Rilis Pers #2 Sengketa Perairan Natuna antara Pemerintah Indonesia dengan Cina : Legalitas Nine Dash Line

Selasa (14/1) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas dua isu penting dalam politik internasional yang mengawali tahun 2020 ini. Salah satunya adalah sengketa perairan Natuna yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Cina.

Indrawan Jatmika, selaku peneliti IIS menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia cenderung bergerak terlalu lambat dan kurang responsif dalam menanggapi aksi yang dilakukan Cina di Laut Natuna Utara dengan masuknya kapal nelayan dan patroli penjaga pantai yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan teritorial Indonesia. Cina kerap menggunakan latar historisnya, yaitu nine dash lines sebagai landasannya dalam mengklaim wilayah Laut Cina Selatan. Padahal nine dash lines ini jelas bertentangan dengan UNCLOS dan bersinggungan dengan batas ZEE Indonesia.

“Langkah yang diambil Indonesia saat ini cenderung mengobati dibandingkan mencegah, karena isu di Laut Cina Selatan sudah bergulir ketika awal dekade 2010 terutama di tahun 2013-2014 ketika Cina mulai memiliki power akibat perkembangan ekonomi yang berkembang pesat,” ujar Indrawan.

Sejak awal pemerintahannya di tahun 2014, Jokowi merasa bahwa kasus Laut Cina Selatan bukanlah urusan Indonesia sehingga tidak perlu campur tangan Indonesia. Hal ini kemudian menjadi mindset yang terbangun dan berlanjut hingga saat ini. Sehingga ketika isu seperti ini terjadi, pemerintah cenderung tidak siap dan belum memiliki strategi untuk menanganinya. Yang terjadi malah saling lempar tanggung jawab antar kementerian, dimana masing-masing kementerian memiliki posisinya masing-masing dalam mengatasi isu ini.

Dengan Indonesia yang cenderung mengabaikan isu ini, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin ASEAN. Padahal, sejak awal berdirinya ASEAN tahun 1967, Indonesia selalu dianggap sebagai pemimpin ASEAN. Hal ini cukup disayangkan menurut Indrawan. Indonesia seharusnya dapat memimpin dan melakukan konsolidasi secara multilateral ke negara-negara anggota ASEAN untuk menentukan langkah dan sikap bersama untuk merespon Cina, sekaligus membawa isu ini ke berbagai forum internasional atas nama ASEAN.

Secara domestik, Indonesia juga perlu lebih tegas dan siap dalam mengatasi isu ini. Dengan mengirimkan militer ke Natuna atau membangun pangkalan militer ke Natuna bukan berarti tantangan perang dari Indonesia, namun lebih menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menindak pelanggar kedaulatan wilayah Indonesia.

Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh Randy Wirasta Nandyatama, dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus pakar kajian politik dan keamanan Asia Tenggara. Menurut Randy, kasus Cina ini menjadi penting karena kapal nelayan dijaga oleh penjaga pantai yang menurut UNCLOS adalah paramilitary, karena dibantu oleh negara dengan memberikan pengawalan. Inilah yang menjadi masalah dan membuat masalah tersebut menjadi pelik.

Menurut Randy, Cina melakukan aksi ini karena bergantung pada legitimasi Partai Komunis Cina (PKC). PKC dapat terus berkuasa apabila dapat menjamin pertumbuhan ekonomi, menjaga integritas teritorial, dan propaganda kecintaan tanah air (nasionalisme).

“Poin integritas teritorial menjadi poin yang bersinggungan dengan kasus ini, karena PKC harus mempertahankan Laut Cina Selatan yang dinilai merupakan hak Cina. Kemungkinan besar, Pemerintah Cina akan sulit untuk mundur karena menurut Cina, Laut Cina Selatan penting bagi integritas teritorial Cina,” ujar Randy.

Sebelumnya, Indonesia membatasi keterlibatannya dalam isu Laut Cina Selatan karena Indonesia tidak mengklaim Pulau Spratly di perairan Laut Cina Selatan, sehingga sebelumnya belum ada sengketa dan singgungan langsung antara Indonesia dan Cina. Namun kini, penting bagi Indonesia untuk terlibat aktif dan lebih responsif dalam mengatasi pelanggaran kedaulatan wilayah ini. Karena dalam sengketa internasional, negara yang dapat menjaga sebuah wilayah dan mengelolanya secara serius, maka akan dipandang lebih penting dan lebih pantas akan wilayah tersebut. Hal inilah yang berusaha dikejar oleh Cina.

Sejalan dengan yang disampaikan Indrawan sebelumnya, respon Indonesia dinilai kurang terkoordinir. Berbagai lembaga dan institusi yang terlibat tidak memiliki keseragaman respon terhadap isu ini. Sehingga yang dapat dilakukan adalah koordinasi yang lebih serius dan membuat upaya diplomasi mempertahankan perairan Natuna lebih kuat dan terarah.

“Indonesia selama ini masih mengabaikan historical fishing rights Cina, sehingga Indonesia perlu lebih mendalami landasan dan alasan Cina untuk melakukan intervensi di Natuna. Diperlukan juga adanya opsi kesepakatan diantara kedua negara dimana kedua negara dapat bekerjasama dan memanfaatkan sumber daya secara bersamaan,” tutur Randy menutup paparannya.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Angganararas Indriyosanti

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.