Ratifikasi TPNW dan Urgensinya bagi Indonesia

silakan unduh disini

[IIS BRIEF] Power Competition at the Expense of Human Security: The Urgency to Re-examine State-centric Policymaking

[IIS BRIEF] Salah Langkah Amerika Serikat dalam Memahami Kuba-Amerika Latin: Studi Kasus Summit of the Americas

[IIS BRIEF] Negara – Negara Pasifik Selatan dan Agenda Sekuritisasi Keamanan Lingkungan: Perubahan Paradigma Masyarakat akan Isu Degradasi Lahan

[IIS BRIEF] Jual Beli Senjata dan Amunisi Ilegal di Tengah Insurgensi: Problematika Sirkulasi Senjata Api di Wilayah Konflik Papua, Indonesia

Untuk mengunduh “IIS Brief : Jual Beli Senjata dan Amunisi Ilegal di Tengah Insurgensi: Problematika Sirkulasi Senjata Api di Wilayah Konflik Papua, Indonesia” dapat dilakukan melalui tautan berikut : http://bit.ly/SenjataKonflikPapua

IIS Policy Brief Series Issue 10 : Menguatkan Indonesian AID untuk Diplomasi Pembangunan

IIS Policy Brief Series Issue 09 : Indonesian AID sebagai Instrumen Diplomasi Struktural: Sejumlah Potensi dan Tantangan

Masa Depan Keadilan Global di Era Trump

 Issue 01 | Februari 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/p5d8B4iGTgYyxBc#pdfviewer)

Kemenangan Trump melipatgandakan tantangan keadilan global.

Pertama, meski kebijakan luar negeri AS masih belum jelas arahnya, satu hal yang pasti: keadilan global bukan prioritas Trump. Sehingga kebijakannya yang belum jelas itu berpotensi melemahkan usaha melawan ketidakadilan global yang sebetulnya belum kokoh. Kedua, kemenangan Trump mensinyalkan adanya trend “nasionalisme dangkal” dalam politik global kontemporer. Mulai dari Theresa May di Inggris sampai Marine Le Pen di Perancis memperlihatkan bahwa nasionalisme kadang dalam bentuk ekstrim kembali menjadi daya tarik. Praktik menyekat-nyekat komunitas; mengeksklusikan mereka yang tidak diinginkan; memprioritaskan satu bangsa di atas yang lain; dan merebut kontrol masyarakat dari “intervensi asing” menjadi semakin marak di kancah politik global.

Bagaimana tantangan tersebut mempengaruhi agenda keadilan global? Apa yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan di tengah dunia yang makin terfragmentasi dan tidak stabil? Langkah apa yang dibutuhkan jika kita masih ingin memperjuangkan ide keadilan dan kesetaraan?

Trump memang tidak pernah menyatakan visi yang koheren soal agenda keadilan global. Meski begitu, keputusan politiknya baru-baru ini mengindikasikan bagaimana Amerika Serikat (AS) akan terlibat dalam politik keadilan global. Pertama, meski belum jelas, Trump memperlihatkan intensi untuk mengurangi keterlibatan AS dalam rezim bantuan global. Setidaknya itu dilakukan dengan mengubah kebijakan bantuan luar negerinya secara signifikan. Dengan begitu AS dapat melindungi “kepentingan nasonal”. dan mengalokasikan ulang sumber dayanya yang sedianya untuk negara belum berkembang, kini diprioritaskan untuk mendukung kebutuhan domestik AS (Quinn, 2016).

Kedua, AS juga akan menerapkan hal serupa dalam ranah kerjasama internasional. AS akan menahan diri untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional”. Bahkan tidak segan untuk keluar dari perjanjian yang sudah disepakati, jika dirasa perlu. Sikap tersebut diambil tanpa mempedulikan konsekuensi pada kemajuan keadilan global dan perlindungan pada yang rentan. Selama masa kampanye, Trump tidak hanya berjanji untuk keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP) (Baker, 2017), tapi juga mengancam untuk keluar dari Paris Accord sebuah upaya mitigasi dari efek pemanasan global (The Guardian, 2016).

Ketiga, AS nampak mengikuti nostalgia kemurnian ala populisme sayap kanan. Demi menciptakan identitas “murni”, AS mengadopsi kebijakan yang keras pada “pendatang”. Larangan imigrasi selama 90 hari bagi warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim dengan jelas merefleksikan sikap keras Trump (Calamur, 2017).

Tatanan keadilan global akan terdampak oleh keputusan-keputusan Trump. Manufer Trump juga akan melemahkan usaha menuju keadilan global serta menciptakan ketidakpercayaan antara negara-negara penandatangan perjanjian internasional. Dengan memotong pengeluaran untuk bentuan luar negeri, AS mengakibatkan berbagai inisiatif keadilan global dalam keadaan bahaya akibat minimnya dukungan finansial. Karena sampai saat ini AS adalah donor terbesar dunia, dengan 24 persen dari total bantuan global di tahun 2014 (Quinn, 2016). Sikap AS tersebut tidak menutup kemungkinan untuk diikuti oleh negara-negara lain. Dengan begitu, perjanjian internasional menjadi disfungsional meski sifatnya krusial. Potensi krisis ini tidak hanya menyetel mundur berbagai pencapaian masyarakat internasional. Hal tersebut juga akan memperburuk ketidakadilan global dengan meninggalkan populasi global yang rentan tanpa dukungan dan perlindungan.

Namun, ini bukan dampak paling signifikan dari pemerintahan Trump. Retorika “America First” miliknya yang menjadi basis berbagai keputusannya bisa menjadi contohnasionalisme dangkalyang memperkuat kelompok populisme sayap kanan dalam politik global. Retorika yang sama bisa mendorong masyarakat untuk bersikap keras pada pendatang atau justru melawan Trump.

Akibatnya, makna solidaritas semakin menyempit. Manusia kehilangan kemampuan mereka untuk melihat warga negara lain sebagai sesama. Dengan begitu, membantu mereka yang bukan sebangsa dilihat sebagai hal yang tidak penting. Sementara absennya AS di bawah Trump membahayakan agenda keadilan global yang ada, retorikanya juga akan mengancam pilar solidaritas global.

Lantas, bagaimana masyarakat global harus bereaksi dengan lanskap yang tidak pasti ini?

Meski manufer AS jelas membahayakan usaha-usaha keadilan global. Di sisi lain, ia juga bisa memberi ruang untuk mentransformasi agenda keadilan global. Pertama, aktor-aktor alternatif seperti Kanada, Jerman, atau Cina dapat mengisi peran yang ditinggalkan AS. Lanskap keadilan global bisa berubah dengan adanya aktor-aktor baru yang menawarkan alternatif sumber daya dan kepemimpinan. Kedua, tatanan baru ini juga bisa menawarkkan alternatif platform baru. Kerjasama Selatan-Selatan (KSS), sebagai contoh, dapat dijadikan alternatif kerangka kerja. Dengan menekankan pada pentingnya bantuan yang mutual, tak bersyarat, dan independensi KSS bisa menawarkan metode berbeda untuk asistensi. Apalagi jika dibandingkan dengan usaha kerjasama Utara-Selatan yang banyak dikritik karena perspektif orientalis, relasi kuasa yang asimetris, dan ketidakmampuannya menawarkan lebih dari perlakuan paliatif.

Meski begitu, alternatif tersebut perlu didukung oleh gerakan demokratis. Pada tingkatan masyarakat, gerakan demokratis memperkuat solidaritas dan melawan prasangka. Terlebih, konsolidasi gerakan demokratis bisa menjadi oposisi kuat melawan nasionalisme dangkal. Di sisi lain, gerakan ini juga memberikan insentif bagi elit politik supaya mengikuti nilai-nilai demokratis dibandingkan narasi adu domba. Dengan begitu dinamika komunitas internasional bisa dipengaruhi oleh inistaif-inisiatif di tingkatan lokal.

