Dapatkah Kerja Sama Selatan-Selatan dalam Agenda Perubahan Iklim Menjembatani Kesenjangan Utara-Selatan di Rezim Iklim Global?

 Issue 01 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/gX3RSfhPZcMDoVD#pdfviewer)

Dalam rezim iklim global, utamanya Konvensi Kerangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), beragam isu terkait ketimpangan antara negara-negara Utara dan Selatan menjadikan proses negosiasi iklim semakin kompleks. Kompleksitas tersebut didasari oleh beberapa persoalan: (1) negara mana yang paling bertanggung jawab atas perubahan iklim global; (2) negara mana yang paling menderita atas dampak perubahan iklim; dan (3) negara mana yang kemungkinan besar akan menanggung biaya lebih besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim (Roberts dan Parks, 2007). Negara-negara Selatan menghadapi ketidakadilan di tengah berbagai gerakan iklim global yang diambil oleh UNFCCC. Kendati demikian, negara-negara Selatan berupaya untuk mengatasi ketidakadilan tersebut, salah satunya melalui Kerja Sama Selatan-Selatan dalam Perubahan Iklim atau South-South Cooperation on Climate Change (SSCCC). Di tengah berbagai inisiatif iklim global, menjadi penting untuk mengeksplorasi bagaimana kesenjangan antara Utara dan Selatan termanifestasikan dalam UNFCCC dan sejauh mana SSCCC berusaha menjembatani ketimpangan tersebut.

Negosiasi Iklim: Bentuk Ketimpangan yang Lain?

Negosiasi iklim tidak lepas dari perdebatan terkait kesenjangan Utara-Selatan, termasuk masalah tentang ketimpangan dan upaya redistribusi tanggung jawab menyelamatkan iklim (Parikh, 1994; Parks dan Roberts, 2008; Rosales, 2008; Doyle dan Chaturvedi, 2010). Negosiasi iklim internasional terletak dalam konteks ketimpangan relasi ekonomi-politik antara Utara-Selatan. Aturan-aturan yang diciptakan di dalam perjanjian iklim bilateral dan/atau multilateral mencegah negara-negara berkembang untuk mengimplementasikan strategi-strategi industrialisasi dan pembangunan yang dulunya diadopsi oleh negara-negara maju ketika masih berada pada tahap berkembang. Alhasil, negara-negara Selatansebagai negara yang perkembangannya relatif lebih “lamban”khawatir bahwa komitmen untuk mereduksi emisi gas rumah kaca akan membatasi kapasitasnya dalam mengembangangkan perekonomiannya.

Ketidakadilan tersebut diindikasikan oleh kesulitan Selatan untuk memajukan kepentingannya di dalam kebijakan terkait iklim dan pembangunan berkelanjutan, contohnya dalam proyek Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) di bawah UNFCCC. Bagi beberapa negara berkembang, REDD+ merupakan aksi iklim yang problematik karena mekanismenya memungkinkan praktik-praktik komodifikasi terhadap hutan, perampasan hak masyarakat adat, dan pembatasan terhadap aktor-aktor di tingkat nasional maupun masyarakat akar rumput untuk terlibat dalam menentukan metode manajemen hutan. Bolivia adalah salah satu contoh empiris yang menentang REDD+ dikarenakan serangkaian problematika tersebut, sehingga Bolivia menawarkan mekanisme alternatifnya sendiri yang disebut sebagai “Joint Mitigation and Adaptation Mechanism for the Comprehensive and Sustainable Management of Forest and the Mother Earth” (Lang, 2012). Negara-negara Selatan cenderung memiliki posisi tawar yang tidak strategis di dalam proses pembuatan keputusan, padahal keputusan tersebut juga akan membawa dampak tertentu baginya. Perjanjian Paris misalnya, banyak dikritik karena mekanismenya cenderung lemah dalam mempromosikan peran negara-negara Selatan ataupun menyediakan perlindungan kepada negara-negara Selatan selaku pihak yang paling rentan ketika menghadapi dampak perubahan iklim (Harvey, 2015; Lyster, 2017).

Menjembatani Kesenjangan Utara-Selatan

Tahun 2015 silam, diadakan Forum Tingkat Tinggi SSCCC pada Konferensi para Pihak ke-22 (COP-22) UNFCCC di Marakesh. SSCCC adalah kolaborasi antara negara-negara Selatan untuk memajukan peran, kapasitas, dan kesiapannya dalam proses pemerintahan iklim global. SSCCC berupaya untuk memperluas kemitraan antara negara-negara Selatan dan mendampingi negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan Nationally Determined Contributions, yakni serangkaian komitmen nasional untuk melakukan aksi iklim yang ditetapkan pada Perjanjian Paris (United Nations, 2016). SSCCC dinilai sebagai kerangka kemitraan yang melibatkan inisiatif negara-negara berkekuatan ekonomi baru (emerging economies) untuk mempromosikan dan menyokong gerakan iklim global di antara negara-negara Selatan. Forum ini berupaya memaknai ulang dan mengimplementasikan langkah-langkah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, resiliensi iklim, dan praktik-praktik rendah karbon. SSCCC berfungsi sebagai sarana menciptakan dan membagi pengetahuan, mentransfer teknologi energi terbarukan, dan menyediakan akses terhadap data iklim.

Terdapat beberapa praktik yang mengilustrasikan SSCCC. Setelah Taifun Haiyan memorak-porandakan Filipina, Indonesia mendukung upaya pemulihannya (United Nations Development Programme, 2017). Contoh sukses lainnya yaitu proyek mitigasi iklim di kota-kota yang dilaksanakan bersama-sama oleh Indonesia, India dan Afrika Selatan sejak 2011 hingga 2013. Meksipun didanai oleh Britania Raya dan Norwegia serta diinisiasi oleh ICLEI (sebuah asosiasi non-profit global), proyek ini melibatkan kerja sama yang intens antara kota-kota di ketiga negara tersebut. Kota Coimbatore di India berperan sebagai kota percontohan yang menyediakan bimbingan dan pendampingan untuk dua kota lainnya, yaitu Ekurhuleni di Afrika Selatan dan Yogyakarta di Indonesia (ICLEI, 2013).

Terlepas dari upaya-upaya yang telah ditempuh oleh SSCCC, tidak dipungkiri bahwa SSCCC belum melampaui ketimpangan dari rezim iklim global yang ada. Cenderung sukar untuk membuktikan bahwa SSCCC berniat mentransformasi tatanan internasional secara radikal dikarenakan dua pertimbangan utama. Pertama, SSCCC tidak menciptakan tatanan alternatifnya sendiri dan/atau kerangka aksi iklim yang independen di luar UNFCCC. Kedua, SSCCC cenderung sekadar melengkapi kolaborasi yang sudah ada dengan negara-negara Utara untuk memungkinkan negara-negara Selatan memenuhi potensinya di dalam gerakan iklim global.

Husna Yuni Wulansari

Asisten Peneliti,

Institute of International Studies

husnayuniw@gmail.com

 

Referensi

Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/dapatkah-kerja-sama-selatan-selatan-dalam-agenda-perubahan-iklim-menjembatani-kesenjangan-utara-selatan-di-rezim-iklim-global/

 

29 November 2017 By Publikasi IIS 

Revenge Porn: Bahaya Hiperealitas dan Kekerasan Siber Berbasis Gender

 Issue 02 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/NhOLMQs8gxA95gY#pdfviewer)

“Sebuah tontonan bukanlah sekumpulan gambar, melainkan relasi sosial antarmanusia yang dimediasi oleh gambar.”  Debord G., 1967, The Society of the Spectacle

Meski karya Debord ditulis sebelum era internet, analisisnya justru semakin relevan dalam masyarakat hiper-media di mana hiperealitas telah menggantikan realitas (Baudrillard, 1981). Kita dapat menyaksikan fenomena ketika konten porno disebarkan di jejaring sosial. Pengguna internet begitu antusias beropini, mengadili, mengutuk, menghujat serta mempermalukan mereka yang terpampang di foto, lalu melabelinya sebagai pelacur, kemudian kembali menjelajah lini masa untuk menghibur diri sendiri. Internet adalah sebuah ruang tontonan dan komunitas di dalamnya selalu meminta imaji-imaji baru. Hal itu menyebabkan mereka lupa bahwa ada orang yang hidup di balik layar itu  dengan perasaan, keluarga, pekerjaan, dan realitasnya sendiri. Inilah yang menjadikan revenge porn selalu memiliki konteks yang melekat.

Revenge porn adalah konten seksual milik pribadi yang disebarkan ke internet tanpa persetujuan. Menurut survei Cyberbullying Research Center (Hinduja, 2015), sekitar 61% dari 1.606 responden pernah memotret atau membuat video telanjang dan membagikannya ke media sosial. Sejumlah 23% atau satu dari lima responden pernah menjadi korban revenge porn. Survei tersebut dilakukan di Amerika Serikat (AS), di mana fenomena revenge porn marak ditemukan dan dilaporkan. Menurut Studi Pornografi Non-konsensual yang dilakukan oleh Cyber Civil Rights Initiative, lebih dari 10 juta warga AS terdampak oleh revenge porn setiap tahun. Angka ini hanya mewakili mereka yang berani angkat bicara. Riset yang sama juga menunjukkan bahwa perempuan di bawah usia 30 tahun, anggota kelompok minoritas, dan komunitas LGBTQ lebih rentan menjadi korban dibandingkan laki-laki.

Jumlah tersebut hanya merepresentasikan puncak dari gunung es. Pun, jumlah tersebut sudah cukup untuk menjadi pertanda bahayaTidak ada jaminan bahwa revenge porn tidak terjadi di negara lain, entah dalam skala kecil ataupun besar. Meski selama ini terdapat pemahaman bahwa revenge porndilakukan oleh seorang lelaki untuk mempermalukan mantan kekasihnya, penting pula untuk menunjukkan bahwa tidak semua tindakan pelaku didorong motif balas dendam. Beberapa individu memiliki motif ekonomi, sedangkan yang lain termotivasi oleh ketenaran atau hiburan (Franks, 2015). Inilah yang kemudian mengubah revenge porn menjadi peluang bisnis. Di tahun 2008, sebuah situs web yang didedikasikan bagi revenge pornography muncul. Kini, revenge pornography terdapat dalam 3.000 situs web dan jumlahnya semakin sulit untuk dilacak (Kamal and Newman, 2016). Ini menunjukkan bahwa revenge porn terjadi karena pelecehan siber berorientasi pada gender, serta bagaimana konsep hiperealitas (Baudrillard, 1981) dapat berakibat fatal dalam internet.

Ketika mempermalukan (slut-shaming) dan menyalahkan korban (victim blaming) berjalan beriringan 

Konsekuensi hukum dari tindak revenge porn hanya berlaku di beberapa negara seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Lebanon, dan Inggris. Di sebagian besar negara, hukum seolah membisu terhadap pelanggaran privasi dan hak kepemilikan gambar, yang dapat dinilai sebagai sebuah bentuk baru pelecehan seksual. Sebuah masyarakat di mana pelaku revenge porn tidak dapat diadili, akibat minimnya kekuatan ataupun tindakan hukum, adalah masyarakat yang secara aktif mendorong pemerkosaan. Masyarakat inilah yang ada di bagian bawah model Pyramid of Rape Culture. Setiap tingkatan dalam piramid menjelaskan kultur pelecehan yang saling berhubungan, sehingga penting untuk mengeliminasi tindak pelecehan dari tingkat terbawah terus menuju bagian atas.

Selama ini, perdebatan publik soal revenge porn lebih banyak terjadi dalam konteks menyalahkan korban (victim-blaming) dan mempermalukannya (slut-shaming). Menurut Oxford Dictionary, slut-shaming adalah sebuah kontrol sosial yang “menstigma (perempuan) karena berperilaku ‘liar’ dan sensual”. Victim-blaming adalah perilaku menyalahkan korban dengan menganggap bahwa apa yang terjadi padanya diakibatkan oleh tindakannya sendiri. Kedua sikap tersebut merupakan bagian dari kekerasan patriarkal. Menurut Cyber Civil Rights Initiative, kebanyakan korban revenge porn adalah perempuan. Mereka dipaksa untuk berfoto atau membuat video. Dalam kasus lain, perempuan tidak mengetahui bahwa mereka direkam dengan kamera tersembunyi. Konten tersebut lalu disebarkan menggunakan komputer dan alamat surel yang diretas. Bagaimanapun cara konten tersebut diproduksi, entah dengan persetujuan bersama, dicuri, maupun diambil diam-diam  penyebaran konten privat tetap tidak dapat diterima. Perempuan memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan dapat melakukan apapun dengannya tanpa harus dihakimi atau dihina. Mempermalukan korban hanyalah satu ekspresi dari kultur yang melecehkan, di mana perempuan terus menerus diatur serta secara konstan didikte bagaimana harus bersikap. Kasus revenge porn menjelaskan bahwa tubuh perempuan bersifat politis. Seksualitas perempuan bersifat kontroversial dan internet menjadikan respons seksis semakin lantang.

Pada titik ini, slut-shaming dipahami sebagai generalized sliding from having into appearing, from which all actual ‘having’ must draw its immediate prestige and its ultimate function” (Debord, 1967). Cara kita menampillkan diri membentuk pemaknaan mengenai siapa diri kita di mata para penonton. Reputasi yang kita miliki menjadi bagian dari identitas kita di ruang publik. Maka, ketika seorang perempuan dipermalukan dan dianggap kasar, manja, atau murahan, mereka akan kehilangan nilai sosialnya dan dilabeli sebagai ‘pelacur’. Identitas yang dikenal di masyarakat dibentuk dengan reputasi. Di era digital, penampilan non-material didasarkan oleh profil media sosial. Orang-orang berlomba untuk menjadi populer dan terlihat bahagia. Internet adalah ruang virtual baru yang mempengaruhi realitas. Konten di internet seolah milik publik sebagaimana informasi individu dimiliki oleh perusahaan. Maka dari itu, tak banyak hal privat tersisa di internet. Di titik inilah revenge porn dapat merusak reputasi seseorang di internet dan di kehidupan nyata. Internet sebagai sebuah platform global memuat banyak tampilan, ruang virtual publik yang kejam di mana setiap penggunanya berperan dalam sebuah permainan sosial.

Hiperealitas dan pelecehan di jejaring sosial

Konsekuensi dari slut-shaming dan victim-blaming, yang sudah cukup berat untuk dihadapi di dunia nyata, semakin bertambah berat karena keberadaan internet dan media sosial. Dengan kehadiran teknologi digital dan media, realitas semakin dekat dengan hiperealitas  konsep yang ditulis oleh Baudrillard di buku Simulacra and Simulation. Hiperealitas adalah kondisi di mana persepsi terhadap realitas dan realitas itu sendiri dipengaruhi serta dibentuk oleh media. Baudillard menyebutnya sebagai “kematian yang nyata” karena realitas digantikan oleh imaji-imaji yang disediakan oleh media. Oleh karenanya, realitas terdiri dari “simulasi” atau representasi media atas kenyataan dalam bentuk reality show di TV, profil media sosial dan permainan video, yang menjadi semakin penting dengan adanya internet.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah pengguna internet meningkat dari 400 juta di tahun 2000 menjadi 3,2 milyar di tahun 2015 atau lebih dari setengah populasi dunia. Media menyebarkan simulasi realitas dalam banyak bentuk, mulai dari gawai hingga iklan di supermarket. Kita semakin terekspos hingga menghabiskan lebih banyak waktu di dalam hiperealitas daripada realitas itu sendiri. Pada titik inilah simulasi mengubah realitas menjadi simulacra seperti yang dikatakan Baudrillard sebagai “kematian yang nyata”. Hal tersebut terjadi ketika simulasi menjadi kian nyata daripada apa yang ia representasikan. Inilah alasan mengapa revenge porn dapat merugikan seseorang. Korban diserang  dalam realitas hidup dan simulasi hidupnya. Siber-realitas, pada konteks ini, masuk dalam realitas seiring dengan menguatnya pengaruh internet dan media sosial dalam kehidupan kita.

Kita semua memang terhubung ke internet  mengunggah konten setiap hari, chatting, dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Artikel ini tidak berupaya mengusulkan penghapusan internet dan media sosial, tetapi bertujuan menyoroti penyalahgunaan internet sebagai media guna melecehkan, mempermalukan, dan menghancurkan hidup seseorang dengan menjadikannya bahan tontonan di hadapan ribuan orang. Di internet, orang melakukan dan mengatakan hal yang mungkin tak akan dilakukannya di dunia nyata. Paradoks muncul ketika media sosial yang memberi kita kesempatan untuk menyamarkan realitas hidup kita sebagai simulasi dengan membangun citra versi baik dari diri kita, rupanya pada saat yang sama, juga memberi ruang bagi hasrat yang selama ini kita kontrol dalam realitas, misalnya hasrat untuk menghina dan mempermalukan orang. Terlebih, internet menawarkan anonimitas pada mereka yang melakukan penghinaan dan mereka yang menjadi penonton. Fitur tersebut menjadikan pelaku pelecehan dan penghinaan menganggap mereka memiliki kuasa dalam melakukan apapun guna menghancurkan kehidupan orang lain, hanya karena tidak ada orang yang mengetahui identitasnya. Anonimitas memberikan perasaan tak terlihat dan tak tersentuh  dan karenanya, perasaan kebal hukum.

Kematian realitas untuk korban revenge porn menciptakan kebingungan dalam mendefinisikan apa yang nyata dan tidak. Eksposur yang intens dan sangat intim ini berpengaruh besar pada kesehatan mental korban. Sebagian besar korban paranoid, contohnya, seorang Youtuber bernama Chrissy Chamber yang menjadi korban revenge porn mantan kekasihnya. Setelah videonya tersebar, Chrissy dihina dan direndahkan oleh fansnya sendiri dan itu mempengaruhi kesehatan mentalnya. Konsekuensi mental akibat pelecehan seksual di dunia maya bersifat nyata dan dampaknya bisa bertahan seumur hidup (Kamal and Newman, 2016). Skenario terburuk menyebutkan bahwa pelecehan di internet mendorong kasus bunuh diri, salah satunya oleh Amanda Todd. Pada tahun 2012, Amanda Todd mengunggah video yang menjelaskan alasannya bunuh diri yaitu karena perundungan dan persekusi di dunia maya.

