Entries by iis.fisipol

Rilis Pers #2 Sengketa Perairan Natuna antara Pemerintah Indonesia dengan Cina : Legalitas Nine Dash Line

Selasa (14/1) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas dua isu penting dalam politik internasional yang mengawali tahun 2020 ini. Salah satunya adalah sengketa perairan Natuna yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Cina.

Indrawan Jatmika, selaku peneliti IIS menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia cenderung bergerak terlalu lambat dan kurang responsif dalam menanggapi aksi yang dilakukan Cina di Laut Natuna Utara dengan masuknya kapal nelayan dan patroli penjaga pantai yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan teritorial Indonesia. Cina kerap menggunakan latar historisnya, yaitu nine dash lines sebagai landasannya dalam mengklaim wilayah Laut Cina Selatan. Padahal nine dash lines ini jelas bertentangan dengan UNCLOS dan bersinggungan dengan batas ZEE Indonesia.

“Langkah yang diambil Indonesia saat ini cenderung mengobati dibandingkan mencegah, karena isu di Laut Cina Selatan sudah bergulir ketika awal dekade 2010 terutama di tahun 2013-2014 ketika Cina mulai memiliki power akibat perkembangan ekonomi yang berkembang pesat,” ujar Indrawan.

Sejak awal pemerintahannya di tahun 2014, Jokowi merasa bahwa kasus Laut Cina Selatan bukanlah urusan Indonesia sehingga tidak perlu campur tangan Indonesia. Hal ini kemudian menjadi mindset yang terbangun dan berlanjut hingga saat ini. Sehingga ketika isu seperti ini terjadi, pemerintah cenderung tidak siap dan belum memiliki strategi untuk menanganinya. Yang terjadi malah saling lempar tanggung jawab antar kementerian, dimana masing-masing kementerian memiliki posisinya masing-masing dalam mengatasi isu ini.

Dengan Indonesia yang cenderung mengabaikan isu ini, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin ASEAN. Padahal, sejak awal berdirinya ASEAN tahun 1967, Indonesia selalu dianggap sebagai pemimpin ASEAN. Hal ini cukup disayangkan menurut Indrawan. Indonesia seharusnya dapat memimpin dan melakukan konsolidasi secara multilateral ke negara-negara anggota ASEAN untuk menentukan langkah dan sikap bersama untuk merespon Cina, sekaligus membawa isu ini ke berbagai forum internasional atas nama ASEAN.

Secara domestik, Indonesia juga perlu lebih tegas dan siap dalam mengatasi isu ini. Dengan mengirimkan militer ke Natuna atau membangun pangkalan militer ke Natuna bukan berarti tantangan perang dari Indonesia, namun lebih menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menindak pelanggar kedaulatan wilayah Indonesia.

Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh Randy Wirasta Nandyatama, dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus pakar kajian politik dan keamanan Asia Tenggara. Menurut Randy, kasus Cina ini menjadi penting karena kapal nelayan dijaga oleh penjaga pantai yang menurut UNCLOS adalah paramilitary, karena dibantu oleh negara dengan memberikan pengawalan. Inilah yang menjadi masalah dan membuat masalah tersebut menjadi pelik.

Menurut Randy, Cina melakukan aksi ini karena bergantung pada legitimasi Partai Komunis Cina (PKC). PKC dapat terus berkuasa apabila dapat menjamin pertumbuhan ekonomi, menjaga integritas teritorial, dan propaganda kecintaan tanah air (nasionalisme).

“Poin integritas teritorial menjadi poin yang bersinggungan dengan kasus ini, karena PKC harus mempertahankan Laut Cina Selatan yang dinilai merupakan hak Cina. Kemungkinan besar, Pemerintah Cina akan sulit untuk mundur karena menurut Cina, Laut Cina Selatan penting bagi integritas teritorial Cina,” ujar Randy.

Sebelumnya, Indonesia membatasi keterlibatannya dalam isu Laut Cina Selatan karena Indonesia tidak mengklaim Pulau Spratly di perairan Laut Cina Selatan, sehingga sebelumnya belum ada sengketa dan singgungan langsung antara Indonesia dan Cina. Namun kini, penting bagi Indonesia untuk terlibat aktif dan lebih responsif dalam mengatasi pelanggaran kedaulatan wilayah ini. Karena dalam sengketa internasional, negara yang dapat menjaga sebuah wilayah dan mengelolanya secara serius, maka akan dipandang lebih penting dan lebih pantas akan wilayah tersebut. Hal inilah yang berusaha dikejar oleh Cina.

Sejalan dengan yang disampaikan Indrawan sebelumnya, respon Indonesia dinilai kurang terkoordinir. Berbagai lembaga dan institusi yang terlibat tidak memiliki keseragaman respon terhadap isu ini. Sehingga yang dapat dilakukan adalah koordinasi yang lebih serius dan membuat upaya diplomasi mempertahankan perairan Natuna lebih kuat dan terarah.

“Indonesia selama ini masih mengabaikan historical fishing rights Cina, sehingga Indonesia perlu lebih mendalami landasan dan alasan Cina untuk melakukan intervensi di Natuna. Diperlukan juga adanya opsi kesepakatan diantara kedua negara dimana kedua negara dapat bekerjasama dan memanfaatkan sumber daya secara bersamaan,” tutur Randy menutup paparannya.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Angganararas Indriyosanti

Relasi Indonesia-Rusia: Menilik Sejarah dan Membaca Prospek

Institute of International Studies — kembali menyelenggarakan kegiatan Ambassadorial Lecture pada Jumat (9/11) lalu. Edisi kuliah duta besar kali ini menghadirkan H. E. Lyudmila Georgievna Vorobieva, Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia. Kegiatan dilaksanakan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada dengan mengangkat tema “Russia in the Contemporary Global Politics, Its Power, Its Role and Its Leadership”.

Dalam paparannya, H.E. Lyudmila menyatakan bahwa Indonesia dan Rusia, secara historis, telah memiliki hubungan baik. Relasi ini telah dibangun sejak abad ke-17, ketika Rusia pertama kali membuka konsulat di Batavia pada tahun 1693. Hubungan ini kian menguat di bawah pemerintahan Soekarno dengan diadakannya kerjasama di berbagai lini.

Soekarno refers to Russians as brothers, and used the terms ‘Jauh di Mata Dekat di Hati’ ” ujar H.E. Lyudmila menegaskan.

Hingga kini, bukti kerjasama bilateral tersebut masih dapat ditemui, baik di Indonesia maupun Rusia. Salah satunya adalah Blue Mosque atau Masjid Biru di Moskow yang sampai sekarang masih menjadi ikon kultur Islam di Rusia. Blue Mosque direstorasi berdasarkan permintaan Presiden Soekarno kepada Presdien Nikita Khrushchev dalam salah satu kunjungannya ke Rusia.

Indonesia and Russia built a steady partnership in several sectors like Gelora Bung Karno, Rumah Sakit Persahabatan, and many more. This became the crystallization of the sweet relations between Soekarno’s Regime and the Pre Russian Federation government (USSR)” tambah H.E. Lyudmila.

Demikian pula secara kultural, jejak relasi Indonesia-Rusia dapat ditemukan pada lagu-lagu Indonesia yang dikenal erat, bahkan ditranslasikan ke Bahasa Rusia, seperti  lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ dan salah satu lagu berbahasa Sunda.

Meski sempat merenggang pasca berakhirnya pemerintahan Soekarno, relasi mampu dikembalikan dan dipelihara dengan baik hingga kini.

