Enam Dekade Konferensi Asia-Afrika: Tantangan dalam Menghidupkan Kembali Semangat Bandung

 Issue 03 | April 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/sUd2d4zOSud3aLW#pdfviewer)

Bulan April ini menandakan 62 tahun sejak penyelenggaranaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, sebuah peristiwa di mana 29 negara dari Asia dan Afrika bertemu untuk mempromosikan nilai-nilai anti-kolonialisme dan kerja sama antara kedua benua. Konferensi ini merupakan awal dari pembentukan kerjasama yang lebih mendalam, seperti Gerakan Non-Blok dan G-77. Semangat Bandung atau lebih sering disebut dengan Bandung Spririt, telah mendorong negara-negara KAA untuk melakukan kerjasama berbasis saling menguntungkan dan saling menghormati kedaulatan negara. (Kementerian Luar Negeri, Republik Indonesia, 1955)

Setelah Perang Dingin berakhir, negara-negara KAA terus berupaya untuk mempertahankan Semangat Bandung dengan membangun berbagai kerja sama. Salah satu contohnya adalah pembentukan New Asia-Africa Strategic Partnership (NAASP) yang dipimpin oleh Indonesia dan Afrika Selatan pada tahun 2005. Kerja sama ini dibentuk untuk membangunkan kembali Semangat Bandung yang dinilai “terus menjadi fondasi yang solid, relevan dan efektif dalam membangun hubungan yang lebih baik antara Negara-Negara Asia dan Afrika serta dalam mengatasi permasalahan global yang menjadi perhatian bersama” (Senior Officials Meeting, 2009). NAASP bekerja dalam tiga bidang utama, yaitu politik, ekonomi dan sosial budaya. Kerjasama lain yang menggambarkan upaya negara-negara KAA dalam mempertahankan Semangat Bandung adalah Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebuah unit spesial di bawah United Nations Development Program (UNDP). KSS tidak hanya mendorong kerjasama antara negara-negara Selatan tetapi juga antara negara-negara Selatan dan Utara dalam rangka pembangunan negara Selatan.

Meskipun negara-negara KAA telah membangun berbagai kerjasama tersebut, upaya dalam menghidupkan kembali Semangat Bandung masih menghadapi berbagai tantangan. Setidaknya ada dua tantangan utama yang dihadapi negara-negara tersebut. Pertama, kesulitan dalam membangun kerjasama pembangunan alternatif yang lebih terintegrasi dan transparan. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Upacara Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60, ada kebutuhan yang mendesak bagi negara-negara KAA untuk “membangun sistem ekonomi global yang baru … untuk menghentikan dominasi suatu kelompok negara terhadap negara-negara lain,” (Widodo, 2015). Hal ini penting karena isu pembangunan masih menjadi perhatian utama Negara-Negara KAA dan mereka ingin mengatasi permasalahan tersebut tanpa harus bergantung pada negara pendonor.

Permasalahannya adalah negara-negara KAA belum berhasil dalam membangun pandangan yang sama perihal kerjasama pembangunan alternatif seperti apa yang harus mereka bangun. Salah satu faktor kegagalan ini adalah karena aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangat heterogen, baik dalam hal tingkat ekonomi, sistem politik, maupun prioritas serta kepentingan dalam politik internasional. Sebagai contoh, Jepang merupakan anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sementara Cina merupakan negara yang sering mengkritisi mekanisme OECD. Sulit bagi negara-negara KAA untuk menyetujui mekanisme kerjasama pembangunan alternatif ketika aktor-aktor di dalamnya memiliki pandangan yang cukup kontradiktif.

Seringkali negara-negara KAA juga lebih berfokus pada kerjasama bilateral dibanding multilateral. Tentu saja, kerjasama pembangunan dapat dilakukan melalui mekanisme ini tetapi salah satu permasalahan dalam kerjasama pembangunan bilateral adalah tingkat transparansi yang relatif rendah (Fagan, 2012). Hal ini mempersulit publik untuk mengetahui ukuran serta kesuksesan dari program kerjasama yang dijalankan oleh kedua negara terlibat. Rendahnya transparasi juga dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap program pembangunan negara-negara berkembangyang kemudian dapat digunakan sebagai senjata negara pendonor ‘tradisional’ untuk mengkritisi program tersebut dan memperkuat klaim bahwa program pembangunan miliknya lebih baik.

Selain itu, program pembangunan yang selama  ini diusulkan oleh negara KAA belum memberikan solusi yang cukup berbeda dari program pembangunan yang ditawarkan negara-negara Utara. Program-program tersebut belum sepenuhnya lepas dari institusi pembangunan ‘tradisional’. Salah satu contohnya adalah Contingent Reserve Arrangement (CRA), sebuah kerangka kerjasama yang didirikan oleh Negara-Negara BRICS, yang bertujuan untuk mendukung stabilitas keuangan negara-negara anggotanya. Untuk mendapatkan pinjaman lebih dari 30 persen kuota yang mereka miliki, negara anggota CRA harus terlebih dahulu mendapat structural adjustment loan dari IMF serta memenuhi persyaratannya sebelum bisa mendapatkan pinjaman (Bond, 2016). Hal ini menunjukkan masih adanya ketergantungan program CRA terhadap IMF.

Program ini juga tidak bebas dari kepentingan politik seperti yang mereka klaim. Sebagai contoh, meskipun Presiden Xi mengklaim bantuan pembangunan Cina tidak memiliki ‘keterkaitan politik’, pada kenyataannya, Cina masih menerapkan Kebijakan ‘Satu Cina’ (One-China Policy) sebagai “fondasi politik penting … dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain di dunia.” (Kementerian Luar Negeri PRC, 2016)

Tantangan kedua dalam menghidupkan kembali Semangat Bandung adalah kesulitan negara-negara KAA untuk mengeluarkan satu suara dalam institusi internasional. Hal ini telah lama menjadi salah satu hambatan terbesar bagi negara-negara berkembang terutama karena beberapa negara kekuatan tengah dalam KAA telah menunjukkan persaingan satu sama lain. Sebagai contoh, dalam hal reformasi keanggotaan Dewan Keamanan PBB, India, Afrika Selatan dan Jepang berada pada posisi mendukung. Sebaliknya, Cina secara tidak langsung menunjukkan posisi yang berlawanan terhadap ide ini dengan alasan bahwa reformasi akan mengganggu persatuan dan stabilitas DK PBB. Pada tahun 2011, negara-negara berkembang memiliki kesempatan besar untuk mengisi posisi direktur IMF dengan munculnya kandidat-kandidat dari India, Cina, Meksiko dan Brazil. Akan tetapi, mereka gagal untuk menghasilkan satu suara dalam mengalahkan kandidat dari Amerika, Christine Lagarde. Hal serupa juga terjadi pada pemilihan presiden Bank Dunia pada tahun 2012. Okonjo-Iweala, kandidat kuat dari Nigeria, gagal untuk mendapatkan posisi tersebut karena Cina, India dan Brazil lebih memilih untuk memberikan suara kepada Jim Yong Kim, kandidat dari Amerika.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam banyak kesempatan, Semangat Bandung masih kontradiktif dengan kepentingan nasional negara-negara KAA, dan dapat terlihat bahwa mereka lebih memilih kepentingan nasionalnya dibanding “solidaritas” di antara negara-negara KAA. Terlebih lagi, negara-negara KAA telah melakukan kerjasama pembangunan dengan negara-negara Utara dalam waktu yang sangat lama sehingga perubahan status quo dapat menimbulkan risiko terganggunya kepentingan nasional yang mereka miliki. Ini merupakan tantangan bagi negara-negara KAA untuk mengatur ulang prioritasnya dan menempatkan kerjasama antara mereka di atas kerjasama dengan negara-negara maju.

Semangat Bandung mungkin masih tetap ada dan dinilai relevan hingga saat ini. Akan tetapi, semangat ini perlu dihidupkan kembali dan direalisasikan oleh negara-negara KAA. Kerjasama dan komitmen dari negara-negara tersebut dibutuhkan untuk membuat sebuah perubahan konkret yang tidak hanya direncanakan dalam dokumen, dielu-elukan dalam pidato, atau dituliskan sebagai prinsip yang tidak dipraktikkan secara nyata. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memperkuat NAASP dan memperluas keanggotaannya sehingga program kerjasama tersebut dalam menjadi mekanisme multilateral dari KSS. Untuk mencapai hal tersebut, setiap negara harus menunjukkan keinginan dan upaya riil mereka dalam menjadikan kerjasama tersebut lebih kuat, seperti dengan membentuk institusi internasional yang dapat menjadi media bagi negara-negara KAA untuk mendiskusikan dan menginisiasi kebijakan yang terkait dengan kepentingan mereka. Penting juga bagi negara-negara kekuatan tengah dalam KAA, seperti Cina, India dan Brazil untuk berpartisipasi aktif dalam kerjasama ini supaya mereka dapat menjadi motor penggerak di dalamnya. Selain itu, hubungan dan dukungan dari institusi internasional juga penting karena mereka merupakan platform utama dalam kerjasama internasional. Oleh karena itu, Semangat Bandung juga perlu didorong dalam insitusi-institusi seperti PBB dan WTO sehingga agenda pembangunan di tingkat internasional dapat lebih mengakomodasi kepentingan negara-negara KAA.

Maulida Widya Kawuri

Asisten Peneliti di Institute of International Studies,

Departmen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

maulidawidya@gmail.com

 

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/enam-dekade-konferensi-asia-afrika-tantangan-dalam-menghidupkan-kembali-semangat-bandung/

 

29 Maret 2017 By Publikasi IIS

Islam Moderat Indonesia di Mata Masyarakat Global: Gagalkah?

 Issue 04 | Mei 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/2mDOaD5uTEc3FO6#pdfviewer)

Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dikenal oleh masyarakat internasional sebagai salah satu negara Islam moderat. Menurut Umar (2016), Kementerian Luar Negeri Indonesia selama ini mengampanyekan Islam moderat sebagai bagian dari identitas kebijakan luar negeri Indonesia sehingga citra tersebut terkonstruksi di tatanan global. Namun, perbincangan mengenai goyahnya Islam moderat di Indonesia mulai meluas akhir-akhir ini, terutama setelah peristiwa protes massa di Jakarta pada akhir tahun 2016. Pertanyaan kemudian muncul di kalangan publik internasional: apakah Islam moderat di Indonesia telah jatuh? Artikel ini berisi pemaparan singkat mengenai citra Indonesia di mata masyarakat internasionalterutama media dan negarapasca protes Jakarta. Selain itu, artikel ini juga memuat analisis pendek mengenai langkah-langkah Indonesia untuk menjaga agar identitasnyayang dicitrakan melalui kebijakan luar negeritetap menjadi simbol moderasi Islam global.

Diskursus mengenai moderasi Islam di Indonesia baru mulai dibicarakan secara lebih luas oleh kelompok-kelompok Muslim dalam negeri pasca reformasi 1998 (Bakti, 2005), dan menjadi wacana yang semakin populer setelah insiden Bom Bali pada tahun 2002 (Umar, 2016). Jamhari Makruf (2011) secara singkat mendeskripsikan Islam moderat sebagai sebuah nilai dalam gerakan Islam yang menjunjung demokrasi. Deskripsi ini merujuk pada tulisan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), salah satu pemikir Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia. Gus Dur menyatakan bahwa gerakan Islam moderat idealnya menjamin kemurnian ideologi nasional dan kesatuan konstitusi. Karakteristik gerakan Islam moderat bertumpu pada nilai-nilai kebudayaan dan agama, di mana nilai-nilai tersebut yang akan dikembangkan untuk mendukung pembagunan negara (Wahid, 1985). Nurcholis Madjid menambahkan bahwa Islam moderat juga menjunjung nilai-nilai inklusivisme dan pluralisme (Bakti, 2005). Secara sederhana, Islam moderat dimaknai sebagai aliran Islam yang akomodatif, toleran, nirkekerasan, dan berkembang.

Pada bulan November 2016, perhatian masyarakat internasional tersita oleh gerakan protes massa yang terjadi di Jakarta. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) dan Front Pembela Islam (FPI) memimpin rentetan gerakan protes yang dikenal dengan sebutan Aksi Bela Islam. Kedua organisasi tersebut dikenal konservatif dan radikal. Keduanya memiliki reputasi sebagai kelompok yang intoleran terhadap komunitas non-Muslim dan cenderung menggunakan kekerasan untuk merespons aksi-aksi yang dianggap amoral oleh keduanya (Burhani, 2016). Serial aksi tersebut dilakukan sebagai protes atas pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan gubernur Jakarta, yang dianggap melakukan penistaan agama setelah mengutip salah satu ayat Al-Qur’an dalam sebuah pidato singkatnya. Aksi Bela Islam hanyalah titik kulminasi dari fenomena kebangkitan kelompok-kelompok ekstremis di Indonesia pasca reformasi (Varagur, 2017).

Peristiwa ini juga menjadi sorotan media internasional, lalu menjadi momentum untuk mengangkat kembali perdebatan mengenai moderasi Islam di Indonesia. Varagur, dalam artikelnya untuk Foreign Policy, menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini dikenal sebagai representasi Islam Indonesia yang pluralistik telah kolaps di kandang sendiri. Burhani (2016) menambahkan bahwa NU masih menjadi rujukan utama publik Muslim Indonesia dalam hal penyediaan jasa umum, seperti pendidikan dan kesehatan, tetapi tidak dalam aspek keagamaan. Citra Islam Indonesia yang identik dengan tradisi pluralistik dan toleran sedang mengalami tantangan. Putusan pengadilan mengenai kasus Ahok bisa jadi membuktikan keteguhan moderasi Islam, tetapi dapat juga menandai jatuhnya Islam moderat di Indonesia (Varagur, 2017). US News menyebutkan secara gamblang bahwa kasus Ahok dan protes skala besar terhadapnya merupakan ancaman yang serius bagi reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai kiblat Islam moderat dunia (Emont, 2017). The Guardian dan The Sydney Morning Herald mendeskripsikan fenomena ini sebagai shock sentence atau shock verdict, diikuti dengan opini bahwa Aksi Bela Islam dan protes terhadap Ahok merupakan ujian atas toleransi dan pluralisme di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (BBC Indonesia, 2017).

Meskipun media internasional mulai bersikap skeptis terhadap perkembangan moderasi Islam di Indonesia, kami berpendapat bahwa Aksi Bela Islam tidak akan mengubah citra politik Indonesia di kancah perpolitikan global dalam waktu dekat. Pemerintah Indonesia masih terus berupaya untuk mempertahankan citra Indonesia di dunia dengan tetap memegang teguh nilai-nilai demokrasi liberal, terutama dalam politik luar negeri. Islam dan demokrasi dimaknai sebagai soft power dalam proses konstruksi identitas dan citra baik melalui diplomasi publik (Sukma, 2011). Indonesia selama ini secara aktif melibatkan diri dalam berbagai forum internasional, seperti ASEAN Summit dan Bali Democracy Forum, untuk menjaga citranya. Tahun lalu, Indonesia menjadi tuan rumah International Summit of Moderate Islamic Leaders (Varagur, 2016). Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla, mengangkat wajah baik Islam Indonesia di dua acara berbeda: Joko Widodo menghadiri Arab Islamic American Summit di Riyadh, sedangkan pada waktu yang hampir bersamaan Jusuf Kalla memberikan kuliah umum di Oxford Centre for Islamic Studies di University of Oxford (Suhada, 2017).

Joko Widodo menyatakan, “Islam di Indonesia adalah Islam yang toleran, moderat, dan kami akan terus mengupayakan hal ini: perbedaan kami, dan pluralisme di Indonesia akan terus hidup. Bangsa kami akan selalu bersatu dan negeri ini akan terus berkembang ke arah yang lebih baik.” (Al Jazeera, 2017). Sebagai tambahan, pada kunjungan Mike Pence ke Indonesia yang terakhir, wakil presiden Amerika Serikat tersebut memuji tradisi Islam modern. Ia juga mengungkapkan bahwa tradisi tersebut akan sangat baik apabila menjadi inspirasi bagi negara-negara lain di dunia (Liptak, 2017). Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia berhasil mengampanyekan identitas bangsa sebagai “wajah baik Islam” (Umar, 2016). Upaya ini seharusnya dijaga dan dipertahankan, mengingat Indonesia masih merupakan salah satu pemain utama dalam percaturan politik global.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Aksi Bela Islam telah membuka diskursus mengenai Islam moderat di Indonesia. Meskipun media internasional mulai meragukan moderasi Islam di Indonesia pasca aksi tersebut, namun akan sangat terburu-buru untuk menentukan bahwa Islam moderat di Indonesia telah jatuh. Eksistensi nilai-nilai Islam dalam politik luar negeri Indonesia tidak dapat diabaikandi mana hal tersebut secara tidak langsung merupakan kontribusi yang sangat signifikan dari populasi Muslim domestik yang cukup besar (Perwita, 1999). Arah politik luar negeri Indonesia mencerminkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia masih memercayai nilai-nilai moderat Islam, yang juga diakui oleh negara-negara lain dalam persepsinya terhadap Indonesia. Namun, tetap menjadi catatan bahwa Aksi Bela Islam merupakan peringatan bagi masyarakat Indonesia untuk mulai menjaga citranya sebagai salah satu negara Islam moderat terakhir di dunia.

Oleh: Ajeng Chandra, Dendy Raditya, Novrima Rizki, Obed Kresna, dan Selma Theofany

Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang disusun oleh penulis sebagai hasil dari proyek hibah riset kelompok mahasiswa yang berjudul “Ummatan Wasatan di Negeri Bawah Angin: Islam Moderat di Indonesia Pasca Aksi Bela Islam”. Riset tersebut didanai oleh FISIPOL UGM dan berlangsung sejak Maret hingga November 2017.

 

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/islam-moderat-indonesia-di-mata-masyarakat-global-gagalkah/

 

27 April 2017 By Publikasi IIS

Populisme Sayap Kanan di Negara-Negara Demokratis: Kembalinya Yang-Politis

 Issue 06 | September 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/MazMlUHxQDByFOr#pdfviewer)

Kebangkitan populisme sayap kanan di negara-negara demokratis terasa menggelisahkan bagi pluralis-demokrat. Berbagai elemen pendukung populisme sayap kanan dianggap sebagai kelompok yang tidak normal. Begitu pun di Indonesia, kelompok yang melabeli diri Islamis dianggap sebagai musuh demokrasi. Di sisi lain, kelompok pendukung status quo sebagai pemilik narasi hegemonik selalu berlindung di balik ide bahwa Pancasila, demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan HAM sebagai sesuatu yang sakral, tidak boleh ditentang, baik pada dirinya dan final. Dengan begitu, definisi politik menyempit karena ia dianggap sebagai masalah moralitas dan etika semata. Dimensi politik yang esensialbahwa politik adalah soal pertentangan terus-menerus di antara berbagai kepentingan berbedajustru disisihkan dari perbincangan tentangnya. Populisme sayap kanan yang kini bangkit adalah konsekuensi dari penyempitan makna politik tersebut.

Populisme sayap kanan mulai mendapat perhatian sejak kebangkitan Partai Front Nasional dalam Pemilu Prancis tahun 2002. Raihan suara sebesar 17.8% membuka kesempatan bagi Front Nasional untuk mengajukan kandidat presiden pertama sepanjang sejarah partai, yakni Marie Le Pen (The Guardian, 2002). Pada Pemilu Prancis 2017, partai yang sama meraih 33.9% suara dan kembali mengusung Le Pen sebagai kandidat. Seiring dengan kebangkitan Front Nasional di tahun 2002, partai-partai sayap kanan  di Eropa perlahan berhasil berhadapan dengan partai yang secara tradisional dominan. Partai-partai ini seringkali bangkit dalam konteks pemilu yang penuh dengan sentimen anti-pengungsi, anti-pluralisme, maupun anti-kemapanan.

Negara-negara di Eropa tidaklah sendiri. Populisme sayap kanan juga mendapat momentum di Amerika Serikat (AS)negara yang mengklaim sebagai wajah demokrasidengan terpilihnya Donald Trump yang rasis. Asia juga tidak luput dari bangkitnya populisme sayap-kanan. India, Filipina, Jepang, dan dalam derajat tertentuapabila kita merujuk pada Aksi Bela Islam 411 dan 212Indonesia memiliki pengalaman yang sama beberapa tahun belakangan. Meski masing-masing memiliki konteks yang berbeda, populisme sebagai mode artikulasi aspirasi sosial, politik atau ideologi apapun yang menciptakan polarisasi antara mereka yang melihat dirinya sebagai ‘rakyat’ (people) melawan rezim yang mapan (establishment) tetap nampak dalam kasus-kasus tersebut. Mengapa populisme sayap kanan bangkit dan mendapat dukungan besar saat ini?

Dalam sudut pandang pemikir pasca-strukturalis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, populisme sayap kanan muncul karena wacana yang dominan saat ini menghilangkan dimensi yang-politis dari politik, sehingga tidak ada ruang alternatif bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya selain melalui diskursus sayap kanan yang dianggap paling mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Dimensi politis hilang ketika arena publik dihegemoni oleh berbagai wacana yang seolah diperlakukan sebagai produk konsensus. Konsekuensinya, wacana hegemonik tersebut tidak memperoleh tantangan apapun.

Demokrasi liberal sebagai wacana dominan saat ini tidak memiliki kapasitas untuk memahami karakter dasar politik yang sebagai pertentangan terus-menerus di antara klaim-klaim politik yang berbeda (Mouffe, 1993). Kelompok yang bermacam-macam di dalam suatu komunitas politik memproduksi wacana yang beragam, saling bertentangan, juga konfliktual. Justru pertentangan dan pluralitas inilah yang membuat politik menjadi politis (Mouffe, 2005).

Sejak narasi konfliktual mengenai komunisme dan liberalisme berakhir pada kejatuhan Uni Soviet tahun 1989, neoliberalisme dan globalisasi yang menjadi narasi dominan saat ini membuat pertentangan wacana menjadi kabur. Keduanya menghilangkan nuansa politis banyak isu publik dan membuatnya nampak seperti keharusan moral semata, misalnya HAM, toleransi, dan good and transparent governance. Dalam bahasa populer, politik menjadi ‘business as usual’; entah ia melanggengkan ketimpangan karena kapitalisme, atau mendekati narasi-narasi yang menantang status quo dengan cara yang sangat legalistik.

Dalam politik negara-negara Barat, baik partai sosial-demokrat, partai konservatif, maupun partai liberal sama-sama mendukung kapitalisme dan tidak menghadirkan celah bagi alternatif lain untuk warga. Keadaan sama terjadi pula di beberapa negara Asia seperti Indonesia, India, atau Filipina dengan partai yang tidak memiliki ideologi, keberpihakan maupun kebijakan spesifik. Mereka sekadar menjadi partai catch-all[1]. Masyarakat dituntut untuk melihat kontes politik praktis sekadar sebagai kompetisi moral dan etika. Kemunculan populisme sayap kanan merupakan konsekuensi dari depolitisasi ini. Massa yang selama ini tidak pernah mendapat akses untuk memunculkan narasi politis ke ruang publik kini mendapatkan sebuah payung, dan saat ini, payung tersebut merupakan identitas yang sangat primordial seperti ras, agama, dan etnis (Mouffe, 2005).

Populisme bekerja dengan membentuk narasi yang memisahkan masyarakat menjadi ‘kami’ (us) dan ‘mereka’ (them); popular sovereignty dan establishment; radikal dan demokrat; nasionalis dan moderat. Keduanya saling mengeksklusi satu sama lain. Sebenarnya di dalam kedua narasi ini tetap terdapat keberagaman opini, wacana, dan klaim. Tetapi keberagaman ini dapat menemukan koherensi ketika ada payung yang bisa merepresentasikan klaim dan wacana tersebut (Laclau, 2005; Mouffe, 1993). Gagasan mengenai popular sovereignty muncul karena demokrasi liberal di negara-negara demokratis justru tidak menyisakan kesempatan yang berarti bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam keputusan penting. Padahal legitimasi demokrasi itu secara prinsip berasal dari rakyat. Defisit demokrasi ini menjadi celah bagi kelompok sayap kanan untuk mengklaim diri mewakili rakyat.Dalam banyak fenomena populisme akhir-akhir ini, label yang paling terlihat dalam ‘the people’ adalah fundamentalisme agama dan ras. Kedua hal tersebut menjadi hantu besar bagi demokrasi karena karakternya yang eksklusif. Agama familiar diperlakukan sebagai alat untuk mencapai posisi politik yang menguntungkan bagi beberapa orang. Tetapi bagi banyak orang lain, identitas mereka sebagai pemeluk agama A, B, C yang sakral sudah cukup untuk mewakili perlawanan atas keadaan sosial-ekonomi mereka terhadap status quo.

Salah satu contoh kasus adalah Bharatiya Janata Party (BJP) di India yang mengusung Narendra Modi sebagai Perdana Menteri. BJP merupakan partai yang berideologikan Hindutva dengan visi membuat India sepenuhnya milik komunitas Hindu. Modi mendapatkan kedudukannya saat ini karena kooperasi lintaskasta di India yang merasa tertekan dengan berkembangnya penguasa dan kelas menengah Muslim. Sebelumnya, India di era Manmohan Singh mempertahankan sekularisme untuk mencegah perpecahan masyarakat dan memfokuskan negara pada pembangunan dan liberalisasi ekonomi yang cepat. Meski mampu mengantar India tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, namun pembangunan dan proyek ekonomi di era Singh cenderung mengabaikan konstituen besar Hindu (40%) yang sedang bangkit, yaitu kelompok other backward caste (OBC) yang berasal dari kasta ksatria dan waisya. OBC sendiri tidak pernah menerima aksi afirmatif. Kelompok ini berusaha mempertahankan posisinya di tengah persaingan urban dengan kelompok Muslim yang kelas menengahnya pun sedang berkembang. Modi hadir dengan basis sosial dari OBC yang disebutnya sebagai ‘neo-middle class’memberikan tanda bahwa kelompok ini menentukan proyek ekonomi Modi (Sridharan & Varshney, 2001). Dalam kasus ini, BJP yang secara tradisional berideologi Hindutva menyediakan kendaraan bagi kelompok lintaskasta yang tertekan untuk menyuarakan aspirasinya. Sekularisme yang selama ini dianggap konsensus pun dipertanyakan dalam keadaan demikian.

Begitu pula yang terjadi di AS dan Eropa. Privilese ekonomi kelas menengah kulit putih terancam hilang karena mereka harus bersaing dengan imigran dari ras lain seperti orang kulit hitam dan Muslim. Ketiadaan jaminan sosial di AS, ekonomi yang sedang lesu di Eropa dan AS, serta penguasa yang tidak berpihak pada kelas pekerja kulit putih turut memengaruhi pilihan mereka untuk mendukung gerakan sayap-kanan maupun para pemimpin berideologi nasionalis ekstrim karena pemimpin ini mengartikulasikannya dalam kampanye mereka (The Guardian, 2016). Alih-alih, elit moderat menyatakan afirmasi bagi LGBT, perubahan iklim, dan memberi kuota bagi pengungsihal-hal yang bagi kelas pekerja kulit putih tidak mewakili kepentingan mereka.

Gambaran serupa dapat disaksikan di negeri kita sendiri. Kelompok Islam politik semakin kuat karena mereka memiliki narasi yang menghadapkan Islam pada sebuah keadaan yang merugikan dan memarjinalkan kelompok Muslim. Aksi 411 dan 212 yang memprotes Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mendapat dukungan dari banyak kaum Muslim Jakarta yang ruang hidupnya dan opininya dihilangkan oleh penguasa demi kepentingan kelas menengah. Penggusuran rumah tanpa komunikasi yang baik demi sebuah lahan bermain kelas menengah, kondisi kerja yang tidak ramah bagi kaum miskin kota, ruang publik yang terus dieliminasi digantikan pusat perbelanjaan yang menawarkan ruang publik semu, lingkungan hidup yang dicemari oleh reklamasi, pabrik-pabrik besar, juga proyek betonisasi di Jakarta memicu kekecewaan terhadap Ahok atau elit politik yang berkuasa.

Betapapun intensnya kampanye mengenai Pancasila, persatuan, dan toleransi, tetap saja tidak dapat menautkan visi mereka dengan penderitaan kaum miskin urban. Kelompok Islam radikal-lah yang dapat memayungi penderitaan tersebut; mereka yang memiliki sebuah konsepsi berbeda mengenai seperti apa seharusnya toleransi, demokrasi, atau Pancasilakonsepsi yang selama ini dianggap terberi, tidak terelak, tidak tertandingi. Populisme sayap kanan karenanya merupakan disrupsi terhadap politik sebagai business as usual serta mengeskpos natur politik yang selalu dipenuhi pertentangan.

Kebangkitan populisme sayap kanan sebagai konsekuensi dari depolitisasi tidak membuat demokrasi kehilangan relevansinya. Selama arena politik tidak ditutup, maka kontestasi di antara berbagai narasi merupakan tanda bahwa demokrasi itu masih ada. Pada akhirnya populisme sayap kanan pun lebih banyak mengikuti prosedur demokrasi yang berlaku dalam menyampaikan aspirasi politiknya, meskipun aksi kekerasan masih terjadi, seperti aksi supremasis kulit putih yang menewaskan seorang warga di Charloteville, pemboikotan acara keagamaan, maupun aksi vigilantisme.

Setiap pemain dalam arena politik memiliki segala kesempatan untuk dapat berpartisipasi dan menciptakan narasi hegemonik. Mereka yang mengklaim dirinya liberal atau moderat perlu mempertimbangkan untuk bersikap terbuka tidak hanya pada keberagaman primordial, tetapi juga keberagaman narasi dan ide yang hadir dalam ruang publik, serta melihat konteks yang lebih besar di balik teriakan-teriakan yang terdengar rasis, xenophobik, atau supremasis. Dengan memahami ide yang berseberangan, maka kelompok moderat sebenarnya mempertahankan dimensi pluralisme demokrasi serta mengevaluasi cara mereka merepresentasikan suara masyarakat.

Naomi Resti Anditya

Asisten Riset Institute of International Studies,

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

naonugroho@gmail.com

Catatan Kaki

[1] Partai ‘catch-all’ adalah istilah untuk partai politik yang tidak memiliki ideologi spesifik. Partai ini berupaya untuk menarik suara dari orang-orang dengan pandangan yang beragam dalam jumlah besar.

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies. 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/issue06-2017/

 

21 September 2017 By Publikasi IIS

Kasus “Ahok vs Kelompok Islam Radikal” dalam Kaca Mata Demokrasi Agonis

Issue 07 | November 2017

Indonesia menjadi pusat perhatian dunia selama proses kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Februari 2017 lalu. Pemilihan tersebut disebut sebagai yang terkotor, mempolarisasi, dan paling memecahbelah (The Jakarta Post 2017). Di mana pasangan Anies-Sandi berhasil mengalahkan pasangan petahana Ahok-Djarot. Kemenangan Anies-Sandi, yang didukung oleh partai Islam sayap kanan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan ormas Front Pembela Islam (FPI)  dilihat sebagai pertanda bahwa sikap moderat dan pluralis di Indonesia telah dikalahkan oleh kelompok islam radikal. Harian New York Times melansir bahwa Indonesia, yang dikenal mampu menjaga toleransi dan pluralisme antarkelompok agama, sedang mengalami kemunduran (The New York Times 2017).

Strategi kampanye Anies-Sandi yang bernada religius dan menjurus ke propaganda nampaknya diamini oleh kelompok akar-rumput. Hal ini merupakan pertanda lain bahwa pluralisme mulai luruh (Tempo.co 2017). Ketegangan selama masa kampanye lebih terasa dibandingkan dengan empat periode Pemilihan Presiden lalu. Hal tersebut disebabkan oleh begitu banyaknya agenda politik dan strategi politisasi identitas dan agama yang digunakan. Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang menuntut Ahok dipenjara atas tuduhan penghinaan agama  dilihat sebagai upaya politisasi agama untuk memenangkan Anies Baswedan. Ketika pada akhirnya Ahok dinyatakan bersalah dan divonis dua tahun penjara, perhatian mengenai masa depan demokrasi Indonesia tambah dipertanyakan. Amnesti Internasional menyatakan vonis atas Ahok menodai reputasi Indonesia sebagai bangsa yang toleran (Tempo.co 2017).

Sebagai respon atas situasi politik yang kian memanas, Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial. Jokowi menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah melenceng terlalu jauh. Karena itu paham politik ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila bisa muncul dan diartikulasikan. Menurut Jokowi, penegakan hukum merupakan kunci untuk menghentikan demokrasi ini untuk melenceng terlalu jauh (Ihsanuddin 2017).

Pernyataan tersebut kemudian memunculkan banyak pertanyaan. Apakah demokrasi di Indonesia memang telah melenceng terlalu jauh? Apabila demikian, demokrasi seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai demokrasi yang ideal?

Demokrasi bersifat cair dan dinamis. Demokrasi tidak statis dan tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah produk yang kaku. Meski kontestasi, konflik, dan konfrontasi terjadi antar kelompok, bukan berarti demokrasi di Indonesia sudah melenceng jauh. Demokrasi menyediakan ruang untuk berbagai macam ideologi, ide, moralitas, dan juga identitas. Sehingga ruang perbedaan ini harus dicari jalan tengahnya dan dibangun melalui kontestasi politik.

Dari pernyataan Presiden Jokowi di atas, kita bisa melihat bahwa presiden nampaknya menganut paham demokrasi deliberatif. Di mana keputusan-keputusan konsensual, identitas kolektif, dan universalitas merupakan kunci atas terciptanya demokrasi yang ideal. Persatuan juga dianggap sebagai kebaikan bersama sehingga ketika terjadi hubungan konfliktual seperti yang terjadi antara Ahok dan kelompok Islam radikal, hal tersebut dinilai sebagai gangguan atas terciptanya demokrasi yang ideal. Paham Jokowi terhadap demokrasi yang ideal tercermin melalui kebijakannya mencekal Hizbut Tahrir Indonesia atas dasar menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (al-Jazeera 2017). Berangkat dari fakta tersebut, penulis menawarkan perspektif baru untuk melihat kasus Ahok versus kelompok Islam radikal, yaitu melalui konsep Demokrasi Agonis oleh Chantal Mouffe.

Chantal Mouffe mengkritik keras ide Habermas tentang demokrasi deliberatif dengan menawarkan konsep Demokrasi Agonis atau Pluralisme Agonis. Mouffe juga mengkritik bagaimana Habermas begitu mengagung-agungkan konsensus dalam idenya. Demokrasi deliberatif mungkin saat ini menjadi konsep yang paling populer diuganakan untuk menganalisis demokrasi di dunia, tetapi Mouffe sendiri percaya bahwa demokrasi deliberatif merupakan konsep yang  belum matang dan kontraproduktif, mempertimbangkan kedekatannya dengan liberalisme (C. Mouffe 2000).

Dalam konsep Pluralisme Agonis, kunci dari harmoni bukan konsensus ataupun kesatuan, melainkan transformasi relasi sosial dan relasi kuasa yang antagonis ke relasi yang agonis (Harvey 2012). Mengeliminasi kelompok tertentu bukanlah sebuah opsi dan memupuk keberagaman dianggap lebih penting. Sebab dalam bentuk yang paling mendasar, perbedaan dan keberagaman bersifat alami, begitu juga dengan narasi “kita versus mereka”. Hal yang membedakan antara relasi agonis dan relasi antagonis adalah bagaimana kita memposisikan “kami” dan “mereka” dalam narasi “kita versus mereka” (Harvey 2012). Dalam relasi antagonis, imaji musuh akan dibuat untuk menyerang “mereka” sehingga konfrontasi akan cenderung berakhir pada eksklusi dan koersi. Sementara itu dalam relasi yang agonis, “mereka” akan dilihat sebagai lawan. Kehadiran “mereka” berdampingan dengan “kita”. “Mereka” akan selalu menjadi berbeda. Akan tetapi, perbedaan yang “mereka” miliki tidak membuat “kita” menentangnya. “Kita” akan tetap menghargai perbedaan tersebut, hidup berdampingan, dan bahkan bekerja sama dengan “mereka” (C. Mouffe 2009).

Indonesia merupakan rumah bagi pluralisme, di mana perbedaan dan keberagaman ada sejak lama. Narasi “kita versus mereka” memang tidak dapat dihindarkan. Kita juga bisa melihatnya dalam kasus Ahok versus kelompok Islam radikal yang terjadi selama Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemarin. Kelompok Islam radikal sebagai mayoritas memposisikan diri mereka sebagai “kita”. Sementara itu, Ahok diposisikan sebagai “mereka”. Melihat relasi antara kedua pihak tersebut, kita bisa mengatakan bahwa keduanya bekerja sebagai lawan dalam relasi yang agonis. Kedua pihak memang memperebutkan suatu hal yang sama, yakni kemenangan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Namun, mereka tetap berjalan di bawah sebuah koridor yang disebut Mouffe sebagai shared symbolic spaceShared symbolic space adalah ruang mengekspresikan perbedaan pendapat dan ketidaksetujuan antar warga negara (Harvey 2012). Dalam kasus ini, shared symbolic space yang dimaksud adalah dinamika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, terutama pada masa kampanye. Hal tersebut adalah ruang yang digunakan oleh kedua belah pihak untuk mengartikulasikan suara mereka masing-masing.

Kedua pasangan calon telah melalui masa kampanye secara fair. Aksi Bela Islam 411, yang diliput berbagai media internasional, juga legal menurut UUD 1945 ayat 28, dan UU no. 9 tahun 1998. Tidak ada hukum yang dilanggar oleh kedua belah pihak. Aksi demonstrasi tersebut juga berlangsung tanpa kekerasan. Para demonstran bahkan menggelar shalat Jum’at berjamaah di Masjid Istiqlal dan Monas yang juga diikuti oleh Presiden Jokowi dan Calon Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (Rahadian 2017). Sementara itu, pendukung Ahok melakukan metode kampanye yang berbeda. Beberapa musisi legendaris seperti Slank, Tompi, Sandhy Sandoro, Once dan lainnya menggelar konser bertajuk “Konser Gue Dua” untuk menyampaikan dukungan kepada Ahok dan Djarot (Choiri 2017).

Dari kampanye tersebut, terlihat bahwa para kandidat Gubernur DKI Jakarta mengusung proses kampanye yang nir-kekerasan. Meskipun kedua kelompok membawa gagasan yang berbeda dalam kampanye. Kelompok Anies Baswedan, terdiri atas mayoritas kelompok Islam radikal, menekankan bahwa memilih pemimpin Non-Muslim dilarang dalam Islam. Sangat jelas terlihat bahwa propaganda tersebut ditujukan supaya pemilih Muslim tidak mendukung Ahok yang notabene adalah seorang Non-Muslim. Biarpun begitu, kelompok pendukung Ahok merespons dengan menggaungkan pluralisme, membawa prestasi-prestasi Ahok-Djarot sebagai pasangan inkumben, serta “Jakarta untuk Semua”, sebagai strategi kampanye mereka untuk menarik pemilih.

Pada akhirnya, kedua kelompok berhasil membuktikan bahwa walaupun mereka membawa prinsip yang bertentangan, kampanye tetap bisa dihelat secara damai dan fair. Kedua kelompok bekerja sebagai lawan dalam konteks adversary dengan cara fokus pada pesan yang masing-masing ingin sampaikan kepada para pemilih. Ketika media asing melihat kemenangan Anies Baswedan sebagai pertanda bahwa demokrasi dan pluralisme di Indonesia mengalami kemunduran, penulis percaya bahwa demokrasi di Indonesia, pada kenyataannya, sangat sehat dan produktif. Apabila kita melihat dari kaca mata Demokrasi Agonistik oleh Mouffe, yang menitikberatkan pada pemupukan keberagaman melalui relasi agonis dalam narasi “kita versus mereka”.

Mengingat bahwa keberagaman telah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat di Indonesia, penulis percaya bahwa Jokowi seharusnya melihat kasus Ahok versus kelompok Islam radikal melalui kacamata demokrasi agonis dan bukan lagi menggunakan demokrasi deliberatif. Apabila kita melihat melalui kaca mata demokrasi deliberatif, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemarin akan mengesankan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Karena dalam konsep tersebut, kelompok-kelompok yang bebeda dalam masyarakat diharapkan mampu untuk mengubur dalam-dalam ego dan ide yang mereka miliki. Kemudian membawa ide-ide moral universal yang sekiranya bisa diterima semua kalangan ke permukaan.  Dengan begitu, konsensus seolah-olah telah tercapai. Walaupun yang sebenarnya terjadi adalah pengorbanan ide-ide yang berbeda demi ide yang menurut pihak tertentu, dapat diterima secara universal. Padahal, kontestasi ide, apabila mampu dipelihara dengan tepat dapat memberikan dinamika konstruktif kepada demokrasi. Pencekalan Hizbut Tahrir Indonesia, contohnya, hanyalah usaha untuk menciptakan konsensus semu. Karena seperti kasus kontestasi Ahok dan kelompok Islam radikal di belakang Anies Baswedan, Presiden Jokowi melihat bahwa konsensus dan kesatuan sebagai elemen demokrasi mulai terkikis.

Pada akhirnya, penulis percaya bahwa sudah saatnya Presiden Jokowi mengubah arah poitiknya dalam mengelola demokrasi di Indonesia. Pekerjaan rumah pemerintah saat ini bukan untuk mencari cara bagaimana menyeragamkan masyarakat atau menyatukan berbagai macam ide, moral, dan identitas. Mengeksklusi kelompok tertentu dalam rangka memperbaiki konsensus kolektif yang dipaksakan tidak akan memperbaiki apapun. Inilah saatnya memupuk keberagaman dan perbedaan, sehingga relasi agonis yang terjalin antar kelompok mampu terpelihara dengan baik, dan tidak berubah menjadi relasi yang antagonis.

Zahrina Faudia Azziza

Mahasiswa S1 Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Gadjah Mada

zahrinafaudia@ymail.com

 

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/kasus-ahok-vs-kelompok-islam-radikal-dalam-kaca-mata-demokrasi-agonis/

30 September 2017 By Publikasi IIS

Dapatkah Kerja Sama Selatan-Selatan dalam Agenda Perubahan Iklim Menjembatani Kesenjangan Utara-Selatan di Rezim Iklim Global?

 Issue 01 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/gX3RSfhPZcMDoVD#pdfviewer)

Dalam rezim iklim global, utamanya Konvensi Kerangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), beragam isu terkait ketimpangan antara negara-negara Utara dan Selatan menjadikan proses negosiasi iklim semakin kompleks. Kompleksitas tersebut didasari oleh beberapa persoalan: (1) negara mana yang paling bertanggung jawab atas perubahan iklim global; (2) negara mana yang paling menderita atas dampak perubahan iklim; dan (3) negara mana yang kemungkinan besar akan menanggung biaya lebih besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim (Roberts dan Parks, 2007). Negara-negara Selatan menghadapi ketidakadilan di tengah berbagai gerakan iklim global yang diambil oleh UNFCCC. Kendati demikian, negara-negara Selatan berupaya untuk mengatasi ketidakadilan tersebut, salah satunya melalui Kerja Sama Selatan-Selatan dalam Perubahan Iklim atau South-South Cooperation on Climate Change (SSCCC). Di tengah berbagai inisiatif iklim global, menjadi penting untuk mengeksplorasi bagaimana kesenjangan antara Utara dan Selatan termanifestasikan dalam UNFCCC dan sejauh mana SSCCC berusaha menjembatani ketimpangan tersebut.

Negosiasi Iklim: Bentuk Ketimpangan yang Lain?

Negosiasi iklim tidak lepas dari perdebatan terkait kesenjangan Utara-Selatan, termasuk masalah tentang ketimpangan dan upaya redistribusi tanggung jawab menyelamatkan iklim (Parikh, 1994; Parks dan Roberts, 2008; Rosales, 2008; Doyle dan Chaturvedi, 2010). Negosiasi iklim internasional terletak dalam konteks ketimpangan relasi ekonomi-politik antara Utara-Selatan. Aturan-aturan yang diciptakan di dalam perjanjian iklim bilateral dan/atau multilateral mencegah negara-negara berkembang untuk mengimplementasikan strategi-strategi industrialisasi dan pembangunan yang dulunya diadopsi oleh negara-negara maju ketika masih berada pada tahap berkembang. Alhasil, negara-negara Selatansebagai negara yang perkembangannya relatif lebih “lamban”khawatir bahwa komitmen untuk mereduksi emisi gas rumah kaca akan membatasi kapasitasnya dalam mengembangangkan perekonomiannya.

Ketidakadilan tersebut diindikasikan oleh kesulitan Selatan untuk memajukan kepentingannya di dalam kebijakan terkait iklim dan pembangunan berkelanjutan, contohnya dalam proyek Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) di bawah UNFCCC. Bagi beberapa negara berkembang, REDD+ merupakan aksi iklim yang problematik karena mekanismenya memungkinkan praktik-praktik komodifikasi terhadap hutan, perampasan hak masyarakat adat, dan pembatasan terhadap aktor-aktor di tingkat nasional maupun masyarakat akar rumput untuk terlibat dalam menentukan metode manajemen hutan. Bolivia adalah salah satu contoh empiris yang menentang REDD+ dikarenakan serangkaian problematika tersebut, sehingga Bolivia menawarkan mekanisme alternatifnya sendiri yang disebut sebagai “Joint Mitigation and Adaptation Mechanism for the Comprehensive and Sustainable Management of Forest and the Mother Earth” (Lang, 2012). Negara-negara Selatan cenderung memiliki posisi tawar yang tidak strategis di dalam proses pembuatan keputusan, padahal keputusan tersebut juga akan membawa dampak tertentu baginya. Perjanjian Paris misalnya, banyak dikritik karena mekanismenya cenderung lemah dalam mempromosikan peran negara-negara Selatan ataupun menyediakan perlindungan kepada negara-negara Selatan selaku pihak yang paling rentan ketika menghadapi dampak perubahan iklim (Harvey, 2015; Lyster, 2017).

Menjembatani Kesenjangan Utara-Selatan

Tahun 2015 silam, diadakan Forum Tingkat Tinggi SSCCC pada Konferensi para Pihak ke-22 (COP-22) UNFCCC di Marakesh. SSCCC adalah kolaborasi antara negara-negara Selatan untuk memajukan peran, kapasitas, dan kesiapannya dalam proses pemerintahan iklim global. SSCCC berupaya untuk memperluas kemitraan antara negara-negara Selatan dan mendampingi negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan Nationally Determined Contributions, yakni serangkaian komitmen nasional untuk melakukan aksi iklim yang ditetapkan pada Perjanjian Paris (United Nations, 2016). SSCCC dinilai sebagai kerangka kemitraan yang melibatkan inisiatif negara-negara berkekuatan ekonomi baru (emerging economies) untuk mempromosikan dan menyokong gerakan iklim global di antara negara-negara Selatan. Forum ini berupaya memaknai ulang dan mengimplementasikan langkah-langkah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, resiliensi iklim, dan praktik-praktik rendah karbon. SSCCC berfungsi sebagai sarana menciptakan dan membagi pengetahuan, mentransfer teknologi energi terbarukan, dan menyediakan akses terhadap data iklim.

Terdapat beberapa praktik yang mengilustrasikan SSCCC. Setelah Taifun Haiyan memorak-porandakan Filipina, Indonesia mendukung upaya pemulihannya (United Nations Development Programme, 2017). Contoh sukses lainnya yaitu proyek mitigasi iklim di kota-kota yang dilaksanakan bersama-sama oleh Indonesia, India dan Afrika Selatan sejak 2011 hingga 2013. Meksipun didanai oleh Britania Raya dan Norwegia serta diinisiasi oleh ICLEI (sebuah asosiasi non-profit global), proyek ini melibatkan kerja sama yang intens antara kota-kota di ketiga negara tersebut. Kota Coimbatore di India berperan sebagai kota percontohan yang menyediakan bimbingan dan pendampingan untuk dua kota lainnya, yaitu Ekurhuleni di Afrika Selatan dan Yogyakarta di Indonesia (ICLEI, 2013).

Terlepas dari upaya-upaya yang telah ditempuh oleh SSCCC, tidak dipungkiri bahwa SSCCC belum melampaui ketimpangan dari rezim iklim global yang ada. Cenderung sukar untuk membuktikan bahwa SSCCC berniat mentransformasi tatanan internasional secara radikal dikarenakan dua pertimbangan utama. Pertama, SSCCC tidak menciptakan tatanan alternatifnya sendiri dan/atau kerangka aksi iklim yang independen di luar UNFCCC. Kedua, SSCCC cenderung sekadar melengkapi kolaborasi yang sudah ada dengan negara-negara Utara untuk memungkinkan negara-negara Selatan memenuhi potensinya di dalam gerakan iklim global.

Husna Yuni Wulansari

Asisten Peneliti,

Institute of International Studies

husnayuniw@gmail.com

 

Referensi

Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/dapatkah-kerja-sama-selatan-selatan-dalam-agenda-perubahan-iklim-menjembatani-kesenjangan-utara-selatan-di-rezim-iklim-global/

 

29 November 2017 By Publikasi IIS 

Revenge Porn: Bahaya Hiperealitas dan Kekerasan Siber Berbasis Gender

 Issue 02 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/NhOLMQs8gxA95gY#pdfviewer)

“Sebuah tontonan bukanlah sekumpulan gambar, melainkan relasi sosial antarmanusia yang dimediasi oleh gambar.”  Debord G., 1967, The Society of the Spectacle

Meski karya Debord ditulis sebelum era internet, analisisnya justru semakin relevan dalam masyarakat hiper-media di mana hiperealitas telah menggantikan realitas (Baudrillard, 1981). Kita dapat menyaksikan fenomena ketika konten porno disebarkan di jejaring sosial. Pengguna internet begitu antusias beropini, mengadili, mengutuk, menghujat serta mempermalukan mereka yang terpampang di foto, lalu melabelinya sebagai pelacur, kemudian kembali menjelajah lini masa untuk menghibur diri sendiri. Internet adalah sebuah ruang tontonan dan komunitas di dalamnya selalu meminta imaji-imaji baru. Hal itu menyebabkan mereka lupa bahwa ada orang yang hidup di balik layar itu  dengan perasaan, keluarga, pekerjaan, dan realitasnya sendiri. Inilah yang menjadikan revenge porn selalu memiliki konteks yang melekat.

Revenge porn adalah konten seksual milik pribadi yang disebarkan ke internet tanpa persetujuan. Menurut survei Cyberbullying Research Center (Hinduja, 2015), sekitar 61% dari 1.606 responden pernah memotret atau membuat video telanjang dan membagikannya ke media sosial. Sejumlah 23% atau satu dari lima responden pernah menjadi korban revenge porn. Survei tersebut dilakukan di Amerika Serikat (AS), di mana fenomena revenge porn marak ditemukan dan dilaporkan. Menurut Studi Pornografi Non-konsensual yang dilakukan oleh Cyber Civil Rights Initiative, lebih dari 10 juta warga AS terdampak oleh revenge porn setiap tahun. Angka ini hanya mewakili mereka yang berani angkat bicara. Riset yang sama juga menunjukkan bahwa perempuan di bawah usia 30 tahun, anggota kelompok minoritas, dan komunitas LGBTQ lebih rentan menjadi korban dibandingkan laki-laki.

Jumlah tersebut hanya merepresentasikan puncak dari gunung es. Pun, jumlah tersebut sudah cukup untuk menjadi pertanda bahayaTidak ada jaminan bahwa revenge porn tidak terjadi di negara lain, entah dalam skala kecil ataupun besar. Meski selama ini terdapat pemahaman bahwa revenge porndilakukan oleh seorang lelaki untuk mempermalukan mantan kekasihnya, penting pula untuk menunjukkan bahwa tidak semua tindakan pelaku didorong motif balas dendam. Beberapa individu memiliki motif ekonomi, sedangkan yang lain termotivasi oleh ketenaran atau hiburan (Franks, 2015). Inilah yang kemudian mengubah revenge porn menjadi peluang bisnis. Di tahun 2008, sebuah situs web yang didedikasikan bagi revenge pornography muncul. Kini, revenge pornography terdapat dalam 3.000 situs web dan jumlahnya semakin sulit untuk dilacak (Kamal and Newman, 2016). Ini menunjukkan bahwa revenge porn terjadi karena pelecehan siber berorientasi pada gender, serta bagaimana konsep hiperealitas (Baudrillard, 1981) dapat berakibat fatal dalam internet.

Ketika mempermalukan (slut-shaming) dan menyalahkan korban (victim blaming) berjalan beriringan 

Konsekuensi hukum dari tindak revenge porn hanya berlaku di beberapa negara seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Lebanon, dan Inggris. Di sebagian besar negara, hukum seolah membisu terhadap pelanggaran privasi dan hak kepemilikan gambar, yang dapat dinilai sebagai sebuah bentuk baru pelecehan seksual. Sebuah masyarakat di mana pelaku revenge porn tidak dapat diadili, akibat minimnya kekuatan ataupun tindakan hukum, adalah masyarakat yang secara aktif mendorong pemerkosaan. Masyarakat inilah yang ada di bagian bawah model Pyramid of Rape Culture. Setiap tingkatan dalam piramid menjelaskan kultur pelecehan yang saling berhubungan, sehingga penting untuk mengeliminasi tindak pelecehan dari tingkat terbawah terus menuju bagian atas.

Selama ini, perdebatan publik soal revenge porn lebih banyak terjadi dalam konteks menyalahkan korban (victim-blaming) dan mempermalukannya (slut-shaming). Menurut Oxford Dictionary, slut-shaming adalah sebuah kontrol sosial yang “menstigma (perempuan) karena berperilaku ‘liar’ dan sensual”. Victim-blaming adalah perilaku menyalahkan korban dengan menganggap bahwa apa yang terjadi padanya diakibatkan oleh tindakannya sendiri. Kedua sikap tersebut merupakan bagian dari kekerasan patriarkal. Menurut Cyber Civil Rights Initiative, kebanyakan korban revenge porn adalah perempuan. Mereka dipaksa untuk berfoto atau membuat video. Dalam kasus lain, perempuan tidak mengetahui bahwa mereka direkam dengan kamera tersembunyi. Konten tersebut lalu disebarkan menggunakan komputer dan alamat surel yang diretas. Bagaimanapun cara konten tersebut diproduksi, entah dengan persetujuan bersama, dicuri, maupun diambil diam-diam  penyebaran konten privat tetap tidak dapat diterima. Perempuan memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan dapat melakukan apapun dengannya tanpa harus dihakimi atau dihina. Mempermalukan korban hanyalah satu ekspresi dari kultur yang melecehkan, di mana perempuan terus menerus diatur serta secara konstan didikte bagaimana harus bersikap. Kasus revenge porn menjelaskan bahwa tubuh perempuan bersifat politis. Seksualitas perempuan bersifat kontroversial dan internet menjadikan respons seksis semakin lantang.

Pada titik ini, slut-shaming dipahami sebagai generalized sliding from having into appearing, from which all actual ‘having’ must draw its immediate prestige and its ultimate function” (Debord, 1967). Cara kita menampillkan diri membentuk pemaknaan mengenai siapa diri kita di mata para penonton. Reputasi yang kita miliki menjadi bagian dari identitas kita di ruang publik. Maka, ketika seorang perempuan dipermalukan dan dianggap kasar, manja, atau murahan, mereka akan kehilangan nilai sosialnya dan dilabeli sebagai ‘pelacur’. Identitas yang dikenal di masyarakat dibentuk dengan reputasi. Di era digital, penampilan non-material didasarkan oleh profil media sosial. Orang-orang berlomba untuk menjadi populer dan terlihat bahagia. Internet adalah ruang virtual baru yang mempengaruhi realitas. Konten di internet seolah milik publik sebagaimana informasi individu dimiliki oleh perusahaan. Maka dari itu, tak banyak hal privat tersisa di internet. Di titik inilah revenge porn dapat merusak reputasi seseorang di internet dan di kehidupan nyata. Internet sebagai sebuah platform global memuat banyak tampilan, ruang virtual publik yang kejam di mana setiap penggunanya berperan dalam sebuah permainan sosial.

Hiperealitas dan pelecehan di jejaring sosial

Konsekuensi dari slut-shaming dan victim-blaming, yang sudah cukup berat untuk dihadapi di dunia nyata, semakin bertambah berat karena keberadaan internet dan media sosial. Dengan kehadiran teknologi digital dan media, realitas semakin dekat dengan hiperealitas  konsep yang ditulis oleh Baudrillard di buku Simulacra and Simulation. Hiperealitas adalah kondisi di mana persepsi terhadap realitas dan realitas itu sendiri dipengaruhi serta dibentuk oleh media. Baudillard menyebutnya sebagai “kematian yang nyata” karena realitas digantikan oleh imaji-imaji yang disediakan oleh media. Oleh karenanya, realitas terdiri dari “simulasi” atau representasi media atas kenyataan dalam bentuk reality show di TV, profil media sosial dan permainan video, yang menjadi semakin penting dengan adanya internet.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah pengguna internet meningkat dari 400 juta di tahun 2000 menjadi 3,2 milyar di tahun 2015 atau lebih dari setengah populasi dunia. Media menyebarkan simulasi realitas dalam banyak bentuk, mulai dari gawai hingga iklan di supermarket. Kita semakin terekspos hingga menghabiskan lebih banyak waktu di dalam hiperealitas daripada realitas itu sendiri. Pada titik inilah simulasi mengubah realitas menjadi simulacra seperti yang dikatakan Baudrillard sebagai “kematian yang nyata”. Hal tersebut terjadi ketika simulasi menjadi kian nyata daripada apa yang ia representasikan. Inilah alasan mengapa revenge porn dapat merugikan seseorang. Korban diserang  dalam realitas hidup dan simulasi hidupnya. Siber-realitas, pada konteks ini, masuk dalam realitas seiring dengan menguatnya pengaruh internet dan media sosial dalam kehidupan kita.

Kita semua memang terhubung ke internet  mengunggah konten setiap hari, chatting, dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Artikel ini tidak berupaya mengusulkan penghapusan internet dan media sosial, tetapi bertujuan menyoroti penyalahgunaan internet sebagai media guna melecehkan, mempermalukan, dan menghancurkan hidup seseorang dengan menjadikannya bahan tontonan di hadapan ribuan orang. Di internet, orang melakukan dan mengatakan hal yang mungkin tak akan dilakukannya di dunia nyata. Paradoks muncul ketika media sosial yang memberi kita kesempatan untuk menyamarkan realitas hidup kita sebagai simulasi dengan membangun citra versi baik dari diri kita, rupanya pada saat yang sama, juga memberi ruang bagi hasrat yang selama ini kita kontrol dalam realitas, misalnya hasrat untuk menghina dan mempermalukan orang. Terlebih, internet menawarkan anonimitas pada mereka yang melakukan penghinaan dan mereka yang menjadi penonton. Fitur tersebut menjadikan pelaku pelecehan dan penghinaan menganggap mereka memiliki kuasa dalam melakukan apapun guna menghancurkan kehidupan orang lain, hanya karena tidak ada orang yang mengetahui identitasnya. Anonimitas memberikan perasaan tak terlihat dan tak tersentuh  dan karenanya, perasaan kebal hukum.

Kematian realitas untuk korban revenge porn menciptakan kebingungan dalam mendefinisikan apa yang nyata dan tidak. Eksposur yang intens dan sangat intim ini berpengaruh besar pada kesehatan mental korban. Sebagian besar korban paranoid, contohnya, seorang Youtuber bernama Chrissy Chamber yang menjadi korban revenge porn mantan kekasihnya. Setelah videonya tersebar, Chrissy dihina dan direndahkan oleh fansnya sendiri dan itu mempengaruhi kesehatan mentalnya. Konsekuensi mental akibat pelecehan seksual di dunia maya bersifat nyata dan dampaknya bisa bertahan seumur hidup (Kamal and Newman, 2016). Skenario terburuk menyebutkan bahwa pelecehan di internet mendorong kasus bunuh diri, salah satunya oleh Amanda Todd. Pada tahun 2012, Amanda Todd mengunggah video yang menjelaskan alasannya bunuh diri yaitu karena perundungan dan persekusi di dunia maya.

Kita dibesarkan di sebuah masyarakat patriarkal yang terkadang mendiskriminasi gender tertentu, tetapi itu bukanlah alasan untuk terus melakukan pelecehan dan kekerasan pada perempuan, termasuk di internet. Apakah kamu akan menyebut lelaki tanpa baju “pelacur”? Mungkin tidak. Terlepas dari gendermu, tidak ada yang memiliki hak dan legitimasi untuk menyalahkanmu atas apa yang dirimu lakukan dengan tubuhmu sendiri. Jika kamu menjadi target revenge porn, ada banyak cara untuk menghapus gambar yang sudah tersebar. Organisasi anti-revenge porn, seperti Cyber Civil Rights Initiative, merekomendasikan Takedown, DMCA Defender, atau Copybite sebagai perusahaan terpercaya yang dapat membantumu menghapus konten tersebut. Kamu juga dapat meminta bantuan dari saudara. Jika kamu tahu orang lain yang juga menjadi target revenge porn, cobalah menjadi teman dan tawarkan bantuan. Jangan hakimi mereka karena mereka telah dikhianati oleh ruang publik virtual berskala global. Sebagai bagian dari penonton di ruang virtual, kamu selalu memiliki pilihan tidak menjadi bagian dalam pelecehan siber.

Abid Fatem-Zahra

Mahasiswa pertukaran

dari Institut d’Etudes Politiques de Lyon

abid.fatem@hotmail.fr

 

Referensi

Baudrillard, J. (1981).  Simulacra and Simulation. Michigan: University of Michigan Press.

Hinduja, S. (2015). Revenge Porn Research, Laws, and Help for Victims. Cyberbullying Research Center.Diakses dari https://cyberbullying.org/revenge-porn-research-laws-help-victims

Debord, G. (1967). The Society of the Spectacle. Paris: Buchet-Chastel.

Franks, M. A. (2015). Drafting an Effective ‘Revenge Porn’ Law: A Guide for Legislators. Social Science Research Network. Diakses dari https://ssrn.com/abstract=2468823

Habermas, J. (1962). The Structural Transformation of the Public SphereAn Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Massachusetts: The MIT Press.

Kamal, M. & Newman, W. J. (2016). Revenge pornography: Mental health implications and related legislation. Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, 44(3), 359.

Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/revenge-porn-bahaya-hiperealitas-dan-kekerasan-siber-berbasis-gender/

31 Januari 2018 By Publikasi IIS

Identitas Nasional: Penggunaan Politik Identitas dalam Gelombang Pengungsi 2015 di Hungaria

 Issue 03 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/uZRcLR2J2QrtJqV#pdfviewer)

Politik identitas semakin menguat di Eropa, terutama sejak pada tahun 2015 gelombang pengungsi dan pencari suaka menuju Eropa guna mencari perlindungan dari negara asal yang hancur akibat perang. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), lebih dari 590.000 pengungsi tiba di Eropa melalui jalur laut pada tahun 2015, serta hampir sebanyak 630.000 klaim suaka telah diajukan di negara-negara anggota Uni Eropa (Metcalfe-Hough, 2015).

Hungaria, sebagai salah satu negara penerima pertama, menolak kedatangan pengungsi akibat adanya berbagai kewajiban yang diatur melalui Peraturan Dublin. Peraturan ini mewajibkan pengungsi untuk dicatatkan di negara Uni Eropa yang pertama disinggahi, yang kemudian dibebankan tanggung jawab untuk mengurus pengungsi tersebut. Kewajiban ini memicu penggunaan politik identitas sebagai siasat pemerintah Hungaria guna menolak pengungsi dan ‘agenda Eropa Barat’ dalam aturan Uni Eropa. Situasi ini memunculkan polemik tentang bagaimana seharusnya pengungsi ditangani. Dalam kasus pencari suaka dan pengungsi, politik identitas sering kali menjadi narasi pemerintah untuk memobilisasi rasa takut dan kecemasan pada ‘Liyan’.

Artikel ini akan menjelaskan bagaimana pemerintah Hungaria menanamkan rasa takut dengan membangun narasi tertentu mengenai identitas imigran. Sangat menarik untuk memahami bagaimana identitas dipersepsikan dan dikonstruksikan dalam kasus ini. Apakah ‘Liyan’ betul-betul mengancam identitas ‘Kami’ di Hungaria? Artikel ini juga akan menjelaskan bagaimana krisis pengungsi memengaruhi dinamika politik di Hungaria.

Ketakutan pada ‘Liyan’: Krisis Pengungsi dan Retorika Anti-Imigrasi di Hungaria

Dalam memahami retorika anti-imigrasi yang digunakan pemerintah Hungaria, penting untuk melihat konsep ‘Kami’ dan ‘Liyan’ yang saling berkait. Karena melalui konsep inilah pemerintah Hungaria menggalang dukungan bagi kebijakannya. Retorika pemerintah Hungaria sangat lekat dengan pandangan primordialisme yakni bahwa identitas adalah sesuatu yang terberi dan alamiah (Geertz, 1973, pp. 259-60). Pandangan ini memahami konflik sebagai akibat dari satu kelompok beridentitas serupa yang melindungi dirinya dari ‘Liyan’. Pada kasus ini, ‘Liyan’ dianggap mengancam kehidupan ‘Kami’ sehingga konflik tidak dapat terhindarkan. Dalam kasus Hungaria, retorika yang seringkali digunakan adalah bahwa pengungsi menginvasi dan mengancam identitas Eropa.

