Humanitarian Talk : Mencari Jalan Baru Damai Papua
Jumat, 5 Oktober 2019, Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum diskusi Humanitarian Talk bertajuk “Mencari Jalan Baru Damai Papua” di Ruang Sidang Dekanat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Forum ini diselenggarakan sebagai respon atas isu kekerasan dan kerusuhan di Papua yang memuncak di Wamena. Berawal dari ide Dr. Luqman-Nul Hakim, dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, kegiatan ini dibungkus dengan format diskusi akademik yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan isu di Papua, mulai dari dosen berbagai departemen, tenaga riset dari aneka pusat studi UGM, serta Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, dihadirkan tiga pembicara yang memiliki perhatian khusus dengan isu Papua, yakni, Dr. Richard Chauvel dari Asia Institute, University of Melbourne yang sempat menjabat sebagai konsultan International Crisis Group in Papua; Amiruddin Al-Rahab, komisioner Komnas HAM dan koordinator Penegakkan HAM sekaligus aktivis di Papua Resource Center; Fransiskus Agustinus Djalong, M.A., peneliti senior PSKP sekaligus Dosen Departemen Sosiologi UGM yang memiliki fokus kajian konflik dan perdamaian dalam kerangka interlinkage security, development dan democracy. Ketiga pembicara bergantian memaparkan materinya sebelum diikuti oleh sesi tanya jawab dan diskusi.
Diskusi dibuka dengan pemaparan oleh Richard Chauvel yang memaparkan pandangannya terkait eskalasi konflik di Papua. Menurut Richard, konflik Papua memiliki sejarah yang sangat panjang dan menjadi awal dari konflik yang sering terjadi belakangan ini. Identitas Papua menjadi suatu isu yang sensitif, di mana masyarakat Papua yang terlibat dalam program urbanisasi ke Jawa oleh pemerintah pusat dengan tujuan menumbuhkan nasionalisme serta menguatkan identitas ke-Indonesia-an, tetapi isu rasisme dan diskriminasi yang ditujukan kepada masyarakat Papua justru membuat identitas Papua menjadi lebih kuat. Misalnya, kasus kerusuhan yang terjadi dengan melibatkan kelompok mahasiswa Papua yang sempat terjadi di Surabaya belum lama ini. Seolah belum cukup, masalah juga diperkeruh oleh pemerintah yang seringkali menggunakan militer dan aparat kepolisian untuk “memadamkan” gerakan nasionalisme Papua, alih-alih memilih jalan negosiasi dan dialog dengan representasi masyarakat.
Di sisi lain, isu rasisme juga muncul saat para pendatang datang ke Papua. Identitas ras yang berbeda justru menciptakan sebuah segregasi yang justru merugikan dan menyakiti masyarakat Papua di tanahnya sendiri. Perlakuan tidak adil dari pemerintah memperkeruh suasana, di mana segala kasus kerusuhan dan kekerasan dibungkus sebagai problematika dan juga kesalahan masyarakat Papua yang alih-alih menerima heterogenitas Indonesia, malah memilih menyuarakan identitas sebagai masyarakat Papua ketimbang identitas sebagai bagian dari Indonesia. Padahal, masyarakat Papua, dalam kasus ini, justru menjadi korban dari diskriminasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat, hingga sesama kelompok masyarakat. Oleh karena itu, Richard juga mengajak para peserta diskusi untuk memandang konflik di Wamena dengan konteks yang lebih luas.
Pada sesi kedua, Amiruddin memaparkan analisisnya mengenai akar permasalahan di antara hubungan pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Papua, bukan hanya menjadi provinsi yang paling jauh dari pemerintah pusat, kebijakan Papua juga terasa paling jauh dibincangkan. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman pemerintah pusat akan kepentingan masyarakat Papua. Berawal dari pemekaran provinsi, Papua telah menjadi subjek kebijakan yang salah sasaran. Hal ini tercermin pada kebijakan -kebijakan tiap presiden untuk Papua yang selalu berbeda, dan tidak pernah berkesinambungan, di mana kebijakan untuk Papua yang telah digagas oleh satu presiden hanya akan di-’reset’ kembali oleh presiden selanjutnya dengan kebijakan yang baru sesuai dengan apa yang dirasakan pemerintah berkuasa tentang latar belakang masalah Papua. Akibatnya, Papua seolah terasing dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat karena kebijakan pusat yang tidak tepat sasaran. Lebih jauh lagi, Amiruddin juga mengatakan bahwa aksi kekerasan dan kerusuhan yang muncul belakangan ini, seolah dipandang sebagai murni kesalahan masyarakat Papua, padahal pada kenyataannya pemerintah pusat juga turut bersalah dalam memicu situasi tidak kondusif ini.
Dalam mengidentifikasi masalah di Papua, pemerintah pusat juga telah melakukan kesalahan, di mana dialog yang dilakukan oleh pemerintah pusat cenderung ditujukan dengan segelintir orang dan kelompok yang justru memiliki kepentingan sama dengan pemerintah pusat, alih alih menyuarakan kepentingan masyarakat Papua. Pada akhirnya, pemerintah berdalih bahwa kepentingan dan aspirasi masyarakat Papua telah terpenuhi, meskipun pada kenyataannya, pemerintah pusat tutup mata atas aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh representasi masyarakat, dan justru menjustifikasi ketidakpeduliannya lewat dialog yang tidak mencerminkan suara masyarakat Papua. Problematika inilah yang memicu munculnya rasisme dan alienasi terhadap masyarakat Papua, yang notabene menjadi korban dari inkompetensi pemerintah pusat dalam mewadahi aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua.
Pada sesi terakhir, Frans menutup sesi pembicara dengan mengangkat seputar isu rasisme yang muncul dan berujung kepada masalah yang tidak kunjung berakhir. Frans menyatakan, bahwa rumusan masalah akan konflik Papua tidak dapat dimonopoli karena rumitnya sejarah konflik tersebut. Kita tidak boleh melupakan bahwasanya Papua pun memiliki identitas yang bersifat jamak, dan tidak bisa seterusnya ditekan untuk menyingkirkan identitas Papua dan menggantikannya dengan identitas Indonesia, sementara masyarakat Papua masih menerima diskriminasi dan menjadi subyek rasisme dari berbagai pihak, dan ironisnya, negara turut berperan dalam menciptakan situasi tersebut. Kebijakan negara yang cenderung menganak-tirikan Papua pun turut memicu rasisme dan sudah dapat digolongkan sebagai sebuah state crime. Kebijakan Pemerintah pusat yang memarginalisasikan masyarakat Papua turut ambil andil dalam memelihara rasisme yang ditujukan kepada masyarakat Papua.
Seusai ketiga pembicara memaparkan materinya, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab untuk mendiskusikan tema sekaligus menutup acara. Tidak terasa, sesi tanya jawab yang seharusnya hanya dialokasikan sebanyak 1 sesi dengan 3 orang penanya, harus diperpanjang menjadi dua sesi karena minat para audiens, terutama dari perwakilan mahasiswa Papua yang hadir. Sesi tanya jawab berjalan dengan progresif, karena banyak peserta yang ingin mengungkapkan pertanyaan dan juga pendapatnya tentang isu Papua, memenuhi tujuan awal forum ini untuk berbagi informasi dan pengetahuan tentang konflik Papua.
Rumitnya konflik Papua mengarahkan kita kepada sebuah situasi, dimana konflik ini sudah tidak lagi hanya tentang rasisme semata. Kombinasi dari state crime yang memicu rasisme, framing dimana pemerintah cenderung membuang muka dan tidak peduli akan Papua, identitas Papua yang semakin menguat karena rasisme yang mereka terima dan faktor-faktor lain menjadikan resolusi konflik ini sulit dicapai. Untuk mencari jalan baru untuk damai di Papua, diperlukan niat yang baik dari semua aktor yang terlibat untuk duduk bersama, mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, dan kemudian mencari jalan untuk resolusi konflik berkepanjangan ini. Kita tidak boleh lupa, Papua adalah bagian dari Indonesia dan masyarakat Papua adalah saudara kita. Untuk mencari jalan damai, diperlukan dialog yang memfasilitasi aspirasi dan keluhan yang selama ini dipendam oleh masyarakat Papua.
Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Thifani Tiara