Institute of International Studies
BA Building, 5th Floor, 503
Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio-Justisia No.1 Bulaksumur
Yogyakarta 55281, Indonesia
Contact Us
Phone:
+62-274-563362 Ext. 115
+62-818-0650-7041 (WhatsApp)
E-Mail:
iis.fisipol@ugm.ac.id
[RECAP] Cangkir Teh #1 : “Membela Demokrasi di Tengah Pandemi — Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020”
/in Past Events/by iis.fisipolEdisi perdana Cangkir Teh pada tahun 2021 telah diselenggarakan pada hari Senin 22 Februari 2021, dan merupakan hasil kerjsama Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dengan Tim Damai Pangkal Damai (DPD). Agenda utama pertemuan Cangkir Teh kali ini, adalah untuk mendiskusikan dan membedah laporan “Membela Demokrasi di Tengah Pandemi — Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020”. Pada edisi kali ini, IIS UGM mengundang 3 pembicara, yaitu Diah Kusumaningrum, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada dan peneliti IIS UGM, Ihsan Ali Fauzi, perwakilan dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, dan Puri Kencana Putri, perwakilan Accenture Malaysia dan mantan wartawan KontraS. Sesi ini dimoderatori oleh Cut Intan Aulianisa Isma, Manajer IIS UGM
Diah membuka sesi dengan membahas mengenai latar belakang dari Tim Damai Pangkal Damai, yang merupakan proyek database aksi nirkekerasan di Indonesia pada era reformasi. Bekerjasama dengan mahasiswa-mahasiswa yang berdedikasi, Tim DPD telah berhasil mencatat 14.023 aksi nirkekerasan di Indonesia pada era reformasi. Database tersebut diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang membutuhkan untuk menyelenggarakan aksi-aksi damai, mulai dari mahasiswa, masyarakat adat, hingga jurnalis yang dapat mempelajari jurnalisme damai. Diah juga berharap, bahwa pemerintah dan aparat juga dapat mempelajari prinsip-prinsip nirkekerasan, dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, dan memperkuat struktur demokrasi yang telah ada. Tim DPD percaya, bahwa kultur yang paling penting dalam demokrasi adalah kontestasi dengan menerapkan prinsip-prinsip nirkekerasan.
Sesi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai isi dari laporan “Membela Demokrasi di Tengah Pandemi — Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020” diharapkan dapat menjadi dokumen yang dapat digunakan untuk menjadi refleksi dari aksi-aksi nirkekerasan yang telah diterapkan di Indonesia pada era Reformasi, dan diluncurkan bertepatan dengan World Day of Social Justice. Laporan ini dibagi menjadi beberapa bagian, dan dimulai dengan executive summary. Diah memaparkan bahwa tahun 2020 juga ditandai oleh mulai digunakannya secara meluas aksi-aksi nirkekerasan pada berbagai macam gerakan diseluruh dunia, mulai dari Indonesia, Amerika, Tunisia, Hong Kong, dan lain lain, dan dapat dikategorikan kedalam 198 metode aksi nirkekerasan ala Gene Sharp. Pandemi tidak membuat aksi-aksi nirkekerasan diseluruh dunia berakhir, dan justru membuat aksi nirkekerasan jauh lebih penting dibandingkan sebelumnya.
Pandemi membuat aksi nirkekerasan terus berjalan, dan justru memperkenalkan aktor-aktor baru dalam aksi nirkekerasan, seperti penggemar KPop, Ibu-ibu kulit putih kelas menengah di Amerika hingga veteran perang. Selain itu, intensitas aksi di berbagai tempat juga meningkat, dan menjadi obyek solidaritas dan pembelajaran transnasional. Namun, di sisi lain aksi-aksi nirkekerasan justru disalah gunakan oleh gerakan sayap kanan seperti gerakan anti vaksin dan anti masker, hingga gerakan supremasi kulit putih, dan juga dapat disambut dengan represi oleh negara dimana aksi tersebut berlangsung. Sebagai penutup, Diah merekomendasikan untuk mewajarkan aksi nirkekerasan sebagai bagian dari kultur demokrasi, dan tidak perlu dihadapi dengan represi.
Sesi dilanjutkan oleh Ihsan yang menyampaikan apresiasinya bahwa database DPD sangatlah penting dalam mendukung studi-studi nirkekerasan di Indonesia, dan merupakan sebuah output yang baik dari kampus. Ihsan mendukung pelibatan Mahasiswa dalam kegiatan riset seperti yang telah dilakukan oleh DPD, dan berharap kampus-kampus di Indonesia dapat menggunakan database aksi nirkekerasan tersebut. Namun, Ihsan juga memaparkan beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh tim DPD kedepannya, mulai dari keberlanjutan, hingga kerjasama media, dimana database tim DPD sejauh ini baru dibuat dengan 1 media (KOMPAS) sebagai sumber data. Mungkin untuk kedepannya, Ihsan berharap tim DPD dan IIS dapat memilih alternatif sumber lain selain kompas.
