Politik Kerjasama Internasional: Sebuah Pengantar [OUT OF STOCK]

ISBN 978-602-99702-8-9
Penulis Nanang Pamuji Mugasejati & Ahmad Hanafi Rais
Tahun Terbit 2011
Harga Rp 15.000

Description :

Seiring dengan perkembangan Studi Hubungan Internasional yang sangat cepat di Indonesia, sudah selayaknya kalangan akademisi berupaya untuk memperkaya referensi dalam bidang keimuan ini. Sehubungan dengan hal tersebut, Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada juga berupaya untuk memperkaya referensi bagi Studi Hubungan Internasional dengan berbagai jenis penerbitan, termasuk IIS Monograph Series.

IIS Monograph Series kali ini menyajikan sebuah pembahasan ringkas, padat, dan jelas mengenai Politik Kerjasama Internasional. Ruang lingkup pembahasan dalam tulisan ini meliputi definisi, kerangka konseptual, dan teori-teori yang menyertainya. Dengan demikian, seri ini dapat menjadi pintu masuk tepat bagi siapapun yang ingin mempelajari Kerjasama Internasional dari aspek politik.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/book/politik-kerjasama-internasional-sebuah-pengantar/>

50 Years of Amity and Enmity: The Politics of ASEAN Cooperation [OUT OF STOCK]

ISBN 978-602-386-292-4
Penulis Poppy Winanti & Muhammad Rum
Tahun Terbit 2018
Harga

Description :

This book intends to offer novel scientific foundation for regionalism studies in Southeast Asia and to provide academics and practitioners with analitycal tools to predict the future of ASEAN regionalism afters 50 years of its establishment.

Building Disaster Resilient Community in Yogyakarta [OUT OF STOCK]

As a research arm, IIS UGM performs editing and publishing manual manuscripts into several outputs, namely: books, monographs, and reports. The publishing process involves the IIS UGM researchers, lecturers of the Department of International Relations of UGM, and research partners. 

ISBN 978-602-7804-22-7
Penulis Yunizar Adiputera, Maharani Hapsari & Muhadi Sugiono
Tahun Terbit 2017
Harga

Description :

Buku ini adalah kumpulan penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 di bawah payung kerjasama antara Program RESPECT Universitas Osaka dan Program on Humanitarian Action, Institute of International Studies, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Kolaborasi antara kedua lembaga ini bertujuan untuk mengatasi masalah manajemen dan pencegahan bencana, yang umumnya dihadapi oleh Indonesia dan Jepang karena keduanya terletak di ‘cincin api’ lempeng tektonik bumi, yang secara berkala bergerak dan menyebabkan gempa bumi dengan magnitudo berbeda. Karena Jepang relatif lebih siap dalam mengantisipasi ancaman bencana dalam hal ekonomi dan infrastruktur, ada pelajaran berharga yang dapat dipelajari dari pengalaman Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya, dan penduduk Yogyakarta pada khususnya, juga telah hidup dengan ancaman bencana selama beberapa generasi dan dalam prosesnya telah mengembangkan berbagai mekanisme penanganan untuk menangani mereka, mungkin bukan dalam hal teknologi dan infrastruktur, tetapi lebih dari itu berupa hal modal sosial. Oleh karena itu, kedua negara memiliki sesuatu untuk ditawarkan satu sama lain ketika berhadapan dengan ancaman bencana.

Proceedings of the 3rd Convention of European Studies

01 August 2014 By Publikasi IIS 

Author(s)

Muhadi Sugiono (ed.)

Publishing Year

2014

Descriptions

The organization of “Bandung Conference and Beyond 2015” intends to commemorate the 60th anniversary of the 1955 Bandung Conference by taking on its emancipatory spirit to revisit the way international relations are studied and practiced. As a generation that inherited the historical emancipatory movement, we have realized that we need to nourish the spirit to understand postcolonized Indonesia through the lens of its own people. In order to achieve a more strategic involvement on the advancement of international studies, the Department of International Relations at Universitas Gadjah Mada has conducted varies studies under an umbrella topic of “Developing Countries: Revisited” in 2014. The result of the study undoubtedly presents a different perspective. Whereas history books compiled by colonizers are usually filled with stories of royals, kingdoms, and conquests, the history written from the people perspectives are more about the people’s struggle to achieve freedom, justice, and peace. We want to continue that endeavor by conducting “Bandung Conference and Beyond”—a conference that we hope can contribute in enriching the process of finding a non-Western approach to international relations.

