
Interesting links
Here are some interesting links for you! Enjoy your stay :)Pages
- About GOSOUTH
- ABOUT US
- ADVOCACY
- Anggita Fitri Ayu Lestari
- BOOK REVIEW
- Books
- Brief
- Campaign to Stop Killer Robots
- Chivalrous Elnatan Nugrajati
- Commentaries
- CONTACT
- Damai Pangkal Damai
- DEMOCRACY, CONFLICT, AND SOCIAL INCLUSION
- Dian Adi MR
- EVENTS
- FOREIGN POLICIES, EMERGING POWERS, AND REGIONAL INTERSECTIONS
- FORTNIGHTLY REVIEW
- Gabriel Jovan Adidharma
- GLOBALISATION, DEVELOPMENT, AND ENVIRONMENT
- GO SOUTH 2024
- HOME
- IIS Annual Report
- IIS in the Press
- IIS LIBRARY
- Inggit Kartika Dini
- International Political Economy and Development
- Irene Jihan Chatarina
- Karin Yasmine Arysa
- Luqman-nul Hakim
- MONOGRAPH SERIES
- Nabilah Nur Abiyanti
- Nadya Zafira
- Najwa Ahila Al-Awwaliyah K.
- News
- Nuclear Ban Campaign
- Ongoing Research
- OPEN SUBMISSION
- Our Team
- Partners
- PAST EVENTS
- Peace and Conflict Studies
- Previous Research
- Proceedings
- Program Schedule
- PROGRAMS
- PUBLICATIONS
- RESEARCH
- SECURITY AND GLOBAL GOVERNANCE
- The Convener
- The Speakers
- Tria Nadila Desanti Margono
- UPCOMING EVENTS
- Vacancy
- Who We Are
Beyond the Great Wall #4 : Cina : Masa Lalu dan Masa Depan
/in News, Past Events/by iis.fisipolMasa lalu dan masa depan adalah dua periode kontradiktif yang seringkali tidak dapat dibahas dalam satu sesi diskusi. Namun, dalam konteks sebuah negara, masa lalu dan masa depan menyimpan signifikansi yang sama dan tidak kalah penting. Dibalik peningkatan perannya dalam konstelasi politik global, Cina tentunya memiliki masa lalu yang kaya dan patut untuk dibahas. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil Cina di dalam politik global, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja masa lalu Cina yang juga menjadi landasan Cina di masa modern. Kontradiksi diantara dua kata kunci “masa lalu” dan “masa depan” inilah, yang menjadi topik dari Forum Beyond The Great Wall kali ini.
Edisi #4 Forum Beyond The Great Wall (BTGW) memiliki tajuk “Cina : Masa Lalu dan Masa Depan” untuk menyesuaikan disimilaritas di antara materi yang dibawakan, kegiatan BTGW menghadirkan Irfan Halim S.Psi, Asisten Klinik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Arindha Nityasari S.IP, Peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada. Berbeda dengan topik-topik diskusi BTGW sebelumnya, diskusi kali ini mengangkat tema yang menggambarkan dua aspek kontradiktif atas Cina. Irfan menyinggung masa lalu Cina dengan membahas Uighur lewat perspektif psikologi sejarah dan bagaimana isu ini dikaitkan dengan ilmu Hubungan Internasional, sementara Arindha memandang masa depan Cina dengan mendiskusikan prospek dan tantangan perkembangan Artificial Intelligence di Cina dengan mereview buku “A.I Superpowers : China, Silicon Valley and The New World Order” karya Kai Fu Lee.