Terakhir, Ihsan menyampaikan sedikit kekhawatirannya atas perubahan dasar aksi nirkekerasan dari luring menjadi daring. Ihsan menekankan, bahwa ada kemungkinan bahwa actor-aktor lama yang sebelumnya aktif dalam gerakan nirkekerasan justru menjadi pasif setelah terjadinya pandemi dan represi rezim. Apakah pemain-pemain baru dalam gerakan nirkekerasan daring menghentikan partisipasi pemain pemain lama? Apakah aktivisme daring yang berdasarkan klik kemudian partisipasi selesai? Bagaimana civil society menghadapi sumber daya daring yang dimiliki oleh negara seperti buzzer dan influencer? Terakhir, Ihsan juga menekankan bahwa laporan juga perlu mencatat mengenai kekalahan-kekalahan aksi nirkekerasan yang terjadi.
Sebagai narasumber terakhir, Puri turut menyampaikan apresiasinya terhadap hasil kerja dari tim DPD, dan berharap bahwa output dari tim DPD dapat digunakan secara luas oleh berbagai pihak. Puri juga memaparkan materinya yang berjudul “Otoritarianisme Digital” sebagai saran untuk tim DPD dalam menjalankan penelitian untuk kedepannya. Otoritarianisme digital menjadi lebih marak setelah terjadinya pandemi, dan ditandai dengan Kerjasama otoritas pemerintahan dengan gerakan-gerakan sayap kanan yang melaksanakan kampanye-kampanye yang bertentangan dan suara-suara masyarakat sipil dan secara tidak langsung menghalangi terjadinya kritik-kritik tegas terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, dalam kasus yang terjadi di Amerika Serikat, otoritas negara juga menjalankan praktik-praktik digital buruk lain seperti espionase, surveillance, hingga intervensi pemilu. Pada praktiknya, otoritarianisme digital yang dilakukan oleh negara mengancam kebebasan berekspresi masyarakat sipil dalam ranah digital.
Sesi ditutup dengan sesi diskusi yang melibatkan para pembicara dengan seluruh peserta diskusi Cangkir Teh, yang berjalan dengan cukup kondusif.
Penulis : Raditya Bomantara
Penyunting : Mariola Yansverio
[RECAP] Cangkir Teh #1 : : “Defending Democracy Amidst a Pandemic–Nonviolent resistance in Indonesia and the World 2020.”
/in News (English), Past Events/by iis.fisipolThe first Cangkir Teh discussion was held on Monday, February 22nd 2021. The discussion was a collaborative effort between the Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) and Damai Pangkal Damai Team (DPD). This forum’s main agenda is to discuss and dissect the “Defending Democracy Amidst a Pandemic–Nonviolent resistance in Indonesia and the World 2020” report. On this occasion, IIS invited three speakers, which are: Diah Kusumaningrum, International Relations Professor at Universitas Gadjah Mada and researcher at IIS UGM, Ihsan Ali Fauzi, representative of Centre for the Study of Religion and Democracy (PUSAD) Paramadina, and Puri Kencana Putri, representative of Accenture Malaysia and ex-journalist for KontraS. This session was moderated by Cut Intan Auliannisa Isma, Manager of IIS UGM.
Diah started the discussion by explaining the background of the Damai Pangkal Damai initiative, a project aiming to create a database of nonviolent actions in Indonesia during the Reform era. The team, also involving students’ role, has successfully compiled 14.023 nonviolent actions in Indonesia during the reform era. It is hoped that the database would assist actors who are willing to involve themselves in nonviolent actions, including students, indigenous communities, or even journalists who are eager to learn about peaceful journalism. Additionally, Diah also hopes that the government and the police would learn nonviolent principles and implement those in daily life whilst also strengthening democracy in Indonesia. The DPD team believes that the most crucial culture in democracy is conducting contestations whilst implementing nonviolent principles.
The session is then continued by discussing the report’s content. It is hoped that the report would act as a document that can be used in reflecting and learning about nonviolent actions in Indonesia during the Reform era, as it was launched on World Day of Social Justice. The report is divided into several essential parts, starting with an executive summary. Diah stated that in 2020, nonviolent methods of actions were widely adopted in various movements around the world, starting from Indonesia, the US, Tunisia, Hong Kong, and many others–all of which can be categorized in Gene SHarp’s 198 methods of nonviolent action. This proved that the pandemic does not end the mobilization of nonviolent actions in the world; instead, it makes nonviolent action increasingly more important than before.