For Russia, Indonesia is one of the most important ally in South-East Asia and Pacific Region, both in politic and economic sector. Hopefully, Indonesia and Russia will keep maintain friendly relationship and become an important partner in the future” ungkap Lyudmila.

Kerjasama kedua negara ini diharapkan tidak terhenti, terlebih menguat dalam berbagai sektor.  H.E. Lyudmila turut berpesan bahwa Indonesia dan Rusia, sebagai kekuatan global yang sedang bangkit, harus beradaptasi untuk menjawab tantangan global dan menjadi kekuatan dengan caranya sendiri. Bagi Rusia, soft power dan dialog antarnegara adalah  fokus utama, dan kerja sama dengan Indonesia diharapkan akan tetap berlanjut melalui cara-cara ini pula.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara Ranti

Globalization Talk #2: Mendiskusikan Sektor Pariwisata dalam Menghadapi Globalisasi

Meski membawa dampak positif dengan terbangunnya konektivitas yang lebih, pelaku usaha pariwisata pula dituntut melakukan berbagai perubahan akibat adanya globalisasi. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki fokus terhadap sektor pariwisata ialah Kabupaten Gunung Kidul. Menjadi tantangan tersendiri bagi para stakeholders di Kabupaten Gunung Kidul untuk melakukan berbagai penyesuaian yang diperlukan dalam menyongsong globalisasi dan segala dampak yang ada bersamanya. Guna mendiskusikan hal tersebut secara lebih mendalam, pada Selasa (15/10), Institute of International Studies bekerjasama dengan Kelas Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum Globalization Talk yang ke-2 “Manajemen Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul: Peluang dan Tantangan dalam Era Globalisasi”.

Kegiatan dilaksanakan di Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul dan dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Kelompok Sadar Wisata dari berbagai desa wisata di Gunungkidul, pengurus dinas pariwisata maupun dinas-dinas terkait di Kabupaten Gunung Kidul, serta stakeholder sektor pariwisata Kabupaten Gunung Kidul lainnya. Forum diharapkan dapat memberi dampak positif dengan memicu adanya pengembangan pariwisata yang lebih inovatif. 

Sebagai konsekuensi globalisasi, dengan mudah ditemukan beberapa keuntungan yang mampu mengoptimalkan pengembangan pariwisata di Gunung Kidul. Menurut Yuni Hartini, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Gunung Kidul, kemudahaan untuk mengakses informasi serta promosi via media massa menghasilkan masyarakat setempat yang semakin terbuka terhadap potensi dan pengembangan pariwisata lokal. Sepakat dengan hal tersebut, Budi Subaryadi dari Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Nglanggeran menyatakan bahwa globalisasi memberikan alternatif bagi metode pemasaran, yakni tak hanya melalui media cetak, tetapi juga media sosial.

Namun, bersamaan dengan itu, para stakeholder menyatakan terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula. Salah satu tantangan yang menjadi PR besar para pengelola sektor pariwisata ialah tantangan infrastruktur. Yuni menyatakan bahwa dampak globalisasi yang masif belum didampingi dengan adanya sarana prasarana yang maksimal yang dapat mendukung kegiatan pariwisata, terutama akses lalu lintas yang seringkali diterpa kemacetan dan belum menemukan solusi.

Tak hanya itu, sumber daya manusia juga menjadi tantangan atas globalisasi yang harus dihadapi, pasalnya sumber daya manusia yang bertugas mengelola media informasi sebagai sarana pemasaran masih kurang memadai. Serupa dengan hal tersebut,  Budi Subaryadi menyatakan bahwa keterbatasan ketersediaan pengelola masih menjadi masalah.

“Terkadang banyak masyarakat yang masih malas ikut, sehingga tidak ada regenerasi masyarakat yang bertanggungjawab mengelola pariwisata yang ada” tambah Budi

Menjembatani diskusi tersebut, Dr. Riza Noer Arfani, Direktur dari Institute of International Studies, memaparkan pandangannya atas fenomena ini dengan perspektif akademisi. Arfani menyatakan bahwa dalam menghadapi globalisasi, diperlukan adanya kompromi antara globalisasi itu sendiri dengan aspek lokal pariwisata. Dr. Riza menyebutnya sebagai “Glokal”, di mana pariwisata dapat dikembangkan secara global dengan tetap menganut nilai lokal secara sinergis. Dengan menganut konsep ini, diharapkan akan ada pembangunan sosial yang lebih merata dan terbangun integrasi dalam pengembangan pariwisata. Tak hanya itu, Arfani pula menambahkan pentingnya kerjasama antarpihak dalam menghadapi globalisasi.

“Selain itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah adanya kerja sama di antara berbagai pihak, seperti pihak lokal dengan leading firm di luar agar pariwisata mengglobal” tambah Dr. Riza.

Sesi paparan tersebut diikuti dengan diskusi antar para pemangku kepentingan pariwisata di Gunungkidul dan ditutup dengan kunjungan Kelompok Sadar Wisata Gunungkidul.


Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara Ranti

  

Beyond the Great Wall #5: Menilik Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina

Dewasa ini, peran Cina dalam panggung internasional semakin meluas. Hal ini dapat dilihat melalui proyek kerjasama Cina yang semakin ekspansif, terutama melalui Belt and Road Initiative (BRI). Keberhasilan BRI sebagai salah satu proyek besar Cina ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai aspek, baik domestik maupun terkait relasinya dengan negara lain. Terdapat berbagai peluang dan tantangan yang dapat mempengaruhi kerja sama Cina, termasuk dalam BRI. Untuk itu, pada Jumat (11/10) lalu, Institute of International Studies kembali mengadakan forum Beyond the Great Wall untuk ke-5 kalinya dengan mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina”. BTGW kali ini menghadirkan Umi Qodarsasi, S.IP, M.A, dosen program studi pemikiran politik IAIN Kudus, dan William Help, Presiden Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Universitas Gadjah Mada.

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan Umi mengenai “Cina di Afrika: Peluang dan Tantangan BRI.” Cina turut menjalin kerja sama ekonomi dengan Afrika karena Afrika dipandang sebagai “the rising continent” dan “the hopeful continent”. Pandangan ini muncul karena adanya prediksi bahwa perekonomian Afrika akan terus berakselerasi. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Afrika antara lain ialah meningkatnya permintaan global akan minyak, emas, logam, dan mineral yang merupakan salah satu cadangan utama Afrika; urbanisasi dan potensi penduduk usia muda sebagai tenaga kerja; serta meningkatkan ekspor untuk mendorong investasi yang besar.

Afrika menjadi region yang menyuplai pasokan sumber daya alam bagi Cina sekaligus pasar untuk produk dan jasa dari Cina. Hal ini semakin memperkuat posisi Cina di Afrika, terutama karena Cina berusaha melindungi apa yang menjadi kepentingannya. Bentuk kerja sama antara Cina dan Afrika termanifestasikan dalam Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC), di mana FOCAC merupakan platform kerja sama multilateral antara Cina dengan negara-negara Afrika. FOCAC membawa perubahan yang signifikan bagi hubungan Cina dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika, di mana Cina menjadi mitra pembangunan utama bagi Afrika, baik di bidang perdagangan, investasi, maupun bantuan dan hibah.