Irfan memulai sesi pertama dengan memaparkan materi terkait sejarah etnik Uighur yang selama ini menerima diskriminasi dan tersegregasi dari masyarakat maupun pemerintah Cina. Ilmu Psikologi dan Ilmu Hubungan Internasional yang sekilas tidak dapat disandingkan bersama, menjadi landasan Irfan untuk mengangkat isu ini. Di mana, keduanya relevansi ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan mandat Konstruktivisme. Sebagai sebuah ilmu yang bersifat micro-oriented, tentunya Ilmu Psikologi akan kesulitan memberikan analisis makro yang dibutuhkan dalam menganalisa dunia hubungan internasional. Namun, konstruktivisme, dalam hal ini, hadir untuk memahami sejarah maupun struktur sosial yang ada dan dapat dikaitkan dengan Ilmu Psikologi yang berusaha memahami aktor-aktor, yang bertindak dipengaruhi oleh socio-environment, di dalam suatu peristiwa.
Dalam konteks relasi Cina-Uighur, Irfan menekankan bahwa bahasa dan narasi berkaitan erat dengan perspektif masyarakat internasional atas isu tersebut. Narasi yang dibuat oleh masyarakat Uighur tentang bagaimana opresi Cina, tentunya berlawanan dengan narasi pemerintah Cina yang menganggap bahwa Uighur merupakan sebuah gerakan separatis yang sistematis. Lebih jauh, Irfan memaparkan kasus di mana pemerintah Cina memfabrikasi gerakan damai atau gerakan kecil untuk membuat negara sebagai sebuah narasi “pembebasan” masyarakat Uighur untuk melawan gerakan separatis. Dalam kasus status Xinjiang pun terdapat perbenturan narasi. Pada satu sisi, Xinjiang dianggap pemerintah Cina sebagai sebuah daerah otonom, sementara Uighur mendukung pendirian Turkistan Timur.
Dalam relasinya dengan negara lain dan dalam merespon tuduhan opresi terhadap Uighur, pemerintah Cina cenderung bersikap pasif dan defensif. Cina menganggap urusan Uighur adalah sebuah urusan internal dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Cina justru mengkritisi kembali sikap hipokrit dan bias negara-negara lain yang mengkritik kebijakan dalam negeri Cina. Hal ini juga berhubungan dengan kontrol media sosial yang diterapkan pemerintah Cina, di mana semua konten media sosial terkait Uighur dapat diawasi oleh pemerintah. Selain itu, menurut Irfan, narasi Indonesia tentang Uighur yang membawa slogan “Solidaritas Sesama Muslim” kurang tepat sasaran karena latar budaya Uighur yang sebenarnya multietnik.
Pada penghujung sesi pertama, Irfan menyimpulkan paparannya dengan menyatakan bahwa eksistensi narasi yang berbenturan dan polarisasi dunia internasional sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap konflik ini. Beberapa negara yang masih memiliki kepentingan dan kerjasama dengan Cina tidak begitu vokal dalam mengangkat isu opresi Uighur dan cenderung membiarkan Cina menjalankan kebijakan dalam negerinya. Di sisi lain, beberapa negara membingkai kasus ini sebagai sebuah opresi etnik dan meletakkan pemerintah Cina pada posisi antagonis utama dalam narasi tersebut, dan Uighur sebagai korban opresi pemerintah.
[layerslider id=”2″]
Pada sesi kedua, BTGW dilanjutkan dengan pemaparan hasil reviu buku oleh Arindha Nityasari. Artificial Intelligence (AI) sendiri adalah kemampuan mesin untuk mengadaptasi beberapa sifat manusia, seperti reasoning, berpikir logis, dan memberi preferensi pilihan. Secara garis besar, buku ini menceritakan kondisi teknologi global, sejarah perkembangan teknologi di Cina, dan kelembagaan serta ekosistem teknologi di Cina. Kemajuan yang ada membawa beberapa perubahan bagi Cina, salah satunya, revolusi Cina dari age of discovery, yang berorientasi pada penemuan dan penciptaan sesuatu, menjadi age of implementation yang berfokus pada implementasi produk dan teknologi. Perubahan lainnya yang terjadi adalah pergeseran Cina dari age of expertise, dengan orientasi sebagai ahli teknologi, menjadi age of data, dengan munculnya tren analisa data. Di era yang semakin maju ini, analisa data tentunya menjadi modal yang penting, mengingat AI yang berbasis pada data.
