CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia
CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia
Pendekatan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi terduga eks-terorisme ialah deradikalisasi. Proses ini dilakukan dengan memoderasikan pemahaman dan mengembalikan orang-orang yang telah terpapar radikalisme untuk kembali memahami Pancasila dan UUD 1945. Namun, hingga kini efektivitas maupun alternatif dari pendekatan ini masih diperdebatkan.
Guna membahas deradikalisasi dan perdebatan yang mengitarinya secara lebih jauh, pada Kamis (29/8), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) yang ke-3 dengan mengangkat tema “Mempelajari dan Mencari Pendekatan Alternatif dalam Diskursus dan Kebijakan Deradikalisasi di Indonesia”. Kegiatan ini menghadirkan Ustad Abu Tholut Al-Jawiy, pemerhati gerakan Islam, dan Hardya Pranadipa, mahasiswa Master of Arts Human Rights, Gender, and Conflict Studies: Social Justice Perspective di International Institute of of Social Studies (ISS) of Erasmus University Rotterdam. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang BA 101 FISIPOL UGM dan terbuka untuk umum.
Dalam membahas pendekatan deradikalisasi di Indonesia, Pranadipa, sebagai pembicara pembuka pada diskusi hari itu, melihat bagaimana wacana deradikalisasi merupakan wacana dominan terkait penanganan terduga eks-teroris di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana pembentukkan wacana deradikalisasi dilakukan oleh elemen-elemen kunci di Indonesia, di mana narasi deradikalisasi dapat ditemukan dalam instruksi Polri maupun TNI, program-program NGO lokal dan internasional, laporan pemerintah dan think tank, serta berbagai program pemerintah.
Menurut Pranadipa, tujuan akhir deradikalisasi ialah agar terduga dan tertuduh eks-teroris berpindah ideologi dari jihad kekerasan menjadi Pancasila. Dalam menjalankan pendekatan ini, terduga dan tertuduh teroris menjalani proses rehabilitasi yang menjauhkan mereka dari paham radikalisme, di mana proses ini jauh dari praktik penahanan konvensional. Dengan pembinaan dan pelatihan yang intens selama proses rehabilitasi, terduga dan tertuduh teroris dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat untuk mengembangkan potensi napi. Melalui proses ini, ideologi yang selama ini dipegang oleh terduga dan tertuduh teroris diubah dengan menanamkan pemahaman keislaman yang lebih moderat, serta menumbuhkan nasionalisme dan loyalitas kepada Pancasila. Pendekatan deradikalisasi di Indonesia ini turut dikuatkan dengan adanya PP. No. 99 tahun 2012.
Namun, Pranadipa menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak selalu berhasil. Setidaknya terdapat empat hal yang menghasilkan respon penolakan dari terduga dan tertuduh eks-teroris, yakni tata cara pelaksanaan program; desain program: agama, bangsa, dan “orang luar”; komunikasi; serta relasi dan struktur sosial di dalam lapas pemasyarakatan. Pranadipa menyatakan bahwa hal-hal ini diakibatkan oleh meningkatnya grievances yang sejalan dengan menurunnya trust.
Senada dengan Pranadipa, Ustad Abu Tholut pula menyampaikan beberapa kritik bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia. Menurut Abu Tholut, ada beberapa isu mengenai terorisme yang terabaikan, di mana isu terorisme dipengaruhi oleh proxy war diantara negara negara maju yang berebut pengaruh lewat organisasi paramiliter teroris. Lebih jauh, terorisme dapat dilihat sebagai bentuk konspirasi intelijen yang dinisiasi negara maju untuk menghindari deployment pasukannya sendiri ke dalam zona konflik yang diperebutkan. Abu Tholut menekankan bahwa deradikalisasi sangat berhubungan dengan politik, karena konstelasi politik global sangat mempengaruhi perkembangan terorisme.
Selain itu, masih terdapat kecenderungan untuk melakukan generalisasi paham-paham keislaman yang berbeda-beda yang dianut oleh para terduga dan tertuduh eks-teroris. Padahal, aliran maupun paham yang dianut sangatlah beragam. Generalisasi ini berujung pada pendekatan yang monolitik kepada para tertuduh maupun terduga eks-teroris, sehingga program tidak selalu efektif.
Untuk memaksimalkan pendekatan terhadap terduga dan tertuduh eks-teroris, Pranadipa dan Ustad Abu Tholut turut memberikan sarannya masing-masing. Pranadipa menegaskan bahwa pihak pemerintah maupun yang berkaitan harus memahami adanya struktur kuasa dan relasi sosial dalam blok-blok lembaga pemasyarakatan yang dialami oleh terduga. Selain itu, pemerintah harus memperbaiki komunikasi BNPT dan lembaga lain, melihat kepercayaan napi terhadap elemen-elemen dari luar yang masuk, serta perlunya membangun kepercayaan. Sementara, Ustad Abu Tholut menyatakan bahwa dalam melaksanakan pendekatan melalui program-programnya, pemerintah haruslah melihat radikalisme sesuai dengan konteks politik global yang ada mengingat pengaruhnya yang besar bagi kondisi domestik di Indonesia. Selain itu, generalisasi paham keislaman tertuduh dan terduga eks-teroris yang membuat program tidak efektif haruslah diubah. Pemerintah perlu melakukan metode penanganan yang berbeda-beda agar tujuan yang diidealkan dapat terwujud.
Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara