Identitas Nasional: Penggunaan Politik Identitas dalam Gelombang Pengungsi 2015 di Hungaria

 Issue 03 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/uZRcLR2J2QrtJqV#pdfviewer)

Politik identitas semakin menguat di Eropa, terutama sejak pada tahun 2015 gelombang pengungsi dan pencari suaka menuju Eropa guna mencari perlindungan dari negara asal yang hancur akibat perang. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), lebih dari 590.000 pengungsi tiba di Eropa melalui jalur laut pada tahun 2015, serta hampir sebanyak 630.000 klaim suaka telah diajukan di negara-negara anggota Uni Eropa (Metcalfe-Hough, 2015).

Hungaria, sebagai salah satu negara penerima pertama, menolak kedatangan pengungsi akibat adanya berbagai kewajiban yang diatur melalui Peraturan Dublin. Peraturan ini mewajibkan pengungsi untuk dicatatkan di negara Uni Eropa yang pertama disinggahi, yang kemudian dibebankan tanggung jawab untuk mengurus pengungsi tersebut. Kewajiban ini memicu penggunaan politik identitas sebagai siasat pemerintah Hungaria guna menolak pengungsi dan ‘agenda Eropa Barat’ dalam aturan Uni Eropa. Situasi ini memunculkan polemik tentang bagaimana seharusnya pengungsi ditangani. Dalam kasus pencari suaka dan pengungsi, politik identitas sering kali menjadi narasi pemerintah untuk memobilisasi rasa takut dan kecemasan pada ‘Liyan’.

Artikel ini akan menjelaskan bagaimana pemerintah Hungaria menanamkan rasa takut dengan membangun narasi tertentu mengenai identitas imigran. Sangat menarik untuk memahami bagaimana identitas dipersepsikan dan dikonstruksikan dalam kasus ini. Apakah ‘Liyan’ betul-betul mengancam identitas ‘Kami’ di Hungaria? Artikel ini juga akan menjelaskan bagaimana krisis pengungsi memengaruhi dinamika politik di Hungaria.

Ketakutan pada ‘Liyan’: Krisis Pengungsi dan Retorika Anti-Imigrasi di Hungaria

Dalam memahami retorika anti-imigrasi yang digunakan pemerintah Hungaria, penting untuk melihat konsep ‘Kami’ dan ‘Liyan’ yang saling berkait. Karena melalui konsep inilah pemerintah Hungaria menggalang dukungan bagi kebijakannya. Retorika pemerintah Hungaria sangat lekat dengan pandangan primordialisme yakni bahwa identitas adalah sesuatu yang terberi dan alamiah (Geertz, 1973, pp. 259-60). Pandangan ini memahami konflik sebagai akibat dari satu kelompok beridentitas serupa yang melindungi dirinya dari ‘Liyan’. Pada kasus ini, ‘Liyan’ dianggap mengancam kehidupan ‘Kami’ sehingga konflik tidak dapat terhindarkan. Dalam kasus Hungaria, retorika yang seringkali digunakan adalah bahwa pengungsi menginvasi dan mengancam identitas Eropa.

Cara pandang tersebut membentuk kebijakan anti-imigrasi di Hungaria yang diwujudkan dalam tiga hal. Pertama, pembangunan sejumlah papan reklame berbahasa Hungaria dengan kata-kata provokatif yang merujuk pada pengungsi.[1] Kedua, penutupan perbatasan Hungaria. Ketiga, penyelenggaraan program konsultasi nasional di mana pemerintah menyelenggarakan survei opini warga Hungaria terhadap pengungsi. Survei tersebut dikirim bersama dengan surat dari Perdana Menteri Viktor Orban. Di dalam suratnya, PM Viktor Orban melabeli pencari suaka sebagai ‘migran ekonomi’ dan menyatakan bahwa ‘migran ekonomi melewati perbatasan secara ilegal dan menyamar menjadi pengungsi untuk mencari santunan sosial dan pekerjaan’ (Juhász et al., 2015, p. 25). Di samping itu, beberapa aksi teror yang terjadi setelah arus pengungsi tahun 2015 juga dimanfaatkan pemerintah Hungaria guna menggambarkan pengungsi sebagai teroris yang mengancam Hungaria dan warganya (Kallius et al., 2016, p. 27; Lane, 2016).

Program konsultasi nasional dikritik oleh banyak pihak sebagai upaya penetrasi agenda pemerintah Hungaria kepada warganya (Juhász et al., 2015, p. 25; Kingsley, 2015). Meski demikian, upaya tersebut dianggap sukses jika merujuk pada survei Eurobarometer. Hasil survei pada September 2015 menunjukkan bahwa jumlah responden yang menganggap imigrasi sebagai sebuah ancaman meningkat hingga 65%. Jauh meningkat dibandingkan dengan hasil survei pada Mei 2015, di mana hanya 13 persen populasi menganggap imigrasi sebagai masalah di Hungaria (Juhász et al., 2015, p. 17). Hal ini membuktikan bahwa ketakutan pada imigrasi selama krisis pengungsi telah meningkat dalam kurun waktu kurang dari empat bulan dan retorika anti-imigrasi telah sukses memengaruhi pikiran warganya.

Apakah Pengungsi Mengancam Identitas Nasional Hungaria? 

Identitas telah digunakan guna membentuk rasa takut dan sentimen warga Hungaria pada pengungsi (Prandana, 2016, p. 38). Pemerintah Hungaria menggunakan identitas pengungsi untuk kembali mendapat dukungan dan atensi, setelah sempat kehilangan dukungan akibat perubahan iklim politik. Pemerintah Hungaria bersikukuh bahwa menerima pengungsi akan membahayakan identitas nasional Hungaria (Nolan, 2015; Bodissey, 2016). Akan tetapi, bagaimana kita dapat mendefinisikan identitas nasional Hungaria? Prandana (2016) menyatakan bahwa identitas nasional Hungaria tidak memiliki deksripsi jelas akibat kompleksitasnya. Menjadi seorang Hungaria dapat diartikan bahwa ia berbicara bahasa Hungaria dan merasa nyaman menggunakannya, menghargai rasa hormat dan keterbukaan, mengidentifikasi diri sebagai orang Hungaria beserta segala stereotipnya, atau percaya pada Kristen (Prandana, 2016, pp. 35-36). Terlepas dari banyak interpretasi tentang identitas nasional Hungaria, tidak ada cara untuk menggolongkan seseorang ‘sepenuhnya’ beridentitas nasional Hungaria. Hungaria telah meredefinisi identitas nasionalnya berulang kali, sejak imigrasi pertama melalui Cekungan Karpathia, pada masa Kerajaan Austro-Hungaria dan Ottoman, serta pada saat era Komunis. Menurut sejarah, Hungaria memiliki beragam identitas nasional selama eksistensinya sebagai negara berdaulat.

Label pengungsi sebagai ‘migran ekonomi’ sengaja dipilih oleh pemerintah untuk menutupi kenyataan bahwa mereka lari dari perang. Ini adalah salah satu gagasan utama dalam propaganda pemerintah guna  menyebarkan ketakutan pada masyarakat Hungaria yang mana ketersediaan pekerjaan adalah salah satu masalah utama. Papademetriou (2012) menjelaskan bahwa imigran sering dipandang sebagai beban finansial bagi negara penerima, menyumbang angka pengangguran, penyebab depresiasi upah, dan menyusahkan negara kesejahteraan (welfare state).

Perubahan budaya dan nilai juga menjadi kegelisahan utama masyarakat Hungaria. Dengan menerima pengungsi, mereka takut masa depan Eropa berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Sebagai penganut Kristen yang kuat, masyarakat Hungaria khawatir akan ide Islamisasi di Eropa. Ketakutan pada perubahan budaya dan nilai juga sesuai dengan kenyataan bahwa masyarakat Hungaria, terutama mereka yang hidup di pedesaan, minim pengalaman hidup berdampingan dan berinteraksi dengan masyarakat yang heterogen (Prandana, 2016, p. 42).

Di sisi lain, isu keamanan menjadi perhatian utama masyarakat Eropa bersamaan dengan munculnya arus pengungsi (Prandana, 2016, p. 43). Serangan bom di Bandara Brussels di Belgia dan Charlie Hebdo adalah dua dari banyak serangan yang digunakan pemerintah Hungaria untuk mengaitkan terorisme dengan pengungsi. Dalam beberapa kasus, teroris memang memanfaatkan arus pengungsi untuk memobilisasi anggotanya melewati perbatasan Eropa. Namun, mengeneralisasi pengungsi sebagai teroris adalah sikap yang abai pada penderitaan mereka dan fakta bahwa mereka menuju Eropa untuk lari dari teroris.

