Institute of International Studies
BA Building, 5th Floor, 503
Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio-Justisia No.1 Bulaksumur
Yogyakarta 55281, Indonesia
Contact Us
Phone:
+62-274-563362 Ext. 115
+62-818-0650-7041 (WhatsApp)
E-Mail:
iis.fisipol@ugm.ac.id
[RECAP] Round Table Discussion: Global Development of Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) and Its Implications on Indonesia’s Foreign Policy and Defense
/in News (English), Past Events/by iis.fisipolOn Friday (6/3), Institute of International Studies, International Relations Department of Universitas Gadjah Mada collaborated with International Relations Department of Universitas Paramadina in organizing Round Table Discussion on Global Development of Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) and its implications on Indonesia’s foreign policy and defense. The event was attended by various stakeholders, ranging from government, scholars, the military, researchers, and experts who proceeded to discuss the matter in hand from different perspectives.
According to the International Committee of the Red Cross (ICRC), the working definition of autonomous weapons (also known as autonomous weapon systems/lethal autonomous weapon systems/killer robots) is a weapon system that possesses autonomy in executing its critical functions of selecting and attacking target without human intervention. Their development is a consequence of the industrial revolution. The lethality of this type of weapon is not inherent in itself. Instead, it depends on the characteristics of the weapons and how they are deployed.
Autonomous weapons are strongly related to international humanitarian law. Notwithstanding their close ties with war practices, there exists a discourse of the use of autonomous weapons in peace, particularly for law enforcement purposes. Many believe the weapon systems are capable of precise targeting, yet the debate on the risk of cyber attack during deployment persists, which constitutes the problem of accountability and alleged violation of international humanitarian law. The debate focuses upon who is responsible: the field operator, the commander, or the creator of its algorithm?
Beside legal considerations, ethics also need to be taken into account. In the forum, questions such as “will autonomous weapons be able to comply with international humanitarian law principles?”, “to what extent should humans have control on weapons?”, “as autonomous weapons are allowed to select and decide upon targets on their own, should it be considered crossing the line?” arose.
[layerslider id=”26″]
Thus far, Indonesian government has not taken a firm stance on the issue. Indonesia still serves as an observer and not a state party to the Convention on Certain Conventional Weapons (CCW). While Indonesia is not against the accession of the Convention, the government might have other priorities. That said, Indonesia has not come to the realization of the urgency and potential threat of the weapon to humanity, keeping in mind the existence of autonomous weapons will, slowly but surely, develop enormous destructive effect.
It is imperative that the Ministry of Foreign Affairs, with support from all national agencies, act as the frontline in convincing the government to access CCW. Moreover, CCW need to be translated into Bahasa in order to transform it into national law. In the future, Indonesia is also expected to increase participation in the forum. Otherwise, the discussion will only stay in academic domain.
As business of unmanned aerial vehicles (UAVs) is also in trend, Indonesia doesn’t want to be left out. Presiden Joko Widodo wished for UAVs to be developed. However, UAVs were not intended to be weapons originally, but to execute the mission of 3D: dull, dirty, dangerous. In other words, such aircrafts weren’t built to be armed. It changed, later, after the national army Tentara Nasional Indonesia (TNI) decided that drones should execute military missions. As much as UAV is beneficial, it can disrupt traffic airline, more so when armed. Unlike autonomous weapons, UAV is already regulated under several ministerial regulations.
The existence of autonomous weapons is highly dilemmatic. Their use is beneficial as they will not be able to experience fear, as well as select and attack targets on their own. Furthermore, they are less costly to deploy. On the other hand, autonomous weapons raise questions on the aspects of chivalry, humanity, and morality in war. In this situation, international humanitarian law plays a central role. Instead of limiting a country’s military advancement, international humanitarian law ensures that steps taken by states are in line with humanitarian principles. Its existence highlights how lack of regulation on autonomous weapons brings about concerns of accountability when violation occurs.
