Proceedings of the 3rd Convention of European Studies

01 August 2014 By Publikasi IIS 

Author(s)

Muhadi Sugiono (ed.)

Publishing Year

2014

Descriptions

The organization of “Bandung Conference and Beyond 2015” intends to commemorate the 60th anniversary of the 1955 Bandung Conference by taking on its emancipatory spirit to revisit the way international relations are studied and practiced. As a generation that inherited the historical emancipatory movement, we have realized that we need to nourish the spirit to understand postcolonized Indonesia through the lens of its own people. In order to achieve a more strategic involvement on the advancement of international studies, the Department of International Relations at Universitas Gadjah Mada has conducted varies studies under an umbrella topic of “Developing Countries: Revisited” in 2014. The result of the study undoubtedly presents a different perspective. Whereas history books compiled by colonizers are usually filled with stories of royals, kingdoms, and conquests, the history written from the people perspectives are more about the people’s struggle to achieve freedom, justice, and peace. We want to continue that endeavor by conducting “Bandung Conference and Beyond”—a conference that we hope can contribute in enriching the process of finding a non-Western approach to international relations.

 

Keywords

European Studies, European Union

Download (https://simpan.ugm.ac.id/s/eSHFx4fIKyFZ7zb#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/proceeding/proceedings-of-the-3rd-convention-of-european-studies/

Bandung Conference and Beyond: Rethinking International Order, Identity, Security, and Justice in a Post-Western World

01 August 2015 By Publikasi IIS 

Author(s)

Eric Hiariej, Poppy Winanti, Nur Rachmat Yuliantoro, Maharani Hapsari (eds.)

Publishing Year

2015

Decriptions

Prosiding dari Konvensi ke-3 tentang Studi Eropa di Indonesia setelah dua pergelaran sebelumnya yang sukses pada 2009 dan 2012. Ini adalah bagian dari inisiatif Program on European Studies, Institute of International Studies (IIS UGM) untuk mengembangkan studi Eropa di Indonesia. Konvensi ini telah menjadi melting-pot untuk akademisi, pengusaha, dan pemerintah dari Indonesia dan Uni Eropa untuk mendiskusikan pandangan dan ide tentang studi Eropa, serta pembaruan terkini tentang hubungan bilateral Indonesia-UE. Buku ini berisi makalah akademik yang disajikan dalam Diskusi Panel dengan 5 tema utama: (1) Eropa dan Studi Hubungan Internasional (IR): Pengembangan Teoritis dan Konseptual; (2) Masalah Kontemporer di Eropa; (3) Pemerintahan Eropa; (4) Hubungan Internasional Eropa; dan (5) Hubungan Indonesia – UE.

 

Keywords

Global South, Bandung Spirit, International Order, non-Western Perspectives

Download (https://simpan.ugm.ac.id/s/Yz6kKPSct11emcO#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/proceeding/bandung-conference-and-beyond-rethinking-international-order-identity-security-and-justice-in-a-post-western-world-2/

Addressing Challenges and Identifying Opportunities for Refugee Access to Employment in Indonesia

Author(s)

Yunizar Adiputera and Atin Prabandari

Year

2018

Keywords

Refugee, Employment Access

Unduh (https://simpan.ugm.ac.id/s/srjhE7cag7H8eDY#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/policy_paper/addressing-challenges-and-identifying-opportunities-for-refugee-access-to-employment-in-indonesia/

Akses Pekerjaan untuk Pengungsi di Indonesia: Peluang dan Tantangan

01 Juli 2018 By Publikasi IIS 

Penulis

Yunizar Adiputera dan Atin Prabandari

Tahun

2018

Description

Indonesia saat ini menjadi tempat bagi sekitar 14.405 pengungsi dan pencari suaka (UNHCR, 2016). Sebagian besar dari mereka berasal dari Myanmar, Afganistan, Irak, Iran, Somalia dan negara-negara lain di Timur Tengah, Afrika,

dan Asia Selatan. Sekitar sepertiga dari pengungsi tersebut menempati 13 rumah detensi imigrasi di berbagai wilayah Indonesia, sepertiga yang lain tinggal di rumah-rumah komunitas (Community House) yang dibiayai oleh International Organization for Migration (IOM), sedangkan sisanya hidup membaur dengan masyarakat lokal (Brown & Missbach, 2017).

Dengan perhatian masyarakat yang masih minim ditambah kapasitas terbatas UNHCR, pengungsi harus menunggu selama 24 bulan untuk penentuan status pengungsi (refugee status determination/RSD) (UNHCR, 2016). Di sisi

lain, kebijakan Indonesia untuk tidak menerima pengungsi menetap secara permanen membuat upaya integrasi dengan masyarakat setempat atau pemulangan sulit dilakukan. Hal tersebut Meninggalkan pemindahan (resettlement) ke negara tujuan pengungsi sebagai solusi paling strategis, tetapi di saat yang sama juga membuat pengungsi harus menunggu lebih lama. Maka, tidaklah aneh untuk menemukan pengungsi yang tinggal di Indonesia selama lebih dari lima atau enam tahun (Gutierez, 2017). Hal tersebut kemudian menjadi problematis, karena kebijakan di Indonesia juga turut melarang pengungsi bekerja secara legal. Ini berarti pengungsi harus tinggal dalam waktu lama tanpa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

Kata Kunci

Pengungsi, Akses Pekerjaan

Unduh (https://simpan.ugm.ac.id/s/srjhE7cag7H8eDY#pdfviewer)

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/policy_paper/akses-pekerjaan-bagi-pengungsi/>

 

Masa Depan Keadilan Global di Era Trump

 Issue 01 | Februari 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/p5d8B4iGTgYyxBc#pdfviewer)

Kemenangan Trump melipatgandakan tantangan keadilan global.

Pertama, meski kebijakan luar negeri AS masih belum jelas arahnya, satu hal yang pasti: keadilan global bukan prioritas Trump. Sehingga kebijakannya yang belum jelas itu berpotensi melemahkan usaha melawan ketidakadilan global yang sebetulnya belum kokoh. Kedua, kemenangan Trump mensinyalkan adanya trend “nasionalisme dangkal” dalam politik global kontemporer. Mulai dari Theresa May di Inggris sampai Marine Le Pen di Perancis memperlihatkan bahwa nasionalisme kadang dalam bentuk ekstrim kembali menjadi daya tarik. Praktik menyekat-nyekat komunitas; mengeksklusikan mereka yang tidak diinginkan; memprioritaskan satu bangsa di atas yang lain; dan merebut kontrol masyarakat dari “intervensi asing” menjadi semakin marak di kancah politik global.

Bagaimana tantangan tersebut mempengaruhi agenda keadilan global? Apa yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan di tengah dunia yang makin terfragmentasi dan tidak stabil? Langkah apa yang dibutuhkan jika kita masih ingin memperjuangkan ide keadilan dan kesetaraan?

Trump memang tidak pernah menyatakan visi yang koheren soal agenda keadilan global. Meski begitu, keputusan politiknya baru-baru ini mengindikasikan bagaimana Amerika Serikat (AS) akan terlibat dalam politik keadilan global. Pertama, meski belum jelas, Trump memperlihatkan intensi untuk mengurangi keterlibatan AS dalam rezim bantuan global. Setidaknya itu dilakukan dengan mengubah kebijakan bantuan luar negerinya secara signifikan. Dengan begitu AS dapat melindungi “kepentingan nasonal”. dan mengalokasikan ulang sumber dayanya yang sedianya untuk negara belum berkembang, kini diprioritaskan untuk mendukung kebutuhan domestik AS (Quinn, 2016).

Kedua, AS juga akan menerapkan hal serupa dalam ranah kerjasama internasional. AS akan menahan diri untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional”. Bahkan tidak segan untuk keluar dari perjanjian yang sudah disepakati, jika dirasa perlu. Sikap tersebut diambil tanpa mempedulikan konsekuensi pada kemajuan keadilan global dan perlindungan pada yang rentan. Selama masa kampanye, Trump tidak hanya berjanji untuk keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP) (Baker, 2017), tapi juga mengancam untuk keluar dari Paris Accord sebuah upaya mitigasi dari efek pemanasan global (The Guardian, 2016).

Ketiga, AS nampak mengikuti nostalgia kemurnian ala populisme sayap kanan. Demi menciptakan identitas “murni”, AS mengadopsi kebijakan yang keras pada “pendatang”. Larangan imigrasi selama 90 hari bagi warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim dengan jelas merefleksikan sikap keras Trump (Calamur, 2017).

Tatanan keadilan global akan terdampak oleh keputusan-keputusan Trump. Manufer Trump juga akan melemahkan usaha menuju keadilan global serta menciptakan ketidakpercayaan antara negara-negara penandatangan perjanjian internasional. Dengan memotong pengeluaran untuk bentuan luar negeri, AS mengakibatkan berbagai inisiatif keadilan global dalam keadaan bahaya akibat minimnya dukungan finansial. Karena sampai saat ini AS adalah donor terbesar dunia, dengan 24 persen dari total bantuan global di tahun 2014 (Quinn, 2016). Sikap AS tersebut tidak menutup kemungkinan untuk diikuti oleh negara-negara lain. Dengan begitu, perjanjian internasional menjadi disfungsional meski sifatnya krusial. Potensi krisis ini tidak hanya menyetel mundur berbagai pencapaian masyarakat internasional. Hal tersebut juga akan memperburuk ketidakadilan global dengan meninggalkan populasi global yang rentan tanpa dukungan dan perlindungan.

Namun, ini bukan dampak paling signifikan dari pemerintahan Trump. Retorika “America First” miliknya yang menjadi basis berbagai keputusannya bisa menjadi contohnasionalisme dangkalyang memperkuat kelompok populisme sayap kanan dalam politik global. Retorika yang sama bisa mendorong masyarakat untuk bersikap keras pada pendatang atau justru melawan Trump.

Akibatnya, makna solidaritas semakin menyempit. Manusia kehilangan kemampuan mereka untuk melihat warga negara lain sebagai sesama. Dengan begitu, membantu mereka yang bukan sebangsa dilihat sebagai hal yang tidak penting. Sementara absennya AS di bawah Trump membahayakan agenda keadilan global yang ada, retorikanya juga akan mengancam pilar solidaritas global.

Lantas, bagaimana masyarakat global harus bereaksi dengan lanskap yang tidak pasti ini?

Meski manufer AS jelas membahayakan usaha-usaha keadilan global. Di sisi lain, ia juga bisa memberi ruang untuk mentransformasi agenda keadilan global. Pertama, aktor-aktor alternatif seperti Kanada, Jerman, atau Cina dapat mengisi peran yang ditinggalkan AS. Lanskap keadilan global bisa berubah dengan adanya aktor-aktor baru yang menawarkan alternatif sumber daya dan kepemimpinan. Kedua, tatanan baru ini juga bisa menawarkkan alternatif platform baru. Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebagai contoh, dapat dijadikan alternatif kerangka kerja. Dengan menekankan pada pentingnya bantuan yang mutual, tak bersyarat, dan independensi KSS bisa menawarkan metode berbeda untuk asistensi. Apalagi jika dibandingkan dengan usaha kerjasama Utara-Selatan yang banyak dikritik karena perspektif orientalis, relasi kuasa yang asimetris, dan ketidakmampuannya menawarkan lebih dari perlakuan paliatif.

Meski begitu, alternatif tersebut perlu didukung oleh gerakan demokratis. Pada tingkatan masyarakat, gerakan demokratis memperkuat solidaritas dan melawan prasangka. Terlebih, konsolidasi gerakan demokratis bisa menjadi oposisi kuat melawan nasionalisme dangkal. Di sisi lain, gerakan ini juga memberikan insentif bagi elit politik supaya mengikuti nilai-nilai demokratis dibandingkan narasi adu domba. Dengan begitu dinamika komunitas internasional bisa dipengaruhi oleh inistaif-inisiatif di tingkatan lokal.

Di tengah lanskap agenda keadilan global yang berubah, kombinasi antara inisiatif internasional dan masyarakat lokal mampu menawarkan alternatif yang kuat di tengah agenda keadilan global yang tidak stabil. Dengan begitu, diharapkan perlindungan pada yang rentan dan termarginalisasi bisa diwujudkan.

Rizky Alif Alvian

Peneliti di Institute of International Studies

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

rizky.alif.a@mail.ugm.ac.id

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/masa-depan-keadilan-global-di-era-trump/

Sekuritisasi Yang-Umum: Krisis Air dan Masalah Pengelolaan Air di Yogyakarta

 Issue 02 | March 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/79sF5sXEukHc7VY#pdfviewer)

“Siapa yangbisa hidup tanpaair?”

Pertanyaan tersebut krusial untuk menggarisbawahi peran penting air dalam keberlanjutan hidup. Karena keberadaannya yang nampak berlimpah, air sering kali dianggap remeh. Padahal itu terjadi hanya karena banyak orang belum kesulitan mengaksesnya. Akan tetapi, kenyataannya orang-orang di berbagai daerah di dunia kesulitan mengakses air bersih. Sebanyak 1,8 milyar manusia mengonsumsi air yang terkontaminasi feses dan terancam terpapar penyakit (WHO dan UNICEF, 2014). Air yang terkontaminasi, kondisi sanitasi yang buruk, dan permasalahan kebersihan menyebabkan kematian 842.000 orang di tahun 2012 (WHO, 2014). Sementara itu, 663 juta orang masih kesulitan mengakses air minum berkualitas (WHO dan UNICEF, 2015). Sampai tahun 2050, diperkirakan hampir 70 persen populasi yang hidup di kota dibandingkan sebanyak 54 persen saat ini (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, 2014). Banyak kota di negara berkembang tidak memiliki infrastruktur dan sumber daya memadahi untuk manajemen pengelolaan limbah cair yang efisien dan ramah lingkungan (UN Water, 2017). Kesemua hal tersebut membuat krisis air menjadi agenda global Perserikatan Bangsa-Bangsa (Weiner, 2007).

Krisis Air di Yogyakarta

Sejak tahun 2015, sebanyak 15 kecamatan di Gunung Kidul, enam kecamatan di Bantul, lima kecamatan di Kulon Progo, dua kecamatan di Sleman, dan lima kecamatan di Kota Yogyakarta rawan terkena dampak krisis air (Himawan, 2016). Menurut Badan Lingkungan Hidup, sebanyak 70 persen sumber air di daerah tersebut terkontaminasi E-coli(Putra, 2016; Priambodo, 2016). Terlebih, permukaan air tanah di Yogyakarta mengalami penurunan yang konsisten yaitu sebesar 30 cm per tahun[1], yang menandakan bahwa Yogyakarta sedang mengalami permasalahan air dalam hal kuantitas dan kualitasnya. Hal ini menyebabkan kita semua bertanya: apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengelolan sumber daya air?

UNESCO (2006) dan UNDP (2004) menyatakan bahwa krisis air global tidak hanya disebabkan oleh suplai air yang berkurang, tetapi juga kegagalan pengelolaan air oleh pemerintah. Sebenarnya, suplai air cukup untuk setiap orang, tetapi pengelolaan air belum mampu memastikan distribusi yang berkelanjutan. Menurut Castro (2007), pengelolaan air melibatkan interaksi antar-pemerintah, korporasi, partai politik, organisasi sipil dan organisasi lain yang mewakili kepentingan sektoral, agensi internasional, lembaga swadaya masyarakat dan pihak berwenang lainnya. Aktor-aktor tersebut terlibat untuk memutuskan bagaimana sebaiknya penyediaan air dan jasa yang berkaitan tentang air dikelola oleh pemerintah. Dalam skala lain, pemerintah juga harus menyentuh persoalan politik mikro dan makro (Commission on Growth and Development, 2010) yang pada akhirnya akan membentuk tingkat urgensi isu. Dengan demikian, kita dapat mengamati apakah air dikelola dengan adil atau tidak adil dengan melihat dua aspek: (1) keterlibatan banyak aktor dalam kontestasi politik di belakang penyediaan air, serta (2) bagaimana setiap aktor diuntungkan dengan adanya konstruksi dan bingkai isu krisis air.

