[RECAP] Beyond The Great Wall #12 : Cina di Penghujung 2020: Kilas Balik dan Tantangan ke Depan

Pada Jumat (11/12) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) kembali mengadakan forum diskusi Beyond the Great Wall (BTGW) yang ke-12, sekaligus yang terakhir di tahun 2020. Forum BTGW yang ke-12 ini mengangkat tema “Cina di Penghujung 2020: Kilas Balik dan Tantangan ke Depan” dengan menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu: Arum Dyah Rinjani (Lulusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Mataram), Lazarus Andja Karunia (Tenaga Mahasiswa Paruh Waktu Direktorat Riset Industri UGM), dan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM).

Pemaparan pertama disampaikan oleh Arum Dyah Rinjani dengan judul “Keamanan Lingkungan Maritim: Implikasi Klaim Nine-Dash Line Terhadap Degradasi Lingkungan Laut di Laut Cina Selatan”. Eksistensi klaim Nine-Dash Line Cina telah “menyetir” berbagai kebijakan yang diambil oleh Cina di Laut Cina Selatan sehingga menyebabkan berbagai konflik maritim di sana. Pada tahun 2009-2016, terdapat sekitar 8.795 berita mengenai perselisihan maritim di Laut Cina Selatan, sedangkan hanya ada 25 laporan berita mengenai isu keamanan lingkungan laut dan perlindungan sumber daya laut di Laut Cina Selatan.

Meskipun dinamika kegiatan Cina di Laut Cina Selatan didominasi oleh diskursus mengenai keamanan maritim, namun setidaknya terdapat dua kegiatan Cina yang turut berkontribusi terhadap degradasi lingkungan laut di Laut Cina Selatan, yaitu reklamasi pulau dan overfishing. Kegiatan reklamasi telah dilakukan Beijing sejak Desember 2013 dan telah mencapai luas 3.200 hektar. Dampak dari kegiatan reklamasi ini adalah hancurnya sistem terumbu karang, sejumlah besar kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, peningkatan kekeruhan air dan pelepasan bahan kimia, dan endapan pasir yang akan membunuh organisme laut. Sementara itu, kegiatan overfishing yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan menggunakan kapal-kapal berkapasitas besar, bahan yang destruktif, dan alat-alat berat. Dampaknya adalah penurunan stok ikan di lautan dan jumlah tangkapan, penurunan angka hewan langka, kerusakan terumbu karang, serta ketegangan dengan negara lain. Menurut pandangan ekologis, fenomena yang terjadi di Laut Cina Selatan ini adalah salah satu fenomena terburuk dalam perikanan dan kerusakan terumbu karang dan Cina 99% bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Pemaparan kedua dilanjutkan oleh Lazarus Andja Karunia yang membahas “Great Peek Forward: Bagaimana Teknologi Surveilans Membentuk Respons Tiongkok Terhadap Virus Corona”. Dalam pemaparan ini, yang dimaksud dengan surveilans adalah observasi terstruktur. Sebelum pandemi, teknologi surveilans sudah banyak digunakan di Cina. Terdapat setidaknya 2,58 juta kamera di Chongqing untuk mengamati 15,35 juta orang yang utamanya digunakan untuk penegakan hukum serta membangun sistem respon otomatis terhadap pelanggaran hukum melalui social credit system. Operasi surveilans juga digunakan di Xinjiang untuk mengawasi warga dan membatasi gerak. Namun, sistem ini masih bersifat lokal dan belum menyeluruh secara nasional.

Dalam menjelaskan hal ini, Lazarus Andja menggunakan kerangka konseptual Surveilans Post-Panoptik, yaitu penggunaan alat-alat surveilans yang cenderung terpisah namun pada akhirnya akan mengerucut pada satu strategi. Post-panoptik tidak terbatas pada institusi fisik seperti sekolah, penjara, dan pabrik, sehingga pengawasannya tidak terasa dan tidak terlihat, dan bertujuan untuk mengontrol, bukan mendisiplinkan. Terdapat tiga aspek dalam surveilans post-panoptik, yaitu surveillant assemblage, de-territorialization, dan reassembly.

Surveillant assemblage adalah alat-alat yang digunakan untuk surveilans. Surveillant assemblage yang digunakan di Tiongkok dalam pandemi adalah penggunaan kode warna, penggunaan drone, adaptasi social credit system, dan pengawasan media sosial. Kode warna digunakan dalam aplikasi Alipay Health Code untuk menentukan tingkat kesehatan sehingga penduduk di Hangzhou hanya bisa berpindah ke lokasi yang berwarna hijau di aplikasi. Jika mendatangi lokasi yang berwarna kuning, maka warga akan diminta karantina selama satu minggu dan jika lokasinya berwarna merah akan diminta karantina selama dua minggu. Di samping itu, drone juga digunakan untuk mengawasi dan mengingatkan warga mengenai protokol kesehatan. Pelanggar protokol kesehatan akan dikurangi poinnya dalam social credit system dan tenaga kesehatan lini depan akan diberi tambahan poin. Poin-poin ini nantinya akan berguna karena dengan poin yang semakin banyak, maka kesempatan sosial yang dimiliki pun semakin luas. Pengawasan media sosial pun terus dilakukan oleh pemerintah karena setiap kritik dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah di ranah online akan disensor melalui keyword filtering.

Yang dimaksud dengan deterritorialization adalah pengambilan data dari ruang fisik dan pembentukan data double dari individu. Bentuk kemitraan pemerintah Cina dalam deterritorialization dilakukan setidaknya dalam empat aspek, yaitu Alibaba yang membantu pengumpulan data masyarakat terkait resiko kesehatan tiap individu, Artificial Intelligence (AI) milik Baidu bernama Intelligent Changsan yang digunakan untuk memproses pelaporan warga melalui telepon, SkyNet yang membantu kepolisian mengawasi melalui jaringan kamera CCTV, dan MicroMultiCopter yang menyuplai 100 buah drone ke 11 kota.

Reassembly adalah penyatuan ulang data double sesuai kebutuhan institusi pengguna. Reassembly oleh Tiongkok digunakan oleh war room (pusat pengawasan tingkat kota dan desa), pemerintah pusat, dan kepolisian. Namun, yang menjadi ketakutan utama masyarakat Tiongkok adalah surveillance creep atau penyalahgunaan data oleh pihak yang berwenang.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro mengenai “Teknologi dan Hidup Keseharian Warga Cina: Kemudahan, Ketakutan, atau Apa?”. Pemaparan ini menampilkan berbagai foto (beberapa di antaranya difoto langsung oleh Pak Rachmat) yang menunjukkan berbagai perubahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi di Cina. Foto pertama adalah foto penjual kaki lima di Cina yang di gerobak jualannya terdapat barcode sebagai alat pembayaran. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi telah mengubah wajah Cina yang berusaha menjadi cashless society. Foto kedua menjelaskan adanya teknologi mengisi baterai handphone secara wireless dengan menggunakan piranti yang tersedia di beberapa tiang lampu di Wuhan.

Selanjutnya, terdapat foto aplikasi Meituan Dianping (sejenis aplikasi Gojek dengan berbagai layanan dalam satu aplikasi) dan Ele.Me yang memberikan kemudahan bagi banyak orang. Namun, di sisi lain, keberadaan aplikasi menimbulkan protes dari pihak restoran mitra karena mengenakan charge yang besar bagi restoran mitra dan malah cenderung merugikan. Ada pula kekhawatiran dari masyarakat akan adanya penyalahgunaan data oleh pihak Meituan Dianping. Kemajuan teknologi lainnya adalah aplikasi Ele.Me mulai mengoperasikan drone untuk mengantar makanan ke lokasi pemesan.

Selain itu, kemajuan teknologi membuat orang dapat dengan mudahnya melakukan dan mengakses banyak hal melalui telepon genggam, sehingga banyak orang mulai melakukan live streaming kegiatan yang dilakukan. Namun, kemudahan ini juga seringkali menimbulkan kerugian bagi banyak orang, seperti yang terjadi baru-baru ini di mana seorang lelaki di Cina dipenjara karena mengekspos data pribadi seorang perempuan yang baru saja terinfeksi COVID-19 dan menghina perempuan tersebut karena terdapat foto ia mengunjungi club dan bar selama dua minggu sebelum ia terinfeksi COVID-19 sehingga menimbulkan banyak komentar negatif.

Kini terdapat pula teknologi pemindai wajah untuk mengidentifikasi orang yang menggunakan masker. Berbagai kemajuan teknologi ini di satu sisi membawa kemudahan, namun di sisi lain menimbulkan kesulitan tersendiri bagi beberapa kelompok masyarakat, terutama yang sudah tua.


Penulis : Denise Michelle

Penyunting : Medisita Febrina

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.