Beyond the Great Wall #4 : Cina : Masa Lalu dan Masa Depan
Masa lalu dan masa depan adalah dua periode kontradiktif yang seringkali tidak dapat dibahas dalam satu sesi diskusi. Namun, dalam konteks sebuah negara, masa lalu dan masa depan menyimpan signifikansi yang sama dan tidak kalah penting. Dibalik peningkatan perannya dalam konstelasi politik global, Cina tentunya memiliki masa lalu yang kaya dan patut untuk dibahas. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil Cina di dalam politik global, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja masa lalu Cina yang juga menjadi landasan Cina di masa modern. Kontradiksi diantara dua kata kunci “masa lalu” dan “masa depan” inilah, yang menjadi topik dari Forum Beyond The Great Wall kali ini.
Edisi #4 Forum Beyond The Great Wall (BTGW) memiliki tajuk “Cina : Masa Lalu dan Masa Depan” untuk menyesuaikan disimilaritas di antara materi yang dibawakan, kegiatan BTGW menghadirkan Irfan Halim S.Psi, Asisten Klinik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Arindha Nityasari S.IP, Peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada. Berbeda dengan topik-topik diskusi BTGW sebelumnya, diskusi kali ini mengangkat tema yang menggambarkan dua aspek kontradiktif atas Cina. Irfan menyinggung masa lalu Cina dengan membahas Uighur lewat perspektif psikologi sejarah dan bagaimana isu ini dikaitkan dengan ilmu Hubungan Internasional, sementara Arindha memandang masa depan Cina dengan mendiskusikan prospek dan tantangan perkembangan Artificial Intelligence di Cina dengan mereview buku “A.I Superpowers : China, Silicon Valley and The New World Order” karya Kai Fu Lee.
Irfan memulai sesi pertama dengan memaparkan materi terkait sejarah etnik Uighur yang selama ini menerima diskriminasi dan tersegregasi dari masyarakat maupun pemerintah Cina. Ilmu Psikologi dan Ilmu Hubungan Internasional yang sekilas tidak dapat disandingkan bersama, menjadi landasan Irfan untuk mengangkat isu ini. Di mana, keduanya relevansi ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan mandat Konstruktivisme. Sebagai sebuah ilmu yang bersifat micro-oriented, tentunya Ilmu Psikologi akan kesulitan memberikan analisis makro yang dibutuhkan dalam menganalisa dunia hubungan internasional. Namun, konstruktivisme, dalam hal ini, hadir untuk memahami sejarah maupun struktur sosial yang ada dan dapat dikaitkan dengan Ilmu Psikologi yang berusaha memahami aktor-aktor, yang bertindak dipengaruhi oleh socio-environment, di dalam suatu peristiwa.
Dalam konteks relasi Cina-Uighur, Irfan menekankan bahwa bahasa dan narasi berkaitan erat dengan perspektif masyarakat internasional atas isu tersebut. Narasi yang dibuat oleh masyarakat Uighur tentang bagaimana opresi Cina, tentunya berlawanan dengan narasi pemerintah Cina yang menganggap bahwa Uighur merupakan sebuah gerakan separatis yang sistematis. Lebih jauh, Irfan memaparkan kasus di mana pemerintah Cina memfabrikasi gerakan damai atau gerakan kecil untuk membuat negara sebagai sebuah narasi “pembebasan” masyarakat Uighur untuk melawan gerakan separatis. Dalam kasus status Xinjiang pun terdapat perbenturan narasi. Pada satu sisi, Xinjiang dianggap pemerintah Cina sebagai sebuah daerah otonom, sementara Uighur mendukung pendirian Turkistan Timur.
Dalam relasinya dengan negara lain dan dalam merespon tuduhan opresi terhadap Uighur, pemerintah Cina cenderung bersikap pasif dan defensif. Cina menganggap urusan Uighur adalah sebuah urusan internal dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Cina justru mengkritisi kembali sikap hipokrit dan bias negara-negara lain yang mengkritik kebijakan dalam negeri Cina. Hal ini juga berhubungan dengan kontrol media sosial yang diterapkan pemerintah Cina, di mana semua konten media sosial terkait Uighur dapat diawasi oleh pemerintah. Selain itu, menurut Irfan, narasi Indonesia tentang Uighur yang membawa slogan “Solidaritas Sesama Muslim” kurang tepat sasaran karena latar budaya Uighur yang sebenarnya multietnik.