The COVID-19 pandemic does not diminish the mobilization of nonviolent actions. Instead, it introduces new actors in nonviolent action, such as KPop fans, middle-class white American women, and even war veterans. Other than that, the intensity of actions in various places are also increasing, and they become objects of solidarity and transnational learning. Unfortunately, in some cases, nonviolent actions are often appropriated by right-wing movements, such as anti-mask and anti-vaccine protests and even white supremacist campaigns. It is also regrettable how in many cases, nonviolent actions also receive repression from the state. In her closing statement, Diah advocates for the normalization of nonviolent actions as a part of democratic culture and it should not be met with repression.
Furthermore, the second speaker continued the session, Ihsan, who articulated his appreciation towards the DPD database. Ihsan stated that the database supports nonviolent studies in Indonesia and is a significant and great output from campus. Ihsan also supports students’ involvement in the research process, and he hopes that other universities in Indonesia would use the database. However, Ihsan also expressed a few challenges that the DPD team will face in the future, including continuity and media partnership. So far, the database has only been used by one media (KOMPAS) as a data resource. Ihsan hopes that the DPD team and IIS could pick an alternative partner other than Kompas in the future.
Lastly, Ihsan expressed his concerns about the shifting of the arena from offline to online. Ihsan emphasized that there is a possibility that those who previously actively participated in nonviolent actions have become disengaged because of the pandemic and state repression. Are the new players in online nonviolent actions stop the participation of previous players? Do the participation of online activists stop at clicking their gadgets, or do they go beyond that? How does civil society respond to the online presence of the state through buzzers and influencers? Lastly, Ihsan also stresses that the report also needs to write about the defeat that nonviolent actions experience.
As the last speaker, Putri also expressed her appreciation for the work the DPD team does, she also hopes that many actors in the society could widely use the output of the DPD team. Besides, Putri presented her materials, titled “Digital Authoritarianism” or “Otoritarianisme Digital”, as an input for the DPD team in conducting their future research. Digital authoritarianism becomes more apparent during the pandemic, marked by the government’s collaboration with right-wing movements. Those right-wing groups often involve themselves in advocating voices that are not in line with civil society’s voices; their involvement also indirectly hinders criticism against the government. Furthermore, cases in the US show that the state also involves espionage, digital surveillance, and even intervention in elections. In practice, the state’s digital authoritarianism threatens freedom of expression in the digital sphere.
The forum is closed with a discussion session that involves both the speakers and the participants, which went very well.
Writer : Raditya Bomantara
Editor : Mariola Yansverio
[RECAP] Regional Colloquium on Middle East : The Arabaian and Israelian Peace: In Sought of a Trace, Instigating Advancement
/in News (English), Past Events/by iis.fisipolOn Monday (14/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) conducted the second rendition of Regional Colloquium since its first edition in 2018. In this edition, Regional Colloquium adopted the Middle East as the discussion’s pivotal focus, under the theme “Post-Trump Middle East: Geopolitical Issues in the Middle East amidst the abdication of President Donald Trump”. With the focus in scrutinizing the implications of Joe Biden as the newly elected president of the United States towards the peace in the Middle East, and within this opportunity IIS UGM invited 4 speakers, During the first panel session, IIS UGM cordially invited Prof. Dr. Bambang Cipto (professor at Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), and Dr. Nur Rachmat Yuliantoro (lecturer at the Department of International Relations UGM), who discusses on the extrapolation of US’s foreign policy towards the Middle East during the presidential term of Joe Biden.
The first session was opened by Muhammad Indrawan Jatmika (Research staff for IISUGM) as the moderator, and commenced by Prof. Bambang Cipto that presented on “US’s interest in the Middle East”. Prof. Cipto remarks, that the primary interest of the United States in the Midlle East is to defend the existence and to secure Israel’s interest within the region, as Israel is of US’s paramount importance in extending US’s reach in the region. The significant influence of the Jewish lobby in the US, viz., the AIPAC asserts a safeguard measure that any elected president should defend and endorses the existence of Israel form any external threats in the Middle East. As the “Golden Child” of the US, Israel profits from the considerable amount of foreign aid directed by the United States, in which Israel utilizes to realize the superiority of its military might in the region. Notwitstanding, the US’s support to Israel can be reflected in the UN, wherein Israel invariably holds a potent position due to US’s support. As a closing remark, Prof. Cipto exclaimed that the US under Biden’s presidency are more presumptively to defend its sphere of influence in the Middle East via Israel, despite of the consideration to alter its previous US’s foreign policy.
“Principled but Pragmatic: The Prognosis of Joe Biden’s Foreign Policy in the Middle East” is the title of Dr. Nur Rachmat Yuliantoro’s presentation during the second session of the first panel. Dr. Rachmat scrutinize on the obstruction that needs to be considered by Biden in maneuvering its approach in the Middle East, that is stipulated by Biden as one of the most significant regions in one of his writings “Why America must lead again: Rescuing US Foreign Policy After Trump”. Biden scopes that the US is no longer a global leader, hence Biden aspires to revise US’s foreign policy as a means to reclaim US’s position as a global leader. Albeit, in considering the Middle East ,it is imperative for Biden to crystalize US’s arrangement in tackling the probable threats that may materials, videlicet: (1) US’s approach towards Iran, (2) determining US’s deportment towards Turkey, (3) devising and exercising a suitable policy towards the endorsement of a broader democratic and political participation in the region, (4) acting as a stronghold for “an equal” and peaceful agreement that stresses over the interest of Palestine, and (5) devising an “acceptable” resolution that is profusely ingrained in the Yemen Crises, the Syrian Civil War, and the instability in Iraq and Afghanistan.
In the second panel, under the theme of geopolitics and contemporary peace in the Middle East, IIS invited Dr. Siti Mutiah Setiawati (lecturer at the Department of International Relations UGM), and Dr. Nur Munir, (Director of Islamic and Middle Eastern Research Center, Universitas Indonesia). Dr. Siti Mutiah initiated the session by delivering on the significance of geopolitics within the Palestinian grounds, which frequently becomes the root of instability and conflict in the region. According to the Arabian community, Palestinian grounds is considered to be a land that they have inhabited circa 60 AD, not to mention as the third holy land in Islam, which is the religion adopted by the majority of the Arabs. Conversely, Palestine holds an intrinsic significance for the Jewish community, as the Palestinian grounds is considered to be as “the promised land” by God for the Jews, ergo there is no compromisation for the land of Palestine. The contrast of values and beliefs between the two aforementioned communities fosters continuous conflict within the land of Palestine. Inasmuch, since 1973, the inception of a wave of diplomatic ties between the Arabic states and Israel starts to be institutionalized, which consequently disperses the notion of Pan-Arabism. This wave emerges in 1978 by Egypt, continued by Jordan in 1994, and recently by United Arab Emirates and Bahrain in 2020.
In the last session, Drs. Nur Munir delivered the last presentation on “Road Path Towards the Future of Jerusalem According to the view of the State of Israel: Academic search to Find a Proper Political Standing of the Republic of Indonesia to Contribute in making a Better World”. Drs. Nur Munir excerts Israel’s scope regarding the significance of Palestinian grounds, notably the city of Jerusalem as one of the guiding underpinnings of Israel’s policy. Drs. Nur Munir postulates, that in order to achieve peace and stability in the Middle East, it is imperative to have a comprehensive cognizance over the significance of Palestinian grounds towards the Jews and Israel, as there are some compatible and incompatible measures that goes in congruence to Arabic Islam’s interest. Ergo, the contemporary conflict in Palestine cannot be solely espied as an Arabic political issue, nevertheless as a political issue of the Islamic world as a whole. Drs. Nur Munir concludes that this form of contemplation is needed in Indonesia, due to its active commitment in supporting conflict resolution and the independence of Palestine, which is ingrained in paragraph 1 and 4 of Indonesia’s State Constitution and its free and active foreign policy.
Writer : Raditya Bomantara
Editor : Handono Ega P.
[RECAP] Regional Colloquium on Middle East : Perdamaian Negara-Negara Arab dengan Israel : Menilik Jejak, Merintis Langkah
/in Past Events/by iis.fisipolPada hari Senin, 14 Desember 2020, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan edisi kedua dari Regional Colloquium setelah edisi perdana pada tahun 2018. Pada edisi kali ini, Regional Colloquium mengambil kawasan Timur Tengah sebagai fokus utama, dan bertemakan “Post-Trump Middle East: Isu-Isu Geopolitik di Wilayah Timur Tengah Pasca Lengsernya Presiden Donald Trump“. Dengan fokus untuk membahas mengenai implikasi terpilihnya Joe Biden sebagai presiden baru Amerika Serikat terhadap stabilitas regional Timur Tengah, IIS UGM mengundang 4 pembicara pada kesempatan tersebut. Pada sesi panel pertama, IIS UGM mengundang Prof. Dr. Bambang Cipto, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, yang akan membahas mengenai proyeksi kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap kawasan Timur Tengah pada era Presiden Joe Biden.