Kita dibesarkan di sebuah masyarakat patriarkal yang terkadang mendiskriminasi gender tertentu, tetapi itu bukanlah alasan untuk terus melakukan pelecehan dan kekerasan pada perempuan, termasuk di internet. Apakah kamu akan menyebut lelaki tanpa baju “pelacur”? Mungkin tidak. Terlepas dari gendermu, tidak ada yang memiliki hak dan legitimasi untuk menyalahkanmu atas apa yang dirimu lakukan dengan tubuhmu sendiri. Jika kamu menjadi target revenge porn, ada banyak cara untuk menghapus gambar yang sudah tersebar. Organisasi anti-revenge porn, seperti Cyber Civil Rights Initiative, merekomendasikan Takedown, DMCA Defender, atau Copybite sebagai perusahaan terpercaya yang dapat membantumu menghapus konten tersebut. Kamu juga dapat meminta bantuan dari saudara. Jika kamu tahu orang lain yang juga menjadi target revenge porn, cobalah menjadi teman dan tawarkan bantuan. Jangan hakimi mereka karena mereka telah dikhianati oleh ruang publik virtual berskala global. Sebagai bagian dari penonton di ruang virtual, kamu selalu memiliki pilihan tidak menjadi bagian dalam pelecehan siber.

Abid Fatem-Zahra

Mahasiswa pertukaran

dari Institut d’Etudes Politiques de Lyon

abid.fatem@hotmail.fr

 

Referensi

Baudrillard, J. (1981).  Simulacra and Simulation. Michigan: University of Michigan Press.

Hinduja, S. (2015). Revenge Porn Research, Laws, and Help for Victims. Cyberbullying Research Center.Diakses dari https://cyberbullying.org/revenge-porn-research-laws-help-victims

Debord, G. (1967). The Society of the Spectacle. Paris: Buchet-Chastel.

Franks, M. A. (2015). Drafting an Effective ‘Revenge Porn’ Law: A Guide for Legislators. Social Science Research Network. Diakses dari https://ssrn.com/abstract=2468823

Habermas, J. (1962). The Structural Transformation of the Public SphereAn Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Massachusetts: The MIT Press.

Kamal, M. & Newman, W. J. (2016). Revenge pornography: Mental health implications and related legislation. Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, 44(3), 359.

Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/revenge-porn-bahaya-hiperealitas-dan-kekerasan-siber-berbasis-gender/

31 Januari 2018 By Publikasi IIS

Identitas Nasional: Penggunaan Politik Identitas dalam Gelombang Pengungsi 2015 di Hungaria

 Issue 03 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/uZRcLR2J2QrtJqV#pdfviewer)

Politik identitas semakin menguat di Eropa, terutama sejak pada tahun 2015 gelombang pengungsi dan pencari suaka menuju Eropa guna mencari perlindungan dari negara asal yang hancur akibat perang. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), lebih dari 590.000 pengungsi tiba di Eropa melalui jalur laut pada tahun 2015, serta hampir sebanyak 630.000 klaim suaka telah diajukan di negara-negara anggota Uni Eropa (Metcalfe-Hough, 2015).

Hungaria, sebagai salah satu negara penerima pertama, menolak kedatangan pengungsi akibat adanya berbagai kewajiban yang diatur melalui Peraturan Dublin. Peraturan ini mewajibkan pengungsi untuk dicatatkan di negara Uni Eropa yang pertama disinggahi, yang kemudian dibebankan tanggung jawab untuk mengurus pengungsi tersebut. Kewajiban ini memicu penggunaan politik identitas sebagai siasat pemerintah Hungaria guna menolak pengungsi dan ‘agenda Eropa Barat’ dalam aturan Uni Eropa. Situasi ini memunculkan polemik tentang bagaimana seharusnya pengungsi ditangani. Dalam kasus pencari suaka dan pengungsi, politik identitas sering kali menjadi narasi pemerintah untuk memobilisasi rasa takut dan kecemasan pada ‘Liyan’.

Artikel ini akan menjelaskan bagaimana pemerintah Hungaria menanamkan rasa takut dengan membangun narasi tertentu mengenai identitas imigran. Sangat menarik untuk memahami bagaimana identitas dipersepsikan dan dikonstruksikan dalam kasus ini. Apakah ‘Liyan’ betul-betul mengancam identitas ‘Kami’ di Hungaria? Artikel ini juga akan menjelaskan bagaimana krisis pengungsi memengaruhi dinamika politik di Hungaria.

Ketakutan pada ‘Liyan’: Krisis Pengungsi dan Retorika Anti-Imigrasi di Hungaria

Dalam memahami retorika anti-imigrasi yang digunakan pemerintah Hungaria, penting untuk melihat konsep ‘Kami’ dan ‘Liyan’ yang saling berkait. Karena melalui konsep inilah pemerintah Hungaria menggalang dukungan bagi kebijakannya. Retorika pemerintah Hungaria sangat lekat dengan pandangan primordialisme yakni bahwa identitas adalah sesuatu yang terberi dan alamiah (Geertz, 1973, pp. 259-60). Pandangan ini memahami konflik sebagai akibat dari satu kelompok beridentitas serupa yang melindungi dirinya dari ‘Liyan’. Pada kasus ini, ‘Liyan’ dianggap mengancam kehidupan ‘Kami’ sehingga konflik tidak dapat terhindarkan. Dalam kasus Hungaria, retorika yang seringkali digunakan adalah bahwa pengungsi menginvasi dan mengancam identitas Eropa.

Cara pandang tersebut membentuk kebijakan anti-imigrasi di Hungaria yang diwujudkan dalam tiga hal. Pertama, pembangunan sejumlah papan reklame berbahasa Hungaria dengan kata-kata provokatif yang merujuk pada pengungsi.[1] Kedua, penutupan perbatasan Hungaria. Ketiga, penyelenggaraan program konsultasi nasional di mana pemerintah menyelenggarakan survei opini warga Hungaria terhadap pengungsi. Survei tersebut dikirim bersama dengan surat dari Perdana Menteri Viktor Orban. Di dalam suratnya, PM Viktor Orban melabeli pencari suaka sebagai ‘migran ekonomi’ dan menyatakan bahwa ‘migran ekonomi melewati perbatasan secara ilegal dan menyamar menjadi pengungsi untuk mencari santunan sosial dan pekerjaan’ (Juhász et al., 2015, p. 25). Di samping itu, beberapa aksi teror yang terjadi setelah arus pengungsi tahun 2015 juga dimanfaatkan pemerintah Hungaria guna menggambarkan pengungsi sebagai teroris yang mengancam Hungaria dan warganya (Kallius et al., 2016, p. 27; Lane, 2016).

