Institute of International Studies
BA Building, 5th Floor, 503
Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio-Justisia No.1 Bulaksumur
Yogyakarta 55281, Indonesia
Contact Us
Phone:
+62-274-563362 Ext. 115
+62-818-0650-7041 (WhatsApp)
E-Mail:
iis.fisipol@ugm.ac.id
IIS Fortnightly Review #84 | Edisi 1 – 15 December 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolGLOBAL SOUTH REVIEW | Volume 6 No. 2 December 2024
/in Featured, News, Publication/by iis.fisipolNewest edition of Global South Review is now available!
Global South Review is a social and political journal that aims to provide an academic and policy platform to exchange views, research findings, and dialogues within the Global South and between the Global North and the Global South.
Global South Review examines all the issues encountered by Global South in the context of current international justice, security, and order. The journal focuses, but not exclusively, on the role of Global South in global politics; the rise, demise, and possible revival of South-South internationalism and Bandung Spirit; and the dynamics of relations between Global South and Global North. Authors may submit research articles and book reviews in related subjects.
In this edition, GSR features six writings highlighting various issues paramount in the Global South.
Access it through the link:
jurnal.ugm.ac.id/globalsouth
[IIS BRIEF] The Kremlin’s Visit to the Red Dragon’s Lair: A Stimulus-Response Look into Russia’s May Visit to China
/in Featured, IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolOn April 29, 2024, NATO Secretary General (Jens Stoltenberg) visited Kyiv to reaffirm NATO’s support for Ukraine amid the ongoing war with Russia. Two weeks later, Vladimir Putin visited Beijing, marking the first meeting with Chinese President Xi Jinping in over six months. It raised questions about the timing and significance of the visit, especially in light of recent developments between Russia and China and Stoltenberg’s earlier visit to Ukraine. How the meeting between NATO and Ukraine served as a stimulus for Russia that eventually led to its response in the form of engagement with China? This episode of IIS Brief will analyze the Putin’s visit to Beijing on May 2024 using the stimulus-response theory.
Author: Raihan Alfi
Editor: IIS Team
Designer: Dian Adi MR
IIS Fortnightly Review #83 | Edisi 16 – 30 November 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS RECAP] Peluncuran Kelas Daring “Netizen Juga Citizen: Menyemarakkan Aktivisme Digital”
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolYogyakarta, 24 Oktober 2024 – Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis melalui aktivisme digital, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), berkolaborasi dengan British Council Alumni UK Social Action Grant, mengadakan peluncuran kelas daring yang berjudul “Netizen Juga Citizen: Menyemarakkan Aktivisme Digital”. Kelas ini dapat diakses oleh kalangan umum melalui FISIPOL UGM Online Campus (FOCUS UGM) secara gratis. Peluncuran kelas daring “Netizen Juga Citizen: Menyemarakkan Aktivisme Digital” merupakan acara yang diselenggarakan oleh IIS UGM yang didukung oleh British Council melalui skema hibah Alumni UK Social Action Grant yang mengangkat topik mengenai “Digital Activism For All.” Kelas daring ini diharapkan dapat membekali masyarakat dengan kemampuan untuk merefleksikan, melakukan, dan melembagakan aktivisme digital.
Sambutan dari Mr. Summer Xia selaku Country Director Indonesia & South East Asia Cluster Lead British Council.
Acara dimulai dengan sambutan pertama dari Mr. Summer Xia selaku Country Director Indonesia & South East Asia Cluster Lead British Council. “Aktivisme digital telah menjadi alat penting untuk mendorong perubahan positif dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil. Dengan mengintegrasikannya ke dalam platform FOCUS UGM, kami akan membuat pendidikan aktivisme digital dapat diakses oleh semua orang,” ucap Mr. Summer Xia.
Sambutan kedua disampaikan oleh Dr. Luqman-Nul Hakim, Direktur IIS UGM. Dr. Luqman menekankan bahwa “Melalui kegiatan diskusi pada hari ini, kita diharapkan dapat belajar bersama dengan pembicara terkait pengalaman-pengalaman menggunakan dunia digital sebagai ruang aktivisme baru.”
Sambutan ketiga disampaikan oleh Dr. Wawan Mas’udi selaku Dekan FISIPOL UGM yang menggarisbawahi pentingnya aktivisme digital sebagai upaya untuk memperkuat demokrasi serta partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sambutan tersebut juga menandakan diresmikannya kelas daring “Netizen Juga Citizen: Menyemarakkan Aktivisme Digital” di platform FOCUS UGM.
Selayang pandang kelas aktivisme digital oleh Dr. Diah Kusumaningrum.
Sebelum masuk ke diskusi utama, Dr. Diah Kusumaningrum memberikan selayang pandang tentang program kelas aktivisme digital. “Pada awalnya, IIS UGM dan Yayasan TIFA bekerja sama untuk membuat modul aktivisme digital. Modul tersebut menjadi basis dalam menyelenggarakan pelatihan di Yogyakarta, Makassar, maupun secara daring dan diikuti oleh 110 organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Dari situlah kami berencana untuk memperluas kebermanfaatan dari modul aktivisme digital dengan meluncurkan kelas daring ‘Netizen Juga Citizen: Menyemarakkan Aktivisme Digital’ di platform FOCUS UGM,” kata Dr. Diah.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dipandu oleh Ni Made Diah Apsari Dewi. Terdapat tiga pembicara yang turut hadir untuk berbagi pengalaman serta perspektif mereka terkait aktivisme digital, yakni Muhammad Raafi (Koordinator Climate Rangers Jogja), Dzaky Putra Wirahman (Editor in Chief What Is Up, Indonesia?), dan Coory Yohana (Damai Pangkal Damai). Poin-poin yang dibahas berkaitan dengan definisi aktivisme digital, tantangan dan peluang aktivisme digital, serta bagaimana menggunakan aktivisme digital untuk merespons kondisi sosial politik kontemporer di sekitar kita.
Sesi diskusi bersama ketiga pembicara, yaitu Muhammad Raafi (Koordinator Climate Rangers Jogja), Coory Yohana (Damai Pangkal Damai), dan Dzaky Putra Wirahman (Editor in Chief What Is Up, Indonesia? – secara daring).
Beberapa temuan yang didapatkan dari sesi diskusi adalah pertama, aktivisme digital merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dengan aktivisme konvensional. Aktivisme digital memiliki fungsi sebagai jalur penyebaran informasi, alat pembentuk narasi, serta jalur untuk mendukung aktivisme di lapangan. Kedua, ruang digital bukanlah tempat yang ‘netral’, melainkan tempat ‘tarik ulur’ kekuasaan sehingga kita sebaiknya melihat ruang tersebut sebagai wadah untuk menjalankan kewajiban kewarganegaraan melalui aktivisme digital. Ketiga, kita tidak perlu menunggu kata ‘siap’ untuk melakukan aktivisme digital. Mengambil langkah pertama dan membentuk komunitas merupakan dua hal penting. Komunitas tidak hanya akan ‘meminjamkan keberanian’, tetapi juga dapat melengkapi kekurangan dalam melakukan aktivisme digital yang mungkin kita miliki.
Setelah diskusi selesai, terdapat sesi tanya jawab untuk memberikan kesempatan bagi peserta dalam bertukar pendapat maupun memperdalam pengetahuan mereka. Kemudian, acara ditutup dengan sesi dokumentasi bersama.
Written by: Anggita Fitri Ayu Lestari
Editor: Albert Nathaniel & Ni Made Diah Apsari Dewi
[IIS RECAP] Stakeholders Meeting Penelitian Contesting Loss for Indonesian Communities in Climate Crisis (CLICCC)
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolSebagai bagian dari kegiatan penelitian berjudul Contesting Loss for Indonesian Communities in Climate Crisis (CLICCC), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bersama dengan Murdoch University serta anggota konsorsium CLICCC, mengadakan serangkaian acara diskusi dan pemaparan hasil penelitian pada tanggal 7 – 11 Oktober 2024. Dengan bergerak di bawah naungan hibah KONEKSI, kemitraan CLICCC terdiri dari Murdoch University Indo-Pacific Research Centre, sebagai mitra Australia. Sementara itu, IIS UGM merupakan ketua konsorsium Indonesia yang bermitra dengan RUJAK Centre for Urban Studies; Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan, Universitas Satya Wacana; Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; serta Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin.
Penelitian CLICCC berusaha untuk menjawab dua pertanyaan inti. Pertama, bagaimana kerugian dan kerusakan dihitung untuk dan dalam komunitas yang beragam, khususnya untuk sumber daya ekonomi, ekologi, serta non-ekonomi yang kompleks seperti pengetahuan adat dan kesehatan mental? Kedua, kemitraan seperti apa yang perlu dibangun oleh masyarakat dengan pemerintah untuk mengajukan klaim terhadap dana kerugian dan kerusakan secara global? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari riset lapangan di tiga wilayah berbeda, yaitu Pulau Pari di Kepulauan Seribu, Penjaringan di Jakarta Utara, dan Banyusidi di Jawa Tengah.
Pada tanggal 7 – 8 Oktober 2024, tim CLICCC mengadakan rapat internal selama dua hari untuk mengevaluasi proyek strategis. Dua hal yang menjadi sasaran utama evaluasi berkaitan dengan relevansi pertanyaan penelitian dan objektif penelitian. Rapat internal tersebut juga membahas agenda untuk CSO day dan Government day. Dr. Rebecca Meckelburg, fellow researcher IIS UGM, menyampaikan bahwa kita perlu lebih peka ketika mendefinisikan ‘kerentanan’ dalam konsep pembuatan klaim. Komunitas mengalami kerugian ekonomi serta budaya yang berbeda-beda, di mana dampak yang dialami juga berkelindan dengan adanya ketidaksetaraan. Oleh karenanya, kita perlu berhati-hati dalam membuat klaim yang luas mengenai dampak perubahan iklim.
Lokakarya bersama organisasi masyarakat sipil dan para jurnalis pada tanggal 9 Oktober 2024.
Selanjutnya, pada tanggal 9 Oktober 2024, diadakan lokakarya bersama organisasi masyarakat sipil dan para jurnalis. Tujuan dari lokakarya tersebut adalah mengenalkan penelitian CLICCC kepada masyarakat sipil, membangun koalisi yang luas dan beragam untuk Loss & Damage (L&D), serta menciptakan ruang untuk saling berbagi hasil temuan. Lokakarya dihadiri oleh beberapa aktor, seperti WALHI, The Conversation, perwakilan masyarakat Muara Angke dan Muara Baru, perwakilan masyarakat Pulau Pari, serta perwakilan KONEKSI.
Acara dimulai dengan pembukaan dari Dr. Luqman-Nul Hakim selaku Direktur IIS UGM dan diikuti dengan sambutan dari Irene Pingkan Umboh selaku Wakil Kepala Bidang Kemitraan KONEKSI. Lokakarya kemudian dilanjutkan dengan presentasi oleh empat narasumber, yakni Pengenalan Konsorsium dan Kerangka Riset oleh Dr. Luqman-Nul Hakim, Lompat Skala dalam Advokasi Keadilan Iklim oleh Dr. Agung Wardana, Perubahan Iklim dan Dampak pada Masyarakat Pedesaan oleh Dr. Rebecca Meckelburg, serta Loss & Damage: Belajar dari Komunitas Pesisir Kota oleh RUJAK Centre for Urban Studies. Setelah presentasi selesai, terdapat sesi sharing bersama dan storyboard untuk memberikan kesempatan berbagi pendapat atau pengalaman para organisasi masyarakat sipil dan jurnalis yang berkaitan dengan krisis iklim.
Pemaparan hasil penelitian CLICCC bersama pemerintah pada tanggal 10 Oktober 2024.
Di hari keempat (10 Oktober 2024), tim CLICCC mengadakan Government day atau pemaparan hasil penelitian bersama pemerintah yang turut dihadiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia; Direktur Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup – Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, serta BAPPENAS. Tujuan dari pertemuan tersebut yaitu berbagi hasil penelitian dengan perwakilan pemerintah dan melakukan eksplorasi perkembangan terkini isu perubahan iklim, utamanya dalam hal perubahan rezim.
Kegiatan diawali dengan penjelasan mengenai penelitian CLICCC secara garis besar oleh Jacqui Baker dari Murdoch University dan Dr. Paskal Kleden dari KONEKSI. Jacqui Baker menyampaikan bahwa ide penelitian CLICCC muncul dari fakta di lapangan bahwa perubahan iklim sedang terjadi begitu cepat dan memberikan dampak ekonomi maupun non-ekonomi terhadap kehidupan masyarakat. Karenanya, perlu adanya riset mendalam untuk memetakan aspirasi guna memberikan bantuan kepada masyarakat yang mengalami dampak irreversible akibat perubahan iklim.
Kegiatan kemudian diisi dengan sesi pemaparan hasil penelitian oleh empat narasumber, yakni Dr. Luqman-Nul Hakim dari IIS UGM, Dr. Rebecca Meckelburg yang merupakan fellow researcher IIS UGM, Elisa Sutanudjaja dari RUJAK Centre for Urban Studies, serta Dr. Agung Wardana dari Universitas Gadjah Mada. Salah satu temuan penting dari pemaparan tersebut adalah tata kelola iklim di Indonesia, terutama dalam isu L&D masih kurang efektif karena belum ada kerangka regulasi yang dapat melindungi masyarakat terdampak iklim. Hal tersebut tercermin dari bagaimana slow-onset disaster belum diperhitungkan, padahal variabel tersebut merupakan karakteristik utama dari L&D. Tata kelola iklim nasional tampaknya hanya mereplikasi serta memperkuat model pembangunan teknokratik dan sentralistik. Setelah presentasi selesai, dilanjutkan dengan sesi tanggapan serta tanya jawab bersama pihak pemerintah.
Pada hari terakhir (11 Oktober 2024), acara ditutup dengan diselenggarakannya rapat internal oleh tim CLICCC untuk membahas refleksi dari desain penelitian di masa mendatang. Hal ini juga berkaitan dengan perencanaan kembali mengenai kolaborasi mitra, pengelolaan lembaga, serta jenis hibah yang ingin didapatkan di masa mendatang.
Written by: Anggita Fitri Ayu Lestari
Editor: Ni Made Diah Apsari Dewi
IIS Fortnightly Review #82 | Edisi 1 – 15 November 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS RECAP] GO-SOUTH 2024: Global South in Geopolitical Turbulence
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolYogyakarta, 8 November 2024 – The Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), hosted an annual convention of GO-SOUTH 2024, themed Global South in Geopolitical Turbulence. This annual convention comprised two main agendas, including a special roundtable discussion and an academic seminar.
In the first agenda, the Institute of International Studies, UGM, in collaboration with the Japan Foundation and the Indonesian Association for International Relations (AIHII), organized a special roundtable discussion titled “Japan in Asia: Past, Present, & Future.” As an essential player in the region, Japan has actively contributed to regional economic growth, infrastructure development, and geopolitics in Asia. Hence, this roundtable was designed to initiate vibrant discussion and in-depth dialogue among academics, researchers, and students to reflect on and develop Japanese studies and International Relations in Indonesia. The discussion was held in a hybrid setting, with participants present in person in the Deanery Meeting Room, FISIPOL UGM, and online via Zoom meeting and YouTube Livestream.
The roundtable was conducted in two sessions, moderated by Dr. Luqman-Nul Hakim, the Director of the Institute of International Studies, UGM. The first session discussed the development of Japanese studies in Indonesia in teaching and research and the relationship between Indonesia and Japan in terms of both economic and political relations. Siti Daulah Khoiriati from the Department of International Relations, UGM, and Yako Kozano from the School of Foreign Studies, Aichi Prefectural University, were the main speakers in this first session. The findings delivered by Siti Daulah Khoiriati highlight the development of research themes in Japan that are influenced by the interests of various stakeholders, including educational and research institutions, the government, and funding bodies. She also pointed out that while Japan’s success as a global economic power, technological advancements, and culture have been prominent research themes, there has been limited focus on studying Japanese politics and international relations.
Yako Kozano from the School of Foreign Studies, Aichi Prefectural University, presented his presentation in the roundtable discussion.
Furthermore, Yako Kozano, the second speaker of the first session, presented the topic of Contemporary Political Economic Relations of Japan-Indonesia in Geopolitical Perspectives. He highlighted that Indonesia’s trading partner with Japan has been replaced by the significant presence of the People’s Republic of China (PRC). The relationship between Indonesia and Japan should be based on political-economic and geopolitical practices. A thorough Q&A session then followed the first session.
Agus Haryanto from the Department of International Relations, Universitas Jenderal Soedirman, presented his presentation in the roundtable discussion.
The second session discussed Japan’s engagement and dynamic role in contemporary regional settings and how this would influence Japanese studies’ current and future development in Indonesia and beyond. In the second session, Agus Haryanto from the Department of International Relations, Universitas Jenderal Soedirman, and Isao Yamazaki from the Faculty of Art and Regional Design, Saga University, had a chance to give their valuable insights as the main speakers in the second session. Agus Haryanto explained that Japan’s approach to international security support has evolved significantly over the past few decades, primarily through its Official Development Assistance (ODA) program and the Self-Defense Forces (SDF) deployment. Isao Yamazaki presented Watershed of Reentry or Retreat: History of Indonesia-Japan Relations Revisited. He explained how Japanese culture and propaganda have influenced Indonesia’s society in many aspects, especially in industry, urban planning, music, and art. Before closing the second session, the participants were given the opportunity to ask questions, commentaries, and views.
Isao Yamazaki from the Faculty of Art and Regional Design, Saga University, presented his presentation in the roundtable discussion.
In the second agenda, the Institute of International Studies, UGM, organized an academic seminar themed Global South and the Decolonisation of Knowledge that was held in an online Zoom meeting. The seminar was attended by academicians, practitioners, and experts in relevant fields and aimed to create a robust discussion and debate on the main issue. The academic seminar was moderated by Muhadi Sugiono, lecturer in the Department of International Relations, UGM and the chairman of ICES (Indonesian Community for European Studies), followed by three presentations from each speaker.
Prof. Kate McGregor from the University of Melbourne, delivered her presentation in the academic seminar.
Prof. Kate McGregor from the University of Melbourne delivered the first presentation. She explained transnational women’s activism, global solidarities, and how people in the Global South previously worked together towards a global order today. The roots of Indonesia’s women’s activism were the highlight of her presentation. She also highlighted several actors, including individuals and non-governmental organizations from Indonesia’s grassroots, who highly impacted women’s roles in international activism.
The second presentation on Decolonizing International Relations in Indonesia: How far have we come? was delivered by Dr. Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang from Universitas Indonesia. According to him, the study of International Relations should not limit its capabilities in order to gain an understanding of international politics. As a part of the Global South, Indonesia could also have its own unique International Relations theory that deserves recognition. Dr. Yeremia Lalisang has highlighted several acts, cultures, and other milestones that could represent the struggle and also the chance for Indonesia to create its own perspective on International Relations.
In the last presentation, Prof. Mohtar Mas’oed from Universitas Gadjah Mada delivered the presentation titled The Expected Geopolinomic Turbulence & the Global South. According to Prof. Mohtar Mas’oed, from what he sees in Trump’s first term, his return to power would impact the global order. He also pointed out what could be expected from his second term and how the Global South should shape its own path regarding his returns.
The academic seminar was followed by a Q&A session, which ended with a documentation session.
Written by: Anggita Fitri Ayu Lestari
Editor: Albert Nathaniel
[IIS BRIEF] No Momentum for Change: A Look into the Gender Gap of Employment and Shifting Perspective of Women Working in Japan
/in Featured, IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolThe discourse on the gender gap in employment is predominantly discussed in developing countries. However, developed countries also face the same problem with different intensities, despite the high number of people who have completed higher education. Women in developed countries still face unequal pay hidden within the triumph from the high rate of women participating in labour. For instance, Japan, as a leading country in education across Asia with a low gender gap rate of -2.7%, has also been one of the bottom performers with a high gender pay gap of 25.9%. How the gender gap in employment persists among developed countries, especially in Japan?
Author: Tri Nur Chasanah
Editor: IIS Team
Designer: Dian Adi MR
IIS Fortnightly Review #81 | Edisi 16 – 31 October 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS Commentaries] Peran Media Sosial dalam Melestarikan Aksi Terorisme di Indonesia
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #80 | Edisi 1 – 15 October 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #79 | Edisi 16 – 30 September 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS RECAP] Expert Panel: Strategi Membangun Niche dalam Transisi Sekolah Sirkular
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolYogyakarta, 10 Agustus 2024 – Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan kegiatan expert panel bersama Circular School Program Partnership: Indonesia Green Principal Award (IGPA) dengan tema Strategi Membangun Niche dalam Transisi Sekolah Sirkular.
Terdapat dua tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan expert panel ini. Pertama, memetakan potensi, tantangan, dan strategi pembangunan niche dalam pendidikan ekonomi sirkular. Kedua, upaya co-creation perumusan strategi, intervensi dan langkah antisipasi dalam pengembangan inisiatif sekolah sirkular. Expert panel ini merupakan salah satu rangkaian dari proyek penelitian ‘Advancing Circular Education for Sustainable Transformation (ACEST): Strategi Membangun Niche dalam Transisi Sekolah Sirkular,’ yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kegiatan dipandu oleh Wendi Wiliyanto selaku Master of Ceremony dengan empat rangkaian aktivitas.
Pertama, expert panel dibuka dengan kata sambutan oleh Dr. Luqman-nul Hakim, Direktur IIS UGM. “Mudah-mudahan, bukan hanya kita saling bertukar pikiran, tetapi kegiatan ini juga dapat menjadi ruang silaturahmi dan momen yang fun bagi kita semua. Semoga acara ini berjalan lancar dan kita bisa memperoleh pengetahuan dan pertemanan,” ucap Dr. Luqman-nul Hakim.
Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan sambutan oleh Dr. Maharani Hapsari, selaku ketua peneliti proyek ini. Dalam sambutannya, Dr. Maharani Hapsari menekankan keinginan besar tim riset untuk belajar banyak dari Bapak/Ibu panelis dalam membangun keterampilan leadership (kepemimpinan) karena masih banyak agenda yang perlu diperbaiki dalam level universitas, utamanya UGM. “Melaksanakan riset sirkular ekonomi ini adalah upaya kami untuk mendukung kebijakan-kebijakan di level universitas juga,” kata Dr. Maharani Hapsari.
Terakhir, sambutan disampaikan oleh Dr. Junita Widiati Arfani, selaku koordinator Circular School Program Partnership. “Sebagai pihak yang mendukung acara ini, semoga kita bisa berkumpul dan berbagi wawasan berharga. Hari ini kita akan mendengarkan para ahli di bidang sekolah sirkular yang dianggap sudah menunjukkan kepemimpinan dan inovasi. Dan terimakasih Bapak/Ibu sekalian sudah siap berbagi pengetahuan serta menjawab berbagai pertanyaan seputar pengalaman dan visi ke depan Bapak/Ibu,” ucap Dr. Junita Widiati Arfani.
Kedua, kegiatan dilanjutkan dengan pengenalan proyek riset dan permainan sederhana yang dipandu oleh Dr. Suci Lestari Yuana dan Dr. Ririn Tri Nurhayati. Pemaparan materi berfokus pada latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan maksud keterlibatan partisipan dalam kegiatan expert panel tersebut.
Ketiga, kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus sebagai inti agenda dimulai. Objektif utama dalam kegiatan ini berorientasi pada upaya pemetaan inovasi dalam transformasi sekolah sirkular. Terdapat dua topik besar yang menjadi basis diskusi: 1) eksplorasi posisi local practices yang tumbuh dan berkembang di sekolah melalui Transformative Pathway for Mundane Circular Economy dan 2) petualangan proses pembelajaran sekolah dalam implementasi ekonomi sirkular serta ekspektasi dan visi transformasi sekolah sirkular di masa depan melalui Strategic Niche Management.
Keempat, Bapak/Ibu partisipan diundang untuk bermain simulasi debat dengan topik implementasi kebijakan ekonomi sirkular dalam ranah kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini dipandu oleh Laras Kineta. Kegiatan berjalan lancar dan menyenangkan. Kegiatan ini berhasil menggambarkan bahwa transformasi tidak selalu dimulai dari tingkat pemerintah; seringkali, perubahan juga bisa berasal dari level lokal.
Simak lebih lanjut laporan kegiatan melalui file berikut.
[IIS Brief] Geoengineering as A ‘Temporary Solution’? It is either a path towards catastrophe or an escalation to an even worse crisis
/in Featured, IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolEven though countries have committed to reduce global temperature rise to below 2°C through the Paris Agreement, global temperatures are predicted to break the climate threshold of 1.5°C in 2027. This shows how the climate change mitigation and emission reduction are often fail in pursuing the ambitions of the Paris Agreement. Instead of focusing on reducing emissions, developed countries such as the United States are considering geoengineering alternatives. How come geoengineering, which potentially violates international laws and harms climate justice, could be considered as an option to prevent climate disasters?