Pergeseran manajemen air berbasis negara atau pemerintah ke pengelolaan demokratis yang menekankan pada partisipasi, desentralisasi, jaringan, komunitas, dan cara-cara informal dalam mengelola tantangan (Gupta & Pahl-Wostl, 2013) dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan distribusi air. Pengelolaan air yang demokratis menjadi penting dalam konsepkewargaan air, yang berarti proses diskursif dan praktik institusional terhadap air yang menciptakan persatuan, rasa memiliki, dan loyalitas pada ketersediaan air dan infrastrukturnya dengan distribusi, pengaturan dana menajemen air (Neveu et al. 2011 in Paerregaard et al. 2016). Pemenang Nobel Elinor Ostrom dan Penasihat Bidang Air untuk PBB Maude Barlow, memperkenalkan bagaimana kewargaan air sangat berhubungan dengan pengakuan air sebagai hak asasi dan kepemilikan bersama (Dargantes, Manahan, Moss, & Suresh, 2012). Sebagai barang kepemilikan bersama, air harus dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat. Mereka akan memperlakukan air dengan hati-hati karena mereka merasakan manfaatnya.  Masyarakat juga berperan untuk menentukan pihak mana yang berhak menggunakan air serta bagaimana air digunakan. Dengan begitu, partisipasi politik melampaui pendekatan teknokratik bisa diimplementasikan. Keterlibatan secara suka rela juga bisa dijadikan praktik kewargaan (Masri, 2015) atau usaha ‘mengumumkan’ air. Praktik kewargaan air berarti memastikan peran masyarakat sipil dalam pengelolaan air.

Untuk memastikan peran tersebut berjalan, bingkai diperlukan untuk menjustifikasi aksi politis yang dibutuhkan kewargaan air. Bingkai isu di bawah bidang keamanan atau sekuritisasi, dapat dilihat sebagai strategi advokasi ke depan yang mungkin bermanfaat untuk mengikat isu air dengan kelangsungan hidup manusia; memahami bahwa perlindungan terhadap air dibutuhkan untuk menghindari ancaman eksistensial (Buzan, Wæver, & Wilde, 1998). Sekuritisasi menyediakan justifikasi untuk membuat keputusan yang terukur, mengawasi kebijakan publik, dan alokasi sumber daya lebih dari prosedur politik pada umumnya untuk mengurangi ancaman yang mungkin dan menjadikan isu air prioritas utama. Dengan sekuritisasisi air, kebijakan yang diambil akan beralih dari yang berorientasi politis ke penanggulangan atas ancaman eksistensial. Dengan begitu, sekuritasi memerlukan adanya: (1) aktor yang memutuskan dan menentukan isu-isu terkait sekuritisasi (McDonald, 2008; Weaver 1995 in Abrahamsen 2005) dan (2) audiens tetapan target sebagai standar kesuksesan sekuritisasi (McDonald, 2008). Tantangan yang muncul kemudian adalah bagaimana memastikan agar sekuritisasi mampu mewujudkan pengelolaan air yang demokratis. Sekuritisasi krisis air, di sisi lain, adalah proses yang tak boleh membahayakan sifat komunal air. Melibatkan masyarakat dalam proses melindungi air menjadi hal krusial.

Merefleksikan bagaimana pengelolaan air di Yogyakarta berjalan, ada dua hal penting yang patut dicatat. Pertama, ada keterbatasan usaha dari masyarakat sipil untuk menghubungkan isu air dengan keamanan manusia (human security). Bingkai keamanan dan hak asasi sering digunakan, dianggap perlu tetapi masih belum cukup. Masyarakat harus lebih menekankan pada dimensi ancaman eksistensial dari krisis air yang hanya dapat dilakukan dengan menyebutkan akses air sebagai hal esensial untuk bertahan hidup dan merupakan hak hidup. Bingkai tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk mendapat perhatian negara tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya manajemen air untuk bertahan hidup. Bersamaan dengan usaha memperjuangan keadilan dan hak asai, bingkai krisis air sebagai isu keamanan akan menjadikan masyarakat sebagai objek rujukan. Kedua, ketika krisis air terjadi di bawah kondisi lemahnya pengelolaan, mengidentifikasi sumber krisis sebagai sumber bahaya bisa menjadi aksi sekuritisasi yang krusial. Di Yogyakarta, beberapa isu krusial dapat menjadi sumber bahaya: (1) ketiadaan regulasi dalam melindungi akses air untuk masyarakat dari pihak swasta dan memastikan keberlanjutan inisiatif dari komunitas; (2) kurangnya transparansi dari negara dalam hal pembangunan infrastruktur komersial yang berdampak pada kontestasi penggunaan air; (3) kurangnya kontrol sosial dari komunitas untuk mengantisipasi dominasi pasar dalam pengelolaan air; (4) keterlibatan yang minim dari masyarakat sipil dalam pengaturan dan kebijakan menyangkut air.

Isu-isu yang disebutkan menunjukkan bahwa negara kekurangan kapasitas dan niatan politik dalam memenuhi kewajiban dasar yaitu menyediakan air untuk masyarakat dan menjalankan pengelolaan air yang demokratis. Permasalahan krisis air, sebetulnya, ada karena pemerintah yang abai dan pengelolaan yang kurang demokratis. Kedua hal yang menjadi sebab ancaman eksistensial terhadap kehidupan masyarakat. Karena ancaman yang berasal dari negara, isu sekuritisasi air harus dijadikan solusi luar biasa dari lingkaran aktor non-negara (Hadiwinata, 2004)

Masyarakat Yogyakarta harus berperan aktif sebagai warga negara untuk mengisi celah yang dibuat oleh negara. Mereka harus menggarisbawahi sisi ‘kepentingan umum’ dalam sekuritisasi akses air yang penting untuk keberlanjutan hidup, dan di saat yang sama meminta agar pemerintah mengelola air dengan lebih demokratis dan membuka ruang partisipasi yang lebih untuk pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, sekuritisasi air akan menyebabkan pengelolaan air yang lebih demokratis. Karena masyarakat lebih sadar bahwa sumber ancaman berasal dari sistem pengelolaan negara, sehingga mereka menuntut pengelolaan yang demokratis sambil berpartisipasi menciptakan alternatif manajemen air berbasis komunitas. Pengelolaan demokratis di bawah spektrum keamanan memang adalah sebuah tantangan, meski begitu masyarakat butuh memastikan bahwa air sebagai kepentingan bersama selalu dihormati dalam proses melindungi air.

Tadzkia Nurshafira

Asisten Peneliti di Programme on Humanitarian Action (PoHA)

Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada

tadzkia.nurshafira@mail.ugm.ac.id

 

Catatan Kaki

[1] Pidato Halik Sandera, Koordinator WALHI Yogyakarta dalam pembukaan Stakeholder Forum (Forum Pemangku Kepentingan: Membangun Tata Kelola Air Berkeadilan di Yogyakarta. Perspektif Masyarakat Sipil) diinisiasi oleh Programme on Humanitarian Action Universitas Gadjah Mada, 2 Februari 2017.

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/sekuritisasi-yang-umum-krisis-air-dan-masalah-pengelolaan-air-di-yogyakarta/

 

Page 2

Enam Dekade Konferensi Asia-Afrika: Tantangan dalam Menghidupkan Kembali Semangat Bandung

 Issue 03 | April 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/sUd2d4zOSud3aLW#pdfviewer)

Bulan April ini menandakan 62 tahun sejak penyelenggaranaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, sebuah peristiwa di mana 29 negara dari Asia dan Afrika bertemu untuk mempromosikan nilai-nilai anti-kolonialisme dan kerja sama antara kedua benua. Konferensi ini merupakan awal dari pembentukan kerjasama yang lebih mendalam, seperti Gerakan Non-Blok dan G-77. Semangat Bandung atau lebih sering disebut dengan Bandung Spririt, telah mendorong negara-negara KAA untuk melakukan kerjasama berbasis saling menguntungkan dan saling menghormati kedaulatan negara. (Kementerian Luar Negeri, Republik Indonesia, 1955)

Setelah Perang Dingin berakhir, negara-negara KAA terus berupaya untuk mempertahankan Semangat Bandung dengan membangun berbagai kerja sama. Salah satu contohnya adalah pembentukan New Asia-Africa Strategic Partnership (NAASP) yang dipimpin oleh Indonesia dan Afrika Selatan pada tahun 2005. Kerja sama ini dibentuk untuk membangunkan kembali Semangat Bandung yang dinilai “terus menjadi fondasi yang solid, relevan dan efektif dalam membangun hubungan yang lebih baik antara Negara-Negara Asia dan Afrika serta dalam mengatasi permasalahan global yang menjadi perhatian bersama” (Senior Officials Meeting, 2009). NAASP bekerja dalam tiga bidang utama, yaitu politik, ekonomi dan sosial budaya. Kerjasama lain yang menggambarkan upaya negara-negara KAA dalam mempertahankan Semangat Bandung adalah Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebuah unit spesial di bawah United Nations Development Program (UNDP). KSS tidak hanya mendorong kerjasama antara negara-negara Selatan tetapi juga antara negara-negara Selatan dan Utara dalam rangka pembangunan negara Selatan.