Program konsultasi nasional dikritik oleh banyak pihak sebagai upaya penetrasi agenda pemerintah Hungaria kepada warganya (Juhász et al., 2015, p. 25; Kingsley, 2015). Meski demikian, upaya tersebut dianggap sukses jika merujuk pada survei Eurobarometer. Hasil survei pada September 2015 menunjukkan bahwa jumlah responden yang menganggap imigrasi sebagai sebuah ancaman meningkat hingga 65%. Jauh meningkat dibandingkan dengan hasil survei pada Mei 2015, di mana hanya 13 persen populasi menganggap imigrasi sebagai masalah di Hungaria (Juhász et al., 2015, p. 17). Hal ini membuktikan bahwa ketakutan pada imigrasi selama krisis pengungsi telah meningkat dalam kurun waktu kurang dari empat bulan dan retorika anti-imigrasi telah sukses memengaruhi pikiran warganya.

Apakah Pengungsi Mengancam Identitas Nasional Hungaria? 

Identitas telah digunakan guna membentuk rasa takut dan sentimen warga Hungaria pada pengungsi (Prandana, 2016, p. 38). Pemerintah Hungaria menggunakan identitas pengungsi untuk kembali mendapat dukungan dan atensi, setelah sempat kehilangan dukungan akibat perubahan iklim politik. Pemerintah Hungaria bersikukuh bahwa menerima pengungsi akan membahayakan identitas nasional Hungaria (Nolan, 2015; Bodissey, 2016). Akan tetapi, bagaimana kita dapat mendefinisikan identitas nasional Hungaria? Prandana (2016) menyatakan bahwa identitas nasional Hungaria tidak memiliki deksripsi jelas akibat kompleksitasnya. Menjadi seorang Hungaria dapat diartikan bahwa ia berbicara bahasa Hungaria dan merasa nyaman menggunakannya, menghargai rasa hormat dan keterbukaan, mengidentifikasi diri sebagai orang Hungaria beserta segala stereotipnya, atau percaya pada Kristen (Prandana, 2016, pp. 35-36). Terlepas dari banyak interpretasi tentang identitas nasional Hungaria, tidak ada cara untuk menggolongkan seseorang ‘sepenuhnya’ beridentitas nasional Hungaria. Hungaria telah meredefinisi identitas nasionalnya berulang kali, sejak imigrasi pertama melalui Cekungan Karpathia, pada masa Kerajaan Austro-Hungaria dan Ottoman, serta pada saat era Komunis. Menurut sejarah, Hungaria memiliki beragam identitas nasional selama eksistensinya sebagai negara berdaulat.

Label pengungsi sebagai ‘migran ekonomi’ sengaja dipilih oleh pemerintah untuk menutupi kenyataan bahwa mereka lari dari perang. Ini adalah salah satu gagasan utama dalam propaganda pemerintah guna  menyebarkan ketakutan pada masyarakat Hungaria yang mana ketersediaan pekerjaan adalah salah satu masalah utama. Papademetriou (2012) menjelaskan bahwa imigran sering dipandang sebagai beban finansial bagi negara penerima, menyumbang angka pengangguran, penyebab depresiasi upah, dan menyusahkan negara kesejahteraan (welfare state).

Perubahan budaya dan nilai juga menjadi kegelisahan utama masyarakat Hungaria. Dengan menerima pengungsi, mereka takut masa depan Eropa berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Sebagai penganut Kristen yang kuat, masyarakat Hungaria khawatir akan ide Islamisasi di Eropa. Ketakutan pada perubahan budaya dan nilai juga sesuai dengan kenyataan bahwa masyarakat Hungaria, terutama mereka yang hidup di pedesaan, minim pengalaman hidup berdampingan dan berinteraksi dengan masyarakat yang heterogen (Prandana, 2016, p. 42).

Di sisi lain, isu keamanan menjadi perhatian utama masyarakat Eropa bersamaan dengan munculnya arus pengungsi (Prandana, 2016, p. 43). Serangan bom di Bandara Brussels di Belgia dan Charlie Hebdo adalah dua dari banyak serangan yang digunakan pemerintah Hungaria untuk mengaitkan terorisme dengan pengungsi. Dalam beberapa kasus, teroris memang memanfaatkan arus pengungsi untuk memobilisasi anggotanya melewati perbatasan Eropa. Namun, mengeneralisasi pengungsi sebagai teroris adalah sikap yang abai pada penderitaan mereka dan fakta bahwa mereka menuju Eropa untuk lari dari teroris.

Hungaria menerima aplikasi suaka terbanyak jika dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa lainnya. Tetapi fakta ini kontras dengan tingkat penerimaan pengungsi yang justru relatif sangat rendah. Hanya ada sekitar 500 aplikasi yang diterima pada tahun 2015. Arus imigran di Eropa dikhawatirkan berpotensi menghilangkan dukungan politis dan kedaulatan dalam jangka panjang. Koalisi partai yang berkuasa di Hungaria selama ini mendulang popularitas dengan mengakomodasi kebijakan dan ide-ide konservatif. Pertumbuhan populasi imigran akan memengaruhi dinamika politik dan mengubah opini ke arah yang lebih liberal dengan kecenderungan untuk berpihak pada partai sayap-kiri (Prandana, 2016, p. 44). Artinya, perbedaan identitas pengungsi dengan masyarakat Hungaria dapat memengaruhi partai politik utama kehilangan dukungannya di masa depan.

