[RECAP] Round Table Discussion: Perkembangan Lethal Autonomous Weapon System (LAWS) Global dan Implikasinya Terhadap Politik Luar Negeri dan Pertahanan Indonesia

Pada hari Jumat (6/3) lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina kembali mengadakan Round Table Discussion untuk membahas Perkembangan senjata otonom dan implikasinya terhadap politik luar negeri dan pertahanan Indonesia. Round Table Discussion ini kembali mengundang berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, militer, peneliti, serta para ahli untuk mendiskusikan isu ini dari berbagai sudut pandang.

Menurut International Committee of the Red Cross (ICRC), working definition dari senjata otonom (dikenal pula dengan istilah autonomous weapon system, lethal autonomous weapon system, killer robots) adalah sistem persenjataan apapun yang memiliki otonomi dalam fungsi kritisnya dimana dapat memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia. Perkembangan senjata otonom ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya revolusi industri. Masalah mematikan atau tidaknya dari suatu senjata bukanlah hal yang inheren pada senjata, namun tergantung pada karakteristiknya dan bagaimana ia digunakan. Senjata otonom erat kaitannya dengan hukum humaniter internasional. Sampai saat ini ada diskursus bahwa senjata otonom tidak hanya dipakai pada masa perang, namun juga pada masa damai khususnya dalam konteks penegakan hukum. Banyak yang mengatakan bahwa senjata otonom sangat precise targeting, namun perdebatannya adalah bagaimana jika ada risiko serangan siber ketika senjata tersebut dikerahkan, yang sekaligus memicu dugaan pelanggaran dan permasalahan akuntabilitas. Muncul pula perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab, apakah operator lapangan, komandan, atau pembuat algoritmanya?

Selain pertimbangan hukum, diperlukan pula pertimbangan etis. Dalam forum pun muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti “apakah senjata otonom bisa patuh terhadap prinsip-prinsip dasar hukum humaniter?”, “sejauh mana manusia seharusnya memiliki kontrol atas senjata?”, “karena senjata otonom dapat memilih dan memutuskan targetnya sendiri, apakah hal ini crossing the line?”.

Sejauh ini, di level internasional pemerintah Indonesia belum memiliki posisi terhadap eksistensi senjata otonom. Indonesia tidak menentang atau menolak aksesi Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), hanya saja sejauh ini mungkin prioritas negara berbeda. Indonesia pun belum menjadi state party di CCW dan hanya menjadi observer. Dengan fakta bahwa Indonesia hanya menjadi observer di CCW, menunjukkan belum adanya kesadaran Indonesia akan urgensi dan potensi ancaman senjata otonom bagi manusia. Karena cepat atau lambat, eksistensi senjata otonom akan menimbulkan efek destruktif yang besar. Perlu membuktikan kepada pemerintah bahwa aksesi CCW itu penting, dengan melibatkan semua agensi nasional, dimana Kementerian Luar Negeri harus menjadi garda terdepan untuk mewujudkan kepentingan ini menjadi kepentingan bersama. Selain itu, CCW juga harus diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yang berarti dalam bentuk hukum. Kedepannya, Indonesia diharapkan pula lebih aktif dalam forum, karena jika tidak, diskusinya hanya akan berhenti di ranah akademis.

Saat ini, bisnis unmanned aerial vehicle (UAV) sedang tren, sehingga Indonesia tidak mau ketinggalan dalam konteks ini. Presiden Joko Widodo pun menginginkan agar UAV dikembangkan. Awalnya, UAV dibuat bukan untuk senjata, namun untuk melaksanakan misi 3D: Dull, Dirty, dan Dangerous. Pada awalnya, pesawat yang dibangun tidak untuk dipasang senjata, namun TNI ingin agar drone bisa melakukan tindakan sehingga dipersenjatai. Di satu sisi keberadaan UAV menarik, namun di sisi lain ketika diterbangkan, UAV bisa saja mengganggu traffic airline, apalagi jika dipersenjatai. Berbeda dengan senjata otonom, aturan mengenai UAV sudah diatur dalam beberapa permenhub atau permenkominfo.

Jika ditelaah, eksistensi senjata otonom sangat dilematis. Di satu sisi, dalam penyerangan sangat bagus karena tidak takut dan dapat memilih dan menyerang target. Selain itu, senjata otonom cenderung tidak costly. Namun di sisi lain, senjata otonom membuat kita mempertanyakan aspek chivalrous dari perang serta aspek kemanusiaan dan moralitas. Hukum humaniter internasional bukan bermaksud membatasi kebutuhan pengembangan militer suatu negara, namun memastikan agar tindakan yang diambil negara sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kekhawatiran jika senjata otonom digunakan tanpa adanya aturan yang mengatur adalah mengenai pertanggungjawaban jika terjadi tindakan yang melanggar.

Urgensi utama kini adalah untuk mendefinisikan tipologi yang jelas mengenai apa yang dimaksud sebagai LAWS, karena sampai saat ini belum ada konsensus mengenai terma autonomous weapon system (AWS). Para akademisi juga harus mengkaji riset yang berkaitan dengan senjata otonom, sehingga menjadi PR bersama untuk membangun diskursus urgensi isu ini. Situasi AWS jauh lebih kompleks dibandingkan dengan senjata nuklir. Sulit untuk melarang senjata otonom secara total, karena pertimbangannya adalah penggunaan teknologi ini bisa menguntungkan dari sisi militer terutama karena esensi strategi militer, yakni efisiensi dan efektivitas dimana kita dapat mengatasi musuh dalam waktu lebih singkat. Selain itu, AWS juga memiliki aspek defensif sehingga membuatnya sulit untuk dihapuskan secara total. Singkatnya, permasalahan AWS sendiri bukan mengenai esensi dari AWS tetapi bagaimana AWS digunakan.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.