Entries by iis.fisipol

[RECAP] Beyond The Great Wall #17 : Cina Kontemporer: Kebangkitan dalam Kesenjangan

Pada Jumat (29/10), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum diskusi Beyond The Great Wall (BTGW) edisi #17 yang bertajuk “Cina Kontemporer: Kebangkitan dalam Kesenjangan”. Dalam kesempatan tersebut, IIS UGM mengundang Gufron Gozali, Asisten Riset dari Universitas Islam Indonesia dan Nadya Zafira, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Kedua pembicara didampingi oleh Fanya Tarissa Anindita, Staf Divisi Publikasi IIS UGM sebagai moderator.

Sesi pertama dimulai oleh Gufron, yang membawakan materi berjudul “Indonesia dan Kebangkitan Cina”. Mengawali pembahasannya, Gufron menilik kembali sejarah Cina, dari masa keterpurukan hingga bangkitnya komunisme dan kebangkitan Cina di tahun 1945. Tidak dapat dipungkiri bahwa Cina telah mengalami kebangkitan ekonomi yang sangat progresif, mencapai rata rata sebesar 9.5% dalam 40 tahun terakhir. Di sisi lain, laju perkembangan Cina juga diiringi dengan pasang surut hubungan antara Cina dengan Indonesia, yang sempat “mesra” di era Orde Lama, putus hubungan di era Orde Baru, hingga pemulihan hubungan kedua negara pada era reformasi.

Pemulihan kerja sama Indonesia-Cina semakin gencar dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Gufron menekankan bahwa nilai perdagangan diantara kedua negara terus meningkat, termasuk kerjasama melalui program Belt and Road Initiative (BRI). Namun, di sisi lain hubungan kedua negara harus menghadapi tantangan baru, seperti persepsi negatif masyarakat terhadap Cina,  neraca perdagangan yang tidak seimbang, hingga sentimen buruk masyarakat yang diakibatkan oleh masuknya tenaga kerja asing dari Cina pada sektor-sektor yang belum dapat dipenuhi oleh tenaga kerja Indonesia.

Seusai pemaparan Gufron, sesi dilanjutkan oleh Nadya, yang membawakan materinya yang berjudul “Prekariat Digital dalam Masa Kesejahteraan Bersama (Common Prosperity)”. Dalam materinya, Nadya mengangkat mengenai isu transisi sebagian tenaga kerja Cina yang beralih profesi menjadi pekerja digital. Peralihan ini terjadi sebagai bentuk dari berkembangnya sharing economy yang mengandalkan platform-platform digital dan internet sebagai medianya. Tentunya, banyak pekerja di Cina yang memilih untuk menjadi digital worker karena tergiur oleh pendapatan yang lebih tinggi, fleksibilitas dalam bekerja hingga syarat yang lebih ringan apabila dibandingkan dengan pekerja konvensional.

Namun, pada kenyataannya para pekerja digital di Cina dihadapkan kepada banyak problematika yang harus dihadapi, mulai pendapatan yang tidak stabil, jam kerja yang tidak menentu, risiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi, hingga kemungkinan perlindungan asuransi sosial yang lebih rendah. Tidak adanya proteksi hukum dari pemerintah Cina membuat kondisi yang harus dihadapi oleh para pekerja digital menjadi semakin sulit, dan tuntutan para pekerja digital menjadi marak disuarakan lewat berbagai macam aksi dan unjuk rasa. Hal ini, menurut Nadya menjadi sebuah dilema bagi pemerintah Cina, tidak berdayanya para pekerja digital justru mengancam nilai-nilai Masa Kesejahteraan Bersama yang dicanangkan oleh pemerintahan Xi Jinping.

[RECAP] BTGW #17 : Contemporary China: The Rise behind The Economic Gap

On Friday (29/10), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada successfully held the #17 Beyond the Great Wall discussion focusing on the topic of “Contemporary China: The Rise behind The Economic Gap”. IIS invited Gufron Gozali, a research assistant from Universitas Islam Indonesia and Nadya Zafira, an International Relations student from Universitas Gadjah Mada dor this round of discussion. With Fanya Tarisa Anindita, our Publication Intern acting as the moderator.

Gufron started the first session, presenting about “Indonesia and the Rise of China”, looking back to China’s history from its dark time to the rise of communism and the rise of China in general in 1945. It is undeniable how China has undergone such progressive economic rise, reaching an average of 9,5% in the past 40 years. On the other hand, along with China’s economic growth, the relation between China and Indonesia fluctuates. At one point Both parties were considered close before the New Order, but during the New Order the relations was severed and finally during Reform era both countries start to actively engage in various sector yet again.

The recovery of Indonesia and China’s cooperation continued intensely under Jokowi’s government. Gufron stressed that trade value between the countries has always been increasing, including the cooperation through the Belt Road Initiative (BRI) program. However, this cooperation is facing new challenges, such as the prejudice and negative perception from Indonesian citizens towards China, problems with the balance of trade, to the sentiment growing among the citizens about migrant workers from China.

