in the field of politics. Unlike in Mao’s presidency, the CCP in Deng’s era encouraged the public to express their opinion. This period is often referred to as the Beijing Spring—derived from the term Arab Spring—as it gave space for pro-democracy movements to rise. One of the most influential pro-democracy symbols were the Xidan Walls illustrating CCP’s “openness” to proceed with the rejuvenation agenda.

One of the most influential student protests in modern Chinese history were the May Fourth 1919. The movement was initiated to counter the outcome of Versailles Treaty which was viewed as an attempt to turn China over to Japan and western countries. The May Fourth became a pillar for the following student protests and eventually prompted the nationalist movement in China. In 1986, students from all over China organized a protest demanding a political reform. The protest secured an indirect support from Hu Yaobang, then CCP’s secretary general. Three years later, the Tiananmen Protest were organized to commemorate his passing. The occurrence was the accumulation and peak of small student protests since 1976.

According to Arrizal, there were—at least—six reasons why protests were often organized by university students. First, the protest culture, which was born in the era of nationalist movements, kept driving reform movements in universities established in said reformation era. Also, presence of moral support and exclusive identity of university students supported such protests. Third, centralized location allowed easier assembly; in 1930, 60% of Chinese students were only concentrated in two cities, Beijing and Shanghai. Fourth, university students, unlike other repressed groups in the civil society, had self-determining characteristics as a group. They were also privileged with exposure to ideas of democracy through formal education and western dissemination. Lastly, university students had weaker bonds with the state ever since the Imperial Civil Examination was abolished in 1905.

Wrapping up his explanation, Arrizal stated that student protests following the May Fourth 1919, Tiananmen 1989, and Hong Kong protests can’t be viewed as entirely separate movements. Said protests should be seen in unity of a long-established democratization movement. Different political, social, and economic condition in China today also influenced the existence of similar protests in the 21st century.


Writer: Denise Michelle
Translator: Medisita Febrina

[RECAP] Beyond The Great Wall #9 : Cina dan Problematika di Era New Normal

Pada Sabtu (11/7) lalu, Institute of International Studies (IIS) UGM kembali mengadakan forum diskusi dwibulanan Beyond the Great Wall (BTGW) secara daring. BTGW edisi kesembilan menghadirkan Julian Lilihata, MA, alumnus Tsinghua University dan Arrizal Anugerah Jaknanihan, mahasiswa Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. BTGW edisi kali ini bertajuk “Cina: Problematika di Era New Normal” untuk menggambarkan tantangan yang dihadapi Cina di era new normal sembari terus berusaha menghadapi pandemi COVID-19 yang belum juga usai.

Forum diskusi diawali dengan pemaparan oleh Julian mengenai “Gelombang Kedua Virus Corona di Beijing”. Pada gelombang pertama penyebaran virus COVID-19 di Wuhan, terdapat kebimbangan dengan adanya kesimpangsiuran pemberitaan mengenai perkembangan awal kasus infeksi. Menurut South China Morning Post, kasus pertama terdeteksi pada 17 November 2019, sedangkan menurut Wall Street Journal, kasus pertama terdeteksi pada 10 Desember 2019. Pada masa awal penyebaran virus, terdapat beberapa dokter yang berusaha memperingatkan rekan sejawat mereka akan adanya kasus infeksi mirip SARS. Namun, Biro Keamanan Publik Wuhan memanggil dan melakukan represi terhadap delapan dokter tersebut dengan meminta mereka menandatangani surat pernyataan bahwa mereka telah melakukan aktivitas ilegal yang mengganggu keamanan publik. Penandatanganan ini disiarkan secara publik lewat Xinwen Lianbo.

Penanganan yang terbilang serius baru dijalankan di awal 2020. Pada 1 Januari 2020, Pasar Makanan Laut Huanan—tempat kasus-kasus pertama COVID-19 terdeteksi—ditutup. Dua minggu setelahnya, pengukuran suhu dilakukan di berbagai tempat umum. Penduduk yang demam langsung segera dirujuk ke klinik demam. Dua kasus COVID-19 di Beijing secara resmi terdeteksi pada 19 Januari 2020. Lima hari setelah kasus terdeteksi, telah banyak aksi pencegahan yang dilakukan seperti libur kerja, penyediaan masker dan hand sanitizers, pemeriksaan suhu di banyak titik, disinfeksi bangunan, penanganan pasien dengan gejala demam secara terpusat di 89 rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas klinik demam, penghentian kegiatan ibadah, dan penutupan layanan transportasi jarak jauh. Faktor yang berkontribusi membuat penyebaran virus ini semakin meluas adalah kesibukan penduduk pada satu minggu menjelang libur tahun baru Cina yang berlangsung pada pada 24 Januari-2 Februari. Selama periode tersebut, arus transportasi masih berjalan normal, seperti sebelum lockdown diberlakukan dan banyak orang telah mengambil cuti dari seminggu sebelumnya, sehingga menimbulkan indikasi pergerakan penduduk yang telah terjangkit di hari-hari sebelum lockdown diberlakukan.

Dengan adanya arus balik libur tahun baru Cina, periode puncak pertama infeksi wabah di Beijing terjadi pada 5 Februari dengan tambahan 114 kasus. Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah mengusahakan berbagai cara untuk mencegah penyebaran. Demi memberikan informasi secara tepat dan akurat untuk merespon wabah, pemerintah meluncurkan aplikasi Beijing Health Kit Apps. Aplikasi tersebut berfungsi sebagai media komunikasi dari pemerintah ke masyarakat terkait kebijakan selama pandemi sekaligus sebagai kartu identitas jika bepergian ke ruang publik. Selain itu, pembelian obat demam di apotek mewajibkan pelaporan KTP agar tercatat. Biro Keamanan Sosial Beijing pun memberikan perlindungan keluarga berpenghasilan ganda. Sebagai hasil dari respon yang cepat ini, terjadi penurunan kurva yang signifikan antara dua minggu pertama dengan dua minggu terakhir di bulan Februari.

Akibat pandemi, terdapat berbagai perubahan dan upaya adaptasi yang dilakukan, seperti munculnya revolusi tata cara makan. Adaptasi juga dilakukan dengan menghimbau warga asing untuk tidak kembali ke Beijing sebab banyak kasus COVID-19 yang merupakan kasus “impor”, yakni tercatat pada orang-orang yang tiba di Beijing dari negara lain. Pemerintah bahkan menghentikan penerbangan langsung ke Beijing dan mengalihkannya ke beberapa kota sekitar Beijing dengan angka infeksi COVID-19 yang lebih rendah. Tiga hari setelah kasus COVID-19 di Beijing memuncak, larangan masuknya warga asing ke Beijing diterapkan pemerintah pada 27 Maret.

Secara keseluruhan, angka kematian COVID-19 di Beijing lebih rendah dibandingkan epidemi SARS 2003 karena adanya upaya penanggulangan yang maksimal serta penegakan kebijakan yang agresif untuk menekan angka terinfeksi dan kematian akibat COVID-19. Selain itu, digitalisasi menjadi salah satu faktor penting karena mampu mengurangi kontak langsung, misalnya mengurangi pemakaian uang tunai (cashless) serta memudahkan identifikasi terhadap status kesehatan, dan memudahkan distribusi informasi lewat Beijing Health Kit App yang digunakan oleh warga setiap hari. Adanya kontribusi sukarelawan juga penting karena mereka berperan membantu pendataan, pelayanan terhadap kebutuhan sehari-hari, dan berbagai aktivitas rumah lainnya yang tidak dapat dilakukan oleh orang yang sedang dikarantina. Di samping beberapa upaya adaptasi untuk menekan angka kasus, penyebaran COVID-19 juga berdampak secara tidak langsung pada aspek politik negara Cina, yakni dengan meningkatnya tuntutan kebebasan untuk berpendapat, tepatnya setelah meninggalnya Dokter Li Wenliang (salah satu dari delapan dokter yang telah dibahas sebelumnya).

