Entries by iis.fisipol

Humanitarian Talk : Mencari Jalan Baru Damai Papua

Jumat, 5 Oktober 2019, Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum diskusi Humanitarian Talk bertajuk “Mencari Jalan Baru Damai Papua” di Ruang Sidang Dekanat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Forum ini diselenggarakan sebagai respon atas isu kekerasan dan kerusuhan di Papua yang memuncak di Wamena. Berawal dari ide Dr. Luqman-Nul Hakim, dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, kegiatan ini dibungkus dengan format diskusi akademik yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan isu di Papua, mulai dari dosen berbagai departemen, tenaga riset dari aneka pusat studi UGM, serta Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Dalam kesempatan tersebut, dihadirkan tiga pembicara yang memiliki perhatian khusus dengan isu Papua, yakni, Dr. Richard Chauvel dari Asia Institute, University of Melbourne yang sempat menjabat sebagai konsultan International Crisis Group in Papua; Amiruddin Al-Rahab, komisioner Komnas HAM dan koordinator Penegakkan HAM sekaligus aktivis di Papua Resource Center; Fransiskus Agustinus Djalong, M.A., peneliti senior PSKP sekaligus Dosen Departemen Sosiologi UGM yang memiliki fokus kajian konflik dan perdamaian dalam kerangka interlinkage security, development dan democracy. Ketiga pembicara bergantian memaparkan materinya sebelum diikuti oleh sesi tanya jawab dan diskusi. 

Diskusi dibuka dengan pemaparan oleh Richard Chauvel yang memaparkan pandangannya terkait eskalasi konflik di Papua. Menurut Richard, konflik Papua memiliki sejarah yang sangat panjang dan menjadi awal dari konflik yang sering terjadi belakangan ini. Identitas Papua menjadi suatu isu yang sensitif, di mana masyarakat Papua yang terlibat dalam program urbanisasi ke Jawa oleh pemerintah pusat dengan tujuan menumbuhkan nasionalisme serta menguatkan identitas ke-Indonesia-an, tetapi isu rasisme dan diskriminasi yang ditujukan kepada masyarakat Papua justru membuat identitas Papua menjadi lebih kuat. Misalnya, kasus kerusuhan yang terjadi dengan melibatkan kelompok mahasiswa Papua yang sempat terjadi di Surabaya belum lama ini. Seolah belum cukup, masalah juga diperkeruh oleh pemerintah yang seringkali menggunakan militer dan aparat kepolisian untuk “memadamkan” gerakan nasionalisme Papua, alih-alih memilih jalan negosiasi dan dialog dengan representasi masyarakat.

Di sisi lain, isu rasisme juga muncul saat para pendatang datang ke Papua. Identitas ras yang berbeda justru menciptakan sebuah segregasi yang justru merugikan dan menyakiti masyarakat Papua di tanahnya sendiri. Perlakuan tidak adil dari pemerintah memperkeruh suasana, di mana segala kasus kerusuhan dan kekerasan dibungkus sebagai problematika dan juga kesalahan masyarakat Papua yang alih-alih menerima heterogenitas Indonesia, malah memilih menyuarakan identitas sebagai masyarakat Papua ketimbang identitas sebagai bagian dari Indonesia. Padahal, masyarakat Papua, dalam kasus ini, justru menjadi korban dari diskriminasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat, hingga sesama kelompok masyarakat. Oleh karena itu, Richard juga mengajak para peserta diskusi untuk memandang konflik di Wamena dengan konteks yang lebih luas.

Pada sesi kedua, Amiruddin memaparkan analisisnya mengenai akar permasalahan di antara hubungan pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Papua, bukan hanya menjadi provinsi yang paling jauh dari pemerintah pusat, kebijakan Papua juga terasa paling jauh dibincangkan. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman pemerintah pusat akan kepentingan masyarakat Papua. Berawal dari pemekaran provinsi, Papua telah menjadi subjek kebijakan yang salah sasaran. Hal ini tercermin pada kebijakan -kebijakan tiap presiden untuk Papua yang selalu berbeda, dan tidak pernah berkesinambungan, di mana kebijakan untuk Papua yang telah digagas oleh satu presiden hanya akan di-’reset’ kembali oleh presiden selanjutnya dengan kebijakan yang baru sesuai dengan apa yang dirasakan pemerintah berkuasa tentang latar belakang masalah Papua. Akibatnya, Papua seolah terasing dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat karena kebijakan pusat yang tidak tepat sasaran. Lebih jauh lagi, Amiruddin juga mengatakan bahwa aksi kekerasan dan kerusuhan yang muncul belakangan ini, seolah dipandang sebagai murni kesalahan masyarakat Papua, padahal pada kenyataannya pemerintah pusat juga turut bersalah dalam memicu situasi tidak kondusif ini.

Dalam mengidentifikasi masalah di Papua, pemerintah pusat juga telah melakukan kesalahan, di mana dialog yang dilakukan oleh pemerintah pusat cenderung ditujukan dengan segelintir orang dan kelompok yang justru memiliki kepentingan sama dengan pemerintah pusat, alih alih menyuarakan kepentingan masyarakat Papua. Pada akhirnya, pemerintah berdalih bahwa kepentingan dan aspirasi masyarakat Papua telah terpenuhi, meskipun pada kenyataannya, pemerintah pusat tutup mata atas aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh representasi masyarakat, dan justru menjustifikasi ketidakpeduliannya lewat dialog yang tidak mencerminkan suara masyarakat Papua. Problematika inilah yang memicu munculnya rasisme dan alienasi terhadap masyarakat Papua, yang notabene menjadi korban dari inkompetensi pemerintah pusat dalam mewadahi aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua. 

Pada sesi terakhir, Frans menutup sesi pembicara dengan mengangkat seputar isu rasisme yang muncul dan berujung kepada masalah yang tidak kunjung berakhir. Frans menyatakan, bahwa rumusan masalah akan konflik Papua tidak dapat dimonopoli karena rumitnya sejarah konflik tersebut. Kita tidak boleh melupakan bahwasanya Papua pun memiliki identitas yang bersifat jamak, dan tidak bisa seterusnya ditekan untuk menyingkirkan identitas Papua dan menggantikannya dengan identitas Indonesia, sementara masyarakat Papua masih menerima diskriminasi dan menjadi subyek rasisme dari berbagai pihak, dan ironisnya, negara turut berperan dalam menciptakan situasi tersebut. Kebijakan negara yang cenderung menganak-tirikan Papua pun turut memicu rasisme dan sudah dapat digolongkan sebagai sebuah state crime. Kebijakan Pemerintah pusat yang memarginalisasikan masyarakat Papua turut ambil andil dalam memelihara rasisme yang ditujukan kepada masyarakat Papua.

Seusai ketiga pembicara memaparkan materinya, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab untuk mendiskusikan tema sekaligus menutup acara. Tidak terasa, sesi tanya jawab yang seharusnya hanya dialokasikan sebanyak 1 sesi dengan 3 orang penanya, harus diperpanjang menjadi dua sesi karena minat para audiens, terutama dari perwakilan mahasiswa Papua yang hadir. Sesi tanya jawab berjalan dengan progresif, karena banyak peserta yang ingin mengungkapkan pertanyaan dan juga pendapatnya tentang isu Papua, memenuhi tujuan awal forum ini untuk berbagi informasi dan pengetahuan tentang konflik Papua.

Rumitnya konflik Papua mengarahkan kita kepada sebuah situasi, dimana konflik ini sudah tidak lagi hanya tentang rasisme semata. Kombinasi dari state crime yang memicu rasisme, framing dimana pemerintah cenderung membuang muka dan tidak peduli akan Papua, identitas Papua yang semakin menguat karena rasisme yang mereka terima dan faktor-faktor lain menjadikan resolusi konflik ini sulit dicapai. Untuk mencari jalan baru untuk damai di Papua, diperlukan niat yang baik dari semua aktor yang terlibat untuk duduk bersama, mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, dan kemudian mencari jalan untuk resolusi konflik berkepanjangan ini. Kita tidak boleh lupa, Papua adalah bagian dari Indonesia dan masyarakat Papua adalah saudara kita. Untuk mencari jalan damai, diperlukan dialog yang memfasilitasi aspirasi dan keluhan yang selama ini dipendam oleh masyarakat Papua.


Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Thifani Tiara

Untuk Apa Nirkekerasan Kalau…

Tiada hari tanpa aksi damai. Rasa-rasanya, di Indonesia ini, selalu saja ada yang sedang protes dan melawan. Sebagian besar darinya dilakukan melalui unjuk rasa alias demonstrasi — diiringi orasi, poster, happening art, dan lain-lain. Tapi, ada juga yang berbentuk petisi, lagu, karikatur, membisu, mogok makan, mogok kerja, mogok sekolah, boikot, embargo, dan sebagainya. Database DamaiPangkalDamai yang dibuat oleh tim peneliti Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) mencatat lebih dari 13.000 aksi nirkekerasan antara 1999 hingga 2017. Artinya, di era Reformasi ini, paling tidak ada 2 aksi damai per hari di Indonesia. Beberapa yang paling terkenal adalah Kamisan, yang sudah berlangsung lebih dari 600 minggu, Kartini Kendeng yang mengecor kaki dengan semen di depan istana negara, serta rangkaian demonstrasi #ReformasiDikorupsi.  Ketiga aksi terakhir ini mungkin membuat kita berpikir: untuk apa memilih cara-cara nirkekerasan jika lawan yang kita hadapi bebal, tidak punya nurani, atau bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan? Apakah perlawanan secara nirkekerasan dapat membawa kita pada tujuan yang ingin dicapai?

Apa itu Aksi Nirkekerasan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penting bagi kita menentukan apa yang kita maksud dengan aksi nirkekerasan. Secara teknis, aksi nirkekerasan dapat dimaknai sebagai istilah payung bagi aneka metode perlawanan yang tidak menggunakan kekerasan, setidaknya terhadap orang lain (lihat Weber dan Burrowes 1991). Jadi, yang dilakukan oleh biksu yang membakar diri sebagai protes terhadap perang Vietnam, oleh tahanan politik Irlandia Utara yang berminggu-minggu mogok makan memprotes kesewenangan pemerintah, oleh Kartini Kendeng yang mengecor kaki dengan semen karena menolak tanahnya dijadikan pabrik semen, dan sebagainya, masuk dalam definisi aksi nirkekerasan. Ini karena aneka “kekerasan” di atas mereka tujukan pada diri mereka sendiri, bukan pada pihak lain yang berkeberatan menanggung sakit dan luka. Sedangkan, musyawarah, berunding, dan diskusi bukan aksi nirkekerasan karena — meski tidak ada unsur kekerasannya — hal-hal ini bukan bentuk perlawanan. Bayangkan negosiasi antara buruh dan perusahaan. Di sini, mereka sedang berusaha mencapai kesepakatan soal gaji, cuti, atau lainnya. Dengan kata lain, mereka sedang “bekerja sama” mencari titik temu. Negosiasi antara mereka bukanlah aksi nirkekerasan, tetapi unjuk rasa atau mogok yang dilakukan sebelum, setelah, atau berbarengan dengan negosiasi merupakan aksi nirkekerasan.

Pada tahun 1973, seorang ilmuwan bernama Gene Sharp mengidentifikasi 198 metode nirkekerasan. Metode-metode
ini ia bagi ke dalam 3 kategori. Yang pertama adalah protes dan persuasi, di mana pelaku “sekadar” mengekspresikan dukungan atau ketidaksetujuan terhadap hal tertentu. Contohnya termasuk demonstrasi, pawai, orasi, petisi, poster, lagu, happening art, deklarasi, penghargaan lancung, dan sebagainya. Kamisan, sebagaimana aksi ibu-ibu di Argentina pada tahun 1970an yang mencari anak mereka yang dihilangkan paksa oleh negara, masuk dalam kelompok ini, tepatnya dalam metode nomor 16, yaitu picketing.

Yang kedua adalah nonkooperasi. Di sini, pelaku aksi tidak hanya menyatakan menolak sesuatu, tetapi juga menarik partisipasinya dari praktik yang tidak ia setujui. Aneka mogok, embargo, dan boikot masuk dalam kategori ini. Dalam mogok (metode nomor 97), buruh tidak hanya berdemonstrasi menagih janji perusahaan, tetapi juga berhenti memberikan tenaganya pada proses produksi yang menurutnya eksploitatif. Dalam boikot (metode nomor 77), konsumen tidak hanya menyerukan kemerdekaan Palestina, tetapi juga berhenti memberikan uang kepada produk-produk yang menyokong perekonomian Zionis Israel. Greta Thunberg dan jutaan siswa sekolah di seluruh dunia tidak hanya menuntut pengurangan emisi karbon, tetapi juga menarik diri dari kegiatan pembelajaran di sekolah (metode nomor 62) yang menurut mereka tidak pro-sains dan tidak mengajarkan kedaruratan persoalan
iklim global.

Yang terakhir adalah intervensi nirkekerasan. Di sini, pelaku tidak hanya menunjukkan posisinya dan menarik partisipasinya dari praktik tertentu, tetapi juga secara aktif berusaha menghentikan praktik yang ditentangnya itu. Contohnya adalah Mama Aleta Baun dan ibu-ibu di Mollo yang duduk menenun di atas bukit sehingga perusahaan tidak dapat menambang marmer dari bukit itu (metode nomor 173, pendudukan nirkekerasan) atau komunitas Sunda Wiwitan yang berbaring di ruas jalan guna menghalangi proses eksekusi pengambilalihan tanah di wilayah adat mereka (metode nomor 172, blokade nirkekerasan). Para Kartini Kendeng pun masuk ke dalam kategori ini, yaitu metode nomor 158, exposure to the elements. Serupa dengan logika biksu yang membakar diri di tengah Perang Vietnam, ibu-ibu petani Kendeng menempatkan diri dalam “situasi bahaya” guna mendorong pemerintah menghentikan kebijakan mereka.

Bagaimana Aksi Nirkekerasan Bekerja?
Pada tahun 1962, seorang ilmuwan bernama George Lakey mengidentifikasi tiga cara kerja aksi nirkekerasan. Yang pertama adalah konversi, di mana pelaku aksi berhasil mengetuk nurani lawan sehingga lawan tersebut berbalik mendukung tujuan pelaku aksi. Di tengah gerakan People Power 1986 yang menuntut mundurnya Presiden Marcos, tentara Filipina urung maju menghalau demonstran begitu melihat seorang biarawati berlutut dan berdoa di garis paling depan. Para tentara pun tersentuh oleh aksi biarawati tersebut — jika seorang rohaniwan rela mati terlindas tank alih-alih membiarkan para demonstran terluka, pasti tujuan yang diusung gerakan tersebut mulia dan karenanya perlu didukung.

Yang kedua adalah koersi, di mana pelaku aksi tidak memberikan pilihan lain kepada lawan selain berhenti. Contohnya adalah Chico Mendes dan para aktivis Brazil yang merantai diri mereka di pohon-pohon guna mencegah orang-orang yang hendak melakukan penebangan di Hutan Amazon. Di sini, para penebang tidak tersentuh hatinya untuk mendukung ide-ide pelestarian hutan. Akan tetapi, ia terpaksa berhenti menebang karena tidak ingin didakwa membunuh orang.

Yang ketiga adalah persuasi. Jika dibayangkan dalam sebuah spektrum, persuasi ada di antara konversi dan koersi. Di satu sisi, para pelaku aksi belum berhasil membuat pihak-pihak lain sepakat pada tujuan mereka. Akan tetapi, di sisi lain, mereka berhasil menunjukkan bahwa mereka bukan aktor anarkis yang irasional yang pantas menerima kekerasan. Pada titik tertentu, interaksi antara mahasiswa, pelajar, dan kelompok-kelompok yang bergabung dalam #GejayanMemanggil dengan para polisi dapat digambarkan sebagai persuasi. Bisa jadi, institusi kepolisian maupun individu-individu polisi yang bertugas saat itu belum sepenuhnya sepakat dengan tuntutan masyarakat, termasuk soal perlu disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Akan tetapi, polisi teryakinkan bahwa peserta aksi #GejayanMemanggil bukan perusuh melainkan warga negara yang sedang mengekspresikan pendapatnya. Karenanya, alih-alih merespon dengan gas air mata dan water cannon, polisi menjalankan fungsi pengamanan secara nirkekerasan pula — termasuk dengan memodifikasi jalur lalu lintas.

Selain yang di atas, ada cara keempat yang dikenalkan oleh Gene Sharp, yaitu disintegrasi. Di sini, aksi nirkekerasan bekerja perlahan-lahan, di mana pilar-pilar penyokong kekuasaan lawan satu per satu ditarik keluar. Kembali ke contoh dari Filipina, gelombang protes yang ada tidak seketika membuat Marcos jatuh. Perlahan tapi pasti, People Power mendorong individu dan lembaga supayamenarik dukungan mereka terhadap Marcos. Pertama, para staf komisi pemilihan umum menolak memalsukan penghitungan surat suara Marcos. Lalu, gereja Katholik yang dipimpin Kardinal Sin menyatakan mendukung tuntutan rakyat. Tak lama kemudian, pers berhenti mengikutiarahan negara untuk hanya menayangkan berita pro-Marcos, tentara berhenti mengikuti perintah menembak demonstran, dan seterusnya, hingga Marcos terpaksa lari menyelamatkan diri dan keluarganya ke luar negeri.

Mengapa Memilih Metode Nirkekerasan?
Jadi, mengapa kita harus memilih metode nirkekerasan? Relevankah menggunakan metode ini mengingat lawan kita nampaknya bebal, tidak punya nurani, dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan? Jawabannya: justru karena lawan kita demikian, kita harus setia pada nirkekerasan.

Pertama, semakin besar kekuasaan lawan, semakin mudah ia mendelegitimasi tujuan kita. Dengan aksesnya yang besar terhadap alat-alat kekerasan dan media komunikasi, negara yang otoriter dapat dengan mudah mencap kita sebagai warga negara yang subversif, anarkis, irasional, ditunggangi kepentingan politik praktis, potensial rusuh, dan sebagainya. Perusahaan juga mudah saja mengatakan buruhnya malas dan manja, atau mengatakan petani dan masyarakat adat yang tidak mau melepas tanah dan sistem pertanian mereka sebagai kolot, egois, dan tidak propembangunan.

Begitu kita menggunakan kekerasan, mudah bagi lawan mendelegitimasi kita. Pada titik ini, semakin sulit bagi kita menarik simpati, dukungan, apalagi partisipasi warga dalam mencapai tujuan kita. Terlebih lagi, mana mungkin kita bisa menang melawan pihak yang alat-alat kekerasannya lebih canggih dan lebih legitimate daripada kita? Kedua, aneka penelitian menunjukkan bahwa aksi nirkekerasan bisa efektif membawa para pelakunya mencapai tujuan mereka. Peter Ackerman dan Jack DuVall (2000) mengklaim abad ke-21 sebagai abad nirkekerasan, di mana banyak sekali diktator berhasil diturunkan tidak melalui kudeta berdarah tetapi aksi nirkekerasan. Studi Maria Stephan dan Erica Chenoweth (2008, 2011) menunjukkan bahwa tingkat efektivitas aksi nirkekerasan adalah 53%, sedangkan perlawanan dengan kekerasan hanya 26% saja yang berhasil. Juga, penelitian Veronique
Dudouet (2015, 2017) menceritakan beberapa konflik industri dan agraria serta aksi separatisme justru berhasil ketika berubah strategi, dari kekerasan ke nirkekerasan. Merayakan trend ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan mencanangkan 2001 hingga 2010 sebagai dekade budaya perdamaian dan nirkekerasan.

Jadi, alih-alih bertanya apakah aksi nirkekerasan itu efektif, mari bertanya bagaimana menjadikan aksi nirkekerasan efektif. Merujuk pada consent theory of power yang dikenalkan oleh Gene Sharp (1973), aksi nirkekerasan adalah perlawanan yang menyasar sumber-sumber kekuasaan lawan, termasuk di dalamnya sumber daya finansial, legitimasi hukum, kepatuhan warga, dan sebagainya. Pada titik ini, ada empat hal yang perlu diingat.

Pertama, sudahkah kita memilih metode atau kombinasi metode nirkekerasan yang tepat? Apakah metode pilihan kita punya unsur kejut yang bisa mendorong konversi, koersi, dan persuasi — atau jangan-jangan metodenya sudah terlalu lazim dan dapat dibaca lawan? Apakah kategori metode kita — protes dan persuasi, nonkooperasi, atau intervensi nirkekerasan — mencerminkan militansi yang sepadan dengan tingkat konfliknya? Barangkali, untuk isu sedarurat kebakaran hutan atau pemanasan global, demonstrasi (yang masuk dalam kategori protes dan persuasi) tidak cukup.

Kedua, sudahkah kita menyasar pilar kekuasaan yang genting bagi lawan? Apakah metode kita secara efektif menghalangi lawan mendapatkan aneka sumber daya yang mereka butuhkan? Apakah pilihan metode kita bisa membekukan aliran uang, informasi, kepatuhan, dan hal lain yang diperlukan oleh lawan? Dalam rangka mendorong pengesahan sebuah undang-undang, sudahkah kita memainkan hubungan konstituensi antara masing-masing anggota parlemen dengan rakyat yang memilihnya? Dalam rangka mendorong hubungan kerja yang lebih adil dan manusiawi, apakah para konsumen sudah cukup strategis menahan aliran uang kepada perusahaan-perusahaan yang membayar buruhnya di bawah upah minimum regional?

Ketiga, sudahkah kita mengedepankan agen yang sesuai? Di Argentina, perjuangan mencari orang-orang yang dihilangkan secara paksa baru berhasil ketika yang maju ke garis depan adalah para ibu. Dalam isu darurat iklim, orang baru mulai bergerak ketika yang mogok adalah para pelajar. Dalam isu #MeToo, titik balik baru tercapai ketika para laki-laki menunjukkan penolakan mereka terhadap toxic masculinity.

Keempat, sudahkah kita membayangkan endgame dari “permainan catur” kita dengan lawan? Tentu kita bermain catur untuk menang, atau setidaknya remis — bukan sekadar iseng. Tapi jangan lupa, lawan kita pun bermain untuk menang atau remis — bukan untuk kalah. Kalau kita membayangkan bahwa salah satu ujung dari perlawanan kita adalah adanya penyelesaian yang damai di Papua, maka di samping turun ke jalan dan sebagainya, kita perlu menjadi bagian dalam dialog soal Papua. Jika kita membayangkan bahwa salah satu tujuan aksi kita adalah kembalinya militer ke dalam barak, maka tidak cukup bagi kita meneriakkan slogan itu. Kita juga harus terlibat dalam upaya-upaya mendorong profesionalisme militer.

Jadi, alih-alih memperdebatkan efektivitas dan relevansi aksi nirkekerasan, lebih produktif rasanya memastikan aksi nirkekerasan kita efektif dan relevan.

Referensi:
Ackerman, P., & DuVall, J. (2000). A force more powerful. Basingstoke: Palgrave.
Chenoweth, E. and Stephan, M. (2011). Why civil resistance works. New York: Columbia Univ. Press.
Dudouet. V. (2015). Civil resistance and conflict transformation. London: Routledge.
————. (2017). Powering to Peace: Integrated Civil Resistance and Peacebuilding Strategies. International Center on Nonviolent Conflict. Retrieved from http://www.nonviolent-conflict.org
Sharp, G. (1973). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent.
Stephan, M., & Chenoweth, E. (2008). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. International Security, 33(1), 7-44. doi: 10.1162/isec.2008.33.1.7
Weber, T., & Burrowes, R. (1991). Nonviolence: An Introduction. Melbourne: Peace Dossier 27.


Penulis: Diah Kusumaningrum

Refleksi dari Aksi # GejayanMemanggil

Pada tanggal 23 dan 30 September lalu, berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak bersama-sama turun ke jalan dan melancarkan aksi #GejayanMemanggil di tengah tajuk “Reformasi Dikorupsi.” Aksi protes tidak hanya muncul di Yogyakarta, melainkan juga di berbagai kota lainnya seperti Jakarta, Malang, Solo, Semarang, Surabaya, Makassar, dan lainnya. Secara umum, gelombang protes ini muncul secara serentak guna mendesak penundaan dan pengkajian ulang beberapa Undang-Undang (UU) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dianggap bermasalah seperti RKUHP, UU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, dan mendesak pengesahan segera RUU PKS.

Saya sendiri mengikuti jalannya aksi #GejayanMemanggil pertama dan kedua. Pada aksi pertama di 23 September, saya mengikuti aksi sejak pagi dari mulai berkumpul di Taman Sansiro FISIPOL, berjalan ke Bundaran UGM, dan dilanjutkan dengan march menuju Jalan Gejayan. Di aksi kedua tanggal 30 September, awalnya saya memiliki kekhawatiran akan jalannya aksi setelah melihat berbagai bentuk provokasi dan pelintiran beberapa kelompok mengenai tujuan aksi. Namun, pada aksi kedua, teman-teman Aliansi Rakyat Bergerak berhasil membuktikan keselarasan tujuan dengan cara protes yang damai. Setelah mengikuti rangkaian aksi ini, terdapat dua hal yang menurut saya cukup penting untuk diapresiasi.

Pertama, aksi #GejayanMemanggil membuktikan bahwa aksi protes yang nirkekerasan itu bisa dilakukan. Sejak awal, teman-teman di dalam gerakan ini memang sudah menekankan bahwa aksi yang akan dilakukan di Jalan Gejayan adalah aksi damai. Yang dimaksud dengan damai disini adalah aksi yang tidak melibatkan cara-cara kekerasan misalnya seperti merusak fasilitas warga dan umum, tidak melakukan tindak-tindak provokasi kepada siapapun, dan tidak mengganggu jalannya kegiatan warga di sekitar wilayah aksi. Poin ketiga ini bahkan dilanjutkan dengan anjuran agar massa aksi mendukung jalannya perekonomian warga sekitar dengan membeli dagangan dan berbicara dengan para penjual yang sedang bekerja.

#GejayanMemanggil menerapkan dan mengkombinasikan beberapa metode nirkekerasan pada saat aksi kemarin antara lain seperti marching, orasi, die-in (berpura-pura mati), pertunjukan musik, pertunjukan teatrikal, bernyanyi, pengunaan bunyi dan simbol. Pemilihan cara-cara nirkekerasan seperti ini lebih mudah dalam menarik simpati dan dukungan dari warga sekitar dibandingkan dengan cara kekerasan. Selain itu, dengan tidak melakukan kekerasan, peserta aksi tidak memberikan legitimasi bagi pihak manapun untuk melakukan represi atau penyerangan. Apabila hal itu pun tetap terjadi, kesalahan dan tanggung jawab ada pada pihak yang menyerang tersebut.

Satu hal yang terlihat cukup jelas dari aksi di Gejayan kemarin adalah bagaimana hubungan antara massa aksi dengan polisi tetap baik. Polisi-polisi yang hadir saat aksi terlihat tidak membawa senjata dan hadir hanya untuk menertibkan lalu lintas bukan massa aksi. Di sini, peserta aksi dan polisi berhasil menjaga hubungan yang tidak saling mengantagoniskan.

Kedua, hal lain yang membuat saya cukup senang berada di tengah-tengah massa aksi #GejayanMemanggil adalah keberagaman elemen yang ikut berpartisipasi. Mereka meliputi individu atau kelompok aktivis perempuan, mahasiswa Papua, kelompok tani, dan juga pelajar yang ikut pada pelaksanaan aksi kedua. Dari pengamatan saya terhadap proses persiapan dan perumusan tuntutan pada saat konsolidasi pra aksi, saya melihat teman-teman dalam gerakan ini berusaha melibatkan pihak-pihak yang terkait untuk turut merumuskan tuntutan sampai penentuan redaksi kata. Saat merumuskan tuntutan mengenai Papua, maka teman-teman Papualah yang diminta untuk berbagi pengalaman dan pandangan terlebih dahulu. Saat merumuskan tuntutan mengenai RUU PKS, teman-teman komunitas perempuan juga diminta untuk menyampaikan hasil kajian dan pengalaman setelah mengawal lambatnya proses pengesahan RUU ini sejak awal hingga kemarin. Saat merumuskan tuntutan mengenai RUU Pertanahan, teman-teman komunitas petani menyampaikan apa dampak yang akan terjadi apabila RUU tersebut disahkan. Namun, proses perumusan tidak terbatas hanya ditentukan oleh kelompok-kelompok tersebut. Peserta aksi lainnya juga diberikan ruang untuk saling menanggapi dan memberikan masukan pada saat konsolidasi pra aksi.

Dengan menggunakan cara ini, tuntutan yang pada akhirnya disampaikan dalam aksi #GejayanMemanggil tidakmengambang dan asal cetus, melainkan tetap kontekstual dan sesuai dengan kenyataan yang dihadapi oleh masingmasing kelompok yang telah dan akan menerima dampak langsung dari kebijakan pemerintah tersebut. Meskipun demikian, masih ada beberapa catatan penting yang perlu direfleksikan bersama dari gerakan ini dan juga dari tren aksi di beberapa kota lainnya di Indonesia.

Pertama adalah pentingnya memperluas imaji tentang repertoar perlawanan terutama oleh mahasiswa. Saya terlibat dalam sebuah riset bernama Damai Pangkal Damai (DPD) yang mengumpulkan data mengenai aksiaksi nirkekerasan yang dilakukan di Indonesia sejak tahun 1999 atau Reformasi dari salah satu koran nasional, yaitu KOMPAS. Dari pengalaman saya membaca satu per satu lembar koran sepanjang tahun 2004, pilihan metode nirkekerasan yang dilakukan pada aksi kemarin menampilkan bentuk-bentuk yang sama dengan berbagai aksi demonstrasi yang pernah dilakukan di Indonesia. Metode yang paling umum ditemui adalah demonstrasi atau assemblies of protest or support. Biasanya aksi demonstrasi ini akan diikuti dengan penggunaan poster, spanduk, yelyel, aksi teatrikal, atau bernyanyi.

Pengamatan ini terbukti dari temuan awal riset DPD, yang menunjukkan bahwa dari 13.524 data aksi nirkekerasan yang terkumpul (sejak tahun 1999 sampai 2017), sebanyak 5.362 aksi (39.6%) adalah demonstrasi. Sebanyak 2.084 aksi lainnya (15.4%) adalah penggunaan spanduk, poster, dan komunikasi tertulis. Angka ini kemudian disusul dengan penggunaan orasi sebanyak 779 kali (5.8%), blokade secara nirkekerasan/nonviolent obstruction sebanyak 536 kali (4%), marches sebanyak 464 (3.4%), deklarasi oleh organisasi dan institusi sebanyak 349 kali (2.6%), pertunjukan seni peran dan musik sebanyak 328 kali (2.4%), slogan, karikatur, dan simbol sebanyak 186 kali (1.4%), dan pendudukan secara nirkekerasan/nonviolent occupation sebanyak 170 kali (1.3%). Apabila dilihat kembali, rangkaian aksi yang dilakukan di Gejayan tempo hari juga kurang lebih menunjukkan repertoar perlawanan yang sama dengan tren repertoar di Indonesia secara keseluruhan. Bukan artinya aksi ini kurang kreatif, namun ini menunjukkan imaji perlawanan kita yang masih terbatas.

Sharp (1973) menunjukkan terdapat setidaknya 198 macam metode nirkekerasan, yang kemudian dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu protes dan persuasi, nonkooperasi, dan intervensi. Ketiga kategori ini berbeda dalam tingkatan perlawanannya. Protes dan persuasi bertujuan untuk menunjukkan dukungan atau penolakan, nonkooperasi bertujuan untuk menarik diri atau menolak bekerja sama dengan praktik yang dilawan, sementara intervensi bertujuan untuk menghentikan atau mengganggu jalannya status quo. Selain dari blokade jalan dan mengosongkan kelas-kelas, metode-metode yang digunakan pada #GejayanMemanggil tergolong pada kategori protes dan persuasi.

Kedua, kita juga perlu membuat gerakan perlawanan menjadi lebih strategis. Beberapa hari belakangan, muncul pandangan skeptis di kalangan masyarakat Indonesia terhadap efektivitas perlawanan nirkekerasan. Pandangan ini muncul setelah melihat bagaimana berbagai aksi damai yang dimulai oleh mahasiswa dalam tajuk “Reformasi Dikorupsi” pada akhirnya tetap menghadapi represi dari polisi. Bahkan, rasa skeptis ini semakin kuat setelah membandingkan aksi belakangan dengan aksi-aksi damai yang telah lama dilakukan di Indonesia seperti Kamisan di depan Istana Negara yang hingga sekarang tidak menghasilkan pencapaian memuaskan dan tetap menerima represi dari aparat kepolisian. Kegagalan perlawanan kita sebenarnya tidak berada pada pilihan metode nirkekerasannya, melainkan mungkin pada rancangan perlawanan kita yang kurang strategis.

Salah satu cara untuk membuat perlawanan nirkekerasan lebih strategis adalah dengan menyasar lawan yang tepat. Cara terbaik untuk membuat perlawanan tepat sasaran adalah dengan menyerang langsung kepada sumber kekuasaan lawan. Popovic (2007) menjelaskan mengenai pillars of support atau pilar-pilar penyokong kekuasaan yang mencakup institusi kepolisian, militer, lembaga birokrasi seperti badan legislatif dan yudikatif, pegawai negeri sipil, sistem pendidikan, lembaga keagamaan, media yang dikuasai pemerintah, pelaku bisnis, dan komponen masyarakat lokal. Kekuasaan pemerintah bergantung pada kepatuhan setiap elemen yang ada di dalam pilar-pilar ini. Saat orang-orang di berbagai pilar ini memutuskan untuk tidak patuh terhadap pemerintah, maka kekuasaan pemerintah akan semakin terancam.

Perlawanan nirkekerasan yang strategis berusaha menarik dukungan-dukungan di berbagai pilar ini sehingga bisa meruntuhkan kekuasaan lawan. Strategi ini dilandaskan pada pandangan bahwa kekuasaan tidak bersifat monolitik melainkan pluralistik. Untuk berkuasa, pemerintah membutuhkan kepatuhan dari orang-orang di berbagai insititusi yang menyokong keberlangsungannya. Cara menarik dukungan dari pilar ini bisa dengan mengkonversi, koersi, persuasi (Leakey 1962).

Apabila melihat beberapa aksi seperti di Jakarta, Makassar, NTB, dan Medan yang berujung pada bentrokan antara massa aksi dengan kepolisian, mungkin satu hal yang perlu kita lakukan bersama adalah mengubah sikap dalam menghadapi aparat. Daripada menunjukkan sikap yang keras dan mengantagoniskan aparat kepolisian, akan lebih efektif apabila kita melakukan aksi yang membuat para polisi ini turut mendukung jalannya rangkaian protes kita. Memang tidak mudah, apalagi kalau pemahaman mengenai cara-cara nirkekerasan juga tidak dimiliki oleh aparat. Namun, pada akhirnya pilihan untuk setia pada cara nirkekerasan akan membuat pihak kepolisian memiliki legitimasi yang lemah untuk menyerang kita.

Ketiga, kita masih perlu memperkuat ikatan antarelemen masyarakat yang kemarin telah berhasil dipertemukan dalam aksi. Di aksi #GejayanMemanggil, terdapat begitu banyak kelompok dan individu dengan latar belakang berbeda-beda yang memutuskan untuk menyatukan suara dan bersama-sama menunjukkan perlawanan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pertemuan berbagai kelompok ini bisa terjadi karena isu yang dibahas cukup massif dan memang memengaruhi banyak komponen masyarakat. Mungkin apabila isu yang dibahas lebih sempit, misalnya hanya RUU PKS atau RUU Pertanahan saja, dukungan yang datang tidak akan seberagam itu. Maka, salah satu tugas yang perlu kita lakukan dari sekarang adalah untuk semakin memperkuat ikatan yang sudah terbentuk ini.

Aliansi Rakyat Bergerak sudah cukup berhasil menyatukan berbagai kelompok ke dalam satu kategori, yaitu rakyat. Namun, pengkategorian ini mungkin tidak akan bertahan lama dan akan mulai terurai kembali seiring waktu. Yang perlu dilakukan adalah upaya brokering yang secara sengaja dilakukan untuk menciptakan hubungan baru antaraktor yang sebelumnya tidak saling terhubung. Salah satu tantangan besar pergerakan di Indonesia adalah kondisi masyarakat yang terfragmentasi baik antarkelas, gender, agama, dan lainnya. Maka cara untuk menghadapi tantangan ini adalah dengan merawat dan memperkuat hubungan yang interseksional. Dengan adanya hubungan ini akan mempermudah penggalangan dukungan dari satu sama lain setiap kali terdapat masalah baru yang perlu diselesaikan dengan cara perlawanan nirkekerasan.

Terakhir, pentingnya mempersiapkan dan memperkuat kemampuan negosiasi. Di kalangan aktivis pro demokrasi di Indonesia, seringkali negosiasi dengan pihak lawan dilihat sebagai satu kekalahan atau kemunduran. Padahal, untuk mencapai end game dari perlawanan nirkekerasan kita membutuhkan proses negosiasi dengan pihak yang kita lawan. Maka, hal yang perlu dilakukan justru adalah mempersiapkan diri untuk melakukan negosiasi alih-alih menghindari kesempatan-kesempatan dialog dan bersikap keras kepala meminta lawan memenuhi seluruh tuntutan kita tanpa ada proses deliberasi secara langsung.
Kemampuan negosisasi, terutama dalam konflik memang perlu dilatih dan dipertajam. Hal paling dasar yang harus disiapkan sebelum memulai negosiasi adalah batas atas dan batas bawah tuntutan. Penentuan batasan-batasan ini harus dilakukan dengan menerawang satu, dua, atau tiga langkah ke depan yang akan dilakukan oleh lawan, layaknya bermain catur. Dengan mempersiapkan keahlian negosiasi, perlawanan nirkekerasan yang kita lakukan akan bisa menghasilkan pencapaian yang lebih membanggakan dan bukan “manusia-manusia yang seketika ajaib” setelah keluar dari Istana Presiden.

Ingat, negosiasi tidak sama artinya dengan kompromi. Perjuangan demi hak-hak fundamental, seperti kebebasan berpendapat, hak berkeyakinan, kesetaraan gender, hak menentukan nasib sendiri, dan berbagai hak lainnya adalah perjuangan yang tidak boleh diakhiri dengan kompromi. Negosiasi yang dilakukan tidak boleh menanggalkan hak-hak ini dari agen demokrasi yang sedang berjuang. Maka, saat gerakan sipil hendak memilih dan mempersiapkan negosiatornya, satu hal yang pertama kali harus dipastikan adalah keberpihakan orang tersebut terhadap hak-hak orang yang diwakilinya.

Saat ini, agenda Reformasi Dikorupsi menghadapi babak baru setelah anggota baru DPR telah dilantik pada 1 Oktober kemarin.
Aksi-aksi yang kita lakukan beberapa hari lalu masih belum cukup strategis menyasar orang-orang yang berlindung dibalik gerbang gedung DPR. Apabila kita masih ingin mengawal proses penyusunan dan pengesahan berbagai RUU bermasalah kemarin, maka kita perlu memikirkan bentuk aksi nirkekerasan yang bisa menyerang para pejabat DPR ini secara langsung. Tepatnya, kita perlu memikirkan cara nirkekerasan yang bisa efektif memberikan sanksi apabila para anggota DPR masih belum mau bekerja sama untuk menerima suara dan masukan masyarakat sipil.

Penulis : Coory Yohana Pakpahan

Bukan Hanya Demonstrasi: 198 Metode Aksi Nirkekerasan untuk Melemahkan Pilar Kekuasaan

Sejak 23 September lalu, ribuan masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan untuk memprotes pemerintah. Beragam tuntutan disuarakan, mulai dari penolakan terhadap beberapa rancangan undang-undang yang dinilai mencederai demokrasi hingga desakan untuk menghentikan perlakuan represif dan pelanggaran HAM terhadap rakyat. Gelombang protes terbesar sejak Reformasi 1998 tersebut dilakukan dengan cara-cara damai atau nirkekerasan, meskipun tidak dipungkiri bahwa pada beberapa kasus sempat terjadi kerusuhan antar massa aksi dan aparat keamanan.

Satu hal menarik yang baru-baru ini menuai perdebatan di media sosial dan forum diskusi adalah munculnya skeptisisme terhadap penggunaan cara-cara nirkekerasan dalam gerakan-gerakan rakyat. Sebagian warganet mulai mempertanyakan efektivitas unjuk rasa damai bagi upaya penyampaian aspirasi di hadapan negara yang terus-menerus melanggengkan kekerasan. Mereka yang skeptis merasa bahwa negara tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam perebutan kekuasaan, sehingga rakyat yang melawan dengan nirkekerasan tidak akan digubris oleh pemerintah atau bahkan disakiti dan dipersekusi. Skeptisisme ini patut kita cermati kembali. Jika kita menginginkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih damai di masa depan, maka kita perlu membayangkan cara-cara berkonflik yang dalam jangka panjang dapat memutus rantai kekerasan.

Berbagai gerakan damai—seperti Aksi Kamisan, #ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, tolak reklamasi, Petani Kendeng Melawan, dan Aliansi Masyarakat Papua—yang dinilai tidak membuahkan hasil dan malah disambut oleh represi aparat, bukanlah penanda bagi kegagalan aksi nirkekerasan. Alih-alih memadamkan semangat nirkekerasan dalam gerakan rakyat, kita justru perlu memikirkan ulang strategi kita; bahwa barangkali bentuk aksi nirkekerasan yang kita gunakan selama ini belum secara tepat menyasar “lawan” atau struktur kekuasaan opresif yang hendak kita ubah. Tulisan ini akan membahas metode-metode nirkekerasan dalam upaya melawan “pilar-pilar” kekuasaan. Apa saja jenis dan contoh metode nirkekerasan? Bagaimana pemilihan metode nirkekerasan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan gerakan? Metode apa yang berpotensi meningkatkan efektivitas aksi nirkekerasan, namun masih luput dari repertoar gerakan-gerakan masyarakat sipil selama ini?

Aksi Nirkekerasan dan Pilar-pilar yang Mendukung Kekuasaan

Melawan penguasa opresif lewat jalur nirkekerasan adalah sebuah pilihan yang mensyaratkan kita untuk terlebih dahulu memahami cara kerja kekuasaan politik. Kekuasaan tidak secara mutlak dan alamiah dimiliki oleh orang-orang yang berkuasa. Sebaliknya, penguasa dapat berkuasa karena rakyat yang memungkinkannya. Penguasa bergantung pada kepatuhan, ketundukan, dan kesediaan dari masyarakat yang dikuasainya.

Ketundukan masyarakat ini kemudian menjadi sumber kekuasaan yang menurut Popovic dkk (2007) mewujud dalam enam bentuk: (1) otoritas, yakni perpaduan antara kapasitas untuk memerintah dan keyakinan masyarakat bahwa perintah tersebut dapat dilegitimasi; (2) sumber daya manusia, yakni kumpulan orang dan kelompok yang mematuhi dan bekerja sama dengan penguasa baik secara sukarela maupun karena ditekan; (3) pengetahuan dan keahlian yang dipasok oleh para ahli atau cendekiawan kepada penguasa; (4) sumber daya material, seperti kontrol atau akses terhadap kekayaan, sumber daya alam, finansial, serta sarana komunikasi dan transportasi; (5) faktor-faktor tidak berwujud, terdiri atas serangkaian kebiasaan, sikap, nilai-nilai psikologis, kultural, relijius, maupun ideologis yang dapat memengaruhi masyarakat untuk tunduk dan membantu penguasa; dan (6) sanksi, yaitu penggunaan hukuman untuk memastikan ketundukan masyarakat agar penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya. Ketakutan yang muncul dari ancaman ataupun adanya kemungkinan dikenai sanksi seringkali membawa dampak lebih kuat daripada penerapan sanksi itu sendiri. Salah satu inti dari perjuangan nirkekerasan adalah upaya-upaya mengubah pola ketundukan masyarakat agar tidak lagi menyuplai sumber-sumber kekuasaan tersebut.

Sumber-sumber kekuasaan dipertahankan dan dikelola melalui beragam institusi atau kelompok yang mendukung struktur kekuasaan. Institusi-institusi ini dapat disebut sebagai “pilar-pilar dukungan” kekuasaan yang mencakup diantaranya: kepolisian, militer, lembaga birokrasi seperti badan legislatif dan yudikatif, pegawai negeri sipil, sistem pendidikan, lembaga keagamaan, media yang dikuasai pemerintah, pelaku bisnis, dan komponen masyarakat lokal. Dalam logika nirkekerasan, perebutan kekuasaan dilakukan dengan cara-cara untuk memengaruhi orang-orang yang memberi dukungan maupun menjadi bagian dari pilar-pilar tersebut. Tujuannya adalah supaya orang-orang tersebut bersedia mengikis loyalitasnya terhadap lawan kita, dan menolak menyediakan berbagai hal yang melanggengkan sumber-sumber kekuasaan lawan (seperti keahlian, pengetahuan, sumber daya material, tenaga maupun waktu). Aksi nirkekerasan yang kita lakukan sepatutnya mampu memengaruhi individu/kelompok untuk menarik dukungannya terhadap lawan dan mengalihkan dukungan tersebut bagi gerakan rakyat. Alih-alih memukul mundur atau menepis mereka yang selama ini mendukung rezim penguasa, kita dapat melakukan aksi-aksi nirkekerasan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka agar mau beralih mendukung gerakan kita. Lantas pertanyaannya adalah: metode nirkekerasan seperti apa saja yang dapat melemahkan sumber-sumber kekuasaan dan pilar dukungan milik pihak yang hendak dilawan?

198 Metode Aksi Nirkekerasan

Demonstrasi atau unjuk rasa yang seringkali kita lihat di berbagai tempat hanyalah satu dari 198 macam metode aksi nirkekerasan. Gene Sharp (1973) menjelaskan tiga jenis kategori metode nirkekerasan. Pertama, protes dan persuasi, yakni metode-metode yang menggunakan aksi-aksi simbolis untuk mempersuasi dan sebatas menunjukkan bahwa para pelaku aksi sedang menolak, melawan, ataupun mendukung sesuatu. Protes dan persuasi dalam nirkekerasan dapat juga menunjukkan ekspresi perasaan personal atau posisi moral seseorang dalam suatu isu sosial politik. Ada tiga tujuan utama protes dan persuasi: (1) memengaruhi lawan dengan cara memicu perhatian dan publisitas terhadap suatu isu, sehingga meyakinkan lawan untuk berubah. Dapat juga dilakukan dengan memperingatkan lawan, bahwa jika ia tidak berubah, maka akan terjadi kondisi atau aksi yang lebih buruk. (2) berkomunikasi dengan publik ataupun bystanders agar dapat menarik perhatian dan dukungan terhadap perubahan yang dikehendaki. Kemudian (3) memengaruhi kelompok yang menjadi korban atau secara langsung terdampak oleh isu tersebut, untuk mendorong mereka melakukan sesuatu seperti terlibat dalam aksi-aksi nirkekerasan. Contoh protes dan persuasi beraneka ragam, misalnya orasi, menandatangani petisi, mempertunjukkan slogan, poster, spanduk dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, mementaskan drama atau musik, dan parade. Dapat juga dilakukan dengan mengekspresikan kekecewaan/tuntutan melalui aksi-aksi simbolik, seperti membawa payung hitam dalam Aksi Kamisan, membawa keranda mayat atau karangan bunga, dan berdiam diri untuk memperingati kematian suatu tokoh.

Kedua, nonkooperasi, yakni metode aksi nirkekerasan yang mana pelaku aksi secara sengaja menarik diri dari atau menolak bekerja sama dengan orang, institusi, rezim, maupun aktivitas yang sedang dilawannya. Pelaku aksi dapat, misalnya, mengabaikan keberadaan lawannya, berhenti membeli suatu produk, berhenti bekerja, menolak mematuhi aturan hukum, menduduki tempat-tempat umum, atau menolak membayar pajak. Inti dari nonkooperasi adalah melakukan aksi-aksi yang dapat memperlamban, menghentikan, menahan, atau menantang relasi sosial, ekonomi, dan politik yang ada. Nonkooperasi ditujukan untuk menarik atau melemahkan dukungan terhadap individu/kelompok yang dianggap telah melakukan kesalahan atau ketidakadilan. Contohnya dapat berupa mogok kerja, mogok sekolah, secara sengaja tidak mematuhi aturan atau kebijakan lembaga pemerintahan, memboikot barang atau jasa yang dijual, menolak membayar sewa atau pajak secara terorganisir, hingga menduduki jalanan untuk menghentikan arus lalu lintas, kendaraan berat atau menghalangi pegawai pemerintah bekerja.  Salah satu ilustrasi nonkooperasi adalah aksi para petani Kendeng yang menolak pembangunan pabrik semen dengan menduduki tapak pabrik dan tidur di jalan untuk mencegah alat berat yang hendak beroperasi.

Ketiga, intervensi nirkekerasan, yakni upaya-upaya untuk mengintervensi status quo dengan cara-cara yang dapat mendisrupsi dan bahkan mengobrak-abrik pola perilaku, kebijakan, relasi, maupun institusi yang dianggap keliru atau tidak adil. Berbeda dengan dua kategori sebelumnya, intervensi nirkekerasan membawa tantangan bagi lawan yang bersifat langsung dan cepat. Apabila berhasil, efek disruptif dari metode ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Intervensi nirkekerasan berpotensi mendorong perubahan melalui mekanisme psikologis, fisik, sosial, ekonomi, dan politik yang membuat lawan mengakomodasi tuntutan ataupun mengubah pendiriannya. Contoh intervensi psikologis yang populer yaitu aksi menyemen kaki oleh petani Kendeng dan aksi mogok makan selama berhari-hari yang dilakukan Gandhi. Dengan secara sukarela mengekspose diri sendiri terhadap penderitaan atau ketidaknyamanan, pelaku aksi dapat menimbulkan tekanan psikologis, moral atau emosional terhadap pihak lain yang diharapkan untuk berubah atau melakukan tindakan tertentu. Contoh lain yang termasuk dalam intervensi fisik yaitu menduduki suatu fasilitas dengan cara tinggal atau duduk di sana dalam jangka waktu tertentu untuk mendisrupsi pola aktivitas normal dan menciptakan pola baru, misalnya membuka fasilitas itu bagi kelompok yang sebelumnya tereksklusi.

Semua ragam metode nirkekerasan tersebut dilancarkan dengan tujuan untuk membangun simpati atau dukungan yang lebih luas terhadap pelaku aksi nirkekerasan, sekaligus memberi dorongan atau tekanan kepada lawan agar bersedia melakukan perubahan maupun memenuhi tuntutan gerakan. Ketika lawan memilih merespon nirkekerasan dengan brutalitas atau kekerasan, masyarakat mulai mempertanyakan ketidakadilan dan sikap represif lawan terhadap gerakan yang berkomitmen untuk menyuarakan protes secara damai. Dengan strategi dan repertoar yang tepat sasaran, gerakan nirkekerasan dapat menumbuhkan perasaan gelisah, simpati dan kemarahan masyarakat terhadap lawan yang kemudian akan mendorong aksi nyata (misalnya berupa, pemberian dukungan moral maupun material bagi gerakan, ikut melakukan aksi nirkekerasan dengan protes, mogok kerja, ataupun menciptakan tekanan politik dan ekonomi kepada penguasa).

Menilik Penggunaan Metode Nirkekerasan di Indonesia Belakangan Ini

Tim penelitian Damai Pangkal Damai dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada mengompilasi data aksi-aksi nirkekerasan yang terjadi di Indonesia sejak Reformasi hingga tahun 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 13,524 data aksi nirkekerasan yang terkumpul, sekitar 88.3% termasuk dalam kategori protes dan persuasi (umumnya berupa unjuk rasa/demonstrasi). Sisanya, hanya 7% aksi menggunakan metode intervensi nirkekerasan dan 4% menggunakan nonkooperasi. Kecenderungan gerakan-gerakan untuk menitikberatkan penggunaan metode protes dan persuasi sebagai repertoar aksi ini tampaknya juga muncul dalam gelombang protes #ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, #MahasiswaBergerak di beberapa kota pada September silam.

Sebagian besar metode yang digunakan dalam aksi-aksi di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan kota-kota lainnya masih berfokus pada jenis protes dan persuasi. Bentuk metodenya termasuk: membawa berbagai poster, spanduk, banner, menampilkan simbol-simbol tertentu (seperti tanda sama dengan [=] dalam aksi #GejayanMemanggilJilid2), orasi, menyanyikan yel-yel, menampilkan slogan, membuat gambar dan tulisan di dinding, berjalan kaki dari satu titik lokasi ke lokasi lain, menampilkan aksi teatrikal, menampilkan pertunjukan musikal, menandatangani petisi change.org, dan membuat deklarasi sikap bersama.

Serangkaian metode protes dan persuasi tersebut di satu sisi mampu meningkatkan publisitas dan dukungan dari masyarakat luas, bahkan pada derajat tertentu dirasa telah menarik perhatian pemerintah selaku pihak yang dilawan atau dituntut. Namun, sebagaimana keresahan terhadap gerakan-gerakan lain yang telah berlangsung bertahun-tahun, apakah melakukan metode protes dan persuasi saja sudah cukup untuk melemahkan sumber-sumber kekuasaan dan pilar pendukung kekuasaan lawan? Pada dasarnya, aksi-aksi belakangan ini juga memenuhi kategori nonkooperasi melalui repertoar untuk mengosongkan ruang-ruang kelas dan kantor yang banyak beredar di media sosial. Namun perihal yang perlu dicermati lebih jauh adalah sejauh mana para pelaku aksi menyadari tujuan dari metode nonkooperasinya dan apakah metode nonkooperasi telah dilakukan secara strategis dan terkoordinir (misal dengan mempersuasi elemen masyarakat yang lebih luas, selain mahasiswa dan pelajar, untuk ikut melancarkan nonkooperasi). Selain itu, perlu juga menelusuri metode-metode nirkekerasan lain yang dapat memperbesar tekanan kepada lawan supaya bersedia mengubah sikapnya.

Meskipun beberapa bentuk metode intervensi nirkekerasan—seperti aksi gerakan petani Kendeng yang menyemen kaki dan Aksi Kamisan yang berdiam diri di depan istana negara setiap Kamis sejak 12 tahun silam—terlihat belum mencapai tujuan finalnya, bukan berarti metode tersebut tidak membuahkan hasil apapun. Bukan pula berarti kita tidak perlu menjajaki kemungkinan untuk melakukan metode-metode nirkekerasan lain dalam aksi-aksi di masa mendatang. Bahkan pada kenyataannya, gerakan-gerakan akar rumput selama ini telah meningkatkan perhatian dan dukungan masyarakat di tingkat nasional maupun internasional. Berkat aksi nirkekerasan yang dilakukan gerakan-gerakan tersebut, orang-orang yang dulunya hanya bystanders kini mulai ikut gelisah dan marah. Semakin banyak forum diskusi atau dialog di ruang-ruang publik yang berinisiatif mengangkat diskursus tentang isu yang sedang diperjuangkan gerakan-gerakan nirkekerasan.

Struktur kekuasaan opresif yang berusaha kita lawan memang memiliki akses kuat terhadap berbagai sumber kekuasaan, sehingga menyebabkan konflik antara rezim penguasa dan gerakan rakyat menjadi bersifat asimetris. Hal ini mungkin menuntun pada anggapan bahwa jalan kekerasan dirasa seolah lebih cepat dan efektif untuk membawa perubahan. Namun, barangkali kita perlu memikirkan ulang pilihan kita untuk melawan melalui cara-cara kekerasan. Di dalam perebutan kekuasaan yang senantiasa timpang, apakah melawan dengan kekerasan dapat melemahkan pilar-pilar dukungan yang menyokong rezim penguasa, atau justru sebaliknya, memperkuat dukungan terhadap penguasa? Apakah jalan kekerasan memungkinkan kita untuk menarik lebih banyak dukungan publik ke dalam agenda perjuangan, ataukah malah akan menimbulkan antipati sehingga menjauhkan dukungan bagi gerakan-gerakan rakyat? Pertanyaan-pertanyaan ini sepatutnya terus kita ingat dalam upaya pencapaian tujuan-tujuan gerakan, sekaligus menjadi bahan untuk mengevaluasi dan memperbaiki strategi aksi nirkekerasan. 

Penulis : Husna Yuni Wulansari

            

 

 

 

 

 

 

Jogja Creative Industry Forum: Platform Pertemuan dan Diskusi Praktisi Industri Kreatif Yogyakarta

Menurut Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), saat ini industri kreatif menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, nilai ekspor Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya mendudukki peringkat ke-8 nasional dengan nilai ekspor produk ekonomi kreatif sebesar 1,26%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah dan daya saing industri kreatif di DIY belum mencapai potensi maksimal karena terdapat beberapa faktor yang menghambat kemampuan ekspor dan usaha para pelaku industri kreatif untuk terintegrasi dalam pasar global.

Berangkat dari persoalan tersebut, peserta kelas Global Value Chain Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), bekerja sama dengan Institute of International Studies dan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM menyelenggarakan Talkshow Jogja Creative Industry Forum (JCIF), pada Rabu, 18 September 2019 berlokasi di Digital Library Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

JCIF bertujuan menjadi wadah bertemunya perwakilan dari beragam latar pendidikan dan profesi yang berkenaan dengan industri kreatif sekaligus menjadi sarana inisiasi strategi think-tank dalam sektor industri kreatif. Kegiatan dikemas dalam bentuk talk show guna memberi ruang pada pelaku usaha industri kreatif, pemerintah, akademisi serta publik untuk berdikusi mengenai tantangan dan peluang dalam sektor ekonomi kreatif di DIY, publik pun dapat ikut serta berdiskusi dalam kegiatan tersebut.

Talk show JCIF dibagi dalam dua sesi, di mana sesi pertama membahas seputar sinergi yang perlu dibangun antara pemerintah dan pengusaha dalam meningkatkan sektor industri kreatif DIY di pasar global, sementara sesi kedua membahas mengenai potensi rencana strategis yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam rangka upgradingguna memasarkan produk dan jasanya.

Sesi hari itu dibuka oleh Rendro Prasetyo, penyuluh Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi DIY dengan memberikan gambaran mengenai industri kreatif di Yogyakarta. Rendro menyatakan bahwa industri kreatif di Yogyakarta memiliki potensi yang besar tetapi pelaksanaannya belum optimal. Selain itu, terdapat beberapa peluang yang harus dimanfaatkan, seperti tingginya jumlah sumber daya manusia kreatif di Yogyakarta; adanya upaya aktif dari komunitas industri kreatif; adanya dukungan perguruan tinggi; adanya dukungan Sekolah Menengah Kejuruan; dan adanya citra Yogyakarta sebagai kiblat industri kreatif. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula dalam memaksimalkan potensi-potensi tersebut, seperti pembagian urusan industri kreatif antar operasi daerah yang belum jelas; belum adanya pangkalan data industri kreatif yang baik; banyaknya permasalahan di industri kreatif; industri kreatif yang mudah puas dan tidak melakukan upgrading diri; serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang belum jelas.

Talk show dilanjutkan dengan sharing dari pemilik industri kreatif. Pemilik industri kreatif yang hadir pada kegiatan hari itu datang dari berbagai klaster, termasuk klaster industri fesyen, industri daur ulang, industri kesehatan berbasis komunitas, serta industri kuliner. Dalam diskusi tersebut, para pelaku industri kreatif membagikan beberapa tips terkait melakukan usaha industri kreatif di Yogyakarta.

Salah satunya ialah Drg. Ferry Yuliana Syarif, founder dari Gendhis Bag yang bergerak dalam industri fesyen, menyatakan bahwa dalam menjalankan industri kreatif segala aktivitas yang dilakukan harus dari hati, dalam artian semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan bukan hanya berorientasi pada materi. Prinsip “bisnis dari hati” ini tampak dari cara Gendhis Bag berbagi tentang cara produksi ke berbagai industri mikro di aneka daerah di Indonesia hingga mengembangkan sumber daya manusia yang ada.  Tips lainnya yang dibagikan Drg. Ferry ialah harus adanya pengembangan bisnis dengan basis business-to-business (B2B), selalu memiliki inovasi dan kreativitas, tim yang solid, dan sosial media yang kuat.

Senada dengan Drg. Ferry yang memiliki dampak sosial dalam menjalankan industri kreatif, Sekti Mulatsih, founderdari Rakyat Peduli Lingkungan atau lebih dikenal dengan sebutan RAPEL juga dihadirkan untuk berbagi mengenai usaha yang ia jalankan.  Inisiasi RAPEL lahir dari kegelisahan Sekti mengenai lingkungan karena ditemukannyamissing link dalam proses pengolahan sampah di Indonesia. Alhasil, RAPEL lahir sebagai industri yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Yogyakart

Pandangan dari para pemilik industri kreatif tersebut kemudian dilengkapi dengan pandangan dari beberapa pakar yang dunianya bersinggungan dengan industri kreatif. Pakar-pakar tersebut meliputi Drs. Prijo Mustiko, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, yang menyatakan bahwa perlu adanya kerjasama quadrohelix di antara akademisi, bisnis, komunitas, dan birokrasi pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif; serta Dian Prijomustiko dari Bali Industry Creative Center yang menggarisbawahi beberapa aksi yang harus diambil oleh pemerintah apabila ingin mengembangkan industri kreatif, yakni harus adanya “burning platform”, reviu regulasi yang sudah ada, kebijakan yang mengatur industri kreatif, serta rencana strategis pemerintah.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara

Beyond the Great Wall #4 : Cina : Masa Lalu dan Masa Depan

Masa lalu dan masa depan adalah dua periode kontradiktif yang seringkali tidak dapat dibahas dalam satu sesi diskusi. Namun, dalam konteks sebuah negara, masa lalu dan masa depan menyimpan signifikansi yang sama dan tidak kalah penting. Dibalik peningkatan perannya dalam konstelasi politik global, Cina tentunya memiliki masa lalu yang kaya dan patut untuk dibahas. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil Cina di dalam politik global, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja masa lalu Cina yang juga menjadi landasan Cina di masa modern. Kontradiksi diantara dua kata kunci “masa lalu” dan “masa depan” inilah, yang menjadi topik dari Forum Beyond The Great Wall kali ini.

Edisi #4 Forum Beyond The Great Wall (BTGW) memiliki tajuk “Cina : Masa Lalu dan Masa Depan” untuk menyesuaikan disimilaritas di antara materi yang dibawakan, kegiatan BTGW menghadirkan Irfan Halim S.Psi, Asisten Klinik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Arindha Nityasari S.IP, Peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada. Berbeda dengan topik-topik diskusi BTGW sebelumnya, diskusi kali ini mengangkat tema yang menggambarkan dua aspek kontradiktif atas Cina. Irfan menyinggung masa lalu Cina dengan membahas Uighur lewat perspektif psikologi sejarah dan bagaimana isu ini dikaitkan dengan ilmu Hubungan Internasional, sementara Arindha memandang masa depan Cina dengan mendiskusikan prospek dan tantangan perkembangan Artificial Intelligence di Cina dengan mereview buku “A.I Superpowers : China, Silicon Valley and The New World Order” karya Kai Fu Lee.

Irfan memulai sesi pertama dengan memaparkan materi terkait sejarah etnik Uighur yang selama ini menerima diskriminasi dan tersegregasi dari masyarakat maupun pemerintah Cina. Ilmu Psikologi dan Ilmu Hubungan Internasional yang sekilas tidak dapat disandingkan bersama, menjadi landasan Irfan untuk mengangkat isu ini. Di mana, keduanya relevansi ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan mandat Konstruktivisme. Sebagai sebuah ilmu yang bersifat micro-oriented, tentunya Ilmu Psikologi akan kesulitan memberikan analisis makro yang dibutuhkan dalam menganalisa dunia hubungan internasional. Namun, konstruktivisme, dalam hal ini, hadir untuk memahami sejarah maupun struktur sosial yang ada dan dapat dikaitkan dengan Ilmu Psikologi yang berusaha memahami aktor-aktor, yang bertindak dipengaruhi oleh socio-environment, di dalam suatu peristiwa.

Dalam konteks relasi Cina-Uighur, Irfan menekankan bahwa bahasa dan narasi berkaitan erat dengan perspektif masyarakat internasional atas isu tersebut. Narasi yang dibuat oleh masyarakat Uighur tentang bagaimana opresi Cina, tentunya berlawanan dengan narasi pemerintah Cina yang menganggap bahwa Uighur merupakan sebuah gerakan separatis yang sistematis. Lebih jauh, Irfan memaparkan kasus di mana pemerintah Cina memfabrikasi gerakan damai atau gerakan kecil untuk membuat negara sebagai sebuah narasi “pembebasan” masyarakat Uighur untuk melawan gerakan separatis. Dalam kasus status Xinjiang pun terdapat perbenturan narasi. Pada satu sisi, Xinjiang dianggap pemerintah Cina sebagai sebuah daerah otonom, sementara Uighur mendukung pendirian Turkistan Timur.

Dalam relasinya dengan negara lain dan dalam merespon tuduhan opresi terhadap Uighur, pemerintah Cina cenderung bersikap pasif dan defensif. Cina menganggap urusan Uighur adalah sebuah urusan internal dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Cina justru mengkritisi kembali sikap hipokrit dan bias negara-negara lain yang mengkritik kebijakan dalam negeri Cina. Hal ini juga berhubungan dengan kontrol media sosial yang diterapkan pemerintah Cina, di mana semua konten media sosial terkait Uighur dapat diawasi oleh pemerintah.  Selain itu, menurut Irfan, narasi Indonesia tentang Uighur yang membawa slogan “Solidaritas Sesama Muslim” kurang tepat sasaran karena latar budaya Uighur yang sebenarnya multietnik.

Pada penghujung sesi pertama, Irfan menyimpulkan paparannya dengan menyatakan bahwa eksistensi narasi yang berbenturan dan polarisasi dunia internasional sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap konflik ini. Beberapa negara yang masih memiliki kepentingan dan kerjasama dengan Cina tidak begitu vokal dalam mengangkat isu opresi Uighur dan cenderung membiarkan Cina menjalankan kebijakan dalam negerinya. Di sisi lain, beberapa negara membingkai kasus ini sebagai sebuah opresi etnik dan meletakkan pemerintah Cina pada posisi antagonis utama dalam narasi tersebut, dan Uighur sebagai korban opresi pemerintah. 

 

 

Pada sesi kedua, BTGW dilanjutkan dengan pemaparan hasil reviu buku oleh Arindha Nityasari. Artificial Intelligence (AI) sendiri adalah kemampuan mesin untuk mengadaptasi beberapa sifat manusia, seperti reasoning, berpikir logis, dan memberi preferensi pilihan. Secara garis besar, buku ini menceritakan kondisi teknologi global, sejarah perkembangan teknologi di Cina, dan kelembagaan serta ekosistem teknologi di Cina. Kemajuan yang ada membawa beberapa perubahan bagi Cina, salah satunya, revolusi Cina dari age of discovery, yang berorientasi pada penemuan dan penciptaan sesuatu, menjadi age of implementation yang berfokus pada implementasi produk dan teknologi. Perubahan lainnya yang terjadi adalah pergeseran Cina dari age of expertise, dengan orientasi sebagai ahli teknologi, menjadi age of data, dengan munculnya tren analisa data. Di era yang semakin maju ini, analisa data tentunya menjadi modal yang penting, mengingat AI yang berbasis pada data. 

“Sekarang, siapa yang mempunyai data, maka dialah yang powerful,” tutur Arindha.

Kondisi ini membuat semua negara berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin data. Karenanya, Cina kini ada pada posisi yang unggul sebab rakyatnya rela memberikan data demi kemudahan hidupnya.

Salah satu hal menarik dari buku ini yang turut diangkat oleh Arindha adalah budaya copycat di Cina. Cina mengakui bahwa copycat merupakan kunci perkembangan teknologi di Cina karena latar belakang ekonomi Cina yang awalnya bergantung pada manufaktur dan produksi sendiri, bergeser menjadi bergantung pada mengikuti produk-produk lain sebagai proses transfer teknologi. Ekosistem AI Cina terletak pada para gladiator atau para peniru pengusaha dan dukungan pemerintah dengan data berlimpah didukung dengan adanya insinyur AI, meski masih dalam jumlah terbatas. Hal ini membuat pemerintah Cina berupaya meningkatkan pengembangan Greater Bay Area di Cina yang sangat technology-oriented, bahkan disebut Silicon Valley versi Cina, sebagai usaha memfasilitasi kebutuhan Cina akan insinyur AI.

Dalam buku ini, dijelaskan pula beberapa perbedaan antara Cina dengan Silicon Valley. Di mana, Cina cenderung lebih market-driven sehingga mengikuti keinginan pasar, sementara Silicon Valley cenderung value-driven sehingga memiliki dorongan untuk terus berinovasi dan tidak berbasis keinginan pasar. Selain itu, Cina lebih bersifat survival-oriented sedangkan Silicon Valley cenderung lebih bersifat innovationoriented.

Di akhir buku, dipaparkan bahwa terdapat empat gelombang permasalahan yang fundamental, gelombang pertama adalah internet AI, gelombang kedua adalah business AI, gelombang ketiga adalah perception AI, dan yang terakhir adalah autonomous AI, di mana tiga perusahaan besar Cina mulai menciptakan autonomous AI untuk menganalisa dan membaca tren masyarakat yang dapat disesuaikan dengan algoritma. 

Di penghujung acara, Arindha menutup pemaparan dengan pertanyaan reflektif bagi peserta diskusi “Bukan siapakah super power-nya, tetapi siapkah kita dengan era yang belum pernah terjadi sebelumnya?”


Penulis Berita : Handono Ega, Raditya Bomantara & Denise Michelle

Penyunting : Sonya Teresa Debora & Thifani Tiara Ranti

CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia

CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia

Pendekatan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi terduga eks-terorisme ialah deradikalisasi. Proses ini dilakukan dengan memoderasikan pemahaman dan mengembalikan orang-orang yang telah terpapar radikalisme untuk kembali memahami Pancasila dan UUD 1945. Namun, hingga kini efektivitas maupun alternatif dari pendekatan ini masih diperdebatkan.

Guna membahas deradikalisasi dan perdebatan yang mengitarinya secara lebih jauh, pada Kamis (29/8), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) yang ke-3 dengan mengangkat tema “Mempelajari dan Mencari Pendekatan Alternatif dalam Diskursus dan Kebijakan Deradikalisasi di Indonesia”. Kegiatan ini menghadirkan Ustad Abu Tholut Al-Jawiy, pemerhati gerakan Islam, dan Hardya Pranadipa, mahasiswa Master of Arts Human Rights, Gender, and Conflict Studies: Social Justice Perspective di International Institute of of Social Studies (ISS) of Erasmus University Rotterdam. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang BA 101 FISIPOL UGM dan terbuka untuk umum.

Dalam membahas pendekatan deradikalisasi di Indonesia, Pranadipa, sebagai pembicara pembuka pada diskusi hari itu, melihat bagaimana wacana deradikalisasi merupakan wacana dominan terkait penanganan terduga eks-teroris di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana pembentukkan wacana deradikalisasi dilakukan oleh elemen-elemen kunci di Indonesia, di mana narasi deradikalisasi dapat ditemukan dalam instruksi Polri maupun TNI, program-program NGO lokal dan internasional, laporan pemerintah dan think tank, serta berbagai program pemerintah.

Menurut Pranadipa, tujuan akhir deradikalisasi ialah agar terduga dan tertuduh eks-teroris berpindah ideologi dari jihad kekerasan menjadi Pancasila. Dalam menjalankan pendekatan ini, terduga dan tertuduh teroris menjalani proses rehabilitasi yang menjauhkan mereka dari paham radikalisme, di mana proses ini jauh dari praktik penahanan konvensional. Dengan pembinaan dan pelatihan yang intens selama proses rehabilitasi, terduga dan tertuduh teroris dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat untuk mengembangkan potensi napi. Melalui proses ini, ideologi yang selama ini dipegang oleh terduga dan tertuduh teroris diubah dengan menanamkan pemahaman keislaman yang lebih moderat, serta menumbuhkan nasionalisme dan loyalitas kepada Pancasila.  Pendekatan deradikalisasi di Indonesia ini turut dikuatkan dengan adanya PP. No. 99 tahun 2012.

Namun, Pranadipa menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak selalu berhasil. Setidaknya terdapat empat hal yang menghasilkan respon penolakan dari terduga dan tertuduh eks-teroris, yakni tata cara pelaksanaan program; desain program: agama, bangsa, dan “orang luar”; komunikasi; serta relasi dan struktur sosial di dalam lapas pemasyarakatan. Pranadipa menyatakan bahwa hal-hal ini diakibatkan oleh meningkatnya grievances yang sejalan dengan menurunnya trust.

Senada dengan Pranadipa, Ustad Abu Tholut pula menyampaikan beberapa kritik bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia. Menurut Abu Tholut, ada beberapa isu mengenai terorisme yang terabaikan, di mana isu terorisme dipengaruhi oleh proxy war diantara negara negara maju yang berebut pengaruh lewat organisasi paramiliter teroris. Lebih jauh, terorisme dapat dilihat sebagai bentuk konspirasi intelijen yang dinisiasi negara maju untuk menghindari deployment pasukannya sendiri ke dalam zona konflik yang diperebutkan. Abu Tholut menekankan bahwa deradikalisasi sangat berhubungan dengan politik, karena konstelasi politik global sangat mempengaruhi perkembangan terorisme.

Selain itu, masih terdapat kecenderungan untuk melakukan generalisasi paham-paham keislaman yang berbeda-beda yang dianut oleh para terduga dan tertuduh eks-teroris. Padahal, aliran maupun paham yang dianut sangatlah beragam. Generalisasi ini berujung pada pendekatan yang monolitik kepada para tertuduh maupun terduga eks-teroris, sehingga program tidak selalu efektif.

Untuk memaksimalkan pendekatan terhadap terduga dan tertuduh eks-teroris, Pranadipa dan Ustad Abu Tholut turut memberikan sarannya masing-masing. Pranadipa menegaskan bahwa pihak pemerintah maupun yang berkaitan harus memahami adanya struktur kuasa dan relasi sosial dalam blok-blok lembaga pemasyarakatan yang dialami oleh terduga. Selain itu, pemerintah harus memperbaiki komunikasi BNPT dan lembaga lain, melihat kepercayaan napi terhadap elemen-elemen dari luar yang masuk, serta perlunya membangun kepercayaan. Sementara, Ustad Abu Tholut menyatakan bahwa dalam melaksanakan pendekatan melalui program-programnya, pemerintah haruslah melihat radikalisme sesuai dengan konteks politik global yang ada mengingat pengaruhnya yang besar bagi kondisi domestik di Indonesia. Selain itu, generalisasi paham keislaman tertuduh dan terduga eks-teroris yang membuat program tidak efektif haruslah diubah. Pemerintah perlu melakukan metode penanganan yang berbeda-beda agar tujuan yang diidealkan dapat terwujud.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara