Institute of International Studies
BA Building, 5th Floor, 503
Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio-Justisia No.1 Bulaksumur
Yogyakarta 55281, Indonesia
Contact Us
Phone:
+62-274-563362 Ext. 115
+62-818-0650-7041 (WhatsApp)
E-Mail:
iis.fisipol@ugm.ac.id
Beyond the Great Wall #7 : China’s Challenge in early 2020
/in News, News (English), Past Events/by iis.fisipolBeyond the Great Wall #, 7 is the first edition of the notorious Beyond the Great Wall Forum that occurs in the year of 2020. On this occasion, the Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) invited two key speakers to scrutinize the threats to China in the early years of 2020 which may impede the economic development of China. For the main speaker, IIS UGM invited Nurrudin Al Akbar, a doctoral student in Political Science, Universitas Gadjah Mada brought up the topic titled as “Wuhan Jiayou: China’s tale in Challenging the Social Construct in the Era of Pot-Truth?”, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, a lecturer in the discipline of International Relations, Universitas Gadjah Mada became the second speaker who brought out a contextualization in the book “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy?”. In this BTGW series, IIS UGM invited Indrawan, a researcher at IIS UGM as the moderator.
As we all know that in early 2020, China struggles to face the dire dispersion of the Coronavirus disease 209 (Covid2019), which has now become a global pandemic that spans through a myriad of states globally. Nuruddin stipulates that there is a trend of narration and construction by the International media nor the Western which situated China as the “convict” who initiated the Coronavirus. The construction and narration become relevant, due to its capability to influence the international community’s perspective towards China. Hence, creating an accusation over China’s negligence in hindering the dispersion of the aforementioned virus. According to Nuruddin the negative construction towards China by in turn may hamper the Chinese government’s efforts in managing the spread of coronavirus.
This particular trend is abbreviated by Nurudin as the era of “Post Truth”—in which information that is fashioned in such manner consequently erects uncertainty and a vexatious environment to the masses. The information that is fabricated and given to the public regarding the existence and mitigating measures utilized, by in turn becomes the trigger to several problematics, such as fret towards the spread of the virus, excessive fear, the lack of trust towards the government, and to its peak, would be the inception of Sino phobic sentiments and racism directed towards the global Chinese ethnicity. Ironically, the construction towards uncertainty has previously occurred during the spread of the SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) epidemic as well as the MERS (Middle East Respiratory Syndrome) epidemic.
[layerslider id=”23″]
The phenomenon of “Wuhan Jiayou” that occurs in Wuhan, that is the center of the Coronavirus spread is remarked by Nuruddin to be potentially vexing in facing the construction within the era of Post Truth, which also includes the complication in managing the dispersion of the coronavirus. The Chinese government should appeal to the Wuhan Jiayou spirit in order to deconstruct and foster the awareness of synergetic movements in tackling the spread of the virus. The impact imparted by the Wuhan Jiayou has the effect of deconstruction directed towards the Western media which inclines to postulate on racist based elucidation towards China. Ergo, by changing such narration to a new narration that postulates on the notion of human integrity and unity, exhibits an image that the Wuhan community of China requires a moral foundation and support in facing the corona epidemic.
Notwithstanding, if the first session contemplates over the complications that the Chinese government faces in tackling the Coronavirus, the second session postulates over the book review of “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy?” by Nur Rachmat Yuliantoro. In order to decipher over the reality in which the Chinese government under Xi Jinping’s’ administration is in jeopardy, the book explores on four different key points that may threaten and destabilize the economic growth of China, in correlation to the symbolization and philosophy of the Chinese flag (Red Flags).
The first issue faced by the Chinese government would be the debt issues, in which contemporary Chinese economic growth is steered by debt which may dismantle Chinese economic stability. This also correlates to the second issue that is the Yuan and Renminbi currency that is still swayed by the Chinese government in the context of mobility and exchange rate. The third issue would be the Middle-Income trap, which is caused by the state control over several industrial sectors, hence causing difficulties for China to advance their next stage of development. The fourth issue would be the aging population phenomenon, hence rendering an unproductive working-age population. Four of these issues are regarded to negate Chinese economic development to the possibility of collapse. Furthermore, four of these issues may threaten the legitimacy of the Chinese Communist Party and it may erect distrust by the public towards the party, hence leaving it to a state of Jeopardy as emphasized by Magnus.
Writer : Raditya Bomantara
Editor: Handono Ega P.
Beyond The Great Wall #7: Tantangan Cina di Awal Tahun 2020
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaBeyond The Great Wall #7 merupakan edisi pertama forum Beyond The Great Wall di tahun 2020. Pada kesempatan kali ini, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengundang dua pembicara untuk membahas mengenai tantangan di awal tahun 2020 bagi pemerintah Cina yang dapat menghambat perkembangan ekonomi Cina. Sebagai pembicara pertama, IIS UGM menghadirkan Nuruddin Al Akbar, Mahasiswa Doktoral Imu Politik, Universitas Gadjah Mada yang membawakan materi berjudul “Wuhan Jiayou: Kisah Cina menantang Konstruksi di Era Post-Truth”. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi pembicara kedua dengan reviu buku yang berjudul “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy”. Pada BTGW kali ini, IIS UGM turut menghadirkan Indrawan Jatmika, peneliti IIS UGM sebagai moderator.
Pada awal tahun 2020, Cina kesulitan dalam menghadapi persebaran Coronavirus disease 2019 (Covid2019), yang kini menjadi pandemik global dan telah menjangkau banyak negara di dunia. Nuruddin memaparkan bahwa ada sebuah tren konstruksi dan narasi oleh media Internasional yang terkesan memojokkan dan menempatkan Cina sebagai “pesakitan” yang memulai pandemik virus Corona. Konstruksi dan narasi ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi perspektif masyarakat global terhadap Cina yang dianggap lalai dalam menyikapi persebaran virus tersebut. Konstruksi negatif terhadap Cina tersebut dinilai Nuruddin justru akan mempersulit tindakan pemerintah Cina dalam mengatasi virus Corona.
Tren inilah, yang disebut Nuruddin sebagai era “Post Truth”. Sebuah informasi yang dikemas sedemikian rupa sehingga sarat dengan ketidakpastian, menimbulkan keresahan dan kekhawatiran pada masyarakat luas. Informasi yang ditujukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang eksistensi dan langkah mitigasi virus Corona, justru menjadi sebuah pemicu berbagai problematika. Diantaranya adalah kekhawatiran yang tidak pasti akan penyebaran virus, ketakutan berlebihan, ketidakpercayaan pada pemerintah, dan puncaknya, rasisme terhadap masyarakat etnis Cina di seluruh dunia. Ironisnya, konstruksi yang sarat akan ketidakpastian ini juga pernah terjadi dalam epidemik SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) yang telah terjadi sebelumnya.
[layerslider id=”23″]
Fenomena “Wuhan Jiayou” yang terjadi di Wuhan sebagai pusat persebaran Corona virus dinilai Nuruddin berpotensi menjadi atas permasalahan Cina dalam menghadapi konstruksi di era Post Truth, termasuk dalam menghadapi penyebaran virus Corona. Pemerintah Cina perlu menerapkan semangat Wuhan Jiayou untuk melakukan dekonstruksi dengan membangun kesadaran dan semangat kerjasama dalam menghadapi persebaran virus tersebut, alih-alih ketidakpastian. Efek dari Wuhan Jiayou memiliki efek dekonstruksi narasi media barat yang bernuansa rasis dan memojokkan Cina, dan menggantikannya narasi baru yang lebih mengarah kepada solidaritas kemanusiaan dan persatuan, dan memberikan gambaran bahwa masyarakat Wuhan dan Cina membutuhkan dukungan moril dalam menghadapi pandemik Corona.
Apabila sesi pertama membahas mengenai kesulitan pemerintah Cina dalam menghadapi virus Corona, pada sesi kedua Nur Rachmat Yuliantoro memaparkan reviu dari buku Red Flags : Why Xi’s China is in Jeopardy?”, untuk memahami mengapa pemerintah Cina dibawah rezim Xi Jinping berada dalam situasi yang berbahaya. Buku tersebut menjelaskan mengenai 4 poin masalah yang dapat mengancam kestabilan dan perkembangan ekonomi Cina, dan menghubungkannya dengan filosofi dibalik bendera Cina (Red Flags).
Masalah pertama yang dihadapi pemerintah Cina adalah persoalan utang. Kemajuan ekonomi Cina selama ini dimotori oleh utang. Permasalahan utang dapat menggoyahkan perekonomian Cina. Hal ini juga berhubungan dengan masalah kedua, yaitu mata uang Yuan atau Reminbi yang masih diatur oleh pemerintah Cina dalam konteks nilai tukar hingga mobilitasnya. Masalah ketiga berasal dari Middle Income Trap, yang disebabkan oleh kontrol pemerintah dalam beberapa sektor penting ekonomi, sehingga membuat Cina sulit melanjutkan tahapan pembangunan selanjutnya. Masalah keempat adalah problematika populasi yang kian menua, sehingga usia angkatan kerja tidak sebanding dengan usia non produktif. Hal ini membuat masyarakat Cina secara keseluruhan menjadi tidak produktif. Keempat masalah inilah yang dinilai dapat menghambat atau bahkan membuat ekonomi Cina kolaps. Lebih jauh lagi, keempat masalah tersebut juga dapat mempengaruhi legitimasi Partai Komunis Cina dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai tahapan akhir “jeopardy” yang dimaksud oleh Magnus.
Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti
Rilis Pers #3: Pengaruh Penyebaran 2019-nCoV terhadap Politik dan Ekonomi Global serta Implikasinya terhadap Indonesia
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaPada Rabu 5 Februari 2020, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas mengenai pengaruh politik dan ekonomi dari penyebaran virus 2019-nCoV atau yang lebih popular disebut sebagai Wuhan Novel Coronavirus. Pada kegiatan tersebut, ada 3 poin yang dibahas oleh Arindha Nityasari, Staf Peneliti IIS di bidang Ekonomi Politik dan Pembangunan Internasional dengan didampingi oleh Indrawan Jatmika, Staf Peneliti IIS di bidang Politik Global dan Keamanan.
Kebijakan Evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai Kewajiban Pemerintah
Poin pertama berfokus kepada kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi warga negara Indonesia yang berada di Cina. “Kami percaya, bahwa apa langkah yang sudah diambil pemerintah Indonesia mengevakuasi warga negara Indonesia dari Wuhan adalah keputusan tepat, karena sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk melindungi warga negaranya” papar Arindha. Kewajiban tersebut telah tertulis pada pasal 21 Undang-Undang no 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, dimana pemerintah Indonesia wajib menjaga warga negara Indonesia dari suatu ancaman yang nyata, yang dalam kasus ini berbentuk penyebaran wabah 2019-nCoV. Keputusan pemerintah juga disebut Arindha merupakan sebuah keputusan yang “cukup berani” mengingat resiko yang ditimbulkan dalam proses evakuasi tersebut, dimana terdapat tim evakuasi berisiko terpapar virus tersebut serta kemungkinan virus yang lolos deteksi pada WNI yang telah dievakuasi.
Analisa Kebijakan Travel Ban Pemerintah Indonesia
Poin kedua menjelaskan mengenai kebijakan travel ban oleh Pemerintah Indonesia baik dari maupun menuju Cina. Menurut Arindha, kebijakan ini dapat dijustifikasi karena ancaman 2019-nCoV yang telah melanda 7 negara anggota ASEAN, dan Indonesia memang harus merespon dengan cepat untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga memiliki momentum yang tepat karena mengandung dua nilai strategis. Pertama, pemberhentian yang dilakukan setelah evakuasi WNI berhasil dilakukan menghilangkan kemungkinan retaliasi dari Cina. Kedua, kebijakan dibuat setelah pengumuman World Health Organization yang menyatakan kondisi darurat kesehatan global.