After Gufron’s presentation, Nadya continued the session with the topic of “Digital Precariat in the Common Prosperity Era.” In her presentation, Nadya spoke about the transition experienced by Chinese employees who had to change their profession to be digital workers. This transition happened as an impact of sharing economy’s development, which depends on digital platforms and the internet as the main vessel. It is clear that the majority of employees are willing to transition to digital workers, for its higher incentives, flexible working hours and less restrictive requirements compared to conventional workers.

However, in reality, digital workers are faced with a lot of obstacles such as unstable income, unpredictable working hours, higher risk of accidents at work, and not-so-secure social insurance. The lack of legal protection makes it harder for digital workers to voice their demands, resulting in protests and demonstrations. This has been a dilemma for the government, the position where the digital workers are right now is actually against the Common Prosperity Era’s values by Xi Jinping, Nadya stated.

IIS Fortnightly Review #12 | Edisi 16 – 31 Oktober 2021

Our twelfth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Diplomatically Otherwordly: The Mediatory Presence of Space Exploration in Bilateral Cooperation Efforts (S.A.A. Pragiwaka)
• World’s Climate Change Research Disparity Adding Insult to the Injury of Global North-South Divide (A.N. Khaira)
• The Blue Economy and Challenges Faced by the Global South (Clara Himawan)

Access the review through http://bit.ly/FRW2Oktober

Beyond The Great Wall #17 : Cina Kontemporer: Kebangkitan dalam Kesenjangan

Diskursus mengenai Cina kontemporer kerap kali tidak dapat dilepaskan dari pandangan mengenai kebangkitan Cina dalam berbagai aspek. Tidaklah salah apabila pandangan ini menjadi fokus para pemerhati, mengingat besarnya dampak dari kebangkitan Cina terhadap tatanan global secara luas. Meski demikian, selalu terdapat sisi lain dari suatu fenomena, tidak terkecuali kebangkitan Cina. Salah satunya adalah kemunculan kelompok Prekariat pada era digital yang kerap dipandang memberikan peluang yang luas untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat. Mengapa dan bagaimana hal ini terjadi

“Cina Kontemporer: Kebangkitan dalam Kesenjangan” yang akan diselenggarakan pada:

Tanggal : Jumat, 29 Oktober 2021
Waktu : 09.00-11.30 WIB
Tempat : Zoom Meetings

Pembicara :

  • Gufron Gozali, Asisten Riset di Universitas Islam Indonesia
  • Nadya Zafira, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

Moderator :

  • Fanya Tarissa Anindita, Staff Publikasi Institute of International Studies Universitas Gadjah MadaSilakan registrasi melalui tautan bit.ly/BTGW17
    Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.

IIS Fortnightly Review #11 | Edisi 1 – 15 Oktober 2021

Our eleventh edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:

• Pioneering the Promotion of humanitarian Values in the Asia Pacific: What is Indonesia’s Agenda and Strategy? (Ica Cahayani)
• Another Look at Myanmar After the Coup (R.R. Pekerti)
• Indonesia-Malaysia’s Warning on AUKUS: A Commitment Towards a Nuclear-Free Region? (A.F. Basundoro)

Access the review through bit.ly/FRW1Oktober

[RECAP] Cangkir Teh #5 : Aspek Normatif dalam Bantuan Peningkatan Kapasitas Keamanan Siber Internasional : Pengalaman Jepang dan Korea Selatan

Kamis (30/08) lalu, Institute of Internarnational Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan Diskusi Cangkir Teh edisi #5 yang bertajuk “Aspek Normatif dalam Bantuan Peningkatan Kapasitas Keamanan Siber Internasional : Pengalaman Jepang dan Korea Selatan”. Dalam kesempatan kali ini, IIS UGM mengundang Azza Bimantara, alumni HI UGM yang baru saja menyelesaikan studi pascasarjana-nya di Corvinus University of Budapest. Sebagai moderator, IIS UGM menghadirkan Nabilah Nur Abiyanti, Staf Riset IIS UGM yang bertugas mendampingi Azza dalam diskusi tersebut.

Tema diskusi kali ini merupakan elaborasi dari topik tesis Azza yang berjudul “The Normative Enactment of International Cybersecurity Capacity Building Assistance: A Comparative Analysis on Japanese and South Korean Practices”. Dalam pemaparannya, Azza membahas mengenai bantuan peningkatan kapasitas keamanan siber internasional dengan mengomparasikan pengalaman kedua negara yang berbeda, yaitu Jepang dan Korea Selatan.