Right now, the utmost priority should be placed on defining typology of LAWS, as there is no existing consensus on the term autonomous weapon systems (AWS). Scholars ought to conduct research regarding autonomous weapons since it is a collective responsibility to create discourse on the urgency of the matter. It is important to note that the situation of AWS now is more complex compared to nuclear weapons. Total ban on autonomous weapons is difficult since the weapons are beneficial for military strategy, namely in efficiency and effectivity when destroying opponents in a shorter period. In addition, AWS also possess defensive aspects, making it even more difficult to entirely abolish them. In brief, the problem of AWS lies not on the core of their existence, but rather on how they are deployed.
Writer: Denise Michelle
Translator: Medisita Febrina
[RECAP] Round Table Discussion: Perkembangan Lethal Autonomous Weapon System (LAWS) Global dan Implikasinya Terhadap Politik Luar Negeri dan Pertahanan Indonesia
/in News, Past Events/by iis.fisipolPada hari Jumat (6/3) lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina kembali mengadakan Round Table Discussion untuk membahas Perkembangan senjata otonom dan implikasinya terhadap politik luar negeri dan pertahanan Indonesia. Round Table Discussion ini kembali mengundang berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, militer, peneliti, serta para ahli untuk mendiskusikan isu ini dari berbagai sudut pandang.
Menurut International Committee of the Red Cross (ICRC), working definition dari senjata otonom (dikenal pula dengan istilah autonomous weapon system, lethal autonomous weapon system, killer robots) adalah sistem persenjataan apapun yang memiliki otonomi dalam fungsi kritisnya dimana dapat memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia. Perkembangan senjata otonom ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya revolusi industri. Masalah mematikan atau tidaknya dari suatu senjata bukanlah hal yang inheren pada senjata, namun tergantung pada karakteristiknya dan bagaimana ia digunakan. Senjata otonom erat kaitannya dengan hukum humaniter internasional. Sampai saat ini ada diskursus bahwa senjata otonom tidak hanya dipakai pada masa perang, namun juga pada masa damai khususnya dalam konteks penegakan hukum. Banyak yang mengatakan bahwa senjata otonom sangat precise targeting, namun perdebatannya adalah bagaimana jika ada risiko serangan siber ketika senjata tersebut dikerahkan, yang sekaligus memicu dugaan pelanggaran dan permasalahan akuntabilitas. Muncul pula perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab, apakah operator lapangan, komandan, atau pembuat algoritmanya?
Selain pertimbangan hukum, diperlukan pula pertimbangan etis. Dalam forum pun muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti “apakah senjata otonom bisa patuh terhadap prinsip-prinsip dasar hukum humaniter?”, “sejauh mana manusia seharusnya memiliki kontrol atas senjata?”, “karena senjata otonom dapat memilih dan memutuskan targetnya sendiri, apakah hal ini crossing the line?”.
[layerslider id=”26″]
Sejauh ini, di level internasional pemerintah Indonesia belum memiliki posisi terhadap eksistensi senjata otonom. Indonesia tidak menentang atau menolak aksesi Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), hanya saja sejauh ini mungkin prioritas negara berbeda. Indonesia pun belum menjadi state party di CCW dan hanya menjadi observer. Dengan fakta bahwa Indonesia hanya menjadi observer di CCW, menunjukkan belum adanya kesadaran Indonesia akan urgensi dan potensi ancaman senjata otonom bagi manusia. Karena cepat atau lambat, eksistensi senjata otonom akan menimbulkan efek destruktif yang besar. Perlu membuktikan kepada pemerintah bahwa aksesi CCW itu penting, dengan melibatkan semua agensi nasional, dimana Kementerian Luar Negeri harus menjadi garda terdepan untuk mewujudkan kepentingan ini menjadi kepentingan bersama. Selain itu, CCW juga harus diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yang berarti dalam bentuk hukum. Kedepannya, Indonesia diharapkan pula lebih aktif dalam forum, karena jika tidak, diskusinya hanya akan berhenti di ranah akademis.
Saat ini, bisnis unmanned aerial vehicle (UAV) sedang tren, sehingga Indonesia tidak mau ketinggalan dalam konteks ini. Presiden Joko Widodo pun menginginkan agar UAV dikembangkan. Awalnya, UAV dibuat bukan untuk senjata, namun untuk melaksanakan misi 3D: Dull, Dirty, dan Dangerous. Pada awalnya, pesawat yang dibangun tidak untuk dipasang senjata, namun TNI ingin agar drone bisa melakukan tindakan sehingga dipersenjatai. Di satu sisi keberadaan UAV menarik, namun di sisi lain ketika diterbangkan, UAV bisa saja mengganggu traffic airline, apalagi jika dipersenjatai. Berbeda dengan senjata otonom, aturan mengenai UAV sudah diatur dalam beberapa permenhub atau permenkominfo.
Jika ditelaah, eksistensi senjata otonom sangat dilematis. Di satu sisi, dalam penyerangan sangat bagus karena tidak takut dan dapat memilih dan menyerang target. Selain itu, senjata otonom cenderung tidak costly. Namun di sisi lain, senjata otonom membuat kita mempertanyakan aspek chivalrous dari perang serta aspek kemanusiaan dan moralitas. Hukum humaniter internasional bukan bermaksud membatasi kebutuhan pengembangan militer suatu negara, namun memastikan agar tindakan yang diambil negara sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kekhawatiran jika senjata otonom digunakan tanpa adanya aturan yang mengatur adalah mengenai pertanggungjawaban jika terjadi tindakan yang melanggar.
Urgensi utama kini adalah untuk mendefinisikan tipologi yang jelas mengenai apa yang dimaksud sebagai LAWS, karena sampai saat ini belum ada konsensus mengenai terma autonomous weapon system (AWS). Para akademisi juga harus mengkaji riset yang berkaitan dengan senjata otonom, sehingga menjadi PR bersama untuk membangun diskursus urgensi isu ini. Situasi AWS jauh lebih kompleks dibandingkan dengan senjata nuklir. Sulit untuk melarang senjata otonom secara total, karena pertimbangannya adalah penggunaan teknologi ini bisa menguntungkan dari sisi militer terutama karena esensi strategi militer, yakni efisiensi dan efektivitas dimana kita dapat mengatasi musuh dalam waktu lebih singkat. Selain itu, AWS juga memiliki aspek defensif sehingga membuatnya sulit untuk dihapuskan secara total. Singkatnya, permasalahan AWS sendiri bukan mengenai esensi dari AWS tetapi bagaimana AWS digunakan.
Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti
Globalization Talk #3 : Globalization Talk and Educating on Globalization
/in News, News (English), Past Events/by iis.fisipolOn Monday (24/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) conducted the third session of the acclaimed Globalization Talk discussion with the theme “Global Citizenship and Educating on Globalization”. On this occasion, IIS UGM have the opportunity to invite Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor at Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC), Hiroshima University, accompanied by Dr. Riza Noer Arfani, Director of IIS UGM to deliver the materials regarding the matter of globalization, global citizenship and education in encountering the phenomenon of globalization. Besides the speakers, IIS UGM also invited Cut Intan Aulianisa Isma, Manager of IIS UGM who is the moderator of the event, as well as several High school teacher representatives athwart Yogyakarta as the guest participant of the event.
Nakaya opened the session by deliberating the quintessential temporal phenomenon of globalization. Globalization unequivocally asserts global implications to various stakeholders, let it be positive nor negative impacts it induces. Ad exemplum, one of the positive impacts imposed by Globalization would be its instantaneous information diffusion, ergo the public have faster access to information. Inasmuch, an expeditious transfer of information prompted the trend of false information dispersal (hoax) nor information that has not been approved of its validity, hence instigating panic and unrest to the public. The introduction was closed with a compelling rhetorical question by Nakaya; “who is capable of averting the negative implications and optimizes the positive aspects of Globalization?”.
The discussion session was recommended by Nakaya by ruminating the exegesis of “Global Citizenship”. Global Citizenship is a solution which asserts public mobility in encountering the impacts of globalization, may it be positive nor negative effects. Nakaya elaborates, that global citizenship can be marked through several features, which is (1) capable of accepting diversity and respect to human rights, (2) exhibiting a collaborative mindset in the sense of exercising dispute settlement mechanisms through cooperative and collective means in the absence of conflict, and (3) situating a positive and active key role in sustaining order among the global community. In order for an individual to possess such features, the paramount importance of honing ones attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills and behavioral capabilities should be exercised.
