Annual Convention on Global South #1: Revolusi Industri 4.0 dan Kerjasama Global South
Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM) telah menyelenggarakan acara Annual Convention on Global South atau GoSouth pada tanggal 5 dan 6 November 2019. Sebagai program perdana, GoSouth edisi perdana mengundang pembicara-pembicara dari lingkup nasional maupun internasional. Acara ini disponsori oleh Bank Mandiri, Chandra Asri Petrochemical dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Indonesia.
Pada hari pertama, GoSouth beragendakan sesi seminar internasional dengan menghadirkan 4 pembicara yang membawakan materi terkait Global South dan Industri 4.0. Pada sesi pertama, IIS UGM mengundang Prof. Ashok Acharya, Profesor Ilmu Politik dari University of Delhi dan Prof. Mohtar Mas’oed, Profesor Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Pada sesi pertama, Cut Intan Aulianisa Isma selaku manajer dari IIS UGM berperan menjadi moderator. Pada sesi kedua, dihadirkan dua pembicara lain yaitu Shita Laksmi, Manajer Proyek Asia Diplo Foundation dan Nanang Chalid, Wakil Pimpinan Tokopedia. Treviliana Eka Putri, dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi moderator pada sesi ini.
Sesi hari pertama dibuka dengan sambutan dari Prof. Panut Mulyono, selaku rektor Universitas Gadjah Mada, yang mengingatkan kita akan perkembangan dunia dengan mengikuti revolusi industri 4.0 dimana teknologi telah berkembang dengan pesat dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik internasional. LAWs, AI dan Big Data kini dapat mempengaruhi ranah sosio-politik, menjadikan revolusi industri 4.0 bukan hanya sebagai fenomena global namun juga sebagai agenda global. Dibalik signifikansinya, revolusi industri 4.0 juga membawa tantangan, dan kita harus siap dalam menghadapi tantangan tersebut.
Sesi pertama dibuka oleh Cut Intan Aulianisa Isma selaku moderator, dengan tema “Global South : Perspective in International Relations”. Sesi pertama dibuka oleh Prof. Ashok Acharya yang membawakan materinya dengan topik “Rekindling the Bandung Spirit : Transnational Justice and the Global South”. dalam materinya, beliau menekankan kepada signifikansi dari Bandung Spirit dalam menghadapi RI 4.0 sebagai masyarakat Global South. Globalisasi mendatangkan banyak janji dan peluang, namun diikuti oleh problematika seperti ketimpangan yang meluas. Dalam hal ini, Bandung Spirit berperan sebagai katalis pemersatu dan norma global dalam menghadapi isu transanasional, khususnya global justice issue. Problematika global inequality haruslah direspon oleh sebuah koperasi global, namun tantangannya adalah untuk menemukan sebuah norma yang akan diikuti oleh seluruh negara-negara yang terkait, baik utara maupun selatan. Prof. Ashok mengakhiri materinya dengan membawa konsep Global/Transnational Justice, sebagai sebuah gerakan yang dimotori prinsip keadilan distributif yang diaplikasikan dari tingkat domestik hingga global.
Apabila Prof. Ashok Acharya menekankan kepada tantangan di level global, Prof. Mohtar Mas’oed justru memandang fenomena Global South dari sudut pandang Indonesia lewat materinya,“Technologically Challenged Global South : An Indonesian Perspective”. Dalam materinya tersebut, Prof. Mohtar menekankan bahwa bagi Indonesia untuk menaiki gelombang perkembangan teknologi dibutuhkan respon cepat terhadap perkembangan teknologi yang merupakan solusi neoliberal untuk krisis produksi kapitalis, dan hanya membawa keuntungan bagi sebagian golongan yang siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Sebagian negara selatan tertinggal karena konsekuensi politik, ekonomi dan sosial dari kesenjangan global yang berkembang dengan pesat, sementara keuntungan ekonomi dan sosial yang dibawa oleh perkembangan teknologi tetaplah terpusat pada negara-negara maju. Sehingga pada akhirnya negara negara Global South tetap mengandalkan teknologi yang kalah berkembang dari teknologi yang digunakan negara-negara maju. Indonesia tentu saja juga menjadi salah satu negara berkembang yang harus beradaptasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, karena area STI (Science, Technology and Innovation) yang tertinggal jauh dari negara-negara maju. Prof. Mohtar menutup paparannya dengan mengingatkan akan dilema hubungan selatan-selatan dengan membandingkan spirit solidaritas Konferensi Bandung 1955 dengan Realpolitik, yang menyebabkan fragmentasi diantara negara-negara Global South.