Afrika merupakan salah satu wilayah yang terlibat dalam proyek BRI sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang saling membutuhkan antar keduanya. Di satu sisi, negara-negara yang dilalui jalur BRI akan mendapat investasi yang lebih besar, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur, di mana di Afrika sektor energi dan transportasi yang menjadi fokus utama. Cina memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman berjumlah besar (big loans) pada Afrika dengan kompensasi dalam bentuk kekuasaan Cina atas sektor mineral dan minyak di Afrika. DI sisi lain, Afrika dan seluruh sumber dayanya juga turut menguntungkan Cina.
Menurut Umi, tantangan BRI bagi negara-negara Afrika ialah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi dengan kondusifitas kondisi politik negara, hal ini memicu masing-masing negara Afrika untuk tetap memiliki kondisi politik yang kondusif dan menjaga kualitas good governance agar dapat terus berpartisipasi dalam BRI. Di lain sisi, eksistensi BRI pula harus mendorong daya saing produk domestik dan melahirkan adanya inovasi produk. Namun, ketergantungan negara-negara Afrika kepada Cina dan bantuannya juga menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi.

“Bantuan yang diberikan harus disertai pembangunan domestik dan digunakan secara proporsional agar tidak terjadi ketergantungan. Negara-negara Afrika harus membangun kedaulatan dan perekonomian secara mandiri agar terhindar dari apa yang negara-negara barat khawatirkan sebagai bentuk neokolonialisme,” ujar Umi menutup pemaparannya.\

Pemaparan dilanjutkan oleh William yang membahas mengenai dampak tensi Cina dan Hong Kong terhadap BRI. Jika dilihat lebih jauh, tensi antara Cina dan Hong Kong mulai terjadi sejak tahun 2011. Namun, baru-baru ini diperparah dengan adanya extradition law bill yang kembali memperparah tensi antar keduanya.

Dalam kaitannya dengan BRI, Kepentingan dan prioritas BRI di Hong Kong dapat dilihat melalui 5 indikator, yaitu people to people bond, financial integration, unimpeded trade, policy coordination, dan facilities connectivity. Hong Kong sendiri membawa keuntungan bagi BRI karena tidak hanya berfokus pada sektor raw materials (mentah), tetapi juga sektor manufaktur.
Selain itu, Hong Kong memiliki perekonomian yang sangat terbuka dengan koneksi eksternal yang luas dan kuat. Proyek BRI yang melibatkan Hong Kong ada di bidang perdagangan dan ekonomi, inovasi dan teknologi, layanan keuangan, pertukaran orang, serta logistik internasional, pengiriman, dan transportasi.

Dalam melihat pengaruh tensi antara Cina dan Hong Kong terhadap BRI, William menggunakan alat analisis konflik bawang (onion tool) dengan melihat kebutuhan, kepentingan, dan posisi dari masing-masing pihak. Menurut William, BRI merupakan kepentingan (interest) dari Cina dan Hong Kong. Cina dan Hong Kong sama-sama ingin menyejahterakan variabel-variabel yang ada di setiap pihak yang berkonflik (dalam bidang ekonomi).

Selama posisi Beijing di Hong Kong masih terjaga dan memegang status quo, proyek BRI di Hong Kong memiliki tendensi untuk terganggu, kecuali dalam hal-hal yang bersifat lebih teknis seperti adanya boikot produk Cina. Meski demikian, BRI memberikan dampak yang positif dan menguntungkan bagi Cina dan Hong Kong.

Demonstrasi: Ruang Publik yang Maskulin, Patriarkis, dan Ricuh?

Di Indonesia, demonstrasi memiliki konotasi yang negatif karena lekat dengan memori-memori yang menakutkan. Tanpa menghubungkan keduanya, demonstrasi—yang lebih populer dengan istilah ‘demo’—kerap diidentikkan dengan aksi laki-laki dan kericuhan. Hasilnya, terdapat ketakutan dan kekhawatiran dari keluarga maupun teman apabila anggota keluarga perempuan atau teman perempuan mereka mengikuti aksi massa. Demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia dua minggu belakangan membawa kisah-kisah baru tentang keterlibatan perempuan. Banyak perempuan yang ikut turun ke jalan, walaupun—berbicara dari pengalaman dan pengamatan pribadi—diwanti-wanti untuk tidak usah ikut oleh keluarga, dilarang hingga harus berbohong, atau lolos ikut dengan memanfaatkan cela tidak ditanya oleh keluarga karena dianggap sudah pasti tidak mungkin ikut.

Seusai aksi, cuitan-cuitan populer di Twitter dan beberapa refleksi teman-teman perempuan yang mengikuti aksi, menyayangkan demonstrasi yang dipercayai masih berbudaya patriarki. Demo yang di berbagai kota berakhir ricuh jadi ruang yang ‘tidak aman bagi perempuan’. Di tengah kondisi yang sulit, ada yang mengingat kerelaan para lelaki untuk ‘pasang badan’ dan memprioritaskan perempuan sebagai solidaritas. Ada pula yang mengkritik ‘perlakuan spesial’ untuk perempuan berlawanan dengan tuntutan perempuan yang ingin diperlukan dengan setara. Apabila ingin kesetaraan, mestinya perempuan siap dengan sifat alami demo yang keras dan berbahaya, kan?

Dari pengamatan tersebut, muncul sebuah kegelisahan: Apakah memang benar demonstrasi adalah ruang publik yang secara alamiah maskulin, patriarkis, dan ricuh? Atau ini sebenarnya masalah keterbatasan referensi dan imajinasi kita tentang aksi massa? Waktu saya terlibat dalam demonstrasi pada 23 September lalu, ketika berjalan pulang seusai aksi dengan teman-teman saya, ada seorang yang bersorak kepada saya, “hidup perempuan yang melawan!”. Pada saat itu saya merasa senang. Saya menganggap sorakan tersebut sebagai apresiasi personal. Saat saya kembali mengikuti demonstrasi seminggu kemudian, saya mendengar jargon-jargon: Hidup Mahasiswa Indonesia! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Buruh! Hidup Petani! beberapa kelompok lainnya juga disebutnya hingga kemudian diakhiri dengan Hidup Perempuan yang Melawan! Mendengar itu, saya merasa ada yang janggal. Saya percaya jargon tersebut datang dari maksud yang baik. Namun, dari situ saya baru menyadari, ternyata keikutsertaan perempuan dalam perlawanan masih dianggap sebagai sesuatu yang baru, unik, dan jarang sehingga perlu diberi label khusus. Padahal, dalam memori saya, perempuan telah dan selalu melawan.

Perempuan yang Melawan
Sepanjang sejarah, perempuan terlibat dalam berbagai perlawanan nirkekerasan di berbagai belahan dunia
memperjuangkan berbagai isu. Pada abad ke-19, di Amerika, perempuan berjuang untuk mendapatkan hak
pilih. Pada tahun 1970an, perempuan-perempuan di India melakukan aksi memeluk pohon yang dikenal sebagai ‘Gerakan Chipko’ untuk melindungi pohon dan hutan. Pada tahun 1976 hingga 1983, ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina melakukan aksi jaga untuk menuntut kepulangan anak-anak mereka yang dihilangkan paksa. Pada tahun 2003, dari Liberia, para perempuan melakukan kampanye perlawanan nirkekerasan yang menuntut perdamaian dan berakhirnya perang sipil. Pada tahun 2018, dari Swedia, seorang anak perempuan berusia lima belas tahun melakukan aksi mogok sekolah untuk menuntut kebijakan perubahan iklim. Aksinya sekarang menjadi sorotan global serta memantik berbagai aksi mogok dan demonstrasi di berbagai negara.
Indonesia juga menyimpan banyak cerita perlawanan nirkekerasan oleh perempuan. Sejak tahun 1990-an hingga 2010, dari tanah Mollo, Nusa Tenggara Timur, Mama Aleta Baun melawan perusahaan-perusahaan tambang marmer dengan menenun di atas batu. Dari Jawa Tengah, perempuan petani Kendeng datang ke Istana dan melakukan aksi mengecor kaki. Pada tahun 2017, dari Jawa Barat, perempuan warga adat Sunda Wiwitan berada di baris paling depan dalam aksi tidur untuk menghalau alat berat yang akan mengeksekusi lahan cagar budaya dan tanah adat Sunda Wiwitan. Sejak tahun 2017 pula, Women’s March diadakan di Indonesia. Sejak 18 Januari 2007, terinspirasi dari perlawanan ibu-ibu Plaza de Mayo, ibu-ibu dan keluarga korban pelanggaran HAM melakukan aksi Kamisan. Aksi tersebut masih berlanjut hingga sekarang.
Mengetahui ini semua, tidak rela rasanya untuk setuju dengan asumsi bahwa aksi massa adalah ranah laki-laki dan selalu berpotensi ricuh. Sepertinya, asumsi tersebut dari keterbatasan referensi dan imajinasi terhadap aksi massa.

Aksi Nirkekerasan
Menurut Gene Sharp (1973), seorang tokoh penting dalam studi nirkekerasan, demonstrasi—atau demo—
sebenarnya hanyalah satu dari 198 metode aksi nirkekerasan yang dapat dilakukan. Sharp dengan teorinya ‘consent theory of power’ percaya bahwa kekuasaan (power) tidak bersifat monolitik—melainkan pluralistis. Daya/kekuasaan seseorang bukan datang dari dirinya sendiri, melainkan diberikan oleh orang-orang yang membiarkan diri mereka dikuasai. Oleh karena itu, aksi nirkekerasan merupakan metode melawan tanpa kekerasan dengan menarik kepatuhan yang diberikan kepada lawan sehingga bisa lepas dari kuasa lawan.
Dalam praktiknya di negara demokratis, aksi nirkekerasan sering digunakan sebagai jalur informal ketika jalur-jalur formal tidak menyalurkan aspirasi rakyat. Dalam sejarahnya, aksi nirkekerasan merupakan metode dalam perlawanan nirkekerasan yang digunakan untuk melawan ketidakadilan sosial serta berbagai macam bentuk kekerasan struktural (Stephan dan Chenoweth, 2008; Sharp, 2013; Dudouet, 2017).

Artinya, demonstrasi sejatinya adalah salah satu metode perlawanan yang menolak baik kekerasan langsung
maupun kekerasan struktural. Sayangnya, riset oleh tim Damai Pangkal Damai yang meneliti aksi nirkekerasan
di Indonesia dari tahun 1997 sampai 2018 menemukan bahwa repertoar masyarakat Indonesia dalam melakukan aksi nirkekerasan masih terbatas pada demonstrasi. Dari 13,524 entri aksi nirkekerasan yang ditemukan, 5,362 (29,6%) di dalamnya merupakan aksi demonstrasi. Sayangnya lagi, repertoar utama dalam aksi nirkekerasan di Indonesia sendiri memiliki konotasi yang negatif.

Di bagian sebelumnya, telah dipaparkan repertoar-repertoar alternatif dalam melakukan aksi nirkekerasan.
Berbagai kisah perlawanan perempuan di atas bukan hanya untuk menunjukkan keikutsertaan perempuan dalam perlawanan sedari dulu, tetapi juga untuk memberikan memori perjuangan alternatif sebagai referensi dan ruang imajinasi yang baru dalam melakukan aksi massa. Aksi-aksi di atas bukan tanpa ancaman. Mama Aleta dan rakyat Mollo menghadapi intimidasi dan kekerasan
hingga harus bersembunyi di hutan selama melakukan perlawanan. Aksi mengecor kaki memiliki risiko kesehatan yang sangat tinggi. Perempuan Sunda Wiwitan memasang badan mereka di hadapan alat berat. Tanpa mengatakan bahwa perempuan adalah faktor penentu damainya suatu aksi, berbagai contoh oleh perempuan di atas mengajarkan pentingnya menahan diri untuk menggunakan kekerasan dalam aksi nirkekerasan. Dalam pertimbangan strategis, kesetiaan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam perlawanan adalah tentang (1) menjaga legitimasi perlawanan, dan (2) melawan secara kreatif.

Aksi nirkekerasan merupakan metode yang efektif bagi kelompok marginal/yang lebih lemah karena dia merupakan metode berkonflik yang kreatif. Dalam kondisi ketimpangan kekuatan, akan lebih sulit untuk menang dengan kekerasan. Masyarakat sipil tidak mungkin menang menggunakan kekerasan melawan negara sebagai entitas yang memiliki sumber daya ekonomi, legitimasi, media, dan sebagai pemilik hak melakukan kekerasan secara sah. Dan dengan menggunakan kekerasan, akan sangat mudah bagi negara untuk mendelegitimasi perlawanan dengan melabelinya sebagai ancaman yang dapat dihancurkan dengan kekerasan.

Maka, sesuai dengan apa yang ditawarkan Sharp, yang harus dilakukan adalah menarik sumber-sumber kekuasaan dari lawan—atau disebut pillars of support. Pillars of support ini dapat termanifestasi sebagai polisi, pasukan keamanan, partai politik, media, dan yang lainnya—termasuk lewat pembiaran atau act of omission. Menjaga legitimasi menjadi penting untuk menyasar pilar-pilar ini agar bersimpati dengan aktivis nirkekerasan sehingga mereka berhenti menopang penguasa dan berbalik mendukung perjuangan. Sebagai contoh singkat, strategi ini tercermin dalam gerakan ibu-ibu Plaza De Mayo. Menyadari segala bentuk tuntutan yang terlihat seperti ancaman bagi pemerintah hanya mendapat respons yang represif, ibu-ibu di Argentina datang sebagai ibu-ibu yang sedang mencari anaknya. Mereka berkeliling menggunakan syal putih yang menyimbolkan popok dengan dituliskan nama dan tanggal lahir anak-anak mereka yang hilang—menanyakan di mana anak mereka. Setidaknya terdapat tiga pilar yang berhasil mereka sasar: polisi, media, dan ibu-ibu yang tidak melawan. Polisi yang biasanya menangkap dan kemudian menghilangkan pula orang-orang yang mempertanyakan orang-orang yang dihilangkan, tidak bisa menangkap para perempuan yang sebagai seorang ibu menanyakan di mana anaknya. Media yang selama ini diam mulai menyoroti kasus dan perjuangan ini. Ibu-ibu yang selama ini diam mendapat keberanian dan bersolidaritas untuk melawan.

Memperluas Imajinasi Aksi Massa
Sepertinya, imajinasi kita melakukan aksi massa masih memberi ruang bagi kekerasan. Saat merencanakan aksi, kita menyiapkan mental dan energi untuk melindungi perempuan—alih-alih menyalurkannya untuk menciptakan ruang aman untuk bersama. Laki-laki dan perempuan adalah setara. Tentunya, kesetaraan itu terefleksikan dalam hak tidak mengalami kekerasan dan bukannya bertanding ketahanan mengalami kekerasan, bukan? Apakah imajinasi kita harus se-masochist itu? Di titik ini, kita mungkin perlu mengkaji ulang apakah demonstrasi 98 adalah referensi yang tepat untuk jadi pijakan imajinasi kita tentang gerakan mahasiswa? Padahal, ingatan masyarakat Indonesia tentang 1998 masih sangat terpolarisasi: Gerakan Mahasiswa 98 atau Kerusuhan 98? Ada yang mengingatnya sebagai kemenangan perlawanan, ada yang mengingatnya sebagai periode kekerasan yang mengerikan. Mungkin, kekhawatiran keikutsertaan perempuan dan konotasi negatif demonstrasi adalah produk memori-memori kekerasan masa lalu yang kita rayakan.