Author: Mas Intan Putri Apriani
Editor: IIS Team
Designer: Dian Adi MR
IIS Fortnightly Review #76 | Edisi 1 – 15 August 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS Brief] Democracy Under Siege: The Rise of Authoritarianism in Tunisia
/in Featured, IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolThe Arab Spring movement in Middle Eastern countries is regarded as a significant catalyst for democratisation in the region. Tunisia emerges as the only country where democratisation has persisted following the Arab Spring. After the impeachment of President Zainal Abidin Ibn Ali in 2011, Tunisia embarked on a process of democratisation, marked by the implementation of democratic presidential elections and a sequence of institutional reforms. Tunisia was deemed successful in achieving democratisation through two peaceful power transfers and fair elections in 2014 and 2019. Nevertheless, the prospect of democratisation in Tunisia is currently diminishing. What is the reason behind this occurrence?
Author: Rachmania Utami Tsalasa Putri
Editor: IIS Team
Designer: Dian Adi MR
IIS Fortnightly Review #75 | Edisi 16 – 31 July 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #74 | Edisi 1 – 15 July 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolGLOBAL SOUTH REVIEW | Volume 6 No. 1 July 2024
/in Featured, News, Publication/by iis.fisipolNewest edition of Global South Review is now available!
Global South Review is a social and political journal that aims to provide an academic and policy platform to exchange views, research findings, and dialogues within the Global South and between the Global North and the Global South.
Global South Review examines all the issues encountered by Global South in the context of current international justice, security, and order. The journal focuses, but not exclusively, on the role of Global South in global politics; the rise, demise, and possible revival of South-South internationalism and Bandung Spirit; and the dynamics of relations between Global South and Global North. Authors may submit research articles and book reviews in related subjects.
In this edition, GSR features five writings highlighting various issues paramount in the Global South.
Access it through the link:
jurnal.ugm.ac.id/globalsouth
IIS Fortnightly Review #73 | Edisi 16 – 30 June 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS Commentaries] Re-Evaluasi Gig Economy di Indonesia Melalui Kemunculan Solidaritas Pengemudi Ojek Online
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #72 | Edisi 1 – 15 June 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #71 | Edisi 16 – 31 May 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #70 | Edisi 1 – 15 May 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Monograph Series #6 | Dekolonisasi Studi Hubungan Internasional
/in Monograph, News, Publication/by iis.fisipolBagaimana dekolonisasi studi Hubungan Internasional dilakukan? Tidak dapat dimungkiri bahwa bentuk kolonialisasi melalui pengetahuan, termasuk budaya, berlangsung secara subtil, kompleks, tahan lama, dan terus direproduksi. Dominasi episteme pengetahuan yang bersentral dalam pendekatan Ero-Amerika menyebabkan pandangan bahwa seakan-akan hanya ada kebenaran tunggal, sementara model-model pengetahuan lain dianggap inferior dan tidak ilmiah. Isu-isu penelitian dan materi pengajaran dirumuskan berdasarkan kepentingan dan proyeksi politik negara adidaya untuk melanggengkan relasi kuasa yang asimetris. Dalam konteks ini, upaya dekolonisasi studi Hubungan Internasional menjadi sangat sentral.
IIS Research Monograph bertajuk Dekolonisasi Studi Hubungan Internasional akan menyajikan hasil pemikiran dan penelitian untuk membuka posibilitas produksi pengetahuan yang berbasis pada kondisi Negara Selatan, khususnya terkait warisan kolonialisme dan berorientasi pada politik emansipasi untuk memperjuangkan tata dunia yang lebih berkeadilan.
IIS Fortnightly Review #69 | Edisi 16 – 30 April 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #68 | Edisi 1 – 15 April 2024
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolGLOBAL SOUTH REVIEW | Volume 5 No. 2 July 2023
/in Featured, News, Publication/by iis.fisipolNewest edition of Global South Review is now available!
Global South Review is a social and political journal that aims to provide an academic and policy platform to exchange views, research findings, and dialogues within the Global South and between the Global North and the Global South.
Global South Review examines all the issues encountered by Global South in the context of current international justice, security, and order. The journal focuses, but not exclusively, on the role of Global South in global politics; the rise, demise, and possible revival of South-South internationalism and Bandung Spirit; and the dynamics of relations between Global South and Global North. Authors may submit research articles and book reviews in related subjects.
In this edition, GSR features six writings highlighting various issues paramount in the Global South.
Access it through the link:
http://jurnal.ugm.ac.id/globalsouth
IIS Fortnightly Review #67 | Edisi 16 – 31 Maret 2024
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS Commentaries] Konkretisasi Nilai Solidaritas, Moralitas, dan Humanitas: Makna Ekstensif Gugatan Afrika Selatan terhadap Kependudukan Israel di Palestina
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #66 | Edisi 1-15 Maret 2024
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS Brief] Fostering Indonesia’s Global Leadership: Triangular Climate Cooperation in the Caribbean
/in Featured, IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolAs an effort to play more active roles in international affairs, Indonesia promotes collaboration with the Caribbean, particularly concerning climate action. This diplomatic effort aims to achieve national interest, as well as enhance Indonesia’s leadership in the global arena. Given the similar threats faced by both regions, Indonesia and the Caribbean should take part in triangular cooperation to address climate-related challenges. The cooperation has several opportunities that can be taken advantage of. However, several challenges also appear and may impede the effectiveness and efficiency of triangular cooperation.
This brief will analyze broadly the opportunities and challenges in climate cooperation between Indonesia and the Caribbean.
Author: Sayyid Al Murtadho
Editor: IIS Team
Designer: Dian Adi MR
IIS Fortnightly Review #65 | Edisi 16 – 29 Februari 2024
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS Policy Brief] Pengaturan Tata Kelola Taksi Daring di Indonesia : Siapa yang Harus Pegang Kendali?
/in IIS Brief, News/by iis.fisipolKegiatan jasa layanan transportasi berbasis daring yang dilakukan oleh perusahaan berbasis teknologi aplikasi, memiliki dampak besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni sebesar 5,7% pada tahun 2021. Peran pemerintah sebagai regulator sangat penting, termasuk dalam kebijakan tarif dasar dan standar pelayanan minimal (SPM). Penelitian ini mengevaluasi implementasi pelaksanaan Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No 118/2018 tentang penentuan tarif Angkutan Sewa Khusus Roda Empat (taksi daring). PM ini berlangsung secara nasional termasuk di daerah, dan implementasinya merupakan kewenangan daerah. Konsekuensinya, ada beragam aturan tarif yang berbeda-beda antar daerah, terkadang yang diatur keluar dari mandat yang diberikan oleh PM. Pertanyaannya adalah mengapa lahir variasi implementasi PM 118/2018 di daerah? Apa yang menyebabkannya, dan apa opsi solusi mengatasi ini?
IIS Monograph Series #5 | Damai Pangkal Damai – Berpacu Dengan Waktu : Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2023
/in Monograph, News, Publication/by iis.fisipolApa yang dapat dibanggakan dari tahun 2023? Otokratisasi semakin menjadi, invasi Rusia di Ukraina belum berakhir, pendudukan Israel di Palestina memasuki babak baru pembantaian warga sipil, krisis iklim semakin tidak tertangani, kelompok sayap kanan muncul di berbagai penjuru dunia – sulit rasanya melangkah masuk ke tahun 2024 dengan ringan dan optimis. Padahal di tahun 2024 ini, lebih dari separuh warga dunia – termasuk kita di Indonesia – berhadapan dengan pemilihan umum di negara masing-masing. Jika tidak waspada dan dilawan balik, proses yang seharusnya menjadi pesta demokrasi malah berpeluang menjadi pelembagaan otokratisasi. Siapa saja yang selama ini melawan balik menggunakan strategi nirkekerasan? Apa capaian mereka di tahun 2023?
Edisi keempat refleksi tahunan Damai Pangkal Damai (DPD) kembali menghadirkan empat segmen, masing-masing mengenai Indonesia, gerakan maksimalis, gerakan reformis, dan isu khusus. Segmen pertama mengulas perlawanan nirkekerasan di Indonesia tahun 2023, yang tidak menunjukkan perkembangan berarti dari tahun-tahun sebelumnya. Segmen kedua memetakan gerakan-gerakan maksimalis yang muncul, meningkat intensitasnya, meredup, atau berubah menjadi gerakan reformis di sepanjang 2023. Segmen ketiga menyoroti eskalasi gerakan iklim global. Adapun segmen keempat mengelaborasi sejarah dan dinamika perlawanan nirkekerasan dalam perjuangan pembebasan Palestina. Kesemuanya menggarisbawahi pentingnya bergerak sekarang, sebelum terlambat — sebelum otokrasi di Indonesia dan aneka negara lain lebih kuat terkonsolidasi, sebelum melampaui kenaikan suhu bumi 2 derajat Celcius, sebelum sebuah bangsa terhapus musnah.
IIS Fortnightly Review #64 | Edisi 1 – 15 Februari 2024
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #63 | Edisi 16 – 31 Januari 2024
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review 62 | Edisi 1 – 15 Januari 2024
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS FORTNIGHTLY REVIEW #59 | 16 – 30 November 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[IIS BRIEF] An Ecosocial View of Climate Justice: Madagascar’s Famine
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #58 | 1 – 15 November 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #57 | Edisi 16 – 31 Oktober 2023
/in News/by iis.fisipol[IIS Commentaries] Why Make a Binary Decision When ASEAN Can Have Both?
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #56 | 1 – 15 Oktober 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #55 | 16 – 30 September 2023
/in IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #54 | 1 – 15 September 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[IIS BRIEF] Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia: Pelanggaran HAM Dua Arah terhadap Warga Sipil Aceh
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[IIS RECAP] Webinar STAIR: The Politics of Video Games in IR
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat (8/09) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada telah menyelenggarakan edisi ketujuh dari Seminar STAIR (Science Technology and Arts in International Relations) secara daring via Zoom Meeting. Tema diskusi kali ini adalah “The Politics of Video Games in IR”. dalam kesempatan kali ini, IIS UGM mengundang dua pembicara untuk membagikan ilmunya seputar politik dalam dunia video game. Pembicara pertama adalah Dr. Ardian Indro Yuwono, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada yang juga sering meneliti tentang video game. Pembicara kedua adalah Amanda Dara Amadea, Alumni Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus perwakilan dari RIOT Games. Untuk mendampingi kedua pembicara, Masako Omposunggu (IIS UGM) bertugas sebagai moderator, dan turut didampingi oleh Suci Lestari Yuana (Inisiator program STAIR dan Dosen HI UGM) dan Muhammad Rum (Dosen HI UGM) yang berperan menjadi penanggap diskusi.
Diskusi dibuka dengan pembahasan singkat dari Dr. Ardian yang membahas mengenai bagaimana video game secara bertahap mulai menjadi salah satu media populer yang menarik untuk dikaji. Image video game yang dulu hanyalah sebatas permainan untuk melepas penat kini dapat menjadi objek penelitian tentang berbagai macam isu, termasuk politik. Isu – isu HI seperti konflik, perang, diskriminasi dan lain – lain juga terap ditemukan dalam video game, seperti contohnya game – game tahun 2000-an yang seringkali mengambil tema Perang di Afghanistan atau Irak sebagai hasil dari kampanye War on Terror Amerika Serikat sebagai respon atas serangan teror 9/11. Oleh karena itu, video game kini menjadi semakin menarik untuk diteliti, dan prospek video game yang semakin terjangkau oleh banyak pihak kedepannya juga berperan penting dalam hal tersebut.
Dara melanjutkan sesi dengan membagikan pengalamannya sebagai seorang alumni Ilmu Hubungan Internasional yang kini telah cukup lama berpartisipasi dalam dunia video game dan juga pandangannya terhadap situasi industri video game dewasa ini. Kini, video game menjadi lebih terbuka terhadap isu representasi, dan karakterisasi karakter – karakter video game modern telah mengalami transisi menjadi lebih representasi. Banyak karakter video game yang kini merepresentasikan berbagai komunitas dan etnis minoritas dalam lore-nya, terutama dengan game game dengan karakterisasi dan penggambaran lore yang kuat seperti halnya Valorant, Apex Legends, Overwatch, dan lain lain. Dengan inklusivitas yang terus berkembang , tentunya banyak pihak cukup optimis dengan masa depan industri video game.
Seusai sesi pemaparan singkat kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi diskusi yang melibatkan peserta dan kedua penanggap diskusi. Masako selaku moderator membantu memfasilitasi sesi diskusi yang berjalan dengan cukup kondusif dan dipenuhi oleh pertanyaan para peserta yang partisipatif. Para peserta mengajukan beberapa tanggapan dan pertanyaan, baik langsung lewat Zoom maupun lewat fitur chat yang tersedia.
Seusai sesi diskusi, kedua pembicara diberikan waktu untuk memberikan closing statement untuk mengakhiri sesi, sebelum acara ditutup oleh moderator
[CALL FOR SPEAKERS] Beyond The Great Wall Edisi September & Oktober
/in Featured, News/by iis.fisipol[IIS RECAP] Diskusi Bulanan & Webinar STAIR “STAIR Community 101 : Science, Technology and Arts in International Relations”
/in News, Past Events/by iis.fisipolSelasa (22/08) lalu, Institute of International Studies dan Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Diskusi Bulanan sekaligus edisi #6 dari Webinar STAIR dengan tema “STAIR Community 101 : Science, Technology and Arts in International Relations”. Edisi kali ini menghadirkan Suci Lestari Yuana, Dosen Ilmu Hubungan Internasional sekaligus inisiator dari program STAIR yang akan membagikan pengantar mengenai STAIR dan proyeksi ke depan bagaimana STAIR community akan dikembangkan. Sebagai moderator, Cornelia Laras Gigih Kineta, Staf Divisi Riset IIS UGM hadir untuk memandu diskusi.
Acara kali ini diselenggarakan secara hybrid di Common Room Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan disiarkan lewat platform Zoom Meeting. Acara dihadiri oleh civitas akademika HI UGM, mulai dari dosen – dosen hingga mahasiswa.
Dalam kesempatan kali ini, agenda pembahasan meliputi beberapa hal seputar STAIR, seperti apa itu STAIR, limitasi dalam ilmu Hubungan Internasional, kontribusi STAIR terhadap HI, dan perkembangan komunitas STAIR yang berada di bawah naungan IIS UGM. Sesi diawali dengan pembahasan singkat mengenai apa yang dimaksud dengan STAIR, dan bagaimana STAIR dapat dihubungkan dengan ilmu Hubungan Internasional.
Bagian kedua membahas mengenai limitasi dari HI dalam memandang isu – isu STAIR, yang dibatasi oleh externalism (memisahkan antara studi HI dengan sains and teknologi), instrumentalism (sains dan teknologi cuma dipandang sebagai alat yang netral secara politik, padahal erat dengan isu politik), Ideational bias (kajian – kajian HI masih cenderung bias terhadap ide, dan membuat teori – teori HI menjadi One dimensional theory)
Bagian ketiga membahas mengenai kontribusi STAIR, karena STAIR dapat menawarkan pemahaman yang berbeda untuk mendiskusikan sebuah teknologi, dan dapat memberikan “warna” baru kepada studi HI secara umum. Pembahasan diakhiri dengan update mengenai status update komunitas STAIR di bawah IIS UGM, dan beberapa topik menarik yang mungkin dapat diadopsi menjadi topik diskusi STAIR selanjutnya. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan para partisipan daring dan luring.
Secara umum, acara berlangsung dengan lancar dan kondusif, dan diikuti oleh peserta – peserta yang aktif dan partisipatif, baik luring maupun daring.
IIS Fortnightly Review #53 | Edisi 16 – 31 Agustus 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #52 | Edisi 1 – 15 Agustus 2023
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[RECAP] STAIR #5 : Alternative Futures for Gig Economy
/in News, Past Events/by iis.fisipolSelasa (18/07) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bersama dengan Research Center for Politics and Government, Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (PolGov UGM) dan The Hague University of Applied Sciences menyelenggarakan edisi bulan Juli dari seri Webinar STAIR (Science, Technology and Art in International Relations). Edisi kali ini mengambil tema Gig Economy dengan tajuk “Alternative Futures for Gig Economy” dan merupakan edisi perdana STAIR yang diselenggarakan secara hybrid di Ruang BA 201 FISIPOL UGM dan disiarkan via Zoom Meeting IIS UGM. Acara berlangsung dari pukul 13.00 hingga 15.00 WIB dan dihadiri oleh para peserta yang antusias dalam mendengarkan diskusi ketiga narasumber tentang Gig Economy, baik daring maupun luring.
Untuk mendukung diskusi, IIS UGM menghadirkan tiga narasumber dari beragam latar belakang untuk membagikan pemikiran dan pengalamannya terkait gig economy. Narasumber pertama adalah Martijn Arets (Founder GigCV), yang hadir secara luring di ruang BA 201 FISIPOL UGM. Nabiyla Risfa Izzati (Phd Candidate, Queen Mary University of London) turut hadir secara daring via Zoom Meeting sebagai narasumber kedua. Sebagai narasumber ketiga dan terakhir, IIS UGM menghadirkan M. Sena Lupdhika (Penggiat Platform Coop Indonesia) secara daring. Suci Lestari Yuana (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Inisiator dari program STAIR) hadir secara luring untuk menemani ketiga narasumber sebagai moderator.
Dalam edisi kali ini, para narasumber mengajak para peserta luring maupun daring untuk bersama menelaah bagaimana kemajuan teknologi membentuk kembali lanskap hubungan internasional dan mengubah cara kita bekerja. Dari membayangkan model ketenagakerjaan baru hingga mengeksplorasi implikasi etis dari teknologi baru, diskusi kali ini bertujuan untuk bersama-sama mendiskusikan dan membahas prospek masa depan di mana inovasi, keberlanjutan, dan nilai-nilai yang berpusat pada manusia berkembang dalam ranah peluang gig economy.
Sesi pemaparan singkat oleh ketiga narasumber dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang diikuti oleh peserta baik luring maupun daring secara aktif dan partisipatif.
IIS Fortnightly Review #51 | Edisi 16 – 31 Juli 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat di unduh di sini
[RECAP] Diskusi dan Sosialisasi “Signifikansi dan Implikasi Ratifikasi TPNW”
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat (21/07) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bersama dengan Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan acara diskusi dan sosialisasi “Signifikansi dan Implikasi Ratifikasi TPNW”. Acara diskusi yang diselenggarakan di Ruang Sidang Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tersebut melibatkan tim IIS UGM, tim dari Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri serta beberapa dosen dan akademisi dari berbagai fakultas di UGM. pada kesempatan tersebut, dibahas mengenai urgensi dari ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons bagi Indonesia, salah satu dari negara pertama yang menandatangani traktat. Namun, proses ke arah ratifikasi masih cukup panjang dan belum mengalami progres berarti.
Sesi dibuka dengan paparan oleh Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata yang membahas mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan proses ratifikasi TPNW. Situasi rezim perlucutan senjata global dan situasi kawasan yang kurang kondusif menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi lamanya proses ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Namun, pada dasarnya kementerian – kementerian yang terlibat memiliki keselarasan visi dan menyadari urgensi dari ratifikasi TPNW bagi Indonesia, dan menyadari bahaya dari senjata nuklir.
Sesi kemudian dilanjutkan oleh paparan laporan ICAN terkait pengeluaran negara-negara pemilik senjata nuklir untuk mengembangkan senjata tersebut. Data tersebut menunjukkan bahwa 9 negara pemilik senjata nuklir menghabiskan dana sebesar 82.9 milyar dollar, dan dipimpin oleh Amerika Serikat dan Tiongkok. Regulasi senjata nuklir tidak hanya harus menyelesaikan problematika kuantitas senjata nuklir, tetapi juga kualitas dari senjata nuklir yang terus ditingkatkan oleh negara-negara tersebut.
Setelah sesi pemaparan, sesi dilanjutkan dengan sesi diskusi yang melibatkan para dosen-dosen dari berbagai fakultas di UGM yang secara bergantian menyampaikan pendapatnya mengenai isu senjata nuklir dan potensi nuklir sebagai energi alternatif. Sesi diskusi berjalan dengan cukup aktif dan kondusif, sebelum kemudian dilanjutkan dengan sesi penutup dan makan siang bersama di University Club, Universitas Gadjah Mada (UC UGM).
IIS Fortnightly Review #50 | Edisi 1 – 15 Juli 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[RECAP] STAIR #4 : Politik Seni dan Budaya dalam HI
/in News, Past Events/by iis.fisipolKamis (22/06) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan mini workshop sekaligus edisi terbaru dari seri webinar STAIR (Science, Technology and Arts in International Relations). Edisi kali ini bertemakan “Politik Seni dan Budaya dalam HI”, dan dibuat untuk mempresentasikan dan mendiskusikan proposal dari mahasiswa kelas Studi Independen STAIR prodi S1 HI UGM yang mengusung berbagai topik menarik seperti pameran seni, analisis sinema, hingga filosofi kebudayaan. Acara diselenggarakan secara daring via Zoom Meeting, dan berlangsung dari pukul 13.00 hingga 15.00 WIB
Dalam kesempatan kali ini, IIS UGM menghadirkan tiga narasumber yang juga merupakan anggota kelas Studi Independen STAIR prodi S1 HI UGM yang membawakan bermacam macam tema proposal dengan tema seputar seni dan budaya di depan para peserta yang berasal dari kelas Studi Independen maupun peserta umum.
Proposal pertama yang dibahas adalah “Politik Transnasional Sumbu Filosofi Yogyakarta” dari Aldi Haydar Mulia, yang membahas mengenai aspek politik transnasional dari sumbu filosofi Yogyakarta yang terdiri dari terdiri dari 3 komponen, yaitu Tugu Pal Putih, Kraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Presentasi Aldi dilanjutkan oleh Herstianing Kumala, dengan proposal kedua yang bertajuk “Pameran Seni dan Kesetaraan Gender di Amerika Latin”. Dengan mengambil studi kasus di wilayah Amerika Latin, Hersti mencoba menganalisa bagaimana pameran seni digunakan sebagai sarana pendukung kesetaraan gender.
Sebagai presenter proposal ketiga dan terakhir, Gantar Eliezer Sinaga mempresentasikan proposalnya yang berjudul “Film, Diaspora dan Neo-orientalisme”. Dalam sesi terakhir ini para peserta diajak untuk memandang film dari sudut pandang yang berbeda, dan bagaimana film tersebut dapat dihubungkan dengan perspektif Neo-orientalisme.
Sesi presentasi oleh ketiga presenter dan sesi diskusi didukung oleh Suci Lestari Yuana (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Inisiator dari program STAIR) yang berperan sebagai moderator. Mini Workshop STAIR “Politik Seni dan Budaya dalam HI” dihadiri oleh peserta-peserta yang antusias dan cukup partisipatif dalam mengajukan pertanyaan seputar proposal yang dibawakan oleh ketiga presenter.
IIS Fortnighly Review #49 | Edisi 16 – 30 Juni 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipol[IIS BRIEF] Lessons Learned: Reflection of the Elements of Identity through Papua Liberation Issue
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[RECAP] Sarasehan Bijak Memilih: Roadshow ke Jogja!
/in News, Past Events/by iis.fisipolRabu, (31/05) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM)telah berkolaborasi dengan Bijak Memilih Indonesia, NALAR Institute dan Think Policy untuk menyelenggarakan “Sarasehan Bijak Memilih : Roadshow ke Jogja!”, dengan tujuan untuk mempertemukan para pegiat komunitas lintas isu agar dapat saling bertukar pikiran tentang isu – isu kebijakan yang perlu mendapatkan perhatian serius dari calon wakil rakyat serta kepala dan wakil kepala negara. Acara bertempat di Selasar Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM), dan menghadirkan pembicara – pembicara berkualitas yang akan membagikan aspirasinya sekaligus mengajak para peserta untuk berpikir bersama tentang berbagai macam isu.
Pada sesi pertama yang disebut sebagai Sesi Orasi, tim panitia mengundang Obed Kresna (Pegiat Sosial dan Manajer PARES), Gusti Nur Asla Shabia (FIAN & Sekolah Tani Muda) dan Kalis Mardiasih (Pegiat Isu Toleransi). Sebagai narasumber pertama, Obed membawakan isu “Keadilan Sosial : Pendidikan untuk Semua”, dan mengangkat mengenai isu ketidak – merataan pendidikan bagi masyarakat Indonesia, dan betapa urgensi dari isu tersebut bagi calon wakil rakyat dalam pemilihan yang akan datang. Shabia melanjutkan sesi orasi dengan topik “Krisis Iklim” dan mengangkat isu lingkungan dan AMDAL yang seringkali tidak diperhatikan. Terakhir, Kalis hadir untuk membahas mengenai isu “Keragaman dan Toleransi” dan mengangkat isu keragaman masyarakat dan hal-hal yang dapat membahayakan toleransi di antara masyarakat Indonesia yang heterogen.
Sesi Orasi kemudian dilanjutkan dengan Sesi Aspirasi, dimana para peserta acara diarahkan untu membagi diri menjadi tiga klaster kecil sesuai dengan tiga isu yang diangkat pada Sesi Orasi. Mendampingi para peserta di masing-masing kluster, tim panitia mengundangn Joko Susilo (NALAR Institute) untuk menemani peserta di klaster isu keadilan sosial, Cut Intan Aulianisa Isma (IIS UGM) di isu krisis iklim, dan Yosef Bambang (NALAR Institute) di isu keberagaman dan toleransi. Pada akhir sesi aspirasi, masing masing kluster isu menunjuk satu perwakilan untuk naik ke panggung orasi dan membagikan kesimpulan dan pemikiran dari masing masing isu untuk peserta – peserta lain.