[layerslider id=”24″]
In order to obtain such key elemental features, globalization education comes to place in fostering such skills. Globalization education acts to foster a just political literacy, sense of violence, and an orientation to social justice. By nature political literacy is mandatory in order to decipher globalization and its implications, hence we can respond properly to the dispersal of globalization. Sense of violence is the awareness to any form of violence, starting from direct violence to ecological violence. The social justice aspect is marked by the apprehension to the concept of justice that is not rigid and sundry in nature, consequently it erects an intellection to assure justice and equality to all parties. The aforementioned aspects can be elaborated through the process of globalization education which should be implemented in Indonesia.
In order to escalate the quality of Global Citizenship, Nakaya offers the concept of Resident Oriented Tourism as a means of development. Resident Oriented Tourism by itself is a form of reciprocal tourism interaction, which does not only bring profit to the tourists that are visiting but also to its local communities, as well it leverages the quality development of human resources in the tourist attraction. In order to realize such practices, the elements of local communities should actively participate in implementing the practices of tourism, and alter the value and image of exclusivity with values that are amiable to global diversity. Nakaya stipulates Yogyakarta as a suitable location in implementing resident oriented tourism and globalization education, due to its status as the epicenter of culture and education in Indonesia. The Special Region of Yogyakarta can act as the hub of global citizenship education through the methods of resident oriented tourism by upholding the value of conviviality, sense of pride to local culture, creativity and active participation in fabricating a tourist destination that is capable of accepting the global community.
The revelation evinced by Nakaya is closed by Riza, who expresses his support towards the importance of Yogyakarta as the epicenter of education and economy in Indonesia. Yogyakarta poses a lucrative potential as a prospective tourist region, and offers the potential in the exchange of ideas, experience and information. The education sector can act as an anchor for the pivot of tourism development. As the director of IIS, Riza also stipulates the affirmed and willingness of IIS in support of educating the community of Yogyakarta pertaining to globalization, which is in line to the stream of research conducted by IIS in the manifestation of advocating. Such alacrity is reflected by the conduct of the previous two antecedent Globalization Talk, viz – Globalization Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) and #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) by IIS UGM.
Author : Raditya Bomantara
Editor : Handono Ega P.
Round Table Discussion: Towards Indonesia’s Ratification of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)
/in News, Past Events/by iis.fisipolOn March 5th, Institute of International Studies, International Relations Department of Universitas Gadjah Mada collaborated with International Relations Department of Universitas Paramadina in organizing Round Table Discussion on Indonesia’s process towards the ratification of Treaty on Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). This event was attended by various stakeholders, including scholars, government, and the military. Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB—Head of the International Relations Department of Universitas Paramadina—along with Dr. Muhadi Sugiono, MA– lecturer from International Relations Department of Universitas Gadjah Mada, as well as campaigner of International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN)—officially started off the event.
The existence of nuclear weapons is closely related to the Cold War. However, nuclear weapons never ceased to develop after it ended. Despite considerable amount of bilateral and multilateral efforts to achieve disarmament, the existence of nuclear weapons endures, partly due to the myth that believes nuclear weapons are beneficial to peace. This condition encouraged civil society, through CSOs, to change the view.
Since 2013, a different perspective in examining nuclear weapons has developed. Instead of mere weapon, nuclear weapons are viewed as a threat to humanity, be it because of its explosion, radiation, or environmental damage. Rather than standing by itself as the only peril to human existence, nuclear weapons might also present itself as a start of an even worse climate crisis.
The effort to abolish nuclear weapons could not succeed through Non-Proliferation Treaty (NPT), as the regime had legal loopholes and lacked legal basis to justify why countries were obliged to disarm. Said flaws encouraged the formulation of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). The enforcement of the treaty gave birth to a legal framework capable of deeming nuclear weapons illegal, so that anyone developing them could be sentenced. TPNW has been adopted since 2017, with 122 countries in favor, 1 abstain, and 1 country against. To date, 82 countries have signed the treaty, including Indonesia. To enable TPNW to enter into force, at least 50 countries have to ratify it. Thus far, 35 countries have ratified the treaty, a large portion of them small countries affected by past trials of nuclear weapons. The adoption of TPNW will not weaken NPT, but rather positively impact its implementation. TPNW requires a greater commitment from state parties on its nuclear program.