Aksi #GejayanMemanggil yang sudah dua kali dilakukan berlangsung dan berakhir dengan damai. Aksi ini juga berhasil tidak meninggalkan sampah, menjadi ruang yang aman bagi semua, akomodatif terhadap tuntutan perempuan, serta menjalin hubungan dengan polisi, pedagang, dan warga sekitar. Besar harapan saya, memori-memori ini dapat menjadi memori kolektif kita terhadap aksi nirkekerasan di Indonesia ke depannya. Tulisan ini mengajak mengingat berbagai perlawanan perempuan yang dapat menjadi referensi alternatif kita dalam melakukan aksi massa nirkekerasan. Di mana perempuan bukan hanya untuk dilindungi, bukan menjadi korban, tetapi melawan dan menolak kekerasan.

Referensi
Dudouet. (2017). Powering to Peace: Integrated Civil Resistance and Peacebuilding Strategies. International Center on Nonviolent Conflict. Retrieved from http://www.nonviolent-conflict.org
Sharp, G. (1973). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent.
———–. (2013). How nonviolent struggle works. United States: The Albert Einstein Institution.
Stephan, M., & Chenoweth, E. (2008). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. International Security, 33(1), 7-44. doi: 10.1162/isec.2008.33.1.7

Penulis : Grace Lolona Alexis Hutapea

Annegret Kramp-Karrenbauer Appointed as Germany’s New Defense Minister: What’s in Store?

On Wednesday (17/7/2019) in Bellevue Castle Berlin, Annegret Kramp-Karrenbauer (widely referred to by her
initials “AKK”) was appointed as Germany’s new defense minister to replace Ursula von der Leyen that left the post to become European Commission President. AKK, who has been dubbed as Angela Merkel’s protégé, also leads Germany’s center-right Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU) party. Naturally, her appointment also brought new changes and reactions within the German Armed Forces (Bundeswehr) and the CDU itself, German’s domestic political reconfiguration are on the move. Come as a surprise, almost no one expected the leader of the CDU to take the post, not with that kind of responsibility and challenge to divide concentration. Previously, Angela Merkel has emphasized the importance to replace von der Leyen with someone from CDU-Lower Saxony branch too to sit in the cabinet, however none of the CDU minister candidate came from there (Riedel, 2019). Surprisingly as well, she ‘beats’ Peter Tauber, the former CDU secretary general, veteran and current Reserve Captain in the Bundeswehr, a prominent candidate favored by the soldiers. This of course, disappointed many in the Bundeswehr. Yet, expecting defense minister to have served in the military to performed well is utterly nonsense, as minister can and should rely on the professionalism of the Bundeswehr, argued Carlo Masala, a security policy expert at the Bundeswehr University (Deutsche Welle, 2019).

Despite stumbled into a scandal when she accused the Bundeswehr to have some right-wing extremists within its rank (which drew heavy criticism from the troops), von der Leyen actually set good reference for her successor. Von der Leyen managed to keep the pace to modernize the Bundeswehr, in material, personnel and budget; making it as an ever ready armed forces in Europe and more attractive to young recruits. AKK has to stand to this standard, at least by avoiding controversies on ‘right-wing extremists’ comments, despite the effort to actually combat them within the Bundeswehr. She needs to genuinely learn and listen more to the troops with her non-military background to earn trust. “Germany can rely on you! And you can rely on me.”, as she said to the Bundeswehr (Frankfurter Allgemeine Zeitung, 2019).

Although simultaneously leading the CDU too, which many concerned the heavy burden and responsibility she
has to take, her appointment as defense minister can actually brought new wind of change for the Bundeswehr. The dual responsibilities means she has greater political weight as a CDU leader and can assert more power to influence the political arena in favor for the Bundeswehr needs; and it rarely happens, this is the first time since the 1960s. As her recent statement shows, this might well be the case, as she urged the needs to enlarge defense spending to 2% by 2024 despite heavy criticism from the opposition, which means 0,63% higher than the 2020 budget (Handelsblatt, 2019). The increase is to sustain Bundeswehr commitment to the NATO and EU, as well as a response to Donald Trump’s previous yelps at NATO members’ lack of commitment on defense budget. As von der Leyen take the seat in Brussels, Bundeswehr position and contribution might be increased; and it will require a lot of money. Starting out with good impression and ability to fulfill the commitment, AKK could be on the right track in the eyes of the Bundeswehr.

In the political sphere, this might be the beginning of German “Frauenpower” succession in the throne. As a former Minister-President of Saarland, AKK had earlier withdrawn from public office, but as if following the footstep of her mentor, Merkel, she took the ministerial job. Is it CDU strategy to prepare her as the next chancellor? AKK has never held any cabinet positions and the appointment could be a test-bed for what she has in store for Germany. As widely reported, Jens Spahn, another CDU veteran and Health Minister, was also eyeing the defense minister post in line with his ambition to become the next chancellor. On the other side, AKK appointment could also be seen as an attempt to boost CDU leverage after its catastrophic loss in European Parliament against the Green Party. Whether it is by design or not, we have to see AKK’s performance if she indeed wants to prepare for the 2021 elections; still plenty of time left for other candidates to outshine her. In the end, the defense minister is an appealing post for ambitious politicians that need good stepping stone, but that’s not what the Bundeswehr wants and needs. Time and attention need to be given by whoever become the defense minister for the 181.377 troops under his/her command, and it requires pure commitment (Bundeswehr,2019). For now, that’s what AKK needs to focus on, and other things will follow.

References:
Bundeswehr. (2019). Stärke: Militärisches Personal der Bundeswehr. Retrieved from https://www.
bundeswehr.de/portal/a/bwde/start/streitkraefte/grundlagen/staerke/!ut/p/z1/04_Sj9CPykss
y0xPLMnMz0vMAfIjo8zinSx8QnyMLI2MQgKcXQw8fY2dnAwDjYzcwwz1wwkpiAJKGAAjgb6wSmp-
pFAM8xxmRESCFSkH6UflZVYllihV5BfVJKTWqKXmAxyoX5kRmJeSk5qQ
H6yI0SgIDei3KDcUREAGR5wyw!!/dz/d5/L2dBISEvZ0FBIS9nQSEh/#Z7_B8LTL292
2TPCD0IM3BB1Q22TQ0
Deutsche Welle. (2019). New German Defense Minister Annegret Kramp-Karrenbauer out to win over
military.Retrieved from https://www.dw.com/en/new-german-defense- minister-annegret-krampkarrenbauer-
out-to-win-over-military/a-49722715
Frankfurter Allgemeine Zeitung. (2019). AKK zur Bundeswehr: „Sie können sich auf mich verlassen“ (Video
File). Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=ln5o03fHMEM
Handelsblatt. (2019). Kramp-Karrenbauer fordert deutlich höhere Rüstungsausgaben. Retrieved from https://
www.handelsblatt.com/politik/deutschland/bundeswehr-kramp-karrenbauer-fordert-deutlichhoehere-
ruestungsausgaben/24682774.html
Riedel, Donata. (2019). Von der Leyens Nachfolger soll noch heute feststehen. Handelsblatt. Retrieved
from https://www.handelsblatt.com/politik/deutschland/bundesverteidigungsministervon-
der-leyens-nachfolger-soll-noch-heute-feststehen/24667250.html?ticket=ST-5915893-
P1Zj0gNqbVxBAJdw9rUe-ap6

Writer :M. Ilham R. Adamy, S.IP

The Moral High Ground dalam Aksi Protes Anti-UU Ekstra disi Hong Kong

Tidak perlu menunggu lama untuk memperkirakan akhir dari aksi protes menentang inisiasi hukum ekstradisi
yang dicetus oleh pemerintah Hong Kong. Aksi protes dalam bentuk turun ke jalan yang dimulai sejak Maret 2019 ini diperkirakan akan terus berjalan selama kedua belah pihak bertahan dalam posisi politik masing – masing. Namun, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dan diproyeksikan dari keseluruhan proses ini, terutama yang berkaitan dengan aksi dan interaksi antara massa protes dan pemerintah Hong Kong.