 

Keywords

European Studies, European Union

Download (https://simpan.ugm.ac.id/s/eSHFx4fIKyFZ7zb#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/proceeding/proceedings-of-the-3rd-convention-of-european-studies/

Bandung Conference and Beyond: Rethinking International Order, Identity, Security, and Justice in a Post-Western World

01 August 2015 By Publikasi IIS 

Author(s)

Eric Hiariej, Poppy Winanti, Nur Rachmat Yuliantoro, Maharani Hapsari (eds.)

Publishing Year

2015

Decriptions

Prosiding dari Konvensi ke-3 tentang Studi Eropa di Indonesia setelah dua pergelaran sebelumnya yang sukses pada 2009 dan 2012. Ini adalah bagian dari inisiatif Program on European Studies, Institute of International Studies (IIS UGM) untuk mengembangkan studi Eropa di Indonesia. Konvensi ini telah menjadi melting-pot untuk akademisi, pengusaha, dan pemerintah dari Indonesia dan Uni Eropa untuk mendiskusikan pandangan dan ide tentang studi Eropa, serta pembaruan terkini tentang hubungan bilateral Indonesia-UE. Buku ini berisi makalah akademik yang disajikan dalam Diskusi Panel dengan 5 tema utama: (1) Eropa dan Studi Hubungan Internasional (IR): Pengembangan Teoritis dan Konseptual; (2) Masalah Kontemporer di Eropa; (3) Pemerintahan Eropa; (4) Hubungan Internasional Eropa; dan (5) Hubungan Indonesia – UE.

 

Keywords

Global South, Bandung Spirit, International Order, non-Western Perspectives

Download (https://simpan.ugm.ac.id/s/Yz6kKPSct11emcO#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/proceeding/bandung-conference-and-beyond-rethinking-international-order-identity-security-and-justice-in-a-post-western-world-2/

Addressing Challenges and Identifying Opportunities for Refugee Access to Employment in Indonesia

Author(s)

Yunizar Adiputera and Atin Prabandari

Year

2018

Keywords

Refugee, Employment Access

Unduh (https://simpan.ugm.ac.id/s/srjhE7cag7H8eDY#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/policy_paper/addressing-challenges-and-identifying-opportunities-for-refugee-access-to-employment-in-indonesia/

Akses Pekerjaan untuk Pengungsi di Indonesia: Peluang dan Tantangan

01 Juli 2018 By Publikasi IIS 

Penulis

Yunizar Adiputera dan Atin Prabandari

Tahun

2018

Description

Indonesia saat ini menjadi tempat bagi sekitar 14.405 pengungsi dan pencari suaka (UNHCR, 2016). Sebagian besar dari mereka berasal dari Myanmar, Afganistan, Irak, Iran, Somalia dan negara-negara lain di Timur Tengah, Afrika,

dan Asia Selatan. Sekitar sepertiga dari pengungsi tersebut menempati 13 rumah detensi imigrasi di berbagai wilayah Indonesia, sepertiga yang lain tinggal di rumah-rumah komunitas (Community House) yang dibiayai oleh International Organization for Migration (IOM), sedangkan sisanya hidup membaur dengan masyarakat lokal (Brown & Missbach, 2017).

Dengan perhatian masyarakat yang masih minim ditambah kapasitas terbatas UNHCR, pengungsi harus menunggu selama 24 bulan untuk penentuan status pengungsi (refugee status determination/RSD) (UNHCR, 2016). Di sisi

lain, kebijakan Indonesia untuk tidak menerima pengungsi menetap secara permanen membuat upaya integrasi dengan masyarakat setempat atau pemulangan sulit dilakukan. Hal tersebut Meninggalkan pemindahan (resettlement) ke negara tujuan pengungsi sebagai solusi paling strategis, tetapi di saat yang sama juga membuat pengungsi harus menunggu lebih lama. Maka, tidaklah aneh untuk menemukan pengungsi yang tinggal di Indonesia selama lebih dari lima atau enam tahun (Gutierez, 2017). Hal tersebut kemudian menjadi problematis, karena kebijakan di Indonesia juga turut melarang pengungsi bekerja secara legal. Ini berarti pengungsi harus tinggal dalam waktu lama tanpa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

Kata Kunci

Pengungsi, Akses Pekerjaan

Unduh (https://simpan.ugm.ac.id/s/srjhE7cag7H8eDY#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/policy_paper/akses-pekerjaan-bagi-pengungsi/>

 

Masa Depan Keadilan Global di Era Trump

 Issue 01 | Februari 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/p5d8B4iGTgYyxBc#pdfviewer)

Kemenangan Trump melipatgandakan tantangan keadilan global.