“Sekarang, siapa yang mempunyai data, maka dialah yang powerful,” tutur Arindha.
Kondisi ini membuat semua negara berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin data. Karenanya, Cina kini ada pada posisi yang unggul sebab rakyatnya rela memberikan data demi kemudahan hidupnya.
Salah satu hal menarik dari buku ini yang turut diangkat oleh Arindha adalah budaya copycat di Cina. Cina mengakui bahwa copycat merupakan kunci perkembangan teknologi di Cina karena latar belakang ekonomi Cina yang awalnya bergantung pada manufaktur dan produksi sendiri, bergeser menjadi bergantung pada mengikuti produk-produk lain sebagai proses transfer teknologi. Ekosistem AI Cina terletak pada para gladiator atau para peniru pengusaha dan dukungan pemerintah dengan data berlimpah didukung dengan adanya insinyur AI, meski masih dalam jumlah terbatas. Hal ini membuat pemerintah Cina berupaya meningkatkan pengembangan Greater Bay Area di Cina yang sangat technology-oriented, bahkan disebut Silicon Valley versi Cina, sebagai usaha memfasilitasi kebutuhan Cina akan insinyur AI.
Dalam buku ini, dijelaskan pula beberapa perbedaan antara Cina dengan Silicon Valley. Di mana, Cina cenderung lebih market-driven sehingga mengikuti keinginan pasar, sementara Silicon Valley cenderung value-driven sehingga memiliki dorongan untuk terus berinovasi dan tidak berbasis keinginan pasar. Selain itu, Cina lebih bersifat survival-oriented sedangkan Silicon Valley cenderung lebih bersifat innovation–oriented.
Di akhir buku, dipaparkan bahwa terdapat empat gelombang permasalahan yang fundamental, gelombang pertama adalah internet AI, gelombang kedua adalah business AI, gelombang ketiga adalah perception AI, dan yang terakhir adalah autonomous AI, di mana tiga perusahaan besar Cina mulai menciptakan autonomous AI untuk menganalisa dan membaca tren masyarakat yang dapat disesuaikan dengan algoritma.
Di penghujung acara, Arindha menutup pemaparan dengan pertanyaan reflektif bagi peserta diskusi “Bukan siapakah super power-nya, tetapi siapkah kita dengan era yang belum pernah terjadi sebelumnya?”
Penulis Berita : Handono Ega, Raditya Bomantara & Denise Michelle
Penyunting : Sonya Teresa Debora & Thifani Tiara Ranti
CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia
/in News, Past Events/by iis.fisipolCANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia
Pendekatan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi terduga eks-terorisme ialah deradikalisasi. Proses ini dilakukan dengan memoderasikan pemahaman dan mengembalikan orang-orang yang telah terpapar radikalisme untuk kembali memahami Pancasila dan UUD 1945. Namun, hingga kini efektivitas maupun alternatif dari pendekatan ini masih diperdebatkan.
Guna membahas deradikalisasi dan perdebatan yang mengitarinya secara lebih jauh, pada Kamis (29/8), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) yang ke-3 dengan mengangkat tema “Mempelajari dan Mencari Pendekatan Alternatif dalam Diskursus dan Kebijakan Deradikalisasi di Indonesia”. Kegiatan ini menghadirkan Ustad Abu Tholut Al-Jawiy, pemerhati gerakan Islam, dan Hardya Pranadipa, mahasiswa Master of Arts Human Rights, Gender, and Conflict Studies: Social Justice Perspective di International Institute of of Social Studies (ISS) of Erasmus University Rotterdam. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang BA 101 FISIPOL UGM dan terbuka untuk umum.
Dalam membahas pendekatan deradikalisasi di Indonesia, Pranadipa, sebagai pembicara pembuka pada diskusi hari itu, melihat bagaimana wacana deradikalisasi merupakan wacana dominan terkait penanganan terduga eks-teroris di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana pembentukkan wacana deradikalisasi dilakukan oleh elemen-elemen kunci di Indonesia, di mana narasi deradikalisasi dapat ditemukan dalam instruksi Polri maupun TNI, program-program NGO lokal dan internasional, laporan pemerintah dan think tank, serta berbagai program pemerintah.
