Round Table Discussion: Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)

Pada Kamis 5 Maret 2020 lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina mengadakan Round Table Discussion untuk membahas proses Indonesia menuju ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Acara ini mengundang berbagai pihak terkait, mulai dari akademisi, pemerintah, dan militer. Acara ini dibuka oleh Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB, ketua program studi Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, dan Drs. Muhadi Sugiono, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus campaigner International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN).

Eksistensi senjata nuklir sangat erat kaitannya dengan perang dingin, namun meskipun perang dingin telah berakhir senjata nuklir masih ada dan terus berkembang. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk melucuti senjata nuklir, baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral. Namun yang membuat senjata nuklir masih bertahan hingga saat ini adalah mitos yang terus berkembang atasnya, salah satunya adalah mitos bahwa senjata nuklir dianggap memiliki manfaat untuk mendamaikan. Hal ini membuat masyarakat sipil, melalui civil society organization (CSO) merasa perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan ini.

Sejak tahun 2013, muncul perkembangan pandangan yang berbeda tentang senjata nuklir. Senjata nuklir bukanlah senjata, melainkan ancaman kemanusiaan yang jika digunakan bisa mengancam kemanusiaan, baik karena ledakannya, radiasinya, maupun dampaknya terhadap lingkungan. Jika dilihat, dua ancaman eksistensi manusia saat ini adalah perubahan iklim dan senjata nuklir. Senjata nuklir bisa menjadi awal dari perubahan iklim yang semakin parah. Upaya menghapus senjata nuklir tidak dapat dilakukan dengan rezim Non-Proliferation Treaty (NPT) yang ada, karena di NPT ada celah hukum dan tidak ada basis hukum yang menyatakan alasan mengapa negara-negara harus melucuti. Berkaca pada kekurangan dalam NPT, maka mendorong lahirnya Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Dengan berlakunya TPNW, lahirlah kerangka hukum yang membuat nuklir menjadi senjata ilegal, sehingga siapapun yang mengembangkannya dapat dipidana. TPNW telah diadopsi sejak tahun 2017, dengan  122 negara yang mendukung, 1 negara abstain, dan 1 negara menolak. Sejauh ini, telah ada 82 negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Untuk membuat TPNW enter into force, perlu setidaknya 50 negara untuk meratifikasinya, sejauh ini 35 negara telah meratifikasinya. Sebagian besar adalah negara-negara kecil yang terdampak oleh adanya senjata nuklir karena pernah menjadi lokasi uji coba. Dengan diadopsinya TPNW tidak akan memperlemah NPT, malah memberi dampak positif bagi implementasi NPT. TPNW menuntut komitmen yang lebih besar dari state-party terkait program nuklirnya.

International Committee of the Red Cross (ICRC) memandang bahwa senjata nuklir tidak cukup jika hanya dilihat dari aspek hukum. Dari perspektif hukum humaniter, yang menjadi tolak ukurnya adalah pendapat mahkamah internasional tahun 1996. Namun, yang disampaikan oleh mahkamah internasional hanya bersifat advisory opinion, sehingga sifatnya kurang mengikat dan apa yang dituliskan cukup membawa perdebatan yang lebih panjang lagi. Senjata nuklir adalah sesuatu yang mutlak dilarang, karena berdasarkan asas hukum humaniter, banyak sekali prinsip humaniter yang dilanggar. Dalam melihat senjata nuklir, perlu mengingat adanya klausula martens, yakni ketika ada sebuah peraturan atau tindakan peperangan yang belum diatur secara spesifik dalam rezim komunitas internasional, maka senjata atau perilaku tersebut harus diatur berdasarkan prinsip kemanusiaan dan bagaimana publik berkata.

Indonesia memiliki beberapa pilihan terkait isu ini, yaitu melarang, meregulasi, atau membiarkan. Mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang pertama menandatangani TPNW, berarti Indonesia telah terikat secara moral. Yang perlu dibahas adalah bagaimana bentuk ratifikasinya. Perlu ada sinergi dan kerjasama antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri dalam hal ini. Meski demikian, dari sudut pandang militer, senjata nuklir dibutuhkan karena adanya deterrence of power, dimana setiap negara harus mempunyai kekuatan untuk menguasai negara lain dan negara lain akan melakukan hal yang sama. Dalam militer dipercayai bahwa jika suatu negara kuat dan mempunyai senjata, maka negara lain tidak akan melakukan agresi. Karenanya sulit untuk melakukan disarmament.

Kini adalah kesempatan emas untuk meratifikasi TPNW. Karena kelak, ketika generasi milenial memimpin pada tahun 2030, cara pandangnya akan berbeda dan cenderung lebih nasionalistik, asertif, dan agresif. Di masa depan, generasi tersebut tidak akan memikirkan nuklir seperti bom atom, melainkan sebagai low-yield nuclear weapon yang daya ledaknya hanya beberapa kiloton dan dapat digunakan dimana saja. Tren pada pemilu 2029 pun bisa saja sangat berbeda, terkait dengan politik domestik, khilafah, serta elit politik di DPR yang menjadi lebih konservatif, sehingga proses ratifikasi akan lebih sulit. Mengingat di DPR membutuhkan waktu yang lama dari saat penandatanganan hingga ratifikasi. Namun dalam pesannya untuk ICAN, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia, menyadari pentingnya eksistensi traktat ini dan mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses menuju ratifikasi. 

Salah satu kritik yang dilontarkan dalam RTD ini adalah ketiadaan terma ‘senjata’ dalam TPNW. Ketiadaan terma senjata nyatanya merupakan sesuatu yang disengaja untuk mengantisipasi state party agar tidak berupaya menyalahgunakannya. Karena perlu disadari bahwa perkembangan teknologi akan menggeser definisi-definisi yang telah ada, sehingga maknanya sengaja diperluas untuk mengantisipasi perkembangan teknologi kedepannya yang turut melibatkan nuklir. Meski harus diakui bahwa memang membuat definisinya menjadi sangat luas dan kurang jelas. 

Meski demikian, TPNW lahir dari proses yang cukup unik karena semua negara pemilik senjata nuklir sangat takut dan tidak menyukai traktat ini. TPNW murni diinisiasi oleh negara dunia ketiga atau negara-negara Selatan. Sehingga dalam proses inisiasi dan pembuatannya pun tidak ada tekanan dari negara-negara yang memiliki senjata, namun justru dari negara korban. Ini merupakan traktat yang justru ditolak dan dihindari oleh negara-negara pemilik senjata nuklir karena secara tegas menyatakan bahwa senjata nuklir dilarang. Dalam konteks deterrence, senjata nuklir mungkin tidak menghadirkan perang dalam skala besar, namun berbeda halnya dengan perang skala kecil.

Indonesia sebagai negara kekuatan menengah (middle power) memiliki kedudukan yang cukup  berpengaruh dalam menciptakan dunia internasional yang lebih terprediksi dan teratur. Penting bagi Indonesia untuk segera meratifikasi TPNW. Karena dengan meratifikasi, Indonesia berarti memperkuat norma internasional dalam rangka penghapusan senjata nuklir secara total. Tak hanya itu, meratifikasi TPNW tidak memberikan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, karena biaya yang dikeluarkan cenderung rendah, namun membawa dampak positif bagi dunia internasional secara relatif signifikan. Selain itu, dalam traktat ini tidak ada pembatasan pengembangan energi nuklir selama untuk tujuan damai (peaceful uses). Traktat ini diharapkan dapat membawa perubahan dalam cara pandang terhadap senjata nuklir sebagai alat politik. Proses ratifikasi ada di tangan Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri dan Presiden. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah presiden melihat isu ini sebagai sesuatu yang mendesak atau tidak.


Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.