Making Sense of ASEAN: Leaders and Secretariat’s Role in Democratization
Hari ini, 8 Agustus 2018, menandai 51 tahun terbentuknya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Di awal Agustus 1967, Adam Malik, Tun Abdul Razak dari Malaysia, Narcisco Ramos dari Filipina, S. Rajaratnam dari Singapura, dan Thanat Khoman dari Thailand akhirnya memutuskan untuk membentuk ASEAN di lapangan golf di Bangsaen, Thailand. Severino mendeskripsikan momen tersebut sebagai tie-less on easy chair di mana para delegasi negara-negara terkait bermain golf di pagi hari, rapat di siang hari, dan makan malam santai di malam hari (Severino 2006). Pada 8 Agustus, seluruh persiapan untuk penandatanganan deklarasi di Bangkok telah matang. Di bawah perintah Soeharto, Adam Malik melakukan serangkaian perbincangan dengan pimpinan Malaysia untuk menghentikan Konfrontasi, kemudian melakukan negosiasi perdamaian serta menaksir kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi untuk menjamin koeksistensi perdamaian di antara negaranegara Asia Tenggara. Pada awalnya, asosiasi tersebut dibentuk guna membendung pesebaran komunisme di masa Perang Dingan. Karenanya, ASEAN sendiri memiliki motif politik guna memastikan terciptanya keamanan regional. Dalam bahasa sehari-hari, Khoo How San menjelaskan peran ASEAN sama dengan kelompok pengawas yang betugas untuk memastikan stabilitas regional (Khoo, 2000).
Dari perspektif keamanan tradisional, dapat dikatakan bahwa ASEAN telah berhasil menjalankan fungsi
utamanya, yakni memastikan ketiadaan perang. Namun, setelah Perang Dingin berakhir, regionalisme di dunia telah menunjukkan perluasan cakupan dalam kerja sama. ASEAN kemudian mengembangkan tiga pilar kerja samanya, yakni Keamanan dan Politik, Ekonomi, dan Sosial Kultural. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Rizal Sukma, demokrasi seharusnya juga menjadi salah satu agenda ASEAN (Sukma, 2009). Tahun lalu, institut kami mempublikasikan buku dalam rangka memperingati hari jadi ASEAN ke-50 dengan judul 50 Years of Amity and Enmity: The Politics of ASEAN Cooperation yang disunting oleh Dr. Poppy S. Winanti dan saya. Dari buku tersebut, kami telah memahami bahwa terlepas dari kesuksesan ASEAN dalam menginisiasi dan mengimplementasi kerja sama sektoral, masih terdapat beberapa tantangan dan halangan menuju kerja sama lebih dalam.
Saat ini, sektor Keamanan dan Politik ASEAN menunjukkan perkembangan yang tidak mengesankan. ASEAN telah dua kali gagal membuat pernyataan bersama guna menekan Cina dalam permasalahan Laut Cina Selatan. Selain itu, praktik demokrasi dan kebebasan sipil negara-negara anggota ASEAN tergolong lemah (Index of Democracy, 2017; Freedom in the World Index, 2017). Di sektor ekonomi, sejak tahun 2011 ASEAN belum mempublikasikan laporan resmi dan akademisi memproyeksikan hanya 79,5% target ASEAN Economic Community (AEC) yang tercapai pada tahun 2016 (Menon & Melendez, 2016). Kami percaya bahwa laporan AEC perlu dipublikasikan kembali. Di sisi lain, terdapat keanehan pada sektor Sosial Kultural, di mana manajemen kebencanaan dan polusi asap termasuk di dalamnya. Keputusan tersebut merefleksikan pendekatan ASEAN yang melepaskan natur politis dari penanganan bencana dan polusi asap. Terlebih mengingat ASEAN yang mengusung konsesus dan prinsip nonintervensi—ASEAN Way. Secara
tradisional, ASEAN mengusung konsep nonintervensi karena dinilai lebih menarik bagi rezim yang kurang demokratis. Contohnya, Junta Militer Myanmar yang melihat keanggotaan ASEAN sebagi cara meningkatkan kehadiran dan memperoleh legitimasi ketika bergabung pada tahun 1997 (McCarthy, 2008).
Mempertimbangkan tantangan-tantangan ini, kami berargumen bahwa praktik demokratisasi yang lemah merupakan sumber dari ketidakefektifan pengawasan dan kurang progresifnya regionalisme Asia Tenggara. Kami ingin merefleksikan perkembangan terkini dengan usia 51 tahun ASEAN. Kami percaya bahwa ada momentum dan kesempatan yang muncul akibat transformasi politik dan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini beberapa tahun terakhir. Perkembangan ekonomi di Asia Tenggara telah menghasilkan lebih banyak masyarakat kelas menengah yang melek informasi. Perkembangan politik terbaru di Myanmar dan Malaysia ikut mengindikasikan keterbukaan politik pada level tertentu.
Menciptakan kembali momentum untuk perubahan Kunci perbaikan ASEAN bergantung pada kondisi politik domestik negara-negara anggotanya. Semakin demokratis sebuah masyarakat, maka semakin besar kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi memperbaiki kebijakan. Hal tersebut tidak hanya berlaku dalam tingkatan domestik, tetapi juga dalam kebijakan luar negeri dan regionalisme. Melalui evaluasi masyarakat, ASEAN dapat dimonitor dengan lebih baik. Dalam kondisi demokratis, pemimpin negara anggota akan berusaha lebih keras membuktikan pada konstituennya bahwa mereka mengantarkan aspirasi kebijakan luar negeri mengenai ASEAN.
Oleh karena itu, peran diplomat prodemokrasi dan birokrat ASEAN dalam mempromosikan demokrasi menjadi sangat penting. Kita perlu mendukung diplomat muda Indonesia yang mempromosikan nilainilai demokrasi, seperti yang telah lebih dulu dilakukan diplomat-diplomat Filipina dan Thailand. Di Malaysia, jika perjanjian politik antara Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim berjalan dengan baik, maka kita akan melihat kembalinya Anwar, seorang pemimpin prodemokrasi yang pernah mendukung ide untuk memperkaya ASEAN Way.
Agenda untuk meredefinisi ASEAN Way dalam rangka mendukung demokratisasi hanya dapat berjalan apabila ASEAN memiliki pemimpin nasional yang progresif dan sekretariat yang lebih kuat. McCarthy menyoroti perkembangan konsep yang diciptakan pemimpin-pemimpin inovatif untuk menentang pendekatan tradisional ASEAN Way. Anwar Ibrahim mengembangkan terminologi “Intervensi Konstruktif” pada masa jabatannya sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia. Intervensi Konstruktif ialah ide untuk memberi kesempatan bagi negara anggota ASEAN untuk melakukan intervensi atas urusan domestik negara anggota. Menurut Anwar, hal tersebut cukup penting mengingat adanya perluasan ASEAN. Logikanya, beberapa anggota baru yang tidak demokratis (Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja) akan segera bergabung dengan ASEAN. Ide ini kemudian ditolak.
Untuk mengaktualisasi ide tersebut, menteri luar negeri Thailand saat itu, Surin Pitsuwan, mengajukan ide “Flexible Engagement.” Kata-kata “diskusi yang jujur dan terbuka” serta “tekanan-rekan-sejawat atau tekanan yang-bersahabat” dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan Flexible Engagement (Katanyuu, 2006). Konsep ini memperbolehkan negara anggota untuk mendiskusikan atau mengkritisi kondisi domestik negara anggota lain apabila ada implikasi lintas batas negara. Namun, sekali lagi, ide ini ditolak. Sebagai alternatif dari ide tersebut, “Enhanced Interaction” diperkenalkan untuk memberi ruang bagi negara anggota untuk mengkritisi negara anggota ASEAN lain. Namun, ASEAN sebagai institusi dilarang untuk melakukan hal tersebut.
Lagi, di tahun 2003, diinisasi oleh pemerintahan Thaksin Shinawatra ketika Surin Pisuwan mengenalkan kebijakan luar negeri Thailand “Forward Engagement” (Katanyuu, 2006). Di bawah kerangka kerja ini, Thailand mengusulkan sebuah mekanisme rekonsiliasi dan demokratisasi di Burma melalui serangkaian konsultasi. Meskipun aksi tersebut merupakan kebijakan luar negeri Thailand, kita menyaksikan sosok Surin Pitsuwan yang dapat mendorong dukungan positif bagi demokrasi, sebagaimana ditawarkan oleh Anwar Ibrahim. Apa yang dapat kita tiru kini ialah penggunaan strategi Surin Pitsuwan untuk melahirkan konsep baru dan nilai universal pada isu-isu sensitif seperti aksi humaniter dan manajemen kebencanaan. Pada tahun 2008, Surin Pitsuwan selaku Sekretaris Jenderal ASEAN menerapkan norma “Responsibility to Protect” (R2P) merespons Siklon Nargis Myanmar. ASEAN berhasil meyakinkan Myanmar supaya lebih terbuka terhadap aksi-aksi humaniter dari komunitas internasional. Hal tersebut kemudian menjadi dasar rasa percaya diri Myanmar sebelum demokratisasi pada tahun 2010. Dari peristiwa tersebut, Sekretariat ASEAN seharusnya tidak hanya menjadi sebuah kantor yang baik. Terakhir, mendukung demokratisasi di ASEAN juga berarti
memperkuat demokrasi di dalam. Dengan apresiasi yang diberikan ASEAN terhadap demokrasi kita, kecil kemungkinan elit politik dan pemimpin untuk bertindak otoriter atau non-demokratis.
Referensi:
Katanyuu, R. (2006). Beyond Non-Interference in ASEAN: The Association’s Role in Myanmar’s National Reconciliation and Democratization. Asian Survey, 825-845.
Koo, H.S. (2000). ASEAN as a “Neighborhood Watch Group.” Contemporary Southeast Asia, 22(2), 279-301.
McCharty, S. (2008). Burma and ASEAN: Estranged Bedfellows. Asian Survey, 911-935.
Menon, J. & Melendez, A. C. (2018). Realizing an ASEAN Economic Community: Progress and Remaining
Challenge. The Singapore Economic Review, 63(1).
Severino, R. C. (2006). Southeast Asia in Search of an ASEAN Community: Insights from the Former ASEAN Secretary General. Singapore: ISEAS.
Sukma, R. (2009). Political Development: A Democracy Agenda for ASEAN? In D. K. Emmerson, Hard Choices: Security, Democracy, and Regionalism in Southeast Asia (pp. 135-150). Singapore: ISEAS.
Penulis: Muhammad Rum, IMAS