Jogja Creative Industry Forum: Platform Pertemuan dan Diskusi Praktisi Industri Kreatif Yogyakarta

Menurut Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), saat ini industri kreatif menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, nilai ekspor Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya mendudukki peringkat ke-8 nasional dengan nilai ekspor produk ekonomi kreatif sebesar 1,26%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah dan daya saing industri kreatif di DIY belum mencapai potensi maksimal karena terdapat beberapa faktor yang menghambat kemampuan ekspor dan usaha para pelaku industri kreatif untuk terintegrasi dalam pasar global.

Berangkat dari persoalan tersebut, peserta kelas Global Value Chain Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), bekerja sama dengan Institute of International Studies dan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM menyelenggarakan Talkshow Jogja Creative Industry Forum (JCIF), pada Rabu, 18 September 2019 berlokasi di Digital Library Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

JCIF bertujuan menjadi wadah bertemunya perwakilan dari beragam latar pendidikan dan profesi yang berkenaan dengan industri kreatif sekaligus menjadi sarana inisiasi strategi think-tank dalam sektor industri kreatif. Kegiatan dikemas dalam bentuk talk show guna memberi ruang pada pelaku usaha industri kreatif, pemerintah, akademisi serta publik untuk berdikusi mengenai tantangan dan peluang dalam sektor ekonomi kreatif di DIY, publik pun dapat ikut serta berdiskusi dalam kegiatan tersebut.

Talk show JCIF dibagi dalam dua sesi, di mana sesi pertama membahas seputar sinergi yang perlu dibangun antara pemerintah dan pengusaha dalam meningkatkan sektor industri kreatif DIY di pasar global, sementara sesi kedua membahas mengenai potensi rencana strategis yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam rangka upgradingguna memasarkan produk dan jasanya.

Sesi hari itu dibuka oleh Rendro Prasetyo, penyuluh Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi DIY dengan memberikan gambaran mengenai industri kreatif di Yogyakarta. Rendro menyatakan bahwa industri kreatif di Yogyakarta memiliki potensi yang besar tetapi pelaksanaannya belum optimal. Selain itu, terdapat beberapa peluang yang harus dimanfaatkan, seperti tingginya jumlah sumber daya manusia kreatif di Yogyakarta; adanya upaya aktif dari komunitas industri kreatif; adanya dukungan perguruan tinggi; adanya dukungan Sekolah Menengah Kejuruan; dan adanya citra Yogyakarta sebagai kiblat industri kreatif. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula dalam memaksimalkan potensi-potensi tersebut, seperti pembagian urusan industri kreatif antar operasi daerah yang belum jelas; belum adanya pangkalan data industri kreatif yang baik; banyaknya permasalahan di industri kreatif; industri kreatif yang mudah puas dan tidak melakukan upgrading diri; serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang belum jelas.

Talk show dilanjutkan dengan sharing dari pemilik industri kreatif. Pemilik industri kreatif yang hadir pada kegiatan hari itu datang dari berbagai klaster, termasuk klaster industri fesyen, industri daur ulang, industri kesehatan berbasis komunitas, serta industri kuliner. Dalam diskusi tersebut, para pelaku industri kreatif membagikan beberapa tips terkait melakukan usaha industri kreatif di Yogyakarta.

Salah satunya ialah Drg. Ferry Yuliana Syarif, founder dari Gendhis Bag yang bergerak dalam industri fesyen, menyatakan bahwa dalam menjalankan industri kreatif segala aktivitas yang dilakukan harus dari hati, dalam artian semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan bukan hanya berorientasi pada materi. Prinsip “bisnis dari hati” ini tampak dari cara Gendhis Bag berbagi tentang cara produksi ke berbagai industri mikro di aneka daerah di Indonesia hingga mengembangkan sumber daya manusia yang ada.  Tips lainnya yang dibagikan Drg. Ferry ialah harus adanya pengembangan bisnis dengan basis business-to-business (B2B), selalu memiliki inovasi dan kreativitas, tim yang solid, dan sosial media yang kuat.

Senada dengan Drg. Ferry yang memiliki dampak sosial dalam menjalankan industri kreatif, Sekti Mulatsih, founderdari Rakyat Peduli Lingkungan atau lebih dikenal dengan sebutan RAPEL juga dihadirkan untuk berbagi mengenai usaha yang ia jalankan.  Inisiasi RAPEL lahir dari kegelisahan Sekti mengenai lingkungan karena ditemukannyamissing link dalam proses pengolahan sampah di Indonesia. Alhasil, RAPEL lahir sebagai industri yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Yogyakart

Pandangan dari para pemilik industri kreatif tersebut kemudian dilengkapi dengan pandangan dari beberapa pakar yang dunianya bersinggungan dengan industri kreatif. Pakar-pakar tersebut meliputi Drs. Prijo Mustiko, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, yang menyatakan bahwa perlu adanya kerjasama quadrohelix di antara akademisi, bisnis, komunitas, dan birokrasi pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif; serta Dian Prijomustiko dari Bali Industry Creative Center yang menggarisbawahi beberapa aksi yang harus diambil oleh pemerintah apabila ingin mengembangkan industri kreatif, yakni harus adanya “burning platform”, reviu regulasi yang sudah ada, kebijakan yang mengatur industri kreatif, serta rencana strategis pemerintah.


Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.