Hungaria menerima aplikasi suaka terbanyak jika dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa lainnya. Tetapi fakta ini kontras dengan tingkat penerimaan pengungsi yang justru relatif sangat rendah. Hanya ada sekitar 500 aplikasi yang diterima pada tahun 2015. Arus imigran di Eropa dikhawatirkan berpotensi menghilangkan dukungan politis dan kedaulatan dalam jangka panjang. Koalisi partai yang berkuasa di Hungaria selama ini mendulang popularitas dengan mengakomodasi kebijakan dan ide-ide konservatif. Pertumbuhan populasi imigran akan memengaruhi dinamika politik dan mengubah opini ke arah yang lebih liberal dengan kecenderungan untuk berpihak pada partai sayap-kiri (Prandana, 2016, p. 44). Artinya, perbedaan identitas pengungsi dengan masyarakat Hungaria dapat memengaruhi partai politik utama kehilangan dukungannya di masa depan.

Berbicara mengenai kehilangan kedaulatan, ada dua isu utama bagi pemerintah Hungaria. Pertama, kehilangan kontrol atas siapa yang diperbolehkan dan dengan metode apa ia dapat diperkenankan datang ke Hungaria. Arus pengungsi ke Eropa, baik ilegal maupun legal, telah mengoyak kepercayaan diri pemerintah Hungaria atas kontrol terhadap perbatasannya sendiri. Hal ini berhubungan dengan isu kedua, yaitu relasi antara Hungaria dengan Uni Eropa. Melalui sistem kuota, Uni Eropa mengatur bahwa pengungsi didistribusikan sesuai dengan kapabilitas ekonomi setiap anggota (Rothwell & Foster, 2016). Aturan ini dilihat semata sebagai produk negara-negara Eropa Barat yang mendegradasi kedaulatan Hungaria (Rothwell & Foster, 2016; Prandana, 2016, p. 44). Hungaria didukung negara-negara Visegrad: Polandia, Slovakia, Republik Ceko; dalam menolak aturan penerimaan pengungsi Uni Eropa. Negara-negara tersebut juga cukup vokal dalam menolak sistem kuota.

Pemerintah Hungaria telah mampu mengakumulasi rasa takut dan cemas terhadap ‘Liyan’. Penggunaan politik identitas guna menyebarluaskan kepentingan sangat kentara dilakukan oleh pemerintah Hungaria dalam berbagai aspek, mulai dari aspek budaya, politik, keamanan, hingga ekonomi. Di Eropa, Gelombang Pengungsi 2015 turut memicu tumbuhnya populisme. Konsistensinya dalam menolak penerimaan pengungsi telah menampilkan Hungaria sebagai salah satu aktor berpengaruh bagi suara sayap-kanan di kawasan.

[1]     Terdapat tiga jenis pesan yang disampaikan di papan reklame: (1) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda harus menghormati budaya kami.’ (2) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda harus menghormati hukum kami.’ (3) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda tidak boleh mengambil pekerjaan kami.’ Pesan-pesan ini hanya ditulis dalam Bahasa Hungaria.

Aldoreza Prandana, M.Sc.

Koordinator Kerjasama Internasional,

International Undergraduate Program,

Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM

aldorezaprandana@gmail.com 

 

References

Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/identitas-nasional-penggunaan-politik-identitas-dalam-gelombang-pengungsi-2015-di-hungaria/

 

20 April 2018 By Publikasi IIS

Dimensi Spiral Kekerasan di Kulon Progo

ISSUE 01 | 2019 (ugm.id/IISBriefKulonProgo)

 

Sepanjang tahun 2017, tercatat setidaknya 659 konflik agraria terjadi di Indonesia (Suryowati, 2017). Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah tersebut melibatkan lahan seluas 520.491,87 hektar dan mengalami peningkatan sebanyak 50 persen dari tahun 2016. Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah terjadi 1.351 konflik agraria (Suryowati, 2017). KPA menilai bahwa pemerintah belum memiliki kehendak politik yang kuat untuk melaksanakan reforma agraria.

Reforma agraria bukan perkara mudah. Apalagi, program kerja pemerintah Presiden Joko Widodo yang berlandaskan Nawacita mensyaratkan serangkaian program pembangunan sarana dan prasarana fisik, yang lantas memunculkan kebutuhan pengadaan akses dan bangunan publik sebagai modal. Pada poin keenam Nawacita, pemerintah Joko Widodo berambisi “meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya” (Widodo & Kalla, 2014). Melansir tulisan dari laman daring resmi Presiden, “…berbagai pembangunan infrastruktur bertujuan untuk mendongkrak daya saing. Jalan tol, jalan kereta api, pelabuhan laut, (dan) pelabuhan udara jelas akan mempercepat perpindahan barang dan jasa….Artinya, daya saing produk barang dan jasa kita akan meningkat dibandingkan dengan negara lain” (Pembangunan Infrastruktur, 2016). Meski berpotensi menjamin daya saing Indonesia di lingkup internasional, poin keenam Nawacita justru berakhir pada 94 konflik agraria perihal infrastruktur di tahun 2017 (Suryowati, 2017). Alih lahan yang marak terjadi selama pemerintahan Joko Widodo disinyalir merupakan bagian dari upaya pengadaan sarana dan prasarana Indonesia untuk bersaing di pasar internasional. Salah satu contoh konflik agraria yang terjadi beberapa waktu lalu adalah konflik yang terkait pembangunan New Yogyakarta International Airport di Temon, Kulon Progo, Yogyakarta. Pemerintah yang berupaya melaksanakan percepatan pembangunan bandar udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) dinilai telah melakukan kekerasan pada warga Kulon Progo. Pasalnya, Proyek Strategis Nasional tersebut akan dibangun di atas lahan yang secara legal dimiliki warga. Melalui instrument perundang-undangan serta kebijakan beberapa institusi negara, pemerintah mendesak pembebasan lahan melalui konsinyasi sepihak. Represi yang dilakukan pemerintah guna memastikan

kelancaran konsinyasi sepihak tidak hanya merupakan suatu bentuk kekerasan, tetapi juga menjadi penyulut spiral kekerasan di Kulon Progo. Meskipun dilaksanakan demi “kepentingan umum”, mengapa

pembangunan di Kulon Progo dapat memicu spiral kekerasan? Dengan meminjam pemikiran Louis Althusser dan Dom Helder Camara, tulisan ini bertujuan untuk membuktikan

bahwa pembangunan NYIA telah menciptakan spiral kekerasan di tengah perlawanan nirkekerasan oleh warga karena keberadaan Ideological State Apparatuses (ISA) dan Repressive State Apparatuses (RSA).

Wahyuwidi Cinthya

Asisten Peneliti Damai Pangkal Damai: Aksi Nirkekerasan di Indonesia Pasca-Reformasi

IIS UGM

Wahyuwidi.cinthya@gmail.com

Referensi 

  • 32 Kepala Keluarga masih Menolak Pembebasan Lahan Pembangunan Bandara Kulon Progo. (2018, Februari 1). Diakses dari: http://www.tribunnews.com/ regional/2018/02/11/32- kepala-keluarga-masih-menolak-pembebasan-lahan-pembangunan-bandara-kulon-progo?page=all
  • Agung, B. (2018, Juli 22). Menhub: Penggusuran untuk Bandara Kulon Progo Tak Langar HAM. CNN Indonesia. Diakses dari: https:// www.cnnindonesia.com/ekono mi/20180722202242-92-316126/ menhub-penggusuran-untuk-bandara-kulon-progo-tak-langgar-ham
  • Althusser, L. (1971). Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review.
  • Althusser, L. (2014). On the Reproduction of Capitalism. London: Verso.
  • Aziz, A. (2017, Desember 4). Sistem Konsinyasi Pembebasan Lahan Bandara Yogya Rugikan Masyarakat. Tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/ sistem-konsinyasi-pembebasan-lahan-bandara-yogya-rugikan-masyarakat-cA8E
  • Camara, D. (1971). Spiral of violence. London: Sheed and Ward.13
  • Camara, D. ed., (2005). Spiral Kekerasan. 2nd ed. Yogyakarta: Resist Book, p.v-xiv.
  • Das, K. (2017). The Making of One Belt, One Road and Dilemmas in South Asia. China Report, 53(2), 128.
  • Febriarni, U. (2018, Juli 20). Tolak Penosongan Lahan Bandara Kulon Progo, Seorang Wanita Dipukul. Solopos.com. Diakses dari: http://news.solopos.com/ read/20180720/496/928970/ tolak-pengosongan-lahan-bandara-kulonprogo-seorang-wanita-dipukul
  • Hakim, R. (2018, Februari 25). Bupati Sebut 11 KK Masih Tolak Pembebasan Lahan Bandara Kulon Progo. Kompas.com. Diakses dari: https://nasional.kompas.com/ read/2018/02/25/12371961/ bupati-sebut-11-kk-masih-tolak-pembebasan-lahan-bandara-kulon-progo
  • Hanafi, R. (2018, Maret 20). Proses Konsinyasi Lahan Bandara Kulon Progo Rampung. detiknews. Diakses dari: https:// news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3926900/proses-konsinyasi-lahan-bandara-kulon-progo-rampung
  • Hardiyanto, S. (2018, Maret 22). Puluhan Warga Tolak Putusan Konsinyasi Proyek Bandara NYIA. Jawapos.com. Diakses dari: https://www.jawapos.com/ read/2018/03/22/198221/ puluhan-warga-tolak-putusan-konsinyasi-proyek-bandara-nyia
  • KPA Launching Catatan Akhir Tahun 2017. (n.d). Diakses dari: http:// www.kpa.or.id/news/blog/ kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2017/
  • Lavinda. (2018, Februari 5). AP I Kukuh Kosongkan Lahan Bandara Kulon Progo Maret 2018. CNN Indonesia. Diakses dari: https:// www.cnnindonesia.com/ekono mi/20180205091039-92-273805/ ap-i-kukuh-kosongkan-lahan-bandara-kulon-progo-maret-2018
  • Mantan Penolak Bandara NYIA Terima Ganti Rugi. (2018, Februari 8). Harianmerapi.com. Diakses dari: https://www.harianmerapi.com/ kulonprogo/2018/02/08/7144/ mantan-penolak-bandara-nyia-terima-ganti-rugi
  • Nariswari, S.L. (2017, Maret 3). Bandara Kulonprogo: WTT Tuntut Konsinyasi Dibatalkan. Harianjogja. com. Diakses dari: http:// jogjapolitan.harianjogja.com/ read/2017/03/03/514/798102/ bandara-kulonprogo-wtt-tuntut-konsinyasi-dibatalkan
  • Pembangunan Infrastruktur – Diwujudkan Secara Nyata Tak Sekadar Retorika. (2016, April 29). Diakses dari: http://presidenri.14
  • go.id/program-prioritas-2/pembangunan-infrastruktur-diwujudkan-secara-nyata-tak-sekadar-retorika.html
  • Perjuangan Sumiyo Pertahankan Rumahnya di Lokasi Pembangunan Bandara Berakhir di Garpu Backhoe. (2018, Juli 20). Diakses dari: http://jogja.tribunnews. com/2018/07/20/perjuangan-sumiyo-pertahankan-rumahnya-di-lokasi-pembangunan-bandara-berakhir-di-garpu-backhoe?page=3
  • PT Angkasa Pura I Robohkan Rumah Warga Penolak Proyek NYIA. (2018, Juli 20). Diakses dari: http://jogja.tribunnews. com/2018/07/20/pt-angkasa-pura-i-robohkan-rumah-milik-warga-penolak-proyek-nyia?page=all
  • Putsanra, D. (2017, Desember 5). 12 Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Ditangkap Polisi. tirto.id. Diakses dari: https://tirto. id/12-aktivis-penolak-bandara-kulon-progo-ditangkap-polisi-cBbh
  • Saputri, M. (2018, Januari 10). Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Lapor Insiden Ricuh ke Polda. tirto.id. Diakses dari: https://tirto. id/aktivis-penolak-bandara-kulon-progo-lapor-insiden-ricuh-ke-polda-cC4G
  • Saputri, M. (2018, Januari 23). Pemkab: Konsinyasi Warga Terdampak Bandara Kulon Progo Dipercepat. tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/pemkab-konsinyasi-warga-terdampak-bandara-kulon-progo-dipercepat-cDDJ
  • Sharp, G. (2005). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent Publisher.

 

30 Juni 2018 By Publikasi IIS

Pengalaman Perempuan Dalam Konflik di Nigeria: Pentingkah?

ISSUE 02 | 2019 (ugm.id/IISBriefBokoHaram)

 

Kekerasan berbasis agama kerap ditemukan di Nigeria sejak tahun 1953. Kekerasan ini kian meningkat seiring dengan munculnya kelompok Boko Haram atau Jama’a Ahl as-Sunna Li-da’wa wa-al Jihad, yang berusaha mengimplementasikan hukum Sharia dengan cara-cara kekerasan (Patricio Asfura-Heim, 2015). Dalam upaya melawan kelompok teroris Boko Haram, pemerintah Nigeria terus memperkuat militernya. Sampai titik tertentu, cara ini terbukti berhasil mempersempit ruang gerak hingga melemahkan kelompok teroris Boko Haram (Matfess, 2015). Meskipun demikian, pendekatan yang terlalu militeristik tanpa mengikutsertakan pengalaman masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak, akan membuat perjuangan pemerintah sia-sia. Hal ini tidak lepas dari kepercayaan bahwa mengikutsertakan pengalaman perempuan akan memberikan realitas konflik yang lebih menyeluruh. Mengikutsertakan pengalaman perempuan juga dapat memunculkan strategi alternatif yang penting untuk dipertimbangkan dan diterapkan ketika konflik berlangsung maupun ketika konflik telah berakhir.

Jonathan Evert Rayon

Pusat Studi ASEAN

Fisipol UGM

evertjoevertjo@gmail.com

Daftar Pustaka 

  • Group, I. C. (2016). Nigeria: Women and the Boko Haram Insurgency. International Crisis Group Africa Report, 1-27.
  • Kriel, R. (2017, August 11). Retrieved from CNN: https://edition.cnn. com/2017/08/10/africa/boko-haram-women-children-suicide-bombers/index.html
  • Matfess, H. (2015, December 29). Retrieved from Quartz Africa:https://qz.com/africa/582933/ nigeria-is-winning-the-battle-with-boko-haram-but-it-is-still-losing-the-war/
  • Osborne, S. (2017, February 8). Retrieved from Independent:https://www.independent.co.uk/ news/world/africa/nigerian-woman-boko-haram-amina-paid- 50p-for-suicide-bombing-attack-terrorist-islamist-a7569521.html
  • Patricio Asfura-Heim, a. J. (2015). Diagnosing the Boko Haram Conflict: Grievances, Motivations, and Institutional Resilience in Northeast Nigeria. CNA’s Occasional Paper, 1-67.
  • Stokes, W. (2015). Feminist Security Studies. In S. M. Peter Hough, International Security Studies (pp. 44-56). Oxon: Routledge.
  • Tickner, J. A. (1992). Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security. New York: Columbia University Press.
  • V. Spike Peterson, A. (2010). Global Gender Issues in the New Millennium. Central Avenue: Westview Press.
  • Watch, H. R. (2014). Those Terrible Weeks in Their Camp: Boko Haram Violence against Women and Girls in Northeast Nigeria. Human Rights Watch.
  • Zenn, J. (2014). Boko Haram and the Kidnapping of the Chibok Schoolgirls. CTT Centinel, 1-28.

Prinsip Gender-Mainstreaming dan Keterlibatan Indonesia dalam Operasi Perdamaian PBB

ISSUE 03 | 2019 (http://ugm.id/IISBriefGenderMainstreaming)

 

Pemeliharaan perdamaian selama ini hanya sedikit atau bahkan tidak sama sekali diasosiasikan dengan perempuan. Indonesia sebagai salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB), dan sebagai salah satu kontributor terbesar dalam misi perdamaian PBB sejak 1975, masih tergolong kurang memiliki kesadaran akan adanya gender mainstreaming dalam misi perdamaian. Secara langsung meningkatkan jumlah personil perempuan, memberikan akses yang sama bagi perempuan untuk masuk dalam sektor keamanan, maupun menerapkan kebijakan-kebijakan sadar gender dalam misi perdamaian merupakan cara-cara melakukan agenda gender mainstreaming dalam resolusi konflik dan binadamai yang sedang gencar dilakukan oleh PBB. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana Indonesia dapat menjadi kontributor misi perdamaian PBB yang lebih sadar gender dan menerapkan agenda gender mainstreaming.

Angganararas Indriyosanti, SIP

Institute of International Studies

Angganararas.I@ugm.ac.id

Referensi