Sesi pertama tersebut dibuka oleh Muhammad Indrawan Jatmika, staf peneliti IIS UGM selaku moderator, dan dimulai oleh Prof. Bambang Cipto yang memaparkan materinya yang berjudul “Kepentingan Amerika di Timur Tengah”. Prof. Cipto menuturkan, bahwa Kepentingan utama Amerika Serikat di Timur Tengah adalah mempertahankan eksistensi Israel dan melindungi kepentingan Israel di Timur Tengah, karena Israel adalah perpanjangan tangan bagi Amerika di kawasan tersebut. Pengaruh lobi Yahudi yang kuat di Amerika Serikat, salah satunya lewat AIPAC memberikan jaminan bahwa presiden AS terpilih selalu mempertahankan eksistensi Israel dari gangguan negara lain di Timur Tengah. Sebagai “anak emas” AS, Israel menikmati bantuan luar negeri dalam jumlah besar dari AS, yang dialihkan Israel untuk merealisasikan superioritas militer di kawasan. Selain itu, dukungan AS terhadap Israel juga dapat dilihat dalam PBB, dimana Israel selalu memiliki posisi yang kuat karena dukungan AS. Sebagai penutup Prof. Cipto menekankan bahwa AS dibawah Biden kemungkinan besar akan tetap mempertahankan kehadirannya di Timur Tengah via Israel, meskipun dengan dengan beberapa penyesuaian pada kebijakan peninggalan AS.
“Principled but Pragmatist : Proyeksi Politik Luar Negeri Joe Biden di Timur Tengah” merupakan judul materi Dr. Nur Rachmat Yuliantoro pada sesi kedua panel pertama. Dr. Rachmat membahas mengenai beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh Biden dalam menangani kawasan Timur Tengah, yang disebut Biden sebagai salah satu kawasan penting dalam tulisannya “Why America Must Lead again : Rescuing U.S Foreign Policy After Trump”. Biden memandang bahwa AS kini sudah tidak lagi menjadi pemimpin global, dan Biden ingin memperbarui kebijakan luar negeri AS untuk mendukung AS kembali ke posisi tersebut. Namun, terkait dengan kawasan Timur Tengah Biden harus mempersiapkan AS terhadap beberapa tantangan, seperti : (1) bagaimana AS akan menangani Iran, (2) menentukan sikap terhadap Turki, (3) merumuskan dan menjalankan kebijakan pendukung demokrasi dan partisipasi politik yang lebih luas di kawasan, (4) menjadi penengah “yang adil” bagi kesepakatan damai yang benar benar menekankan kepada kepentingan Palestina, dan (5) menemukan penyelesaian “yang diterima” secara luas terhadap krisis Yaman, Civil War di Suriah dan Instabilitas Irak dan Afghanistan.
Pada panel kedua yang bertemakan geopolitik dan perdamaian terkini di kawasan Timur Tengah, IIS mengundang Dr. Siti Mutiah Setiawati, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Drs. Nur Munir, Direktur Islamic and Middle East Research Center, Universitas Indonesia. Dr. Siti Mutiah membuka panel dengan memaparkan mengenai signifikansi geopolitik dari wilayah Palestina yang seringkali menjadi sumber konflik dan instabilitas kawasan. Bagi bangsa Arab, wilayah Palestina merupakan tanah yang sudah mereka tinggali dari tahun 60 M, dan juga merupakan tempat suci ketiga bagi umat Islam, yang merupakan agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Arab. Di sisi lain, Palestina juga memiliki nilai penting bagi bangsa Yahudi, karena wilayah Palestina merupakan wilayah yang dijanjikan oleh Tuhan bagi orang-orang Yahudi, dan tidak ada kompromi untuk wilayah Palestina. Perbedaan nilai dan kepercayaan inilah yang melatari konflik berkepanjangan diantara negara-negara Arab dengan Israel atas wilayah Palestina. Meskipun begitu, Setelah tahun 1973, perkembangan baru mulai terjadi dalam bentuk dimulainya gelombang pembukaan hubungan diplomatik negara Arab dengan Israel dan mulai terpecahnya Pan-Arabisme.gelombang ini diawali oleh Mesir pada 1978, Yordania pada 1994 dan dan Uni Emirat Arab serta Bahrain pada tahun 2020.
Pada sesi terakhir, Drs. Nur Munir membawakan materinya yang berjudul “Road Path Toward the Future of Jerusalem According to the View of the State of Israel : Academic Search to Find a Proper Political Standing of the Republic of Indonesiato Contribute Making a Better World”. Drs Nur Munir memaparkan sudut pandang Israel terhadap signifkansi wilayah Palestina, terutama kota Yerusalem sebagai salah satu dasar kebijakan Israel. Drs. Nur Munir menekankan, bahwa untuk mencapai perdamaian dan stabilitas regional di Timur Tengah, diperlukan pemahaman atas signifikansi wilayah tersebut bagi bangsa Yahudi dan Israel, karena ada bagian yang dapat sejalan dan tidak sejalan dengan kepentingan umat Islam di Arab. Selain itu, konflik dan sengketa wilayah Palestina kini tidak bisa hanya dipandang sebagai isu politik dunia Arab semata, tetapi juga sebagai isu politik dunia Islam secara menyeluruh. Sebagai penutup, Drs. Nur Munir menyimpulkan bahwa pemahaman ini juga diperlukan oleh Indonesia dalam peran aktifnya dalam mendukung resolusi konflik dan kemerdekaan Palestina, yang sejalan dengan Alinea 1 dan 4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia serta kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif.