Berbicara mengenai kehilangan kedaulatan, ada dua isu utama bagi pemerintah Hungaria. Pertama, kehilangan kontrol atas siapa yang diperbolehkan dan dengan metode apa ia dapat diperkenankan datang ke Hungaria. Arus pengungsi ke Eropa, baik ilegal maupun legal, telah mengoyak kepercayaan diri pemerintah Hungaria atas kontrol terhadap perbatasannya sendiri. Hal ini berhubungan dengan isu kedua, yaitu relasi antara Hungaria dengan Uni Eropa. Melalui sistem kuota, Uni Eropa mengatur bahwa pengungsi didistribusikan sesuai dengan kapabilitas ekonomi setiap anggota (Rothwell & Foster, 2016). Aturan ini dilihat semata sebagai produk negara-negara Eropa Barat yang mendegradasi kedaulatan Hungaria (Rothwell & Foster, 2016; Prandana, 2016, p. 44). Hungaria didukung negara-negara Visegrad: Polandia, Slovakia, Republik Ceko; dalam menolak aturan penerimaan pengungsi Uni Eropa. Negara-negara tersebut juga cukup vokal dalam menolak sistem kuota.

Pemerintah Hungaria telah mampu mengakumulasi rasa takut dan cemas terhadap ‘Liyan’. Penggunaan politik identitas guna menyebarluaskan kepentingan sangat kentara dilakukan oleh pemerintah Hungaria dalam berbagai aspek, mulai dari aspek budaya, politik, keamanan, hingga ekonomi. Di Eropa, Gelombang Pengungsi 2015 turut memicu tumbuhnya populisme. Konsistensinya dalam menolak penerimaan pengungsi telah menampilkan Hungaria sebagai salah satu aktor berpengaruh bagi suara sayap-kanan di kawasan.

[1]     Terdapat tiga jenis pesan yang disampaikan di papan reklame: (1) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda harus menghormati budaya kami.’ (2) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda harus menghormati hukum kami.’ (3) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda tidak boleh mengambil pekerjaan kami.’ Pesan-pesan ini hanya ditulis dalam Bahasa Hungaria.

Aldoreza Prandana, M.Sc.

Koordinator Kerjasama Internasional,

International Undergraduate Program,

Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM

aldorezaprandana@gmail.com 

 

References

Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/identitas-nasional-penggunaan-politik-identitas-dalam-gelombang-pengungsi-2015-di-hungaria/

 

20 April 2018 By Publikasi IIS

Dimensi Spiral Kekerasan di Kulon Progo

ISSUE 01 | 2019 (ugm.id/IISBriefKulonProgo)

 

Sepanjang tahun 2017, tercatat setidaknya 659 konflik agraria terjadi di Indonesia (Suryowati, 2017). Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah tersebut melibatkan lahan seluas 520.491,87 hektar dan mengalami peningkatan sebanyak 50 persen dari tahun 2016. Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah terjadi 1.351 konflik agraria (Suryowati, 2017). KPA menilai bahwa pemerintah belum memiliki kehendak politik yang kuat untuk melaksanakan reforma agraria.

Reforma agraria bukan perkara mudah. Apalagi, program kerja pemerintah Presiden Joko Widodo yang berlandaskan Nawacita mensyaratkan serangkaian program pembangunan sarana dan prasarana fisik, yang lantas memunculkan kebutuhan pengadaan akses dan bangunan publik sebagai modal. Pada poin keenam Nawacita, pemerintah Joko Widodo berambisi “meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya” (Widodo & Kalla, 2014). Melansir tulisan dari laman daring resmi Presiden, “…berbagai pembangunan infrastruktur bertujuan untuk mendongkrak daya saing. Jalan tol, jalan kereta api, pelabuhan laut, (dan) pelabuhan udara jelas akan mempercepat perpindahan barang dan jasa….Artinya, daya saing produk barang dan jasa kita akan meningkat dibandingkan dengan negara lain” (Pembangunan Infrastruktur, 2016). Meski berpotensi menjamin daya saing Indonesia di lingkup internasional, poin keenam Nawacita justru berakhir pada 94 konflik agraria perihal infrastruktur di tahun 2017 (Suryowati, 2017). Alih lahan yang marak terjadi selama pemerintahan Joko Widodo disinyalir merupakan bagian dari upaya pengadaan sarana dan prasarana Indonesia untuk bersaing di pasar internasional. Salah satu contoh konflik agraria yang terjadi beberapa waktu lalu adalah konflik yang terkait pembangunan New Yogyakarta International Airport di Temon, Kulon Progo, Yogyakarta. Pemerintah yang berupaya melaksanakan percepatan pembangunan bandar udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) dinilai telah melakukan kekerasan pada warga Kulon Progo. Pasalnya, Proyek Strategis Nasional tersebut akan dibangun di atas lahan yang secara legal dimiliki warga. Melalui instrument perundang-undangan serta kebijakan beberapa institusi negara, pemerintah mendesak pembebasan lahan melalui konsinyasi sepihak. Represi yang dilakukan pemerintah guna memastikan

kelancaran konsinyasi sepihak tidak hanya merupakan suatu bentuk kekerasan, tetapi juga menjadi penyulut spiral kekerasan di Kulon Progo. Meskipun dilaksanakan demi “kepentingan umum”, mengapa

pembangunan di Kulon Progo dapat memicu spiral kekerasan? Dengan meminjam pemikiran Louis Althusser dan Dom Helder Camara, tulisan ini bertujuan untuk membuktikan

bahwa pembangunan NYIA telah menciptakan spiral kekerasan di tengah perlawanan nirkekerasan oleh warga karena keberadaan Ideological State Apparatuses (ISA) dan Repressive State Apparatuses (RSA).

Wahyuwidi Cinthya

Asisten Peneliti Damai Pangkal Damai: Aksi Nirkekerasan di Indonesia Pasca-Reformasi

IIS UGM

Wahyuwidi.cinthya@gmail.com

Referensi 

  • 32 Kepala Keluarga masih Menolak Pembebasan Lahan Pembangunan Bandara Kulon Progo. (2018, Februari 1). Diakses dari: http://www.tribunnews.com/ regional/2018/02/11/32- kepala-keluarga-masih-menolak-pembebasan-lahan-pembangunan-bandara-kulon-progo?page=all
  • Agung, B. (2018, Juli 22). Menhub: Penggusuran untuk Bandara Kulon Progo Tak Langar HAM. CNN Indonesia. Diakses dari: https:// www.cnnindonesia.com/ekono mi/20180722202242-92-316126/ menhub-penggusuran-untuk-bandara-kulon-progo-tak-langgar-ham
  • Althusser, L. (1971). Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review.
  • Althusser, L. (2014). On the Reproduction of Capitalism. London: Verso.
  • Aziz, A. (2017, Desember 4). Sistem Konsinyasi Pembebasan Lahan Bandara Yogya Rugikan Masyarakat. Tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/ sistem-konsinyasi-pembebasan-lahan-bandara-yogya-rugikan-masyarakat-cA8E
  • Camara, D. (1971). Spiral of violence. London: Sheed and Ward.13
  • Camara, D. ed., (2005). Spiral Kekerasan. 2nd ed. Yogyakarta: Resist Book, p.v-xiv.
  • Das, K. (2017). The Making of One Belt, One Road and Dilemmas in South Asia. China Report, 53(2), 128.
  • Febriarni, U. (2018, Juli 20). Tolak Penosongan Lahan Bandara Kulon Progo, Seorang Wanita Dipukul. Solopos.com. Diakses dari: http://news.solopos.com/ read/20180720/496/928970/ tolak-pengosongan-lahan-bandara-kulonprogo-seorang-wanita-dipukul
  • Hakim, R. (2018, Februari 25). Bupati Sebut 11 KK Masih Tolak Pembebasan Lahan Bandara Kulon Progo. Kompas.com. Diakses dari: https://nasional.kompas.com/ read/2018/02/25/12371961/ bupati-sebut-11-kk-masih-tolak-pembebasan-lahan-bandara-kulon-progo
  • Hanafi, R. (2018, Maret 20). Proses Konsinyasi Lahan Bandara Kulon Progo Rampung. detiknews. Diakses dari: https:// news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3926900/proses-konsinyasi-lahan-bandara-kulon-progo-rampung
  • Hardiyanto, S. (2018, Maret 22). Puluhan Warga Tolak Putusan Konsinyasi Proyek Bandara NYIA. Jawapos.com. Diakses dari: https://www.jawapos.com/ read/2018/03/22/198221/ puluhan-warga-tolak-putusan-konsinyasi-proyek-bandara-nyia
  • KPA Launching Catatan Akhir Tahun 2017. (n.d). Diakses dari: http:// www.kpa.or.id/news/blog/ kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2017/
  • Lavinda. (2018, Februari 5). AP I Kukuh Kosongkan Lahan Bandara Kulon Progo Maret 2018. CNN Indonesia. Diakses dari: https:// www.cnnindonesia.com/ekono mi/20180205091039-92-273805/ ap-i-kukuh-kosongkan-lahan-bandara-kulon-progo-maret-2018
  • Mantan Penolak Bandara NYIA Terima Ganti Rugi. (2018, Februari 8). Harianmerapi.com. Diakses dari: https://www.harianmerapi.com/ kulonprogo/2018/02/08/7144/ mantan-penolak-bandara-nyia-terima-ganti-rugi
  • Nariswari, S.L. (2017, Maret 3). Bandara Kulonprogo: WTT Tuntut Konsinyasi Dibatalkan. Harianjogja. com. Diakses dari: http:// jogjapolitan.harianjogja.com/ read/2017/03/03/514/798102/ bandara-kulonprogo-wtt-tuntut-konsinyasi-dibatalkan
  • Pembangunan Infrastruktur – Diwujudkan Secara Nyata Tak Sekadar Retorika. (2016, April 29). Diakses dari: http://presidenri.14
  • go.id/program-prioritas-2/pembangunan-infrastruktur-diwujudkan-secara-nyata-tak-sekadar-retorika.html
  • Perjuangan Sumiyo Pertahankan Rumahnya di Lokasi Pembangunan Bandara Berakhir di Garpu Backhoe. (2018, Juli 20). Diakses dari: http://jogja.tribunnews. com/2018/07/20/perjuangan-sumiyo-pertahankan-rumahnya-di-lokasi-pembangunan-bandara-berakhir-di-garpu-backhoe?page=3
  • PT Angkasa Pura I Robohkan Rumah Warga Penolak Proyek NYIA. (2018, Juli 20). Diakses dari: http://jogja.tribunnews. com/2018/07/20/pt-angkasa-pura-i-robohkan-rumah-milik-warga-penolak-proyek-nyia?page=all
  • Putsanra, D. (2017, Desember 5). 12 Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Ditangkap Polisi. tirto.id. Diakses dari: https://tirto. id/12-aktivis-penolak-bandara-kulon-progo-ditangkap-polisi-cBbh
  • Saputri, M. (2018, Januari 10). Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Lapor Insiden Ricuh ke Polda. tirto.id. Diakses dari: https://tirto. id/aktivis-penolak-bandara-kulon-progo-lapor-insiden-ricuh-ke-polda-cC4G
  • Saputri, M. (2018, Januari 23). Pemkab: Konsinyasi Warga Terdampak Bandara Kulon Progo Dipercepat. tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/pemkab-konsinyasi-warga-terdampak-bandara-kulon-progo-dipercepat-cDDJ
  • Sharp, G. (2005). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent Publisher.

 

30 Juni 2018 By Publikasi IIS

Pengalaman Perempuan Dalam Konflik di Nigeria: Pentingkah?

ISSUE 02 | 2019 (ugm.id/IISBriefBokoHaram)

 

Kekerasan berbasis agama kerap ditemukan di Nigeria sejak tahun 1953. Kekerasan ini kian meningkat seiring dengan munculnya kelompok Boko Haram atau Jama’a Ahl as-Sunna Li-da’wa wa-al Jihad, yang berusaha mengimplementasikan hukum Sharia dengan cara-cara kekerasan (Patricio Asfura-Heim, 2015). Dalam upaya melawan kelompok teroris Boko Haram, pemerintah Nigeria terus memperkuat militernya. Sampai titik tertentu, cara ini terbukti berhasil mempersempit ruang gerak hingga melemahkan kelompok teroris Boko Haram (Matfess, 2015). Meskipun demikian, pendekatan yang terlalu militeristik tanpa mengikutsertakan pengalaman masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak, akan membuat perjuangan pemerintah sia-sia. Hal ini tidak lepas dari kepercayaan bahwa mengikutsertakan pengalaman perempuan akan memberikan realitas konflik yang lebih menyeluruh. Mengikutsertakan pengalaman perempuan juga dapat memunculkan strategi alternatif yang penting untuk dipertimbangkan dan diterapkan ketika konflik berlangsung maupun ketika konflik telah berakhir.

Jonathan Evert Rayon

Pusat Studi ASEAN

Fisipol UGM

evertjoevertjo@gmail.com

Daftar Pustaka 

  • Group, I. C. (2016). Nigeria: Women and the Boko Haram Insurgency. International Crisis Group Africa Report, 1-27.
  • Kriel, R. (2017, August 11). Retrieved from CNN: https://edition.cnn. com/2017/08/10/africa/boko-haram-women-children-suicide-bombers/index.html
  • Matfess, H. (2015, December 29). Retrieved from Quartz Africa:https://qz.com/africa/582933/ nigeria-is-winning-the-battle-with-boko-haram-but-it-is-still-losing-the-war/
  • Osborne, S. (2017, February 8). Retrieved from Independent:https://www.independent.co.uk/ news/world/africa/nigerian-woman-boko-haram-amina-paid- 50p-for-suicide-bombing-attack-terrorist-islamist-a7569521.html
  • Patricio Asfura-Heim, a. J. (2015). Diagnosing the Boko Haram Conflict: Grievances, Motivations, and Institutional Resilience in Northeast Nigeria. CNA’s Occasional Paper, 1-67.
  • Stokes, W. (2015). Feminist Security Studies. In S. M. Peter Hough, International Security Studies (pp. 44-56). Oxon: Routledge.
  • Tickner, J. A. (1992). Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security. New York: Columbia University Press.
  • V. Spike Peterson, A. (2010). Global Gender Issues in the New Millennium. Central Avenue: Westview Press.
  • Watch, H. R. (2014). Those Terrible Weeks in Their Camp: Boko Haram Violence against Women and Girls in Northeast Nigeria. Human Rights Watch.
  • Zenn, J. (2014). Boko Haram and the Kidnapping of the Chibok Schoolgirls. CTT Centinel, 1-28.

Perpustakaan (Ind)

Tata Tertib Perpustakaan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada

  1. Koleksi perpustakaan terbuka untuk peminjaman bagi khalayak umum.
  2. Peminjaman buku dapat dilakukan menggunakan kartu identitas, baik identitas kemahasiswaan maupun identitas diri pribadi ( KTM/KTP/SIM/ Kartu identitas lain).
  3. Buku dapat dipinjam dalam jangka waktu maksimal 1 minggu ( 7 hari), dan apabila melebihi jangka waktu yang seharusnya maka akan diberlakukan denda sebesar Rp 500,00 per hari.
  4. Dalam satu kali peminjaman, peminjam diperbolehkan meminjam buku dengan jumlah maksimal tiga buah buku.
  5. Perpanjangan peminjaman dapat dilakukan dengan konfirmasi kepada IIS library staff, paling lambat pada hari terakhir durasi peminjaman.
  6. Peminjaman hanya dapat dilakukan pada jam aktif perpustakaan, yakni pukul 08.00 – 12.00 dan 13.00 – 16.00 ( Hari Senin- Jumat).

 

Prinsip Gender-Mainstreaming dan Keterlibatan Indonesia dalam Operasi Perdamaian PBB

ISSUE 03 | 2019 (http://ugm.id/IISBriefGenderMainstreaming)

 

Pemeliharaan perdamaian selama ini hanya sedikit atau bahkan tidak sama sekali diasosiasikan dengan perempuan. Indonesia sebagai salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB), dan sebagai salah satu kontributor terbesar dalam misi perdamaian PBB sejak 1975, masih tergolong kurang memiliki kesadaran akan adanya gender mainstreaming dalam misi perdamaian. Secara langsung meningkatkan jumlah personil perempuan, memberikan akses yang sama bagi perempuan untuk masuk dalam sektor keamanan, maupun menerapkan kebijakan-kebijakan sadar gender dalam misi perdamaian merupakan cara-cara melakukan agenda gender mainstreaming dalam resolusi konflik dan binadamai yang sedang gencar dilakukan oleh PBB. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana Indonesia dapat menjadi kontributor misi perdamaian PBB yang lebih sadar gender dan menerapkan agenda gender mainstreaming.

Angganararas Indriyosanti, SIP

Institute of International Studies

Angganararas.I@ugm.ac.id

Referensi

 

DPD #7

Slogans, caricatures, and symbols. Ini adalah metode #7 dari 198 metode nirkekerasan a la Gene Sharp. Ia masuk dalam kategori protes dan persuasi.

Masih ingat slogan “Jogja Ora Didol,” karikatur terbitan “Panji Koming,” dan simbol “Cicak versus Buaya?” Pesan-pesan mereka mudah diingat dan direplikasi sehingga berhasil menjangkau audiens yang sangat luas.

Apa slogan, karikatur, dan simbol perlawanan favoritmu?

DPD #8

Banners, Posters, and Displayed Communications. Ini adalah metode #8 dari 198 metode nirkekerasan a la Gene Sharp. Ia masuk dalam kategori “protes dan persuasi.”

Hampir tidak ada aksi unjuk rasa, demonstrasi, atau revolusi yang tidak menggunakan spanduk dan poster sebagai alat mengomunikasikan gagasan perlawanan. Mereka dinilai efektif karena kemampuannya menjangkau orang banyak, termasuk para passerby.

Apa spanduk atau poster perlawanan yang paling kamu ingat?

DPD #9

Leaflets, pamphlets, and books. Ini adalah metode #9 dari 198 metode nirkekerasan a la Gene Sharp. Ia masuk dalam kategori protes dan persuasi.

Ada kalanya aktivis perlu menjelaskan secara rinci mengapa sesuatu perlu dilawan atau didukung, serta bagaimana persisnya melakukannya. Pada titik inilah media semacam selebaran dan buku lebih strategis daripada spanduk dan poster. Selain bisa memuat lebih banyak informasi, ia juga mudah dipindahtangankan dari satu orang ke orang lainnya. Dalam skenario pergerakan bawah tanah, di mana poster dan spanduk perlawanan tidak dapat ditampilkan secara terbuka, selebaran dan buku dapat disebarkan secara diam-diam.

Buku-buku perlawanan apa sajakah yang kamu suka? Selebaran apa saja yang menarik perhatianmu?