Pasca gelombang pertama, tanda-tanda normalisasi kehidupan publik yang sudah terlihat pada minggu pertama Juni tidak bertahan lama.  Pada minggu kedua, kembali ditemukan tiga kasus, dua di antaranya berasal dari Pusat Peneliti Daging Hewan di Fengtai. Kemudian, pada 13 Juni, ditemukan enam kasus dari transmisi lokal di pasar grosir makanan terbesar di Asia, yakni Pasar Xinfadi di Kecamatan Fengtai. Merespon kasus tersebut, pemerintah dengan tanggap melakukan berbagai upaya. Pemerintah langsung melakukan tiga langkah penting: sweeping, testing, dan isolation. Testing semakin masif dilakukan pada gelombang kedua ini, di mana seminggu setelah kasus ini juru bicara pemerintah menyebutkan bahwa telah ada 2,3 juta penduduk yang dites. Di minggu kedua bulan Juni, pemerintah juga menerapkan standar pengelolaan dengan tingkat genting (mekanisme masa perang) dan pada minggu selanjutnya, ruang publik kembali ditutup. Sebagai upaya disipliner, pemerintah melakukan pemecatan terhadap beberapa pejabat dan pengelola pasar Xinfadi yang dianggap bertanggung jawab. Perbedaan gelombang kedua dan gelombang pertama secara signifikan terlihat lewat testing yang dilakukan dengan lebih masif dan agresif ke orang-orang yang terdampak langsung maupun tidak langsung, adanya peningkatan masa karantina dari 14 menjadi 21 hari, pendataan orang-orang yang semakin ketat, isolasi yang lebih bersifat lokal serta penanganan berbeda bagi tiap tingkatan dari high risk, moderate risk, hingga low risk.

Pemaparan kedua dilanjutkan oleh Arrizal dengan judul “Dari Beijing ke Jalanan Hong Kong: Bagaimana Mahasiswa Membentuk Gerakan Demokrasi di Cina Kontemporer”. Meski di tengah pandemi, masyarakat Hong Kong tetap melakukan peringatan terhadap tragedi Tiananmen 1989 pada tanggal 4 Juni lalu. Di Cina, Protes Tiananmen telah menjadi simbol resiliensi gerakan demokrasi. Meski demokrasi dianggap tabu dalam pemerintahan Cina, demokrasi telah lama menjadi bagian dari diskursus identitas nasional Cina. Sebelum akhirnya Perang Saudara Cina dimenangkan oleh Partai Komunis Cina (PKC) pada tahun 1949, para pemimpin saat itu berusaha mengadopsi demokrasi sebagai salah satu prinsip negara.

Protes—utamanya yang dimotori mahasiswa—di Cina telah terjadi sejak lama, namun tidak selalu dilakukan untuk melawan otoritas yang ada. Terdapat dua fase protes di dataran Cina, yaitu yang didukung oleh elit politik (era Mao tahun 1949-1976 hingga tahun 1989-sekarang) dan yang melawan elit politik (era Republik tahun 1911-1949 hingga awal pasca Mao tahun 1976-1989). Namun, protes-protes ini berkesinambungan satu sama lain dan menjadi satu kesatuan.

Di bawah Deng Xiaoping, sistem politik Cina mengalami masa transisi dan tidak lagi menitikberatkan kebijakan pada aspek ideologi, sehingga mendukung adanya reformasi dalam ranah politik. Tidak seperti pada era Mao, PKC pada masa pemerintahan Deng Xiaoping mendorong publik untuk mengekspresikan opininya. Periode ini kerap disebut Beijing Spring (mengacu pada Arab Spring) karena memberi celah bagi gerakan prodemokrasi untuk muncul. Salah satu simbol yang paling berpengaruh adalah Tembok Xidan yang digunakan sebagai wujud “keterbukaan” PKC untuk melakukan agenda rejuvenasi.

Salah satu protes mahasiswa yang paling berpengaruh dalam sejarah Cina modern yang dimotori oleh kalangan mahasiswa adalah May Fourth pada tahun 1919. Protes ini diinisiasi untuk melawan hasil perjanjian Versailles yang dinilai “menjual” Cina pada negara-negara Barat dan Jepang. Peristiwa May Fourth kemudian menjadi tonggak gerakan mahasiswa di Cina dan mendorong gerakan nasionalisme di Cina. Pada tahun 1986, mahasiswa dari berbagai wilayah di Cina melaksanakan protes yang menuntut adanya reformasi politik. Protes ini pun mendapat dukungan tidak langsung dari Hu Yaobang, sekretaris jenderal PKC. Tiga tahun kemudian, terjadi protes Tiananmen untuk memperingati wafatnya Hu Yaobang. Peristiwa Tiananmen menjadi puncak dan hasil akumulasi dari protes-protes kecil mahasiswa sejak tahun 1976.

Menurut pemaparan Arrizal, terdapat setidaknya enam alasan mengapa protes dimotori oleh mahasiswa. Pertama, keberadaan kultur protes sejak masa pergerakan nasional yang kerap mendorong gerakan reformasi yang berasal dari universitas-universitas yang didirikan pada masa reformasi tersebut. Kedua, adanya dorongan moral dan identitas eksklusif mahasiswa karena mahasiswa dipandang sebagai kelompok yang memiliki privilese. Ketiga, lokasi yang terpusat; pada tahun 1930, 60% mahasiswa Cina terpusat hanya di dua kota, yaitu Beijing dan Shanghai. Keempat, sifat mahasiswa sebagai kelompok masyarakat sipil yang cukup otonom dibandingkan kelompok masyarakat sipil lainnya yang dibungkam. Kelima, keiistimewaan mahasiswa sebagai kelompok pertama yang terpapar ide mengenai demokrasi lewat pembelajaran di bangku kuliah dan diseminasi dari Barat. Terakhir, lemahnya keterikatan antara mahasiswa dan negara sejak imperial civil examination dihapus tahun 1905.

Untuk menutup pemaparannya, Arrizal menyampaikan bahwa protes mahasiswa yang terjadi sejak May Fourth tahun 1919, protes Tiananmen tahun 1989, hingga protes di Hong Kong saat ini tidak dapat dipandang sebagai gerakan yang sepenuhnya terpisah. Protes-protes tersebut merupakan satu kesatuan dari gerakan yang menuntut adanya demokrasi sejak awal. Kondisi politik, sosial, dan ekonomi Cina yang kini berbeda pun turut memengaruhi keberadaan protes serupa di abad ke-21.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Medisita Febrina

[RECAP] Cangkir Teh : Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta

The government’s move towards new normal as a policy alternative in tackling COVID-19 is thought-provoking, in particular regarding the aptness of both the government and the people in anticipating the situation. As the new normal scheme demands every member of the society to pay extra attention to their health (with, amongst many other measures, frequent handwashing), it is necessary to observe how water—as a vital element in preventing COVID-19 transmission—is being governed. Notably in urban poor areas, water governance needs to be scrutinized to ensure equal access.

Intrigued by the issue, Institute of International Studies organized Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) on Wednesday, 17 June 2020 online via Google Meet. Present in the fourth forum of Cangkir Teh was Marwa, M. Sc., a researcher in Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada, as the speaker. Marwa brought about the topic of “Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta”. In addition, Handono Ega—publication staff of IIS UGM—also attended as a moderator.

Marwa commenced the discussion by expressing the importance of discussing water governance issue. The matter is of great urgency as access to water in urban poor regions is still limited, particularly in Jakarta. Poor water governance poses the urban poor population as the group most vulnerable to lack of water, above all in times of pandemic. In defining water governance, Marwa put two approaches to use, namely the environmental justice approach and the feminist political ecology approach.

The environmental justice approach highlights the significance of recognition and participation aspects in water governance. The approach criticizes how established water governance policies are only fixated on water distribution between the elite and the urban poor, neglecting elements of recognition and participation. Such negligence contributes to the exclusion of urban poor population in the water governance scheme. The issue of recognition becomes an important point as limited access to water usually comes from urban poor settlements being deemed illegal. Moreover, the aspect of participation also needs to be taken into account, as the urban poor population is normally unable to participate in municipal water governance scheme, let alone in lower levels of households and communities. As the two facets were given little attention to in public discourse, existing policies are also void of them. Said policies include: (1) the cross-subsidy tariff scheme which, despite charging lower price to the urban poor, is yet to consider recognition; (2) the flexible payment mechanism which prioritizes subsidy, but overlooks recognition and participation; (3) the master meter program which provides an alternative for people who don’t own land certificates, but controversially legitimizes the “occupation” of illegal land by urban poor population.