Meskipun negara-negara KAA telah membangun berbagai kerjasama tersebut, upaya dalam menghidupkan kembali Semangat Bandung masih menghadapi berbagai tantangan. Setidaknya ada dua tantangan utama yang dihadapi negara-negara tersebut. Pertama, kesulitan dalam membangun kerjasama pembangunan alternatif yang lebih terintegrasi dan transparan. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Upacara Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60, ada kebutuhan yang mendesak bagi negara-negara KAA untuk “membangun sistem ekonomi global yang baru … untuk menghentikan dominasi suatu kelompok negara terhadap negara-negara lain,” (Widodo, 2015). Hal ini penting karena isu pembangunan masih menjadi perhatian utama Negara-Negara KAA dan mereka ingin mengatasi permasalahan tersebut tanpa harus bergantung pada negara pendonor.

Permasalahannya adalah negara-negara KAA belum berhasil dalam membangun pandangan yang sama perihal kerjasama pembangunan alternatif seperti apa yang harus mereka bangun. Salah satu faktor kegagalan ini adalah karena aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangat heterogen, baik dalam hal tingkat ekonomi, sistem politik, maupun prioritas serta kepentingan dalam politik internasional. Sebagai contoh, Jepang merupakan anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sementara Cina merupakan negara yang sering mengkritisi mekanisme OECD. Sulit bagi negara-negara KAA untuk menyetujui mekanisme kerjasama pembangunan alternatif ketika aktor-aktor di dalamnya memiliki pandangan yang cukup kontradiktif.

Seringkali negara-negara KAA juga lebih berfokus pada kerjasama bilateral dibanding multilateral. Tentu saja, kerjasama pembangunan dapat dilakukan melalui mekanisme ini tetapi salah satu permasalahan dalam kerjasama pembangunan bilateral adalah tingkat transparansi yang relatif rendah (Fagan, 2012). Hal ini mempersulit publik untuk mengetahui ukuran serta kesuksesan dari program kerjasama yang dijalankan oleh kedua negara terlibat. Rendahnya transparasi juga dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap program pembangunan negara-negara berkembangyang kemudian dapat digunakan sebagai senjata negara pendonor ‘tradisional’ untuk mengkritisi program tersebut dan memperkuat klaim bahwa program pembangunan miliknya lebih baik.

Selain itu, program pembangunan yang selama  ini diusulkan oleh negara KAA belum memberikan solusi yang cukup berbeda dari program pembangunan yang ditawarkan negara-negara Utara. Program-program tersebut belum sepenuhnya lepas dari institusi pembangunan ‘tradisional’. Salah satu contohnya adalah Contingent Reserve Arrangement (CRA), sebuah kerangka kerjasama yang didirikan oleh Negara-Negara BRICS, yang bertujuan untuk mendukung stabilitas keuangan negara-negara anggotanya. Untuk mendapatkan pinjaman lebih dari 30 persen kuota yang mereka miliki, negara anggota CRA harus terlebih dahulu mendapat structural adjustment loan dari IMF serta memenuhi persyaratannya sebelum bisa mendapatkan pinjaman (Bond, 2016). Hal ini menunjukkan masih adanya ketergantungan program CRA terhadap IMF.

Program ini juga tidak bebas dari kepentingan politik seperti yang mereka klaim. Sebagai contoh, meskipun Presiden Xi mengklaim bantuan pembangunan Cina tidak memiliki ‘keterkaitan politik’, pada kenyataannya, Cina masih menerapkan Kebijakan ‘Satu Cina’ (One-China Policy) sebagai “fondasi politik penting … dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain di dunia.” (Kementerian Luar Negeri PRC, 2016)

Tantangan kedua dalam menghidupkan kembali Semangat Bandung adalah kesulitan negara-negara KAA untuk mengeluarkan satu suara dalam institusi internasional. Hal ini telah lama menjadi salah satu hambatan terbesar bagi negara-negara berkembang terutama karena beberapa negara kekuatan tengah dalam KAA telah menunjukkan persaingan satu sama lain. Sebagai contoh, dalam hal reformasi keanggotaan Dewan Keamanan PBB, India, Afrika Selatan dan Jepang berada pada posisi mendukung. Sebaliknya, Cina secara tidak langsung menunjukkan posisi yang berlawanan terhadap ide ini dengan alasan bahwa reformasi akan mengganggu persatuan dan stabilitas DK PBB. Pada tahun 2011, negara-negara berkembang memiliki kesempatan besar untuk mengisi posisi direktur IMF dengan munculnya kandidat-kandidat dari India, Cina, Meksiko dan Brazil. Akan tetapi, mereka gagal untuk menghasilkan satu suara dalam mengalahkan kandidat dari Amerika, Christine Lagarde. Hal serupa juga terjadi pada pemilihan presiden Bank Dunia pada tahun 2012. Okonjo-Iweala, kandidat kuat dari Nigeria, gagal untuk mendapatkan posisi tersebut karena Cina, India dan Brazil lebih memilih untuk memberikan suara kepada Jim Yong Kim, kandidat dari Amerika.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam banyak kesempatan, Semangat Bandung masih kontradiktif dengan kepentingan nasional negara-negara KAA, dan dapat terlihat bahwa mereka lebih memilih kepentingan nasionalnya dibanding “solidaritas” di antara negara-negara KAA. Terlebih lagi, negara-negara KAA telah melakukan kerjasama pembangunan dengan negara-negara Utara dalam waktu yang sangat lama sehingga perubahan status quo dapat menimbulkan risiko terganggunya kepentingan nasional yang mereka miliki. Ini merupakan tantangan bagi negara-negara KAA untuk mengatur ulang prioritasnya dan menempatkan kerjasama antara mereka di atas kerjasama dengan negara-negara maju.

Semangat Bandung mungkin masih tetap ada dan dinilai relevan hingga saat ini. Akan tetapi, semangat ini perlu dihidupkan kembali dan direalisasikan oleh negara-negara KAA. Kerjasama dan komitmen dari negara-negara tersebut dibutuhkan untuk membuat sebuah perubahan konkret yang tidak hanya direncanakan dalam dokumen, dielu-elukan dalam pidato, atau dituliskan sebagai prinsip yang tidak dipraktikkan secara nyata. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memperkuat NAASP dan memperluas keanggotaannya sehingga program kerjasama tersebut dalam menjadi mekanisme multilateral dari KSS. Untuk mencapai hal tersebut, setiap negara harus menunjukkan keinginan dan upaya riil mereka dalam menjadikan kerjasama tersebut lebih kuat, seperti dengan membentuk institusi internasional yang dapat menjadi media bagi negara-negara KAA untuk mendiskusikan dan menginisiasi kebijakan yang terkait dengan kepentingan mereka. Penting juga bagi negara-negara kekuatan tengah dalam KAA, seperti Cina, India dan Brazil untuk berpartisipasi aktif dalam kerjasama ini supaya mereka dapat menjadi motor penggerak di dalamnya. Selain itu, hubungan dan dukungan dari institusi internasional juga penting karena mereka merupakan platform utama dalam kerjasama internasional. Oleh karena itu, Semangat Bandung juga perlu didorong dalam insitusi-institusi seperti PBB dan WTO sehingga agenda pembangunan di tingkat internasional dapat lebih mengakomodasi kepentingan negara-negara KAA.

Maulida Widya Kawuri

Asisten Peneliti di Institute of International Studies,

Departmen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

maulidawidya@gmail.com

 

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/enam-dekade-konferensi-asia-afrika-tantangan-dalam-menghidupkan-kembali-semangat-bandung/

 

29 Maret 2017 By Publikasi IIS

Islam Moderat Indonesia di Mata Masyarakat Global: Gagalkah?

