[RECAP] Beyond the Great Wall #8: Cina di Tahun 2020: Tantangan Keamanan Tradisional dan Non Tradisional
Di tengah pandemi yang memaksa dunia untuk melakukan karantina diri dan bekerja dari rumah, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada berkesempatan untuk tetap menyelenggarakan forum Beyond the Great Wall #8 secara daring melalui Google Meet pada 15 Mei 2020. Pada edisi yang ke-8 ini, Beyond the Great Wall menghadirkan dua pembicara yang membahas mengenai tantangan keamanan tradisional dan nontradisional Cina. Pembicara pertama, Fadhil Sulaeman selaku Head of Research and Development di Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM, membawakan materi yang berjudul “Strategi Tiongkok di Laut Cina Selatan”. Pembicara kedua, Muhammad Reza sebagai Media Analyst di PT Indonesia Indikator, hadir dengan materi yang berjudul “Sistem Jaminan Kesehatan Tiongkok”. Forum BTGW kali ini turut menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro selaku Kepala Departemen HI UGM sekaligus convener kegiatan Beyond the Great Wall serta Lucke Haryo SP, staf Perpustakaan IIS UGM, sebagai moderator.
Sebagai pembuka dalam forum kali ini, Fadhil memaparkan bahwa konflik di Laut Cina Selatan menjadi isu yang sangat penting akibat tiga hal: (1) masuknya kapal asing ke wilayah ZEE Indonesia; (2) adanya klaim dari negara-negara anggota ASEAN dalam Laut Cina Selatan yang merupakan tetangga Indonesia; (3) keterlibatan dua aktor penting dalam politik internasional—Amerika Serikat dan Cina—di dalamnya. Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang sangat stategis karena sumber daya alam yang sangat melimpah di dalamnya serta perannya sebagai jalur lalu lintas perdagangan internasional. Tidak hanya itu, selama ini Laut Cina Selatan juga dikenal sebagai zona berbahaya dan chokepoints bagi berbagai bentuk kejahatan transnasional, seperti jalur perdagangan barang ilegal, perdagangan manusia, dan perdagangan narkoba. Mengingat betapa strategisnya lokasi ini, tujuh negara telah melakukan klaim atas Laut Cina Selatan yang saling tumpang tindih. Menurut Fadhil, ada tiga pulau utama yang menjadi rebutan bagi negara-negara yang melakukan klaim atas Laut Cina Selatan, yaitu Kepulauan Spratly, Paracel, dan Scarborough Shoal. Ketiganya memiliki signifikansi yang besar bagi kepentingan Cina, baik di kawasan ASEAN maupun dalam politik internasional secara keseluruhan.
Saat memaparkan mengenai relasi Amerika Serikat dan Cina dalam konflik di Laut Cina Selatan, Fadhil menyatakan bahwa konfrontasi keduanya dalam konflik tersebut terjadi karena keduanya menggunakan landasan hukum yang berbeda untuk mengklaim Laut Cina Selatan. Di satu sisi, Amerika Serikat menggunakan Hak Kebebasan Navigasi sebagai hasil putusan arbitrase internasional yang menyatakan bahwa Laut Cina Selatan adalah laut internasional, sehingga kapal asing yang melewati perairan ini tidak perlu lapor dan pergerakan kapal pun bebas. Di sisi lain, Cina menolak putusan tersebut dan menggunakan Hak Lintas Damai sebagai klaim atas Laut Cina Selatan. Implikasinya adalah seluruh kapal yang lewat wajib lapor kepada Cina dan pergerakannya pun dibatasi. Perbedaan klaim yang tidak berujung pada titik temu, ditambah dengan perbedaan posisi keduanya dalam UNCLOS, menjadikan konfrontasi tidak terelakkan. Walaupun begitu, hingga saat ini konfrontasi keduanya masih sebatas gertakan-gertakan semata, seperti peristiwa kapal AS dan Cina yang sangat berdekatan di Laut Cina Selatan beberapa waktu lalu, namun tidak sampai terjadi konflik bersenjata. Fadhil menutup presentasinya dengan mencoba untuk menjawab pertanyaan apakah AS berani untuk memulai konfrontasi fisik dengan Cina.
“Amerika Serikat adalah satu-satunya negara yang dapat mengungguli kekuatan angkatan laut Tiongkok, tetapi meningkatkan eskalasi akan menggambarkan AS sebagai agresor. Maka dari itu, provokasi dan daya gentar adalah jalan tengah,” ujar Fadhil sekaligus menutup bahasan keamanan tradisional Cina di tahun 2020.
Sesi kedua berfokus pada tantangan keamanan nontradisional Cina di tahun 2020, khususnya pada bidang kesehatan. Muhammad Reza memulai pemaparannya dengan sebuah fakta yang menarik, yaitu bahwa pemerintah Cina baru mereformasi sistem jaminan kesehatannya di tahun 2015. Perubahan tersebut cukup baru, terutama jika dibandingkan dengan Indonesia yang baru merilis BPJS di era kepemimpinan Jokowi periode pertama. Untuk memperbaiki layanan kesehatannya, Cina mengalokasikan dana sebesar 850 juta yuan yang terbagi dalam tiga tipe subsidi kesehatan, yaitu urban employment-based basic yang ditujukan bagi para pekerja di kota, urban resident bagi anak-anak dan pelajar, serta new cooperative for rural residents yang dialokasikan bagi masyarakat pedesaan. Tiga tipe subsidi pembayaran jaminan kesehatan ini berlaku di seluruh Cina, kecuali Macau dan Hong Kong.
Dalam materi yang diberikan, Reza menyatakan bahwa walaupun telah mengalami reformasi, sistem jaminan kesehatan di Tiongkok masih memiliki kelemahan. Hal ini dapat dilihat dari angka reimbursement rawat inap yang tergolong rendah dan terus mengalami penurunan hingga saat ini. Tentu saja, pemerintah Cina terus mengupayakan perbaikan layanan kesehatannya, terutama ketika pandemi COVID-19 muncul di Cina dan menyebar secara masif ke seluruh dunia. Dalam hal ini, upaya Cina untuk mengatasi COVID-19 dinilai oleh berbagai pihak cukup efektif, terutama di tingkat domestik, melalui pemberlakuan lockdown, pengawasan yang sangat ketat, serta pengerahan mata-mata pemerintah dan penggunaan teknologi pengenalan wajah untuk melacak warga negara Cina. Saat ini, pemerintah Cina telah mengupayakan untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam rangka mencegah munculnya kasus serupa COVID-19 di masa depan. Menurut Reza, alokasi dana yang besar perlahan-lahan mampu memperbaiki sistem jaminan kesehatan di Tiongkok.
Forum ditutup dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Nur Rachmat Yuliantoro. Pertama, Nur Rachmat menyatakan bahwa Indonesia dan dunia tidak boleh lengah atas isu Laut Cina Selatan walaupun sedang menghadapi wabah COVID-19. Menurutnya, Indonesia dan ASEAN tidak boleh tunduk begitu saja dengan Cina. Indonesia juga sebenarnya memiliki kewenangan yang cukup besar bagi stabilitas kawasan, terutama jika strategi Cina dinilai mengancam selat-selat Indonesia. Mengenai sistem jaminan kesehatan di Cina, Nur Rachmat menyatakan bahwa sebenarnya wajar jika Cina baru saja memperbaiki sistem jaminan kesehatannya. Namun, perbaikan ini juga disertai dengan pengembangan teknologi artificial intelligence yang cukup masif, bahkan anggarannya melebihi Amerika Serikat. Menurut Nur Rachmat, penggunaan artificial intelligence oleh Cina ke depannya akan sangat masif, baik untuk mengatasi COVID-19 maupun untuk melacak warga negaranya.
Penulis : Brigitta Kalina Tristani Hernawan
Penyunting : Medisita Febrina
terima kasih penjelasannya sangat membantu