Pembahasan dimulai dengan pemaparan Azza tentang latar belakang dan signifikansi dari Cybersecurity Capacity Building Assistance (CCB) yang menimbulkan berbagai problematika, di antaranya ketidakmampuan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan kerentanan akan serangan dalam ranah dunia maya, terutama bagi negara-negara berkembang dengan tingkat penetrasi internet yang rendah,. Selanjutnya, muncul pertanyaan: bagaimana perbedaan penekanan normatif oleh negara-negara donor dapat mempengaruhi berbagai bentuk program atau proyek CCB yang dilakukan bagi negara-negara penerima? Dengan pendekatan hybrid state-centric dan international-centric, Azza memilih Jepang dan Korea Selatan sebagai sampel negara donor yang ditelitinya dalam menjawab pertanyaan tersebut.

Di satu sisi, struktur normatif kerjasama keamanan siber internasional Jepang lebih berorientasi pada aspek keamanan. Sebagai implikasinya, terbentuklah identitas dan peran Jepang dalam tata kelola keamanan siber internasional sebagai negara yang memiliki prioritas kepentingan normatif dan material yang condong ke arah aspek keamanan. Identitas dan peran tersebut termanifestasikan dalam bantuan CCB internasional yang lebih berorientasi pada aspek keamanan.

Di sisi lain, struktur kerjasama keamanan internasional Korea Selatan yang menitikberatkan pada aspek pembangunan merupakan implementasi dari reputasi positif Korea Selatan di bidang pembangunan internasional. Sebagai hasilnya, Korea Selatan lebih menekankan bantuan CCB internasionalnya dengan didasari dengan kepentingan normatif dan material yang lebih didominasi oleh aspek pembangunan serta berorientasi non-keamanan.

Sebagai penutup sesi pemaparan, Azza menyimpulkan bahwa analisis komparatif di antara Jepang dan Korea Selatan yang dikaji melalui pendekatan hybrid state-centric dan international-centric, sebagaimana tercantum pada metodologi penelitiannya, dapat menggambarkan fragmentasi norma-norma siber global, yang disebabkan oleh munculnya perbedaan proses dan persepsi oleh negara-negara di seluruh dunia.

Seusai sesi pemaparan oleh narasumber, kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi yang berlangsung dengan kondusif dan dipenuhi dengan pertanyaan dari para audiens.


Penulis : Raditya Bomantara

Editor : Tim Publikasi IIS

[RECAP] The Normative Enactment of International Cybersecurity Capacity Building Assistance: A Comparative Analysis on Japanese and South Korean Practices

Last Thursday (30/08), the Institute of International Studies, Gadjah Mada University (IIS UGM), successfully held the fifth edition of Diskusi Cangkir Teh entitled “Normative Aspects in International Cybersecurity Capacity Assistance: The Experiences of Japan and South Korea.” On this occasion, IIS UGM invited Azza Bimantara, an alumnus of International Relations major, Gadjah Mada University, who had just finished his postgraduate study at the Corvinus University of Budapest. Acting as the moderator, IIS UGM welcomed Nabilah Nur Abiyanti, one of the research staff at IIS UGM, to accompany Azza in the discussion.

The discussion’s theme is an extended elaboration of Azza’s thesis under the title “The Normative Enactment of International Cybersecurity Capacity Building Assistance: A Comparative Analysis on Japanese and South Korean Practices.” Accordingly, in his presentation, Azza compared the international cybersecurity capacity-building assistance of Japan and South Korea.

The discussion was kicked off by Azza’s explanation of the background and significance of Cybersecurity Capacity Building Assistance (CCB), which caused particular problems, such as the inability to benefit from the technological advances and the vulnerability of digital threats, especially for developing countries with a low internet penetration level. Furthermore, a curious question emerged: how does the disparity of normative emphasis by donor countries affect the many programs or CCB projects organized by the recipient countries? Through the hybrid state-centric and international-centric approach, Azza picked Japan and South Korea as the samples of donor countries under his scrutiny.

On the one hand, Azza found that Japan’s normative structure in terms of international cybersecurity cooperation is tilted heavily to the security aspect. As an implication, under the global cybersecurity management, Japan obtained its renowned role and identity as a donor who prioritizes normative and material interests which lend themselves to security concerns. Such position and identity manifested itself on Japan’s international CCB assistance that concerns security aspects.

On the other hand, South Korea’s international cybersecurity structure emphasizes the development aspect as an implementation of South Korea’s favourable reputation in international development. Consequently, South Korea underscored material and normative interests dominated by development aspects and non-security orientation as the foundation of her international CCB.

In his closing remarks, Azza concluded that the comparative analysis between Japan and South Korea through the lens of hybrid state-centric and international-centric approaches, as elaborated in his research methodology, enables the fragmentation of global cyber norms due to the different processes and perceptions constructed by states all over the world.

Following the presentation session by Azza, the event carried on with a productive and conducive Q&A session with the audiences.


Writer : Raditya Bomantara

Editor : Publication Team IIS