“Bom Waktu” dari Revolusi Payung.

Pihak yang terlibat dalam protes ini merupakan orang yang pernah mengikuti Revolusi Payung atau Okupasi Sentral pada 2014. Revolusi Payung merupakan serangkaian protes atas tindakan politis dari pemerintah Republik Rakyat Tiongkok yang ikut campur dalam urusan pemerintah lokal melewati batas ketetapan dalam Hong Kong Basic Law. Pada aksi tersebut, para penggerak yang menyampaikan tuntutan agar nilai – nilai demokrasi liberal khas Hong Kong pra 1997 dikembalikan seutuhnya justru ditangkap. Sejak saat itu, “bom waktu” ketidakpuasan dan keputusasaan masyarakat sipil tertanam dan memulai hitung mundurnya, terutama setelah proses peradilan secara sepihak tersebut disertai dengan retorika nasionalistik yang didengungkan pejabat pemerintahan Hong Kong sendiri. Selain itu, akhir dari Revolusi Payung juga menumbuhkan kekhawatiran pelaku bisnis dari mancanegara akan semakin menguatnya kontrol pemerintah Cinaterhadap kota yang diperuntukkan sebagai Special Administratives Zones (SARs).

Hal ini jelas turut berimbas pada sendi perekonomian warga lokal. Pada akhirnya, ‘bom waktu’ itu
meledak ketika Undang-undang Ektradisi diumumkan pada Februari 2019. Landasan yang dikemukakan oleh para pembuat hukum bahwa UU ini akan membuahkan rasa keadilan karena menutup peluang pelaku untuk kabur dan tidak mempertanggungjawabkan tindakannya dianggap mengada–ada oleh masyarakat sipil. Mereka yakin bahwa pengadaan hukum ini merupakan taktik pemerintah Cina untuk menggerus secara perlahan hak-hak khusus yang dimiliki Hong Kong sebagai wilayah SAR. Status SAR tidak hanya memberikan pemerintah lokal Hong Kong sebuah otonomi yang tidak terbatas kepada urusan ekonomi, tetapi juga berbagai kebijakan vital dalam aspek politik, sosial, dan budaya. Di samping itu, hukum ekstradisi dipandang dapat
mengurangi ketertarikan investor dari luar RRT untuk berinvestasi, sehingga berimplikasi terhadap ketergantungan ekonomi yang semakin besar kepada pemerintah Beijing. Meningkatnya kontrol RRT terhadap berbagai aspek dalam pemerintahan dan masyarakat membuat Hong Kong di masa mendatang tidak ada bedanya sama sekali dengan kota-kota Tiongkok lain yang menyandang status Special Economic Zones (SEZs).

Metode Nirkekerasan sebagai Pilihan

Ratusan ribu warga Hong Kong memutuskan untuk menggunakan berbagai metode nirkekerasan yang didominasi oleh aksi demonstrasi dan pawai damai sebagai bentuk perlawanan terhadap rancangan UU ekstradisi. Demonstrasi dan pawai, menurut Gene Sharp, masuk dalam kategori protes dan persuasi nirkekerasan yang bertujuan untuk menarik perhatian, dukungan, dan kesadaran pemerintah maupun publik akan adanya sebuah isu penting yang harus segera ditanggapi. Aksi turun ke jalan sendiri juga merupakan kulminasi dari proses yang diawali oleh aksi representasi formal. Oposisi yang tersisa dalam legislatif telah berupaya mengulur waktu dan melakukan obstruksi terhadap proses formal pembuatan hukum, walaupun kemudian ditentang oleh kelompok pro pemerintahan yang berjumlah lebih besar. Di waktu yang bersamaan, lobi dari kelompok bisnis, hukum, hak asasi manusia, hingga demokrasi – baik yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara – gencar disuarakan agar pemberlakuan UU ini direvisi atau bahkan dihentikan sepenuhnya. Namun, lobi dan rekomendasi yang telah diupayakan tidak menuai respons yang signifikan dari pemerintah yang tetap melanjutkan proses pengesahan rancangan hingga awal Juni ini.

Aksi ini dapat bertahan lama hingga hari ini karena telah belajar dari kegagalan protes 2014. Aksi 2019 diorganisasi dalam kelompok – kelompok kepentingan yang tidak disatukan dalam hierarki tertentu dan memanfaatkan kemajuan teknologi berupa Apple Airdrop dan aplikasi pesan terenskripsi Telegram yang dapat mengantisipasi kemampuan intelijen yang dikerahkan pemerintah. Akan tetapi, ketika aksi nirkekerasan yang dilakukan masyarakat tidak menunjukkan perkembangan memuaskan, perasaan gelisah tentu membuncah.

The Moral High Ground
Seperti halnya pada Revolusi Payung, aksi damai kali ini kembali direspons negatif oleh pemerintah. Menggunakan teori Christopher R. Mitchell, konflik yang seharusnya dapat dimitigasi justru didorong untuk semakin mengganas. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap peserta protes meningkat seiring aksi yang berlanjut hingga kini. Beberapa insiden kekerasan juga melibatkan gang/sindikat kejahatan yang diduga bekerja sama dengan aparat. Carrie Lam sebagai wajah utama pemerintah lokal dalam posisi Kepala Eksekutif Hong Kong menunjukkan sikap yang cenderung agitatif: dari sebelumnya mengatakan bahwa protes ini sebagai kerusuhan (kemudian meralatnya, lalu dimunculkan kembali oleh pihak kepolisian) hingga mengkritisi orang tua dari anak – anak yang terlibat dalam pengorganisasian protes lintas generasi. Sentimen ini dikobarkan oleh media lokal yang condong pada pemerintah maupun media RRT, hingga menimbulkan efek adu domba dalam masyarakat. Carrie beserta kepolisian tidak menepati janji untuk mendengarkan keinginan massa maupun bertanggung jawab lebih terhadap keamanan masyarakat, seperti yang pernah disampaikan ketika ia meminta maaf kepada publik pada 18 Juni lalu. Janji kosong  ini semakin tercoreng mengingat bahwa rancangan UU undang – undang ekstradisi tidak juga ditarik dari proses legislatif.z

Ketiadaan upaya deeskalasi konflik dapat berujung kepada entrapment yang sewaktu – waktu dapat terjadi, terutama setelah pemerintah Beijing mengirim sinyal bahwa opsi militer dapat digunakan untuk menghentikan aksi protes yang dianggap mengganggu stabilitas nasional dan memicu perlawanan kepada RRT sebagai pemimpin dalam sistem “satu negara, dua otonomi”. Dalam kondisi sekarang, massa protes pantas menyandang posisi moral high ground ketika secara disiplin dan teratur menjalankan aksi nirkekerasan, walaupun dilawan dengan metode sebaliknya oleh otoritas. Namun, apakah hal tersebut cukup untuk mendorong masa depan berpihak kepada mereka? Satu dari tiga kemungkinan dapat terjadi: (1) konsesi politik diberikan untuk memenuhi tuntutan massa; (2) protes dihentikan paksa tanpa pemberian konsesi politik seperti 2014; hingga (3) protes berakhir dengan melibatkan militer yang tentu mengingatkan dunia kepada Peristiwa Tiananmen 1989. Sembari mengirimkan simpati kepada aksi protes di Hong Kong, harapan dan dukungan akan kedua belah pihak dapat saling mendengarkan satu sama lain demi masa depan Hong Kong yang lebih baik patut didengungkan sebelum pengorbanan lebih besar harus terjadi.

References:
Chan, Holmes. 2019. “Ex-Governor Chris Patten Says Extradition Bill ‘worst Thing’ for Hong Kong since 1997,
as Carrie Lam Faces Grilling.” Hong Kong Free Press HKFP (blog). May 22, 2019. https://www.
hongkongfp.com/2019/05/22/ex-governor-chris-patten-says-extradition-bill-worst-thing-hongkong-
since-1997-carrie-lam-faces-grilling/.
Cheung, Helier, and Roland Hughes. 2019. “The Background You Need on the Hong Kong Protests.” BBC News,
July 25, 2019, sec. China. https://www.bbc.com/news/world-asia-china-48607723.
Cheung, Tony. 2019. “Top Beijing Representative Condemns Attack and Vows Punishment.” News. South China
Morning Post. July 22, 2019. https://www.scmp.com/news/hong-kong/politics/article/3019556/topbeijing-
representative-hong-kong-condemns-attack.
Coconuts Hong Kong. 2019. “So the Bill Is ‘Dead’…but How Dead, Exactly? Lam’s Choice of Words Raises
Eyebrows.” Coconuts. July 9, 2019. https://coconuts.co/hongkong/news/the-bill-is-dead-but-howdead-
google-trends-shows-spike-in-searches-for-idiom-used-by-carrie-lam-to-describe-extraditionbill/.
Dapiran, Antony. 2014. “Mixed Legacy for Hong Kong’s Umbrella Movement.” News. The Weekend Australian.
December 15, 2014. https://www.theaustralian.com.au/business/business-spectator/news-story/
mixed-legacy-for-hong-kongs-umbrella-movement/4859528763fdcfb21fe1a21f41d95727.
Graham-Harrison, Emma. 2019. “China Flaunts Military Muscle as It Seeks to Quell Hong Kong’s ‘Colour
Revolution.’” The Guardian, August 13, 2019, sec. World news. https://www.theguardian.com/
world/2019/aug/13/colour-revolution-jibe-implies-china-will-stop-at-little-to-crush-hong-kongprotests.
Hale, Erin. 2019. “‘Frightened, Angry and Exhausted’: Hong Kong Protesters Apologise for Airport Violence.” The
Guardian, August 14, 2019, sec. World news. https://www.theguardian.com/world/2019/aug/14/
frightened-angry-and-exhausted-hong-kong-protesters-apologise-for-airport-violence.
Hei, Jacky Chan Man, and Jun Pang. 2019. “The Untold Story of Hong Kong’s Protests Is How One Simple
Slogan Connects Us.” The Guardian, July 10, 2019, sec. Opinion. https://www.theguardian.com/
commentisfree/2019/jul/11/the-untold-story-of-hong-kongs-protests-is-how-one-simple-sloganconnects-
us.
Ives, Mike. 2019. “What Is Hong Kong’s Extradition Bill?” The New York Times, June 10, 2019, sec. World.
https://www.nytimes.com/2019/06/10/world/asia/hong-kong-extradition-bill.html.
Kuo, Lily. 2019a. “Hong Kong’s Peace Prospects Recede amid Teargas and Smoke.” The Guardian, August 6, 2019,
sec. World news. https://www.theguardian.com/world/2019/aug/06/hong-kong-peace-prospectsteargas-
protests.
———. 2019b. “Beijing’s New Weapon to Muffle Hong Kong Protests: Fake News.” The Observer, August 11,
2019, sec. World news. https://www.theguardian.com/world/2019/aug/11/hong-kong-china-unrestbeijing-
media-response.
Mitchell, C. R. 1997. The Structure of International Conflict. Nachdr. Basingstoke: Macmillan.
Scobell, Andrew, and Min Gong. 2016. “Whither Hong Kong?” RAND Corporation, Perspective, , 18.
Shao, Grace. 2019. “Violence Is Escalating in Hong Kong. Here Are Three Possible Outcomes.” News. CNBC. July
29, 2019. https://www.cnbc.com/2019/07/29/violence-is-escalating-in-hong-kong-here-are-threepotential-
outcomes.html.
Sharp, Gene. 1998. The Methods of Nonviolent Action. Edited by Gene Sharp and Marina Finkelstein. The
Politics of Nonviolent Action, Part 2. Boston, Ma: Porter Sargent.
Solomon, Feliz. 2019. “Hong Kong Is On the Frontlines of a Global Battle For Freedom.” Feature. Time. June 13, 2019. https://time.com/longform/hong-kong-protests/.
“Special Administrative Regions (SARs): Specifics of Doing Business in Hong Kong & Macau.” 2019. Business. Intrepid Sourcing and Services. July 24, 2019. https://intrepidsourcing.com/trade-wiki/special-administrative-regions-sars-specifics-of-hong-kong-macau/.

Penulis : Wilibrordus Bintang Hartono

Japan’s Agenda behind Its Chemical Export Curb to South Korea

Japan hinted a trade war with its neighbor, South Korea by limiting its exports on fluorinated polyimide, a chemical material often used for semiconductor in chips and for TV or smartphone screens earlier this month. It is known that Japan is South Korea’s largest supplier when it comes to chemicals that are critical for technological products. These components are commonly used by South Korean tech companies. Japan stated that they have been suspicious over the mismanagement of the chemical compounds, worrying South Korea might illegally transfer them to North Korea as the compounds are applicable for weapons too (Lee, 2019).

By putting national security as its main motive to restrict trade relations, Japan has actually demonstrated its
inconsistency in supporting international trade system. Shinzo Abe, Japan’s Prime Minister, just recently expressed the stance of the country in supporting “free, fair, and indiscriminate trade” during G20 Summit held in Osaka last June (Reuters, 2019), only to break his own promise not long after. This sudden change makes us wonder whether or not security is the real reason behind Japan’s chemical compound export restriction to South Korea. The action could be a form of retaliation against the recent South Korea’s decision to request for a redress in a form of financial compensation from Japanese companies that utilized forced labor from South Korea during colonialism era (1910-1945). This causes an economic issue as it consequently requires Mitsubishi Heavy Industries Ltd. to pay $134,000 for each 10 plaintiffs and Sumitomo Metal Corp. to pay $88,000 for each 4 plaintiffs (Lee, 2019). Such measures potentially harm the running of their business as well as the reputation of the companies. Thus, Japan might have seen the export curb policy as the perfect retaliation since it would bring similar harmful effect to South Korean tech companies, considering the country is currently in urgent need to diversify their alternative suppliers for said chemicals (Su-hyun, 2019).

Alternatively, the motive behind the export limitation might be simply a protection towards Japan’s domestic
market. Foreign technological products are currently dominating Japanese market. For instance, Japanese prefers iPhone and Huawei more than local brands for smartphone choices. It is also said that Japanese giant tech companies cannot compete with foreign products including Apple (Statista, 2019). The decline of Japanese technology brands was started since South Korea took over the international market of technological products with its low-cost products and massive business on semiconductors (Osanai, n.d.). Japan has gradually been losing its prowess due to lack of innovation in their product development. They tend to focus more on the hardware improvement and was reported to spend less amount of budget for research and development compared to its major competitor, Samsung (Wakabayashi, 2012). Therefore, the export curb to South Korea can also be seen as an attempt by Japan to protect its domestic market because the cost of South Korean products will rise, and thus limit the product options for Japanese.

In conclusion, seeing how the two countries are retaliating against each other, it is less likely that the trade war will die down anytime soon. The continuous trade war will certainly exacerbate current global trade situation which has been worsened by the larger scale of existing trade war between China and the US. Any conflict between Japan and South Korea surfacing at the present and in the future cannot be separated from their prolonged historical sentiment. Thus, the harmonious relationship between both countries depend heavily on how they will untangle the messy thread from the past and focus on the future collaboration.

References:
Lee, C. Japan-South Korea trade dispute threatens global tech market. Japan Today. Retrieved from https://
japantoday.com/category/tech/japan-south-korea-trade-spatthreatens- global-tech-market
Lee, Y. (2019). Why Japan and South Korea Still Spar Over History. Bloomberg. Retrieved from https://www.
bloomberg.com/news/articles/2019-07-01/why-japan-and-southkorea-still-spar-over-historyquicktake
Osanai, A. (n.d.). Can the Japanese consumer electronics industry resuscitate itself? Rethinking the overblown
approach to product development. Retrieved July 22, 2019, from https://yab.yomiuri.co.jp/adv/wol/
dy/opinion/gover-eco_121009.html
Reuters. (2019). Japan PM Abe calls for strong G20 message on free trade. Reuters. Retrieved from https://www.
reuters.com/article/us-g20-summit-abe/japan-pm-abecalls-for-strong-g20-message-on-free-tradeidUSKCN1TT0DZ
Statista. (2019). Share of smartphone models sold in Japan during the month of April 2019, by model. Retrieved
July 22, 2019, from https://www.statista.com/statistics/755692/japan-smartphone-market-share-bymodel/
Su-hyun, S. (2019). S. Korean biz groups in emergency mode as Korea-Japan feud drags on. The Korea Herald.
Retrieved from http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20190715000661&ACE_SEARCH=1
Wakabayashi. (2012). How Japan Lost Its Electronics Crown. The Wall Street Journal. Retrieved from https://
www.wsj.com/articles/SB10000872396390444840104577551972061864692

Writer : Arindha Nityasari

President Jokowi’s Vision on Indonesia 2019-2024: the Grand Old Talk on Investment and the Missing Points on Technological Utilizatio

As General Election Commission has officially announced Joko Widodo as the elected President of Indonesia for 2019-2024, thus he presented his vision through an open speech entitled Visi Indonesia (Indonesian Vision) on Sunday, 14 July 2019. He underlined the urgency to be open towards investment as he believes that it is equal to wider job opportunity. On that occasion, he also stated that supportive bureaucracy should be built to lubricate such investment and any party indicated hindering the investment will face severe consequences.
Jokowi did well in explaining how investment will create wider job opportunities, however here comes few missing points that were promoted many times during his presidential debate, but were not mentioned at all on the recent speech.

The Missing Points in the Speech

During his presidential campaign, Jokowi took pride in his deep understanding on the utilization of technology in many sectors, including digital economy development (CNN Indonesia, 2019). He has also expressed his ambition on building technology infrastructure that will provide an established digital economy ecosystem as an incentive for businessmen or entrepreneurs to grow more productively and rapidly. In addition, Jokowi has articulated his commitment in the development of digital economy as stated during the G20 Summit in Osaka last June (Anya, 2019). Therefore, it is a huge miss that Jokowi did not mention about the technological utilization and its impact to investment in one of the visions on Indonesia 2019-2024.

Jokowi could have explored on these following points more strategically: 1) boosting up economic development
through technology, 2) building technological infrastructure, and 3) potential new policies in supporting digital
economy. Citizens might have wanted to know more about those because he seemed very clear in his stance in
supporting technology advancement and developing digital economy proven by his previous speeches and what
he has done during his first term. The continuation of the program is such a promise for the actors playing roles
in the industry and for those who were not informed well about the mutual correlation between investment and
technological advancement.

Although President Jokowi missed stating the points on utilization of technologies for economic development and digital economy on his speech last Sunday, hopefully he will still commit to the matters. If he is persistent to build more receptive condition towards investment, he might as well include more investment on digital economy or technological infrastructures. Nonetheless, several things are needed to be improved in regards of utilization of technology and digital economy to make them work efficiently. Firstly, government needs to provide more space for entrepreneurs to innovate. It is not good to control them too much as it can hinder their creativity to innovate (The Jakarta Post, 2018).

Secondly, providing better climate for investors to invest in digital economy and technological infrastructures is
important. It can be seen from the data by Investment Coordinating Board that FDI invested in technological
sector were still relatively low in 2016-2018. However, investment in technological sector indeed increased in the first quarter of 2019 and that is a good sign for enhancement. FDI should also be prioritized considering that investment from abroad will be followed up with transfer of technology that is important as Indonesia is still learning to adapt to the new technology.

Lastly, as digital economy is prone to cyber attacks such as issues on users’ privacy and the transaction processes, the government should strengthen its cyber security and legal frameworks to ensure the potential risks will be managed accordingly. Strengthening cyber security may be achieved by reinforcing cyber diplomacy with other countries because such attacks are often done in a transnational manner. Therefore, there should be a cooperation from government-to-government or business-to-business in regards of cyber attacks on economic facilities such as fintech that work similarly to conventional bank. We can learn this by how Japan proposed international agreement to secure data exchange (Anya, 2019).

References
Anya, A. (2019). Jokowi focuses on digital economy, human capital at Osaka G20 Summit. The Jakarta Post.
Retrieved from https://www.thejakartapost.com/news/2019/06/28/jokowi-focuses-on-digitaleconomy-
human-capital-at-osaka-g20-summit.html
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2019). Press Release Investment Realization in the First Quarter of 2019
Reached Rp 195.1 Trillion, Increased by 5.3% (Press Release April 2019). Retrieved from: https://
www.bkpm.go.id/en/publication/press-release
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2018). Press Release Investment Realization in the First Quarter of 2018
Remain Increase Significantly, Reached About Rp 185.3 trillion (Press Release April 2018). Retrieved
from: https://www.bkpm.go.id/en/publication/press-release
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2017). Press Release Investment Realization in First Quarter of 2017
Reached Rp. 165.8 trillion (Press Release April 2017). Retrieved from: https://www.bkpm.go.id/en/
publication/press-release
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2016). Press Release Investment Realization in First Quarter of 2016
Rose 17,6% “Optimism on Improved Investment Climate Confirmed” (Press Release April 2016).
Retrieved from: https://www.bkpm.go.id/en/publication/press-release
CNN Indonesia. (2019, February 19). Full Debat Kedua Capres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto
[Video File]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=Ck4gJyO4GMc
The Jakarta Post. (2018). BKPM helps accelerate digital economy wave in Indonesia. The Jakarta Post. Retrieved
from https://www.thejakartapost.com/adv/2018/11/12/bkpm-helps-accelerate-digital-economywave-
in-indonesia.html

Writer : Arindha Nityasari