Namun, kebijakan travel ban tentunya menimbulkan beberapa pengaruh dalam hubungan Indonesia dan Cina. Pertama, semakin meningkatnya sentimen anti-Cina di Indonesia karena eksistensi warga Cina yang ada di Indonesia. Kedua, lesunya turisme yang diakibatkan oleh
absennya turis-turis asal Cina yang selama ini telah menjadi salah satu penyumbang turisme bagi Indonesia, meskipun tidak akan bersifat permanen. Terakhir adalah kendala ekonomi yang muncul karena interdependensi ekonomi diantara kedua negara. Sebagai contoh, beberapa proyek pembangunan seperti proyek kereta cepat Indonesia tentunya akan ikut terpengaruh.
[layerslider id=”21″]
Dampak Wabah 2019-nCoV Terhadap Ekonomi Cina
Pada poin terakhir, Indrawan menganalisa dampak 2019-nCoV terhadap ekonomi Cina. Indrawan memaparkan kasus penyebaran SARS pada tahun 2002 sebagai acuan dalam menganalisa dampak ekonomi wabah 2019-nCoV. 2019-nCoV memiliki potensi pengaruh terhadap ekonomi Cina yang lebih besar dibanding SARS pada tahun 2002. Hal ini diperkirakan terjadi karena, persebaran wabah yang bertepatan dengan tahun baru Cina, dimana konsumsi masyarakat domestik seharusnya berada pada tingkat tertinggi. Tidak ada perputaran uang yang terjadi karena berbagai macam industri terpaksa berhenti beroperasi karena penyebaran virus.
Wuhan sebagai pusat persebaran virus 2019-nCoV merupakan salah satu pusat industri Cina. Sehingga lumpuhnya Wuhan berarti lumpuhnya industri di daerah tersebut. Hal ini tentunya mempengaruhi baik perusahaan lokal maupun perusahaan-perusahaan besar yang membuka pabrik di Cina. Bahkan beberapa manufaktur besar seperti Apple terpaksa menutup pabriknya di Cina untuk sementara waktu, sehingga menimbulkan penurunan saham yang mencapai 8%. Selain itu, wabah ini juga mempengaruhi turunnya harga minyak dunia, karena Cina sebagai konsumen terbesar minyak bumi mengurangi konsumsi minyaknya, sehingga negara-negara produsen minyak harus mencari pasar alternatif. Tantangan utama bagi pemerintah Cina menurut Indrawan adalah memulihkan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi Cina, karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bentuk legitimasi Partai Komunis Cina dalam berkuasa.
Apa yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia?
Terakhir, Arindha menutup sesi konferensi dengan menyampaikan saran-saran bagi Pemerintah Indonesia dalam menghadapi persebaran virus 2019-nCoV. Pemerintah Indonesia harus mempersiapkan infrastruktur untuk menghadapi persebaran virus tersebut, karena selama ini masih ada kesan bahwa pemerintah Indonesia belum menganggap serius masalah ini. Diperlukan transparansi dari pemerintah Indonesia untuk memberikan ketenangan bagi masyarakat dengan menggambarkan persiapan pemerintah dalam menghadapi ancaman virus 2019-nCoV. Terakhir, pemerintah Indonesia juga harus mempertimbangkan durasi travel ban baik dari maupun menuju Cina, mengingat kebijakan tersebut berpengaruh langsung kepada interdependensi ekonomi diantara Indonesia dan Cina.
Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti
Press Conference #3: The Impact of 2019-nCoV spread towards the Global Political Economy and its Implication to Indonesia
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaOn Wednesday (05/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held a press conference that ruminates over the impact of 2019-nCoV dispersion or widely known as the Wuhan Novel Coronavirus to the Global Political Economy. During the event, there are three major key points that are postulated by Arindha Nityasari, Research Staff of IIS in the field of International Political Economy and Development accompanied by Indrawan Jatmika, Research Staff of IIS in the field of Global Politics and Security.
The Evacuation of Indonesian Citizens as a State Imperative
The first point pivots on the policy-induced by the Indonesian government, which revolves around the relocation and evacuation of Indonesian citizens within China. “We believe, that the steps taken by the Indonesian government to evacuate Indonesian citizens from Wuhan is a pragmatic take to the issue, because it has been one of the state’s imperative to protect its citizens”. Such policy is stipulated within Article 21 of the Constitutional Act of 1999 number 37 on foreign affairs, at which the state is mandated to protect its citizens from a veridical threat, in which scilicet to this case would be the spread of 2019-nCoV epidemic. The state’s decision as described by Arindha to be “quite daring” despite the risks that may erect during the evacuation process. By which the risk of dispersion directed to the evacuating team is probable, moreover the probability of a carrier to the virus amongst the evacuated citizens to be undetected imposes a high risk to the evacuation process.
An analysis of Indonesia’s Travel Ban Policy
The second point elucidates the travel ban policy by the Indonesian government, let it be flights from China or towards China. According to Arindha, this policy can be justified due to the threat of 2019-nCoV which have diffused 7 ASEAN member states, ergo Indonesia must take a direct and quick response to the spread. Furthermore, the policy has the right momentum due to its’ two strategic values. Firstly, the discontinuation that is induced after the evacuation of Indonesian citizens has been successfully executed impedes the chances of retaliation by China. Secondly, the policy was devised after the statement that is delivered by the World Health Organization which imparts the condition to be a global health threat.
Notwithstanding, the travel ban policy by consequence fabricates several impacts on the inter-states relations of China and Indonesia. First, the increase of anti-Chinese sentiment in Indonesia due to the presence of Chinese citizens athwart Indonesia. Second, the decline of tourism that is caused by the absence of Chinese tourists has been one of the major contributors to the Indonesian tourism industry, despite it being temporary. Lastly, there is economic pressure that is framed due to the economic interdependence between the two partying states. Ad exemplum, several infrastructure projects such as the high-speed railway will determinedly be swayed.
[layerslider id=”21″]
The Impact of 2019-nCoV epidemic to China’s Economy
At the last point, Indrawan scrutinizes the impact of 2019-nCoV on China’s economy. Indrawan imparted the case of SARS dispersion in 2002 as a reference to decipher the economic impact of 2019-nCoV. 2019-nCoV has a bigger potential to influence China’s economy in contrast to the SARS outbreak in 2002. This phenomenon is estimated to be directly caused by, the spread of the epidemic which concur during Chinese New Year, whereupon the domestic consumption should be at its peak. Subsequently, there was no occurring cash flow due to the industry shutdown imposed as a result of the virus’ dispersion.
The city of Wuhan, which is the source of the 2019-nCoV virus is one of the industrial centers of China. This by consequence impacted the performance of local enterprises as well as large corporations that are stationed within Wuhan, China. Inasmuch, several manufacturing giants such as Apple are forced to temporarily close down their factories in China. Consequently, this imposes a major drop to the stock market that reaches the rate of 8%. Furthermore, this epidemic induces a downturn to the price of crude oil globally, as one of the major consumers of global crude oil the threat imposed by the virus reduces the consumption of oil by Chinese industries, hence the majority of oil-producing countries are in need to seek an alternative market. According to Indrawan the primary challenge for the Chinese government is to revitalize its economy and to negate the significant economic impacts prompted by the virus, as China’s economic growth is one of the main methods for the Chinese Communist Party to legitimatize its rule.
What measures can the Indonesian Government take?
In sum, Arindha closed the session of the press conference by conveying several suggestions to the Indonesian government in tackling the issue at hand. The Indonesian government should arrange an infrastructure to counter the spread of the virus because there is a common doxa where the Indonesian government does not take serious measures towards the issue. The paramount importance of transparency within the Indonesian government brings assurance to the citizens by delivering the actions and preparations made by the government in countering the threat of 2019-nCoV virus. Last but not least, the Indonesian government should also reconsider the duration of the travel ban, let it be from or towards China, apropos to the direct impact of the policy induces to the economic interdependence between China and Indonesia.
Writer: Raditya Bomantara
Translator: Handono Ega
IIS UGM Visit to PT Dirgantara Indonesia: Considering Drone Development Prospect in Indonesia
/in News, News (English), Past Events/by iis.fisipolIndonesian should be proud with the newly-introduced Medium Altitude Long Endurance (MALE) drone named Elang Hitam (translated as: Black Eagle), on the end December 2019. Responding the newly-introduced drone, Raditya Bomantara, S.IP, Farah Andri, S.Ds, dan Denise Michelle from Disseminationa and Outreach of Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) visited the headquarter of PT Dirgantara Indonesia (PT DI) as a part of the global movement: Campain on Killer Robots, on Monday (20/01/2020). Muhammad Nainar and Ardya Paradipta from PT DI, as a representative from the team that developed the drone, briefed our team from IIS about Elang Hitam drone that day. The goal of our visit is to earn more informations and discuss further about the development of MALE drone and the use of its technology in Indonesia
MALE Elang Hitam is a project initiated by the Ministry of Defence, which also involves Agency for the Assessment and Application of Technology, Indonesian Air Force’s Research and Development body, and Bandung Institue of Technology, National Institute of Aeronautics and Space, PT DI, and PT Len Industri. Facing many difficulties in supervising the country borders became the start of Indonesian drone development. The lack of supervision on the borders had become an opportunity for smugglers, which then costs the government a fair amount. For that reason, MALE drone will be operated as a surveillance device for the borders with an intensive sortie (up to 24 hours), which would be impossible if the government use conventional aircraft.
[layerslider id=”20″]
There is a plan to arm MALE Elang Hitam, however, Nainar assured that the MALE developd right now is still far-fetched from what we know as Killer Robots. Ardya infromed that MALE drone will act as a reconnaissance, with borders surveillance sortie to transfer images using camera to the mission control. Those image then would be processed by the operator, before deciding further actions. This shows that the operational of MALE drone has not been fully autonomous and still dependant on human in the loop. Even if it is unarmed, MALE will still be able to help border surveillance by sending needed informations that later will be processed by the Indonesian Army.
At the end of the discussion, to reassure people worries about the use of MALE as killer robots, Nainar repeated that Indonesia still has a long way from adopting the killer robots technology. Other than technological factors, the MALE drone performance still need to be assessed and developed until it could be licensed and operated. The MALE technology will be used to supervise borders and not as a weapon since it is what Indonesia needs right now. MALE will also be potential in disaster mitigation such as forest fire, flood, and landslide. MALE will also be useful to get atmosphere imagery that will help with weather forecast. It has a lot more possible benefits other than just as a weapon of destruction if the government used it selectively and carefully.
After the discussion, our team had a chance to visit other facilities inside PT DI to directly observe the drone Wulung, which is the MALE predecessor, also some vehicles that operates as the mission control for the drones. Our team wrapped the visit with a photo session and token exchange with the representatives of PT DI.
Author : Denise Michelle, Raditya Bomantara
Editor : Angganararas Indriyosanti, Muhammad Nainar PT DI
Kunjungan IIS UGM ke PT Dirgantara Indonesia: Menilik Prospek Pengembangan Teknologi Pesawat Nirawak di Indonesia
/in News, Past Events/by iis.fisipolMasyarakat Indonesia tentunya boleh berbangga dengan diperkenalkannya Pesawat Udara Nirawak (PUNA) terbaru kelas Medium Altitude Long Endurance (MALE) pada akhir Desember 2019 lalu yang diberi nama Elang Hitam. Sebagai respon atas pengenalan pesawat nirawak tersebut, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) yang diwakili oleh Raditya Bomantara, S.IP, Farah Andri, S.Ds, dan Denise Michelle dari divisi Diseminasi dan Outreach IIS UGM, melakukan kunjungan ke kantor pusat PT Dirgantara Indonesia (Persero) sebagai bagian dari kampanye global Campaign on Killer Robots pada Senin (20/1/2020) lalu. Sebagai narasumber, pihak PT Dirgantara Indonesia (DI) diwakili oleh Muhammad Nainar selaku project manager MALE dan Ardya Paradipta selaku perwakilan dari tim pengembang pesawat nirawak MALE Elang Hitam. Adapun tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk menggali informasi dan berdiskusi lebih dalam tentang progres pengembangan drone dan teknologi pesawat nirawak di Indonesia.
MALE Elang Hitam merupakan proyek inisasi Balitbang Kementerian Pertahanan dengan konsorsium yang terdiri dari Kementerian Pertahanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dinas Penelitian dan Pengembangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), PT DI dan PT Len Industri. Pengembangan drone tersebut diawali oleh kesadaran Pemerintah Indonesia yang mengalami kesulitan dalam mengawasi wilayah perbatasan. Kurang optimalnya pengawasan wilayah perbatasan sering dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab untuk menyelundupkan komoditas illegal, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Sebagai respon atas fenomena tersebut, pesawat nirawak MALE diproyeksikan sebagai sarana pengawasan wilayah perbatasan dengan tingkatan sorti yang lebih intensif dalam sehari (waktu operasional mencapai 24 jam), yang tentunya mustahil dilakukan apabila menggunakan pesawat konvensional karena keterbatasan fisik manusia.
[layerslider id=”20″]
Meskipun Pemerintah Indonesia memang mempertimbangkan untuk melengkapi MALE Elang Hitam dengan sistem persenjataan, Nainar memastikan bahwa MALE masih terlalu jauh dari apa yang kita kenal sebagai “Killer Robots”. Ardya menekankan bahwa fungsi utama MALE adalah untuk fungsi reconnaissance, dengan tahapan sorti pengawasan perbatasan, mengirim citra dengan menggunakan kamera kepada kontrol misi, dan kemudian diproses oleh operator sebelum menentukan tindakan lebih lanjut. Dengan kata lain, operasional MALE masih mengandalkan model human in the loop sehingga tidak sepenuhnya otonom. Tanpa senjata pun, MALE dapat membantu pengawasan perbatasan dengan memberikan informasi yang kemudian ditindaklanjuti oleh TNI selaku pengawas perbatasan.
Pada akhir sesi diskusi, untuk menjawab kekhawatiran masyarakat terhadap penggunaan MALE sebagai senjata Killer Robots, Nainar kembali menekankan bahwa Indonesia masih sangat jauh dari mengadopsi senjata Killer Robots. Selain beberapa faktor, seperti kekurangan teknologi, kepastian atas performa dan fungsi MALE tersebut harus menunggu berbagai tahapan yang harus dilewati oleh pesawat nirawak tersebut sebelum mendapatkan lisensi resmi dan layak operasional. Dari segi kebutuhan Indonesia sendiri, teknologi yang diusung MALE ini diproyeksikan sebagai wahana pengintai dan perbatasan, bukan sebagai platform persenjataan layaknya drone sekelas yang dimiliki oleh negara lain. Bahkan, MALE juga memiliki potensi untuk digunakan dalam sektor lain, yang membutuhkan keunggulan citra visual dari kamera MALE, yaitu mitigasi bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, longsor dan pencitraan atmosfer untuk mempermudah ramalan cuaca. Potensi yang dimiliki oleh pesawat nirawak jauh lebih besar dibandingkan pemanfaatan yang hanya semata-mata sebagai senjata pembunuh apabila digunakan dengan cermat dan selektif,.
Seusai sesi diskusi, tim IIS mendapatkan kesempatan untuk tur disekitar fasilitas hanggar PT DI dan mengamati langsung pesawat nirawak “Wulung” yang merupakan pesawat nir awak produksi PT DI pendahulu MALE, serta wahana kendaraan yang digunakan sebagai pusat kontrol misi pesawat nirawak. Terakhir, kunjungan ditutup dengan sesi foto bersama dan penyerahan suvenir kepada Nainar selaku perwakilan dari PT Dirgantara Indonesia.
Penulis : Denise Michelle, Raditya Bomantara
Editor : Angganararas Indriyosanti, Muhammad Nainar PT DI.