Pada penghujung sesi pertama, Irfan menyimpulkan paparannya dengan menyatakan bahwa eksistensi narasi yang berbenturan dan polarisasi dunia internasional sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap konflik ini. Beberapa negara yang masih memiliki kepentingan dan kerjasama dengan Cina tidak begitu vokal dalam mengangkat isu opresi Uighur dan cenderung membiarkan Cina menjalankan kebijakan dalam negerinya. Di sisi lain, beberapa negara membingkai kasus ini sebagai sebuah opresi etnik dan meletakkan pemerintah Cina pada posisi antagonis utama dalam narasi tersebut, dan Uighur sebagai korban opresi pemerintah.
Pada sesi kedua, BTGW dilanjutkan dengan pemaparan hasil reviu buku oleh Arindha Nityasari. Artificial Intelligence (AI) sendiri adalah kemampuan mesin untuk mengadaptasi beberapa sifat manusia, seperti reasoning, berpikir logis, dan memberi preferensi pilihan. Secara garis besar, buku ini menceritakan kondisi teknologi global, sejarah perkembangan teknologi di Cina, dan kelembagaan serta ekosistem teknologi di Cina. Kemajuan yang ada membawa beberapa perubahan bagi Cina, salah satunya, revolusi Cina dari age of discovery, yang berorientasi pada penemuan dan penciptaan sesuatu, menjadi age of implementation yang berfokus pada implementasi produk dan teknologi. Perubahan lainnya yang terjadi adalah pergeseran Cina dari age of expertise, dengan orientasi sebagai ahli teknologi, menjadi age of data, dengan munculnya tren analisa data. Di era yang semakin maju ini, analisa data tentunya menjadi modal yang penting, mengingat AI yang berbasis pada data.
“Sekarang, siapa yang mempunyai data, maka dialah yang powerful,” tutur Arindha.
Kondisi ini membuat semua negara berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin data. Karenanya, Cina kini ada pada posisi yang unggul sebab rakyatnya rela memberikan data demi kemudahan hidupnya.
Salah satu hal menarik dari buku ini yang turut diangkat oleh Arindha adalah budaya copycat di Cina. Cina mengakui bahwa copycat merupakan kunci perkembangan teknologi di Cina karena latar belakang ekonomi Cina yang awalnya bergantung pada manufaktur dan produksi sendiri, bergeser menjadi bergantung pada mengikuti produk-produk lain sebagai proses transfer teknologi. Ekosistem AI Cina terletak pada para gladiator atau para peniru pengusaha dan dukungan pemerintah dengan data berlimpah didukung dengan adanya insinyur AI, meski masih dalam jumlah terbatas. Hal ini membuat pemerintah Cina berupaya meningkatkan pengembangan Greater Bay Area di Cina yang sangat technology-oriented, bahkan disebut Silicon Valley versi Cina, sebagai usaha memfasilitasi kebutuhan Cina akan insinyur AI.
Dalam buku ini, dijelaskan pula beberapa perbedaan antara Cina dengan Silicon Valley. Di mana, Cina cenderung lebih market-driven sehingga mengikuti keinginan pasar, sementara Silicon Valley cenderung value-driven sehingga memiliki dorongan untuk terus berinovasi dan tidak berbasis keinginan pasar. Selain itu, Cina lebih bersifat survival-oriented sedangkan Silicon Valley cenderung lebih bersifat innovation–oriented.
Di akhir buku, dipaparkan bahwa terdapat empat gelombang permasalahan yang fundamental, gelombang pertama adalah internet AI, gelombang kedua adalah business AI, gelombang ketiga adalah perception AI, dan yang terakhir adalah autonomous AI, di mana tiga perusahaan besar Cina mulai menciptakan autonomous AI untuk menganalisa dan membaca tren masyarakat yang dapat disesuaikan dengan algoritma.
Di penghujung acara, Arindha menutup pemaparan dengan pertanyaan reflektif bagi peserta diskusi “Bukan siapakah super power-nya, tetapi siapkah kita dengan era yang belum pernah terjadi sebelumnya?”
Penulis Berita : Handono Ega, Raditya Bomantara & Denise Michelle
Penyunting : Sonya Teresa Debora & Thifani Tiara Ranti
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!