[RECAP] Beyond The Great Wall #12 : China 2020: Flashbacks and Future Challenges

On Friday (11/12), Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) organized another discussion forum, the 12th and the last Beyond the Great Wall (BTGW) of 2020. This forum discussed “China 2020: Flashbacks and Future Challenges”. Speaking were Arum Dyah Rinjani (fresh graduate of Department of International Relations Universitas Mataram), Lazarus Andja Karunia (part-time staff for Direktorat Riset Industri UGM), and Dr. Nur Rachmat Yuliantoro (lecturer at Department of International Relations UGM).

Arum Dyah Rinjani commenced the forum with her presentation on “Maritime Environmental Security: Implications of Nine-dash Line Claims on Maritime Environmental Degradation in South China Sea”. China’s nine-dash line claims steered several Chinese policies on the territory, causing a handful of maritime conflicts. From 2009-2016, 8.795 news on maritime conflicts were released, in contrast with mere 25 on maritime environmental security and resource protection in the area.

While most of China’s activities in SCS relate to maritime security, at least two of them contributed to severe environmental degradation: land reclamation and overfishing. China has been doing land reclamation since 2013, making up 3.200 ha of artificial island. The activity destroyed reefs, increased muddiness, released harmful chemicals, created sedimentary sands which killed underwater organisms, and inflicted several destructions beyond repair. Meanwhile, China used large ships, dangerous substances, and heavy equipment in fishing. China’s overfishing caused decrease in fish stocks and catches, endangered biodiversity, harmed reefs, and sparked clashes with other countries. Ecologically, the phenomenon made one of the worst overfishing and reef degradation records in history. It is 99% China’s fault, Arum claimed.

Lazarus Andja continued with discussions on “Great Peek Forward: How Surveillance Technology Shaped China’s Response Towards Coronavirus”. By surveillance, Andja meant structured observation. China has frequently utilized surveillance technology, even prior to the pandemic. There were at least 2.58 million cameras in Chongqing used to observe 15.35 million people, particularly for law enforcement and automatic response for violations through the social credit system. The same was also done in Xinjiang to supervise people and limit mobility. However, surveillance was still localized and yet to reach national scale.

To better understand the case, Andja used the post-panoptic surveillance concept. It means the use of several separate surveillance tools which, at the end, will consolidate into one strategy. Post-panoptic surveillance is not limited to physical institutions like schools, prisons, and factories, hence the lack of awareness of the object while being observed. Moreover, it is used not to control, but to discipline. Three aspects make up post-panoptic surveillance: surveillant assemblage, deterritorialization, and reassembly.

Surveillant assemblage means the tools used to execute surveillance. In China, it includes color coding, drones, social credit system, and social media supervision. Alipay Health Code uses color coding to indicate different health levels in Hangzhou to limit mobility. People in Hangzhou can only go to green-coded areas in the app. Travelling to yellow areas will end up with requirement of one-week quarantine, while visit to red areas require two-week quarantine. Moreover, drones function to assist observation and give out reminders to obey health protocols. Failure to obey will result in deduction of social credit points, while good deeds—i.e. serving as front-liner health workers—will be rewarded with extra points. The more points one has, the more social opportunities will be available. In addition, the government uses social media surveillance to sensor critics and rebellious acts through keyword filtering.

Deterritorialization is data gathering from physical space and creation of individual data doubles. In deterritorializing, the government partnered with at least four parties: (1) with Alibaba who assisted data gathering regarding individual health risk; (2) with Baidu’s AI technology Intelligent Changsan which processes citizen reports by phone; (3) with SkyNet who assisted the police through CCTV observation; (4) and with MicroMultiCopter which supplied 100 drones to 11 cities.

Lastly, reassembly is the process of gathering data doubles in accordance with the need of users. In China, amongst the various users are the war room (which is the center of city and village level supervision), the central government, and the police. That said, the people’s biggest fear is surveillance creep or data abuse by the authorities.

Dr. Nur Rachmat Yuliantoro delivered the last presentation on “Technology and Daily Lives of the Chinese: Is It Convenience, Fear, or Something Else?”. He showed different pictures (some of them taken directly by him) to show changes in daily conduct supported by the advancement of technology in China. The first picture exhibits a street merchant in China providing a barcode as means of payment, indicating China’s progress towards a cashless society. The second picture showcased wireless charging facilities in lamp posts across Wuhan.

The next picture captured Meituan Dianping app—similar to Gojek, providing several services in one platform—and Ele.Me—which delivers food with drones—that facilitates convenience for Chinese people. However, as much as it is efficient, the existence of these digital convenience sparked protests from partner restaurants because of its high fee. There’s also growing concerns of data abuse.

Moreover, technology allows everyone to easily access many services and do many things through mobile phones, including livestreaming features. Nonetheless, again, such convenience brings new concerns: recently, there was a man in China who got imprisoned after exposing personal data of a woman recently infected by COVID-19 following club visits. Nowadays, China also adopts face recognition technology that is advanced enough to identify masked faces.

While all the hi-tech tools mentioned above accommodate comfort and efficiency, they also pose obstacles to certain groups of the society, in particular the elderly.


Writer : Denise Michelle

Editor : Medisita Febrina

[RECAP] Beyond The Great Wall #12 : Cina di Penghujung 2020: Kilas Balik dan Tantangan ke Depan

Pada Jumat (11/12) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) kembali mengadakan forum diskusi Beyond the Great Wall (BTGW) yang ke-12, sekaligus yang terakhir di tahun 2020. Forum BTGW yang ke-12 ini mengangkat tema “Cina di Penghujung 2020: Kilas Balik dan Tantangan ke Depan” dengan menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu: Arum Dyah Rinjani (Lulusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Mataram), Lazarus Andja Karunia (Tenaga Mahasiswa Paruh Waktu Direktorat Riset Industri UGM), dan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM).

Pemaparan pertama disampaikan oleh Arum Dyah Rinjani dengan judul “Keamanan Lingkungan Maritim: Implikasi Klaim Nine-Dash Line Terhadap Degradasi Lingkungan Laut di Laut Cina Selatan”. Eksistensi klaim Nine-Dash Line Cina telah “menyetir” berbagai kebijakan yang diambil oleh Cina di Laut Cina Selatan sehingga menyebabkan berbagai konflik maritim di sana. Pada tahun 2009-2016, terdapat sekitar 8.795 berita mengenai perselisihan maritim di Laut Cina Selatan, sedangkan hanya ada 25 laporan berita mengenai isu keamanan lingkungan laut dan perlindungan sumber daya laut di Laut Cina Selatan.