Cara pandang tersebut membentuk kebijakan anti-imigrasi di Hungaria yang diwujudkan dalam tiga hal. Pertama, pembangunan sejumlah papan reklame berbahasa Hungaria dengan kata-kata provokatif yang merujuk pada pengungsi.[1] Kedua, penutupan perbatasan Hungaria. Ketiga, penyelenggaraan program konsultasi nasional di mana pemerintah menyelenggarakan survei opini warga Hungaria terhadap pengungsi. Survei tersebut dikirim bersama dengan surat dari Perdana Menteri Viktor Orban. Di dalam suratnya, PM Viktor Orban melabeli pencari suaka sebagai ‘migran ekonomi’ dan menyatakan bahwa ‘migran ekonomi melewati perbatasan secara ilegal dan menyamar menjadi pengungsi untuk mencari santunan sosial dan pekerjaan’ (Juhász et al., 2015, p. 25). Di samping itu, beberapa aksi teror yang terjadi setelah arus pengungsi tahun 2015 juga dimanfaatkan pemerintah Hungaria guna menggambarkan pengungsi sebagai teroris yang mengancam Hungaria dan warganya (Kallius et al., 2016, p. 27; Lane, 2016).

Program konsultasi nasional dikritik oleh banyak pihak sebagai upaya penetrasi agenda pemerintah Hungaria kepada warganya (Juhász et al., 2015, p. 25; Kingsley, 2015). Meski demikian, upaya tersebut dianggap sukses jika merujuk pada survei Eurobarometer. Hasil survei pada September 2015 menunjukkan bahwa jumlah responden yang menganggap imigrasi sebagai sebuah ancaman meningkat hingga 65%. Jauh meningkat dibandingkan dengan hasil survei pada Mei 2015, di mana hanya 13 persen populasi menganggap imigrasi sebagai masalah di Hungaria (Juhász et al., 2015, p. 17). Hal ini membuktikan bahwa ketakutan pada imigrasi selama krisis pengungsi telah meningkat dalam kurun waktu kurang dari empat bulan dan retorika anti-imigrasi telah sukses memengaruhi pikiran warganya.

Apakah Pengungsi Mengancam Identitas Nasional Hungaria? 

Identitas telah digunakan guna membentuk rasa takut dan sentimen warga Hungaria pada pengungsi (Prandana, 2016, p. 38). Pemerintah Hungaria menggunakan identitas pengungsi untuk kembali mendapat dukungan dan atensi, setelah sempat kehilangan dukungan akibat perubahan iklim politik. Pemerintah Hungaria bersikukuh bahwa menerima pengungsi akan membahayakan identitas nasional Hungaria (Nolan, 2015; Bodissey, 2016). Akan tetapi, bagaimana kita dapat mendefinisikan identitas nasional Hungaria? Prandana (2016) menyatakan bahwa identitas nasional Hungaria tidak memiliki deksripsi jelas akibat kompleksitasnya. Menjadi seorang Hungaria dapat diartikan bahwa ia berbicara bahasa Hungaria dan merasa nyaman menggunakannya, menghargai rasa hormat dan keterbukaan, mengidentifikasi diri sebagai orang Hungaria beserta segala stereotipnya, atau percaya pada Kristen (Prandana, 2016, pp. 35-36). Terlepas dari banyak interpretasi tentang identitas nasional Hungaria, tidak ada cara untuk menggolongkan seseorang ‘sepenuhnya’ beridentitas nasional Hungaria. Hungaria telah meredefinisi identitas nasionalnya berulang kali, sejak imigrasi pertama melalui Cekungan Karpathia, pada masa Kerajaan Austro-Hungaria dan Ottoman, serta pada saat era Komunis. Menurut sejarah, Hungaria memiliki beragam identitas nasional selama eksistensinya sebagai negara berdaulat.

Label pengungsi sebagai ‘migran ekonomi’ sengaja dipilih oleh pemerintah untuk menutupi kenyataan bahwa mereka lari dari perang. Ini adalah salah satu gagasan utama dalam propaganda pemerintah guna  menyebarkan ketakutan pada masyarakat Hungaria yang mana ketersediaan pekerjaan adalah salah satu masalah utama. Papademetriou (2012) menjelaskan bahwa imigran sering dipandang sebagai beban finansial bagi negara penerima, menyumbang angka pengangguran, penyebab depresiasi upah, dan menyusahkan negara kesejahteraan (welfare state).

Perubahan budaya dan nilai juga menjadi kegelisahan utama masyarakat Hungaria. Dengan menerima pengungsi, mereka takut masa depan Eropa berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Sebagai penganut Kristen yang kuat, masyarakat Hungaria khawatir akan ide Islamisasi di Eropa. Ketakutan pada perubahan budaya dan nilai juga sesuai dengan kenyataan bahwa masyarakat Hungaria, terutama mereka yang hidup di pedesaan, minim pengalaman hidup berdampingan dan berinteraksi dengan masyarakat yang heterogen (Prandana, 2016, p. 42).

Di sisi lain, isu keamanan menjadi perhatian utama masyarakat Eropa bersamaan dengan munculnya arus pengungsi (Prandana, 2016, p. 43). Serangan bom di Bandara Brussels di Belgia dan Charlie Hebdo adalah dua dari banyak serangan yang digunakan pemerintah Hungaria untuk mengaitkan terorisme dengan pengungsi. Dalam beberapa kasus, teroris memang memanfaatkan arus pengungsi untuk memobilisasi anggotanya melewati perbatasan Eropa. Namun, mengeneralisasi pengungsi sebagai teroris adalah sikap yang abai pada penderitaan mereka dan fakta bahwa mereka menuju Eropa untuk lari dari teroris.

Hungaria menerima aplikasi suaka terbanyak jika dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa lainnya. Tetapi fakta ini kontras dengan tingkat penerimaan pengungsi yang justru relatif sangat rendah. Hanya ada sekitar 500 aplikasi yang diterima pada tahun 2015. Arus imigran di Eropa dikhawatirkan berpotensi menghilangkan dukungan politis dan kedaulatan dalam jangka panjang. Koalisi partai yang berkuasa di Hungaria selama ini mendulang popularitas dengan mengakomodasi kebijakan dan ide-ide konservatif. Pertumbuhan populasi imigran akan memengaruhi dinamika politik dan mengubah opini ke arah yang lebih liberal dengan kecenderungan untuk berpihak pada partai sayap-kiri (Prandana, 2016, p. 44). Artinya, perbedaan identitas pengungsi dengan masyarakat Hungaria dapat memengaruhi partai politik utama kehilangan dukungannya di masa depan.

Berbicara mengenai kehilangan kedaulatan, ada dua isu utama bagi pemerintah Hungaria. Pertama, kehilangan kontrol atas siapa yang diperbolehkan dan dengan metode apa ia dapat diperkenankan datang ke Hungaria. Arus pengungsi ke Eropa, baik ilegal maupun legal, telah mengoyak kepercayaan diri pemerintah Hungaria atas kontrol terhadap perbatasannya sendiri. Hal ini berhubungan dengan isu kedua, yaitu relasi antara Hungaria dengan Uni Eropa. Melalui sistem kuota, Uni Eropa mengatur bahwa pengungsi didistribusikan sesuai dengan kapabilitas ekonomi setiap anggota (Rothwell & Foster, 2016). Aturan ini dilihat semata sebagai produk negara-negara Eropa Barat yang mendegradasi kedaulatan Hungaria (Rothwell & Foster, 2016; Prandana, 2016, p. 44). Hungaria didukung negara-negara Visegrad: Polandia, Slovakia, Republik Ceko; dalam menolak aturan penerimaan pengungsi Uni Eropa. Negara-negara tersebut juga cukup vokal dalam menolak sistem kuota.

Pemerintah Hungaria telah mampu mengakumulasi rasa takut dan cemas terhadap ‘Liyan’. Penggunaan politik identitas guna menyebarluaskan kepentingan sangat kentara dilakukan oleh pemerintah Hungaria dalam berbagai aspek, mulai dari aspek budaya, politik, keamanan, hingga ekonomi. Di Eropa, Gelombang Pengungsi 2015 turut memicu tumbuhnya populisme. Konsistensinya dalam menolak penerimaan pengungsi telah menampilkan Hungaria sebagai salah satu aktor berpengaruh bagi suara sayap-kanan di kawasan.

[1]     Terdapat tiga jenis pesan yang disampaikan di papan reklame: (1) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda harus menghormati budaya kami.’ (2) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda harus menghormati hukum kami.’ (3) ‘Jika anda datang ke Hungaria, anda tidak boleh mengambil pekerjaan kami.’ Pesan-pesan ini hanya ditulis dalam Bahasa Hungaria.

Aldoreza Prandana, M.Sc.

Koordinator Kerjasama Internasional,

International Undergraduate Program,

Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM

aldorezaprandana@gmail.com 

 

References

Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/identitas-nasional-penggunaan-politik-identitas-dalam-gelombang-pengungsi-2015-di-hungaria/

 

20 April 2018 By Publikasi IIS

Dimensi Spiral Kekerasan di Kulon Progo

ISSUE 01 | 2019 (ugm.id/IISBriefKulonProgo)

 

Sepanjang tahun 2017, tercatat setidaknya 659 konflik agraria terjadi di Indonesia (Suryowati, 2017). Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah tersebut melibatkan lahan seluas 520.491,87 hektar dan mengalami peningkatan sebanyak 50 persen dari tahun 2016. Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah terjadi 1.351 konflik agraria (Suryowati, 2017). KPA menilai bahwa pemerintah belum memiliki kehendak politik yang kuat untuk melaksanakan reforma agraria.

Reforma agraria bukan perkara mudah. Apalagi, program kerja pemerintah Presiden Joko Widodo yang berlandaskan Nawacita mensyaratkan serangkaian program pembangunan sarana dan prasarana fisik, yang lantas memunculkan kebutuhan pengadaan akses dan bangunan publik sebagai modal. Pada poin keenam Nawacita, pemerintah Joko Widodo berambisi “meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya” (Widodo & Kalla, 2014). Melansir tulisan dari laman daring resmi Presiden, “…berbagai pembangunan infrastruktur bertujuan untuk mendongkrak daya saing. Jalan tol, jalan kereta api, pelabuhan laut, (dan) pelabuhan udara jelas akan mempercepat perpindahan barang dan jasa….Artinya, daya saing produk barang dan jasa kita akan meningkat dibandingkan dengan negara lain” (Pembangunan Infrastruktur, 2016). Meski berpotensi menjamin daya saing Indonesia di lingkup internasional, poin keenam Nawacita justru berakhir pada 94 konflik agraria perihal infrastruktur di tahun 2017 (Suryowati, 2017). Alih lahan yang marak terjadi selama pemerintahan Joko Widodo disinyalir merupakan bagian dari upaya pengadaan sarana dan prasarana Indonesia untuk bersaing di pasar internasional. Salah satu contoh konflik agraria yang terjadi beberapa waktu lalu adalah konflik yang terkait pembangunan New Yogyakarta International Airport di Temon, Kulon Progo, Yogyakarta. Pemerintah yang berupaya melaksanakan percepatan pembangunan bandar udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) dinilai telah melakukan kekerasan pada warga Kulon Progo. Pasalnya, Proyek Strategis Nasional tersebut akan dibangun di atas lahan yang secara legal dimiliki warga. Melalui instrument perundang-undangan serta kebijakan beberapa institusi negara, pemerintah mendesak pembebasan lahan melalui konsinyasi sepihak. Represi yang dilakukan pemerintah guna memastikan

kelancaran konsinyasi sepihak tidak hanya merupakan suatu bentuk kekerasan, tetapi juga menjadi penyulut spiral kekerasan di Kulon Progo. Meskipun dilaksanakan demi “kepentingan umum”, mengapa

pembangunan di Kulon Progo dapat memicu spiral kekerasan? Dengan meminjam pemikiran Louis Althusser dan Dom Helder Camara, tulisan ini bertujuan untuk membuktikan

bahwa pembangunan NYIA telah menciptakan spiral kekerasan di tengah perlawanan nirkekerasan oleh warga karena keberadaan Ideological State Apparatuses (ISA) dan Repressive State Apparatuses (RSA).

Wahyuwidi Cinthya

Asisten Peneliti Damai Pangkal Damai: Aksi Nirkekerasan di Indonesia Pasca-Reformasi

IIS UGM

Wahyuwidi.cinthya@gmail.com

Referensi 

  • 32 Kepala Keluarga masih Menolak Pembebasan Lahan Pembangunan Bandara Kulon Progo. (2018, Februari 1). Diakses dari: http://www.tribunnews.com/ regional/2018/02/11/32- kepala-keluarga-masih-menolak-pembebasan-lahan-pembangunan-bandara-kulon-progo?page=all
  • Agung, B. (2018, Juli 22). Menhub: Penggusuran untuk Bandara Kulon Progo Tak Langar HAM. CNN Indonesia. Diakses dari: https:// www.cnnindonesia.com/ekono mi/20180722202242-92-316126/ menhub-penggusuran-untuk-bandara-kulon-progo-tak-langgar-ham
  • Althusser, L. (1971). Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review.
  • Althusser, L. (2014). On the Reproduction of Capitalism. London: Verso.
  • Aziz, A. (2017, Desember 4). Sistem Konsinyasi Pembebasan Lahan Bandara Yogya Rugikan Masyarakat. Tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/ sistem-konsinyasi-pembebasan-lahan-bandara-yogya-rugikan-masyarakat-cA8E
  • Camara, D. (1971). Spiral of violence. London: Sheed and Ward.13
  • Camara, D. ed., (2005). Spiral Kekerasan. 2nd ed. Yogyakarta: Resist Book, p.v-xiv.
  • Das, K. (2017). The Making of One Belt, One Road and Dilemmas in South Asia. China Report, 53(2), 128.
  • Febriarni, U. (2018, Juli 20). Tolak Penosongan Lahan Bandara Kulon Progo, Seorang Wanita Dipukul. Solopos.com. Diakses dari: http://news.solopos.com/ read/20180720/496/928970/ tolak-pengosongan-lahan-bandara-kulonprogo-seorang-wanita-dipukul
  • Hakim, R. (2018, Februari 25). Bupati Sebut 11 KK Masih Tolak Pembebasan Lahan Bandara Kulon Progo. Kompas.com. Diakses dari: https://nasional.kompas.com/ read/2018/02/25/12371961/ bupati-sebut-11-kk-masih-tolak-pembebasan-lahan-bandara-kulon-progo
  • Hanafi, R. (2018, Maret 20). Proses Konsinyasi Lahan Bandara Kulon Progo Rampung. detiknews. Diakses dari: https:// news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3926900/proses-konsinyasi-lahan-bandara-kulon-progo-rampung
  • Hardiyanto, S. (2018, Maret 22). Puluhan Warga Tolak Putusan Konsinyasi Proyek Bandara NYIA. Jawapos.com. Diakses dari: https://www.jawapos.com/ read/2018/03/22/198221/ puluhan-warga-tolak-putusan-konsinyasi-proyek-bandara-nyia
  • KPA Launching Catatan Akhir Tahun 2017. (n.d). Diakses dari: http:// www.kpa.or.id/news/blog/ kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2017/
  • Lavinda. (2018, Februari 5). AP I Kukuh Kosongkan Lahan Bandara Kulon Progo Maret 2018. CNN Indonesia. Diakses dari: https:// www.cnnindonesia.com/ekono mi/20180205091039-92-273805/ ap-i-kukuh-kosongkan-lahan-bandara-kulon-progo-maret-2018
  • Mantan Penolak Bandara NYIA Terima Ganti Rugi. (2018, Februari 8). Harianmerapi.com. Diakses dari: https://www.harianmerapi.com/ kulonprogo/2018/02/08/7144/ mantan-penolak-bandara-nyia-terima-ganti-rugi
  • Nariswari, S.L. (2017, Maret 3). Bandara Kulonprogo: WTT Tuntut Konsinyasi Dibatalkan. Harianjogja. com. Diakses dari: http:// jogjapolitan.harianjogja.com/ read/2017/03/03/514/798102/ bandara-kulonprogo-wtt-tuntut-konsinyasi-dibatalkan
  • Pembangunan Infrastruktur – Diwujudkan Secara Nyata Tak Sekadar Retorika. (2016, April 29). Diakses dari: http://presidenri.14
  • go.id/program-prioritas-2/pembangunan-infrastruktur-diwujudkan-secara-nyata-tak-sekadar-retorika.html
  • Perjuangan Sumiyo Pertahankan Rumahnya di Lokasi Pembangunan Bandara Berakhir di Garpu Backhoe. (2018, Juli 20). Diakses dari: http://jogja.tribunnews. com/2018/07/20/perjuangan-sumiyo-pertahankan-rumahnya-di-lokasi-pembangunan-bandara-berakhir-di-garpu-backhoe?page=3
  • PT Angkasa Pura I Robohkan Rumah Warga Penolak Proyek NYIA. (2018, Juli 20). Diakses dari: http://jogja.tribunnews. com/2018/07/20/pt-angkasa-pura-i-robohkan-rumah-milik-warga-penolak-proyek-nyia?page=all
  • Putsanra, D. (2017, Desember 5). 12 Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Ditangkap Polisi. tirto.id. Diakses dari: https://tirto. id/12-aktivis-penolak-bandara-kulon-progo-ditangkap-polisi-cBbh
  • Saputri, M. (2018, Januari 10). Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Lapor Insiden Ricuh ke Polda. tirto.id. Diakses dari: https://tirto. id/aktivis-penolak-bandara-kulon-progo-lapor-insiden-ricuh-ke-polda-cC4G
  • Saputri, M. (2018, Januari 23). Pemkab: Konsinyasi Warga Terdampak Bandara Kulon Progo Dipercepat. tirto.id. Diakses dari: https://tirto.id/pemkab-konsinyasi-warga-terdampak-bandara-kulon-progo-dipercepat-cDDJ
  • Sharp, G. (2005). The Politics of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent Publisher.

 

30 Juni 2018 By Publikasi IIS

Pengalaman Perempuan Dalam Konflik di Nigeria: Pentingkah?

ISSUE 02 | 2019 (ugm.id/IISBriefBokoHaram)

 

Kekerasan berbasis agama kerap ditemukan di Nigeria sejak tahun 1953. Kekerasan ini kian meningkat seiring dengan munculnya kelompok Boko Haram atau Jama’a Ahl as-Sunna Li-da’wa wa-al Jihad, yang berusaha mengimplementasikan hukum Sharia dengan cara-cara kekerasan (Patricio Asfura-Heim, 2015). Dalam upaya melawan kelompok teroris Boko Haram, pemerintah Nigeria terus memperkuat militernya. Sampai titik tertentu, cara ini terbukti berhasil mempersempit ruang gerak hingga melemahkan kelompok teroris Boko Haram (Matfess, 2015). Meskipun demikian, pendekatan yang terlalu militeristik tanpa mengikutsertakan pengalaman masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak, akan membuat perjuangan pemerintah sia-sia. Hal ini tidak lepas dari kepercayaan bahwa mengikutsertakan pengalaman perempuan akan memberikan realitas konflik yang lebih menyeluruh. Mengikutsertakan pengalaman perempuan juga dapat memunculkan strategi alternatif yang penting untuk dipertimbangkan dan diterapkan ketika konflik berlangsung maupun ketika konflik telah berakhir.

Jonathan Evert Rayon

Pusat Studi ASEAN

Fisipol UGM

evertjoevertjo@gmail.com

Daftar Pustaka 

  • Group, I. C. (2016). Nigeria: Women and the Boko Haram Insurgency. International Crisis Group Africa Report, 1-27.
  • Kriel, R. (2017, August 11). Retrieved from CNN: https://edition.cnn. com/2017/08/10/africa/boko-haram-women-children-suicide-bombers/index.html
  • Matfess, H. (2015, December 29). Retrieved from Quartz Africa:https://qz.com/africa/582933/ nigeria-is-winning-the-battle-with-boko-haram-but-it-is-still-losing-the-war/
  • Osborne, S. (2017, February 8). Retrieved from Independent:https://www.independent.co.uk/ news/world/africa/nigerian-woman-boko-haram-amina-paid- 50p-for-suicide-bombing-attack-terrorist-islamist-a7569521.html
  • Patricio Asfura-Heim, a. J. (2015). Diagnosing the Boko Haram Conflict: Grievances, Motivations, and Institutional Resilience in Northeast Nigeria. CNA’s Occasional Paper, 1-67.
  • Stokes, W. (2015). Feminist Security Studies. In S. M. Peter Hough, International Security Studies (pp. 44-56). Oxon: Routledge.
  • Tickner, J. A. (1992). Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security. New York: Columbia University Press.
  • V. Spike Peterson, A. (2010). Global Gender Issues in the New Millennium. Central Avenue: Westview Press.
  • Watch, H. R. (2014). Those Terrible Weeks in Their Camp: Boko Haram Violence against Women and Girls in Northeast Nigeria. Human Rights Watch.
  • Zenn, J. (2014). Boko Haram and the Kidnapping of the Chibok Schoolgirls. CTT Centinel, 1-28.

Prinsip Gender-Mainstreaming dan Keterlibatan Indonesia dalam Operasi Perdamaian PBB

ISSUE 03 | 2019 (http://ugm.id/IISBriefGenderMainstreaming)

 

Pemeliharaan perdamaian selama ini hanya sedikit atau bahkan tidak sama sekali diasosiasikan dengan perempuan. Indonesia sebagai salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB), dan sebagai salah satu kontributor terbesar dalam misi perdamaian PBB sejak 1975, masih tergolong kurang memiliki kesadaran akan adanya gender mainstreaming dalam misi perdamaian. Secara langsung meningkatkan jumlah personil perempuan, memberikan akses yang sama bagi perempuan untuk masuk dalam sektor keamanan, maupun menerapkan kebijakan-kebijakan sadar gender dalam misi perdamaian merupakan cara-cara melakukan agenda gender mainstreaming dalam resolusi konflik dan binadamai yang sedang gencar dilakukan oleh PBB. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana Indonesia dapat menjadi kontributor misi perdamaian PBB yang lebih sadar gender dan menerapkan agenda gender mainstreaming.

Angganararas Indriyosanti, SIP

Institute of International Studies

Angganararas.I@ugm.ac.id

Referensi