Penulis : Raditya Bomantara
Penyunting : Handono Ega P.
[RECAP] Beyond The Great Wall #12 : China 2020: Flashbacks and Future Challenges
/in News (English), Past Events/by iis.fisipolOn Friday (11/12), Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) organized another discussion forum, the 12th and the last Beyond the Great Wall (BTGW) of 2020. This forum discussed “China 2020: Flashbacks and Future Challenges”. Speaking were Arum Dyah Rinjani (fresh graduate of Department of International Relations Universitas Mataram), Lazarus Andja Karunia (part-time staff for Direktorat Riset Industri UGM), and Dr. Nur Rachmat Yuliantoro (lecturer at Department of International Relations UGM).
Arum Dyah Rinjani commenced the forum with her presentation on “Maritime Environmental Security: Implications of Nine-dash Line Claims on Maritime Environmental Degradation in South China Sea”. China’s nine-dash line claims steered several Chinese policies on the territory, causing a handful of maritime conflicts. From 2009-2016, 8.795 news on maritime conflicts were released, in contrast with mere 25 on maritime environmental security and resource protection in the area.
While most of China’s activities in SCS relate to maritime security, at least two of them contributed to severe environmental degradation: land reclamation and overfishing. China has been doing land reclamation since 2013, making up 3.200 ha of artificial island. The activity destroyed reefs, increased muddiness, released harmful chemicals, created sedimentary sands which killed underwater organisms, and inflicted several destructions beyond repair. Meanwhile, China used large ships, dangerous substances, and heavy equipment in fishing. China’s overfishing caused decrease in fish stocks and catches, endangered biodiversity, harmed reefs, and sparked clashes with other countries. Ecologically, the phenomenon made one of the worst overfishing and reef degradation records in history. It is 99% China’s fault, Arum claimed.
Lazarus Andja continued with discussions on “Great Peek Forward: How Surveillance Technology Shaped China’s Response Towards Coronavirus”. By surveillance, Andja meant structured observation. China has frequently utilized surveillance technology, even prior to the pandemic. There were at least 2.58 million cameras in Chongqing used to observe 15.35 million people, particularly for law enforcement and automatic response for violations through the social credit system. The same was also done in Xinjiang to supervise people and limit mobility. However, surveillance was still localized and yet to reach national scale.
To better understand the case, Andja used the post-panoptic surveillance concept. It means the use of several separate surveillance tools which, at the end, will consolidate into one strategy. Post-panoptic surveillance is not limited to physical institutions like schools, prisons, and factories, hence the lack of awareness of the object while being observed. Moreover, it is used not to control, but to discipline. Three aspects make up post-panoptic surveillance: surveillant assemblage, deterritorialization, and reassembly.
Surveillant assemblage means the tools used to execute surveillance. In China, it includes color coding, drones, social credit system, and social media supervision. Alipay Health Code uses color coding to indicate different health levels in Hangzhou to limit mobility. People in Hangzhou can only go to green-coded areas in the app. Travelling to yellow areas will end up with requirement of one-week quarantine, while visit to red areas require two-week quarantine. Moreover, drones function to assist observation and give out reminders to obey health protocols. Failure to obey will result in deduction of social credit points, while good deeds—i.e. serving as front-liner health workers—will be rewarded with extra points. The more points one has, the more social opportunities will be available. In addition, the government uses social media surveillance to sensor critics and rebellious acts through keyword filtering.
Deterritorialization is data gathering from physical space and creation of individual data doubles. In deterritorializing, the government partnered with at least four parties: (1) with Alibaba who assisted data gathering regarding individual health risk; (2) with Baidu’s AI technology Intelligent Changsan which processes citizen reports by phone; (3) with SkyNet who assisted the police through CCTV observation; (4) and with MicroMultiCopter which supplied 100 drones to 11 cities.
Lastly, reassembly is the process of gathering data doubles in accordance with the need of users. In China, amongst the various users are the war room (which is the center of city and village level supervision), the central government, and the police. That said, the people’s biggest fear is surveillance creep or data abuse by the authorities.
Dr. Nur Rachmat Yuliantoro delivered the last presentation on “Technology and Daily Lives of the Chinese: Is It Convenience, Fear, or Something Else?”. He showed different pictures (some of them taken directly by him) to show changes in daily conduct supported by the advancement of technology in China. The first picture exhibits a street merchant in China providing a barcode as means of payment, indicating China’s progress towards a cashless society. The second picture showcased wireless charging facilities in lamp posts across Wuhan.
The next picture captured Meituan Dianping app—similar to Gojek, providing several services in one platform—and Ele.Me—which delivers food with drones—that facilitates convenience for Chinese people. However, as much as it is efficient, the existence of these digital convenience sparked protests from partner restaurants because of its high fee. There’s also growing concerns of data abuse.