Di tengah lanskap agenda keadilan global yang berubah, kombinasi antara inisiatif internasional dan masyarakat lokal mampu menawarkan alternatif yang kuat di tengah agenda keadilan global yang tidak stabil. Dengan begitu, diharapkan perlindungan pada yang rentan dan termarginalisasi bisa diwujudkan.

Rizky Alif Alvian

Peneliti di Institute of International Studies

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

rizky.alif.a@mail.ugm.ac.id

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/masa-depan-keadilan-global-di-era-trump/

Sekuritisasi Yang-Umum: Krisis Air dan Masalah Pengelolaan Air di Yogyakarta

 Issue 02 | March 2017 (https://simpan.ugm.ac.id/s/79sF5sXEukHc7VY#pdfviewer)

“Siapa yangbisa hidup tanpaair?”

Pertanyaan tersebut krusial untuk menggarisbawahi peran penting air dalam keberlanjutan hidup. Karena keberadaannya yang nampak berlimpah, air sering kali dianggap remeh. Padahal itu terjadi hanya karena banyak orang belum kesulitan mengaksesnya. Akan tetapi, kenyataannya orang-orang di berbagai daerah di dunia kesulitan mengakses air bersih. Sebanyak 1,8 milyar manusia mengonsumsi air yang terkontaminasi feses dan terancam terpapar penyakit (WHO dan UNICEF, 2014). Air yang terkontaminasi, kondisi sanitasi yang buruk, dan permasalahan kebersihan menyebabkan kematian 842.000 orang di tahun 2012 (WHO, 2014). Sementara itu, 663 juta orang masih kesulitan mengakses air minum berkualitas (WHO dan UNICEF, 2015). Sampai tahun 2050, diperkirakan hampir 70 persen populasi yang hidup di kota dibandingkan sebanyak 54 persen saat ini (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, 2014). Banyak kota di negara berkembang tidak memiliki infrastruktur dan sumber daya memadahi untuk manajemen pengelolaan limbah cair yang efisien dan ramah lingkungan (UN Water, 2017). Kesemua hal tersebut membuat krisis air menjadi agenda global Perserikatan Bangsa-Bangsa (Weiner, 2007).

Krisis Air di Yogyakarta

Sejak tahun 2015, sebanyak 15 kecamatan di Gunung Kidul, enam kecamatan di Bantul, lima kecamatan di Kulon Progo, dua kecamatan di Sleman, dan lima kecamatan di Kota Yogyakarta rawan terkena dampak krisis air (Himawan, 2016). Menurut Badan Lingkungan Hidup, sebanyak 70 persen sumber air di daerah tersebut terkontaminasi E-coli(Putra, 2016; Priambodo, 2016). Terlebih, permukaan air tanah di Yogyakarta mengalami penurunan yang konsisten yaitu sebesar 30 cm per tahun[1], yang menandakan bahwa Yogyakarta sedang mengalami permasalahan air dalam hal kuantitas dan kualitasnya. Hal ini menyebabkan kita semua bertanya: apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengelolan sumber daya air?

UNESCO (2006) dan UNDP (2004) menyatakan bahwa krisis air global tidak hanya disebabkan oleh suplai air yang berkurang, tetapi juga kegagalan pengelolaan air oleh pemerintah. Sebenarnya, suplai air cukup untuk setiap orang, tetapi pengelolaan air belum mampu memastikan distribusi yang berkelanjutan. Menurut Castro (2007), pengelolaan air melibatkan interaksi antar-pemerintah, korporasi, partai politik, organisasi sipil dan organisasi lain yang mewakili kepentingan sektoral, agensi internasional, lembaga swadaya masyarakat dan pihak berwenang lainnya. Aktor-aktor tersebut terlibat untuk memutuskan bagaimana sebaiknya penyediaan air dan jasa yang berkaitan tentang air dikelola oleh pemerintah. Dalam skala lain, pemerintah juga harus menyentuh persoalan politik mikro dan makro (Commission on Growth and Development, 2010) yang pada akhirnya akan membentuk tingkat urgensi isu. Dengan demikian, kita dapat mengamati apakah air dikelola dengan adil atau tidak adil dengan melihat dua aspek: (1) keterlibatan banyak aktor dalam kontestasi politik di belakang penyediaan air, serta (2) bagaimana setiap aktor diuntungkan dengan adanya konstruksi dan bingkai isu krisis air.