Meanwhile, the feminist political ecology approach puts emphasis on the methods of daily water utilization. In practice, water governance and utilization might be policy-driven, requiring large-scale public collaboration, or needs-driven, usually limited to the vicinity of communities. In her analysis, Marwa asserted that access to water highly depends on the identity of an individual, covering his/her place of origins, type of settlement (whether permanent or semi-permanent), number of people in the household, status of land owner and even the individual’s place in the community. Different identities lead to different ways of obtaining access to water and certain identities are favored more compared to others. In aforesaid condition, the urban poor tend to be the one at disadvantage, having their access to water restricted. The feminist political ecology approach finds fault in the tendency of existing policies to generalize, causing inability to reach out to the society as a whole, especially the urban poor.

Observance of the situation in Jakarta leads to the conclusion that the established water governance involving different stakeholders on different scales is unable to give decent access to water for the urban poor, primarily amidst the spread of COVID-19. Large-scale social distancing measures compelled the urban poor into compromising their need of water and sanitation essential to health. In a more general context, the neglect of recognition and participation results in difficulties for migrants in Jakarta in accessing water. Government’s effort, unfortunately, was limited to providing handwashing facilities, which is—definitely—inadequate to satisfy the population’s daily need of water. At the end of her presentation, Marwa suggested that, instead of continuously debating on remunicipalization and privatization, it is essential for the government to move towards better recognition and participation of the people in water governance process. Besides, while the urban poor has always been mere tool of propaganda in improving water governance, the pandemic should be the right momentum to voice the importance of just, flexible, and sustainable water governance for the whole population.


Writer : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Editor : Medisita Febrina

[RECAP] Cangkir Teh : Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta

Pergerakan pemerintah ke arah tatanan normal baru sebagai pilihan kebijakan dalam mengatasi pandemi COVID-19 saat ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disoroti, terutama berkaitan dengan kesiapan—baik masyarakat maupun pemerintah—dalam menghadapi situasi ini. Di saat tatanan normal baru menuntut seluruh komponen masyarakat untuk lebih memperhatikan kesehatan (yang salah satunya meliputi cuci tangan sesering mungkin), penting untuk melihat bagaimana pengelolaan air dilakukan. Utamanya di wilayah urban poor, pengelolaan air perlu diamati dalam rangka memastikan akses setara terhadap air yang menjadi komponen utama pencegahan penyebaran COVID-19.

Berangkat dari hal ini, Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) pada Rabu, 17 Juni 2020 secara daring melalui Google Meet. Forum Cangkir Teh edisi ke-4 menghadirkan Marwa, M. Sc., peneliti di Center for World Trade Studies Universitas Gadjah Mada, sebagai pembicara. Marwa membawakan materi berjudul “Water Governance for the Urban Poor and COVID-19 Crisis: The Case Study of Jakarta”. Selain itu, forum ini juga mengundang Handono Ega, staf publikasi IIS UGM, sebagai moderator.

Marwa membuka diskusi dengan menyatakan bahwa persoalan tata kelola air menjadi topik yang sangat penting untuk didiskusikan karena masih terbatasnya akses masyarakat terhadap air di wilayah urban poor, utamanya di Jakarta. Tata kelola air yang buruk pada akhirnya menjadikan masyarakat urban poor sebagai pihak yang paling rentan terhadap pandemi COVID-19. Marwa menggunakan dua pendekatan dalam mendefinisikan pengertian dari tata kelola air, yaitu pendekatan environmental justice dan feminist political ecology.

Pendekatan environmental justice menyoroti pentingnya aspek rekognisi dan partisipasi dalam tata kelola air. Pendekatan ini mengkritisi bagaimana selama ini proses tata kelola air hanya mengutamakan aspek distribusi antara elit dan urban poor. Bagi pendekatan ini, rekognisi dan partisipasi menjadi poin penting yang selama ini hilang dari bahasan tata kelola air dan berkontribusi terhadap proses eksklusi masyarakat urban poor dalam skema tata kelola air. Persoalan rekognisi menjadi poin yang penting karena selama ini pemukiman mereka kerap dianggap ilegal. Hal tersebut berimplikasi pada terhambatnya akses air bagi mereka. Di sisi lain, partisipasi juga menjadi persoalan yang penting karena dalam praktiknya, masyarakat urban poor tidak dapat berpartisipasi dalam skema tata kelola air skala kota, apalagi ke dalam skala yang lebih rendah seperti rumah tangga dan komunitas. Karena aspek rekognisi dan partisipasi kerap luput dari pembahasan mengenai tata kelola air, kebijakan yang ada pun juga belum mencakup aspek-aspek tersebut. Ragam kebijakan yang dimaksud, di antaranya, mencakup: (1) cross subsidy tariff yang, walaupun menarik biaya lebih murah kepada masyarakat urban poor, belum memperhatikan aspek rekognisi; (2) flexible payment mechanism yang mengutamakan subsidi, namun kurang memperhatikan aspek rekognisi dan partisipasi; (3) master meter program yang menjadi alternatif bagi masyarakat yang tidak memiliki surat tanah, namun menjadi kontroversial karena dianggap melegitimasi “okupasi” masyarakat urban poor terhadap tanah ilegal.

Sementara itu, pendekatan feminist political ecology lebih mengutamakan praktik metode penggunaan air dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktiknya, pengelolaan dan metode penggunaan air tergantung pada dua faktor, yaitu kebijakan (policy-driven) yang membutuhkan kerjasama publik dalam skala yang besar dan kebutuhan (needs-driven) yang biasanya terbatas pada skala komunitas terdekat. Dalam analisisnya, Marwa menyatakan bahwa akses terhadap air sangat tergantung pada identitas individu, seperti pendatang/warga asli, rumah permanen/semipermanen, jumlah orang per rumah, status pemilik tanah, bahkan kedudukan individu tersebut dalam komunitas. Identitas yang berbeda ini akan berpengaruh pada metode perolehan air seperti apa yang akan digunakan. Hal yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa sayangnya, identitas tertentu akan lebih diuntungkan dibanding yang lain. Salam konteks ini, urban poor menjadi pihak yang terancam tidak memperoleh akses terhadap air yang layak. Kritik yang disampaikan melalui pendekatan feminist political ecology cukup jelas, yaitu bahwa selama ini kebijakan yang dikeluarkan cenderung melakukan generalisasi dan pada akhirnya tidak mampu menjangkau keseluruhan masyarakat, terutama urban poor.

Jika melihat situasi di Jakarta, proses tata kelola air yang melibatkan berbagai stakeholder dalam skala yang berbeda-beda justru belum mampu memberikan akses terhadap air yang baik bagi masyarakat urban poor, terutama di masa pandemi COVID-19. Adanya kebijakan PSBB dalam rangka menekan angka penyebaran COVID-19 memaksa masyarakat untuk menegosiasikan kebutuhannya terhadap air dan sanitasi yang sangat penting bagi kesehatan. Akibat dari tidak diperhatikannya aspek rekognisi dan partisipasi, pendatang yang tinggal di Jakarta justru semakin kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap air. Upaya yang dilakukan pemerintah juga masih sebatas pengadaan fasilitas cuci tangan di daerah urban poor yang, tentunya, tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka terhadap air. Di akhir presentasinya, Marwa menyatakan bahwa alih-alih terus memperdebatkan persoalan remunisipalisasi dan privatisasi, penting bagi pemerintah untuk segera bergerak ke arah proses rekognisi dan partisipasi bagi masyarakat dalam proses tata kelola air. Tidak hanya itu, jika selama ini urban poor hanya dijadikan propaganda untuk memperbaiki proses tata kelola air, pandemi COVID-19 sejatinya menjadi momentum yang tepat untuk menyuarakan pentingnya pengelolaan air yang lebih adil, fleksibel, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina