[RECAP] Beyond the Great Wall #13: Cina dan Kedaulatan Maritim

Jumat (26/02), Institute of International Studies UGM menyelenggarakan forum “Beyond the Great Wall” edisi ke-13 yang bertajuk “Cina dan Kedaulatan Maritim”. Forum diselanggarakan secara daring melalui media Zoom Meetings. Pada forum kali ini, BTGW menghadirkan Aristyo Rizka Darmawan, dosen dan peneliti Center for Sustainable Ocean Policy, Fakultas Hukum Indonesia. Aristyo membawakan materi dengan judul “China’s New Coast Guard Law: Illegal and Escalatory.” Tidak hanya itu, BTGW #13 juga menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM, sebagai moderator.

Pada Februari lalu, Cina telah mengesahkan China’s New Coast Guard Law, sebuah undang-undang yang mengizinkan China’s Coast Guard (CCG) untuk mengerahkan segala kemampuan (termasuk penggunaan senjata) kepada pihak yang dianggap mengganggu kedaulatan dan yurisdiksi kemaritiman Cina. Berangkat dari hal tersebut, melalui materi yang disampaikannya, Aristyo menyatakan bahwa undang-undang ini sejatinya melanggar hukum internasional, dan justru akan mengekskalasi konflik diantara negara-negara yang berbatasan laut dengan Cina. Di awal pemaparannya, Aristyo menjelaskan bahwa CCG memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. Sejak tahun 2013, CCG Bureau dibentuk untuk menyatukan badan-badan hukum maritim yang dibentuk oleh Cina dengan sebutan “Five Dragons” yang meliputi China Marine Surveillance, Chinese Coast Guard, Chinese Maritime Patrol, China Fisheries Law Enforcement Command, dan General Administration of Customs. Upaya ini tentunya dilakukan sebagai bagian dari ambisi Cina untuk mempertahakan integrasi wilayahnya, utamanya terkait dengan klaim Nine-Dash Line yang telah memicu terjadinya konflik dengan negara-negara di Asia Timur maupun Asia Tenggara.

Aristyo menyatakan bahwa hukum CCG sejatinya ilegal. Dari yurisdiksinya, hukum CCG sangat problematis karena pengesahan hukum CCG berarti akan melanggar kedaulatan negara lain, yang memiliki klaim wilayah yang legal di mata hukum intenasional. Selain itu, klaim Nine-Dash Line Cina menjadikan wilayah yang terletak di bawah klaim tersebut menjadi ilegal. Hukum baru yang membolehkan CCG untuk mengerahkan senjata dan melakukan berbagai upaya kepada pihak yang dianggap melanggar kedaulatan dan yurisdiksi Cina secara jelas telah melanggar ketentuan hukum internasional yang melarang berbagai bentuk kegiatan di wilayah yang masih disengketakan. Tidak hanya itu, hukum baru CCG juga secara jelas melanggar berbagai hukum dan perjanjian internasional seperti UNCLOS dan Piagam PBB. Instrumen-instrumen tersebut melarang berbagai negara untuk menggunakan kapasitas militernya dalam menyelesaikan sengketa laut menjadi poin yang jelas-jelas dilanggar oleh Cina melalui hukum baru CCG.

Selanjutnya, Aristyo juga menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum baru CCG justru akan mengeskalasi tensi antara Cina dan negara-negara yang berbatasan laut dengannya. Selama ini, klaim Nine-Dash Line Cina telah membuatnya tersangkut dalam berbagai sengketa maritim dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Cina bahkan tidak segan-segan menggunakan upaya-upaya yang koersif dan mengancam negara-negara tersebut kendati upaya negosiasi Code of Conduct (CoC) sedang berlangsung. Pengesahan hukum baru CCG justru akan memperburuk proses negosiasi CoC yang sedang diupayakan dan menunjukkan bahwa Beijing tidak serius dalam upaya negosiasi CoC. Tidak hanya itu, pengesahan hukum baru CCG juga akan meningkatkan tensi yang telah terjadi antara Cina dan Amerika Serikat (AS), mengingat hadirnya AS di wilayah yang berkonflik dengan Cina.

Di ujung presentasinya, Aristyo menyatakan bahwa ada beberapa hal yang mestinya mampu dilakukan oleh berbagai aktor internasional terkait disahkannya hukum baru CCG. Menurutnya, negara-negara yang mengklaim dan berkepentingan dalam isu Laut Cina Selatan seharusnya mampu merespon dengan lebih kuat. Respon ini dapat berupa kecaman dan tekanan kepada Cina untuk segera merubah ataupun meniadakan undang-undang ini. Selain itu, berbicara secara spesifik mengenai Indonesia, Aristyo mengklaim bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah melakukan panggilan kepada Duta Besar Cina di Indonesia. Namun, tidak mendapatkan jawaban. Baginya, sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengirimkan nota diplomatik kepada Beijing sebagai bentuk nyata komitmen Indonesia untuk menjaga perdamaian di wilayah Asia Tenggara. Walaupun begitu, ia juga menggarisbawahi bahwa Indonesia harus bersiap atas segala kemungkinan yang terjadi mengingat sumber daya dan kapabilitas maritim Indonesia masih sangat jauh dibawah Cina.