Meskipun dinamika kegiatan Cina di Laut Cina Selatan didominasi oleh diskursus mengenai keamanan maritim, namun setidaknya terdapat dua kegiatan Cina yang turut berkontribusi terhadap degradasi lingkungan laut di Laut Cina Selatan, yaitu reklamasi pulau dan overfishing. Kegiatan reklamasi telah dilakukan Beijing sejak Desember 2013 dan telah mencapai luas 3.200 hektar. Dampak dari kegiatan reklamasi ini adalah hancurnya sistem terumbu karang, sejumlah besar kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, peningkatan kekeruhan air dan pelepasan bahan kimia, dan endapan pasir yang akan membunuh organisme laut. Sementara itu, kegiatan overfishing yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan menggunakan kapal-kapal berkapasitas besar, bahan yang destruktif, dan alat-alat berat. Dampaknya adalah penurunan stok ikan di lautan dan jumlah tangkapan, penurunan angka hewan langka, kerusakan terumbu karang, serta ketegangan dengan negara lain. Menurut pandangan ekologis, fenomena yang terjadi di Laut Cina Selatan ini adalah salah satu fenomena terburuk dalam perikanan dan kerusakan terumbu karang dan Cina 99% bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Pemaparan kedua dilanjutkan oleh Lazarus Andja Karunia yang membahas “Great Peek Forward: Bagaimana Teknologi Surveilans Membentuk Respons Tiongkok Terhadap Virus Corona”. Dalam pemaparan ini, yang dimaksud dengan surveilans adalah observasi terstruktur. Sebelum pandemi, teknologi surveilans sudah banyak digunakan di Cina. Terdapat setidaknya 2,58 juta kamera di Chongqing untuk mengamati 15,35 juta orang yang utamanya digunakan untuk penegakan hukum serta membangun sistem respon otomatis terhadap pelanggaran hukum melalui social credit system. Operasi surveilans juga digunakan di Xinjiang untuk mengawasi warga dan membatasi gerak. Namun, sistem ini masih bersifat lokal dan belum menyeluruh secara nasional.

Dalam menjelaskan hal ini, Lazarus Andja menggunakan kerangka konseptual Surveilans Post-Panoptik, yaitu penggunaan alat-alat surveilans yang cenderung terpisah namun pada akhirnya akan mengerucut pada satu strategi. Post-panoptik tidak terbatas pada institusi fisik seperti sekolah, penjara, dan pabrik, sehingga pengawasannya tidak terasa dan tidak terlihat, dan bertujuan untuk mengontrol, bukan mendisiplinkan. Terdapat tiga aspek dalam surveilans post-panoptik, yaitu surveillant assemblage, de-territorialization, dan reassembly.

Surveillant assemblage adalah alat-alat yang digunakan untuk surveilans. Surveillant assemblage yang digunakan di Tiongkok dalam pandemi adalah penggunaan kode warna, penggunaan drone, adaptasi social credit system, dan pengawasan media sosial. Kode warna digunakan dalam aplikasi Alipay Health Code untuk menentukan tingkat kesehatan sehingga penduduk di Hangzhou hanya bisa berpindah ke lokasi yang berwarna hijau di aplikasi. Jika mendatangi lokasi yang berwarna kuning, maka warga akan diminta karantina selama satu minggu dan jika lokasinya berwarna merah akan diminta karantina selama dua minggu. Di samping itu, drone juga digunakan untuk mengawasi dan mengingatkan warga mengenai protokol kesehatan. Pelanggar protokol kesehatan akan dikurangi poinnya dalam social credit system dan tenaga kesehatan lini depan akan diberi tambahan poin. Poin-poin ini nantinya akan berguna karena dengan poin yang semakin banyak, maka kesempatan sosial yang dimiliki pun semakin luas. Pengawasan media sosial pun terus dilakukan oleh pemerintah karena setiap kritik dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah di ranah online akan disensor melalui keyword filtering.

Yang dimaksud dengan deterritorialization adalah pengambilan data dari ruang fisik dan pembentukan data double dari individu. Bentuk kemitraan pemerintah Cina dalam deterritorialization dilakukan setidaknya dalam empat aspek, yaitu Alibaba yang membantu pengumpulan data masyarakat terkait resiko kesehatan tiap individu, Artificial Intelligence (AI) milik Baidu bernama Intelligent Changsan yang digunakan untuk memproses pelaporan warga melalui telepon, SkyNet yang membantu kepolisian mengawasi melalui jaringan kamera CCTV, dan MicroMultiCopter yang menyuplai 100 buah drone ke 11 kota.

Reassembly adalah penyatuan ulang data double sesuai kebutuhan institusi pengguna. Reassembly oleh Tiongkok digunakan oleh war room (pusat pengawasan tingkat kota dan desa), pemerintah pusat, dan kepolisian. Namun, yang menjadi ketakutan utama masyarakat Tiongkok adalah surveillance creep atau penyalahgunaan data oleh pihak yang berwenang.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro mengenai “Teknologi dan Hidup Keseharian Warga Cina: Kemudahan, Ketakutan, atau Apa?”. Pemaparan ini menampilkan berbagai foto (beberapa di antaranya difoto langsung oleh Pak Rachmat) yang menunjukkan berbagai perubahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi di Cina. Foto pertama adalah foto penjual kaki lima di Cina yang di gerobak jualannya terdapat barcode sebagai alat pembayaran. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi telah mengubah wajah Cina yang berusaha menjadi cashless society. Foto kedua menjelaskan adanya teknologi mengisi baterai handphone secara wireless dengan menggunakan piranti yang tersedia di beberapa tiang lampu di Wuhan.

Selanjutnya, terdapat foto aplikasi Meituan Dianping (sejenis aplikasi Gojek dengan berbagai layanan dalam satu aplikasi) dan Ele.Me yang memberikan kemudahan bagi banyak orang. Namun, di sisi lain, keberadaan aplikasi menimbulkan protes dari pihak restoran mitra karena mengenakan charge yang besar bagi restoran mitra dan malah cenderung merugikan. Ada pula kekhawatiran dari masyarakat akan adanya penyalahgunaan data oleh pihak Meituan Dianping. Kemajuan teknologi lainnya adalah aplikasi Ele.Me mulai mengoperasikan drone untuk mengantar makanan ke lokasi pemesan.

Selain itu, kemajuan teknologi membuat orang dapat dengan mudahnya melakukan dan mengakses banyak hal melalui telepon genggam, sehingga banyak orang mulai melakukan live streaming kegiatan yang dilakukan. Namun, kemudahan ini juga seringkali menimbulkan kerugian bagi banyak orang, seperti yang terjadi baru-baru ini di mana seorang lelaki di Cina dipenjara karena mengekspos data pribadi seorang perempuan yang baru saja terinfeksi COVID-19 dan menghina perempuan tersebut karena terdapat foto ia mengunjungi club dan bar selama dua minggu sebelum ia terinfeksi COVID-19 sehingga menimbulkan banyak komentar negatif.

Kini terdapat pula teknologi pemindai wajah untuk mengidentifikasi orang yang menggunakan masker. Berbagai kemajuan teknologi ini di satu sisi membawa kemudahan, namun di sisi lain menimbulkan kesulitan tersendiri bagi beberapa kelompok masyarakat, terutama yang sudah tua.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] Annual Convention on The Global South : Global South in the Era of Pandemic : Order, Development and Security

Sambutan oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menandai dimulainya rangkaian kegiatan Annual Convention on the Global South tahun 2020 yang bertemakan “Global South in the Era of Pandemic : Order, Development and Security”. Kegiatan yang berlangsung selama 5 hari dari tanggal 2 November hingga 6 November 2020 ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sesi conference (2 & 3 November 2020) dan Panel Discussion ( 4, 5 dan 6 November 2020). Seusai sambutan, hari pertama dilanjutkan dengan keynote speech oleh H.E Febrian Alphyanto Ruddyard, Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral, Kementerian Luar Negeri yang mewakili H.E Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.

Hari pertama conference dipandu oleh Dr. Randy Wirasta Nandyatama (Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada) yang berperan sebagai moderator, dan menghadirkan tiga pembicara, yaitu Dr. Farish A Noor (Associate Professor, Rajatnam School of International Studies, Nanyang Technological University), Siswo Pramono (Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri RI) dan Shahar Hameiri (Associate Professor, School of Political Science and International Studies, University of Queensland, Australia).

Farish membuka sesi pertama dengan memaparkan mengenai bagaimana generasi pendahulu masyarakat Asia Tenggara telah mengalami apa yang disebut sebagai “krisis” sebelumnya, dan berhasil menemukan solusinya. Farish yakin, bahwa generasi saat ini akan dapat melewati krisis Covid-19, karena setiap generasi memiliki pengalamannya masing masing dalam menghadapi krisis, dan akan menemukan cara untuk mengatasinya. Untuk menyambung materi Farish, Siswo menyampaikan bagaimana Indonesia mengembangkan kerjasama internasional, baik secara bilateral maupun multilateral sebagai upaya mengatasi krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Sebagai penutup hari pertama, Shahar menyampaikan ancaman dari Covid-19 sebagai ancaman yang bersifat non tradisional, yang menggoyahkan fondasi global governance. Shahar berargumen bahwa kegagalan pada global dan nasional dalam menghadapi Covid-19 berawal dari pergeseran government menjadi governance dan regulatory statehood pada tahun 1970an.

Pada hari kedua, IIS UGM mengundang 3 pembicara, yaitu H.E Salman Al Farisi (Duta Besar Republik Indonesia untuk Afrika Selatan, Botswana, Eswatini dan Lesotho), Drs. Muhadi Sugiono (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada) dan Dr. Heloise Weber (Dosen School of Political Science and International Studies, University of Queensland). Hari kedua dipandu oleh Dr. Luqman nul Hakim (Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada) selaku moderator sesi.

H.E Salman membuka sesi hari kedua dengan memaparkan materinya yang berjudul “The Shifting Dynamics in Africa : Indonesia’s Foreign Policy Towards the Struggling Region”. Pada materinya tersebut, H.E Salman menjabarkan berbagai upaya kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara Afrika, termasuk dalam upaya mitigasi pandemi Covid-19 lewat kerjasama global pengembangan vaksin. Hari kedua dilanjutkan oleh Muhadi, yang memaparkan materinya dengan tajuk “Covid-19 in the Perspective of Global Divide”. Lewat materinya, Muhadi memaparkan bagaimana negara-negara selatan dihadapkan kepada berbagai problematika dalam menghadapi pandemi, termasuk dilema zero sum policy dimana negara harus memilih diantara prioritas kesehatan atau ekonomi, kerentanan politik, hingga bargaining position yang lemah dalam mendapatkan suplai alat-alat Kesehatan dibanding negara-negara utara. Sebagai pembicara terakhir, Heloise memaparkan materinya yang berjudul “Politics of Development and Injustices” dan mengangkat isu-isu ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap berbagai pihak yang termarginalisasi, terutama dalam konteks pandemi Covid-19. Berakhirnya pemaparan Heloise sekaligus menandakan akhir dari sesi konferensi Go-South 2020.

Panel diskusi menghadirkan 4 panel berbeda dari tanggal 4 hingga 6 November 2020, dan menghadirkan presentasi paper oleh paper presenter  yang berasal dari berbagai universitas dari dalam maupun luar negeri. Pada hari ketiga, dilangsungkan diskusi panel pertama yang bertajuk “National, Transnational and Regional Dynamics of the Global South in Addressing Global Pandemics” dengan dimoderatori oleh M. Indrawan Jatmika (Staf Peneliti IIS UGM) dan menghadirkan judul 4 paper. Pada hari keempat, dilangsungkan dua panel diskusi sekaligus, yaitu panel kedua dan ketiga. Panel kedua  yang berjudul “Addressing New Non Traditional Securities” menghadirkan Muhammad Rum (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada) sebagai moderator dan memuat presentasi dari 3 judul paper.

Seusai istirahat makan siang, hari kedua dilanjutkan dengan panel ketiga yang berjudul “Pandemic and Crafting the Global Solidarity of the Global South”, dengan dipandu oleh Muhadi Sugiono (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada) yang berperan sebagai moderator diskusi dari 3 judul paper. Hari kelima  menghadirkan panel terakhir yang bertemakan “Pandemic and the Changing Global Political Economy of the Global South” dan mendiskusikan 4 judul paper. Sesi terakhir ini dipandu oleh Irfan Ardhani (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada). Berakhirnya sesi diskusi panel terakhir tersebut menandakan akhir dari rangkaian kegiatan Annual Convention on The Global South : Global South in the Era of Pandemic : Order, Development and Security.


 

[RECAP] Annual Convention on The Global South: Global South in the Era of Pandemic: Order, Development and Security

Welcoming remarks by Dr. Riza Noer Arfani, Director of Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada, marked the beginning of Annual Convention on the Global South/GO SOUTH 2020. This year’s GO-SOUTH brought up the theme of “Global South in the Era of Pandemic: Order, Development and Security”. The event ran for five days from 2nd to 6th of November 2020 and was divided into conference (2 & 3 November 2020) and panel discussion (4-6 November 2020). The opening ceremony continues with keynote speech delivered by H.E Febrian Alphyanto Ruddyard, Director General of Multilateral Cooperation of Indonesian Ministry of Foreign Affairs on behalf of the Indonesian Minister of Foreign Affairs, H. E. Retno Marsudi.

Dr. Randy Wirasta Nandyatama (lecturer in International Relations Department of Universitas Gadjah Mada) moderated the discussion on the first day of the conference. Three speakers were present, Dr. Farish A Noor (Associate Professor of Rajatnam School of International Studies, Nanyang Technological University), Siswo Pramono (Head of Policy Research and Development, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia) and Shahar Hameiri (Associate Professor, School of Political Science and International Studies, University of Queensland, Australia).

Farish began the session with his presentation on how South East Asian older generations have faced and succeeded overcoming past crises. Farish believed that this generation will certainly go past the COVID-19 crisis and overcome it, as every generation has their own experiences with crisis and undoubtedly finds solutions to tackle them. Still speaking on crisis, Siswo elaborated on Indonesia’s effort in developing bilateral and multilateral cooperation to overcome COVID-induced problems. Wrapping up the first day of the conference, Shahar challenged the foundation of global governance. He argued that the shift from government to governance and regulatory statehood in 1970s caused the current failure in tackling the virus, both at national and international level.

On the second day of the conference, IIS UGM invited three speakers, namely H.E Salman Al Farisi (Ambassador of the Republic of Indonesia for South Africa, Botswana, Eswatini and Lesotho), Drs. Muhadi Sugiono (lecturer in International Relations Department, Universitas Gadjah Mada) and Dr. Heloise Weber (lecturer in School of Political Science and International Studies, University of Queensland). Dr. Luqman nul Hakim (lecturer in International Relations Department, Universitas Gadjah Mada) moderated the discussion.

H.E Salman opened the second day session by delivering his speech on “The Shifting Dynamics in Africa: Indonesia’s Foreign Policy Towards the Struggling Region”. He elaborated on various Indonesia-African countries cooperation efforts, including the ones aimed at COVID-19 mitigation, namely global cooperation on vaccine development. Muhadi continued the session discussing “Covid-19 in the Perspective of Global Divide”. He explained that the global south was faced with different problems amidst the pandemic, namely: (1) zero sum policy dilemma, in which countries need to choose between priorities of public health or the economy; (2) political instability; (3) and weak bargaining position in accessing health supplies compared to northern countries. Lastly, Heloise delivered her speech on “Politics of Development and Injustices”. She brought up issues of inequality and injustice experienced by the marginalized, specifically in the context of COVID pandemic. The end of Heloise’ presentation marked the end of the conference session of GO SOUTH 2020.

IIS UGM organized four different panels in the span of three days, inviting paper presenters from local and foreign universities to elaborate on their research. On the third day, four papers discussing “National, Transnational and Regional Dynamics of the Global South in Addressing Global Pandemics” were presented in the panel, moderated by M. Indrawan Jatmika (researcher at IIS UGM).

The second panel was held the next day under the theme of “Addressing New Non Traditional Securities”. Muhammad Rum (lecturer at International Relations Department, Universitas Gadjah Mada) moderated the discussion for all three papers presented. Also held on the fourth day, the third panel discussing “Pandemic and Crafting the Global Solidarity of the Global South” presented three papers, moderated by Muhadi Sugiono (lecturer at International Relations Department, Universitas Gadjah Mada). The last panel on the fifth day presented four papers examining the theme of “Pandemic and the Changing Global Political Economy of the Global South”, moderated by Irfan Ardhani (lecturer at International Relations Department, Universitas Gadjah Mada). The end of the last panel discussion marked the end of the Annual Convention on The Global South 2020: Global South in the Era of Pandemic: Order, Development and Security.

[RECAP] Beyond the Great Wall #11: The Rise and Future of China’s Power Projection

On 20 November 2020, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada organized its 11th edition of Beyond the Great Wall via Zoom discussing “The Rise and Future of China’s Power Projection”. Invited in the forum were Angelo Wijaya, founder of Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM and Demas Nauvarian, a international relations graduate student in Universitas Airlangga.Angelo presented his review of the book Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap, while Demas delivered his presentation discussing “The Evolution of Chinese Geostrategic Thinking and Strategic Culture: From Sea Power to Space Power.” Indrawan Jatmika, researcher for IIS UGM, helped moderate the discussion.

Angelo began his review stating that in the near future, China is going to become the number one strongest power in the world as its economy will rise in 2024, even topping the US. Such potential certainly becomes a threat to the US, hence the US’ tendencies to disagree and contend with China, and eventually waging the trade war. The book Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’ Trap attempts to complement Thucydides’ argument in his legendary tale The Peloponnesian War. Graham Allison, the author of the book, introduces the term “Thucydides’ trap” to describe the tendency to wage war when a new power emerges to replace existing ones. The argument is not entirely correct as, in reality, not all countries have such tendency.

One question, then, emerges: will China and the US be able to survive the Thucydides’ trap? Angelo laid out a few points that the US needs to pay close attention to. First, they need to reconsider and clarify their vital interests. In this case, is the South China Sea dispute of top priority? Moreover, they need to examine more closely what the Chinese are doing, particularly in regards to its foreign policy. They will, then, need to proceed with the strategies—which, in its formulation, should consider conditions at the macro level—accordingly. Lastly, domestic challenges should also be taken into consideration in the formulation of foreign policy. Said challenges include the matter of trust given by domestic institutions, social political system, and the general public.

Angelo wrapped up his speech with a call to perceive China’s rise holistically; basically, China’s rise also caters to the US interest. “In its path to becoming a new power, it’s wise to recall this quote from the Spiderman movie, with a great power comes greater responsibility,” Angelo said.

The second session focused on China’s rarely discussed space and naval power. In explaining China’s grand strategy to harmonize their power instruments, Demas showcased that there were two approaches the Chinese use: (1) the geostrategic—prioritizing geographic factors—and military approach; (2) the strategic cultural approach which deals with geographic and historic aspects as means to achieve welfare. Just as every country prioritizes certain issues in the purpose of increasing their power, China prioritizes its naval sector.

Speaking on naval strategy, Demas explained that two theoretical approaches could be utilized in examining a state’s classical sea power. First, the Mahan approach believes that naval strategy ought to focus on navy modernization. Hence, use of the navy, strength, and sea control constitute the most important factors. The second approach, Corbett’s maritime strategy, highlights the need to combine land and sea factors to control the sea. Military and civil elements, land and sea power, as well as sea command are crucial. Since adopting the naval sector strategy, China repeatedly used different approaches in accordance to its ever-changing leadership goals. As of now, China’s strategy focuses on defending what they own and claiming on whatever they don’t. The strategy explicitly exhibits how China tends to be assertive in border issues, most importantly in the South China Sea dispute.

Meanwhile, Demas argued that China’s space strategy depends on its maritime strategy. Currently, the Chinese space force is focusing on various cooperation efforts with other countries for development. While its gradually rising space force seemingly threatens western countries, it is important to note that China’s strategies in achieving its goals always differ with that of the west’. In its strategy formulation, China perceives the world in two different ways. One way is through the lens of Confucianism which avoids use of military means to fulfill national goals. Another way is the realist para bellum perspective which believes that the nature of international politics is anarchic, hence the need to wage war. China sees from both perspectives in arranging its grand strategy of space and naval power.


 

[RECAP] Beyond the Great Wall #11: The Rise and Future of China’s Power Projection

Pada 20 November 2020 lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada menyelenggarkan forum Beyond the Great Wall edisi ke-11 secara daring melalui platform Zoom. Bertajuk “The Rise and Future of China’s Power Projection”, forum BTGW kali ini menghadirkan  dua pembicara. Pembicara pertama adalah Angelo Wijaya, founder dari Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM, yang memaparkan review dari buku yang berjudul Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’ Trap. Selanjutnya, Demas Nauvarian, mahasiswa S2 Hubungan Internasional di Universitas Airlangga, menyampaikan materinya yang bertajuk “The Evolution of Chinese Geostrategic Thinking and Strategic Culture: From Sea Power to Space Power.” Forum BTGW #11 turut menghadirkan Indrawan Jatmika, staf riset IIS UGM, sebagai moderator.

Membuka forum BTGW ke-11, Angelo Wijaya menyampaikan fakta bahwa dalam waktu dekat, Cina akan menjadi kekuatan nomor satu di dunia karena adanya prediksi bahwa ekonomi Cina di tahun 2024 akan semakin menguat, bahkan mengalahkan Amerika Serikat (AS). Tentu hal ini menjadi ancaman yang serius bagi AS, sehingga pilihan tindakan yang diambil adalah dengan menyatakan berbagai bentuk ketidaksetujuannya dengan Cina, berkompetisi, hingga perang dagang. Buku “Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap” mencoba untuk melengkapi apa yang dikemukakan Thucydides dalam kisah yang sangat legendaris dalam hubungan internasional, yaitu Perang Peloponnesian. Dalam hal ini, Graham Allison memperkenalkan istilah “Thucydides’ Trap”, yaitu tendensi terhadap perang ketika suatu kekuatan baru muncul untuk menggantikan kekuatan yang telah ada sebelumnya. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena pada nyatanya tidak semua negara memiliki tendensi untuk perang.

Berangkat dari hal itu, muncul pertanyaan besar: apakah sebenarnya AS dan Cina dapat lolos dari jebakan Thucydides? Angelo menyampaikan bahwa ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, utamanya bagi AS. Yang pertama adalah dengan mencoba untuk mengklarifikasi dan mengkaji kembali apa yang sebenarnya menjadi kepentingan vital AS. Dalam hal ini, persoalan mengenai Laut Cina Selatan perlu dipertanyakan lagi: apakah sebenarnya hal ini benar-benar menjadi prioritas bagi AS? Kedua, AS perlu untuk secara lebih teliti memahami apa yang sebenarnya tengah dilakukan oleh Cina, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri. Selanjutnya, jika telah memahami apa yang dilakukan oleh Cina, penting bagi AS untuk melakukan strategi yang dibutuhkan. Strategi harus disusun dengan memperhatikan situasi dalam skala makro. Yang terakhir, tantangan-tantangan dalam konteks domestik perlu dijadikan hal yang sentral bagi penentuan kebijakan luar negeri AS. Hal ini dapat berupa kepercayaan yang diperoleh dari institusi domestik, sistem sosial politik, serta yang terutama adalah masyarakat di dalamnya.

Angelo menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa kita harus melihat kebangkitan Cina secara holistik – bahwa pada dasarnya kebangkitan Cina sama saja dengan apa yang diinginkan oleh AS. “Dengan menjadi kekuatan besar yang baru, penting untuk mengingat salah satu kutipan dari film Spiderman, with a great power comes a greater responsibility,” ujar Angelo sebagai penutup.

Sesi kedua berfokus pada kekuatan laut dan luar angkasa Cina yang masih sangat jarang dibahas. Demas Nauvarian mengawali presentasinya dengan menjelaskan strategi besar Cina untuk harmonisasi instrumen-instrumen kekuatan yang dimilikinya dalam rangka untuk mencapai tujuan utamanya. Pendekatan yang digunakan dapat berupa pendekatan geostrategis yang mengutamakan aspek geografi dan penggunaan angkatan bersenjata ataupun pendekatan kultur strategis yang melihat aspek geografis dan historis untuk mencapai kesejahteraan. Setiap negara pada dasarnya memiliki prioritas isunya untuk menjadi kekuatan besar; sektor kelautan merupakan salah satu prioritas bagi Cina.

Berbicara mengenai strategi kelautan, ada dua pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk mengkaji kekuatan laut/classical sea power. Yang pertama adalah pendekatan ala Mahan, yaitu strategi angkatan laut yang berfokus pada modernisasi angkatan laut. Penggunaan angkatan laut, kekuatan, serta kontrol terhadap laut menjadi hal yang penting dalam pendekatan ini. Pendekatan kedua adalah strategi maritim ala Corbett yang menyoroti pentingnya kombinasi darat dan laut untuk mengontrol sektor kelautan. Dalam hal ini, elemen militer dan sipil, kekuatan darat dan laut, serta komando atas sektor kelautan menjadi hal yang krusial. Sejak mulai mengadopsi strategi dalam sektor kelautan, Cina berulang kali melakukan pendekatan yang berbeda sesuai dengan tujuan kepemimpinannya. Namun, saat ini strategi yang digunakan Cina adalah dengan mempertahankan dan membela mati-matian apa yang menjadi kepemilikan Cina dan melakukan klaim atas apa yang bukan merupakan kepunyaan Cina. Strategi ini menunjukkan dengan jelas bagaimana Cina cenderung asertif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perbatasan, utamanya di Laut Cina Selatan.

Berbicara mengenai sektor luar angkasa, Demas menyatakan bahwa sejatinya strategi untuk mengontrol sektor luar angkasa sangat bergantung dengan strategi maritim yang digunakan. Untuk saat ini, kekuatan luar angkasa Cina sedang berfokus pada berbagai upaya kerjasama dengan berbagai negara untuk pengembangannya. Sektor luar angkasa Cina yang mulai menguat perlahan-lahan membuat negara-negara Barat merasa terancam dengan keberadaan Cina. Sebagai catatan penting, seluruh strategi besar yang digunakan Cina untuk mencapai tujuannya sejatinya sangat berbeda jika dibandingkan dengan strategi ala Barat. Dalam menyusun strateginya, Cina memandang dunia dalam dua cara yang berbeda. Yang pertama adalah kepercayaan Konfusian yang menghindari penggunaan angkatan bersenjata untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pendekatan yang kedua adalah cara pandang para bellum ala realisme yang melihat struktur internasional sejatinya anarkis sehingga perlu untuk berperang. Kedua pendekatan ini digunakan Cina untuk membentuk strategi besarnya, terutama dalam bidang kelautan dan luar angkasa.


 

[RECAP] Beyond The Great Wall #10 : Cina: Inisiatif di Bidang Energi dan Transportasi

Pada Jumat (18/9) lalu, Institute of International Studies (IIS) UGM kembali mengadakan forum diskusi dwibulanan Beyond the Great Wall (BTGW) secara daring. BTGW edisi kesepuluh kali ini menghadirkan Alfin Febrian Basundoro, Wakil Ketua Penalaran UPII UGM dan Caesar Leonardo, Director of Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM. Sesuai dengan tajuk kegiatan ”Cina: Inisiatif di Bidang Energi dan Transportasi Kedua pembicara akan mengangkat tema mengenai inisiatif Cina pada dua bidang yang berperan menopang pertumbuhan ekonomi Cina, yaitu bidang energi dan transportasi.

Sesi pertama dibuka oleh Alfin yang membawakan materinya dengan judul “New Eurasian Land Bridge: Ekspansi Sektor Perkeretaapian Tiongkok”. Sektor perkeretaapian telah lama menjadi tulang punggung Cina, dimana pada tahun 2007 semua propinsi di Cina telah tersambung via jalur kereta. Dengan panjang rel kereta api di Cina mencapai 140.000 KM, jaringan rel yang masif tersebut mendukung penyediaan kereta cepat bagi jutaan penduduk dan menjadikan Cina sebagai negara pemilik jaringan kereta api cepat terpanjang di Dunia. Selain membangun jaringan kereta api domestik, ekspansi sektor perkeretaapian Cina juga turut didukung dengan Kerjasama regional dengan beberapa negara, yang kemudian direalisasikan lewat program New Eurasian Land Bridge.

New Eurasian Land Bridge atau NELB sendiri merupakan sebuah koridor berbasis rel yang menghubungkan Cina, Asia tengah dan Eropa Timur. Sebagai bagian dari Belt and Road Initiatives, program ini disebut sebagai bentuk dari implementasi jalur sutra di era modern untuk mendukung kegiatan perekonomian melewati koridor Asia Tengah. Jalur darat dipilih sebagai alternatif dari jalur laut yang relatif lebih panjang dan memakan waktu lebih lama, dan menjanjikan perpindahan komoditas yang lebih efektif karena kereta api dapat membawa kargo lebih banyak apabila dibandingkan dengan jalur udara. Sejak dioperasikan pada tahun 2011, NELB mengalami peningkatan lalu lintas yang signifikan setiap tahunnya, dan telah berperan penting dalam menghubungkan dua benua serta meningkatkan investasi antara Cina dan Eropa.

Selanjutnya, Alfin menyampaikan bahwa NELB telah menguntungkan kedua belah pihak, namun juga harus menghadapi banyak tantangan kedepannya. Bagi Cina, NELB menjanjikan efektivitas dan kemudahan transportasi dan perpindahan komoditas, mendukung peningkatan perdagangan dengan negara-negara Eropa, serta mendukung diversifikasi komoditas yang dapat dikirimkan. Bagi negara-negara Eurasia, NELB menjanjikan terbukanya zona perdagangan bebas baru di kawasan Asia Tengah, menciptakan interkonektivitas di kawasan Eurasia, dan menghubungkan kawasan tersebut dengan koridor ekonomi lain di Eropa. Di sisi lain, NELB juga harus menghadapi beberapa tantangan, seperti perbedaan lebar rel, ketersediaan infrastruktur yang belum berimbang, kondisi politik negara-negara yang dilaluinya, hingga ketersediaan sumber daya manusia yang belum seragam.

Pada akhir pemaparannya, Alfin menyimpulkan bahwa NELB merupakan sebuah bagian yang sangat penting dari ekspansi sektor perkeretaapian Tiongkok yang telah berjalan lama. Dengan fitur-fitur yang disediakan, NELB tidak hanya menguntungkan Cina, namun juga mendukung perkembangan regional Asia Tengah dengan menyediakan sarana untuk mempercepat perputaran komoditas ekonomi dengan menyediakan jalur distribusi yang mendukung industri dari dua benua. Tidak heran, NELB menjadi salah satu salah satu dari 5 program andalan Cina di kawasan Asia Tengah.

Sesi dilanjutkan oleh Leo, yang memaparkan materinya yang bertema “Chinese Nuclear Energy Initiatives”. Sama halnya dengan bidang transportasi, bidang energi juga menjadi sangat penting bagi perkembangan ekonomi Cina di era Modern. Pengembangan energi nuklir dimulai oleh Mao Zedong pada tahun 1950an, dan masih terbatas pada kegunaan nuklir sebagai senjata. Pada era Deng Xiaoping, nuklir mulai dipandang sebagai sumber energi alternatif lewat program “four modernization” sebagai salah satu solusi bagi keamanan energi Cina. Reaktor nuklir Qinshan menjadi reaktor nuklir pertama CIna yang mulai beroperasi pada tahun 1991, dan menjadi awal dari pembangunan energi nuklir Cina yang progresif dan direncanakan untuk melampaui ekspor energi dari reaktor Amerika dan Eropa pada tahun 2035.

Menurut Leo, energi nuklir dipilih Cina karena memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan sumber energi alternatif lainnya. Dari segi emisi, energi nuklir memiliki emisi yang jauh lebih rendah dari bahan bakar fosil, karena memiliki efisiensi material yang tinggi. Selain itu, tingkat keterjangkauan energi listrik yang dihasilkan oleh tenaga nuklir juga relatif lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan listrik hasil batubara dan panel surya. Dari segi politik, negara-negara barat sudah mulai meninggalkan energi nuklir, dan mencari energi alternatif lain yang lebih aman. Sebagai implikasinya, Cina memiliki kesempatan untuk menjadi pionir industri pengembangan energi nuklir global

Dari segi pengembangan, orientasi pengembangan energi nuklir Cina mengalami perubahan yang cukup signifikan. Seperti yang telah disebutkan Alfin sebelumnya, pada era Deng Xiaoping, Cina mengembangkan energi nuklir untuk mencapai keamanan energi domestik. Cina menjalin kerja sama dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara yang sudah terlebih dahulu mengembangkan energi nuklir seperti Perancis dan Amerika Serikat. Untuk mengatasi faktor keterbatasan sumber daya, Cina mengekspor uranium dari negara-negara Afrika untuk menjamin suplai. Kini, Ketika keamanan energi domestik telah tercapai dan Cina telah memiliki pengalaman yang cukup dalam mengembangkan energi nuklir, Cina mulai mempersiapkan diri menjadi produsen yang mempromosikan penggunaan energi nuklir bagi negara lain. Perubahan orientasi ini juga didukung oleh  BRI, yang memberikan ruang bagi Cina untuk bekerjasama dengan negara negara lain dalam pengembangan industri energi nuklirnya.

Sebagai penutup, Leo memaparkan beberapa tantangan yang harus dihadapi Cina kedepannya dalam mengembangkan energi nuklir. Pertama, Keraguan terhadap pengembangan energi nuklir. Keraguan tersebut didasari oleh faktor keamanan yang didasari oleh karena beberapa kecelakaan seperti kebocoran reaktor di Chernobyl dan Fukushima, dan sifat dari limbah nuklir yang radiatif.  Kedua, sumber energi alternatif lain yang lebih populer. Pemain besar dari industri bahan bakar fosil seperti Total lebih memilih untuk berinvestasi dalam pengembangan panel surya dan turbin angin dibanding energi nuklir. Ketiga, faktor Politik dalam negeri Cina. Meskipun sudah ada tendensi untuk menjadi pemain global dalam pengembangan energi nuklir, namun pada realitanya, pemerintah Cina masih sulit untuk lepas dari bahan bakar fosil yang masih dominan dipakai oleh sektor industri dalam negeri. Ketiga faktor ini, menurut Leo merupakan tantangan yang harus dihadapi Cina dalam pengembangan energi nuklir kedepannya.


 

[RECAP] Beyond The Great Wall #10 : China: Initiatives in Energy and Transportation

On Friday (18/9), Institute of International Studies/IIS UGM organized another edition of its bimonthly discussion forum Beyond the Great Wall/BTGW online. In its tenth edition, present were Alfin Febrian Basundoro, Vice President of UPII UGM and Caesar Leonardo, Director of Student Association of Belt and Road Initiative/SABRI UGM Chapter. Under the theme “China: Initiatives in Energy and Transportation”, the two speakers spoke on China’s dynamics in developing the two sectors which boost the growth of Chinese economy, namely energy and transportation.

Alfin began the first session by delivering his presentation on “New Eurasian Land Bridge: China’s Railroad Sector Expansion”. The railroad sector has long been serving as the backbone of the Chinese economy, in which all provinces in China had been linked via railway by 2007. With a total 140,000 km of railway, the massive rail network supports provision of rapid trains for millions of citizens and names China the country with the longest rapid train network in the world. Besides domestic development, regional cooperation realized through New Eurasian Land Bridge also supported China’s railroad expansion.

New Eurasian Land Bridge/NELB is a rail-based corridor linking China, Central Asia and Eastern Europe. As part of the Belt and Road Initiative, this program is an implementation of the modern silk road aimed at supporting intercontinental economic activities via Central Asia. Compared to the sea route which is relatively longer and takes more time to pass, land route is ultimately a better alternative. Moreover, land route allows better movements of commodities as trains are able to carry more cargo compared to planes.  Since its first operation in 2011, NELB saw significant increase in traffic every year and has been playing an important role linking two continents and promoting Chinese-European investment.

Alfin claimed that NELB benefited both parties; however, to achieve such benefits, it needs to face challenges ahead. To China, NELB promises effectivity, as well as ease of transportation and movement of commodity; bolsters increase in trade with European countries; and supports diversification of commodities exported. To Eurasian countries, NELB guarantees new free trade zone in Central Asia, Eurasian interconnectivity, and connection to other European economic corridors. On the other hand, NELB needs to overcome several obstacles, ranging from differences in railway width, imbalanced infrastructure, political conditions of related countries, to lack of human resource standardization.

He concluded that NELB is of paramount importance to China’s long-running railroad expansion. Not only does NELB serves China’s interests, but also it supports Central Asian development by providing effective distribution route to accelerate movement of commodities from two continents. No wonder NELB is one of the five priority programs of China’s in Central Asia.

Leo delivered the second session discussing “Chinese Nuclear Energy Initiatives”. Similar with that of transportation, the energy sector is central for the growth of modern Chinese economy. Nuclear development, initiated by Mao Zedong, began in 1950s and was limited to nuclear as mere weapons. Under Deng Xiaoping, nuclear was perceived as more of an alternative energy source through his program of “four modernizations” as one of the answers to the question of Chinese energy security. Qinshan nuclear reactor, then, became China’s first and started operation in 1991. Its establishment commenced the era of Chinese progressive nuclear energy development, which is expected to surpass American and European reactor energy export by 2035.

According to Leo, China preferred nuclear energy to other alternative sources due to several advantages. Nuclear emits less emission compared to fossil fuel because of its high material efficiency. Moreover, nuclear-generated electricity is relatively affordable compared to that from fossil fuel or solar panel. Politics-wise, western countries already left nuclear behind and started seeking other safer alternatives. Hence, China has the opportunity to lead the global nuclear energy development industry.

China’s nuclear orientation experienced a significant shift. As Leo mentioned, under Deng, China developed nuclear for the sake of domestic energy security. Hence, China cooperated with other nuclear-experienced countries like France and the US. To tackle the problem of limited resources, China also imported uranium from African countries to secure supply. Now, as China has achieved domestic energy security and possessed enough experiences in developing nuclear energy, it prepares itself to become a producer who promotes nuclear energy use to others. BRI supports such shift by giving space for China to initiate cooperation with other countries in developing their own nuclear industries.

Leo wrapped up his presentation by showcasing a number of future challenges China needs to face in developing its nuclear. First, there is an existing doubt in developing nuclear due to security problems like reactor leaks in Chernobyl and Fukushima, as well as issues of radioactive waste. Second, other alternative energy sources are more popular. Top fossil fuel industries like Total preferred to invest in solar panels or air turbins compared to nuclear. Third, China’s domestic politics still prefer fossil fuel. The government favors fossil that dominates domestic industrial use, despite the chance of being a global pioneer in nuclear development. All three problems, Leo believes, are the hindrances China has to overcome in the future of nuclear energy development.


[RECAP] 75 Tahun Terlalu Lama: Mengakhiri Senjata Nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir

Pada Sabtu, 15 Agustus 2020 lalu, Institute of International Studies UGM, bekerja sama dengan International Committee of the Red Cross (ICRC) dan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), menyelenggarakan webinar bertajuk “75 tahun terlalu lama: mengakhiri senjata nuklir melalui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir” secara daring. Webinar yang diselenggarakan sebagai rangkaian dari tagar 75th Anniversary of the Atomic Bombing Series ini menghadirkan 2 pembicara, yaitu Tim Wright sebagai Koordinator Traktat dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) dan Christian Donny Putranto selaku Penasihat Hukum International Committee of the Red Cross. Kegiatan kali ini dimoderatori oleh Muhadi Sugiono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang turut menjadi anggota tim kampanye ICAN.

Sebagai pembicara pertama, Christian Donny Putranto memaparkan kaitan antara Hukum Humaniter Internasional dan senjata nuklir. Diawali dari konsekuensi kemanusiaan yang sangat parah sebagai akibat dari dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, ICRC mulai mengajak anggota dari Konvensi Genewa 1946 untuk mulai menyusun perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir pada tahun 1950. 70 tahun sejak inisiasi itu muncul, sudah muncul berbagai perjanjian yang terkait dengan senjata nuklir, namun seluruhnya masih terkesan parsial, misalnya hanya mengatur tentang proliferasinya serta melarang adanya tes dan percobaan senjata nuklir di area tertentu seperti di laut maupun orbit dekat bumi serta bulan. Sebagai implikasinya, hingga saat ini belum ada perjanjian yang secara menyeluruh melarang dan memiliki kekuatan untuk menghilangkan senjata nuklir di muka bumi walau sebenarnya jelas telah melanggar prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional. Donny memaparkan bahwa jika dilihat melalui kacamata Hukum Humaniter Internasional, penggunaan senjata nuklir melanggar prinsip distinction, proportionality, dan precautions, dimana senjata nuklir tidak dapat membedakan masyarakat sipil dan kombatan saat serangannya diluncurkan, menimbulkan cedera berlebihan, serta mengakibatkan kerusakan yang tidak diperlukan. Sayangnya, hingga saat ini Hukum Humaniter Internasional belum secara spesifik mengatur ketentuan atas penggunaan senjata nuklir walaupun konsekuensi kemanusiaannya sangat besar – yaitu menimbulkan lingkaran penderitaan yang tidak berkesudahan (endless cycle of suffering). Di akhir presentasinya, Donny mengajak untuk mengutamakan kemanusiaan diatas kepentingan yang lain melalui pelarangan senjata nuklir. Presentasi ditutup dengan sebuah refleksi penting, weapons that risk catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing peoples’ security.

[layerslider id=”31″]

Pembicara selanjutnya, Tim Wright dari ICAN, memaparkan tentang urgensi dari Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Ia membuka presentasi dengan menyatakan bahwa hingga saat ini, setidaknya ada 30.000 senjata nuklir di seluruh dunia. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat dampak yang ditimbulkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia, antara lain migrasi, dampak iklim global, kelaparan yang meluas akibat terganggunya produksi pertanian di seluruh dunia, serta krisis kemanusiaan karena dampak fisik yang ditimbulkan dari senjata nuklir secara langsung.  Saat ini, satu-satunya perjanjian yang dapat diandalkan untuk menghapuskan senjata nuklir adalah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Sejak tahun 2017, perjanjian ini ada untuk mengatur penghapusan dan penghentian pengembangan senjata nuklir, termasuk senjata-senjata yang telah ada sebelumnya. Traktat Pelarangan Senjata Nuklir melarang senjata nuklir secara penuh melalui tidak adanya jumlah senjata nuklir yang dapat diterima maupun keadaan tertentu yang memperbolehkan pengembangan senjata nuklir. Hingga saat ini, sudah ada 122 negara yang menandatangani perjanjian ini, namun hanya 44 negara yang telah meratifikasinya. Dibutuhkan 6 negara lagi untuk meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir supaya perjanjian ini dapat benar-benar diimplementasikan di dunia. Poin yang selama ini menghambat negara-negara untuk menandatangani ataupun meratifikasi perjanjian ini, terutama negara-negara yang telah memiliki dan mengembangkan senjata nuklir, adalah adanya kepercayaan bahwa senjata nuklir adalah kekuatan bagi suatu negara, terutama karena deterrence effect yang ditimbulkan. Menurut Tim, cara yang paling tepat untuk menyangkal pemahaman ini adalah dengan memberi stigma kepada negara-negara yang masih menggunakan dan mengembangkan senjata nuklir. Ketika berbicara spesifik mengenai peranan Indonesia dalam Traktat Pelarangan Senjata Nuklir, Tim menyatakan bahwa langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan meratifikasi perjanjian ini. Hingga saat ini, Indonesia sebagai negara anggota Gerakan Non Blok telah secara aktif menyatakan di forum internasional bahwa senjata nuklir adalah senjata yang membahayakan kehidupan manusia. Namun, bagi Tim, Indonesia dapat meningkatkan lagi peranannya dengan lebih banyak berbicara mengenai dampak moral dari senjata nuklir dan yang paling penting adalah untuk segera meratifikasi perjanjian ini supaya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dapat segera diimplementasikan di seluruh dunia dan senjata nuklir dapat segera musnah dari muka bumi.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina

[RECAP] 75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons Through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons

On Saturday, 15 August 2020, Institute of International Studies UGM, in collaboration with the International Committee of the Red Cross/ICRC and the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons/ICAN, organized a webinar titled “75 Years Too Long: Ending the Age of Nuclear Weapons through the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons” as a part of the “75th Anniversary of the Atomic Bombing Series”. Speaking on the webinar were Tim Wright, Campaign Coordinator for ICAN, and Christian Donny Putranto, legal advisor for ICRC; moderated by Muhadi Sugiono, a lecturer of Department of International Relations UGM and also a campaigner for ICAN.

The first speaker, Christian Donny Putranto, explained the correlation between nuclear weapons and international humanitarian law. Intrigued by the severe humanitarian repercussions of the Hiroshima-Nagasaki bombing, ICRC invited the members of Geneva Convention 1946 to develop a treaty regulating the use of nuclear weapons in 1950. Seventy years since the initiative was brought up, plenty of legal instruments regarding nuclear weapons have been formalized. However, all of them remain as partial bans. Some only regulate the proliferation aspect of them, while the others prohibit testing on specific locations (like the sea or earth/moon orbits). To this day, there hasn’t been a single treaty that possesses the power to fully ban nuclear weapons worldwide.

In fact, when observed through the lens of international humanitarian law, the use of nuclear weapons violates the principles of: (1) distinction, as the weapon is unable to distinguish civilians from combatants when launching attacks; (2) proportionality, since nuclear weapons cause disproportionately large damage compared to its initial military objective; (3) precautions, due to its nature of causing unnecessary suffering. Unfortunately, despite causing an endless cycle of suffering, international humanitarian law hasn’t specifically regulated the use of nuclear weapons. At the end of his presentation, Donny asked all parties to prioritize humanity above all else in this matter. He wrapped up with an important reflection: that weapons risking catastrophic humanitarian consequences can’t possibly be viewed as providing people security.

[layerslider id=”31″]

The next speaker, Tim Wright from ICAN, demonstrated the urgency of the Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons/TPNW. According to him, there are 30,000 existing nuclear weapons up to this day. This is disheartening, considering its detrimental impact on many aspects of human lives, including migration crisis, declining climate condition, famine caused by disruption of agriculture production, and direct physical damage on survivors. Currently, there is only one treaty which can be devised to abolish the weapon, which is the TPNW.

TPNW was formalized in 2017 to oversee the total abolition and discontinuation of nuclear weapons development, including pre-existing ones. The Treaty fully bans nuclear weapons, meaning there is no single circumstance under which nuclear weapons are allowed to be deployed nor developed. To date, 122 countries have signed the treaty, with only 44 of them having ratified it. The Treaty needs another six ratifications to enter into force.

The belief in the deterrence effect of nuclear weapons remains a major obstacle for countries to sign or ratify the Treaty. Tim argued that the most effective way to counter this paradigm is to burden nuclear-armed countries with negative stigma.

Specifically speaking on Indonesia’s role in TPNW, Tim reckoned that the government needs to ratify the treaty as a concrete action to abolish nuclear weapons. As a member of the Non-Bloc Movement, Indonesia has been actively expressing its concerns about nuclear weapons as a threat to humanity at international fora. Yet, Tim believed Indonesia still has room to enhance its participation in talking about the morality of the weapons. Most importantly, Indonesia needs to ratify the Treaty to deem it legitimate and finally free the world from nuclear threat.


Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan

Penyunting : Medisita Febrina