Pertama, meski kebijakan luar negeri AS masih belum jelas arahnya, satu hal yang pasti: keadilan global bukan prioritas Trump. Sehingga kebijakannya yang belum jelas itu berpotensi melemahkan usaha melawan ketidakadilan global yang sebetulnya belum kokoh. Kedua, kemenangan Trump mensinyalkan adanya trend “nasionalisme dangkal” dalam politik global kontemporer. Mulai dari Theresa May di Inggris sampai Marine Le Pen di Perancis memperlihatkan bahwa nasionalisme kadang dalam bentuk ekstrim kembali menjadi daya tarik. Praktik menyekat-nyekat komunitas; mengeksklusikan mereka yang tidak diinginkan; memprioritaskan satu bangsa di atas yang lain; dan merebut kontrol masyarakat dari “intervensi asing” menjadi semakin marak di kancah politik global.

Bagaimana tantangan tersebut mempengaruhi agenda keadilan global? Apa yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan di tengah dunia yang makin terfragmentasi dan tidak stabil? Langkah apa yang dibutuhkan jika kita masih ingin memperjuangkan ide keadilan dan kesetaraan?

Trump memang tidak pernah menyatakan visi yang koheren soal agenda keadilan global. Meski begitu, keputusan politiknya baru-baru ini mengindikasikan bagaimana Amerika Serikat (AS) akan terlibat dalam politik keadilan global. Pertama, meski belum jelas, Trump memperlihatkan intensi untuk mengurangi keterlibatan AS dalam rezim bantuan global. Setidaknya itu dilakukan dengan mengubah kebijakan bantuan luar negerinya secara signifikan. Dengan begitu AS dapat melindungi “kepentingan nasonal”. dan mengalokasikan ulang sumber dayanya yang sedianya untuk negara belum berkembang, kini diprioritaskan untuk mendukung kebutuhan domestik AS (Quinn, 2016).

Kedua, AS juga akan menerapkan hal serupa dalam ranah kerjasama internasional. AS akan menahan diri untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional”. Bahkan tidak segan untuk keluar dari perjanjian yang sudah disepakati, jika dirasa perlu. Sikap tersebut diambil tanpa mempedulikan konsekuensi pada kemajuan keadilan global dan perlindungan pada yang rentan. Selama masa kampanye, Trump tidak hanya berjanji untuk keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP) (Baker, 2017), tapi juga mengancam untuk keluar dari Paris Accord sebuah upaya mitigasi dari efek pemanasan global (The Guardian, 2016).

Ketiga, AS nampak mengikuti nostalgia kemurnian ala populisme sayap kanan. Demi menciptakan identitas “murni”, AS mengadopsi kebijakan yang keras pada “pendatang”. Larangan imigrasi selama 90 hari bagi warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim dengan jelas merefleksikan sikap keras Trump (Calamur, 2017).

Tatanan keadilan global akan terdampak oleh keputusan-keputusan Trump. Manufer Trump juga akan melemahkan usaha menuju keadilan global serta menciptakan ketidakpercayaan antara negara-negara penandatangan perjanjian internasional. Dengan memotong pengeluaran untuk bentuan luar negeri, AS mengakibatkan berbagai inisiatif keadilan global dalam keadaan bahaya akibat minimnya dukungan finansial. Karena sampai saat ini AS adalah donor terbesar dunia, dengan 24 persen dari total bantuan global di tahun 2014 (Quinn, 2016). Sikap AS tersebut tidak menutup kemungkinan untuk diikuti oleh negara-negara lain. Dengan begitu, perjanjian internasional menjadi disfungsional meski sifatnya krusial. Potensi krisis ini tidak hanya menyetel mundur berbagai pencapaian masyarakat internasional. Hal tersebut juga akan memperburuk ketidakadilan global dengan meninggalkan populasi global yang rentan tanpa dukungan dan perlindungan.

Namun, ini bukan dampak paling signifikan dari pemerintahan Trump. Retorika “America First” miliknya yang menjadi basis berbagai keputusannya bisa menjadi contohnasionalisme dangkalyang memperkuat kelompok populisme sayap kanan dalam politik global. Retorika yang sama bisa mendorong masyarakat untuk bersikap keras pada pendatang atau justru melawan Trump.

Akibatnya, makna solidaritas semakin menyempit. Manusia kehilangan kemampuan mereka untuk melihat warga negara lain sebagai sesama. Dengan begitu, membantu mereka yang bukan sebangsa dilihat sebagai hal yang tidak penting. Sementara absennya AS di bawah Trump membahayakan agenda keadilan global yang ada, retorikanya juga akan mengancam pilar solidaritas global.