Setelah kedua pemapar selesai memaparkan materinya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang cukup progresif karena minat para peserta terhadap topik perkembangan teknologi dan industri 4.0. Selepas sesi tanya jawab, para pembicara dan peserta dipersilakan untuk menikmati makan siang dan melaksanakan ibadah sebelum dilanjutkan pada sesi kedua yang menghadirkan Shita Laksmi dan Nanang Chalid dengan moderator Treviliana Eka Putri bertema “Industry 4.0 In the Global Context”
Sesi kedua dimulai oleh Nanang Chalid, yang memulai sesi dengan sedikit membagikan pengalaman beliau sebagai alumni HI UGM yang membantunya dalam mencapai posisinya sekarang. Nanang memaparkan, bahwa Asia Tenggara dan Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Ekonomi Asia Tenggara sudah mulai berkembang dan menyesuaikan dengan proses digitalisasi, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup progresif dalam proses tersebut. E-commerce berkembang dengan pesat di Asia Tenggara, diiringi dengan peningkatan pengguna internet yang cukup drastis. Indonesia sendiri memiliki potensi e-commerce yang masif, karena menyediakan keuntungan finansial, dan lapangan kerja. Tokopedia yang menyadari potensi yang dimiliki oleh Indonesia, dapat sigap bergerak sebagai sebuah ekosistem penggerak ekonomi, yang menyediaka kemudahan, kemajuan dan kelebihan praktis kemajuan teknologi dalam aspek komersil. Di saat yang bersamaan, Tokopedia juga dapat berperan menjadi aktor yang membantu pemerintah dengan mengintegrasikan beberapa layanan pemerintah dengan layanan e-commerce yang diberikan. Dengan signifikansi peran tersebut, Tokopedia muncul sebagai salah satu pelopor industri 4.0 di Indonesia, sekaligus memberikan peluang bagi masyarakat untuk berperan sebagai pelaku ekonomi digital.
Shita Laksmi memandang revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi yang dibawanya sebagai sebuah tantangan, dan pengaruhnya kepada dunia Hubungan Internasonal. AI (artificial intellegence) dan perkembangannya yang pesat menyediakan alternatif tenaga kerja baru yang presisi dan mungkin dapat berperan didalam proses diplomasi, dimana AI dapat berperan baik sebagai alat diplomasi ataupun topik diplomasi. Contohnya, AI dapat berperan dalam pemprosesan teks diplomasi, karena presisi kerja yang tidak terganggu oleh faktor human error. AI juga dapat berperan dalam banyak sektor, seperti keamanan, ekonomi dan pengembangan luar angkasa, sehingga kita harus siap akan hadirnya AI dalam kehidupan sehari hari. Kembali kepada konteks hubungan internasional dan diplomasi, Kementerian Luar Negeri dan para diplomat juga harus bersiap dengan melakukan beberapa hal seperti inovasi, capacity building dan indicator track efforts untuk beradaptasi dengan perkembangan AI. Dalam konteks Global South, Shita mempertanyakan apakah perbedaan diantara utara dan selatan, serta relevansi pemisahan antara utara-selatan, karena relevansinya masih bisa diperdebatkan. Shita juga memaparkan contoh kebangkitan Cina, yang menurutnya justru memberi Cina pemenuhan kualifikasi sebagai negara utara.
Seusai pemaparan kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab kedua yang masih berjalan dengan cukup progresif diantara peserta seminar dan para pembicara. Sesi hari pertama dilanjutkan dengan pidato penutupan oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM dan inisiator dari konvensi GoSouth, yang menandakan berakhirnya hari pertama dari Annual Convention on Global South.
Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Angganararas Indriyosanti & Thifani Tiara Ranti
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!