International Committee of the Red Cross (ICRC) reckons that it is inadequate to consider nuclear weapons merely from legal perspective. International humanitarian law believes that regulations on nuclear weapons should refer to the opinion of the International Court of Justice in 1996 on the Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons. Referring to the Opinion, nuclear weapons are absolutely prohibited, as they violate plenty of humanitarian principles. However, as it was an advisory opinion, it was not binding and only constituted further debate on what was written. In viewing nuclear weapons, it is also imperative to consider Klausula Martens, which stated that an act of war that has not been specifically regulated under an international community regime needs to be regulated based on humanitarian principles and public opinion.
[layerslider id=”25″]
A few options are available for Indonesia regarding nuclear weapons, which are to ban, to regulate, or to permit its use. Considering Indonesia is one of the first to sign TPNW, she is morally bound to obey the treaty. Therefore, the only thing left to be discussed is its ratification, which relies on the synergy and cooperation between the Ministry of Defense and the Ministry of Foreign Affairs. The challenge that must be tackled in the process of disarmament is the military opinion that nuclear weapons are vital for deterrence of power, which believes that countries need to possess power to dominate other countries in order to tone down aggression.
Now is the right time to ratify TPNW. In the future led by milennials, perceptions on weapons will shift to a more nationalist, assertive, and aggressive view. Future leaders will not see nuclear as an atomic bomb, but rather as a low-yield nuclear weapon with explosive force of only a few kilotons, appropriate to be deployed anywhere. Election trends in 2029 might also be utterly different, filled with issues regarding domestic politics, caliphate, and conservative members of the assembly, hindering attention on ratification process that tends to be extensive. Fortunately, the Minister of Foreign Affairs, Retno Marsudi, realized the importance of TPNW and declared that Indonesia is on its way to ratification.
One of the critics brought up about RTD is the absence of the term ‘weapon’ in TPNW. Its absence was on purpose, which was to anticipate potential shift of existing definitions due to nuclear technology advancement. However, we need to acknowledge that this extension constitutes a blurred and overgeneralized definition.
It is remarkable that the creation of TPNW succeeded in spite of the resentment from countries who own nuclear weapons. As TPNW was purely initiated by third-world countries or countries from the global south, its formulation was not pressured by nuclear weapon owners and more determined by countries victim to nuclear weapons. In the context of deterrence, nuclear weapons may not constitute large-scale wars, but instead small-scaled ones.
As a middle power, Indonesia is quite influential in shaping the international community to be more predicted and in order. Therefore, it is necessary Indonesia to ratify the TPNW in order to strengthen the international effort to abolish nuclear weapons entirely. Ratification will not inflict a significant loss on Indonesia, but rather bring significant gain to the international community. In addition, the treaty doesn’t limit the development of nuclear energy for peaceful uses.
Lastly, TPNW is expected to change approaches to nuclear weapon as a political tool. The process of ratification is in the hands of the Directorate of International Cooperation and Disarmament of the Ministry of Foreign Affairs and the president. It is highly dependent on whether the president identifies this issue as an urgent matter or not.
Writer : Denise Michelle
Translator : Medisita Febrina
Round Table Discussion: Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)
/in News, Past Events/by iis.fisipolPada Kamis 5 Maret 2020 lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina mengadakan Round Table Discussion untuk membahas proses Indonesia menuju ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Acara ini mengundang berbagai pihak terkait, mulai dari akademisi, pemerintah, dan militer. Acara ini dibuka oleh Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB, ketua program studi Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, dan Drs. Muhadi Sugiono, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus campaigner International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN).
Eksistensi senjata nuklir sangat erat kaitannya dengan perang dingin, namun meskipun perang dingin telah berakhir senjata nuklir masih ada dan terus berkembang. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk melucuti senjata nuklir, baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral. Namun yang membuat senjata nuklir masih bertahan hingga saat ini adalah mitos yang terus berkembang atasnya, salah satunya adalah mitos bahwa senjata nuklir dianggap memiliki manfaat untuk mendamaikan. Hal ini membuat masyarakat sipil, melalui civil society organization (CSO) merasa perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan ini.
Sejak tahun 2013, muncul perkembangan pandangan yang berbeda tentang senjata nuklir. Senjata nuklir bukanlah senjata, melainkan ancaman kemanusiaan yang jika digunakan bisa mengancam kemanusiaan, baik karena ledakannya, radiasinya, maupun dampaknya terhadap lingkungan. Jika dilihat, dua ancaman eksistensi manusia saat ini adalah perubahan iklim dan senjata nuklir. Senjata nuklir bisa menjadi awal dari perubahan iklim yang semakin parah. Upaya menghapus senjata nuklir tidak dapat dilakukan dengan rezim Non-Proliferation Treaty (NPT) yang ada, karena di NPT ada celah hukum dan tidak ada basis hukum yang menyatakan alasan mengapa negara-negara harus melucuti. Berkaca pada kekurangan dalam NPT, maka mendorong lahirnya Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Dengan berlakunya TPNW, lahirlah kerangka hukum yang membuat nuklir menjadi senjata ilegal, sehingga siapapun yang mengembangkannya dapat dipidana. TPNW telah diadopsi sejak tahun 2017, dengan 122 negara yang mendukung, 1 negara abstain, dan 1 negara menolak. Sejauh ini, telah ada 82 negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Untuk membuat TPNW enter into force, perlu setidaknya 50 negara untuk meratifikasinya, sejauh ini 35 negara telah meratifikasinya. Sebagian besar adalah negara-negara kecil yang terdampak oleh adanya senjata nuklir karena pernah menjadi lokasi uji coba. Dengan diadopsinya TPNW tidak akan memperlemah NPT, malah memberi dampak positif bagi implementasi NPT. TPNW menuntut komitmen yang lebih besar dari state-party terkait program nuklirnya.
International Committee of the Red Cross (ICRC) memandang bahwa senjata nuklir tidak cukup jika hanya dilihat dari aspek hukum. Dari perspektif hukum humaniter, yang menjadi tolak ukurnya adalah pendapat mahkamah internasional tahun 1996. Namun, yang disampaikan oleh mahkamah internasional hanya bersifat advisory opinion, sehingga sifatnya kurang mengikat dan apa yang dituliskan cukup membawa perdebatan yang lebih panjang lagi. Senjata nuklir adalah sesuatu yang mutlak dilarang, karena berdasarkan asas hukum humaniter, banyak sekali prinsip humaniter yang dilanggar. Dalam melihat senjata nuklir, perlu mengingat adanya klausula martens, yakni ketika ada sebuah peraturan atau tindakan peperangan yang belum diatur secara spesifik dalam rezim komunitas internasional, maka senjata atau perilaku tersebut harus diatur berdasarkan prinsip kemanusiaan dan bagaimana publik berkata.
[layerslider id=”25″]
Indonesia memiliki beberapa pilihan terkait isu ini, yaitu melarang, meregulasi, atau membiarkan. Mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang pertama menandatangani TPNW, berarti Indonesia telah terikat secara moral. Yang perlu dibahas adalah bagaimana bentuk ratifikasinya. Perlu ada sinergi dan kerjasama antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri dalam hal ini. Meski demikian, dari sudut pandang militer, senjata nuklir dibutuhkan karena adanya deterrence of power, dimana setiap negara harus mempunyai kekuatan untuk menguasai negara lain dan negara lain akan melakukan hal yang sama. Dalam militer dipercayai bahwa jika suatu negara kuat dan mempunyai senjata, maka negara lain tidak akan melakukan agresi. Karenanya sulit untuk melakukan disarmament.
Kini adalah kesempatan emas untuk meratifikasi TPNW. Karena kelak, ketika generasi milenial memimpin pada tahun 2030, cara pandangnya akan berbeda dan cenderung lebih nasionalistik, asertif, dan agresif. Di masa depan, generasi tersebut tidak akan memikirkan nuklir seperti bom atom, melainkan sebagai low-yield nuclear weapon yang daya ledaknya hanya beberapa kiloton dan dapat digunakan dimana saja. Tren pada pemilu 2029 pun bisa saja sangat berbeda, terkait dengan politik domestik, khilafah, serta elit politik di DPR yang menjadi lebih konservatif, sehingga proses ratifikasi akan lebih sulit. Mengingat di DPR membutuhkan waktu yang lama dari saat penandatanganan hingga ratifikasi. Namun dalam pesannya untuk ICAN, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia, menyadari pentingnya eksistensi traktat ini dan mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses menuju ratifikasi.
Salah satu kritik yang dilontarkan dalam RTD ini adalah ketiadaan terma ‘senjata’ dalam TPNW. Ketiadaan terma senjata nyatanya merupakan sesuatu yang disengaja untuk mengantisipasi state party agar tidak berupaya menyalahgunakannya. Karena perlu disadari bahwa perkembangan teknologi akan menggeser definisi-definisi yang telah ada, sehingga maknanya sengaja diperluas untuk mengantisipasi perkembangan teknologi kedepannya yang turut melibatkan nuklir. Meski harus diakui bahwa memang membuat definisinya menjadi sangat luas dan kurang jelas.
Meski demikian, TPNW lahir dari proses yang cukup unik karena semua negara pemilik senjata nuklir sangat takut dan tidak menyukai traktat ini. TPNW murni diinisiasi oleh negara dunia ketiga atau negara-negara Selatan. Sehingga dalam proses inisiasi dan pembuatannya pun tidak ada tekanan dari negara-negara yang memiliki senjata, namun justru dari negara korban. Ini merupakan traktat yang justru ditolak dan dihindari oleh negara-negara pemilik senjata nuklir karena secara tegas menyatakan bahwa senjata nuklir dilarang. Dalam konteks deterrence, senjata nuklir mungkin tidak menghadirkan perang dalam skala besar, namun berbeda halnya dengan perang skala kecil.
Indonesia sebagai negara kekuatan menengah (middle power) memiliki kedudukan yang cukup berpengaruh dalam menciptakan dunia internasional yang lebih terprediksi dan teratur. Penting bagi Indonesia untuk segera meratifikasi TPNW. Karena dengan meratifikasi, Indonesia berarti memperkuat norma internasional dalam rangka penghapusan senjata nuklir secara total. Tak hanya itu, meratifikasi TPNW tidak memberikan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, karena biaya yang dikeluarkan cenderung rendah, namun membawa dampak positif bagi dunia internasional secara relatif signifikan. Selain itu, dalam traktat ini tidak ada pembatasan pengembangan energi nuklir selama untuk tujuan damai (peaceful uses). Traktat ini diharapkan dapat membawa perubahan dalam cara pandang terhadap senjata nuklir sebagai alat politik. Proses ratifikasi ada di tangan Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri dan Presiden. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah presiden melihat isu ini sebagai sesuatu yang mendesak atau tidak.
Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti
Globalization Talk #3 : Global Citizenship and Educating on Globalization
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolPada hari Senin, 24 Februari 2020 Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan sesi ketiga kegiatan Globalization Talk yang bertajuk “Global Citizenship and Educating on Globalization”. Dalam kegiatan ini, IIS UGM berkesempatan mengundang Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor dari Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC) Hiroshima University, yang didampingi oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM untuk menyampaikan materinya mengenai globalisasi, kewarganegaraan global dan Pendidikan dalam menghadapi globalisasi. Selain para pembicara, IIS UGM juga mengundang Cut Intan Aulianisa Isma, manajer IIS UGM yang berperan sebagai moderator dan beberapa perwakilan guru dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai peserta tamu.
Acara dibuka dengan pemaparan oleh Nakaya yang menyampaikan pengantar mengenai fenomena globalisasi. Globalisasi tentunya membawa efek global ke berbagai kalangan, baik itu dampak positif maupun negatif. Sebagai contoh, salah satu dampak positif globalisasi adalah persebaran informasi yang lebih cepat, sehingga masyarakat global lebih cepat mengakses sebuah informasi. Namun, persebaran informasi yang cepat tersebut juga diikuti oleh tren penyebaran informasi yang salah (hoax) ataupun informasi yang belum dapat ditentukan kebenarannya, sehingga justru menimbulkan kepanikan maupun keresahan bagi masyarakat. Pengantar ini ditutup dengan sebuah pertanyaan yang menarik dari Nakaya, yaitu: “Siapakah yang dapat menangkal aspek negatif dan mengoptimalkan aspek positif dari globalisasi?”
Sesi pembahasan materi dilanjutkan Nakaya dengan membahas mengenai penjabaran dari “Global Citizenship.” Global Citizenship merupakan solusi yang membuat masyarakat dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak-dampak globalisasi, baik dampak positif maupun negatif. Nakaya menjelaskan, global citizenship dapat ditandai dengan beberapa ciri: yaitu (1) mampu menerima diversitas dan dapat menghormati hak asasi manusia, (2) memiliki pola pikir yang bersifat kolaboratif dan kooperatif dengan manusia lain untuk menyelesaikan sebuah masalah secara kolektif tanpa konflik, dan (3) memainkan peran aktif dan bersifat positif dalam tatanan masyarakat global. Untuk memiliki ciri-ciri tersebut, diperlukan beberapa elemen umum yang harus dipenuhi, yaitu attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills dan behavioral capacities.
[layerslider id=”24″]
Untuk memenuhi elemen-elemen penting tersebutlah, maka edukasi globalisasi diperlukan. Edukasi globalisasi berperan untuk menumbuhkan literasi politik yang baik, sense of violence, dan orientasi social justice. Literasi politik merupakan sebuah keharusan dalam memahami globalisasi dan pengaruh-pengaruhnya, sehingga kita dapat merespon persebaran globalisasi dengan tepat. Sense of violence merupakan kesadaran atas bentuk-bentuk kekerasan, mulai dari direct violence hingga ecological violence. Aspek social justice ditandai dengan pemahaman akan konsep justice yang sangat beragam dan tidak rigid, sehingga muncul pemikiran untuk memastikan keadilan dan kesetaraan untuk semua pihak. Seluruh aspek diatas dapat dikembangkan melalui proses edukasi globalisasi yang tepat dan diterapkan di Indonesia
Untuk meningkatkan kualitas Global Citizenship, Nakaya menawarkan konsep Resident Oriented Tourism sebagai sarana pengembangnya. Resident oriented tourism sendiri merupakan sebuah bentuk interaksi pariwisata timbal-balik, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi turis yang berkunjung namun juga penduduk lokal daerah tersebut, dan tentunya akan membantu mengembangkan kualitas sumber daya manusia di lokasi pariwisata. Untuk merealisasikannya, elemen-elemen masyarakat lokal harus berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pariwisata tersebut, dan merubah nilai -nilai dan imej eksklusivitas dengan nilai-nilai yang ramah terhadap diversitas global. Yogyakarta sendiri dinilai Nakaya merupakan sebuah lokasi yang cocok untuk mengembangkan resident oriented tourism dan edukasi globalisasi, karena statusnya sebagai pusat budaya dan pendidikan di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta dapat berperan menjadi pusat edukasi global citizenship lewat metode resident oriented tourism, dengan menjunjung nulai-nilai keramahan, kebanggaan akan budaya lokal, kreativitas, dan partisipasi aktif dalam menciptakan destinasi pariwisata yang dapat menerima masyarakat global.
Pemaparan Nakaya ditutup oleh Riza yang menyatakan dukungannya atas pentingnya posisi Yogyakarta sebagai pusat ekonomi dan pendidikan di Indonesia. Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, dan menawarkan potensi pertukaran ide, pengalaman dan informasi yang potensial. Sektor Pendidikan dapat menjadi jangkar yang menjadi fokus pengembangan pariwisata tersebut. Sebagai direktur IIS, Riza juga menyatakan kesiapan dan kesediaan IIS dalam mendukung edukasi masyarakat Yogyakarta tentang globalisasi, yang sejalan dengan hilirisasi riset IIS dan berbentuk advokasi. Kesiapan ini tercermin dengan penyelenggaraan dua edisi Globalization Talk sebelumnya, yaitu Globalisation Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) dan #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) oleh IIS UGM.
Penulis : Raditya Bomantara
Penyunting : Angganararas Indriyosanti