Issue 01 | Februari 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/p5d8B4iGTgYyxBc#pdfviewer)
Kemenangan Trump melipatgandakan tantangan keadilan global.
Pertama, meski kebijakan luar negeri AS masih belum jelas arahnya, satu hal yang pasti: keadilan global bukan prioritas Trump. Sehingga kebijakannya –yang belum jelas itu –berpotensi melemahkan usaha melawan ketidakadilan global yang sebetulnya belum kokoh. Kedua, kemenangan Trump mensinyalkan adanya trend “nasionalisme dangkal” dalam politik global kontemporer. Mulai dari Theresa May di Inggris sampai Marine Le Pen di Perancis memperlihatkan bahwa nasionalisme –kadang dalam bentuk ekstrim –kembali menjadi daya tarik. Praktik menyekat-nyekat komunitas; mengeksklusikan mereka yang tidak diinginkan; memprioritaskan satu bangsa di atas yang lain; dan merebut kontrol masyarakat dari “intervensi asing” menjadi semakin marak di kancah politik global.
Bagaimana tantangan tersebut mempengaruhi agenda keadilan global? Apa yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan di tengah dunia yang makin terfragmentasi dan tidak stabil? Langkah apa yang dibutuhkan jika kita masih ingin memperjuangkan ide keadilan dan kesetaraan?
Trump memang tidak pernah menyatakan visi yang koheren soal agenda keadilan global. Meski begitu, keputusan politiknya baru-baru ini mengindikasikan bagaimana Amerika Serikat (AS) akan terlibat dalam politik keadilan global. Pertama, meski belum jelas, Trump memperlihatkan intensi untuk mengurangi keterlibatan AS dalam rezim bantuan global. Setidaknya itu dilakukan dengan mengubah kebijakan bantuan luar negerinya secara signifikan. Dengan begitu AS dapat melindungi “kepentingan nasonal”. dan mengalokasikan ulang sumber dayanya –yang sedianya untuk negara belum berkembang, kini diprioritaskan untuk mendukung kebutuhan domestik AS (Quinn, 2016).
Kedua, AS juga akan menerapkan hal serupa dalam ranah kerjasama internasional. AS akan menahan diri untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional”. Bahkan tidak segan untuk keluar dari perjanjian yang sudah disepakati, jika dirasa perlu. Sikap tersebut diambil tanpa mempedulikan konsekuensi pada kemajuan keadilan global dan perlindungan pada yang rentan. Selama masa kampanye, Trump tidak hanya berjanji untuk keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP) (Baker, 2017), tapi juga mengancam untuk keluar dari Paris Accord –sebuah upaya mitigasi dari efek pemanasan global (The Guardian, 2016).
Ketiga, AS nampak mengikuti nostalgia kemurnian ala populisme sayap kanan. Demi menciptakan identitas “murni”, AS mengadopsi kebijakan yang keras pada “pendatang”. Larangan imigrasi selama 90 hari bagi warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim dengan jelas merefleksikan sikap keras Trump (Calamur, 2017).
Tatanan keadilan global akan terdampak oleh keputusan-keputusan Trump. Manufer Trump juga akan melemahkan usaha menuju keadilan global serta menciptakan ketidakpercayaan antara negara-negara penandatangan perjanjian internasional. Dengan memotong pengeluaran untuk bentuan luar negeri, AS mengakibatkan berbagai inisiatif keadilan global dalam keadaan bahaya akibat minimnya dukungan finansial. Karena sampai saat ini AS adalah donor terbesar dunia, dengan 24 persen dari total bantuan global di tahun 2014 (Quinn, 2016). Sikap AS tersebut tidak menutup kemungkinan untuk diikuti oleh negara-negara lain. Dengan begitu, perjanjian internasional menjadi disfungsional meski sifatnya krusial. Potensi krisis ini tidak hanya menyetel mundur berbagai pencapaian masyarakat internasional. Hal tersebut juga akan memperburuk ketidakadilan global dengan meninggalkan populasi global yang rentan tanpa dukungan dan perlindungan.
Namun, ini bukan dampak paling signifikan dari pemerintahan Trump. Retorika “America First” miliknya –yang menjadi basis berbagai keputusannya –bisa menjadi contoh“nasionalisme dangkal”yang memperkuat kelompok populisme sayap kanan dalam politik global. Retorika yang sama bisa mendorong masyarakat untuk bersikap keras pada pendatang atau justru melawan Trump.
Akibatnya, makna solidaritas semakin menyempit. Manusia kehilangan kemampuan mereka untuk melihat warga negara lain sebagai sesama. Dengan begitu, membantu mereka yang bukan sebangsa dilihat sebagai hal yang tidak penting. Sementara absennya AS di bawah Trump membahayakan agenda keadilan global yang ada, retorikanya juga akan mengancam pilar solidaritas global.
Lantas, bagaimana masyarakat global harus bereaksi dengan lanskap yang tidak pasti ini?
Meski manufer AS jelas membahayakan usaha-usaha keadilan global. Di sisi lain, ia juga bisa memberi ruang untuk mentransformasi agenda keadilan global. Pertama, aktor-aktor alternatif seperti Kanada, Jerman, atau Cina dapat mengisi peran yang ditinggalkan AS. Lanskap keadilan global bisa berubah dengan adanya aktor-aktor baru yang menawarkan alternatif sumber daya dan kepemimpinan. Kedua, tatanan baru ini juga bisa menawarkkan alternatif platform baru. Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebagai contoh, dapat dijadikan alternatif kerangka kerja. Dengan menekankan pada pentingnya bantuan yang mutual, tak bersyarat, dan independensi –KSS bisa menawarkan metode berbeda untuk asistensi. Apalagi jika dibandingkan dengan usaha kerjasama Utara-Selatan yang banyak dikritik karena perspektif orientalis, relasi kuasa yang asimetris, dan ketidakmampuannya menawarkan lebih dari perlakuan paliatif.
Meski begitu, alternatif tersebut perlu didukung oleh gerakan demokratis. Pada tingkatan masyarakat, gerakan demokratis memperkuat solidaritas dan melawan prasangka. Terlebih, konsolidasi gerakan demokratis bisa menjadi oposisi kuat melawan nasionalisme dangkal. Di sisi lain, gerakan ini juga memberikan insentif bagi elit politik supaya mengikuti nilai-nilai demokratis dibandingkan narasi adu domba. Dengan begitu dinamika komunitas internasional bisa dipengaruhi oleh inistaif-inisiatif di tingkatan lokal.
Di tengah lanskap agenda keadilan global yang berubah, kombinasi antara inisiatif internasional dan masyarakat lokal mampu menawarkan alternatif yang kuat di tengah agenda keadilan global yang tidak stabil. Dengan begitu, diharapkan perlindungan pada yang rentan dan termarginalisasi bisa diwujudkan.
—
Rizky Alif Alvian
Peneliti di Institute of International Studies
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
rizky.alif.a@mail.ugm.ac.id
—
Referensi
- Barker, P. (2017, January 23). Trumps Abandons Trans-Pacific Partnership, Obama’s Signature Trade Deal. Retrieved January 31, 2017, from The New York Times: https://www.nytimes.com/2017/01/23/us/politics/tpp-trump-trade-nafta.html.
- Quinn, B. (2016, November 13). Will Trump honour pledge to ‘stop sending foreign aid to countries that hate us’? Retrieved January 31, 2017, from The Guardian: https://www.theguardian.com/global-development/2016/nov/13/will-trump-presidency-honour-pledge-stop-sending-foreign-aid-to-countries-that-hate-us-usaid.
- The Guardian. (2016, November 13). Trump seeking quickest way to quit Paris climate agreement, says report. Retrieved January 31, 2017, from The Guardian: https://www.theguardian.com/us-news/2016/nov/13/trump-looking-at-quickest-way-to-quit-paris-climate-agreement-says-report.
- Calamur, K. (2017, January 30). What Trump’s Executive Order on Immigration Does and Doesn’t Do. Retrieved January 31, 2017, from The Atlantic: https://www.theatlantic.com/news/archive/2017/01/trump-immigration-order-muslims/514844/vvvvv.
—
Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.
From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/masa-depan-keadilan-global-di-era-trump/>