Seusai sesi orasi, acara dilanjutkan dengan sesi terakhir sebagai penutup rangkaian acara, yaitu Panggung Seni, yang menghadirkan Sindana (Ketjilbergerak) yang membawakan dua lagu bagi para peserta, sebelum diakhiri dengan sesi foto bersama.
Acara kali ini berlangsung dengan cukup lancar dan kondusif, dan diikuti oleh hampir 50 peserta yang cukup antusias dan partisipatif.
[RECAP] Beyond the Great Wall #26: Chinese Cuisine & Soft Power
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat (26/05) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan edisi ke-26 dari serial diskusi dwibulanan Beyond The Great Wall. Edisi ke-26 kali ini mengangkat tema “Chinese Cuisine & Soft Power”, dan membahas mengenai makanan dan minuman sebagai sebuah komponen dari penyebaran soft power Cina ke negara – negara lain. Untuk membahas mengenai topik ini, pada kesempatan tersebut IIS UGM mengundang dua pembicara untuk membahas materinya, yaitu Mohammad Izam Dwi Sukma, (Mahasiswa Studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia) dan Nadya Zafira (Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada). Sebagai moderator, IIS UGM mengundang Selma Theofany (Staf Divisi Riset Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada). Sebelum sesi materi dimulai, Theo sebagai moderator menyampaikan tata tertib ruang diskusi sekaligus memeprkenalkan kedua pembicara secara singkat
Sesi dibuka oleh Mohammad Izam Dwi Sukma, yang membawakan materinya yang berjudul “Bisnis Minuman Manis : Komponen Soft Power Terkini Tiongkok?”. dalam materinya kali ini, Izam mengangkat kasus studi merk minuman manis Mixue, sebagai salah satu merk minuman manis asal negeri tirai bambu yang dengan cepat menjamur dan berhasil membuka cabangnya di berbagai kota di Indonesia. Lewat berbagai macam brand (termasuk Mixue), Cina dapat memproyeksikan produk minuman manisnya sebagai salah satu komponen soft power yang merambah berbagai kota di Indonesia, dan mampu menyaingi merk dagang lain yang menjual produk sejenis.
Seusai pemaparan Izam, Nadya melanjutkan sesi BTGW #26 dengan membawakan materi power pointnya dengan judul “What Makes Nasi Goreng So Good?”. Lewat materinya, Nadya membahas mengenai kuliner-kuliner dan resep makanan Tiongkok yang telah mendunia, dan bahkan setelah melalui proses waktu yang tidak sebentar, mengalami proses asimilasi dengan produk – produk makanan lokal untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat negara yang dituju. Lewat proses naturalisasi resep kuliner, resep – resep masakan Cina menjadi dikenal di seluruh bagian dunia dan dapat menyesuaikan dengan lidah masyarakat lokal (salah satu contohnya, adalah nasi goreng).
Seusai pemaparan oleh kedua narasumber, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang berlangsung dengan kondusif dan lancar, sebelum kemudian ditutup dengan closing statement oleh kedua narasumber. Pada kesempatan kali ini BTGW #26 dihadiri oleh sekitar 40 partisipan yang cukup antusias dan partisipatif.
[RECAP] Nonton Bareng dan Diskusi Dragon for Sale
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat (9/06) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerja sama dengan HI CINE dan dengan izin Tim Ekspedisi Indonesia Baru menyelenggarakan acara nonton bareng dan diskusi film “Dragon for Sale” di Auditorium lt. IV Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM). Dalam kesempatan tersebut diputar episode satu dan dua dari quintology film Dragon For Sale, yaitu “Episode 1 : Sailing” dan “Episode 2 : Hiking” yang diikuti dengan sesi diskusi yang menghadirkan tiga narasumber, Dandhy Laksono (Sutradara Dragon for Sale dan Tim Ekspedisi Indonesia Baru), Raras Cahyafitri (Dosen dan Peneliti IIS & DIHI UGM) dan Gregorius Afioma (Peneliti Sunspirit). Acara dihadiri sekitar 50 peserta dari berbagai kalangan.
Film dokumenter Dragon For Sale mengungkap kisah mereka yang harus membayar harga mahal dari proyek ambisius 10 Bali Baru, salah satunya membangun Pulau Komodo untuk menjadi destinasi wisata internasional di Kota Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Film ini menyoroti bagaimana masyarakat lokal membangun resistensi, memperjuangkan model alternatif pariwisata yang tidak mendegradasi lingkungan dan menjunjung tinggi HAM.
Di episode pertama, diperlihatkan bagaimana ide pemerintah untuk membuat Taman Nasional Komodo menjadi obyek wisata premium mempengaruhi para pelaku usaha perahu wisata yang menyediakan paket wisata bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam Taman Nasional Komodo. Dengan naiknya harga tiket masuk komodo secara masif dan dominasi pelaku wisata dengan kapal – kapal phinisi premium, muncul pertanyaan : sebenarnya kebijakan ini dibuat untuk menguntungkan siapa?
Di episode kedua, kita melihat dampak ekologis dari proyek pengembangan Bajo menjadi kawasan pendukung pariwisata Taman Nasional Komodo. Muncul banyak penolakan dari masyarakat yang mempertanyakan aspek konservasi dan keberlanjutan dari rencana pemerintah dalam mengembangkan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo.
Seusai pemutaran film Dandhy dan Gregorius bergabung dengan para partisipan secara daring, sementara Raras hadir langsung di auditorium untuk berdiskusi bersama membahas mengenai kedua episode yang telah diputar. Acara diskusi berjalan dengan lancar dan kondusif, dan para peserta mengikuti rangkaian acara dengan cukup antusias.
Kunjungan Tim BSKLN Kementerian Luar Negeri : Foreign Policy Circle Talks (FPCP) “Konstelasi Politik Global dan Polugri” & Diskusi Terbatas “Isu Isu Strategis di Kawasan Eropa dan Amerika”
/in News, Past Events/by iis.fisipolForeign Policy Circle Talks (FPCP) “Konstelasi Politik Global dan Polugri”
Selasa (13/6) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menerima kedatangan tim Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri dengan agenda Foreign Policy Circle Talks (FPCP) “Konstelasi Politik Global dan Polugri”. Acara yang berlangsung di Ruang Sidang Dekanat FISIPOL UGM melibatkan Tim dari BSKLN Kementerian Luar Negeri, IIS UGM, ASC UGM, CFDS UGM, PSPD UGM dan Dosen-dosen HI UGM. Acara berhasil diselenggarakan dengan kondusif dan lancar di Ruang Sidang Dekanat FISIPOL UGM.
Diskusi Terbatas “Isu Isu Strategis di Kawasan Eropa dan Amerika”
Sehari setelahnya, Rabu (14/6) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bersama dengan Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan agenda kedua, yaitu Diskusi Terbatas “Isu Isu Strategis di Kawasan Eropa dan Amerika”. Dalam acara yang melibatkan BSKLN, IIS dan Dosen-dosen HI UGM tersebut dibahas mengenai isu-isu terkini di kawasan Eropa dan Amerika. Acara diskusi tersebut diselenggarakan di auditorium Lt.IV FISIPOL UGM dan berjalan dengan kondusif dan lancar.
IIS Fortnightly Review #48 | 1 – 15 Juni 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #47 | 16 – 31 Mei 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[IIS BRIEF] Heuristics of International Relations Theories: Future Discourses and Problem-Shifts in International Relations Studies
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[FORTNIGHTLY REVIEW] IIS Fortnightly Review #46 | 1 – 15 May 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[FORTNIGHTLY REVIEW] IIS Fortnightly Review #45 | 16 – 31 April 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[FR] IIS Fortnightly Review #44 | 1 – 15 April 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[POLICY BRIEF] Etika Sistem Persenjataan Otonom: Artificial Intelligence, Tanggung Jawab Moral, dan Akuntabilitas
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[RECAP] STAIR #02 : The Politics of Music in IR
/in News, Past Events/by iis.fisipolKamis (6/04) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan edisi kedua dari seri diskusi STAIR (Science, Technology and Arts in International Relations), program komunitas epistemik terbaru IIS UGM yang berfokus kepada keterkaitan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni pada studi Hubungan Internasional.
Pada edisi kedua webinar STAIR yang bertajuk “The Politics of Music in IR” kali ini, IIS UGM mengundang Dr. Jay Afrisando (Komposer dan Seniman Multimedia) dan Dr. Ahmad Rizky M. Umar (Sessional Lecturer University of Queensland) untuk membahas mengenai aspek kesenian, khususnya musik dalam isu – isu Hubungan Internasional. Suci Lestari Yuana (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan inisiator program STAIR) berperan sebagai Host dan Moderator.
Acara dimulai pada pukul 08.00 dan berakhir pada 10.00 WIB. Acara berjalan dengan lancar dan diikuti dengan sesi diskusi yang kondusif serta produktif.
[FR] IIS Fortnightly Review #43 | Edisi 15 – 31 Maret 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[IIS BRIEF] Keterbatasan Konsep Perdamaian Dominan dalam Membaca Perang Rusia-Ukraina: Kontestasi Kuasa, Maskulinitas, dan Militer Rusia-Ukraina
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[RECAP] Beyond The Great Wall #25 : Melihat Cina Setelah Kebijakan Nol-Covid: Internal dan Eksternal
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolSenin (20/03) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan edisi ke 25 dari forum diskusi Beyond The Great Wall (BTGW) dan edisi perdana dari BTGW Roadshow, yang diadakan di kampus – kampus Universitas partner UGM. Dalam edisi perdana BTGW Roadshow kali ini, IIS UGM bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta selaku tuan rumah. Bertempat di Laboratorium Organisasi Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta, edisi kali ini mengangkat tema “Melihat Cina Setelah Kebijakan Nol-Covid: Internal dan Eksternal”, Kegiatan ini juga disiarkan secara hybrid lewat Zoom Meeting IIS UGM.
Sebagai narasumber, IIS UGM dan UPN “Veteran” Yogyakarta mengundang Dr. Nur Rachmat Yuliantoro (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada dan inisiator forum diskusi Beyond The Great Wall) dan Hikmatul Akbar SIP, MSi, PhD (cand), CMe (Dosen Senior Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta). Melaty Anggraini, MA. (Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta) berperan mendampingi kedua pembicara sebagai narasumber.
Sesi dibuka dengan pemaparan materi oleh Bapak Hikmatul Akbar yang membawakan materi berjudul “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan: Belajar dari Cina”. Dalam materinya, dibahas mengenai daerah-daerah otonom di Cina, dan bagaimana pemerintah Cina memberikan ruang kepada etnis-etnis minoritas di daerah tersebut untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara, dan berhasil mengatasi ide etnisitas dan separatisme dengan kesejahteraan dan pembangunan. Setelah memandang aspek internal dari Cina, Bapak Rachmat mengajak para peserta memandang aspek eksternal lewat presentasinya yang berjudul “Cina Memandang Dunia : A Responsible Great Power?”, dan memandang upaya-upaya yang dilakukan CIna sebagai Great Power untuk mengatasi berbagai isu internasional seperti konflik Rusia dengan Ukraina, serta bagaimana Cina harus membendung framing negatif dari negara – negara Barat.
Seusai pemaparan oleh kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dibagi kedalam dua sesi. Para mahasiswa UPN “Veteran’ Yogyakarta yang hadir turut mengajukan pertanyaan dengan antusias dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi diskusi. Setelah closing statement oleh kedua pembicara dan penutupan oleh moderator, acara ditakhiri dengan sesi foto bersama peserta dan pembicara.
[RECAP] STAIR #01 : The Politics of Metaverse
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolJumat (17/03) lalu Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan edisi pertama dari forum diskusi bulanan Sciences, Technology and Art in International Relations atau STAIR. STAIR merupakan program komunitas epistemik baru IIS UGM yang berfokus pada keterkaitan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni pada studi Hubungan Internasional. Dalam edisi perdananya kali ini, diskusi STAIR akan membahas mengenai aspek politik dalam Multiverse dalam webinar yang bertajuk “Politics in Multiverse”.
Dalam edisi kali ini, IIS UGM menghadirkan Suci Lestari Yuana (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM dan inisiator program STAIR) sebagai host sekaligus moderator diskusi. Sebagai narasumber untuk membahas mengenai politik dalam Multiverse, IIS UGM menghadirkan Antovany Reza Pahlevi (Chief Evangelist Shinta VR) dan Arindha Nityasari (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM). Sesi dibuka dengan sambutan, pengenalan program STAIR dan pengantar diskusi oleh Suci, sebelum dilanjutkan oleh pemaparan singkat oleh kedua narasumber. Antovany membahas mengenai signifikansi serta prospek dari dunia virtual dan Multiverse, sekaligus membahas sedikit mengenai sejarah dari Shinta VR. Melanjutkan Antovany. Arindha membahas mengenai multiverse dan dunia virtual lewat perspektif HI, dan bagaimana ilmu HI dapat diterapkan dalam ranah dunia virtual.
Seusai pemaparan singkat oleh kedua narasumber, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang berlangsung dengan cukup aktif dan kondusif, dimana banyak peserta mengajukan pertanyaan kepada kedua narasumber. Acara ditutup dengan closing statement singkat oleh kedua narasumber dan moderator, yang juga mengajak para peserta untuk bergabung ke dalam komunitas epistemik STAIR dan membahas mengenai isu isu lain yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dalam Hubungan Internasional dalam edisi – edisi STAIR selanjutnya.
Edisi pertama ini mengawali edisi-edisi diskusi STAIR berikutnya dengan tema yang tidak kalah menarik
[RECAP] Forum Reviu Kebijakan Luar Negeri “Diplomasi Kesehatan Indonesia di Kawasan Amerika dan Eropa : Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan Swiss”
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolKamis (16/03) lalu, Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan acara luring Forum Reviu Kebijakan Luar Negeri “Diplomasi Kesehatan Indonesia di Kawasan Amerika dan Eropa : Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan Swiss” di Ruang Auditorium Lt. IV, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada. Acara ini merupakan inisiatif BSKLN Kemlu untuk mereviu kebijakan luar negeri Pemerintah Indonesia, dan dalam kesempatan kali ini mengangkat tema diplomasi kesehatan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia di kawasan Amerika dan Eropa.
Acara dibuka oleh Dr. Mohammad Zakaria Al Anshori (Pusat SKK Amerika dan Eropa, Kementerian Luar Negeri) selaku moderator, yang kemudian membacakan CV dan memperkenalkan Dr. Luqman Nul Hakim (Direktur IIS UGM dan Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional) untuk menyampaikan sambutannya sekaligus menandai dibukanya acara Forum Reviu Kebijakan Luar Negeri. Untuk sesi paparan, Ibu Spica A. Tutuhatunewa (Kepala Pusat SKK Amerika dan Eropa, Kementerian Luar Negeri) hadir mempresentasikan kajiannya terkait pencapaian diplomasi Indonesia di kawasan Amerika dan Eropa.
Setelah pemaparan oleh Bu Spica, acara dilanjutkan oleh sesi tanggapan diskusi, dimana IIS UGM dan BSKLN Kementerian Luar Negeri menghadirkan Dr. Yodi Mahendradhata M.Sc. Ph.D., FRSPH (Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM), Bapak Herwening Weji Kalpiko, S.E., MM., AK (Perwakilan PT Bio Farma) dan Drs. Muhadi Sugiono, MA. (Dosen dan Peneliti Senior IIS UGM/ Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM). Dr. Yodi memaparkan paparan materinya yang berjudul “Diplomasi Indonesia untuk Resiliensi Kesehatan Global” dan membahas mengenai tantangan dan langkah yang bisa diambil oleh Indonesia untuk meningkatkan tingkat resiliensi kesehatan global, termasuk dalam aspek vaksin. Bapak Herwening melanjutkan dengan paparannya yang membahas mengenai peran penting dari Bio Farma sebagai BUMN di bidang kesehatan dalam mendukung diplomasi kesehatan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia. Terakhir Pak Muhadi turut menyampaikan tanggapannya lewat paparan materinya yang bertajuk “Tanggapan atas Reviu Kebijakan Mandiri Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa”, dan menyoroti signifikansi diplomasi kesehatan sekaligus menyampaikan beberapa masukan dan saran terhadap kajian dari BSKLN Kementerian Luar Negeri.
Sesi tanggapan diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab/diskusi, dimana para peserta yang hadir diberikan kesempatan untuk bertanya kepada para narasumber. Dalam sesi diskusi yang dibagi kedalam 2 kloter, para partisipan menunjukkan keaktifannya dengan menyampaikan beberapa pertanyaan dan saran yang direspon secara positif oleh para narasumber. Seusai sesi diskusi, acara ditutup dengan closing statement oleh para narasumber, penutup singkat oleh moderator dan Dr. Luqman Nul Hakim dan penyerahan souvenir oleh BSKLN Kementerian Luar Negeri.
Secara umum acara Forum Reviu Kebijakan Luar Negeri “Diplomasi Kesehatan Indonesia di Kawasan Amerika dan Eropa : Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan Swiss” berlangsung dengan lancar dengan sesi diskusi yang kondusif.
[COMMENTARIES] Mungkinkah Metaverse Menjadi Ruang yang Demokratis?
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[COMMENTARIES] Membaca Arti dan Tantangan pada Periode Ketiga Kepemimpinan Xi Jinping
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
[POLICY BRIEF] Perspektif Global South dan Kepentingan Indonesia dalam Regulasi dan Pelarangan Sistem Persenjataan Otonom
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
Introducing STAIR Community!
/in News/by iis.fisipolSTAIR (Sciences Technology and Arts in International Relations) adalah sebuah program komunitas epistemik baru IIS UGM yang berfokus pada keterkaitan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni pada studi Hubungan Internasional.
Dalam seri webinar bulanan ini, kamu akan terlibat dalam diskusi bersama mahasiswa, alumni, akademisi, maupun praktisi yang menggali isu-isu HI baru dan kontroversial dengan mengetengahkan peran STAIR.
[POLICY BRIEF] Tidak Ada Solusi Otomatis untuk Damai – Mengapa Sistem Persenjataan Otonom Bukan Jawaban
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #42 | Edisi 1 – 15 Maret 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #42 dapat diunduh di sini
Panjang Umur Perlawanan? Refleksi Aksi Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2022 [Stepping Up the Good Fight Stepping Up the Good Fight? Nonviolent Resistance in Indonesia and the World 2022] –Available in Bahasa and English
/in Books, DPD, News, Publication/by iis.fisipolTahun 2022 mungkin akan diingat sebagai tahun di mana dunia mulai lepas dari cengkeraman pandemi tetapi semakin dalam masuk jeratan otokratisasi. Warga sipil di berbagai belahan dunia – termasuk di Utara – berhadapan dengan penyusutan civic space dalam skala yang tidak terbayang sebelumnya. Menyusul pemberlakuan aneka aturan perundangan dan kooptasi berbagai lembaga negara, semakin mudah bagi banyak rezim menjustifikasi langkah-langkahnya, yang dalam standar demokrasi terbilang represif. Di tengah melonggarnya aneka pembatasan di masa pandemi, kita membayangkan bahwa semakin mudah pula bagi warga mengorganisir diri guna memukul balik laju otokratisasi. Benarkah demikian?
Edisi ketiga refleksi tahunan Damai Pangkal Damai (DPD) ini kembali mengetengahkan empat segmen, masing-masing mengenai Indonesia, gerakan maksimalis di berbagai negara, perjuangan berbasis isu di tingkat global, serta kajian khusus. Segmen pertama menyoroti stagnasi perlawanan di Indonesia tahun 2022, dengan menekankan pada lima tren serta ajakan membangun beberapa infrastruktur perlawanan. Segmen kedua mengelaborasi bagaimana banyak gerakan maksimalis yang berorientasi menjatuhkan rezim otoriter cenderung meredup sepanjang 2022, atau berubah menjadi gerakan reformis. Segmen ketiga merayakan semakin maraknya gerakan keadilan iklim, kesetaraan perempuan, serta kesejahteraan buruh yang diusung di berbagai penjuru dunia. Sementara itu, segmen keempat memantik diskusi mengenai peran pertahanan sipil nirkekerasan dalam menghadapi agresi militer negara lain – mengambil inspirasi dari kegigihan warga sipil Ukraina mengadang invasi Rusia.
untuk lebih lanjut, silakan unduh file Panjang Umur Perlawanan? Refleksi Aksi Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2022 di bawah ini :
Download in Bahasa Version
Download in English Version
[BOOK REVIEW] A Sultan in Autumn: Erdogan Faces Turkey’s Uncontainable Forces
/in IIS Book Review, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #41 | 15 – 28 Februari 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #41 dapat diunduh di sini
[RECAP] Kunjungan Tim IIS UGM ke Jakarta, 7 – 10 Februari 2023
/in News, Past Events/by iis.fisipol7-10 Februari lalu, tim Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) berkunjung ke Jakarta dalam rangka untuk menyelenggarakan beberapa agenda yang berkaitan dengan ratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons/TPNW) dan koordinasi terkait pengendalian dan pengawasan Small Arms and Light Weapons (SALW). Dalam kesempatan tersebut, IIS UGM diwakili oleh Drs. Muhadi Sugiono, Dr. Luqman Nul Hakim, Dr. Diah Kusumaningrum, Cut Intan Auliannisa Isma, Nabilah Nur Abiyanti, dan Lucke Haryo Saptoaji.
Agenda tanggal 7 Februari 2023 dibuka dengan Rapat Koordinasi Tim IIS UGM dengan tim Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pada kesempatan tersebut, BSKLN Kemlu diwakili oleh Ganda Mulyana (Kepala Badan BSKLN), Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Multilateral, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Isu Khusus dan Analisis Data serta tim Sekretariat BSKLN. dalam kesempatan tersebut, Tim IIS UGM diwakili oleh Dr. Luqman Nul Hakim dan Cut Intan Aulianisa Isma. Rapat koordinasi tersebut membahas tentang kemungkinan kerjasama dalam berbagai bidang, mulai dari penyelenggaraan pelatihan, kolaborasi jurnal, hingga kolaborasi dalam penyelenggaraan konferensi internasional di masa depan.
Pada agenda kedua yang berlangsung pada tanggal 9 Februari 2023, Tim IIS UGM berkesempatan bertamu ke Ruang Rapat Komisi I DPR RI untuk berdiskusi dengan tuan rumah dan partner-partner IIS UGM dalam Rapat Dengar Pendapat Pakar untuk RUU Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Partisipan dalam rapat koordinasi ini adalah Muhadi Sugiono, MA (Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada), Dr. Intan Inayatun Soeparna (Universitas Airlangga), Dr. Kusnanto Anggoro (Centre for Strategic and International Studies/CSIS), Dr. Riefqi Muna (Universitas Islam Internasional Indonesia/UIII & Research and Operations on Technology and Society/ROOTS), TB Hasanuddin (Komisi I DPR RI), Bobby Adhityo (Komisi I DPR RI), Muzammil Yusuf (Komisi I DPR RI), Nurul Arifin (Komisi I DPR RI ), Rizki Aulia Rahman (Komisi I DPR RI) dan Sturman Panjaitan (Komisi I DPR RI). Dalam kesempatan tersebut, semua partisipan berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai signifikansi dari ratifikasi TPNW dan pengaruh ratifikasi terhadap kebijakan Indonesia terkait penggunaan nuklir, baik sebagai senjata maupun sumber energi terbarukan. Diskusi berjalan dengan lancar, dan mendapatkan beragam tanggapan dari anggota DPR RI selaku tuan rumah rapat.
Dalam agenda terakhir yang berlangsung di Downing Meeting Room No. 03, Ashley Wahid Hasyim Jakarta pada tanggal 10 Februari 2023, IIS UGM menyelenggarakan Meeting Minutes – Grup Koordinasi SALW Indonesia dengan agenda Stocktaking Pengendalian, Pengawasan, dan Regulasi SALW di Indonesia. Dalam rapat tersebut,IIS UGM mengundang Dr. Riefqi Muna (Universitas Islam Internasional Indonesia), Kol. Ikhwan Solihan (Direktorat Kerjasama Internasional Pertahanan, Kementerian Pertahanan), Adek Triana Yudhaswari (Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri), Kol. Binsar Simorangkir (Direktorat Materiil, Kementerian Pertahanan), AKBP Dedi Nur Andriansyah (Divisi Hubungan Internasional Kepolisian Negara Republik Indonesia), dan AKBP I Gede Nyoman Bratasena (Divisi Hubungan Internasional Kepolisian Negara Republik Indonesia). IIS UGM sendiri dalam kesempatan tersebut diwakili oleh Dr. Diah Kusumaningrum. Dalam agenda tersebut, para partisipan duduk bersama dan membahas mengenai pengendalian, pengawasan dan regulasi senjata- senjata ringan dan kaliber kecil di Indonesia.
Secara umum, kunjungan tim IIS UGM ke DKI Jakarta berhasil mencapai tujuan dan berhasil menyelesaikan agenda – agenda penting sesuai dengan rencana.