Pergeseran manajemen air berbasis negara atau pemerintah ke pengelolaan demokratis yang menekankan pada partisipasi, desentralisasi, jaringan, komunitas, dan cara-cara informal dalam mengelola tantangan (Gupta & Pahl-Wostl, 2013) dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan distribusi air. Pengelolaan air yang demokratis menjadi penting dalam konsepkewargaan air, yang berarti proses diskursif dan praktik institusional terhadap air yang menciptakan persatuan, rasa memiliki, dan loyalitas pada ketersediaan air dan infrastrukturnya dengan distribusi, pengaturan dana menajemen air (Neveu et al. 2011 in Paerregaard et al. 2016). Pemenang Nobel Elinor Ostrom dan Penasihat Bidang Air untuk PBB Maude Barlow, memperkenalkan bagaimana kewargaan air sangat berhubungan dengan pengakuan air sebagai hak asasi dan kepemilikan bersama (Dargantes, Manahan, Moss, & Suresh, 2012). Sebagai barang kepemilikan bersama, air harus dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat. Mereka akan memperlakukan air dengan hati-hati karena mereka merasakan manfaatnya.  Masyarakat juga berperan untuk menentukan pihak mana yang berhak menggunakan air serta bagaimana air digunakan. Dengan begitu, partisipasi politik melampaui pendekatan teknokratik bisa diimplementasikan. Keterlibatan secara suka rela juga bisa dijadikan praktik kewargaan (Masri, 2015) atau usaha ‘mengumumkan’ air. Praktik kewargaan air berarti memastikan peran masyarakat sipil dalam pengelolaan air.

Untuk memastikan peran tersebut berjalan, bingkai diperlukan untuk menjustifikasi aksi politis yang dibutuhkan kewargaan air. Bingkai isu di bawah bidang keamanan atau sekuritisasi, dapat dilihat sebagai strategi advokasi ke depan yang mungkin bermanfaat untuk mengikat isu air dengan kelangsungan hidup manusia; memahami bahwa perlindungan terhadap air dibutuhkan untuk menghindari ancaman eksistensial (Buzan, Wæver, & Wilde, 1998). Sekuritisasi menyediakan justifikasi untuk membuat keputusan yang terukur, mengawasi kebijakan publik, dan alokasi sumber daya lebih dari prosedur politik pada umumnya untuk mengurangi ancaman yang mungkin dan menjadikan isu air prioritas utama. Dengan sekuritisasisi air, kebijakan yang diambil akan beralih dari yang berorientasi politis ke penanggulangan atas ancaman eksistensial. Dengan begitu, sekuritasi memerlukan adanya: (1) aktor yang memutuskan dan menentukan isu-isu terkait sekuritisasi (McDonald, 2008; Weaver 1995 in Abrahamsen 2005) dan (2) audiens tetapan target sebagai standar kesuksesan sekuritisasi (McDonald, 2008). Tantangan yang muncul kemudian adalah bagaimana memastikan agar sekuritisasi mampu mewujudkan pengelolaan air yang demokratis. Sekuritisasi krisis air, di sisi lain, adalah proses yang tak boleh membahayakan sifat komunal air. Melibatkan masyarakat dalam proses melindungi air menjadi hal krusial.

