Mendalami Cina Terkini Melalui “Beyond the Great Wall”
Perkembangan Cina sebagai sebuah negara yang semakin dinamis dan asertif menarik perhatian masyarakat internasional. Tak terkecuali di kalangan akademisi hubungan internasional di Indonesia. Dalam rangka menghadirkan forum bagi kalangan profesional untuk mendiskusikan isu-isu terbaru politik domestik maupun politik luar negeri Cina, Institute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI), Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 2019 menyelenggarakan forum akademik “Beyond the Great Wall” (BTGW).
BTGW merefleksikan situasi Cina terbaru yang menembus batas konotasi “Tembok Besar”, kokoh, statis, dan isolatif. Makin maraknya diskusi publik di Indonesia yang khusus membahas Cina membuat Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, pengajar DIHI UGM yang mendedikasikan ilmunya dalam studi politik Cina, perlu mengambil bagian dalam arus akademik ini. Terlebih, setelah DIHI-UGM melaksanakan pembaharuan kurikulum, kelas-kelas yang mempelajari politik Cina mendapat porsi yang tidak sebesar dahulu.
BTGW diharapkan dapat mengakomodasi wadah diskusi bagi berbagai kalangan untuk mengembangkan ketertarikan pada studi Cina. Dalam edisi kali ini, selain menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro, BTGW juga mengundang Hikmatul Akbar, M.Si, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ (UPN ‘V’) Yogyakarta. Ayusia Sabitha Kusuma, M.Sc.Soc Universitas Jendral Soedirman yang juga dijadwalkan menjadi pemateri sayangnya tidak dapat hadir karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.
Hikmatul Akbar membuka forum BTGW dengan memaparkan Cina baru di bawah Xi Jinping yang ditandai dengan perluasan pengaruh negara. Semenjak menjabat sebagai Presiden, Xi Jinping cenderung berusaha memusatkan kendali kekuasaan dibawah pengaruhnya. Dalam rangka memastikan stabilitas kebijakan yang ia jalankan, Xi Jinping membawahi secara langsung usuran politik, ekonomi, kebijakan luar negeri, dan bahkan menjadi komando tertinggi angkatan bersenjata Cina. Hal ini tidak lain dilaksanakan dalam rangka mewujudukan “Zhungguo Meng – The Chinese Dream”, yang ditandai dengan Cina sebagai pusat ekonomi, teknologi, dan peradaban diantara negara-negara lain.
Insiatif One Belt One Road kemudian menjelma sebagai instrumen utama dalam implementasi mimpi-mimpi Cina tersebut. Melalui kebijakan bantuan pembangunan infrastruktur tanpa syarat yang memberatkan, Cina mampu menyambungkan jalur-jalur perdagangan strategis di darat dan laut yang memusat ke Cina. Perang dagang, khususnya dengan Amerika Serikat, yang mengiringi ambisi Cina tersebut menurut Hikmatul Akbar disikapi secara terbuka.Cina berusaha tetap menghormati keputusan proteksionis negara-negara lain sembari mengedepankan dialog untuk menyelesaikan krisis ini.
Dalam sesi kedua, Nur Rachmat Yuliantoro mendiskusikan hasil membaca buku “Age of Ambitions: Chasing Fortune, Truth, and Faith in the New China” karya Evan Osnos. Secara garis besar, buku tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Cina kontemporer dalam menggapai kemakmuran, kebenaran, dan keyakinan. Melalui buku ini, Osnos menyelipkan satu cerita yang merefleksikan keingan masyarakat Cina dalam mencapai keinginan-keinginan tersebut, dan rintangan-rintangan yang menghadangnya.
Kemakmuran digambarkan Osnos melalui kisah Gong Hainan.Gong Hainan memiliki latar belakang keluarga miskin di pedesaan, namun berkat kegigihannya berhasil melanjutkan pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar Master. Apa yang terjadi pada Gong mencerminkan pandangan masyarakat Cina mengenai kemakmuran, yang ditandai dengan bekerja di perkotaan dan memiliki gelar pendidikan tinggi. Hal ini mendorong arus urbanisasi yang tinggi tiap tahunnya.
Adapun Kebenaran bersumber dari dinobatkannya Liu Xiaobo, aktivis pro-demokrasi Cina sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2010. Cina yang sebelumnya telah menjatuhi hukuman tahanan rumah terhadap Liu atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara menjadi berang karenanya. Liu menjadi contoh mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat Cina untuk memperoleh kebenaran berekspresi dan berpendapat tanpa adanya tekanan dari pemerintah.
Di bagian terakhir, Keyakinan, Osnos menampilkan kasus tabrak lari yang dialami bocah berumur 2 tahun bernama Wang Yue. Tragisnya, pasca mengalami kecelakaan tersebut, tidak ada satupun orang yang menolong Wang Yue. Baru orang ke-14 yang lewat lah – seorang nenek – yang berinisiatif membawa anak tersebut ke rumah sakit. Kendati mendapat kecaman publik, kasus Wang Yue menurut Osnos menggambarkan keyakinan baru yang muncul di tengah masyarakat, bahwa menolong orang adalah tindakan tidak berguna dan hanya merepotkan diri sendiri. Apabila kita telaah lebih jauh, sikap individualistis tersebut bersumber dari korupnya sistem penegakan hukum di Cina yang memungkinkan seseorang dikriminalisasi karena menolong orang lain.
Pada sesi penutup, Nur Rachmat menyimpulkan bahwa berdasarkan buku tersebut, kita dapat melihat Cina yang sedang berada dalam kondisi dilematis. Di satu sisi, meningkatnya tingkat kesejahteraan melahirkan masyarakat yang mengaspirasikan kebebasan dan kritis terhadap sistem pemerintahan yang berjalan. Sementara di sisi lain, demi mencapai visi langgenggnya kekuasaan Partai Komunis, pemerintah cenderung mengedepankan cara-cara yang cenderung otoriter.
Penulis: Alifiandi Rahman Yusuf
Penyunting: Angganararas Indriyosanti