Moreover, technology allows everyone to easily access many services and do many things through mobile phones, including livestreaming features. Nonetheless, again, such convenience brings new concerns: recently, there was a man in China who got imprisoned after exposing personal data of a woman recently infected by COVID-19 following club visits. Nowadays, China also adopts face recognition technology that is advanced enough to identify masked faces.
While all the hi-tech tools mentioned above accommodate comfort and efficiency, they also pose obstacles to certain groups of the society, in particular the elderly.
Writer : Denise Michelle
Editor : Medisita Febrina
[RECAP] Beyond The Great Wall #12 : Cina di Penghujung 2020: Kilas Balik dan Tantangan ke Depan
/in Past Events/by iis.fisipolPada Jumat (11/12) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) kembali mengadakan forum diskusi Beyond the Great Wall (BTGW) yang ke-12, sekaligus yang terakhir di tahun 2020. Forum BTGW yang ke-12 ini mengangkat tema “Cina di Penghujung 2020: Kilas Balik dan Tantangan ke Depan” dengan menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu: Arum Dyah Rinjani (Lulusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Mataram), Lazarus Andja Karunia (Tenaga Mahasiswa Paruh Waktu Direktorat Riset Industri UGM), dan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM).
Pemaparan pertama disampaikan oleh Arum Dyah Rinjani dengan judul “Keamanan Lingkungan Maritim: Implikasi Klaim Nine-Dash Line Terhadap Degradasi Lingkungan Laut di Laut Cina Selatan”. Eksistensi klaim Nine-Dash Line Cina telah “menyetir” berbagai kebijakan yang diambil oleh Cina di Laut Cina Selatan sehingga menyebabkan berbagai konflik maritim di sana. Pada tahun 2009-2016, terdapat sekitar 8.795 berita mengenai perselisihan maritim di Laut Cina Selatan, sedangkan hanya ada 25 laporan berita mengenai isu keamanan lingkungan laut dan perlindungan sumber daya laut di Laut Cina Selatan.
Meskipun dinamika kegiatan Cina di Laut Cina Selatan didominasi oleh diskursus mengenai keamanan maritim, namun setidaknya terdapat dua kegiatan Cina yang turut berkontribusi terhadap degradasi lingkungan laut di Laut Cina Selatan, yaitu reklamasi pulau dan overfishing. Kegiatan reklamasi telah dilakukan Beijing sejak Desember 2013 dan telah mencapai luas 3.200 hektar. Dampak dari kegiatan reklamasi ini adalah hancurnya sistem terumbu karang, sejumlah besar kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, peningkatan kekeruhan air dan pelepasan bahan kimia, dan endapan pasir yang akan membunuh organisme laut. Sementara itu, kegiatan overfishing yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan menggunakan kapal-kapal berkapasitas besar, bahan yang destruktif, dan alat-alat berat. Dampaknya adalah penurunan stok ikan di lautan dan jumlah tangkapan, penurunan angka hewan langka, kerusakan terumbu karang, serta ketegangan dengan negara lain. Menurut pandangan ekologis, fenomena yang terjadi di Laut Cina Selatan ini adalah salah satu fenomena terburuk dalam perikanan dan kerusakan terumbu karang dan Cina 99% bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Pemaparan kedua dilanjutkan oleh Lazarus Andja Karunia yang membahas “Great Peek Forward: Bagaimana Teknologi Surveilans Membentuk Respons Tiongkok Terhadap Virus Corona”. Dalam pemaparan ini, yang dimaksud dengan surveilans adalah observasi terstruktur. Sebelum pandemi, teknologi surveilans sudah banyak digunakan di Cina. Terdapat setidaknya 2,58 juta kamera di Chongqing untuk mengamati 15,35 juta orang yang utamanya digunakan untuk penegakan hukum serta membangun sistem respon otomatis terhadap pelanggaran hukum melalui social credit system. Operasi surveilans juga digunakan di Xinjiang untuk mengawasi warga dan membatasi gerak. Namun, sistem ini masih bersifat lokal dan belum menyeluruh secara nasional.
Dalam menjelaskan hal ini, Lazarus Andja menggunakan kerangka konseptual Surveilans Post-Panoptik, yaitu penggunaan alat-alat surveilans yang cenderung terpisah namun pada akhirnya akan mengerucut pada satu strategi. Post-panoptik tidak terbatas pada institusi fisik seperti sekolah, penjara, dan pabrik, sehingga pengawasannya tidak terasa dan tidak terlihat, dan bertujuan untuk mengontrol, bukan mendisiplinkan. Terdapat tiga aspek dalam surveilans post-panoptik, yaitu surveillant assemblage, de-territorialization, dan reassembly.