Merefleksikan bagaimana pengelolaan air di Yogyakarta berjalan, ada dua hal penting yang patut dicatat. Pertama, ada keterbatasan usaha dari masyarakat sipil untuk menghubungkan isu air dengan keamanan manusia (human security). Bingkai keamanan dan hak asasi sering digunakan, dianggap perlu tetapi masih belum cukup. Masyarakat harus lebih menekankan pada dimensi ancaman eksistensial dari krisis air yang hanya dapat dilakukan dengan menyebutkan akses air sebagai hal esensial untuk bertahan hidup dan merupakan hak hidup. Bingkai tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk mendapat perhatian negara tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya manajemen air untuk bertahan hidup. Bersamaan dengan usaha memperjuangan keadilan dan hak asai, bingkai krisis air sebagai isu keamanan akan menjadikan masyarakat sebagai objek rujukan. Kedua, ketika krisis air terjadi di bawah kondisi lemahnya pengelolaan, mengidentifikasi sumber krisis sebagai sumber bahaya bisa menjadi aksi sekuritisasi yang krusial. Di Yogyakarta, beberapa isu krusial dapat menjadi sumber bahaya: (1) ketiadaan regulasi dalam melindungi akses air untuk masyarakat dari pihak swasta dan memastikan keberlanjutan inisiatif dari komunitas; (2) kurangnya transparansi dari negara dalam hal pembangunan infrastruktur komersial yang berdampak pada kontestasi penggunaan air; (3) kurangnya kontrol sosial dari komunitas untuk mengantisipasi dominasi pasar dalam pengelolaan air; (4) keterlibatan yang minim dari masyarakat sipil dalam pengaturan dan kebijakan menyangkut air.

Isu-isu yang disebutkan menunjukkan bahwa negara kekurangan kapasitas dan niatan politik dalam memenuhi kewajiban dasar yaitu menyediakan air untuk masyarakat dan menjalankan pengelolaan air yang demokratis. Permasalahan krisis air, sebetulnya, ada karena pemerintah yang abai dan pengelolaan yang kurang demokratis. Kedua hal yang menjadi sebab ancaman eksistensial terhadap kehidupan masyarakat. Karena ancaman yang berasal dari negara, isu sekuritisasi air harus dijadikan solusi luar biasa dari lingkaran aktor non-negara (Hadiwinata, 2004)

Masyarakat Yogyakarta harus berperan aktif sebagai warga negara untuk mengisi celah yang dibuat oleh negara. Mereka harus menggarisbawahi sisi ‘kepentingan umum’ dalam sekuritisasi akses air yang penting untuk keberlanjutan hidup, dan di saat yang sama meminta agar pemerintah mengelola air dengan lebih demokratis dan membuka ruang partisipasi yang lebih untuk pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, sekuritisasi air akan menyebabkan pengelolaan air yang lebih demokratis. Karena masyarakat lebih sadar bahwa sumber ancaman berasal dari sistem pengelolaan negara, sehingga mereka menuntut pengelolaan yang demokratis sambil berpartisipasi menciptakan alternatif manajemen air berbasis komunitas. Pengelolaan demokratis di bawah spektrum keamanan memang adalah sebuah tantangan, meski begitu masyarakat butuh memastikan bahwa air sebagai kepentingan bersama selalu dihormati dalam proses melindungi air.

Tadzkia Nurshafira

Asisten Peneliti di Programme on Humanitarian Action (PoHA)

Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada

tadzkia.nurshafira@mail.ugm.ac.id

 

Catatan Kaki

[1] Pidato Halik Sandera, Koordinator WALHI Yogyakarta dalam pembukaan Stakeholder Forum (Forum Pemangku Kepentingan: Membangun Tata Kelola Air Berkeadilan di Yogyakarta. Perspektif Masyarakat Sipil) diinisiasi oleh Programme on Humanitarian Action Universitas Gadjah Mada, 2 Februari 2017.

Referensi

Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.

 

From <http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/sekuritisasi-yang-umum-krisis-air-dan-masalah-pengelolaan-air-di-yogyakarta/

 

Page 2