Penulis : Brigitta Kalina

Editor : Mariola Yansverio

Globalization Talk #3 : Global Citizenship and Educating on Globalization

Pada hari Senin, 24 Februari 2020 Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan sesi ketiga kegiatan Globalization Talk yang bertajuk “Global Citizenship and Educating on Globalization”. Dalam kegiatan ini, IIS UGM berkesempatan mengundang Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor dari Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC) Hiroshima University, yang didampingi oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM untuk menyampaikan materinya mengenai globalisasi, kewarganegaraan global dan Pendidikan dalam menghadapi globalisasi. Selain para pembicara, IIS UGM juga mengundang Cut Intan Aulianisa Isma, manajer IIS UGM yang berperan sebagai moderator dan beberapa perwakilan guru dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai peserta tamu.

Acara dibuka dengan pemaparan oleh Nakaya yang menyampaikan pengantar mengenai fenomena globalisasi. Globalisasi tentunya membawa efek global ke berbagai kalangan, baik itu dampak positif maupun negatif. Sebagai contoh, salah satu dampak positif globalisasi adalah persebaran informasi yang lebih cepat, sehingga masyarakat global lebih cepat mengakses sebuah informasi. Namun, persebaran informasi yang cepat tersebut juga diikuti oleh tren penyebaran informasi yang salah (hoax) ataupun informasi yang belum dapat ditentukan kebenarannya, sehingga justru menimbulkan kepanikan maupun keresahan bagi masyarakat. Pengantar ini ditutup dengan sebuah pertanyaan yang menarik dari Nakaya, yaitu: “Siapakah yang dapat menangkal aspek negatif dan mengoptimalkan aspek positif dari globalisasi?”

Sesi pembahasan materi dilanjutkan Nakaya dengan membahas mengenai penjabaran dari “Global Citizenship.” Global Citizenship merupakan solusi yang membuat masyarakat dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak-dampak globalisasi, baik dampak positif maupun negatif. Nakaya menjelaskan, global citizenship dapat ditandai dengan beberapa ciri: yaitu (1) mampu menerima diversitas dan dapat menghormati hak asasi manusia, (2) memiliki pola pikir yang bersifat kolaboratif dan kooperatif dengan manusia lain untuk menyelesaikan sebuah masalah secara kolektif tanpa konflik, dan (3) memainkan peran aktif dan bersifat positif dalam tatanan masyarakat global. Untuk memiliki ciri-ciri tersebut, diperlukan beberapa elemen umum yang harus dipenuhi, yaitu attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills dan behavioral capacities.

 

[layerslider id=”24″]

 

Untuk memenuhi elemen-elemen penting tersebutlah, maka edukasi globalisasi diperlukan. Edukasi globalisasi berperan untuk menumbuhkan literasi politik yang baik, sense of violence, dan orientasi social justice. Literasi politik merupakan sebuah keharusan dalam memahami globalisasi dan pengaruh-pengaruhnya, sehingga kita dapat merespon persebaran globalisasi dengan tepat. Sense of violence merupakan kesadaran atas bentuk-bentuk kekerasan, mulai dari direct violence hingga ecological violence. Aspek social justice ditandai dengan pemahaman akan konsep justice yang sangat beragam dan tidak rigid, sehingga muncul pemikiran untuk memastikan keadilan dan kesetaraan untuk semua pihak. Seluruh aspek diatas dapat dikembangkan melalui proses edukasi globalisasi yang tepat dan diterapkan di Indonesia

Untuk meningkatkan kualitas Global Citizenship, Nakaya menawarkan konsep Resident Oriented Tourism sebagai sarana pengembangnya. Resident oriented tourism sendiri merupakan sebuah bentuk interaksi pariwisata timbal-balik, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi turis yang berkunjung namun juga penduduk lokal daerah tersebut, dan tentunya akan membantu mengembangkan kualitas sumber daya manusia di lokasi pariwisata. Untuk merealisasikannya, elemen-elemen masyarakat lokal harus berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pariwisata tersebut, dan merubah nilai -nilai dan imej eksklusivitas dengan nilai-nilai yang ramah terhadap diversitas global. Yogyakarta sendiri dinilai Nakaya merupakan sebuah lokasi yang cocok untuk mengembangkan resident oriented tourism dan edukasi globalisasi, karena statusnya sebagai pusat budaya dan pendidikan di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta dapat berperan menjadi pusat edukasi global citizenship lewat metode resident oriented tourism, dengan menjunjung nulai-nilai keramahan, kebanggaan akan budaya lokal, kreativitas, dan partisipasi aktif dalam menciptakan destinasi pariwisata yang dapat menerima masyarakat global.

Pemaparan Nakaya ditutup oleh Riza yang menyatakan dukungannya atas pentingnya posisi Yogyakarta sebagai pusat ekonomi dan pendidikan di Indonesia. Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, dan menawarkan potensi pertukaran ide, pengalaman dan informasi yang potensial. Sektor Pendidikan dapat menjadi jangkar yang menjadi fokus pengembangan pariwisata tersebut. Sebagai direktur IIS, Riza juga menyatakan kesiapan dan kesediaan IIS dalam mendukung edukasi masyarakat Yogyakarta tentang globalisasi, yang sejalan dengan hilirisasi riset IIS dan  berbentuk advokasi. Kesiapan ini tercermin dengan penyelenggaraan dua edisi Globalization Talk sebelumnya, yaitu Globalisation Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) dan #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) oleh IIS UGM.


Penulis : Raditya Bomantara

Penyunting : Angganararas Indriyosanti

Comprehending Contemporary China through “Beyond the Great Wall”

Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim.

Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim.

Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim. Aliquam lorem ante, dapibus in, viverra quis, feugiat a, tellus.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem. Nulla consequat massa quis enim.

 

 

Efforts to Intensify People to People Cooperation

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum in massa eget lorem laoreet viverra eget id nibh. Proin dapibus dictum nisl, vel euismod nulla porta vel. Etiam in risus varius, mattis nisi cursus, aliquam metus. Praesent pretium sem vel porttitor pharetra. Orci varius natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi imperdiet, metus quis hendrerit consequat, mauris ipsum suscipit felis, eu faucibus magna ex eu ante. Fusce lobortis leo eget molestie mattis. Vivamus accumsan elit maximus turpis tempor, id porttitor eros aliquet. Ut viverra arcu libero, nec interdum metus iaculis a. Quisque pulvinar, ex et maximus faucibus, nisi felis vehicula nulla, eu mollis felis elit sit amet mauris. Donec rhoncus augue ipsum, sed efficitur leo efficitur vel. Quisque hendrerit iaculis volutpat. Integer eget ullamcorper enim.

Integer tortor enim, luctus nec rutrum sed, iaculis id justo. Vestibulum dapibus luctus ullamcorper. Fusce eu eros eget lacus imperdiet congue. In eu enim eu odio ultricies luctus. Ut hendrerit aliquam ultrices. Phasellus rhoncus sagittis lectus interdum volutpat. Phasellus eu sodales ex, vel venenatis justo. Ut sed volutpat arcu. Cras sit amet lorem eget sem laoreet consequat. Duis mattis velit a massa pretium, ac suscipit felis iaculis. Nunc tempus luctus enim eget imperdiet. Sed non erat placerat, ullamcorper dui eu, molestie ipsum. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Sed imperdiet iaculis leo, nec aliquam quam dignissim eu.

Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Nullam massa ligula, finibus non lobortis nec, accumsan a odio. Duis erat arcu, blandit id porta id, fermentum in enim. Pellentesque at posuere sapien. Curabitur elit urna, tincidunt non suscipit a, mollis ut urna. Praesent semper ligula elit, nec auctor sapien porttitor sed. Praesent lacinia quam quis ligula euismod, quis ultrices diam posuere.

In consequat purus urna, sed volutpat neque laoreet ultricies. Suspendisse potenti. Proin dictum sed ex vel iaculis. Integer rhoncus venenatis vestibulum. Proin vitae purus dui. Pellentesque eget mi tempor, pretium magna quis, vestibulum lorem. Vivamus dictum nec ex ut posuere. Donec vitae est eget nisl lacinia sollicitudin in vulputate ligula. Aliquam ut condimentum mauris, at faucibus mauris.

Etiam rhoncus convallis lorem ac tincidunt. Vestibulum ut arcu feugiat massa lobortis molestie. Orci varius natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec eget ante ante. In lobortis sollicitudin turpis ac vestibulum. Integer consequat nulla in commodo elementum. Nunc euismod tristique ipsum, vitae dignissim magna. Orci varius natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Quisque feugiat, risus quis tempus euismod, mauris mauris cursus nulla, nec congue tellus neque id nunc. Duis vel imperdiet neque, a mattis diam. Morbi ut efficitur risus. Curabitur tellus nunc, aliquet vel velit ac, ornare tempor ipsum. Fusce vel rhoncus risus. Phasellus eget aliquam ex.

CANGKIR TEH #1: Problematika dan Tantangan Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Hak-hak Masyarakat Adat diatur tidak hanya dalam kapasitas sebagai masyarakat adat lokal dan warga negara, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat global. Namun, di Indonesia, kondisinya menjadi problematis karena, meski telah mengakui hak masyarakat adat di level internasional melalui penandatanganan dokumen UNDRIP, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur rekognisi dan pemenuhan hak masyarakat adat secara spesifik.

Untuk membahas permasalahan terkait, Jumat (1/3), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan “Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional” atau “CANGKIR TEH” untuk pertama kalinya, dengan tajuk diskusi “Hak Masyarakat Adat dan Politik Kewargaan di Indoesia”. Kegiatan berlangsung di Ruang BA-502, FISIPOL UGM dengan menghadirkan Ayu Diasti Rahmawati, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus peneliti utama riset “Plural Citizenship and the Politics of Indigenous Rights in Indonesia” yang didukung oleh lembaga SHAPE-SEA.

Pada kegiatan ini, Ayu memaparkan problematisasi serta temuan sementara dari riset yang masih berlanjut ini. Penelitian Ayu dan kawan-kawan, pada intinya, berusaha meneliti kompleksitas di balik pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia dengan dua studi kasus utama, yakni masyarakat adat di Kalimantan Barat dan masyarakat adat di Pati.

“Rancangan Undang-Undang tentang hak masyarakat adat ini sudah ada tiga versi, tapi sampai sekarang masih mandek, belum ada pengesahannya,” ujar Ayu.

Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kondisi “rights-talk” atas hak masyarakat adat, dalam artian, siapa saja aktor yang bermain dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor di balik pewacanaan atas hak masyarakat adat. Pasalnya,  aktor-aktor yang terlibat tidak memiliki kekuasaan yang setara sehingga menimbulkan proses pertentangan wacana yang tidak setara pula. Inilah yang  menyulitkan pengesahan dan rekognisi hak masyarakat adat di level negara.

Selain itu, politik kewargaan di Indonesia juga berkontribusi terhadap terkendalanya pemenuhan hak masyarakat adat. Pasalnya,  membership atau keanggotaan masyarakat adat saja masih sering dipertanyakan, bahkan dalam beberapa kesempatan tidak diakui oleh pemerintah. Ditambah lagi perdebatan tentang pemakaian istilah ‘indigenous‘ dan adat; perdebatan mengenai subjek atau objek yang harus terlebih dahulu direkogisi; dan berbagai polemik lain menambah kerumitan isu dan ambil bagian dalam tersendatnya pemenuhan hak.

Terlepas dari polemik yang terjadi, Ayu menyatakan bahwa perjuangan masyarakat adat ialah perjuangan kolektif. Perlu diingat bahwa masyarakat adat  merupakan aktor yang berperan besar dalam upaya pelestarian lingkungan. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan bahkan menyatakan bahwa masyarakat adat adalah salah satu aktor vital dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan sehingga, dalam melaksanakan aktivitasnya, masyarakat adat juga sedang berusaha menjaga bumi dari kerusakan.

“Mereka punya cara-cara tertentu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang sudah terbukti (dampaknya)”  tambah Ayu.

Untuk melakukan upaya-upaya terkait, masyarakat adat butuh regulasi yang menjamin hak-haknya. Karenanya, sebagai masyarakat umum, menjadi penting untuk bersama-sama membantu masyarakat  memperoleh hak-hak tersebut.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting
Angganararas Indriyosanti

The US Election and NAFTA Trade Agreements

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Aenean commodo ligula eget dolor. Aenean massa. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Donec quam felis, ultricies nec, pellentesque eu, pretium quis, sem.

Nulla consequat massa quis enim. Donec pede justo, fringilla vel, aliquet nec, vulputate eget, arcu. In enim justo, rhoncus ut, imperdiet a, venenatis vitae, justo. Nullam dictum felis eu pede mollis pretium. Integer tincidunt. Cras dapibus. Vivamus elementum semper nisi. Aenean vulputate eleifend tellus. Aenean leo ligula, porttitor eu, consequat vitae, eleifend ac, enim.

Nunc nec neque. Phasellus leo dolor, tempus non, auctor et, hendrerit quis, nisi. Curabitur ligula sapien, tincidunt non, euismod vitae, posuere imperdiet, leo. Maecenas malesuada. Praesent congue erat at massa. Sed cursus turpis vitae tortor.

  • Donec posuere vulputate arcu.
  • Phasellus accumsan cursus velit.
  • Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae;
  • Sed aliquam, nisi quis porttitor congue