Menurut Pranadipa, tujuan akhir deradikalisasi ialah agar terduga dan tertuduh eks-teroris berpindah ideologi dari jihad kekerasan menjadi Pancasila. Dalam menjalankan pendekatan ini, terduga dan tertuduh teroris menjalani proses rehabilitasi yang menjauhkan mereka dari paham radikalisme, di mana proses ini jauh dari praktik penahanan konvensional. Dengan pembinaan dan pelatihan yang intens selama proses rehabilitasi, terduga dan tertuduh teroris dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat untuk mengembangkan potensi napi. Melalui proses ini, ideologi yang selama ini dipegang oleh terduga dan tertuduh teroris diubah dengan menanamkan pemahaman keislaman yang lebih moderat, serta menumbuhkan nasionalisme dan loyalitas kepada Pancasila. Pendekatan deradikalisasi di Indonesia ini turut dikuatkan dengan adanya PP. No. 99 tahun 2012.
Namun, Pranadipa menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak selalu berhasil. Setidaknya terdapat empat hal yang menghasilkan respon penolakan dari terduga dan tertuduh eks-teroris, yakni tata cara pelaksanaan program; desain program: agama, bangsa, dan “orang luar”; komunikasi; serta relasi dan struktur sosial di dalam lapas pemasyarakatan. Pranadipa menyatakan bahwa hal-hal ini diakibatkan oleh meningkatnya grievances yang sejalan dengan menurunnya trust.
[layerslider id=”4″]
Senada dengan Pranadipa, Ustad Abu Tholut pula menyampaikan beberapa kritik bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia. Menurut Abu Tholut, ada beberapa isu mengenai terorisme yang terabaikan, di mana isu terorisme dipengaruhi oleh proxy war diantara negara negara maju yang berebut pengaruh lewat organisasi paramiliter teroris. Lebih jauh, terorisme dapat dilihat sebagai bentuk konspirasi intelijen yang dinisiasi negara maju untuk menghindari deployment pasukannya sendiri ke dalam zona konflik yang diperebutkan. Abu Tholut menekankan bahwa deradikalisasi sangat berhubungan dengan politik, karena konstelasi politik global sangat mempengaruhi perkembangan terorisme.
Selain itu, masih terdapat kecenderungan untuk melakukan generalisasi paham-paham keislaman yang berbeda-beda yang dianut oleh para terduga dan tertuduh eks-teroris. Padahal, aliran maupun paham yang dianut sangatlah beragam. Generalisasi ini berujung pada pendekatan yang monolitik kepada para tertuduh maupun terduga eks-teroris, sehingga program tidak selalu efektif.
Untuk memaksimalkan pendekatan terhadap terduga dan tertuduh eks-teroris, Pranadipa dan Ustad Abu Tholut turut memberikan sarannya masing-masing. Pranadipa menegaskan bahwa pihak pemerintah maupun yang berkaitan harus memahami adanya struktur kuasa dan relasi sosial dalam blok-blok lembaga pemasyarakatan yang dialami oleh terduga. Selain itu, pemerintah harus memperbaiki komunikasi BNPT dan lembaga lain, melihat kepercayaan napi terhadap elemen-elemen dari luar yang masuk, serta perlunya membangun kepercayaan. Sementara, Ustad Abu Tholut menyatakan bahwa dalam melaksanakan pendekatan melalui program-programnya, pemerintah haruslah melihat radikalisme sesuai dengan konteks politik global yang ada mengingat pengaruhnya yang besar bagi kondisi domestik di Indonesia. Selain itu, generalisasi paham keislaman tertuduh dan terduga eks-teroris yang membuat program tidak efektif haruslah diubah. Pemerintah perlu melakukan metode penanganan yang berbeda-beda agar tujuan yang diidealkan dapat terwujud.
Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara