Entries by webadmin.3-a2b2aa

Memahami dan Memetakan Potensi Ekonomi Lokal untuk Menghadapi Kompetensi Global [OUT OF STOCK]

ISBN 978-602-99702-6-5
Penulis Nanang Pamuji Mugasejati
Tahun Terbit 2011
Harga Rp 15.000

Description :

Berbentuk modul pelatihan, buku ini berisi tulisan yang bisa dijadikan tuntunan bagi masyarakat untuk memahami serta memetakan potensi ekonomi lokalnya. Pembahasan dalam buku ini memandang kota sebagai aktor internasional yang telah makin berdikari dalam memaksimalkan kesejahteraan dan potensinya. Melestarikan pertumbuhan ketenagakerjaan, meminimalisir tantangan integrasi ekonomi global, dan pertumbuhan populasi dunia adalah beberapa faktor kunci yang memengaruhi perkembangan sebuah kota. Dengan menyimak buku ini, pembaca diajak memahami situasi sekitar untuk kemudian membina diri dan lingkungannya agar sanggup berkompetisi di tataran global.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/book/memahami-dan-memetakan-potensi-ekonomi-lokal-untuk-menghadapi-kompetensi-global/>

Responsibility to Protect in Myanmar: The Political Willingness of the Myanmar Government After Cyclone Nargis [OUT OF STOCK]

ISBN 978-602-99702-2-7
Penulis Annisa Gita Srikandini
Tahun Terbit 2011
Harga Rp 15.000

Description :

Telah lama sekali akses komunitas internasional memasuki Myanmar dibatasi oleh rezim penguasanya. Hanya setelah luluh lantak akibat Siklon Nargis, pemerintah Myanmar mengizinkan komunitas humaniter internasional memasuki wilayah otoritasnya. Komunitas internasional nyatanya tidak hanya melakukan pendampingan pemulihan pascabencana tapi juga berfungsi sebagai alat untuk menghalau kejahatan kemanusiaan di Myanmar. Studi soal manajemen bencana di Myanmar oleh komunitas internasional dalam buku ini menawarkan perspektif baru untuk melihat aksi humaniter sebagai pendekatan pada negara yang diduga tidak lagi mampu dan mau melindungi rakyatnya sendiri.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/book/responsibility-to-protect-in-myanmar-the-political-willingness-of-the-myanmar-government-after-cyclone-nargis/>

Politik Kerjasama Internasional: Sebuah Pengantar [OUT OF STOCK]

ISBN 978-602-99702-8-9
Penulis Nanang Pamuji Mugasejati & Ahmad Hanafi Rais
Tahun Terbit 2011
Harga Rp 15.000

Description :

Seiring dengan perkembangan Studi Hubungan Internasional yang sangat cepat di Indonesia, sudah selayaknya kalangan akademisi berupaya untuk memperkaya referensi dalam bidang keimuan ini. Sehubungan dengan hal tersebut, Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada juga berupaya untuk memperkaya referensi bagi Studi Hubungan Internasional dengan berbagai jenis penerbitan, termasuk IIS Monograph Series.

IIS Monograph Series kali ini menyajikan sebuah pembahasan ringkas, padat, dan jelas mengenai Politik Kerjasama Internasional. Ruang lingkup pembahasan dalam tulisan ini meliputi definisi, kerangka konseptual, dan teori-teori yang menyertainya. Dengan demikian, seri ini dapat menjadi pintu masuk tepat bagi siapapun yang ingin mempelajari Kerjasama Internasional dari aspek politik.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/book/politik-kerjasama-internasional-sebuah-pengantar/>

Building Disaster Resilient Community in Yogyakarta [OUT OF STOCK]

As a research arm, IIS UGM performs editing and publishing manual manuscripts into several outputs, namely: books, monographs, and reports. The publishing process involves the IIS UGM researchers, lecturers of the Department of International Relations of UGM, and research partners. 

ISBN 978-602-7804-22-7
Penulis Yunizar Adiputera, Maharani Hapsari & Muhadi Sugiono
Tahun Terbit 2017
Harga

Description :

Buku ini adalah kumpulan penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 di bawah payung kerjasama antara Program RESPECT Universitas Osaka dan Program on Humanitarian Action, Institute of International Studies, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Kolaborasi antara kedua lembaga ini bertujuan untuk mengatasi masalah manajemen dan pencegahan bencana, yang umumnya dihadapi oleh Indonesia dan Jepang karena keduanya terletak di ‘cincin api’ lempeng tektonik bumi, yang secara berkala bergerak dan menyebabkan gempa bumi dengan magnitudo berbeda. Karena Jepang relatif lebih siap dalam mengantisipasi ancaman bencana dalam hal ekonomi dan infrastruktur, ada pelajaran berharga yang dapat dipelajari dari pengalaman Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya, dan penduduk Yogyakarta pada khususnya, juga telah hidup dengan ancaman bencana selama beberapa generasi dan dalam prosesnya telah mengembangkan berbagai mekanisme penanganan untuk menangani mereka, mungkin bukan dalam hal teknologi dan infrastruktur, tetapi lebih dari itu berupa hal modal sosial. Oleh karena itu, kedua negara memiliki sesuatu untuk ditawarkan satu sama lain ketika berhadapan dengan ancaman bencana.

Proceedings of the 3rd Convention of European Studies

01 August 2014 By Publikasi IIS 

Author(s)

Muhadi Sugiono (ed.)

Publishing Year

2014

Descriptions

The organization of “Bandung Conference and Beyond 2015” intends to commemorate the 60th anniversary of the 1955 Bandung Conference by taking on its emancipatory spirit to revisit the way international relations are studied and practiced. As a generation that inherited the historical emancipatory movement, we have realized that we need to nourish the spirit to understand postcolonized Indonesia through the lens of its own people. In order to achieve a more strategic involvement on the advancement of international studies, the Department of International Relations at Universitas Gadjah Mada has conducted varies studies under an umbrella topic of “Developing Countries: Revisited” in 2014. The result of the study undoubtedly presents a different perspective. Whereas history books compiled by colonizers are usually filled with stories of royals, kingdoms, and conquests, the history written from the people perspectives are more about the people’s struggle to achieve freedom, justice, and peace. We want to continue that endeavor by conducting “Bandung Conference and Beyond”—a conference that we hope can contribute in enriching the process of finding a non-Western approach to international relations.

 

Keywords

European Studies, European Union

Download (https://simpan.ugm.ac.id/s/eSHFx4fIKyFZ7zb#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/proceeding/proceedings-of-the-3rd-convention-of-european-studies/

Bandung Conference and Beyond: Rethinking International Order, Identity, Security, and Justice in a Post-Western World

01 August 2015 By Publikasi IIS 

Author(s)

Eric Hiariej, Poppy Winanti, Nur Rachmat Yuliantoro, Maharani Hapsari (eds.)

Publishing Year

2015

Decriptions

Prosiding dari Konvensi ke-3 tentang Studi Eropa di Indonesia setelah dua pergelaran sebelumnya yang sukses pada 2009 dan 2012. Ini adalah bagian dari inisiatif Program on European Studies, Institute of International Studies (IIS UGM) untuk mengembangkan studi Eropa di Indonesia. Konvensi ini telah menjadi melting-pot untuk akademisi, pengusaha, dan pemerintah dari Indonesia dan Uni Eropa untuk mendiskusikan pandangan dan ide tentang studi Eropa, serta pembaruan terkini tentang hubungan bilateral Indonesia-UE. Buku ini berisi makalah akademik yang disajikan dalam Diskusi Panel dengan 5 tema utama: (1) Eropa dan Studi Hubungan Internasional (IR): Pengembangan Teoritis dan Konseptual; (2) Masalah Kontemporer di Eropa; (3) Pemerintahan Eropa; (4) Hubungan Internasional Eropa; dan (5) Hubungan Indonesia – UE.

 

Keywords

Global South, Bandung Spirit, International Order, non-Western Perspectives

Download (https://simpan.ugm.ac.id/s/Yz6kKPSct11emcO#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/proceeding/bandung-conference-and-beyond-rethinking-international-order-identity-security-and-justice-in-a-post-western-world-2/

Akses Pekerjaan untuk Pengungsi di Indonesia: Peluang dan Tantangan

01 Juli 2018 By Publikasi IIS 

Penulis

Yunizar Adiputera dan Atin Prabandari

Tahun

2018

Description

Indonesia saat ini menjadi tempat bagi sekitar 14.405 pengungsi dan pencari suaka (UNHCR, 2016). Sebagian besar dari mereka berasal dari Myanmar, Afganistan, Irak, Iran, Somalia dan negara-negara lain di Timur Tengah, Afrika,

dan Asia Selatan. Sekitar sepertiga dari pengungsi tersebut menempati 13 rumah detensi imigrasi di berbagai wilayah Indonesia, sepertiga yang lain tinggal di rumah-rumah komunitas (Community House) yang dibiayai oleh International Organization for Migration (IOM), sedangkan sisanya hidup membaur dengan masyarakat lokal (Brown & Missbach, 2017).

Dengan perhatian masyarakat yang masih minim ditambah kapasitas terbatas UNHCR, pengungsi harus menunggu selama 24 bulan untuk penentuan status pengungsi (refugee status determination/RSD) (UNHCR, 2016). Di sisi

lain, kebijakan Indonesia untuk tidak menerima pengungsi menetap secara permanen membuat upaya integrasi dengan masyarakat setempat atau pemulangan sulit dilakukan. Hal tersebut Meninggalkan pemindahan (resettlement) ke negara tujuan pengungsi sebagai solusi paling strategis, tetapi di saat yang sama juga membuat pengungsi harus menunggu lebih lama. Maka, tidaklah aneh untuk menemukan pengungsi yang tinggal di Indonesia selama lebih dari lima atau enam tahun (Gutierez, 2017). Hal tersebut kemudian menjadi problematis, karena kebijakan di Indonesia juga turut melarang pengungsi bekerja secara legal. Ini berarti pengungsi harus tinggal dalam waktu lama tanpa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

Kata Kunci

Pengungsi, Akses Pekerjaan

Unduh (https://simpan.ugm.ac.id/s/srjhE7cag7H8eDY#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/policy_paper/akses-pekerjaan-bagi-pengungsi/>

 

Masa Depan Keadilan Global di Era Trump

 Issue 01 | Februari 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/p5d8B4iGTgYyxBc#pdfviewer)

Kemenangan Trump melipatgandakan tantangan keadilan global.

Pertama, meski kebijakan luar negeri AS masih belum jelas arahnya, satu hal yang pasti: keadilan global bukan prioritas Trump. Sehingga kebijakannya yang belum jelas itu berpotensi melemahkan usaha melawan ketidakadilan global yang sebetulnya belum kokoh. Kedua, kemenangan Trump mensinyalkan adanya trend “nasionalisme dangkal” dalam politik global kontemporer. Mulai dari Theresa May di Inggris sampai Marine Le Pen di Perancis memperlihatkan bahwa nasionalisme kadang dalam bentuk ekstrim kembali menjadi daya tarik. Praktik menyekat-nyekat komunitas; mengeksklusikan mereka yang tidak diinginkan; memprioritaskan satu bangsa di atas yang lain; dan merebut kontrol masyarakat dari “intervensi asing” menjadi semakin marak di kancah politik global.

Bagaimana tantangan tersebut mempengaruhi agenda keadilan global? Apa yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan di tengah dunia yang makin terfragmentasi dan tidak stabil? Langkah apa yang dibutuhkan jika kita masih ingin memperjuangkan ide keadilan dan kesetaraan?

Trump memang tidak pernah menyatakan visi yang koheren soal agenda keadilan global. Meski begitu, keputusan politiknya baru-baru ini mengindikasikan bagaimana Amerika Serikat (AS) akan terlibat dalam politik keadilan global. Pertama, meski belum jelas, Trump memperlihatkan intensi untuk mengurangi keterlibatan AS dalam rezim bantuan global. Setidaknya itu dilakukan dengan mengubah kebijakan bantuan luar negerinya secara signifikan. Dengan begitu AS dapat melindungi “kepentingan nasonal”. dan mengalokasikan ulang sumber dayanya yang sedianya untuk negara belum berkembang, kini diprioritaskan untuk mendukung kebutuhan domestik AS (Quinn, 2016).

Kedua, AS juga akan menerapkan hal serupa dalam ranah kerjasama internasional. AS akan menahan diri untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional”. Bahkan tidak segan untuk keluar dari perjanjian yang sudah disepakati, jika dirasa perlu. Sikap tersebut diambil tanpa mempedulikan konsekuensi pada kemajuan keadilan global dan perlindungan pada yang rentan. Selama masa kampanye, Trump tidak hanya berjanji untuk keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP) (Baker, 2017), tapi juga mengancam untuk keluar dari Paris Accord sebuah upaya mitigasi dari efek pemanasan global (The Guardian, 2016).

Ketiga, AS nampak mengikuti nostalgia kemurnian ala populisme sayap kanan. Demi menciptakan identitas “murni”, AS mengadopsi kebijakan yang keras pada “pendatang”. Larangan imigrasi selama 90 hari bagi warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim dengan jelas merefleksikan sikap keras Trump (Calamur, 2017).

Tatanan keadilan global akan terdampak oleh keputusan-keputusan Trump. Manufer Trump juga akan melemahkan usaha menuju keadilan global serta menciptakan ketidakpercayaan antara negara-negara penandatangan perjanjian internasional. Dengan memotong pengeluaran untuk bentuan luar negeri, AS mengakibatkan berbagai inisiatif keadilan global dalam keadaan bahaya akibat minimnya dukungan finansial. Karena sampai saat ini AS adalah donor terbesar dunia, dengan 24 persen dari total bantuan global di tahun 2014 (Quinn, 2016). Sikap AS tersebut tidak menutup kemungkinan untuk diikuti oleh negara-negara lain. Dengan begitu, perjanjian internasional menjadi disfungsional meski sifatnya krusial. Potensi krisis ini tidak hanya menyetel mundur berbagai pencapaian masyarakat internasional. Hal tersebut juga akan memperburuk ketidakadilan global dengan meninggalkan populasi global yang rentan tanpa dukungan dan perlindungan.

Namun, ini bukan dampak paling signifikan dari pemerintahan Trump. Retorika “America First” miliknya yang menjadi basis berbagai keputusannya bisa menjadi contohnasionalisme dangkalyang memperkuat kelompok populisme sayap kanan dalam politik global. Retorika yang sama bisa mendorong masyarakat untuk bersikap keras pada pendatang atau justru melawan Trump.

Akibatnya, makna solidaritas semakin menyempit. Manusia kehilangan kemampuan mereka untuk melihat warga negara lain sebagai sesama. Dengan begitu, membantu mereka yang bukan sebangsa dilihat sebagai hal yang tidak penting. Sementara absennya AS di bawah Trump membahayakan agenda keadilan global yang ada, retorikanya juga akan mengancam pilar solidaritas global.

Lantas, bagaimana masyarakat global harus bereaksi dengan lanskap yang tidak pasti ini?

Meski manufer AS jelas membahayakan usaha-usaha keadilan global. Di sisi lain, ia juga bisa memberi ruang untuk mentransformasi agenda keadilan global. Pertama, aktor-aktor alternatif seperti Kanada, Jerman, atau Cina dapat mengisi peran yang ditinggalkan AS. Lanskap keadilan global bisa berubah dengan adanya aktor-aktor baru yang menawarkan alternatif sumber daya dan kepemimpinan. Kedua, tatanan baru ini juga bisa menawarkkan alternatif platform baru. Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebagai contoh, dapat dijadikan alternatif kerangka kerja. Dengan menekankan pada pentingnya bantuan yang mutual, tak bersyarat, dan independensi KSS bisa menawarkan metode berbeda untuk asistensi. Apalagi jika dibandingkan dengan usaha kerjasama Utara-Selatan yang banyak dikritik karena perspektif orientalis, relasi kuasa yang asimetris, dan ketidakmampuannya menawarkan lebih dari perlakuan paliatif.

Meski begitu, alternatif tersebut perlu didukung oleh gerakan demokratis. Pada tingkatan masyarakat, gerakan demokratis memperkuat solidaritas dan melawan prasangka. Terlebih, konsolidasi gerakan demokratis bisa menjadi oposisi kuat melawan nasionalisme dangkal. Di sisi lain, gerakan ini juga memberikan insentif bagi elit politik supaya mengikuti nilai-nilai demokratis dibandingkan narasi adu domba. Dengan begitu dinamika komunitas internasional bisa dipengaruhi oleh inistaif-inisiatif di tingkatan lokal.

Di tengah lanskap agenda keadilan global yang berubah, kombinasi antara inisiatif internasional dan masyarakat lokal mampu menawarkan alternatif yang kuat di tengah agenda keadilan global yang tidak stabil. Dengan begitu, diharapkan perlindungan pada yang rentan dan termarginalisasi bisa diwujudkan.

Rizky Alif Alvian

Peneliti di Institute of International Studies

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

rizky.alif.a@mail.ugm.ac.id

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/masa-depan-keadilan-global-di-era-trump/