Lantas, bagaimana masyarakat global harus bereaksi dengan lanskap yang tidak pasti ini?

Meski manufer AS jelas membahayakan usaha-usaha keadilan global. Di sisi lain, ia juga bisa memberi ruang untuk mentransformasi agenda keadilan global. Pertama, aktor-aktor alternatif seperti Kanada, Jerman, atau Cina dapat mengisi peran yang ditinggalkan AS. Lanskap keadilan global bisa berubah dengan adanya aktor-aktor baru yang menawarkan alternatif sumber daya dan kepemimpinan. Kedua, tatanan baru ini juga bisa menawarkkan alternatif platform baru. Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebagai contoh, dapat dijadikan alternatif kerangka kerja. Dengan menekankan pada pentingnya bantuan yang mutual, tak bersyarat, dan independensi KSS bisa menawarkan metode berbeda untuk asistensi. Apalagi jika dibandingkan dengan usaha kerjasama Utara-Selatan yang banyak dikritik karena perspektif orientalis, relasi kuasa yang asimetris, dan ketidakmampuannya menawarkan lebih dari perlakuan paliatif.

Meski begitu, alternatif tersebut perlu didukung oleh gerakan demokratis. Pada tingkatan masyarakat, gerakan demokratis memperkuat solidaritas dan melawan prasangka. Terlebih, konsolidasi gerakan demokratis bisa menjadi oposisi kuat melawan nasionalisme dangkal. Di sisi lain, gerakan ini juga memberikan insentif bagi elit politik supaya mengikuti nilai-nilai demokratis dibandingkan narasi adu domba. Dengan begitu dinamika komunitas internasional bisa dipengaruhi oleh inistaif-inisiatif di tingkatan lokal.

Di tengah lanskap agenda keadilan global yang berubah, kombinasi antara inisiatif internasional dan masyarakat lokal mampu menawarkan alternatif yang kuat di tengah agenda keadilan global yang tidak stabil. Dengan begitu, diharapkan perlindungan pada yang rentan dan termarginalisasi bisa diwujudkan.

Rizky Alif Alvian

Peneliti di Institute of International Studies

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

rizky.alif.a@mail.ugm.ac.id

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/masa-depan-keadilan-global-di-era-trump/

Sekuritisasi Yang-Umum: Krisis Air dan Masalah Pengelolaan Air di Yogyakarta

 Issue 02 | March 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/79sF5sXEukHc7VY#pdfviewer)

“Siapa yangbisa hidup tanpaair?”

Pertanyaan tersebut krusial untuk menggarisbawahi peran penting air dalam keberlanjutan hidup. Karena keberadaannya yang nampak berlimpah, air sering kali dianggap remeh. Padahal itu terjadi hanya karena banyak orang belum kesulitan mengaksesnya. Akan tetapi, kenyataannya orang-orang di berbagai daerah di dunia kesulitan mengakses air bersih. Sebanyak 1,8 milyar manusia mengonsumsi air yang terkontaminasi feses dan terancam terpapar penyakit (WHO dan UNICEF, 2014). Air yang terkontaminasi, kondisi sanitasi yang buruk, dan permasalahan kebersihan menyebabkan kematian 842.000 orang di tahun 2012 (WHO, 2014). Sementara itu, 663 juta orang masih kesulitan mengakses air minum berkualitas (WHO dan UNICEF, 2015). Sampai tahun 2050, diperkirakan hampir 70 persen populasi yang hidup di kota dibandingkan sebanyak 54 persen saat ini (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, 2014). Banyak kota di negara berkembang tidak memiliki infrastruktur dan sumber daya memadahi untuk manajemen pengelolaan limbah cair yang efisien dan ramah lingkungan (UN Water, 2017). Kesemua hal tersebut membuat krisis air menjadi agenda global Perserikatan Bangsa-Bangsa (Weiner, 2007).

Krisis Air di Yogyakarta

Sejak tahun 2015, sebanyak 15 kecamatan di Gunung Kidul, enam kecamatan di Bantul, lima kecamatan di Kulon Progo, dua kecamatan di Sleman, dan lima kecamatan di Kota Yogyakarta rawan terkena dampak krisis air (Himawan, 2016). Menurut Badan Lingkungan Hidup, sebanyak 70 persen sumber air di daerah tersebut terkontaminasi E-coli(Putra, 2016; Priambodo, 2016). Terlebih, permukaan air tanah di Yogyakarta mengalami penurunan yang konsisten yaitu sebesar 30 cm per tahun[1], yang menandakan bahwa Yogyakarta sedang mengalami permasalahan air dalam hal kuantitas dan kualitasnya. Hal ini menyebabkan kita semua bertanya: apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengelolan sumber daya air?

UNESCO (2006) dan UNDP (2004) menyatakan bahwa krisis air global tidak hanya disebabkan oleh suplai air yang berkurang, tetapi juga kegagalan pengelolaan air oleh pemerintah. Sebenarnya, suplai air cukup untuk setiap orang, tetapi pengelolaan air belum mampu memastikan distribusi yang berkelanjutan. Menurut Castro (2007), pengelolaan air melibatkan interaksi antar-pemerintah, korporasi, partai politik, organisasi sipil dan organisasi lain yang mewakili kepentingan sektoral, agensi internasional, lembaga swadaya masyarakat dan pihak berwenang lainnya. Aktor-aktor tersebut terlibat untuk memutuskan bagaimana sebaiknya penyediaan air dan jasa yang berkaitan tentang air dikelola oleh pemerintah. Dalam skala lain, pemerintah juga harus menyentuh persoalan politik mikro dan makro (Commission on Growth and Development, 2010) yang pada akhirnya akan membentuk tingkat urgensi isu. Dengan demikian, kita dapat mengamati apakah air dikelola dengan adil atau tidak adil dengan melihat dua aspek: (1) keterlibatan banyak aktor dalam kontestasi politik di belakang penyediaan air, serta (2) bagaimana setiap aktor diuntungkan dengan adanya konstruksi dan bingkai isu krisis air.

Pergeseran manajemen air berbasis negara atau pemerintah ke pengelolaan demokratis yang menekankan pada partisipasi, desentralisasi, jaringan, komunitas, dan cara-cara informal dalam mengelola tantangan (Gupta & Pahl-Wostl, 2013) dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan distribusi air. Pengelolaan air yang demokratis menjadi penting dalam konsepkewargaan air, yang berarti proses diskursif dan praktik institusional terhadap air yang menciptakan persatuan, rasa memiliki, dan loyalitas pada ketersediaan air dan infrastrukturnya dengan distribusi, pengaturan dana menajemen air (Neveu et al. 2011 in Paerregaard et al. 2016). Pemenang Nobel Elinor Ostrom dan Penasihat Bidang Air untuk PBB Maude Barlow, memperkenalkan bagaimana kewargaan air sangat berhubungan dengan pengakuan air sebagai hak asasi dan kepemilikan bersama (Dargantes, Manahan, Moss, & Suresh, 2012). Sebagai barang kepemilikan bersama, air harus dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat. Mereka akan memperlakukan air dengan hati-hati karena mereka merasakan manfaatnya.  Masyarakat juga berperan untuk menentukan pihak mana yang berhak menggunakan air serta bagaimana air digunakan. Dengan begitu, partisipasi politik melampaui pendekatan teknokratik bisa diimplementasikan. Keterlibatan secara suka rela juga bisa dijadikan praktik kewargaan (Masri, 2015) atau usaha ‘mengumumkan’ air. Praktik kewargaan air berarti memastikan peran masyarakat sipil dalam pengelolaan air.

Untuk memastikan peran tersebut berjalan, bingkai diperlukan untuk menjustifikasi aksi politis yang dibutuhkan kewargaan air. Bingkai isu di bawah bidang keamanan atau sekuritisasi, dapat dilihat sebagai strategi advokasi ke depan yang mungkin bermanfaat untuk mengikat isu air dengan kelangsungan hidup manusia; memahami bahwa perlindungan terhadap air dibutuhkan untuk menghindari ancaman eksistensial (Buzan, Wæver, & Wilde, 1998). Sekuritisasi menyediakan justifikasi untuk membuat keputusan yang terukur, mengawasi kebijakan publik, dan alokasi sumber daya lebih dari prosedur politik pada umumnya untuk mengurangi ancaman yang mungkin dan menjadikan isu air prioritas utama. Dengan sekuritisasisi air, kebijakan yang diambil akan beralih dari yang berorientasi politis ke penanggulangan atas ancaman eksistensial. Dengan begitu, sekuritasi memerlukan adanya: (1) aktor yang memutuskan dan menentukan isu-isu terkait sekuritisasi (McDonald, 2008; Weaver 1995 in Abrahamsen 2005) dan (2) audiens tetapan target sebagai standar kesuksesan sekuritisasi (McDonald, 2008). Tantangan yang muncul kemudian adalah bagaimana memastikan agar sekuritisasi mampu mewujudkan pengelolaan air yang demokratis. Sekuritisasi krisis air, di sisi lain, adalah proses yang tak boleh membahayakan sifat komunal air. Melibatkan masyarakat dalam proses melindungi air menjadi hal krusial.

Merefleksikan bagaimana pengelolaan air di Yogyakarta berjalan, ada dua hal penting yang patut dicatat. Pertama, ada keterbatasan usaha dari masyarakat sipil untuk menghubungkan isu air dengan keamanan manusia (human security). Bingkai keamanan dan hak asasi sering digunakan, dianggap perlu tetapi masih belum cukup. Masyarakat harus lebih menekankan pada dimensi ancaman eksistensial dari krisis air yang hanya dapat dilakukan dengan menyebutkan akses air sebagai hal esensial untuk bertahan hidup dan merupakan hak hidup. Bingkai tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk mendapat perhatian negara tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya manajemen air untuk bertahan hidup. Bersamaan dengan usaha memperjuangan keadilan dan hak asai, bingkai krisis air sebagai isu keamanan akan menjadikan masyarakat sebagai objek rujukan. Kedua, ketika krisis air terjadi di bawah kondisi lemahnya pengelolaan, mengidentifikasi sumber krisis sebagai sumber bahaya bisa menjadi aksi sekuritisasi yang krusial. Di Yogyakarta, beberapa isu krusial dapat menjadi sumber bahaya: (1) ketiadaan regulasi dalam melindungi akses air untuk masyarakat dari pihak swasta dan memastikan keberlanjutan inisiatif dari komunitas; (2) kurangnya transparansi dari negara dalam hal pembangunan infrastruktur komersial yang berdampak pada kontestasi penggunaan air; (3) kurangnya kontrol sosial dari komunitas untuk mengantisipasi dominasi pasar dalam pengelolaan air; (4) keterlibatan yang minim dari masyarakat sipil dalam pengaturan dan kebijakan menyangkut air.

Isu-isu yang disebutkan menunjukkan bahwa negara kekurangan kapasitas dan niatan politik dalam memenuhi kewajiban dasar yaitu menyediakan air untuk masyarakat dan menjalankan pengelolaan air yang demokratis. Permasalahan krisis air, sebetulnya, ada karena pemerintah yang abai dan pengelolaan yang kurang demokratis. Kedua hal yang menjadi sebab ancaman eksistensial terhadap kehidupan masyarakat. Karena ancaman yang berasal dari negara, isu sekuritisasi air harus dijadikan solusi luar biasa dari lingkaran aktor non-negara (Hadiwinata, 2004)

Masyarakat Yogyakarta harus berperan aktif sebagai warga negara untuk mengisi celah yang dibuat oleh negara. Mereka harus menggarisbawahi sisi ‘kepentingan umum’ dalam sekuritisasi akses air yang penting untuk keberlanjutan hidup, dan di saat yang sama meminta agar pemerintah mengelola air dengan lebih demokratis dan membuka ruang partisipasi yang lebih untuk pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, sekuritisasi air akan menyebabkan pengelolaan air yang lebih demokratis. Karena masyarakat lebih sadar bahwa sumber ancaman berasal dari sistem pengelolaan negara, sehingga mereka menuntut pengelolaan yang demokratis sambil berpartisipasi menciptakan alternatif manajemen air berbasis komunitas. Pengelolaan demokratis di bawah spektrum keamanan memang adalah sebuah tantangan, meski begitu masyarakat butuh memastikan bahwa air sebagai kepentingan bersama selalu dihormati dalam proses melindungi air.

Tadzkia Nurshafira

Asisten Peneliti di Programme on Humanitarian Action (PoHA)

Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada

tadzkia.nurshafira@mail.ugm.ac.id

 

Catatan Kaki

[1] Pidato Halik Sandera, Koordinator WALHI Yogyakarta dalam pembukaan Stakeholder Forum (Forum Pemangku Kepentingan: Membangun Tata Kelola Air Berkeadilan di Yogyakarta. Perspektif Masyarakat Sipil) diinisiasi oleh Programme on Humanitarian Action Universitas Gadjah Mada, 2 Februari 2017.

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/sekuritisasi-yang-umum-krisis-air-dan-masalah-pengelolaan-air-di-yogyakarta/

 

Page 2

Enam Dekade Konferensi Asia-Afrika: Tantangan dalam Menghidupkan Kembali Semangat Bandung

 Issue 03 | April 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/sUd2d4zOSud3aLW#pdfviewer)

Bulan April ini menandakan 62 tahun sejak penyelenggaranaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, sebuah peristiwa di mana 29 negara dari Asia dan Afrika bertemu untuk mempromosikan nilai-nilai anti-kolonialisme dan kerja sama antara kedua benua. Konferensi ini merupakan awal dari pembentukan kerjasama yang lebih mendalam, seperti Gerakan Non-Blok dan G-77. Semangat Bandung atau lebih sering disebut dengan Bandung Spririt, telah mendorong negara-negara KAA untuk melakukan kerjasama berbasis saling menguntungkan dan saling menghormati kedaulatan negara. (Kementerian Luar Negeri, Republik Indonesia, 1955)

Setelah Perang Dingin berakhir, negara-negara KAA terus berupaya untuk mempertahankan Semangat Bandung dengan membangun berbagai kerja sama. Salah satu contohnya adalah pembentukan New Asia-Africa Strategic Partnership (NAASP) yang dipimpin oleh Indonesia dan Afrika Selatan pada tahun 2005. Kerja sama ini dibentuk untuk membangunkan kembali Semangat Bandung yang dinilai “terus menjadi fondasi yang solid, relevan dan efektif dalam membangun hubungan yang lebih baik antara Negara-Negara Asia dan Afrika serta dalam mengatasi permasalahan global yang menjadi perhatian bersama” (Senior Officials Meeting, 2009). NAASP bekerja dalam tiga bidang utama, yaitu politik, ekonomi dan sosial budaya. Kerjasama lain yang menggambarkan upaya negara-negara KAA dalam mempertahankan Semangat Bandung adalah Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebuah unit spesial di bawah United Nations Development Program (UNDP). KSS tidak hanya mendorong kerjasama antara negara-negara Selatan tetapi juga antara negara-negara Selatan dan Utara dalam rangka pembangunan negara Selatan.

Meskipun negara-negara KAA telah membangun berbagai kerjasama tersebut, upaya dalam menghidupkan kembali Semangat Bandung masih menghadapi berbagai tantangan. Setidaknya ada dua tantangan utama yang dihadapi negara-negara tersebut. Pertama, kesulitan dalam membangun kerjasama pembangunan alternatif yang lebih terintegrasi dan transparan. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Upacara Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60, ada kebutuhan yang mendesak bagi negara-negara KAA untuk “membangun sistem ekonomi global yang baru … untuk menghentikan dominasi suatu kelompok negara terhadap negara-negara lain,” (Widodo, 2015). Hal ini penting karena isu pembangunan masih menjadi perhatian utama Negara-Negara KAA dan mereka ingin mengatasi permasalahan tersebut tanpa harus bergantung pada negara pendonor.

Permasalahannya adalah negara-negara KAA belum berhasil dalam membangun pandangan yang sama perihal kerjasama pembangunan alternatif seperti apa yang harus mereka bangun. Salah satu faktor kegagalan ini adalah karena aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangat heterogen, baik dalam hal tingkat ekonomi, sistem politik, maupun prioritas serta kepentingan dalam politik internasional. Sebagai contoh, Jepang merupakan anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sementara Cina merupakan negara yang sering mengkritisi mekanisme OECD. Sulit bagi negara-negara KAA untuk menyetujui mekanisme kerjasama pembangunan alternatif ketika aktor-aktor di dalamnya memiliki pandangan yang cukup kontradiktif.

Seringkali negara-negara KAA juga lebih berfokus pada kerjasama bilateral dibanding multilateral. Tentu saja, kerjasama pembangunan dapat dilakukan melalui mekanisme ini tetapi salah satu permasalahan dalam kerjasama pembangunan bilateral adalah tingkat transparansi yang relatif rendah (Fagan, 2012). Hal ini mempersulit publik untuk mengetahui ukuran serta kesuksesan dari program kerjasama yang dijalankan oleh kedua negara terlibat. Rendahnya transparasi juga dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap program pembangunan negara-negara berkembangyang kemudian dapat digunakan sebagai senjata negara pendonor ‘tradisional’ untuk mengkritisi program tersebut dan memperkuat klaim bahwa program pembangunan miliknya lebih baik.

Selain itu, program pembangunan yang selama  ini diusulkan oleh negara KAA belum memberikan solusi yang cukup berbeda dari program pembangunan yang ditawarkan negara-negara Utara. Program-program tersebut belum sepenuhnya lepas dari institusi pembangunan ‘tradisional’. Salah satu contohnya adalah Contingent Reserve Arrangement (CRA), sebuah kerangka kerjasama yang didirikan oleh Negara-Negara BRICS, yang bertujuan untuk mendukung stabilitas keuangan negara-negara anggotanya. Untuk mendapatkan pinjaman lebih dari 30 persen kuota yang mereka miliki, negara anggota CRA harus terlebih dahulu mendapat structural adjustment loan dari IMF serta memenuhi persyaratannya sebelum bisa mendapatkan pinjaman (Bond, 2016). Hal ini menunjukkan masih adanya ketergantungan program CRA terhadap IMF.

Program ini juga tidak bebas dari kepentingan politik seperti yang mereka klaim. Sebagai contoh, meskipun Presiden Xi mengklaim bantuan pembangunan Cina tidak memiliki ‘keterkaitan politik’, pada kenyataannya, Cina masih menerapkan Kebijakan ‘Satu Cina’ (One-China Policy) sebagai “fondasi politik penting … dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain di dunia.” (Kementerian Luar Negeri PRC, 2016)

Tantangan kedua dalam menghidupkan kembali Semangat Bandung adalah kesulitan negara-negara KAA untuk mengeluarkan satu suara dalam institusi internasional. Hal ini telah lama menjadi salah satu hambatan terbesar bagi negara-negara berkembang terutama karena beberapa negara kekuatan tengah dalam KAA telah menunjukkan persaingan satu sama lain. Sebagai contoh, dalam hal reformasi keanggotaan Dewan Keamanan PBB, India, Afrika Selatan dan Jepang berada pada posisi mendukung. Sebaliknya, Cina secara tidak langsung menunjukkan posisi yang berlawanan terhadap ide ini dengan alasan bahwa reformasi akan mengganggu persatuan dan stabilitas DK PBB. Pada tahun 2011, negara-negara berkembang memiliki kesempatan besar untuk mengisi posisi direktur IMF dengan munculnya kandidat-kandidat dari India, Cina, Meksiko dan Brazil. Akan tetapi, mereka gagal untuk menghasilkan satu suara dalam mengalahkan kandidat dari Amerika, Christine Lagarde. Hal serupa juga terjadi pada pemilihan presiden Bank Dunia pada tahun 2012. Okonjo-Iweala, kandidat kuat dari Nigeria, gagal untuk mendapatkan posisi tersebut karena Cina, India dan Brazil lebih memilih untuk memberikan suara kepada Jim Yong Kim, kandidat dari Amerika.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam banyak kesempatan, Semangat Bandung masih kontradiktif dengan kepentingan nasional negara-negara KAA, dan dapat terlihat bahwa mereka lebih memilih kepentingan nasionalnya dibanding “solidaritas” di antara negara-negara KAA. Terlebih lagi, negara-negara KAA telah melakukan kerjasama pembangunan dengan negara-negara Utara dalam waktu yang sangat lama sehingga perubahan status quo dapat menimbulkan risiko terganggunya kepentingan nasional yang mereka miliki. Ini merupakan tantangan bagi negara-negara KAA untuk mengatur ulang prioritasnya dan menempatkan kerjasama antara mereka di atas kerjasama dengan negara-negara maju.

Semangat Bandung mungkin masih tetap ada dan dinilai relevan hingga saat ini. Akan tetapi, semangat ini perlu dihidupkan kembali dan direalisasikan oleh negara-negara KAA. Kerjasama dan komitmen dari negara-negara tersebut dibutuhkan untuk membuat sebuah perubahan konkret yang tidak hanya direncanakan dalam dokumen, dielu-elukan dalam pidato, atau dituliskan sebagai prinsip yang tidak dipraktikkan secara nyata. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memperkuat NAASP dan memperluas keanggotaannya sehingga program kerjasama tersebut dalam menjadi mekanisme multilateral dari KSS. Untuk mencapai hal tersebut, setiap negara harus menunjukkan keinginan dan upaya riil mereka dalam menjadikan kerjasama tersebut lebih kuat, seperti dengan membentuk institusi internasional yang dapat menjadi media bagi negara-negara KAA untuk mendiskusikan dan menginisiasi kebijakan yang terkait dengan kepentingan mereka. Penting juga bagi negara-negara kekuatan tengah dalam KAA, seperti Cina, India dan Brazil untuk berpartisipasi aktif dalam kerjasama ini supaya mereka dapat menjadi motor penggerak di dalamnya. Selain itu, hubungan dan dukungan dari institusi internasional juga penting karena mereka merupakan platform utama dalam kerjasama internasional. Oleh karena itu, Semangat Bandung juga perlu didorong dalam insitusi-institusi seperti PBB dan WTO sehingga agenda pembangunan di tingkat internasional dapat lebih mengakomodasi kepentingan negara-negara KAA.

Maulida Widya Kawuri

Asisten Peneliti di Institute of International Studies,

Departmen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

maulidawidya@gmail.com

 

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/enam-dekade-konferensi-asia-afrika-tantangan-dalam-menghidupkan-kembali-semangat-bandung/

 

29 Maret 2017 By Publikasi IIS