 Issue 04 | Mei 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/2mDOaD5uTEc3FO6#pdfviewer)

Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dikenal oleh masyarakat internasional sebagai salah satu negara Islam moderat. Menurut Umar (2016), Kementerian Luar Negeri Indonesia selama ini mengampanyekan Islam moderat sebagai bagian dari identitas kebijakan luar negeri Indonesia sehingga citra tersebut terkonstruksi di tatanan global. Namun, perbincangan mengenai goyahnya Islam moderat di Indonesia mulai meluas akhir-akhir ini, terutama setelah peristiwa protes massa di Jakarta pada akhir tahun 2016. Pertanyaan kemudian muncul di kalangan publik internasional: apakah Islam moderat di Indonesia telah jatuh? Artikel ini berisi pemaparan singkat mengenai citra Indonesia di mata masyarakat internasionalterutama media dan negarapasca protes Jakarta. Selain itu, artikel ini juga memuat analisis pendek mengenai langkah-langkah Indonesia untuk menjaga agar identitasnyayang dicitrakan melalui kebijakan luar negeritetap menjadi simbol moderasi Islam global.

Diskursus mengenai moderasi Islam di Indonesia baru mulai dibicarakan secara lebih luas oleh kelompok-kelompok Muslim dalam negeri pasca reformasi 1998 (Bakti, 2005), dan menjadi wacana yang semakin populer setelah insiden Bom Bali pada tahun 2002 (Umar, 2016). Jamhari Makruf (2011) secara singkat mendeskripsikan Islam moderat sebagai sebuah nilai dalam gerakan Islam yang menjunjung demokrasi. Deskripsi ini merujuk pada tulisan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), salah satu pemikir Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia. Gus Dur menyatakan bahwa gerakan Islam moderat idealnya menjamin kemurnian ideologi nasional dan kesatuan konstitusi. Karakteristik gerakan Islam moderat bertumpu pada nilai-nilai kebudayaan dan agama, di mana nilai-nilai tersebut yang akan dikembangkan untuk mendukung pembagunan negara (Wahid, 1985). Nurcholis Madjid menambahkan bahwa Islam moderat juga menjunjung nilai-nilai inklusivisme dan pluralisme (Bakti, 2005). Secara sederhana, Islam moderat dimaknai sebagai aliran Islam yang akomodatif, toleran, nirkekerasan, dan berkembang.

Pada bulan November 2016, perhatian masyarakat internasional tersita oleh gerakan protes massa yang terjadi di Jakarta. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) dan Front Pembela Islam (FPI) memimpin rentetan gerakan protes yang dikenal dengan sebutan Aksi Bela Islam. Kedua organisasi tersebut dikenal konservatif dan radikal. Keduanya memiliki reputasi sebagai kelompok yang intoleran terhadap komunitas non-Muslim dan cenderung menggunakan kekerasan untuk merespons aksi-aksi yang dianggap amoral oleh keduanya (Burhani, 2016). Serial aksi tersebut dilakukan sebagai protes atas pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan gubernur Jakarta, yang dianggap melakukan penistaan agama setelah mengutip salah satu ayat Al-Qur’an dalam sebuah pidato singkatnya. Aksi Bela Islam hanyalah titik kulminasi dari fenomena kebangkitan kelompok-kelompok ekstremis di Indonesia pasca reformasi (Varagur, 2017).

Peristiwa ini juga menjadi sorotan media internasional, lalu menjadi momentum untuk mengangkat kembali perdebatan mengenai moderasi Islam di Indonesia. Varagur, dalam artikelnya untuk Foreign Policy, menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini dikenal sebagai representasi Islam Indonesia yang pluralistik telah kolaps di kandang sendiri. Burhani (2016) menambahkan bahwa NU masih menjadi rujukan utama publik Muslim Indonesia dalam hal penyediaan jasa umum, seperti pendidikan dan kesehatan, tetapi tidak dalam aspek keagamaan. Citra Islam Indonesia yang identik dengan tradisi pluralistik dan toleran sedang mengalami tantangan. Putusan pengadilan mengenai kasus Ahok bisa jadi membuktikan keteguhan moderasi Islam, tetapi dapat juga menandai jatuhnya Islam moderat di Indonesia (Varagur, 2017). US News menyebutkan secara gamblang bahwa kasus Ahok dan protes skala besar terhadapnya merupakan ancaman yang serius bagi reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai kiblat Islam moderat dunia (Emont, 2017). The Guardian dan The Sydney Morning Herald mendeskripsikan fenomena ini sebagai shock sentence atau shock verdict, diikuti dengan opini bahwa Aksi Bela Islam dan protes terhadap Ahok merupakan ujian atas toleransi dan pluralisme di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (BBC Indonesia, 2017).

Meskipun media internasional mulai bersikap skeptis terhadap perkembangan moderasi Islam di Indonesia, kami berpendapat bahwa Aksi Bela Islam tidak akan mengubah citra politik Indonesia di kancah perpolitikan global dalam waktu dekat. Pemerintah Indonesia masih terus berupaya untuk mempertahankan citra Indonesia di dunia dengan tetap memegang teguh nilai-nilai demokrasi liberal, terutama dalam politik luar negeri. Islam dan demokrasi dimaknai sebagai soft power dalam proses konstruksi identitas dan citra baik melalui diplomasi publik (Sukma, 2011). Indonesia selama ini secara aktif melibatkan diri dalam berbagai forum internasional, seperti ASEAN Summit dan Bali Democracy Forum, untuk menjaga citranya. Tahun lalu, Indonesia menjadi tuan rumah International Summit of Moderate Islamic Leaders (Varagur, 2016). Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla, mengangkat wajah baik Islam Indonesia di dua acara berbeda: Joko Widodo menghadiri Arab Islamic American Summit di Riyadh, sedangkan pada waktu yang hampir bersamaan Jusuf Kalla memberikan kuliah umum di Oxford Centre for Islamic Studies di University of Oxford (Suhada, 2017).

Joko Widodo menyatakan, “Islam di Indonesia adalah Islam yang toleran, moderat, dan kami akan terus mengupayakan hal ini: perbedaan kami, dan pluralisme di Indonesia akan terus hidup. Bangsa kami akan selalu bersatu dan negeri ini akan terus berkembang ke arah yang lebih baik.” (Al Jazeera, 2017). Sebagai tambahan, pada kunjungan Mike Pence ke Indonesia yang terakhir, wakil presiden Amerika Serikat tersebut memuji tradisi Islam modern. Ia juga mengungkapkan bahwa tradisi tersebut akan sangat baik apabila menjadi inspirasi bagi negara-negara lain di dunia (Liptak, 2017). Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia berhasil mengampanyekan identitas bangsa sebagai “wajah baik Islam” (Umar, 2016). Upaya ini seharusnya dijaga dan dipertahankan, mengingat Indonesia masih merupakan salah satu pemain utama dalam percaturan politik global.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Aksi Bela Islam telah membuka diskursus mengenai Islam moderat di Indonesia. Meskipun media internasional mulai meragukan moderasi Islam di Indonesia pasca aksi tersebut, namun akan sangat terburu-buru untuk menentukan bahwa Islam moderat di Indonesia telah jatuh. Eksistensi nilai-nilai Islam dalam politik luar negeri Indonesia tidak dapat diabaikandi mana hal tersebut secara tidak langsung merupakan kontribusi yang sangat signifikan dari populasi Muslim domestik yang cukup besar (Perwita, 1999). Arah politik luar negeri Indonesia mencerminkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia masih memercayai nilai-nilai moderat Islam, yang juga diakui oleh negara-negara lain dalam persepsinya terhadap Indonesia. Namun, tetap menjadi catatan bahwa Aksi Bela Islam merupakan peringatan bagi masyarakat Indonesia untuk mulai menjaga citranya sebagai salah satu negara Islam moderat terakhir di dunia.

Oleh: Ajeng Chandra, Dendy Raditya, Novrima Rizki, Obed Kresna, dan Selma Theofany

Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang disusun oleh penulis sebagai hasil dari proyek hibah riset kelompok mahasiswa yang berjudul “Ummatan Wasatan di Negeri Bawah Angin: Islam Moderat di Indonesia Pasca Aksi Bela Islam”. Riset tersebut didanai oleh FISIPOL UGM dan berlangsung sejak Maret hingga November 2017.