Surveillant assemblage adalah alat-alat yang digunakan untuk surveilans. Surveillant assemblage yang digunakan di Tiongkok dalam pandemi adalah penggunaan kode warna, penggunaan drone, adaptasi social credit system, dan pengawasan media sosial. Kode warna digunakan dalam aplikasi Alipay Health Code untuk menentukan tingkat kesehatan sehingga penduduk di Hangzhou hanya bisa berpindah ke lokasi yang berwarna hijau di aplikasi. Jika mendatangi lokasi yang berwarna kuning, maka warga akan diminta karantina selama satu minggu dan jika lokasinya berwarna merah akan diminta karantina selama dua minggu. Di samping itu, drone juga digunakan untuk mengawasi dan mengingatkan warga mengenai protokol kesehatan. Pelanggar protokol kesehatan akan dikurangi poinnya dalam social credit system dan tenaga kesehatan lini depan akan diberi tambahan poin. Poin-poin ini nantinya akan berguna karena dengan poin yang semakin banyak, maka kesempatan sosial yang dimiliki pun semakin luas. Pengawasan media sosial pun terus dilakukan oleh pemerintah karena setiap kritik dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah di ranah online akan disensor melalui keyword filtering.
Yang dimaksud dengan deterritorialization adalah pengambilan data dari ruang fisik dan pembentukan data double dari individu. Bentuk kemitraan pemerintah Cina dalam deterritorialization dilakukan setidaknya dalam empat aspek, yaitu Alibaba yang membantu pengumpulan data masyarakat terkait resiko kesehatan tiap individu, Artificial Intelligence (AI) milik Baidu bernama Intelligent Changsan yang digunakan untuk memproses pelaporan warga melalui telepon, SkyNet yang membantu kepolisian mengawasi melalui jaringan kamera CCTV, dan MicroMultiCopter yang menyuplai 100 buah drone ke 11 kota.
Reassembly adalah penyatuan ulang data double sesuai kebutuhan institusi pengguna. Reassembly oleh Tiongkok digunakan oleh war room (pusat pengawasan tingkat kota dan desa), pemerintah pusat, dan kepolisian. Namun, yang menjadi ketakutan utama masyarakat Tiongkok adalah surveillance creep atau penyalahgunaan data oleh pihak yang berwenang.
Pemaparan terakhir disampaikan oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro mengenai “Teknologi dan Hidup Keseharian Warga Cina: Kemudahan, Ketakutan, atau Apa?”. Pemaparan ini menampilkan berbagai foto (beberapa di antaranya difoto langsung oleh Pak Rachmat) yang menunjukkan berbagai perubahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi di Cina. Foto pertama adalah foto penjual kaki lima di Cina yang di gerobak jualannya terdapat barcode sebagai alat pembayaran. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi telah mengubah wajah Cina yang berusaha menjadi cashless society. Foto kedua menjelaskan adanya teknologi mengisi baterai handphone secara wireless dengan menggunakan piranti yang tersedia di beberapa tiang lampu di Wuhan.
Selanjutnya, terdapat foto aplikasi Meituan Dianping (sejenis aplikasi Gojek dengan berbagai layanan dalam satu aplikasi) dan Ele.Me yang memberikan kemudahan bagi banyak orang. Namun, di sisi lain, keberadaan aplikasi menimbulkan protes dari pihak restoran mitra karena mengenakan charge yang besar bagi restoran mitra dan malah cenderung merugikan. Ada pula kekhawatiran dari masyarakat akan adanya penyalahgunaan data oleh pihak Meituan Dianping. Kemajuan teknologi lainnya adalah aplikasi Ele.Me mulai mengoperasikan drone untuk mengantar makanan ke lokasi pemesan.
Selain itu, kemajuan teknologi membuat orang dapat dengan mudahnya melakukan dan mengakses banyak hal melalui telepon genggam, sehingga banyak orang mulai melakukan live streaming kegiatan yang dilakukan. Namun, kemudahan ini juga seringkali menimbulkan kerugian bagi banyak orang, seperti yang terjadi baru-baru ini di mana seorang lelaki di Cina dipenjara karena mengekspos data pribadi seorang perempuan yang baru saja terinfeksi COVID-19 dan menghina perempuan tersebut karena terdapat foto ia mengunjungi club dan bar selama dua minggu sebelum ia terinfeksi COVID-19 sehingga menimbulkan banyak komentar negatif.
Kini terdapat pula teknologi pemindai wajah untuk mengidentifikasi orang yang menggunakan masker. Berbagai kemajuan teknologi ini di satu sisi membawa kemudahan, namun di sisi lain menimbulkan kesulitan tersendiri bagi beberapa kelompok masyarakat, terutama yang sudah tua.
Penulis : Denise Michelle
Penyunting : Medisita Febrina