 

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/islam-moderat-indonesia-di-mata-masyarakat-global-gagalkah/

 

27 April 2017 By Publikasi IIS

Populisme Sayap Kanan di Negara-Negara Demokratis: Kembalinya Yang-Politis

 Issue 06 | September 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/MazMlUHxQDByFOr#pdfviewer)

Kebangkitan populisme sayap kanan di negara-negara demokratis terasa menggelisahkan bagi pluralis-demokrat. Berbagai elemen pendukung populisme sayap kanan dianggap sebagai kelompok yang tidak normal. Begitu pun di Indonesia, kelompok yang melabeli diri Islamis dianggap sebagai musuh demokrasi. Di sisi lain, kelompok pendukung status quo sebagai pemilik narasi hegemonik selalu berlindung di balik ide bahwa Pancasila, demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan HAM sebagai sesuatu yang sakral, tidak boleh ditentang, baik pada dirinya dan final. Dengan begitu, definisi politik menyempit karena ia dianggap sebagai masalah moralitas dan etika semata. Dimensi politik yang esensialbahwa politik adalah soal pertentangan terus-menerus di antara berbagai kepentingan berbedajustru disisihkan dari perbincangan tentangnya. Populisme sayap kanan yang kini bangkit adalah konsekuensi dari penyempitan makna politik tersebut.

Populisme sayap kanan mulai mendapat perhatian sejak kebangkitan Partai Front Nasional dalam Pemilu Prancis tahun 2002. Raihan suara sebesar 17.8% membuka kesempatan bagi Front Nasional untuk mengajukan kandidat presiden pertama sepanjang sejarah partai, yakni Marie Le Pen (The Guardian, 2002). Pada Pemilu Prancis 2017, partai yang sama meraih 33.9% suara dan kembali mengusung Le Pen sebagai kandidat. Seiring dengan kebangkitan Front Nasional di tahun 2002, partai-partai sayap kanan  di Eropa perlahan berhasil berhadapan dengan partai yang secara tradisional dominan. Partai-partai ini seringkali bangkit dalam konteks pemilu yang penuh dengan sentimen anti-pengungsi, anti-pluralisme, maupun anti-kemapanan.

Negara-negara di Eropa tidaklah sendiri. Populisme sayap kanan juga mendapat momentum di Amerika Serikat (AS)negara yang mengklaim sebagai wajah demokrasidengan terpilihnya Donald Trump yang rasis. Asia juga tidak luput dari bangkitnya populisme sayap-kanan. India, Filipina, Jepang, dan dalam derajat tertentuapabila kita merujuk pada Aksi Bela Islam 411 dan 212Indonesia memiliki pengalaman yang sama beberapa tahun belakangan. Meski masing-masing memiliki konteks yang berbeda, populisme sebagai mode artikulasi aspirasi sosial, politik atau ideologi apapun yang menciptakan polarisasi antara mereka yang melihat dirinya sebagai ‘rakyat’ (people) melawan rezim yang mapan (establishment) tetap nampak dalam kasus-kasus tersebut. Mengapa populisme sayap kanan bangkit dan mendapat dukungan besar saat ini?

Dalam sudut pandang pemikir pasca-strukturalis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, populisme sayap kanan muncul karena wacana yang dominan saat ini menghilangkan dimensi yang-politis dari politik, sehingga tidak ada ruang alternatif bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya selain melalui diskursus sayap kanan yang dianggap paling mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Dimensi politis hilang ketika arena publik dihegemoni oleh berbagai wacana yang seolah diperlakukan sebagai produk konsensus. Konsekuensinya, wacana hegemonik tersebut tidak memperoleh tantangan apapun.

Demokrasi liberal sebagai wacana dominan saat ini tidak memiliki kapasitas untuk memahami karakter dasar politik yang sebagai pertentangan terus-menerus di antara klaim-klaim politik yang berbeda (Mouffe, 1993). Kelompok yang bermacam-macam di dalam suatu komunitas politik memproduksi wacana yang beragam, saling bertentangan, juga konfliktual. Justru pertentangan dan pluralitas inilah yang membuat politik menjadi politis (Mouffe, 2005).

Sejak narasi konfliktual mengenai komunisme dan liberalisme berakhir pada kejatuhan Uni Soviet tahun 1989, neoliberalisme dan globalisasi yang menjadi narasi dominan saat ini membuat pertentangan wacana menjadi kabur. Keduanya menghilangkan nuansa politis banyak isu publik dan membuatnya nampak seperti keharusan moral semata, misalnya HAM, toleransi, dan good and transparent governance. Dalam bahasa populer, politik menjadi ‘business as usual’; entah ia melanggengkan ketimpangan karena kapitalisme, atau mendekati narasi-narasi yang menantang status quo dengan cara yang sangat legalistik.

Dalam politik negara-negara Barat, baik partai sosial-demokrat, partai konservatif, maupun partai liberal sama-sama mendukung kapitalisme dan tidak menghadirkan celah bagi alternatif lain untuk warga. Keadaan sama terjadi pula di beberapa negara Asia seperti Indonesia, India, atau Filipina dengan partai yang tidak memiliki ideologi, keberpihakan maupun kebijakan spesifik. Mereka sekadar menjadi partai catch-all[1]. Masyarakat dituntut untuk melihat kontes politik praktis sekadar sebagai kompetisi moral dan etika. Kemunculan populisme sayap kanan merupakan konsekuensi dari depolitisasi ini. Massa yang selama ini tidak pernah mendapat akses untuk memunculkan narasi politis ke ruang publik kini mendapatkan sebuah payung, dan saat ini, payung tersebut merupakan identitas yang sangat primordial seperti ras, agama, dan etnis (Mouffe, 2005).

Populisme bekerja dengan membentuk narasi yang memisahkan masyarakat menjadi ‘kami’ (us) dan ‘mereka’ (them); popular sovereignty dan establishment; radikal dan demokrat; nasionalis dan moderat. Keduanya saling mengeksklusi satu sama lain. Sebenarnya di dalam kedua narasi ini tetap terdapat keberagaman opini, wacana, dan klaim. Tetapi keberagaman ini dapat menemukan koherensi ketika ada payung yang bisa merepresentasikan klaim dan wacana tersebut (Laclau, 2005; Mouffe, 1993). Gagasan mengenai popular sovereignty muncul karena demokrasi liberal di negara-negara demokratis justru tidak menyisakan kesempatan yang berarti bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam keputusan penting. Padahal legitimasi demokrasi itu secara prinsip berasal dari rakyat. Defisit demokrasi ini menjadi celah bagi kelompok sayap kanan untuk mengklaim diri mewakili rakyat.Dalam banyak fenomena populisme akhir-akhir ini, label yang paling terlihat dalam ‘the people’ adalah fundamentalisme agama dan ras. Kedua hal tersebut menjadi hantu besar bagi demokrasi karena karakternya yang eksklusif. Agama familiar diperlakukan sebagai alat untuk mencapai posisi politik yang menguntungkan bagi beberapa orang. Tetapi bagi banyak orang lain, identitas mereka sebagai pemeluk agama A, B, C yang sakral sudah cukup untuk mewakili perlawanan atas keadaan sosial-ekonomi mereka terhadap status quo.

Salah satu contoh kasus adalah Bharatiya Janata Party (BJP) di India yang mengusung Narendra Modi sebagai Perdana Menteri. BJP merupakan partai yang berideologikan Hindutva dengan visi membuat India sepenuhnya milik komunitas Hindu. Modi mendapatkan kedudukannya saat ini karena kooperasi lintaskasta di India yang merasa tertekan dengan berkembangnya penguasa dan kelas menengah Muslim. Sebelumnya, India di era Manmohan Singh mempertahankan sekularisme untuk mencegah perpecahan masyarakat dan memfokuskan negara pada pembangunan dan liberalisasi ekonomi yang cepat. Meski mampu mengantar India tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, namun pembangunan dan proyek ekonomi di era Singh cenderung mengabaikan konstituen besar Hindu (40%) yang sedang bangkit, yaitu kelompok other backward caste (OBC) yang berasal dari kasta ksatria dan waisya. OBC sendiri tidak pernah menerima aksi afirmatif. Kelompok ini berusaha mempertahankan posisinya di tengah persaingan urban dengan kelompok Muslim yang kelas menengahnya pun sedang berkembang. Modi hadir dengan basis sosial dari OBC yang disebutnya sebagai ‘neo-middle class’memberikan tanda bahwa kelompok ini menentukan proyek ekonomi Modi (Sridharan & Varshney, 2001). Dalam kasus ini, BJP yang secara tradisional berideologi Hindutva menyediakan kendaraan bagi kelompok lintaskasta yang tertekan untuk menyuarakan aspirasinya. Sekularisme yang selama ini dianggap konsensus pun dipertanyakan dalam keadaan demikian.

Begitu pula yang terjadi di AS dan Eropa. Privilese ekonomi kelas menengah kulit putih terancam hilang karena mereka harus bersaing dengan imigran dari ras lain seperti orang kulit hitam dan Muslim. Ketiadaan jaminan sosial di AS, ekonomi yang sedang lesu di Eropa dan AS, serta penguasa yang tidak berpihak pada kelas pekerja kulit putih turut memengaruhi pilihan mereka untuk mendukung gerakan sayap-kanan maupun para pemimpin berideologi nasionalis ekstrim karena pemimpin ini mengartikulasikannya dalam kampanye mereka (The Guardian, 2016). Alih-alih, elit moderat menyatakan afirmasi bagi LGBT, perubahan iklim, dan memberi kuota bagi pengungsihal-hal yang bagi kelas pekerja kulit putih tidak mewakili kepentingan mereka.

Gambaran serupa dapat disaksikan di negeri kita sendiri. Kelompok Islam politik semakin kuat karena mereka memiliki narasi yang menghadapkan Islam pada sebuah keadaan yang merugikan dan memarjinalkan kelompok Muslim. Aksi 411 dan 212 yang memprotes Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mendapat dukungan dari banyak kaum Muslim Jakarta yang ruang hidupnya dan opininya dihilangkan oleh penguasa demi kepentingan kelas menengah. Penggusuran rumah tanpa komunikasi yang baik demi sebuah lahan bermain kelas menengah, kondisi kerja yang tidak ramah bagi kaum miskin kota, ruang publik yang terus dieliminasi digantikan pusat perbelanjaan yang menawarkan ruang publik semu, lingkungan hidup yang dicemari oleh reklamasi, pabrik-pabrik besar, juga proyek betonisasi di Jakarta memicu kekecewaan terhadap Ahok atau elit politik yang berkuasa.

Betapapun intensnya kampanye mengenai Pancasila, persatuan, dan toleransi, tetap saja tidak dapat menautkan visi mereka dengan penderitaan kaum miskin urban. Kelompok Islam radikal-lah yang dapat memayungi penderitaan tersebut; mereka yang memiliki sebuah konsepsi berbeda mengenai seperti apa seharusnya toleransi, demokrasi, atau Pancasilakonsepsi yang selama ini dianggap terberi, tidak terelak, tidak tertandingi. Populisme sayap kanan karenanya merupakan disrupsi terhadap politik sebagai business as usual serta mengeskpos natur politik yang selalu dipenuhi pertentangan.

Kebangkitan populisme sayap kanan sebagai konsekuensi dari depolitisasi tidak membuat demokrasi kehilangan relevansinya. Selama arena politik tidak ditutup, maka kontestasi di antara berbagai narasi merupakan tanda bahwa demokrasi itu masih ada. Pada akhirnya populisme sayap kanan pun lebih banyak mengikuti prosedur demokrasi yang berlaku dalam menyampaikan aspirasi politiknya, meskipun aksi kekerasan masih terjadi, seperti aksi supremasis kulit putih yang menewaskan seorang warga di Charloteville, pemboikotan acara keagamaan, maupun aksi vigilantisme.

Setiap pemain dalam arena politik memiliki segala kesempatan untuk dapat berpartisipasi dan menciptakan narasi hegemonik. Mereka yang mengklaim dirinya liberal atau moderat perlu mempertimbangkan untuk bersikap terbuka tidak hanya pada keberagaman primordial, tetapi juga keberagaman narasi dan ide yang hadir dalam ruang publik, serta melihat konteks yang lebih besar di balik teriakan-teriakan yang terdengar rasis, xenophobik, atau supremasis. Dengan memahami ide yang berseberangan, maka kelompok moderat sebenarnya mempertahankan dimensi pluralisme demokrasi serta mengevaluasi cara mereka merepresentasikan suara masyarakat.

Naomi Resti Anditya

Asisten Riset Institute of International Studies,

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

naonugroho@gmail.com

Catatan Kaki

[1] Partai ‘catch-all’ adalah istilah untuk partai politik yang tidak memiliki ideologi spesifik. Partai ini berupaya untuk menarik suara dari orang-orang dengan pandangan yang beragam dalam jumlah besar.

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies. 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/issue06-2017/

 

21 September 2017 By Publikasi IIS

Kasus “Ahok vs Kelompok Islam Radikal” dalam Kaca Mata Demokrasi Agonis

Issue 07 | November 2017

Indonesia menjadi pusat perhatian dunia selama proses kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Februari 2017 lalu. Pemilihan tersebut disebut sebagai yang terkotor, mempolarisasi, dan paling memecahbelah (The Jakarta Post 2017). Di mana pasangan Anies-Sandi berhasil mengalahkan pasangan petahana Ahok-Djarot. Kemenangan Anies-Sandi, yang didukung oleh partai Islam sayap kanan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan ormas Front Pembela Islam (FPI)  dilihat sebagai pertanda bahwa sikap moderat dan pluralis di Indonesia telah dikalahkan oleh kelompok islam radikal. Harian New York Times melansir bahwa Indonesia, yang dikenal mampu menjaga toleransi dan pluralisme antarkelompok agama, sedang mengalami kemunduran (The New York Times 2017).

Strategi kampanye Anies-Sandi yang bernada religius dan menjurus ke propaganda nampaknya diamini oleh kelompok akar-rumput. Hal ini merupakan pertanda lain bahwa pluralisme mulai luruh (Tempo.co 2017). Ketegangan selama masa kampanye lebih terasa dibandingkan dengan empat periode Pemilihan Presiden lalu. Hal tersebut disebabkan oleh begitu banyaknya agenda politik dan strategi politisasi identitas dan agama yang digunakan. Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang menuntut Ahok dipenjara atas tuduhan penghinaan agama  dilihat sebagai upaya politisasi agama untuk memenangkan Anies Baswedan. Ketika pada akhirnya Ahok dinyatakan bersalah dan divonis dua tahun penjara, perhatian mengenai masa depan demokrasi Indonesia tambah dipertanyakan. Amnesti Internasional menyatakan vonis atas Ahok menodai reputasi Indonesia sebagai bangsa yang toleran (Tempo.co 2017).

Sebagai respon atas situasi politik yang kian memanas, Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial. Jokowi menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah melenceng terlalu jauh. Karena itu paham politik ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila bisa muncul dan diartikulasikan. Menurut Jokowi, penegakan hukum merupakan kunci untuk menghentikan demokrasi ini untuk melenceng terlalu jauh (Ihsanuddin 2017).

Pernyataan tersebut kemudian memunculkan banyak pertanyaan. Apakah demokrasi di Indonesia memang telah melenceng terlalu jauh? Apabila demikian, demokrasi seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai demokrasi yang ideal?

Demokrasi bersifat cair dan dinamis. Demokrasi tidak statis dan tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah produk yang kaku. Meski kontestasi, konflik, dan konfrontasi terjadi antar kelompok, bukan berarti demokrasi di Indonesia sudah melenceng jauh. Demokrasi menyediakan ruang untuk berbagai macam ideologi, ide, moralitas, dan juga identitas. Sehingga ruang perbedaan ini harus dicari jalan tengahnya dan dibangun melalui kontestasi politik.

Dari pernyataan Presiden Jokowi di atas, kita bisa melihat bahwa presiden nampaknya menganut paham demokrasi deliberatif. Di mana keputusan-keputusan konsensual, identitas kolektif, dan universalitas merupakan kunci atas terciptanya demokrasi yang ideal. Persatuan juga dianggap sebagai kebaikan bersama sehingga ketika terjadi hubungan konfliktual seperti yang terjadi antara Ahok dan kelompok Islam radikal, hal tersebut dinilai sebagai gangguan atas terciptanya demokrasi yang ideal. Paham Jokowi terhadap demokrasi yang ideal tercermin melalui kebijakannya mencekal Hizbut Tahrir Indonesia atas dasar menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (al-Jazeera 2017). Berangkat dari fakta tersebut, penulis menawarkan perspektif baru untuk melihat kasus Ahok versus kelompok Islam radikal, yaitu melalui konsep Demokrasi Agonis oleh Chantal Mouffe.

Chantal Mouffe mengkritik keras ide Habermas tentang demokrasi deliberatif dengan menawarkan konsep Demokrasi Agonis atau Pluralisme Agonis. Mouffe juga mengkritik bagaimana Habermas begitu mengagung-agungkan konsensus dalam idenya. Demokrasi deliberatif mungkin saat ini menjadi konsep yang paling populer diuganakan untuk menganalisis demokrasi di dunia, tetapi Mouffe sendiri percaya bahwa demokrasi deliberatif merupakan konsep yang  belum matang dan kontraproduktif, mempertimbangkan kedekatannya dengan liberalisme (C. Mouffe 2000).

Dalam konsep Pluralisme Agonis, kunci dari harmoni bukan konsensus ataupun kesatuan, melainkan transformasi relasi sosial dan relasi kuasa yang antagonis ke relasi yang agonis (Harvey 2012). Mengeliminasi kelompok tertentu bukanlah sebuah opsi dan memupuk keberagaman dianggap lebih penting. Sebab dalam bentuk yang paling mendasar, perbedaan dan keberagaman bersifat alami, begitu juga dengan narasi “kita versus mereka”. Hal yang membedakan antara relasi agonis dan relasi antagonis adalah bagaimana kita memposisikan “kami” dan “mereka” dalam narasi “kita versus mereka” (Harvey 2012). Dalam relasi antagonis, imaji musuh akan dibuat untuk menyerang “mereka” sehingga konfrontasi akan cenderung berakhir pada eksklusi dan koersi. Sementara itu dalam relasi yang agonis, “mereka” akan dilihat sebagai lawan. Kehadiran “mereka” berdampingan dengan “kita”. “Mereka” akan selalu menjadi berbeda. Akan tetapi, perbedaan yang “mereka” miliki tidak membuat “kita” menentangnya. “Kita” akan tetap menghargai perbedaan tersebut, hidup berdampingan, dan bahkan bekerja sama dengan “mereka” (C. Mouffe 2009).

Indonesia merupakan rumah bagi pluralisme, di mana perbedaan dan keberagaman ada sejak lama. Narasi “kita versus mereka” memang tidak dapat dihindarkan. Kita juga bisa melihatnya dalam kasus Ahok versus kelompok Islam radikal yang terjadi selama Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemarin. Kelompok Islam radikal sebagai mayoritas memposisikan diri mereka sebagai “kita”. Sementara itu, Ahok diposisikan sebagai “mereka”. Melihat relasi antara kedua pihak tersebut, kita bisa mengatakan bahwa keduanya bekerja sebagai lawan dalam relasi yang agonis. Kedua pihak memang memperebutkan suatu hal yang sama, yakni kemenangan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Namun, mereka tetap berjalan di bawah sebuah koridor yang disebut Mouffe sebagai shared symbolic spaceShared symbolic space adalah ruang mengekspresikan perbedaan pendapat dan ketidaksetujuan antar warga negara (Harvey 2012). Dalam kasus ini, shared symbolic space yang dimaksud adalah dinamika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, terutama pada masa kampanye. Hal tersebut adalah ruang yang digunakan oleh kedua belah pihak untuk mengartikulasikan suara mereka masing-masing.

Kedua pasangan calon telah melalui masa kampanye secara fair. Aksi Bela Islam 411, yang diliput berbagai media internasional, juga legal menurut UUD 1945 ayat 28, dan UU no. 9 tahun 1998. Tidak ada hukum yang dilanggar oleh kedua belah pihak. Aksi demonstrasi tersebut juga berlangsung tanpa kekerasan. Para demonstran bahkan menggelar shalat Jum’at berjamaah di Masjid Istiqlal dan Monas yang juga diikuti oleh Presiden Jokowi dan Calon Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (Rahadian 2017). Sementara itu, pendukung Ahok melakukan metode kampanye yang berbeda. Beberapa musisi legendaris seperti Slank, Tompi, Sandhy Sandoro, Once dan lainnya menggelar konser bertajuk “Konser Gue Dua” untuk menyampaikan dukungan kepada Ahok dan Djarot (Choiri 2017).

Dari kampanye tersebut, terlihat bahwa para kandidat Gubernur DKI Jakarta mengusung proses kampanye yang nir-kekerasan. Meskipun kedua kelompok membawa gagasan yang berbeda dalam kampanye. Kelompok Anies Baswedan, terdiri atas mayoritas kelompok Islam radikal, menekankan bahwa memilih pemimpin Non-Muslim dilarang dalam Islam. Sangat jelas terlihat bahwa propaganda tersebut ditujukan supaya pemilih Muslim tidak mendukung Ahok yang notabene adalah seorang Non-Muslim. Biarpun begitu, kelompok pendukung Ahok merespons dengan menggaungkan pluralisme, membawa prestasi-prestasi Ahok-Djarot sebagai pasangan inkumben, serta “Jakarta untuk Semua”, sebagai strategi kampanye mereka untuk menarik pemilih.

Pada akhirnya, kedua kelompok berhasil membuktikan bahwa walaupun mereka membawa prinsip yang bertentangan, kampanye tetap bisa dihelat secara damai dan fair. Kedua kelompok bekerja sebagai lawan dalam konteks adversary dengan cara fokus pada pesan yang masing-masing ingin sampaikan kepada para pemilih. Ketika media asing melihat kemenangan Anies Baswedan sebagai pertanda bahwa demokrasi dan pluralisme di Indonesia mengalami kemunduran, penulis percaya bahwa demokrasi di Indonesia, pada kenyataannya, sangat sehat dan produktif. Apabila kita melihat dari kaca mata Demokrasi Agonistik oleh Mouffe, yang menitikberatkan pada pemupukan keberagaman melalui relasi agonis dalam narasi “kita versus mereka”.

Mengingat bahwa keberagaman telah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat di Indonesia, penulis percaya bahwa Jokowi seharusnya melihat kasus Ahok versus kelompok Islam radikal melalui kacamata demokrasi agonis dan bukan lagi menggunakan demokrasi deliberatif. Apabila kita melihat melalui kaca mata demokrasi deliberatif, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemarin akan mengesankan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Karena dalam konsep tersebut, kelompok-kelompok yang bebeda dalam masyarakat diharapkan mampu untuk mengubur dalam-dalam ego dan ide yang mereka miliki. Kemudian membawa ide-ide moral universal yang sekiranya bisa diterima semua kalangan ke permukaan.  Dengan begitu, konsensus seolah-olah telah tercapai. Walaupun yang sebenarnya terjadi adalah pengorbanan ide-ide yang berbeda demi ide yang menurut pihak tertentu, dapat diterima secara universal. Padahal, kontestasi ide, apabila mampu dipelihara dengan tepat dapat memberikan dinamika konstruktif kepada demokrasi. Pencekalan Hizbut Tahrir Indonesia, contohnya, hanyalah usaha untuk menciptakan konsensus semu. Karena seperti kasus kontestasi Ahok dan kelompok Islam radikal di belakang Anies Baswedan, Presiden Jokowi melihat bahwa konsensus dan kesatuan sebagai elemen demokrasi mulai terkikis.

Pada akhirnya, penulis percaya bahwa sudah saatnya Presiden Jokowi mengubah arah poitiknya dalam mengelola demokrasi di Indonesia. Pekerjaan rumah pemerintah saat ini bukan untuk mencari cara bagaimana menyeragamkan masyarakat atau menyatukan berbagai macam ide, moral, dan identitas. Mengeksklusi kelompok tertentu dalam rangka memperbaiki konsensus kolektif yang dipaksakan tidak akan memperbaiki apapun. Inilah saatnya memupuk keberagaman dan perbedaan, sehingga relasi agonis yang terjalin antar kelompok mampu terpelihara dengan baik, dan tidak berubah menjadi relasi yang antagonis.

Zahrina Faudia Azziza

Mahasiswa S1 Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Gadjah Mada

zahrinafaudia@ymail.com

 

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/kasus-ahok-vs-kelompok-islam-radikal-dalam-kaca-mata-demokrasi-agonis/

30 September 2017 By Publikasi IIS