GLOBAL SOUTH REVIEW | Volume 3 No. 1 January 2021
/in News, Publication/by iis.fisipolNewest edition of Global South Review is now available!
Global South Review is a social and political journal that aimed to provide academic and policy platform to exchange views, research findings, and dialogues within the Global South and between the Global North and the Global South.
Global South Review examines all the issues encountered by Global South in the context of current international justice, security, and order. The journal focuses, but not exclusively, on the role of Global South in global politics; the rise, demise, and possible revival of South-South internationalism and Bandung Spirit; and the dynamics of relations between Global South and Global North.
In this third edition, GSR features six writings highlighting various issues paramount in the Global South.
Access it through the link:
jurnal.ugm.ac.id/globalsouth
IIS ANNUAL REPORT 2022
/in Annual Report, News, Publication/by iis.fisipolIIS Annual Report 2022 dapat diunduh di sini
IIS Fortnightly Review #40 | 1 – 15 Februari 2023
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #40 dapat diunduh di sini
Ratifikasi TPNW dan Urgensinya bagi Indonesia
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolsilakan unduh disini
Buku Saku Small Arms and Light Weapons : Difusi, Regulasi, dan Pengalaman Indonesia
/in Books, News, Publication/by iis.fisipolFile dapat diunduh disini
[IIS RECAP] Beyond The Great Wall #24 : Rivalitas Dua Raksasa Asia : Modernisasi Militer Cina dan Respons India
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (23/12) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) telah berhasil menyelenggarakan edisi ke-24 sekaligus edisi terakhir forum diskusi Beyond The Great Wall (BTGW) di tahun 2022. Dalam edisi kali ini, IIS UGM mengundang Khoirul Amin, Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur. Sebagai moderator, IIS UGM menghadirkan Cornelia Laras G. Kineta, Staf Divisi Diseminasi IIS UGM.
Dengan tema rivalitas diantara Cina dan India, edisi yang bertajuk “Rivalitas Dua Raksasa Asia : Modernisasi Militer Cina dan Respons India” mengangkat mengenai isu modernisasi militer Cina yang berlangsung dengan cukup progresif, dan bagaimana India sebagai salah satu saingan Cina di kawasan Asia merespons pembangunan militer tersebut. Dengan kekuatan dan pengaruh kuat yang dimiliki oleh kedua negara tersebut di kawasan, rivalitas keduanya dapat mempengaruhi stabilitas kawasan dan negara-negara lain disekitarnya.
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
IIS FORTNIGHTLY REVIEW #39 | Edisi 1 – 15 Desember 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review is now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– Solidarity for Palestine: Soccer and Politics Under FIFA Hypocrisy (R. Bomantara, IIS Dissemination Division)
– A New Stage of Democratic Regression: Indonesia’s Controversial Criminal Code (F. Tarissa, IIS Publication Division)
– Questioning Indonesia’s Fight Against Terrorism: Is Deradicalization Program Really the Way? (A. Indriyosanti, IIS Publication Division)
Access them through bit.ly/FRW1Desember2022
[IIS BRIEF] Power Competition at the Expense of Human Security: The Urgency to Re-examine State-centric Policymaking
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipol[IIS RECAP] Masterclass Penelitian Kebijakan Pembangunan Kritis – Strategis
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolMasterclass Penelitian Kebijakan Pembangunan Kritis – Strategis
Pada tanggal 27-30 November 2022 lalu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja, Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan Pelatihan “Masterclass Penelitian Kebijakan Pembangunan Kritis – Strategis” yang diikuti oleh analis kebijakan dari PAKK. acara tersebut diselenggarakan selama 4 (empat) hari pelatihan di ruang BA 201 dan BG202 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada dengan format hybrid. Selama 4 hari pelatihan, IIS UGM menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi maupun praktisi untuk membagikan ilmunya bersama para peserta pelatihan di ruang BA 201 dan BG202 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Rangkaian acara resmi dibuka pada tanggal 26 Desember 2022 dengan acara pembukaan dan makan malam bersama.
Minggu, 27 Desember 2022 menjadi hari pertama pelatihan Masterclass Penelitian Kebijakan Pembangunan Kritis – Strategis, dan diselenggarakan di ruang BA 201 FISIPOL UGM. untuk mengisi kegiatan di hari pertama, IIS UGM mengundang tiga pembicara sebagai narasumber pelatihan. Sesi pertama pelatihan yang bertema “Fondasi Penelitian Kebijakan Perencanaan dan Evaluasi Pembangunan” menghadirkan Prof Mohtar Mas’oed, Profesor Emeritus dalam studi ekonomi politik pembangunan. Sesi dilanjutkan dalam sesi kedua yang bertajuk “Penelitian Kebijakan Pembangunan: Analisis, Desain Rekomendasi dan Strategi“, dan menghadirkan Dr Indri Dwi Apriliani, Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Hari pertama diakhiri dengan sesi ketiga, “Big Data dan Penelitian Kebijakan Pembangunan” yang menghadirkan Treviliana Eka Putri, M.Int.Sec, Direktur Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada
Untuk hari kedua dan seterusnya, ruangan kegiatan beralih ke ruang BG202 FISIPOL UGM. Hari kedua dimulai dengan sesi “Isu Sentral 1—Ekonomi-Bisnis dan Pembangunan” yang menghadirkan Dr Riza Noer Arfani, Dosen senior Kajian Ekonomi Politik Global, Universitas Gadjah Mada. Hari kedua kemudian dilanjutkan dengan sesi “Isu Sentral 2—Dimensi Sosial dalam Pembangunan” yang dipandu oleh Fransiskus Agustinus Jalong, PhD (Cand.), Dosen Departemen Sosiologi danPeneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), Universitas Gadjah Mada. Dr Hasrul Hanif, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan melanjutkan dengan sesinya, “Isu Sentral 3—Dimensi Politik dalam Pembangunan“, sebelum ditutup oleh Dr Luqman-nul Hakim, Direktur Institute of International Studies lewat sesinya yang bertajuk “Isu Sentral 4—Dimensi Politik Global dalam Pembangunan“.
Hari ketiga dibuka dengan sesi “Evidence-based Policy dan Penelitian Kebijakan Pembangunan” yang dipandu oleh Ah Maftuchan, Direktur The Prakarsa. Dr Kuskridho Ambardi, Pakar komunikasi politik, Universitas Gadjah Mada menjadi pengisi materi di sesi selanjutnya yang bertajuk “Komunikasi Politik Kebijakan“. Sesi ketiga ditutup oleh Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni Universitas Gadjah Mada.
Hari terakhir menghadirkan tiga narasumber terakhir, sebelum diakhiri dengan sesi post-test dan evaluasi, sebelum dilanjutkan dengan sesi penutupan dan penyerahan sertifikat. untuk hari terakhir, IIS UGM mengundang Muhadi Sugiono, M.A., Dosen senior, Departemen Ilmu Hubungan Internasional sebagai narasumber sesi pertama. Sesi kedua dilanjutkan oleh Fitra Moerat Sitompul, Ketua MediaLab TEMPO, sebelum dilanjutkan oleh Yasha Chatab, Director of International Business & Government Relations – WIR Group sebagai narasumber sesi terakhir. Sesi dilanjutkan dengan post-test dan evaluasi sebagai sarana evaluasi penyelenggaraan rangkaian kegiatan pelatihan, sebelum kegiatan resmi ditutup oleh Dr Luqman-nul Hakim.
Secara umum, rangkaian acara pelatihan Masterclass Penelitian Kebijakan Pembangunan Kritis – Strategis berlangsung dengan lancar dan kondusif, serta mendapatkan respon positif dari para peserta.
IIS FORTNIGHTLY REVIEW #38 | Edisi 16 – 30 November 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review is now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– PMs Come and Go: Where is The UK Heading Now? (M. Phoebe, IR UGM 2020)
– The Rising Confidence of Philippines-US Security Commitment under Marcos Jr. (Z. Umniati, IR UGM 2019)
– The Threat of Russia-Ukraine War over the Banning Effort of Killer Robots (T. N. D. Margono, IR UGM 2020)
Access them through bit.ly/FRW2November2022
[IIS RECAP] Beyond The Great Wall #23 : “The Sites Must (Not) Flow! : An Introduction to Chinese Policies toward Cross-Border Data Flow”
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (25/11) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) telah berhasil menyelenggarakan edisi ke-23 dari forum diskusi Beyond The Great Wall (BTGW). dalam edisi kali ini, IIS UGM mengundang Lazarus Andja Karunia, alumni Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada sebagai narasumber. Sebagai moderator, IIS UGM mengundanng Fanya Tarissa Anindita, Staf Divisi Publikasi IIS UGM untuk mendampingi Andja dan para partisipan.
Edisi BTGW kali ini berjudul “The Sites Must (Not) Flow! : An Introduction to Chinese Policies toward Cross-Border Data Flow”, dan membahas mengenai kebijakan dan perspektif dari pemerintah Cina terhadap Cross-Border Data Flow.
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
IIS FORTNIGHTLY REVIEW #37 | Edisi 1 – 15 November 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review is now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– COP27 and the Attempts to Tackle Climate Crisis: The Controversies (L. G. Kineta, IIS Dissemination Division)
– Scrutinizing Indonesia’s Updated Nationally Determined Contribution (NDC) 2022 (H. K. Firdausya, IR UGM 2020)
– Rising Military Tension Between South and North Korea: An Unending Security Dilemma? (R. B. K. Sianturi, IR UGM 2019).
Access them through bit.ly/FRW1November2022
[IIS BRIEF] Negara – Negara Pasifik Selatan dan Agenda Sekuritisasi Keamanan Lingkungan: Perubahan Paradigma Masyarakat akan Isu Degradasi Lahan
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolIIS FORTNIGHTLY REVIEW #36 | Edisi 15 – 31 Oktober 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review is now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– Climate Activism: Look at the Message, Not Its Controversy! (E. Anjani, IR UGM 2021)
– Western Media and the Iranian Protest (G. S. A. Gunawan, IR UGM 2020)
– Kanjuruhan Tragedy and the Problem of Policing in Indonesia (F. T. Anindita, IIS Publication Division)
Access them through ugm.id/FRW2Oktober
[IIS BRIEF] Jual Beli Senjata dan Amunisi Ilegal di Tengah Insurgensi: Problematika Sirkulasi Senjata Api di Wilayah Konflik Papua, Indonesia
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolUntuk mengunduh “IIS Brief : Jual Beli Senjata dan Amunisi Ilegal di Tengah Insurgensi: Problematika Sirkulasi Senjata Api di Wilayah Konflik Papua, Indonesia” dapat dilakukan melalui tautan berikut : http://bit.ly/SenjataKonflikPapua
IIS FORTNIGHTLY REVIEW #35 | Edisi 1 – 15 Oktober 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review #34 is now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– Justice for Mahsa Amini: Iranians Growing Protest and What it Means for Women’s Civil and Political Liberties (F. T. Anindita, IIS UGM)
– The Geopolitical Insecurity of Germany: Russia’s Gas Supply Cut During Winter (Y. Elisabeth, IR UGM 2018)
– The Unexpected Failure of Growth: Chinese Communist Party’s Congress and Concerns on Investmen-led Growth (Z. Umniati, IR UGM 2019)
– Armenia Abandoned: Acceptance of Aggression in Post-Ukraine Conflict (M. Atthallah, IR UGM 2019)
Access them through bit.ly/FRW1Oktober
[IIS RECAP] Beyond The Great Wall #22 : “Menjelang Kongres Nasional ke-20 PKC : Apa yang Menarik”
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (30/09) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) telah menyelenggarakan edisi ke-22 dari forum diskusi Beyond The Great Wall (BTGW). Dalam kesempatan yang bertepatan dengan persiapan Kongres Nasional ke-20 dari Partai Komunis Cina (PKC), IIS UGM mengundang Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada sekaligus inisiator dari program Beyond The Great Wall. Sebagai moderator, IIS UGM menghadirkan Ni Made Diah Apsari Dewi, Staf Divisi Riset IIS UGM
Dalam edisi yang bertajuk “Menjelang Kongres Nasional ke-20 PKC : Apa yang Menarik” kali ini, Rachmat mengajak para partisipan untuk berdiskusi mengenai persiapan dan hal-hal menarik yang dapat terjadi menjelang Kongres Nasional Partai Komunis Cina, ditengah berbagai polemik dan isu yang sedang dihadapi oleh pemerintah Cina, baik di lingkup dalam negeri maupun internasional.
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
Beyond The Great Wall #22 : “Menjelang Kongres Nasional ke-20 PKC : Apa yang Menarik?”
/in News/by iis.fisipolJumat, 30 September lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan edisi ke 22 dari forum diskusi Beyond The Great Wall (BTGW), dan edisi keempat di tahun 2022. Beyond The Great Wall kali ini diselenggarakan tepat sehari sebelum Hari Nasional Republik Rakyat Tiongkok yang dirayakan pada setiap tanggal 1 Oktober. Pada kesempatan kali ini, IIS UGM mengundang Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada untuk membagikan pengetahuannya mengenai Cina. Sebagai moderator sesi kali ini, IIS UGM mengundang Ni Made Diah Apsari, Staf Riset IIS UGM.
Sesi dibuka dengan pembacaan tata tertib ruang diskusi BTGW dan pengenalan singkat narasumber oleh moderator. Sesi kemudian dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi oleh Dr. Rachmat yang membawakan materinya yang berjudul “Menjelang Kongres Nasional ke-20 PKC : Apa yang Menarik?”. Dr. Rachmat membahas mengenai hal-hal menarik seputar Cina, yang dalam waktu dekat akan menyelenggarakan Kongres Nasional ke-20 PKC pada tanggal 16 Oktober mendatang. Seusai sesi pemaparan materi oleh Dr. Rachmat, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
[IIS RECAP] GOSOUTH 2022 : Transcending the North – South Divide? : G20 and Multilateralism in Turbulent Global Politics
/in News, Past Events/by iis.fisipolSebagai bagian dari rangkaian acara G20 IIS UGM dan Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, pada 13 –15 September 2022 lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan GOSOUTH 2022 : Annual Convention on the Global South, yang bertajuk Transcending the North – South Divide? : G20 and Multilateralism in Turbulent Global Politics. Edisi keempat dari konferensi internasional GOSOUTH ini diselenggarakan selama 3 hari, yang terbagi dalam satu hari untuk sesi konferensi dan dua hari untuk sesi konferensi dengan melalui platform daring Zoom Meeting.
Pada hari pertama yang merupakan sesi konferensi, IIS UGM mengundang empat pembicara untuk membagikan pemikirannya mengenai Global South. Sesi dibuka dengan welcoming speech oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro sebagai Kepala Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Chair sesi Keynote, Dr. Poppy Sulistyaning Winanti melanjutkan sesi dengan mengenalkan keynote speaker, Dr. Sharifah Munirah Alatas (Universiti Kebangsaan Malaysia). Dr. Sharifah menyampaikan keynote speech selama kurang lebih 30 menit, sebelum dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan peserta konferensi.
Sesi dilanjutkan dengan dipandu oleh Yulida Nuraini Santoso, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada yang akan berperan sebagai chair untuk sesi pembicara. Sesi presentasi pembicara dibuka oleh Dr. Riza Noer Arfani (Universitas Gadjah Mada), yang menyampaikan materinya secara langsung selama 30 menit, sebelum dilanjutkan oleh Dr. Alexander Davis, (University of Western Australia). Sebagai penutup sesi presentasi, pembicara terakhir, Dr. Sara Davies (Griffith University) menyampaikan materinya lewat video pre-recording. Seusai pemaparan oleh ketiga pembicara, sesi GOSOUTH 2022 hari pertama diakhiri oleh sesi tanya jawab selama kurang lebih 30 menit, sebelum kemudian ditutup oleh chair.
Pada hari kedua dan ketiga, sesi panel menghadirkan presentasi para paper presenter yang dibagi kedalam lima panel berbeda sesuai dengan tema sebelum kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Hari pertama dibuka dengan tiga panel berbeda. Panel pertama, Theorising Global South and Global Governance: Representation, Solidarity and Realpolitik, yang terdiri dari tiga paper. Panel kedua, Climate Justice and Energy Transition, terdiri dari dua paper. Setelah break ISHOMA, hari kedua ditutup dengan sesi panel ketiga, Global Health Architecture: Contested Governance and the Reconfiguration of Global Politics yang terdiri dari tiga paper. Hari ketiga dan terakhir GOSOUTH 2022 terbagi kedalam dua panel, Digital Transformation and Digital Justice: Inequality, Development, Security yang terdiri dari lima paper dan G20 and the Crisis of Multilateralism: Global South and Regional Intersections yang terdiri dari tiga paper. Berakhirnya sesi panel di hari ketiga menandakan berakhirnya rangkaian kegiatan acara GOSOUTH 2022.
IIS Fortnightly Review #33 | Edisi 15 – 30 September 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review has now reached its 33rd edition and it’s now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– President Joko Widodo’s Planned Abscence at the General Debate of the 77th Session of the UN General Assembly (Trystanto, IR UGM 2020)
– When Identity Clash Being Transnationalized: Hindutva and Communal Conflict in the United Kingdom (S. A. Murtadho, IR UGM 2019)
– Constructive, Yet Not Fruitful: A Review on 22nd Shanghai Cooperation Organization Summit (A. F. Basundoro, Dept. of IR UGM)
– The New Face of The United Kingdom In Indo-Pacific: Liz Truss vs. China Hegemony (G. A. Warella, IR UGM 2021)
Access them through bit.ly/FRW2September
IIS Fortnightly Review #32 | Edisi 1 – 15 September 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review has now reached its 32nd edition and it’s now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– An Indonesia Attempt to Create Peace and Stability: The 31st Workshop on Managing Potential Conflicts in The South China Sea (D. Lanek, IR UGM)
– Chile’s Constitution Reform: Rocky Roads for Chile’s Progressive Wing (O. B. Saputra, IR UGM)
– Does Cuba Begin Its Economic Liberalization? (R. Arpandy, IR UNRI)
– Marcos’ Independent Foreign Policy: How The Philippines Realigns Partnerships to Confront Regional Security Challenges (A. Ramadhani, IR UGM)
Access them through bit.ly/FRW1September
IIS Fortnightly Review #31 | Edisi 1-15 Agustus 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review has now reached its 31st edition and it’s now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– The Rising Of China-Taiwan Geopolitical Tension: A New Challenge for Indonesia’s Economy (M.C. Widyatmojo)
– Monkeypox: The Reality of Global Health Inequality (F.O. Panjaitan)
– The International Monetary Fund’s New Formula: Is Surcharge Still Necessary? (T.P. Az-Zahra)
Access them through bit.ly/FRW1Agustus
[IIS RECAP] FGD Series G20 #4 : Diversifikasi Energi dan Tantangan Transisi ke Energi Bersih di Tengah Realisme (Geo) Politik
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (5/08) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) dan Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian kepada Masyarakat FISIPOL UGM (UP3M) menyelenggarakan edisi keempat dari Focus Group Discussion (FGD) seri FGD FISIPOL UGM untuk Presidensi Indonesia G-20. Edisi kali ini mengangkat tema mengenai “Diversifikasi Energi dan Tantangan Transisi ke Energi Bersih di Tengah Realisme (Geo) Politik”.
Dalam edisi terakhir seri FGD G20 kali ini, IIS UGM mengundang Sularsih (Koordinator Kerja Sama Migas Dirjen Migas), Muhammad Takdir (Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri), dan Elrika Hamdi (Energy Finance Analyst, Institute for Energy Economics and Financial Analysis/IEEFA). Dr. Nanang Indra Kurniawan (Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM) dan Raras Cahyafitri, M.Sc (Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM) dipercaya mendampingi para narasumber sebagai moderator.
Diskusi dibuka oleh Ibu Sularsih yang membahas mengenai upaya-upaya Indonesia dalam merespon isu diversifikasi energi dan tantangan transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Sesi dilanjutkan oleh Pak Takdir yang membahas mengenai tantangan, masalah dan kesempatan bagi Indonesia, serta isu pendanaan dan investasi yang dibutuhkan Indonesia. Bu Elrika melanjutkan pembahasan dengan mengangkat tema investasi dan pendanaan, karena negara berkembang membutuhkan modal untuk melakukan transisi energi
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
Seri FGD G20 | Diversifikasi Energi dan Tantangan Transisi ke Energi Bersih di Tengah Realisme (Geo) Politik
/in News/by iis.fisipolJumat (5/08) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional UGM, Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (UP3M) FISIPOL UGM , dan G20 Indonesia menyelenggarakan seri FGD (Focus Group Discussion) seri G20 yang bertajuk “Diversifikasi Energi dan Tantangan Transisi ke Energi Bersih di Tengah Realisme (Geo) Politik“. Dalam kesempatan tersebut, IIS UGM mengundang Sularsih, (Perwakilan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM), Muhammad Takdir (Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri), dan Elrika Hamdi (Energy Finance Analyst, Institute for Energy Economics and Financial Analysis/IEEFA) sebagai narasumber. Untuk mendampingi para pembicara, IIS UGM mengundang Dr. Nanang Indra Kurniawan (Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM) dan Raras Cahyafitri, M.Sc (Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM) sebagai Chair dan Co-Chair.
Dalam kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam tersebut, diskusi berlangsung dengan lancar dan kondusif
[IIS RECAP] FGD Series G20 #3 : “Transformasi Digital Global Dalam Agenda G20: Menuju Pembangunan Ekonomi Digital Yang Inklusif dan Berkelanjutan”
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (29/07) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) dan Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian kepada Masyarakat FISIPOL UGM (UP3M) menyelenggarakan edisi ketiga dari Focus Group Discussion (FGD) seri FGD FISIPOL UGM untuk Presidensi Indonesia G-20. Edisi kali ini mengangkat tema mengenai “Transformasi Digital Global Dalam Agenda G20: Menuju Pembangunan Ekonomi Digital Yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
Dalam edisi kali ini IIS UGM mengundang empat narasumber untuk membagikan ilmunya seputar isu Transformasi Digital Global, yaitu Nabilah Nur Abiyanti (Koordinator Divisi Riset Institute of International Studies, UGM), Dr. Ir. I Nyoman Adhiarna, M. Eng. (Direktur Ekonomi Digital Kementerian Kominfo), Rofi Uddarojat (Head of Public Policy and Government Relations in Indonesian E-Commerce Association/IdEA) dan Wahyudi Djafar (Peneliti Kebijakan Digital). Sebagai moderator, IIS UGM mengundang Muhammad Irfan Ardhani, MIR. (Dosen Departemen Hubungan Internasional, FISIPOL UGM) untuk mendampingi keempat pembicara
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
Seri FGD G20 | Transformasi Digital Global Dalam Agenda G20: Menuju Pembangunan Ekonomi Digital Yang Inklusif dan Berkelanjutan
/in News/by iis.fisipolJumat (29/07) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional UGM, Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (UP3M) FISIPOL UGM , dan G20 Indonesia menyelenggarakan seri FGD (Focus Group Discussion) seri G20 yang bertajuk “Transformasi Digital Global Dalam Agenda G20: Menuju Pembangunan Ekonomi Digital Yang Inklusif dan Berkelanjutan” sebagai bagian dari rangkaian kegiatan seri presidensi G20 Indonesia. Pada kesempatan tersebut, IIS UGM mengundang Nabilah Nur Abiyanti (Koordinator Divisi Riset Institute of International Studies, UGM), Dr. Ir. I Nyoman Adhiarna, M. Eng. (Direktur Ekonomi Digital Kementerian Kominfo), Rofi Uddarojat (Head of Public Policy and Government Relations in Indonesian E-Commerce Association/IdEA) dan Wahyudi Djafar (Peneliti Kebijakan Digital). Untuk mendampingi para narasumber, IIS UGM mengundang Muhammad Irfan Ardhani, MIR (Dosen Departemen Hubungan Internasional, FISIPOL UGM) yang berperan sebagai chair.
Dalam kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam tersebut, para narasumber dan chair berdiskusi mengenai aspek transformasi digital sebagai bagian dari agenda G20. Acara berlangsung dengan lancar dan kondusif
Beyond The Great Wall #21 : Cina dan Diplomasi Kebudayaan
/in News/by iis.fisipolJumat (29/07) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) telah menyelenggarakan edisi ke#21 dari Forum Diskusi Beyond The Great Wall atau BTGW. Dalam acara yang bertajuk “Cina dan Diplomasi Kebudayaan” tersebut, IIS UGM mengundang Arif Darmawan, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman untuk membawakan materinya yang berjudul “Cultural Soft Power: Diplomasi Publik Cina Melalui Confucius Institute”. Sebagai moderator, IIS UGM mengundang Lucke Haryo Saptoaji, Staff Publikasi IIS UGM.
Sesi pemaparan materi yang menarik mengenai Diplomasi Cina lewat perantara Confucius Institute kemudian diikuti oleh sesi diskusi yang berjalan dengan lancar dan kondusif
IIS Fortnightly Review #30 | Edisi 2 Juli 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolFortnightly Review has now reached its 30th edition and it’s now out for you to read! Articles featured in this episode are:
– Economic Problems and Conflict in Indonesia’s G20 Presidency: Challenges for a ‘Free and Active’ Foreign Policy (D. Nabila)
– Sri Lanka Crisis: Civil Movements and the Needs for Progressive Changes (G.E. Sinaga)
– Cybersecurity in the Midst of Growing E-Commerce Market in Indonesia (E.D. Widiastuti)
Access them through bit.ly/FRW2Juli
[IIS RECAP] Beyond The Great Wall #21 : “Cina dan Diplomasi Kebudayaan”
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (29/07) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) telah menyelenggarakan edisi ke -21 dari forum diskusi Beyond The Great Wall (BTGW). Dalam edisi yang bertemakan “Cina dan Diplomasi Kebudayaan” kali ini, IIS UGM mengundang Arif Darmawan, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman. Lucke Haryo Saptoaji, staf divisi publikasi IIS UGM dipercaya untuk mendampingi Arif sebagai moderator.
Arif membawakan materinya yang bertajuk “Cultural Soft Power : Diplomasi Publik Cina Melalui Confusius Institute”, dan menelaah bagaimana Confucius Institute yang memiliki 525 cabang di 126 negara di seluruh dunia berperan sebagai sarana diplomasi kebudayaan bagi Cina, termasuk di Indonesia. Dalam proses tersebut, Confucius Institute menjadi sarana di masing-masing negara tuan rumah untuk mempelajari budaya dan sejarah Cina, sembari membangun citra positif untuk CIna.
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
[IIS RECAP] FGD Series G20 #2 : Reformasi Arsitektur Kesehatan Global: Menuju Tata Kelola Kesehatan yang Setara dan Berkeadilan”
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (15/07) lalu Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) dan Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian kepada Masyarakat FISIPOL UGM (UP3M) menyelenggarakan edisi kedua Focus Group Discussion (FGD) dari serial FGD FISIPOL UGM untuk Presidensi Indonesia G-20. Edisi kali ini bertemakan “Reformasi Arsitektur Kesehatan Global: Menuju Tata Kelola Kesehatan yang Setara dan Berkeadilan”.
Dalam edisi kali ini IIS UGM mengundang 3 narasumber untuk membagikan ilmunya seputar isu reformasi arsitektur kesehatan global. Sebagai narasumber pertama, IIS UGM mengundang Dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid (Juru Bicara G20 Health Working Group). Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D (Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan; Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM) menjadi narasumber kedua, dan Dr. Yoko Ratnasari (Deputy Medical Coordinator, Médecins Sans Frontières Indonesia) menjadi narasumber ketiga. Mendampingi ketiga narasumber, Dr. Muhammad Rum, (Dosen Departemen Hubungan Internasional, FISIPOL UGM) menjadi moderator dalam kesempatan kali ini.
Dr. Siti membuka pembahasan dengan tema “Keterbatasan Tata Kelola Global Saat Ini dan Kepentingan Negara-Negara Selatan”. dalam kesempatan tersebut, beliau menekankan tiga prioritas utama bagi Indonesia, yaitu membangun ketahanan kesehatan global, harmonisasi protokol kesehatan global serta memperluas pusat manufaktur dan penelitian global untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi. Dr. Yoko melanjutkan sesi diskusi dengan mengangkat mengenai tema “Keterbatasan Tata Kelola Kesehatan Global” dan menyoroti isu-isu yang membatasi efektifvitas tata kelola kesehatan global saat ini, terutama di era pandemi. Prof Laksono menutup sesi pemaparan dengan pembahasan mengenai Global Health Architecture Challenges, dan menyoroti tantangan tantangan bagi GHA, yang saat ini dinilai penuh sesak dan kurang terkoordinasi.
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
IIS Fortnightly Review #29 | Edisi 1 Juli 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur 29th edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this episode are:
– The Presidency of the G20: Golden Door to Reinvigorate Indonesia’s Tourism Industry (W. Wiliyanto)
– Enraged Protest in Libya Sparked By Political Deadlock And Worsening Living Conditions (D. Lanek)
– Leftist Regional Movement Under Alba: Derailing United States Liberal Influence in South America (O.B. Saputra)
– First TPNW State Parties Meeting; Positive Step Towards Changing Nuclear Weapons Norm (S. A. Firhansyah)
Our Fortnightly Review is also mobile friendly! Access the review through bit.ly/FRW1Juli
Commentaries : Menjembatani Perdamaian Ukraina-Rusia: Prasyarat Keberhasilan Diplomasi Indonesia
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipol[IIS RECAP] FGD Series G20 #1 : “Menuju Pekerjaan yang Layak: G-20, Precariarity dan Tantangan Sektor Ketenagakerjaan”
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (17/06) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) dan Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian kepada Masyarakat FISIPOL UGM (UP3M) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) pertama dari serial FGD FISIPOL UGM untuk Presidensi Indonesia G-20. Edisi pertama kali ini bertajuk “Menuju Pekerjaan yang Layak: G-20, Precariarity dan Tantangan Sektor Ketenagakerjaan”.
Dalam edisi perdana kali ini IIS UGM menghadirkan narasumber-narasumber dari berbagai institusi yaitu Prof. Drs. Anwar Sanusi, MPA, Ph.D (Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan), Indrasari Tjandraningsih, M.A., (Staf Pengajar Ilmu Manajemen Universitas Katolik Parahyangan), Dr. Amalinda Savirani (Ketua Program Doktor Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM), dan Nining Elitos (Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia). mendampingi para narasumber, Dr. Muchtar Habibi, (Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik) berperan sebagai moderator.
Diskusi dibuka oleh chair yang membahas mengenai Isu pekerjaan yang penting didiskusikan, dimana menurut ILO hampir separuh pekerja dunia terlibat dalam pekerjaan yang rentan atau dalam sektor informal. Problematika tersebut juga turut mempengaruhi Indonesia, dan presidensi G20 Indonesia merupakan momen yang tepat untuk membahas isu tersebut. Setelah pembukaan oleh chair, Prof Anwar melanjutkan sesi dengan memaparkan mengenai kondisi, tantangan dan kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan. Bu Indrasari melanjutkan sesi dengan pembahasan seputar isu perlindungan tenaga kerja yang menjadi semakin penting di tengah rezim fleksibilisasi yang berupaya membuat proses kerja dan produksi lebih efisien. Bu Nining mengangkat isu kondisi serikat buruh yang membutuhkan peran pemerintah dalam menyiapkan kebijakan, pencegahan, pengawasan hukum penting. Terakhir, Dr. Amalinda membahas mengenai G20, precarity, dan tantangan sektor tenaga kerja dari perspektif serikat buruh dalam merespon pergeseran dunia kerja dengan ciri “flexibility” dan “precarity”.
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
Commentaries : Media Sosial dan Politik Kekerasan di Tigray, Ethiopia
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipol[IIS RECAP] Beyond the Great Wall #20 : Ekspansi Pengaruh Cina: Kompetisi dan Dominasi
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (27/05) Universitas Gadjah Mada Melalui Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), menyelenggarakan edisi ke 20 dari Forum Diskusi Beyond The Great Wall yang bertajuk “Ekspansi Pengaruh Cina : Kompetisi dan Dominasi” yang berlangsung pada pukul 09.00 – 11.00 WIB secara daring lewat Zoom Meeting IIS UGM. Dalam kesempatan tersebut IIS UGM menghadirkan dua pembicara untuk membahas mengenai isu ekspansi pengaruh Cina.
Sebagai pembicara IIS mengundang Muhammad Ridha Iswardhana, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Teknologi Yogyakarta, dan Bimantoro Kushari Pramono, Dosen dan Peneliti Digital Diplomacy and Cyberspace, Universitas Paramadina. Mendampingi kedua pembicara, Arrizal Jaknanihan, Staf Riset IIS UGM bertugas sebagai moderator.
Sesi dibuka oleh Muhammad Ridha yang membawakan materinya yang bertajuk “Geoekonomi Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIIB) : Wujud Dominasi Tiongkok di Dunia”. Ridha membahas mengenai Bank Investasi Infrastruktur Asia atau AIIIB sebagai bentuk dominannya pengaruh tiongkok secara ekonomi. Pemaparan berlangsung kurang lebih sekitar 30 menit, sebelum kemudian dilanjutkan dengan pemaparan selanjutnya. Sebagai narasumber kedua, Bimantoro mengangkat tema yang tidak kalah menarik, yaitu “China – U.S Competition : a Big Data Perspective”. Lewat pemaparannya, Bima mengangkat isu persaingan diantara Cina sebagai rising power dengan Amerika Serikat, lewat perspektif big data
Seusai pemaparan oleh kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi Q&A untuk mengakomodir pertanyaan dari para peserta diskusi yang cukup antusias dengan materi yang dibawakan oleh kedua pembicara. Secara umum, acara diskusi Beyond The Great Wall #20 berlangsung dengan lancar dan kondusif.
IIS Fortnightly #26 | Edisi 15 – 31 Mei 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur 26th edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
– Disrobing at the 2022 Cannes Film Festival: Protesting Sexual Violence Against Women Amidst Russia-Ukraine Conflict (F. Tarissa)
– Sri Lanka’s Inflation and the Russia-Ukraine War: the Domino Effect Drom Across the Globe (R. K. Larasati)
– Another 150 Million Worth of Security Assitance from US: a Way to Maintain Peace and Security (C. V. Winona)
– The Curious Case of China’s Global Security Initiative (A. Jaknanihan)
Access the review through bit.ly/FRW2Mei
IIS Fortnightly #25 | Edisi 1 – 15 Mei 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur 25th edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
• The Return of Authoritarianism in Bangladesh: Hasina’s Domination and Skepticism on the 2023 General Election (A. D. Bagaskara)
• Devising the Indonesian Carbon Trading Scheme (A. Nathaniel)
• Avoiding Minutes to Midnight: Solomon-China’s Security Pact and the Need for Australia to Reevaluate its Pacific Relations (R. K. Larasati)
Access the review through bit.ly/FRW1Mei
[Damai Pangkal Damai] Pushing Back Autocratization : Nonviolent Resistance in Indonesia and the World 2021
/in Books, DPD, News, Publication/by iis.fisipolDamai Pangkal Damai (DPD) is the first database project that focuses on nonviolent actions in Indonesia throughout the Reformasi era. Initiated in 2016, DPD is managed by the Institute of International Studies (IIS) — the research and advocacy arm of the Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada. It publishes weekly infographics, monthly kaleidoscopes, and annual reflections on nonviolent resistance in Indonesia and the world, as well as a regular podcast highlighting the journeys of peace activists. This second edition of DPD’s annual reflections comes at a time where democracy backsliding (autocratization!) is picking up its speed. DPD believes that defending democracy is not just about strengthening the structures underpinning it (fair elections, separation of power, free press, etc.,). It is also — and perhaps, mostly — about fortifying the cultural components of democracy, including the civil society’s preferences and skills in waging nonviolent resistance. DPD extends its gratitude to Samsu Rizal Panggabean, Aghniadi, Arie Rostika Utami, Brigitta Kalina T.H., Ceng Husni Mubarak, Cut Intan Auliannisa Isma, Erica Chenoweth, Ihsan Ali-Fauzi, Jacky Manuputty, Jamila Raqib, Luqman-nul Hakim, Maurizka Callista, M. Scessardi Kemalsyah, Maulida Raviola, Michael Beer, Nurhawira Gigih Pramono, Novi Kurnia, Pandu Raka Pangestu, Puri Kencana Putri, Sana Jaffrey, Sandra Hamid, Treviliana Eka Putri, Veronique Dudouet, and Zainal Abidin Bagir.
Click here to download the file.
[Damai Pangkal Damai] Mengadang Otokratisasi : Refleksi Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2021
/in Books, DPD, News, Publication/by iis.fisipolDamai Pangkal Damai (DPD) adalah proyek pangkalan data pertama yang mengkhususkan diri pada aksi nirkekerasan di Indonesia era Reformasi. Diinisiasi pada tahun 2016, DPD bernaung di Institute of International Studies (IIS), sayap riset dan advokasi Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Pangkalan data DPD mencatat aksi-aksi nirkekerasan yang terjadi di Indonesia mulai 1999 hingga saat ini. Secara berkala, DPD meluncurkan siniar yang menampilkan para PNS — Pekerja Nirkekerasan Sehari-hari. DPD juga menerbitkan infografis mingguan, kaleidoskop bulanan, dan refleksi tahunan mengenai perlawanan nirkekerasan di Indonesia dan dunia. Refleksi tahunan yang mulai terbit sejak 2021 ini diharapkan menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang berkomitmen memperkuat demokrasi. DPD percaya bahwa konsolidasi demokrasi tidak hanya diperjuangkan dengan memperkuat struktur demokrasi (pemisahan eksekutif-legislatif-yudikatif, pers yang bebas, pemilu yang luber dan jurdil, dan lainnya) tetapi juga dengan memperkuat kultur demokrasi – termasuk di dalamnya preferensi dan keterampilan aktor masyarakat sipil dan negara dalam berkontestasi secara nirkekerasan.
Unduh dokumen di sini.
IIS Fortnightly Review #24 | Edisi 16 – 30 April 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur 24th edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
•Macron Wins France Election: What’s Left for French Muslims? (S. A. Murtadho)
• Yemen’s Long Overdue cease-fire and a Hope for Peaceful Yemen (M. R. K. Rahman)
• Tackling the Hurdle of Russia-Ukraine Plight in Indonesia’s G20 Presidency (F. Tarissa)
• A Sino-Russian “No Limits” Partnership: China’s Information Proxy War on Russia-Ukraine Conflict (F. Tarissa)
Access the review through bit.ly/FRW2April
IIS Fortnightly Review #23 | Edisi 1 – 15 April 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur twenty-third edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
•Facing the Human Rights Abyss in Indonesia: When Criminalising Critics Becomes the Norm (E. Amelia. IR UGM)
•Gabriel Boric and the Fruits of Progressive Social Movements in Chile (M. R. K. Rahman, IR UGM)
•EU Sustainable Approach: Rethinking the Normative Approach (S. N. Nurfadhilah, IR UGM)
\Access the review through bit.ly/FRW1April
IIS Fortnightly Review #22 | Edisi 15 – 31 Maret 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur 22nd edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
• Taking Culture for Granted: UNESCO’s World Heritage Sites Controversies (G. Edella, HI UGM)
• Global Food Inflation: Indonesia and Palm Oil Crisis (L. Kineta, Dissemination IIS)
• Green Credential for a Green Lac: What’s Next after Chile Signed Escazu Agreement? (A. Ramadhani, HI UGM)
• Russia-Ukraine War: Who will be the Winner? (S. A. Murtadho, HI UGM)
Access the review through bit.ly/FRW2Maret
Krisis Ukraina: Merumuskan Prasyarat Menuju Perdamaian
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolKonflik Rusia-Ukraina: Apakah Sanksi Menjadi Solusi atau Problem Baru?
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolPerang Narasi dan Aspek Siber dalam Konflik Rusia-Ukraina
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolMendengarkan yang Tak Terwakili: Menyikapi Krisis Ukraina
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #21 | Edisi 1 – 15 Maret 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur twenty first edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
* “Keep Politics Out of Football”: FIFA’s Double Standard (Lintang Adipratama, HI UGM)
* Painting Latin America Green: Lesson Learned from the Marea Verde Movement (Ni Made Diah Apsari, HI UGM)
* Challenged Security for Women In Indonesia (Jessenia Destarini Asmoro, HI UGM)
* Cyberspace Monopoly and Its Threat Amidst Russia Ukraine Conflict (Muhammad Atthallah, HI UGM)
Access the review through bit.ly/FRW1Maret
Membaca Relevansi Realisme dalam Konflik Rusia – Ukraina
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolCommentaries : Konflik Rusia-Ukraina: Negosiasi Jalan Keluar Terbaik
/in Commentaries, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #19 | Edisi 1 – 15 Februari 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur nineteenth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
* Representing the Developing World: Indonesia’s Agenda for the G20 Presidency (A. H. Febriyanti, UGM)
* Palestinians Under the Israel’s Apartheid System (S. A. Murtadho, UGM)
* Cuba’s Vaccines and the Global South Solidarity (M. R. K. Rahman, UGM)
* Indonesia’s Military Shopping Spree: Competition between France and the United States (A. A. Agassi, UNDIP)
Access the review through bit.ly/FRW1Februari
Informasi Peralihan Kontak IIS UGM
/in News/by iis.fisipolMulai tanggal 10 Februari 2022, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) sudah tidak lagi menggunakan nomer kontak whatsapp 62-878-8460-7707
Untuk kedepannya, IIS UGM dapat dihubungi melalui whatsapp via nomor +62-818-0650-7041.
IIS Fortnightly Review #18 | Edisi 16 – 31 Januari 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur eighteenth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured is this episode are:
•Sydney Festival Boycott: When Solidarity Charged with Antisemitism (S. A. Murtadho)
•Countering the Australian Day “Myth”: Growing Solidarity for the Invasion Day Movements (S. A. Firhansyah)
•A Postponed First Meeting: ASEAN’s Ongoing Split on Myanmar (A. F. Handaru)
•Explaining Russia’s Demand Amidst Rising Ukraine-Russia Tension (M. Phobe)
Access the review through bit.ly/FRW2Januari
[IIS RECAP] Menuju Pekerjaan yang Layak: G-20, Precariarity dan Tantangan Sektor Ketenagakerjaan
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, (17/06) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) dan Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian kepada Masyarakat FISIPOL UGM (UP3M) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) pertama dari serial FGD FISIPOL UGM untuk Presidensi Indonesia G-20. Edisi pertama kali ini bertajuk “Menuju Pekerjaan yang Layak: G-20, Precariarity dan Tantangan Sektor Ketenagakerjaan”.
Dalam edisi perdana kali ini IIS UGM menghadirkan narasumber-narasumber dari berbagai institusi yaitu Prof. Drs. Anwar Sanusi, MPA, Ph.D (Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan), Indrasari Tjandraningsih, M.A., (Staf Pengajar Ilmu Manajemen Universitas Katolik Parahyangan), Dr. Amalinda Savirani (Ketua Program Doktor Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM), dan Nining Elitos (Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia). mendampingi para narasumber, Dr. Muchtar Habibi, Dosen (Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik) berperan sebagai moderator.
Diskusi dibuka oleh chair yang membahas mengenai Isu pekerjaan yang penting didiskusikan, dimana menurut ILO hampir separuh pekerja dunia terlibat dalam pekerjaan yang rentan atau dalam sektor informal. Problematika tersebut juga turut mempengaruhi Indonesia, dan presidensi G20 Indonesia merupakan momen yang tepat untuk membahas isu tersebut. Setelah pembukaan oleh chair, Prof Anwar melanjutkan sesi dengan memaparkan mengenai kondisi, tantangan dan kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan. Bu Indrasari melanjutkan sesi dengan pembahasan seputar isu perlindungan tenaga kerja yang menjadi semakin penting di tengah rezim fleksibilisasi yang berupaya membuat proses kerja dan produksi lebih efisien. Bu Nining mengangkat isu kondisi serikat buruh yang membutuhkan peran pemerintah dalam menyiapkan kebijakan, pencegahan, pengawasan hukum penting. Terakhir, Dr. Amalinda membahas mengenai G20, precarity, dan tantangan sektor tenaga kerja dari perspektif serikat buruh dalam merespon pergeseran dunia kerja dengan ciri “flexibility” dan “precarity”.
Dalam acara yang berlangsung secara daring di platform ZOOM Meeting IIS UGM selama kurang lebih dua jam tersebut, peserta diskusi secara antusias mendengarkan pemaparan narasumber, dan berpartisipasi secara aktif dalam sesi tanya jawab yang berjalan dengan kondusif.
IIS Fortnightly Review #17 | Edisi 1 – 15 Januari 2022
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur seventeenth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Indonesia’s Foreign Policy Index: A Brand New Approach to Measure National Interest Accomplishment (F. Lazuardi)
• The Fight is Ours, All Others Pay Cash: Wadas Against the Mine (L.A. Padmarini)
• Revolt Against Authoritarianism in Kazakhstan (C.V. Winona)
• The Morning Cup Crisis: Latin America and the Global Coffee Chain (F.O Panjaitan)
Access the review through http://bit.ly/FRW1Januari
IIS Fortnightly Review #16 | Edisi 15 – 31 Desember 2021
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur sixteenth edition of Fortnightly Review is out now!
Access the review through http://bit.ly/FRW2Desember
IIS Fortnightly Review #15 | Edisi 1 – 15 Desember 2021
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur fifteenth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• China’s Letter of Protest: A New Chapter of Indonesia’s Policy on the South China Sea (L.H. Saptoaji)
• The Day of The Dead Women: Protesting Against Femicide as Mexico’s Looming Epidemic (F.T. Anindita)
• Paradoxical Climate Negotiation: The Absence of Inclusive Equity on COP26 Glasgow (A.N. Khaira)
• Tackling Omicron Variant: Why Banning Entries from Southern Africa Countries can be Considered “Travel Apartheid”? (N.N. Abiyanti)
Our Fortnightly Review is also mobile friendly! Access the review through http://bit.ly/FRW1Desember
IIS Policy Brief Series Issue 11 : Melindungi Indonesian AID dari Stigma Negatif
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 10 : Menguatkan Indonesian AID untuk Diplomasi Pembangunan
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 09 : Indonesian AID sebagai Instrumen Diplomasi Struktural: Sejumlah Potensi dan Tantangan
/in IIS Brief, News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 08 : Pelibatan Aktor Non-Pemerintah dalam Kerja sama Pembangunan Internasional Indonesia
/in News, Policy Paper, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 07 : Membangun Flagship Diplomasi Pembangunan Indonesia sebagai Emerging Donor dari Selatan
/in News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Issue 06 : Mengatasi Tantangan Politis, Legal Institusional, dan Praksis dalam rangka Memperkuat Tata Kelola Kerja Sama
/in News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 05 : Memahami Nilai Normatif dalam Pembentukan Indonesian AID
/in News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 04 : Memahami Pembentukan dan Desain Awal LDKPI/Indonesian AID
/in News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #14 | Edisi 15 – 30 November 2021
/in IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolOur fourteenth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• India to Revoke Controversial Farm Bills: The Triumph of Farmer’s Nonviolent Agitation (F.T. Anindita)
• “The People are Stronger, and Retreat is Impossible”: Sudan Anti-Coup Protests (Still) Rock the Streets (F.T. Anindita)
• EU’s Assertiveness Towards Carbon Limitation Policy: ETS and CBAM (A. Nathaniel)
• The Philippine Sea: An Intensifying Dispute After China Opened Another Fire (C.V Winona)
Access the review through http://bit.ly/FRW2November
IIS Policy Brief Series Issue 03 : Belajar dari Pengelolaan Kelembagaan Kerja sama Pembangunan Internasional Jepang
/in News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 02 : Dari Negara Penerima ke Donor : Pembelajaran dari Thailand International Cooperation Agency (TICA)
/in News, Publication/by iis.fisipolIIS Policy Brief Series Issue 01 : Menjaga Kredibilitas Kerja sama Selatan – Selatan Indonesia
/in News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review #13 | Edisi 1 – 15 November 2021
/in IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolOur thirteenth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Indonesia’s Wavering Commitment on Deforestation Pledge in COP26: What Went Wrong? (F.T. Anindita)
• The Looks of Intersectionality and Global Solidarity at the COP26 Climate Protests (F.T. Anindita)
• Justice in the Politics of Energy Transition: The Case of Ivory Coast (Nadya Zafira)
• Planet’s Fate Negotiation in Glasgow: A New Hope for the Global South Climate Finance? (Y. Almattushyva)
Access the review through http://bit.ly/FRW1November
Perlawanan Nirkekerasan : Buku Saku Aktivis
/in Books, News, Publication/by iis.fisipolFile untuk Perlawanan Nirkekerasan : Buku Saku Aktivis dapat diunduh melalui tautan berikut : ugm.id/AktivismeNirkekerasan
Buku Saku: Jurnalisme Damai untuk Liputan Aksi Nirkekerasan
/in Books, News, Publication/by iis.fisipolFile untuk buku Jurnalisme Damai untuk Liputan Aksi Nirkekerasan dapat diunduh melalui tautan berikut : ugm.id/JurnalismeNirkekerasan
IIS Fortnightly Review #12 | Edisi 16 – 31 Oktober 2021
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur twelfth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Diplomatically Otherwordly: The Mediatory Presence of Space Exploration in Bilateral Cooperation Efforts (S.A.A. Pragiwaka)
• World’s Climate Change Research Disparity Adding Insult to the Injury of Global North-South Divide (A.N. Khaira)
• The Blue Economy and Challenges Faced by the Global South (Clara Himawan)
Access the review through http://bit.ly/FRW2Oktober
IIS Fortnightly Review #11 | Edisi 1 – 15 Oktober 2021
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolOur eleventh edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Pioneering the Promotion of humanitarian Values in the Asia Pacific: What is Indonesia’s Agenda and Strategy? (Ica Cahayani)
• Another Look at Myanmar After the Coup (R.R. Pekerti)
• Indonesia-Malaysia’s Warning on AUKUS: A Commitment Towards a Nuclear-Free Region? (A.F. Basundoro)
Access the review through bit.ly/FRW1Oktober
IIS Fortnightly Review #10 | Edisi #16 – 30 September 2021
/in Featured, IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolOur tenth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Is Indonesia Suffering from a Decline in Academic Freedom and Freedom of Expression?: A Closer Look at the Case of Saiful Mahdi and the ITE Law (Nabilah N.A)
• Afghan Women: “They Can Not Eliminate us From the Society.” (A. Indriyosanti)
• Rethinking China’s Official Disengagement from Coal Project Funding: A New Arena for Sino-US Rivalry? (R.B.K. Sianturi)
Access the review through : https://simpan.ugm.ac.id/s/RXKmeLSsDCnZ4yK
Cangkir Teh #5: Aspek Normatif dalam Pemberian Bantuan Peningkatan Kapasitas Keamanan Siber Internasional: Pengalaman Jepang dan Korea Selatan
/in Featured, News/by iis.fisipolKamis (30/08), Institute of Internarnational Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan Diskusi Cangkir Teh edisi #5 yang bertajuk “Aspek Normatif dalam Bantuan Peningkatan Kapasitas Keamanan Siber Internasional : Pengalaman Jepang dan Korea Selatan”. Dalam kesempatan kali ini, IIS UGM mengundang Azza Bimantara, alumni HI UGM yang baru saja menyelesaikan studi pascasarjana-nya di Corvinus University of Budapest. Sebagai moderator, IIS UGM menghadirkan Nabilah Nur Abiyanti, Staf Riset IIS UGM.
Tema diskusi hari ini merupakan elaborasi dari topik tesis Azza yang berjudul “The Normative Enactment of International Cybersecurity Capacity Building Assistance: A Comparative Analysis on Japanese and South Korean Practices”. Dalam pemaparannya, Azza membahas mengenai bantuan peningkatan kapasitas keamanan siber internasional dengan membandingkan pengalaman kedua negara yang berbeda, yaitu Jepang dan Korea Selatan.
Seusai sesi pemaparan oleh narasumber, kegiatan ditutup dengan sesi diskusi yang berlangsung dengan kondusif.
IIS Fortnightly Review #9 | Edisi 1 – 15 September 2021
/in Featured, News/by iis.fisipolOur ninth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Surviving Kabul’s Dramatic Takeover: Indonesia’s Moves to Prioritize the Safety of Indonesian Citizens and Embassy Transfer (F. Tarissa)
• Listen to the Afghans: But Which Afghan? (S. Al Murtadho)
• Politicizing Revenge Porn: How Myanmar Brutalizes Women Under the Guise of Democracy (F. Tarissa)
• Is Pandemic a “Black Swan” For ASEAN E-Commerce Industries? (Arrizal A.J.)
Access the review through https://simpan.ugm.ac.id/s/SwgFNOdOQt9uB0H
Annual Convention on Global South 2021 | International Order Beyond the Pandemic: Repositioning of the Global South
/in Featured, News/by iis.fisipolGreetings Go South enthusiast!
After three days of fruitful and engaging discussions in both seminars and panel sessions, we hereby conclude the Annual Convention on the Global South 2021. We hope that all participants could gain invaluable insights through this conference that would further the interest in the studies of the Global South.
As the convener of this conference, we would like to express our deepest gratitude to partners that have supported us in organizing this event. We would also appreciate the speakers, chairs, and moderators for their contributions in this conference. Lastly, we would also thank all participants for their spirited participations throughout conference sessions.
We are looking forward to see you again in the Annual Convention on the Global South 2022!
Commentaries : Indonesia is Not a Free Speech Country as Jokowi Said It Is
/in Commentaries, News/by iis.fisipolOn 29 June 2021, President Joko ‘Jokowi’ Widodo asserted that Indonesia is a democratic country that champions free speech (Cabinet Secretariat of the Republic of Indonesia, 2021). The statement was given following the University of Indonesia’s Student Executive Body criticism of Jokowi, calling the President’ King of Lip Service.’ However, on Wednesday, 22 September 2021, Coordinating Minister for Maritime Affairs and Investment and Jokowi’s right-hand man, Luhut Binsar Pandjaitan, filed a police report against two human rights defenders, Haris Azhar and Fatia Maulidiyanti, for defamation and libel by using the draconian Information and Electronic Transactions Law, along with a civil lawsuit asking for an IDR100 million compensation. Luhut’s decision contradicts President Jokowi’s statement and, alas, proved that Indonesia is not a free speech country as Jokowi assumed it is.
How We Get Here: A Chronology
On 12 August 2021, a coalition of civil society organizations, which includes the Fatia-led Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS), published a report titled ‘The Political-Economy of Military Deployment in Papua.’ The report indicates a nexus between business operations, armed forces deployment, and conflict escalation in Papua. New police and military outposts were built around mining concessions, followed by the deployment of security personnel which, in turn, increased the number of violent conflicts in Intan Jaya Regency (KontraS, 2021). One of the companies involved is a gold mining company, Madinah Qurrata’ain Ltd. (PTMQ), a subsidiary of West Wits Mining (WWM).
In a project situated on the Derewo River, WWM yields thirty percent of its shares to Tobacom Del Mandiri Ltd. (TDM), a part of the Toba Sejahtera Group Ltd., with Luhut being one of the minority shareholders of Toba Sejahtera Group. On 20 August 2021, Haris, the Executive Director of Lokataru Law and Human Rights Office, invited Fatia as a guest speaker to his YouTube channel and discussed the report. On that occasion, Fatia mentioned that there is an indication that Luhut is involved in the business-military operations in Papua by virtue of his role as a minority shareholder of Toba Sejahtera Group.
On 26 August 2021, through his attorney, Juniver Girsang, Luhut subpoenaed Haris and Fatia. In the subpoena, Luhut asked Haris and Fatia to apologize for attacking Luhut’s reputation, character assassination, and spreading false news, and guarantee that in the future, they will not re-offend Luhut (Koalisi Bersihkan Indonesia, 2021). Luhut also threatened Haris and Fatia that if they fail to fulfill Luhut’s demands, further legal actions will be taken against them. However, both Haris and Fatia refused to apologize. Instead, they responded by emphasizing that the term used to describe Luhut’s involvement in the business-military operations in Papua, i.e., ‘indication,’ does not amount to character assassination, as declared by Luhut. Further, Haris and Fatia requested Luhut to counter their claims by providing more data and being more transparent about Luhut’s potential involvement, as suggested in the report.
Unsatisfied, Luhut sent another subpoena on 2 September 2021 before filing a police report today.
What Went Wrong: A Rights-Based Analysis
Luhut’s moves not only contradict Jokowi’s but also Indonesia’s commitment to respect, protect, and fulfill human rights, particularly the right to freedom of expression. As a State Party to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Indonesia is legally bound to respect, protect, and fulfill freedom of expression stipulated under Article 19. The operationalization of Article 19 is further enshrined under General Comment 34.
For instance, General Comment 34 acknowledges that public officials are legitimate subjects for criticism (United Nations, 2011). As policy-makers with almost unlimited resources at their disposal, public scrutiny serves as a means of check-and-balance to keep a tight rein on how the State is governed and, consequently, must be guaranteed. Therefore, “the mere fact that forms of expression are considered to be insulting to a public figure is not sufficient to justify the imposition of penalties (United Nations, 2011).”
Furthermore, under General Comment 34, all laws regarding defamation and the protection of the honor of public officials could potentially undermine freedom of expression and, subsequently, are incompatible with Article 19 of the ICCPR (United Nations, 2011). Hence, the Articles used by Luhut to charge Haris and Fatia, e.g., Article 27(3) (on the distribution of contents of affront) of the amended Information and Electronic Transactions Law and Articles 310 (on defamation) and 311 (on calumny) of the Criminal Code, should not be used due to their potential to create a climate of fear amongst citizens to exercise free speech (JPNN, 2021).
Indeed, Article 19 of the ICCPR allows for the limitation of freedom of expression. Nevertheless, such a restriction must follow two strict tests of necessity and proportionality, which Luhut failed to comply with (United Nations, 2011). The subpoena and the police report were unnecessary because Haris’ and Fatia’s criticism was aimed at a public official and based on research. The reasons for the former were already mentioned in the previous paragraphs. However, the rationales for the latter are more philosophical: research could only uncover truth partially. It is a way to verify the absolute truth. Suppose every study, due to its inability to unravel the holistic truth, would be criminalized. How many people will suffer from such practices and end up incapable of exercising their right to participate in academic activities or freely express their opinion?
Luhut also went overboard with the subpoena and the police report because they could harm Haris’ and Fatia’s mental and physical integrity. The harassment, intimidation, and stigmatization, as well as the potential of arrest, trial, or imprisonment, could be avoided had Luhut decided to answer Haris’ and Fatia’s criticism with data and transparency rather than criminalizing them.
How It Ought to Be: A Call to Action
Shreds of evidence have shown that Luhut’s decision to subpoenaed and filed a police report against two human rights defenders, Haris Azhar and Fatia Maulidiyanti, was groundless, uncalled for, and disproportionate. As such, I call upon the readers to urge:
Reference
Cabinet Secretariat of the Republic of Indonesia. (2021). Criticism is Form of Freedom of Expression, President Jokowi Says. Retrieved on September 23, 2021, from https://setkab.go.id/en/criticism-is-form-of-freedom-of-expression-president-jokowi-says/
JPNN. (2021). Ini Alasan Luhut Menyeret Haris Azhar & Fatia ke Polisi. Retrieved on September 23, 2021, from https://www.jpnn.com/news/ini-alasan-luhut-menyeret-haris-azhar-fatia-ke-polisi?page=3
Koalisi Bersihkan Indonesia. (2021). PEJABAT KOK SUKA SOMASI WARGA [Internal note].
KontraS. (2021). Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya. Retrieved on September 23, 2021, from https://kontras.org/wp-content/uploads/2021/08/FA-LAPORAN-PAPEDA-SPREAD.pdf
United Nations. (2011). General Comment No. 34. Retrieved on September 23, 2021, from https://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf
Writer : Aldo Kaligis
IIS Fortnightly Review #8 | Edisi 15 – 31 Agustus 2021
/in Featured, News/by iis.fisipolOur eight edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• The Threatened Security in Afghanistan: The Taliban’s Politicisation and Objectification of the Afghan Women and Girls (J.D. Asmoro)
• Milk Tea Alliance: Youth Movements for The Better Future in Southeast Asia (M.S. Kemalsyah )
• Bipedalism of Global Tourism Trust Recovery: Review on Indonesian CHSE Certification and Vaccine Distribution (A.C.K. Putri)
• ‘Vulnerabilities Laid Bare’: The ILO Brief on Covid-19 and ASEAN Labour Maket (F. Tarissa)
Access the review through https://simpan.ugm.ac.id/s/jjSwVdIMabkIPb8
Beyond The Great Wall #16 : Memandang Cina dari Segi Kritis dan Krisis
/in News/by iis.fisipolJumat (27/08), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan Forum Diskusi Beyond The Great Wall (BTGW) edisi #16 yang bertajuk “Memandang Cina Dari Segi Kritis dan Krisis”. Dalam kesempatan kali ini, IIS UGM mengundang 2 narasumber, yaitu Muhammad Zulfikar Rakhmat, Dosen serta Peneliti Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia dan Trystanto, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
Sesi dibuka oleh Zulfikar yang membahas mengenai tulisannya yang berjudul “Neo-Gramscianisme dan Geliat Tiongkok di Indonesia”. Lewat materinya, Zulfikar mengajak audiens untuk memandang dinamika hubungan diantara Indonesia dan Cina lewat sudut pandang Neo- Gramscian. Pada sesi kedua, Trystanto memaparkan materinya yang berjudul “China’s Demographic Crisis : The Coming Collapse of China?”, dan membahas mengenai problematika demografis yang dapat mengancam perkembangan Cina di masa depan.
Seusai sesi pemaparan oleh kedua narasumber, kegiatan ditutup dengan sesi diskusi yang berlangsung dengan kondusif.
Cangkir Teh #4 : Memahami Konsep Settler Colonialism : Studi Kasus Israel – Palestina
/in News/by iis.fisipolSelasa (24/08), Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) melangsungkan diskusi Cangkir Teh edisi keempat. Edisi kali ini mendiskusikan dan membedah lebih lanjut mengenai Konsep Settler Colonialism dengan menggunakan Studi Kasus Israel-Palestina. Dalam kesempatan ini, IIS UGM mengundang Kishino Bawono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan dengan spesialisasi studi Timur Tengah, berfokus pada isu Israel-Palestina. Dalam materinya, Kishino memaparkan mengenai latar belakang dari settler colonialism, perbedaan dan persamaannya dengan classical colonialism, kemudian masuk ke pembahasan studi kasus yakni memahami Israel sebagai sebuah settle colonial state. Terakhir, Kishino juga membahas hambatan yang ada untuk menyelesaikan isu settler colonialism di Israel-Palestina ini.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang berlangsung dengan kondusif dan peserta diskusi yang partisipatif.
Cangkir Teh | Memahami Konsep Settler Colonialism: Studi Kasus Israel-Palestina
/in Featured, News/by iis.fisipolSettler Colonialism atau kolonialisme pemukim adalah suatu bentuk penjajahan yang bertujuan untuk menggantikan masyarakat asli dari wilayah jajahan dengan masyarakat pemukim atau penjajah. Di dalam jenis kolonialisme ini, masyarakat asli tidak hanya terancam untuk kehilangan wilayah, namun juga cara kehidupan dan juga identitas yang telah dimiliki turun-temurun.
Berbagai contoh kolonialisme pemukim masih ada dan nyata hingga kini. Salah satunya adalah di Palestina, di mana pengusiran penduduk asli Palestina dari Tepi Barat masih terus terjadi dan sempat meletus menjadi suatu krisis internasional pada Mei lalu. Di bawah kolonialisme pemukim Israel, penduduk asli Palestina menghadapi berbagai ancaman eksistensial yang kerap kali difasilitasi oleh Israel.
Diskusi Cangkir Teh : Memahami Konsep Settler Colonialism: Studi Kasus Israel-Palestina akan diselenggarakan pada :
Tanggal : Selasa, 24 Agustus 2021
Waktu : 13.00 – 14.30 WIB
Tempat: Zoom Meeting
Pembicara:
• Kishino Bawono, Dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan
Moderator:
• Cut Intan Auliannisa Isma, Program Manager Institute of International Studies (IIS) HI UGM
Registrasi dapat dilakukan melalui tautan bit.ly/CangkirTeh4
IIS Fortnightly Review #7 | Edisi 1 – 14 Agustus 2021
/in IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolOur seventh edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Beyond Beijing-Jakarta: China’s Expanding Economic Partnerships with Indonesia’s Provinces (F. Tarissa)
• ‘We Dont’t Want This Anymore’: Guatemalans Strike Against Corruption Amidst the Pandemic (F. Tarissa)
• The Aftermath of South Africa’s Recent Unrest on Economic Recovery (F. Tarissa)
• Vaccine Passports Politics Amidst an Increasingly Polarized World (R.W Pradipta)
Access the review through https://simpan.ugm.ac.id/s/VnOFvOIgVAtGMS5
Commentaries : Signifikansi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir bagi Perdamaian Dunia dan Urgensi Indonesia
/in Commentaries, News/by iis.fisipolTraktat Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons/TPNW) pertama kali diadopsi pada tahun 7 Juli 2017 untuk menjawab kebutuhan akan sebuah instrumen hukum yang dapat mengatur kepemilikan dan pengembangan senjata nuklir bagi negara-negara anggotanya. Berangkat dari kekhawatiran akan terulangnya tragedi kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki di tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, TPNW diharapkan dapat menghentikan segala aktivitas yang berhubungan dengan senjata nuklir dan bermuara pada pemusnahan secara total.
Cara TPNW Bekerja
TPNW memiliki karakter yang unik jika dibandingkan dengan konvensi-konvensi pengaturan senjata nuklir yang telah ada sebelumnya, seperti Non-Proliferation Treaty (1968) dan konvensi tentang kawasan bebas-nuklir lainnya. Traktat ini tidak hanya melarang pengembangan, uji coba, pertukaran, penggunaan, dan penyimpanan senjata nuklir bagi negara anggota, tapi juga melarang mereka untuk menjadi ‘host’ bagi negara lain untuk melakukan aktivitas serupa. Selain itu, TPNW juga mengatur kewajiban negara membantu korban yang disebabkan oleh aktivitas nuklir, termasuk di antaranya memberi jaminan kesehatan, psikologis, dan tunjangan ekonomi.
Secara teknis, negara-negara dapat memilih untuk menghilangkan kepemilikan dan keterlibatan mereka dalam aktivitas senjata nuklir sebelum meratifikasi TPNW atau secara berangsur dan konsisten mengurangi aktivitas tersebut dalam kurun waktu yang telah disepakati. Setelah negara-negara tersebut berhasil melucuti fasilitas senjata nuklirnya, International Atomic Energy Agency (IAEA) akan memberlakukan pengamanan ketat guna menjamin benar-benar tidak ada lagi fasilitas yang tersisa untuk digunakan di masa depan.
Secara prinsip, TPNW bekerja dengan cara kolektif melalui pemberian stigma pada senjata nuklir dan pihak-pihak yang melakukan aktivitas terkait. Sejarah menunjukkan bahwa senjata-senjata yang telah mendapat larangan seiring berjalannya waktu akan semakin kehilangan status politisnya – membuat kebutuhan akan senjata tersebut semakin menurun, perusahaan persenjataan semakin sulit mendapat bantuan dana untuk pengadaan senjata nuklir, dan para investor juga harus berpikir ulang untuk berinvestasi pada sektor tersebut karena ada reputasi baik yang menjadi taruhan. Dalam jangka panjang, berkurangnya signifikansi kepemilikan senjata nuklir secara global dapat mewujudkan cita-cita diciptakannya TPNW, yakni pemusnahan total senjata nuklir yang mengancam perdamaian dunia.
Sifat kolektif TPNW tidak hanya terletak pada stigmatisasi senjata nuklir, tapi juga pada efektivitas pemberlakuannya. TPNW hanya dapat secara hukum mengikat negara-negara yang telah melakukan ratifikasi, terlepas traktat itu sendiri telah resmi berlaku sejak tanggal 21 Januari 2021. Sehingga, meskipun terhitung hari ini (9/8/2021) sudah ada 55 negara yang meratifikasi, butir-butir perjanjian yang termuat di dalam TPNW belum bisa berlaku secara menyeluruh. Hal inilah yang kemudian mendorong urgensi diratifikasinya TPNW oleh lebih banyak negara, terutama mereka yang memiliki kapasitas senjata nuklir yang besar dan secara aktif mengembangkannya, seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, Perancis, dan Inggris.
Namun, bukan berarti dukungan dari negara-negara yang tidak memiliki kapasitas serupa tidaklah penting. Senjata nuklir merupakan bencana yang dapat menimpa semua pihak tanpa diskriminasi. Dampak yang disebabkan oleh senjata nuklir tidak hanya memilih mereka yang mengibarkan perang, tapi juga mencakup rakyat sipil yang tidak bersalah dan lingkungan untuk jangka waktu yang panjang. Kompetisi pengembangan senjata nuklir juga mengakibatkan senjata ini semakin diminati sebagai strategi pertahanan negara – seperti yang pernah diungkapkan oleh PM Inggris, Boris Johnson, ketika mengumumkan keputusan untuk menambah hulu ledak nuklir Inggris. Sehingga, bukan tidak mungkin senjata ini akan diluncurkan jika perang terjadi di masa depan. Bukankah sejarah sudah membuktikannya?
Di samping itu, dukungan secara masif dari berbagai negara dapat menguatkan relevansi dari nilai-nilai yang terkandung dalam TPNW. Negara yang sebelumnya percaya bahwa senjata nuklir merupakan solusi pertahanan yang baik dapat berubah pikiran setelah menyaksikan banyaknya negara yang memutuskan untuk meratifikasi TPNW. Bukan hanya sekedar tidak lagi melihat senjata nuklir sebagai solusi, negara-negara ini juga dapat berempati kepada pihak-pihak yang ingin bebas dari momok tersebut dan merasa turut bertanggung jawab atas kemaslahatan orang banyak. Hal ini terbukti saat Perancis dan Cina bergabung ke dalam Non-Proliferation Treaty setelah beberapa dekade sebelumnya menunjukkan pertentangan.
Peran Indonesia
Indonesia tidaklah terkecuali. Indonesia merupakan salah satu saksi sejarah dan bagian dari sekelompok negara yang paling awal membubuhkan tanda tangan untuk TPNW pada tanggal 20 September 2017. Namun, hingga saat ini tindakan tersebut belum dilanjutkan oleh ratifikasi.
Pelucutan senjata nuklir seharusnya menjadi salah satu perhatian dan komponen penting dari politik luar negeri Indonesia yang seyogianya diikuti dengan tindakan nyata, yakni ratifikasi. Ratifikasi oleh Indonesia memiliki nilai dan pengaruh yang sangat signifikan bagi TPNW – meskipun saat ini Indonesia belum memiliki kapasitas senjata nuklir. Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah populasi sebanyak 260 juta jiwa. Jika diakumulasikan dengan total 1,08 miliar warga yang dinaungi oleh 55 negara peratifikasi TPNW lainnya, maka buah ratifikasi Indonesia dapat melindungi 1,34 miliar manusia dari ancaman perang nuklir di masa depan.
Indonesia juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi internasional bergengsi, termasuk di antaranya G20 dan Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFEZ). Bergabungnya Indonesia ke dalam TPNW dapat mempengaruhi negara-negara lain untuk turut mengambil langkah serupa. Sebagai anggota SEANWFEZ sendiri, ratifikasi TPNW dapat dilihat sebagai upaya perluasan global dari tujuan awal dibentuknya organisasi tersebut, yakni mewujudkan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir. Terlebih, jika dilihat dari perspektif keamanan, Indonesia bukanlah negara yang dapat duduk tenang bila penggunaan senjata nuklir menjadi lumrah di masa depan. Indonesia rawan akan konflik perbatasan serta aktivitas kejahatan transnasional. Alam Indonesia yang luas dan kaya juga akan sangat terdampak oleh segala bentuk aktivitas senjata nuklir.
Pada hakikatnya, meratifikasi TPNW bukanlah sekedar tentang kewajiban Indonesia untuk menjaga ketertiban dunia dan perdamaian abadi seperti yang telah diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945, tapi juga merupakan bentuk tuntutan akan hak seluruh warga negara atas ruang hidup yang aman dan bebas dari ancaman eksistensial hingga generasi-generasi yang akan datang.
Referensi
Booth, W. (2021). Boris Johnson’s vision for post-brexit ‘Global Britain’ includes more nuclear weapons. Washington Post. https://www.nytimes.com/2020/10/25/world/americas/nuclear-weapons-prohibition-treaty.html
Gladstone, R. (2020). Treaty to prohibit nuclear weapons passes important threshold. The New York Times. https://www.nytimes.com/2020/10/25/world/americas/nuclear-weapons-prohibition-treaty.html
How the treaty works. (2021). ICAN. https://www.icanw.org/how_the_tpnw_works
Lovold, M. (2021). Why does the nuclear ban treaty matter. International Committee of the Red Cross. https://www.icrc.org/en/document/why-nuclear-ban-treaty-matters
Marin-Bosch, M. A nuclear weapons-free world: is it achievable? United Nations. https://www.un.org/en/chronicle/article/nuclear-weapons-free-world-it-achievable
Penulis : Cut Intan Auliannisa Isma
Commentaries : Bayang-Bayang Ancaman Senjata Nuklir 76 tahun setelah Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki
/in Commentaries, News/by iis.fisipolDilansir dari studi yang dilaksanakan oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), terhitung awal tahun 2021, ada sekitar 13.080 senjata nuklir di dunia. Jumlah ini merupakan akumulasi dari kepemilikan senjata nuklir oleh 9 negara, baik negara yang memiliki senjata nuklir secara sah (nuclear weapons states), yakni kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, maupun yang tidak sah (states with nuclear weapons) seperti India, Pakistan, Israel dan Korea Utara. Walaupun jumlah ini merupakan sebuah penurunan dari awal tahun 2020, terdapat peningkatan jumlah senjata nuklir yang saat ini dikerahkan dengan kekuatan operasional dari 3.720 hingga 3.825 (Global Nuclear Arsenals Grow as States Continue to Modernize, 2021). Sekitar 2.000 diantaranya yang merupakan milik Rusia atau Amerika Serikat masih disiagakan dan dapat setiap saat digunakan. Jumlah yang tidak sedikit ini merupakan sebuah peringatan bahwa ancaman senjata nuklir masih membayang-bayangi dunia, 76 tahun setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.
Pengembangan yang dilakukan oleh negara-negara pemilik senjata nuklir juga dapat dilihat dari penambahan arsenal dan peningkatan kualitas senjata nuklir mereka. Tiongkok baru-baru ini dilaporkan telah secara berangsur meningkatkan ukuran dan mendiversifikasikan komposisi arsenal nuklir mereka (China, 2021). Hal ini menambah kekhawatiran akan stabilitas dan keamanan internasional. Selain itu, mengacu Integrated Review of Security, Defence, Development and Foreign Policy yang dirilis pada bulan Maret 2021, Inggris melaporkan bahwa mereka memutuskan untuk meningkatkan jumlah persediaan hulu ledak nuklir sebanyak 260. Inggris menyatakan keputusan ini dilakukan karena kekhawatiran atas meningkatnya ancaman kontemporer, khususnya persaingan global dan proliferasi teknologi baru. Langkah yang dilakukan Inggris merupakan kemunduran dari janji Inggris pada tahun 2010 untuk mengurangi persediaan menjadi di bawah 180 pada pertengahan 2020.
Ketegangan geopolitik yang muncul antara negara-negara pemilik senjata nuklir juga dapat berperan pada meningkatnya ancaman senjata nuklir. Sebagai contoh, hubungan bilateral Amerika Serikat dan Rusia yang bersitegang, membuat kedua kepala negara tidak ragu untuk menggunakan senjata nuklir mereka apabila kepentingannya terganggu. Walaupun pada Juni 2021 ini Presiden Putin dan Presiden Biden telah setuju bahwa “nuclear war cannot be won and must never be fought (perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan oleh karena itu tidak boleh sampai dilakukan),” setahun lalu ketegangan kedua negara memunculkan narasi bahwa penggunaan senjata nuklir sangat memungkinkan. Mengamati kejadian ini, CEO NTI Ernest J. Moniz dan mantan senator Sam Nunn berpendapat bahwa “Not since the 1962 Cuban missile crisis has the risk of a U.S-Russian confrontation involving the use of nuclear weapons been as high as it is today (konfrontasi antara AS dan Rusia berkaitan dengan senjata nuklir tidak pernah setinggi hari ini sejak krisis misil Kuba pada tahun 1962).”
Kekhawatiran terhadap ancaman senjata nuklir juga didorong oleh kurangnya transparansi beberapa negara pemilik senjata nuklir. SIPRI memaparkan bahwa ketersediaan informasi tentang status persenjataan nuklir yang dapat dipercaya antara negara-negara pemilik senjata nuklir bervariasi. AS dan Inggris telah mengeluarkan cukup banyak informasi mengenai kemampuan nuklir mereka masing-masing. Sama seperti AS dan Inggris, Prancis juga melaporkan beberapa informasi penting mereka. Rusia menolak untuk membagi informasi persenjataan nuklir mereka secara terbuka, walaupun ada indikasi bahwa Rusia mengabarkan beberapa informasi ini kepada AS. Studi SIPRI juga menunjukkan bahwa Tiongkok lebih terbuka dalam melaporkan kekuatan persenjataan nuklir mereka dibandingkan beberapa tahun lalu, meskipun tidak diimbangi dengan informasi mengenai rencana pengembangannya di masa depan yang masih sangat sedikit. India dan Pakistan telah membuat pernyataan tentang uji coba rudal mereka, namun informasi tentang status atau ukuran persenjataan nuklir yang dimiliki tetap dirahasiakan. Sama seperti India dan Pakistan, Korea Utara juga mengakui uji coba rudal dan senjata nuklir telah dilaksanakan, namun tidak memberikan informasi mengenai kapasitas senjata nuklir mereka. Sesuai dengan kebijakan lamanya, Israel hingga saat ini tidak mengomentari persenjataan nuklir mereka. Kurangnya transparansi dari negara-negara pemilik senjata nuklir dan tidak terprediksinya ketegangan geopolitik yang mungkin muncul, berperan terhadap meningkatnya rasa takut akan munculnya perang nuklir lain.
Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan sekitar 129.000 hingga 226.000 orang yang kebanyakan adalah warga sipil merupakan pengingat betapa destruktif dan berbahayanya perang nuklir. Harapan para warga sipil bergantung pada rasionalitas kepala negara untuk terus mengingat dampak dari perang nuklir dan menahan diri untuk menggunakan senjata nuklir yang dimiliki sebagai senjata perang. Akan tetapi kekhawatiran muncul di tahun 2018 silam ketika Donald Trump yang saat itu masih menjabat sebagai presiden AS, tidak ragu melontarkan ancaman untuk menyerang negara lain dengan senjata nuklirnya. Trump menanggapi pernyataan pemimpin Korea Utara –Kim Jong Un – bahwa “[the] Nuclear Button is always on my table (Tombol Nuklir selalu berada di atas meja saya),” dengan cuitan “…I too have a Nuclear Button, but it is a much bigger and more powerful than his, and my Button works! (Saya juga memiliki Tombol Nuklir, yang lebih besar dan lebih kuat dari miliknya, dan Tombol saya bekerja).” Tidak ragunya kepala negara dalam melontarkan ancaman untuk menggunakan Tombol Nuklir mereka dan memulai perang nuklir di abad ke 21, terus mengingatkan bahwa selama senjata nuklir masih ada dan terus dikembangkan maka dunia masih berada dibawah ancaman perang nuklir.
Studi survei yang dilaksanakan oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) terhadap lebih dari 16.000 generasi milenial (responden berumur antara 20-35) di 16 negara yang dibagi menjadi negara yang mengalami perang atau konflik dan negara yang tidak, menunjukkan bahwa kekhawatiran akan pecahnya perang nuklir masih membayangi generasi milenial. Menurut hasil studi yang bertajuk Millennials on War, 54% responden meyakini bahwa senjata nuklir masih akan digunakan sebagai alat perang dalam 10 tahun ke depan. Mayoritas responden (84%) menunjukkan oposisi mereka terhadap penggunaan senjata nuklir dalam keadaan apapun. Sekitar 64% responden setuju bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir harus mengeliminasi senjata nuklir mereka, dan 59% responden setuju bahwa negara yang tidak memiliki senjata nuklir tidak perlu memilikinya.
Referensi
Biden and Putin agree: “Nuclear war cannot be won and must never be fought.” (2021). DW. https://www.dw.com/en/biden-and-putin-agree-nuclear-war-cannot-be-won-and-must-never-be-fought/a-57921072
China. (2021). NTI. https://www.nti.org/learn/countries/china/
Global Britain in a competitive age: The Integrated Review of Security, Defence, Development and Foreign Policy. (2021). HM Government. https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/969402/The_Integrated_Review_of_Security__Defence__Development_and_Foreign_Policy.pdf
Global nuclear arsenals grow as states continue to modernize. (2021). Stockholm International Peace Research. https://www.sipri.org/media/press-release/2021/global-nuclear-arsenals-grow-states-continue-modernize-new-sipri-yearbook-out-now
Løvold, M. (2020). Lessons from the ICRC’s Millennials on War Survey for Communication and Advocacy on Nuclear Weapons. Journal for Peace and Nuclear Disarmament, 3(2), 410–417. https://doi.org/10.1080/25751654.2020.1859216
Millennials on War. (2020). International Committee of the Red Cross.
Moniz, E. J., & Nunn, S. (2019). The Return of Doomsday: The New Nuclear Arms Race -and How Washington and Moscow Can Stop It. Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/articles/russian-federation/2019-08-06/return-doomsday
SIPRI Yearbook 2019. (2019). https://www.sipri.org/yearbook/2019/06
Trump to Kim: My nuclear button is “bigger and more powerful.” (2018). BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-42549687
United Kingdom. (2021). NTI. https://www.nti.org/learn/countries/united-kingdom/
Penulis : Nabilah Nur Abiyanti
Commentaries : Belajar dari Tragedi Kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki
/in Commentaries, News/by iis.fisipolSenjata nuklir adalah senjata pemusnah massal yang memiliki dampak paling dahsyat dibandingkan dengan senjata-senjata pemusnah massal yang lain. Senjata ini memiliki daya ledak yang sangat besar dan memberikan dampak yang sangat menghancurkan serta mematikan bagi umat manusia dan lingkungan sekitar. Seperti akibat dari ledakan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki yang dapat meluluh-lantakan sebuah kota, menghancurkan bangunan, merusak lingkungan sekitar, serta menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Dampak senjata nuklir bahkan dapat terus memberikan pengaruh jangka panjang kepada umat manusia maupun lingkungan alam di area tersebut. Ironisnya senjata nuklir adalah satu-satunya senjata pemusnah massal dan tidak manusiawi yang memiliki status legal sampai diadopsinya Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons, TPNW) tahun 2017.
Sepanjang sejarah, senjata nuklir baru digunakan dalam pertempuran antara kekuatan Sekutu melawan kekuatan Poros pada Perang Dunia Kedua. Pada pagi hari, di tanggal 6 Agustus 1945, pesawat Enola Gay yang diterbangkan oleh pilot bernama Paul W. Tibbets melintasi kota Hiroshima dan menjatuhkan sebuah bom atom ke pusat kota industri yang padat penduduk tersebut. Hasilnya adalah kehancuran yang masif. Mengutip dari ICAN, bom atom yang dijatuhkan tersebut memiliki daya ledak setara dengan 15.000 ton TNT, menyebabkan 140.000 penduduk meninggal di akhir tahun 1945, dan 70 persen bangunan rata dengan tanah. Sementara data dari Pemerintah Kota Hiroshima menyebutkan sebanyak 320.000 warga terdampak, di antaranya 118.000 warga meninggal pada hari itu juga. Pada waktu itu, penduduk Hiroshima berjumlah sekitar 350.000 jiwa.
Tiga hari kemudian, pasukan Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom yang bernama “Fat Boy” ke kota Nagasaki yang berjarak 410 kilometer dari kota Hiroshima dan mengakibatkan sekitar 74.000 warga sipil meninggal dunia serta menghancurkan berbagai bangunan dan infrastruktur kota. Berbagai sumber melaporkan bahwa hanya dalam hitungan detik, sebuah ledakan bom atom dapat menyebabkan terbentuknya awan menyerupai kubah jamur setinggi 13 kilometer menjulang ke udara kota Hiroshima dan Nagasaki. Sesudahnya, gelombang panas menyapu kota menyebabkan kebakaran dan diikuti hujan abu yang mengguyur seluruh kota.
Seorang saksi bernama Tsutomu Yamaguchi ingat betul betapa mengerikan kejadian di hari itu. Mengutip dari dw.com, pagi itu Yamaguchi dalam perjalanan ke tempat kerja, tiba-tiba dia melihat sambaran kilat yang sangat menyilaukan dan kemudian terdengar ledakan yang sangat dahsyat. Ia mengalami luka bakar yang parah dan menyaksikan situasi di sekitarnya yang sangat kacau. Gedung perkantoran, rumah, jembatan dan bangunan lainnya hancur berantakan, membuat kota industri Hiroshima hampir rata tanah dan korban dengan luka bakar yang mengerikan bergelimpangan. Pengalaman serupa juga disampaikan oleh para hibakusha, sebutan bagi para korban selamat yang terdampak efek bom atom Hiroshima dan Nagasaki, diantaranya Matsushima Keijiro, Ogura Keiko, Takahashi Akihiro, dan beberapa lainnya.
Yamaguchi merupakan seorang hibakusha yang unik, karena mengalami dua kali peristiwa pengeboman dua kota di negeri Sakura itu. Tidak menyangka akan adanya petaka serupa, mengutip dari Deutsche Welle (DW), Yamaguchi memutuskan kembali ke kampung halaman di Nagasaki pada tanggal 8 Agustus 1945 dimana keesokan harinya pasukan Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom di kota kelahirannya. Lagi, dia mengalami secara langsung kejadian mengerikan dalam sejarah hidupnya, bahkan dalam sejarah umat manusia di seluruh dunia.
Tidak selesai di hari itu saja, ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki juga menyisakan berbagai penderitaan bagi hibakusha untuk jangka waktu yang lama. Paparan radiasi yang disebarkan menimbulkan penyakit-penyakit seperti kanker, leukimia, kerusakan organ, risiko keguguran tinggi, dan dampak psikologis berkepanjangan yang harus ditanggung oleh para penyintas. Dampak radiasi internal dari nuklir ini juga menjadi indikator yang diakui oleh Kementerian Kesehatan Jepang untuk menjadi basis pemberian kompensasi kepada para penyintas. Selain itu, para hibakusha juga harus mengalami diskriminasi sosial seumur hidupnya akibat stigma sebagai pembawa gen cacat dan penyakit. Selama berpuluh tahun, para hibakusha kesulitan untuk mencari pasangan dan diterima di lingkungan pekerjaan layaknya warga Jepang biasa.
Laporan dari Economic Stabilization Board di tahun 1949 juga menunjukkan kerugian ekonomi yang cukup fantastis akibat peristiwa tersebut. Kerugian yang ditimbulkan oleh kerusakan bangunan, infrastruktur, jalan, dan fasilitas komunikasi di Hiroshima dan Nagasaki mencapai total $17.682.000 (kurs 1947: 1 dolar AS/50 yen). Besaran ini belum termasuk biaya rehabilitasi kota, bantuan sosial bagi korban, dan pemulihan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan tidaklah main-main. Radiasi dari bom atom menyebabkan pencemaran bagi lahan dan hasil pertanian, perikanan, dan air bersih yang menjadi konsumsi sehari-hari tidak hanya oleh warga Hiroshima dan Nagasaki, tapi juga mencakup wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Radiasi ini menempel selama bertahun-tahun lamanya, menyebabkan kelangkaan sumber pangan lokal yang layak dikonsumsi.
Untuk mengenang sekaligus selalu mengingatkan masyarakat Jepang dan juga masyarakat global, maka pemerintah Jepang mendirikan 2 buah museum. Jika anda mengunjungi kota Hiroshima, Jepang, maka anda akan menemukan Hiroshima Peace Memorial Museum, di mana terdapat sebuah monumen peringatan peristiwa peledakan bom atom yang terjadi di kota tersebut 76 tahun yang lalu. Terdapat satu bangunan bernama Gembaku Dome, satu-satunya gedung yang masih tersisa hingga hari ini, menjadi saksi biru peristiwa memilukan di kota industri yang cukup maju di Jepang pada masanya. Sedangkan di kota Nagasaki didirikan Nagasaki Atomic Bomb Museum. Kedua Museum ini menyimpan sisa-sisa reruntuhan, foto, dan dokumen penting lainnya yang menghadirkan realita di masa kelam itu.
Belajar dari peristiwa di dua kota bersejarah di Jepang, penggunaan senjata nuklir di masa mendatang sama sekali tidak dapat dibenarkan secara moral dan kemanusiaan. Dampak yang ditimbulkannya tidak dapat memenuhi dua prinsip utama dari Hukum Humaniter Internasional, yaitu prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Saat senjata nuklir diledakkan, maka akibat dari ledakan itu tidak dapat membedakan siapa atau apa objek yang akan terkena dampaknya, apakah dia pihak dan objek militer atau sipil. Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan bahwa 90 persen korban adalah penduduk sipil yang seharusnya merupakan pihak-pihak yang wajib dilindungi dalam situasi apapun, bahkan dalam situasi perang. Begitupun, ledakan bom nuklir tersebut tidak dapat memilih hanya akan menyasar target militer, karena terbukti sebagian besar gedung dan infrastruktur sipil rusak dan hancur akibat pengeboman tersebut.
Penggunaan senjata nuklir di dua kota ini juga memberi pelajaran berharga bagaimana penggunaannya telah memberikan dampak yang tidak proporsional untuk mencapai tujuan militer yang sah. Dampak pengeboman tersebut telah menyebabkan kesakitan yang luar biasa dan tidak perlu, telah menghilangkan korban nyawa yang sangat masif, dan korban harta benda yang tak ternilai. Dampaknya pun tidak hanya dirasakan pada saat itu, tetapi terus berlanjut hingga puluhan tahun setelahnya.
Lebih dari tujuh dasawarsa sejak bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, derita kemanusiaan yang ditimbulkannya masih dirasakan dan mengusik rasa kemanusiaan kita. Tetapi, kesadaran untuk menghapuskan ancaman kemanusiaan tersebut dari muka bumi ternyata masih jauh dari harapan. Umat manusia masih hidup dalam bayang-bayang ancaman kepunahan dengan hampir 15.000 bom nuklir yang ada di dunia ini. Hadirnya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir pada tahun 2017 memberi secercah harapan bahwa dunia yang bebas dari bayang-bayang senjata nuklir bukan sebuah ilusi, sekalipun untuk mencapainya bukan perjalanan yang pendek dan mudah.
Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki memberi peringatan kepada kita untuk jangan pernah mengulang petaka kemanusiaan ini. Penting untuk meresapi secara mendalam, satu pesan penting yang tertulis di dekat Bel Perdamaian di Museum Hiroshima, ”We dedicate this bell as a symbol of Hiroshima Aspiration. Let all nuclear arms and wars be gone, and the nations live in true peace!” Pesan ini semestinya menyadarkan kita akan urgensi pelarangan senjata dan perang nuklir agar umat manusia dapat hidup dalam perdamaian yang hakiki.
Referensi
Bugnion, Francois. (1995). “Remembering Hiroshima”. International Review of the Red Cross, No. 306. https://www.icrc.org/en/doc/resources/documents/article/other/57jmge.htm
Higan-No-Kai, Hiroshima. (1964). Hiroshima Peace Bell. https://travel.gaijinpot.com/hiroshima-peace-bell/
Hiroshima and Nagasaki Bombings. (2021). ICAN. https://www.icanw.org/hiroshima_and_nagasaki_bombings
Hiroshima’s Path to Reconstruction. (2015). Hiroshima Prefecture and The City of Hiroshima.
Kisah Tsutomu Yamaguchi Selamat dari Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki. (2020).
https://www.dw.com/id/tsutomu-yamaguchi-selamat-dari-bom-hiroshima-dan-nagasaki/a-54463122
Naono, Akino (2019). “The Origins of ‘Hibakusha’ as a Scientific and Political Classification of the Survivor”. Japanese Studies 39(3): 333-352.
Rothman, L. (2017). After the Bomb: Survivors of the Atomic Blast in Hiroshima and Nagasaki Share Their Stories. TIME. https://time.com/after-the-bomb/
Solomon, F. & Marston, R. (1986). The Medical Implications of Nuclear War. National Academy of Sciences. http://www.nap.edu/catalog/940.html
Penulis : Ririn Tri Nurhayati
Commentaries : Jalan Terjal Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir
/in Commentaries, News/by iis.fisipolBencana yang diakibatkan oleh ledakan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus untuk menghentikan perang di Pasifik adalah sebuah tragedi besar dalam sejarah umat manusia. Korban jiwa, skala kerusakan serta dampak yang ditimbulkan oleh ledakan senjata nuklir tersebut seolah membangunkan masyarakat internasional dari mimpi buruk dan mendorong tekad untuk memusnahkan senjata tersebut. Seruan untuk menghapuskan sepenuhnya senjata nuklir serta untuk mendirikan sebuah badan untuk menangani senjata nuklir menjadi resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB setelah lembaga dunia tersebut didirikan.
Tetapi, tekad untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran ternyata tidak cukup kuat untuk membebaskan dunia dari senjata nuklir. Terbukti, resolusi PBB untuk menghapuskan senjata nuklir tidak menghalangi negara-negara besar untuk mengembangkan senjata nuklir mereka. Tiga tahun setelah resolusi PBB dikeluarkan, Uni Soviet melakukan uji coba senjata nuklirnya di Semipalatinsk, Kazakhstan dan menjadi negara kedua yang memiliki senjata nuklir. Inggris menyusul Uni Soviet dengan melakukan uji coba senjata nuklir di Australia pada tahun 1952, diikuti oleh Perancis di Pasifik Selatan tahun 1960 dan Cina di Provinsi Sinkiang pada tahun 1962. Praktis kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB identik dengan negara-negara yang memiliki senjata nuklir.
Kekhawatiran akan munculnya persaingan dalam pengembangan senjata nuklir mendorong munculnya upaya-upaya untuk membatasi uji coba senjata nuklir seperti Perjanjian Antartika 1959 yang melarang uji coba nuklir maupun penimbunan limbah radioaktif di Antartika maupun Perjanjian Uji Coba Nuklir Parsial 1963 yang melarang uji coba nuklir di atmosfer, luar angkasa dan di bawah air. Sementara itu, berbagai protes terhadap pengembangan senjata nuklir mulai bermunculan. Di tengah-tengah meningkatnya persaingan Timur-Barat, sekelompok ilmuwan ternama yang dipelopori oleh Albert Einstein dan Bertrand Russell mengeluarkan manifesto yang mengingatkan akan bahaya perang nuklir dan mendesak semua negara untuk menyelesaikan perselisihan secara damai. Demonstrasi-demonstrasi menentang senjata nuklir juga berlangsung di berbagai negara. Pada tahun 1958 terbentuk Kampanye untuk Campaign for Nuclear Disarmament dengan simbol CND, yang sekarang dikenal sebagai simbol perdamaian.
Upaya internasional untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dengan visi untuk akhirnya menghapuskannya muncul dalam bentuk Perjanjian Non Proliferasi Nuklir atau NPT (Treaty on the Nuclear Non-Proliferation) tahun 1968. Perjanjian ini ditopang oleh 3 pilar yakni non proliferasi, perlucutan senjata, dan penggunaan energi nuklir untuk tujuan-tujuan damai. Melalui NPT, negara-negara yang hingga tahun 1968 belum melakukan uji coba senjata nuklir, dilarang mengembangkan atau memiliki senjata nuklir, sementara kelima negara yang telah melakukannya, berhak memiliki senjata nuklir meski tetap harus menunjukkan itikad untuk menghapuskannya.
Sebagai sebuah rezim nuklir internasional, NPT relatif efektif untuk mencegah pengembangan atau kepemilikan senjata nuklir oleh lebih banyak negara, meskipun gagal menghalangi negara-negara tertentu seperti Israel, India, Pakistan dan Korea Utara. Sebagian negara-negara ini tidak menandatangani NPT. Disamping itu, negara-negara pemilik senjata nuklir juga tidak pernah menunjukkan komitmen atau itikad baiknya untuk secara bertahap mengurangi dan akhirnya menghapuskan senjata nuklir dari doktrin pertahanan mereka. Berbagai negosiasi perlucutan senjata yang dilakukan cenderung lebih dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan kepemilikan senjata nuklir daripada mengurangi, apalagi menghapuskannya.
Konsekuensinya, sampai saat ini, hampir 15 ribu hulu ledak nuklir masih mengancam dan membayangi masa depan umat manusia, lebih dari 75 tahun sejak masyarakat internasional bertekad untuk menghapuskannya. Bahkan terdapat kecenderungan ancaman senjata nuklir semakin riil dan tidak lagi merupakan kemustahilan (lihat tulisan-tulisan berikutnya).
Diadopsinya Perjanjian Internasional Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons) yang dikenal dengan TPNW pada tahun 2017 menjadi harapan baru bagi umat manusia untuk hidup tanpa dibayangi ancaman senjata nuklir. TPNW bukan terminal terakhir dari upaya untuk mencapai dunia bebas dari senjata nuklir. Sebaliknya, TPNW merupakan awal dari perjalanan yang mungkin masih akan sangat panjang bagi terwujudnya dunia bebas senjata nuklir. Tetapi perjalanan harus dimulai. Bisa jadi, kita tidak akan menikmati dunia yang kita angankan itu, tetapi tidak berlebihan rasanya untuk berharap agar anak cucu kita yang akan hidup lebih damai bebas dari bayang-bayang ancaman senjata nuklir.
Referensi
Dowling, S. (2017). The monster atomic bomb that was too big to use. BBC News. https://www.bbc.com/future/article/20170816-the-monster-atomic-bomb-that-was-too-big-to-use
From misplaced emblem in London to iconic – the UN General Assembly across 70 years. (2016). United Nations. https://news.un.org/en/story/2016/01/519682-feature-misplaced-emblem-london-iconic-hall-un-general-assembly-across-70-years
People’s history of CND – demonstrators in Trafalgar Square in 1959. Campaign for Nuclear Disarmament. https://cnduk.org/peoples-history-of-cnd-demonstrators-in-trafalgar-square-1959/
SIPRI Yearbook 2021. (2021). Stockholm International Peace Research Institute. https://www.sipri.org/yearbook/2021
Writer : Muhadi Sugiono
IIS Fortnightly Review #6 | Edisi 16 – 30 Juni 2021
/in IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolOur sixth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Jokowi Issued Presidential Decree on Ranham, Omit Past Human Rights Violations (N. Raharema)
• Democracy Day to Demand Reforms in Nigeria (D. Laras)
• Extension of G20 Debt Suspension Service Initiative (DSSI): “A Double-Edged Sword in Disguise?” (P. Ega)
• ASEAN-EU Comprehensive Air Transport Agreement (AE CATA): A Novel Regionalism Approach to Keep the Aviation Industry Afloat Amidst COVID-19 (S. Hanief)
Access the review through : https://simpan.ugm.ac.id/s/VvSg3AJCOPVs4Sf
IIS Fortnightly Review #5 | Edisi 1 – 15 Juni 2021
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur fifth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• Colombia and Its Growing Mass Movement: “They Can’t Take It Anymore” (V. Winona)
• Why COVID-19 Vaccination in Poorer Nations Has Slowed, Posing Global Risks (S. Aryawangsa)
• How COVID-19 Pandemic Could Impede The Catch-Up of Poor Countries With Rich Ones (M. Yansverio)
• Global Nursing Shortage and Health Inequality (N. Raharema)
Our Fortnightly Review is also mobile friendly! Access the review throught : https://simpan.ugm.ac.id/s/GnuzILvb6SfY5mL
IIS Fortnightly Review #4 | Edisi 16 – 31 Mei 2021
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolOur fourth edition of Fortnightly Review is out now! Articles featured in this edition are:
• ‘Social Media is The Mass Protest’: Solidarity with Palestinians Grows Online (M. Yansverio)
• Drown in Water, Still Die of Thirst: Jakarta’s Water Issues (R. Puspita)
• US’ Biden Administration Approved $735 Million Weapons Sale to Israel (N. Raharema)
• ‘Diggin in, Myanmar’s Military Junta Detains US Journalist’: A Sign of Government Weakness (F. Gabriel)
Access the review throug : https://simpan.ugm.ac.id/s/NXd5uTKVnbsIegU
IIS Fortnightly Review #3 | Edisi 1 – 15 Mei 2021
/in IIS Fortnightly Review, News, Publication/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review edisi 1-15 Mei 2021 dapat diunduh melalui tautan berikut : https://simpan.ugm.ac.id/s/1Y2cBVRupMdlYU3
Beyond The Great Wall #14 | Dinamika Geoekonomi Belt and Road Initiative
/in News/by iis.fisipolJumat (23/04) lalu, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan Forum Diskusi Beyond The Great Wall (BTGW) edisi ke-14. Dalam kesempatan tersebut, IIS UGM mengundang Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, yang juga sedang menjalani Studi Doktoral dengan disertasi mengenai kebijakan luar negeri Tiongkok. Probo didampingi oleh Brigitta Kalina, staf divisi diseminasi IIS UGM yang berperan sebagai moderator.
Dalam kesempatan tersebut, Probo membawakan materinya yang berjudul “Belt and Road Initative RRT : Kemunculan dan Perluasan Orde Developmentalisme di Indo-Pasifik Tandingan Liberalisme AS”. Lewat materinya tersebut, Probo menganalisa peluang berkembangnya BRI sebagai wujud Developmentalisme RRT di kawasan Indo-Asia-Pasifik, dan membandingkannya dengan liberalisme a la Amerika Serikat, yang mengalami kemerosotan di era Presiden Donald Trump.
Sistem Senjata Otonom Mematikan : Sebuah Acuan Dasar Untuk Kajian Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia
/in Books, News/by iis.fisipolKlik tautan berikut untuk mengunduh file Sistem Senjata Otonom Mematikan : Sebuah Acuan Dasar Untuk Kajian Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia [tersedia dalam versi Bahasa Indonesia dan versi Bahasa Inggris] :
http://bit.ly/PrimerKillerRobots
IIS Fortnightly Review #1 | Edisi 1 – 14 April 2021
/in IIS Fortnightly Review, News/by iis.fisipolIIS Fortnightly Review edisi 1-14 April 2021 dapat diunduh melalui tautan berikut :
https://simpan.ugm.ac.id/s/medP14b9Mu2CGUS
It’s Time to Rethink Jakarta’s Water Governance
/in Commentaries, News, News (English)/by iis.fisipolAs if the COVID-19 crisis is not enough, Jakarta is now also facing another flood catastrophe. Most recently, flooding affected around 200 neighborhood units (RT) and forced more than 1,000 people to evacuate their homes.
Indonesia is currently facing a series of disasters including floods, landslides, whirlwinds and extreme droughts in some parts of the country. According to the National Disaster Mitigation Agency (BNPB), the number of disasters has nearly tripled in the past five years from around 1,664 in 2015 to 3,023 in 2020.
Of course the usual culprit of these disasters is climate change, which according to Prof. Edvin Aldrian of the Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT) is caused by environmental changes and degradation within and without the country.
While it is not untrue, there is more than meets the eye: it is the failure of urban water planning and governance which has contributed to Jakarta’s persistent flooding. Overlooking the root causes will not only undermine the deeper issue, but also shift the attention to quick and temporary technological fixes that only exacerbate the environmental catastrophe.
The flooding in Jakarta this year was timely as Vox, a US media outlet, published a video report on Jakarta’s environmental crisis, which has caused the city to sink as fast as 25 centimeters annually. The report associates this crisis with Dutch-inherited segregated water infrastructure, massive groundwater exploitation and rapid urban development leading to a proliferation of concrete that prevents rainwater from replenishing water lost from the city’s aquifer layers.
These issues, however, cannot be solved with simple technological fixes. Rather they require a rearrangement of water governance that has proven to have failed to provide equal and sustainable access to the city’s population.
This failure is evident in three aspects: the exclusion of the urban poor from the governance process, the blurry lines between rights and responsibilities of the stakeholders, and the elite-centric decision-making process.
In an effort to do so, we can start by rethinking our water governance approach that currently focuses on the centralized water infrastructure to also incorporate a variety of everyday water practices. These have been chosen by people either because they are excluded from the network or because their access is limited due to the weak water pressure, or the unreliable and low-quality supply of the available network.
The reality of water governance in Jakarta is not reflected in the networked infrastructure that only covers 65 percent of the population with the majority of customers coming from middle to lower income households. Considering service unreliability that is not consistent with constant tariff increases, even those who are connected also fulfill their water needs either from groundwater, rainwater harvesting or bottled water.
According to the report from Amrta Institute, more than 60 percent of the city’s water needs are fulfilled by groundwater, which serves nearly two-thirds of the city’s water consumption, or around 630 million cubic metre out of 1 billion m3/year.
Unfortunately, the discussion on Jakarta’s water governance has been biased toward the centralized infrastructure, which is problematic for three main reasons. First, it reinforces a legacy of the colonial government water development planning, which is socially and geographically fragmented. This has inherently prevented the urban poor, especially those who live in informal settlements, from both accessing the piped water infrastructure and participating in the governance process.
Second, centralized piped water infrastructure is often used as a justification for private sector participation due the government’s lack of capacity to fund capital costs. However, as evident in Jakarta, neither public nor private operators have successfully ensured adequate and sustainable water service provision for the population, even those who adhere to pro-poor initiatives.
Lastly, the focus on centralized infrastructure promotes the development of big-infrastructural projects as a band-aid for the environmental catastrophe while neglecting the underlying issue of water governance failure. For example, the construction of a USD$40 billion giant sea wall to prevent seawater from overflowing into the already sinking city does not address the underlying problems and often comes at a cost of forced eviction of many informal settlements which burdens the already excluded urban poor.
Thus, there is a need to look beyond the networked water infrastructure by considering everyday water practices in which people interact within and outside the centralized infrastructure. Such practices include buying water from neighbors, collecting water from public stand-pipes, purchasing from pushcart vendors and extracting groundwater from shallow or deep wells.
Looking at these everyday practices will allow us to unveil the different manifestations of water inequalities in terms of distribution, recognition and participation. For example, research by Kooy and Furlong in 2018 found that over-abstraction of groundwater in rich neighborhoods has led to salinization of shallow groundwater and land-subsidence in poor neighborhoods, exposing the urban poor to higher risk of flooding and poorer water quality.
Equally important, paying attention to everyday water practices will not only allow us to understand the different manifestations of urban water inequality but also enable us to capture local knowledge and practices that have been filling the gap left by the centralized water infrastructure. This will counter the disempowering image of the urban poor as a passive recipient or victim of Jakarta’s unequal water governance.
This article does not seek to diminish the importance of centralized piped water infrastructure or the urgency for people to be connected to a piped water source, instead it seeks to highlight the need to look beyond the centralized network in order to develop a more holistic understanding of Jakarta’s water governance.
Hopefully, this will lead to the creation of an inclusive and sustainable urban water governance that allows for more equitable access to water, increasing recognition and larger space for participation especially for marginalized communities including the poor in informal settlements, women, migrants and the disabled.
This article has been published by the Jakarta Post and can also be accessed via the following link: https://www.thejakartapost.com/paper/2021/02/26/its-time-to-rethink-jakartas-water-governance.html
Writer : Marwa
Editor : Angganararas Indriyosanti
Damai Pangkal Damai : Membela Demokrasi di Tengah Pandemi – Refleksi Aksi Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020
/in Books, News, Publication/by iis.fisipolKlik tautan berikut untuk mengunduh file buku Damai Pangkal Damai : Membela Demokrasi di Tengah Pandemi – Refleksi Aksi Nirkekerasan di Indonesia dan Dunia 2020 [Tersedia dalam versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris] : http://bit.ly/DPDRefleksiAksiNirkekerasan
The Striking Generational Divide, Explained
/in Commentaries, News/by iis.fisipolGenerational “finger-pointing” is not a novel concept and has existed for centuries within multitude of generations, each blaming the other for issues and ideas neither generation wants to take accountability for. Both Gen Y (people born between the years 1980-1994) and Gen Z (people born between the years 1995-2010) have formed an alliance to push back on the older generations, specifically the Baby Boomers. A clash of ideas and a point of difference of views on society has struck tension between generations, preventing a progressive society from fully forming.
The younger generation is racially diverse, environmentally and socially conscious, and have a clear vision for how they want their future to unfold (Valencia-Garcia 2020). However, it is apparent that the ideas of the younger generations contrast sharply with older generations, who tend to reject policy reforms or ideas presented by the youth. A difference in “expectations of the future, ethics and politics” (Birnstengel 2019) has formed a generational split and prevents society from progressing entirely. The generational divide is not only based on family morals and ethics but is also an accumulation of different people living fundamentally different lives and experiencing different circumstances in general. Technology and politics are two key factors that have continually evolved through generations and have influenced generation’s perspective on society deeply (Birnstengel 2019).
Today, the debate on generationalism is centered around how a nation should look and exactly what kinds of people should be a part of that nation. Millennials and Gen Z have been defined by the rise of the internet and identity politics. They grew up with the internet, but also remember a life in analogue (Frey 2020). They have experienced economic crises and watched the War on Terror unfold, and as a result are concerned for their futures due to the large influence capitalist and traditionalist institutions still have on society (Valencia-Garcia 2020). Older generations are wanting to protect these outdated institutions that uphold their own old-fashioned values in order to push their agendas on the nation. Pew Research centre research found that the upcoming younger generation was the most ethically and racially diverse generation to date, fundamentally driving their progressive attitudes (Birnstengel 2019).
A distinct issue that has caused great generational divide is the climate crisis. Younger people across the world have grown up with more exposure to the effects of climate change than the older generations (Cohen 2019). Thus, young adults in current day are of higher concern about climate change as they understand the implications better and are more educated on the topic. The attitudes of younger generations and their beliefs has pushed an agenda to resolve the climate crisis dramatically, creating very real social change that is being reflected in policy changes around the world (Cohen 2019). Although the impacts of climate change are ever present and should be dealt with immediately, the push for policy change around the environment is a reflection of the youth’s priorities for society. Along with climate change, issues such as racial justice and social inclusivity are other examples of younger generations pushing important issues.
Older generations accuse younger generations of naivety and younger generations don’t understand their parochialism. Potentially, a middle ground could be met where older generations feel their needs are being fulfilled while society continues to progress as a whole. However, generational gaps will continue to arise if unity is not formed or perceptions do not alter to accommodate for one another
REFERENCES:
Birnstengel, G 2019, Boomer Blaming, Finger Pointing and The Generational Divide, Forbes, retrieved February 2 2021
Cohen, S 2019, The Age Gap in Environmental Politics, Earth Institute, Columbia University, retrieved February 2 2021
Frey, W 2020, The 2020s can end America’s generational divide in politics, Brookings, retrieved February 2 2021
Valencia-Garcia, L 2020, Understanding Today’s Generational Divide, Fair Observer, retrieved February 2 2021
Writer : Emily Camilleri
Editor : Angganararas Indriyosanti
Military Coup 2021 and the Stalemate of Democratization Process in Myanmar
/in Commentaries, News/by iis.fisipolThe dream of becoming a fully democratic country is perhaps still a long way off for people in Myanmar. A coup or a seizure of power by the military has occurred, marking a sign of stalemate in the democratization process in Myanmar for the last decade. On February 1st, 2021, local news outlets and various international media reported that Aung San Suu Kyi as the state counselor and Myanmar’s de facto leader had been detained by the Myanmar military (Regan, Olarn, and Westcott, 2021). Not only Aung San Suu Kyi, President Win Myint, the leader of the government, and several other government officials have also been detained. In addition, the military also declared a state of emergency and took over power for at least the next year (DW, 2021).
The military claims that the arrests are related to an alleged fraud in November 2020 election. In the election, The National League for Democracy, a political party led by Aung San Suu Kyi, won a significant victory by obtaining 396 out of 476 seats in the combined lower and upper houses of Parliament. This victory is certainly a threat in itself, at least in terms military’s guaranteed 25% parliamentary seats (Shine OO, 2021). Although currently the conflict is still limited to the elite level, the impact of this struggle for power has begun to spread towards citizen of Myanmar with the broadcast disruptions of the Myanmar National TV station and Myanmar National Radio. It was also reported that there was internet network disruption in the capital Yangon on Tuesday morning with network connections dropping by 75 percent (DW, 2021).
The democratic crisis that occurred in Myanmar received strong reactions from various international actors. The United States threatened to take action and ensure that Myanmar’s military would get consequences if they did not comply with democratic principles. UN Secretary General Antonio Gutieress also criticized the incident, saying that it was a serious blow for Myanmar democracy. Various criticisms have also come from international humanitarian organizations such as Human Rights Watch and Amnesty International that have been calling for the release of Aung San Suu Kyi and denounced access to communications and internet networks (Al Jazeera, 2021).
Myanmar’s Pseudo Democratization Process
This recent event is certainly a major stumbling block for the struggle towards democracy in Myanmar. Optimism for the creation of a democratic civilian government must now be confronted with the existence of the military which has again shown its influence in Myanmar’s political struggle of power. Whereas, after the political reforms carried out by President U Thein Sein which was marked by changing the mode of government from a total military junta to a hybrid civil-military administration in 2011, optimism for the new face of democracy in Myanmar was getting bigger, both domestically and internationally. With various concessions granted in 2011 including commitment to democratic elections and loosening media control, political spaces that have been controlled by the military were becoming an open contestation for civilians to take part in politics. The peak was in 2015 when the National League of Democracy won the election with a significant number of votes. As a result, the NLD effectively took state legislative power from the military backed Union Solidarity and Development Party (USDP) and officially granted the reins of executive power to civilians (Ko, 2018).
Although it appears that there has been a marked development in the democratic process after the election of civilian leaders through democratic elections in 2015, the reality is that the democratic process in Myanmar is far from being successful and completed. It even tends to appear as pseudo democratization. The point of pseudo-democratization here is that although on the surface there was a power transition from military to civilian, there has never been any attempt to reduce military power either in any level of the government. In the 2008 constitution, which is still in effect today, for example, the military is automatically guaranteed to get 25 percent of seats in the Myanmar parliament. The same constitution also states that every legislative decision must get at least 75 percent of the members of the Myanmar parliament. With the automatic allotment of 25 percent of seats for the military, it means that all forms of Myanmar legislative decisions must be approved by the Military faction in parliament to fulfil the minimum requirement of 75 percent, and the Military has the opportunity to veto all decisions discussed in the legislative process (Miclat, 2020). Moreover, the 2008 constitution also gives the Military control to key ministries such as the ministry of defense, the ministry of border affairs, and the ministry of home affairs (Turner, 2011). In addition, the military still has a strong influence on Myanmar’s bureaucracy where 90 percent of public officials and 80 percent of ambassadors are ex-military personnel, so that a more democratic political climate will be difficult to create (Ko, 2018).
To further understand the democratization process in Myanmar, we must also look at the history of the political reforms that took place in 2011. Although during that period President Thein Sein received a lot of praise from international community for his decision to encourage political liberalization that has reduced repression and created avenues for civil participation in the institutions, the main motive of the reforms is still being debated. As summarized by Bunte and Dosch (2015), political scientists see that political reform carried out by Myanmar was a “survival strategy of the quasi-military government” to overcome the danger of factionalism and to increase regime durability by creating power-sharing institutions. Several other political scientists said that this strategy was a military effort to increase Myanmar’s legitimacy in the international world as well as to improve Myanmar’s worrying socio-political conditions with international sanctions and the post-Cyclone Nargis recovery conditions that ravaged the country in 2008 (Bunte and Dosch, 2015).
By looking from the history of the democratization process in Myanmar especially related to the 2011 event, we can conclude that in fact this political reform is the result of generosity from the previous military government, therefore it is very likely that one day the military government will take back the “gift” if something does not go according to their expectations. Moreover, the bureaucratic climate in fact, which is still controlled by many military elements, will certainly make it easier for the military to mobilize its strength to take over power in the future. In contrast to other countries, for example, such as Indonesia, which demilitarized post-reform political elements in 1998 by eliminating military dual function, efforts to reduce military influence in Myanmar politics were minimal, as evidenced by the persistence of the tight military control on the aspects of Myanmar’s political life both in the legislative sector with a 25 percent military quota in parliament, as well as the quota of three important ministries in the executive sphere, namely the Ministry of Defense which has authority over Myanmar Armed Forces, Ministry of Border Affairs which controls border affairs of the country, the Ministry of Home Affairs which is in charge of administrative affairs and control of the police, narrows the space for civil society in political affairs in the country so that their resistance to political crises such as a coup became very vulnerable (Prameswaran, 2020).
From this event we can see that this military coup is an attempt by the Myanmar military to take back what they consider to be their right – full power and influence in all aspects of the life of the Myanmar people – as well as preventing the possibility of developing an external power that can rival their existence. The NLD’s landslide victory in the Myanmar elections, as well as the decline in the votes obtained by the USDP as the party backed by the military (The Irrawady, 2020), certainly is a big enough blow to the military’s existence so that they must take certain steps to maintain their power by carrying out a forced takeover of power and alleging that election fraud has occurred.
For Myanmar’s civil society, they do not have much choice but to wait for the situation to subside and hope that political stability in their country can be quickly upheld. The absence of Aung San Suu Kyi and several other civilian political figures who were detained by the military would have been a major blow to the struggle of civil society because so far they have relied on Aung San Suu Kyi as a political mouthpiece for the majority of Myanmar civil society. The strong control in every aspect of society as well as the fear of persecution, intimidation, and the silencing of freedom of speech which was marked by the shutdown of television, radio and internet broadcasts in Myanmar became an obstacle to civil society’s resistance efforts to the political crisis that was happening on their homeland.
What Myanmar Coup 2021 means for the international community?
With the limited number of actions that civil society groups can take in Myanmar, there are currently great hopes placed on the international community to be able to take certain steps to save the democratic process in that country. Criticism has already been made, but of course this will not be enough without being accompanied by firm steps that will put great pressure on the existence of military forces in Myanmar.
The biggest challenge faced by the United States as a country that has been committed to promoting and ensuring the smooth running of the democratization process around the world. Moreover, this event is the first challenge for the new government under President Joe Biden who was appointed at the beginning of the year. After the resignation of Donald Trump, who tends to have an inward looking policy, the United States is currently required to show its hegemony as a leading country, especially in the democratization process which has been their commitment. But of course these steps will not be that easy. In Myanmar’s affairs, America must face China, which has a big interest in the country, especially in the economic sector related to oil and natural gas. In contrast to the United States, which immediately gave a strong reaction, China prefers to be more careful in responding to this case while calling on the warring parties to resolve the political crisis with a peaceful manner (Wintour, 2021).
ASEAN as a regional organization and the countries that are members of it, especially Brunei Darussalam, which has just been entrusted with the ASEAN Chairmanship starting January 1, 2021 also faced the challenge of being able to help resolve this political crisis. Even though there is the principle of non-interference that must be upheld, however, ASEAN countries must be able to play an active role in efforts to prevent potential conflicts. For example, ASEAN as an organization as well as certain ASEAN countries must be able to encourage and facilitate peaceful discussions between conflicting parties if needed. In this case ASEAN is required to be able to create a just, democratic, harmonious and gender-sensitive environment in accordance with the principles of democracy, good governance and the rule of law in accordance with ASEAN Vision 2025. But this will not be an easy thing for ASEAN. In fact, shortly after the event there were various reactions from its member countries. Brunei as chairman of ASEAN, followed by various countries such as Indonesia, Malaysia, and Singapore through an official statement, has raised their concern and urged that this issue can be resolved peacefully in accordance with applicable legal principles. Even so, several countries including Cambodia and Thailand chose not to comment further and considered that this matter was an internal Myanmar affair and they considered that they had no right to interfere either in the ASEAN framework or in the bilateral framework. It will be difficult for ASEAN to think of a multilateral framework that can help resolve this crisis if its members are not in one voice in responding to this issue.
Historically, pressure from the international community has proven to be able to push for policy reforms that are considered de facto starting the democratization process in Myanmar in 2011. In the current situation, when the people of Myanmar are again facing a political crisis caused by the excessive display of political power from the military, the role of the international community in giving pressure to the military action in Myanmar will be crucial in ensuring the political stability and the sustainability of the democratization process in Myanmar.
References
Al Jazeera. (2021). ‘Serious Blow to Democracy’: World Condemns Myanmar Military Coup. Retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2021/2/1/world-reacts-to-military-coup-in-myanmar
Bünte, M., & Dosch, J. (2015). Myanmar: Political Reforms and the Recalibration of External Relations. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 34(2), 3-19.
Channel News Asia. (2021). ASEAN Chair Brunei Calls for ‘Dialogue, Reconciliation and Return to Normalcy’ in Myanmar. Retrieved from https://www.channelnewsasia.com/news/asia/myanmar-asean-aung-san-suu-kyi-military-coup-14087150
Deutsche Welle. (2021). Myanmar Coup: Aung San Suu Kyi Detained as Military Seizes Power. Retrieved from https://www.dw.com/en/myanmar-coup-aung-san-suu-kyi-detained-as-military-seizes-power/a-56400678
Helen Regan, Kocha Olarn, & Westcott, B. (2021). Myanmar’s Military Seizes Power in Coup after Detaining Leader Aung San Suu Kyi and Ruling Party Politicians. Retrieved from https://edition.cnn.com/2021/01/31/world/myanmar-aung-san-suu-kyi-detained-intl/index.html
Irrawaddy, T. (2020). Myanmar’s 2020 General Election Results in Numbers. Election 2020. Retrieved from https://www.irrawaddy.com/elections/myanmars-2020-general-election-results-numbers.html?fbclid=IwAR0uo7ZdreRaaGyiJ-nnXdvJqbhgYcD-pTOcT0KKGqTQerFoBHiNHwFOexk
Ko, A. K. (2018). Democratisation in Myanmar: Glue or Gloss? Retrieved from https://www.kas.de/c/document_library/get_file?uuid=3d07eb88-d4f1-de81-40d1-032ec67a3cb8&groupId=288143
Miclat, G. (2020). Challenges to Democracy and Hopes for Peace and Justice in Myanmar. The Debate. Retrieved from https://thediplomat.com/2020/12/challenges-to-democracy-and-hopes-for-peace-and-justice-in-myanmar/
Oo, A. S. (2021). Myanmar Military Denies Coup Threats over Vote Fraud Claims. Retrieved from https://apnews.com/article/constitutions-myanmar-elections-asia-min-aung-hlaing-1d8af462424d818f96e88dc6ed115dc1
Parameswaran, P. (2020). What Will Myanmar’s New Home Minister Mean for the Country’s Security and Politics? ASEAN Beat. Retrieved from https://thediplomat.com/2020/02/what-will-myanmars-new-home-minister-mean-for-the-countrys-security-and-politics/
Turnell, S. (2012). Myanmar in 2011: Confounding Expectations. Asian Survey, 52(1), 157-164.
Wintour, P. (2021). Myanmar Coup: US and China Divided in Response to Army Takeover. Retrieved from https://www.theguardian.com/world/2021/feb/01/myanmar-coup-us-and-china-divided-in-response-to-army-takeover-aung-san-suu-kyi
Writer : Muhammad Indrawan Jatmika
Editor : Angganararas Indriyosanti
RCEP: Peril or Impetus for a Greater ASEAN Regionalism?
/in Commentaries, News/by iis.fisipolAgainst the backdrop of global pandemic, ASEAN successfully held its 37th summit from 12-15 November 2020. During the four days course of the conference, ASEAN members mainly discussed multilateral cooperation to recover from pandemic and the tension that was escalating in the region, notably in the South China Sea months prior to the conference. In the midst of rising tension, ASEAN reaches a historic milestone with the signing of Regional Comprehensive Partnership Agreement/RCEP. The trade agreement unites ten ASEAN member states, China, Japan, South Korea, New Zealand, and Australia under the same flagship—countries that previously cooperated under ASEAN +6 excluding India.
The trade pact that comprises of 15 countries across Asia-Pacific and covers almost a third of the world population is regarded as the world’s biggest trade agreement, next after the US-Mexico-Canada Agreement and European Union. Other than the sheer number of the countries participating in this agreement, the mega-regional agreement also demonstrates the feats of bridging three East Asian countries—China, Japan, and South Korea that are traditionally reluctant to engage under the same economic framework—with its counterparts in Western Pacific. The agreement is expected to progressively cut down the already low tariff among member countries and incentivize investment flow when it finally comes into effect (Lee, 2020). Vietnam, a country that has been profoundly affected by rivalry between the United States and China in the region, is optimistic about the cooperation.
Final negotiation of RCEP coincides with two important momenta that highly affect the region: economic recession prompted by the Covid-19 pandemic and the ongoing power transition in the United States after the presidential election. Despite its feat on uniting Asia-Pacific under the same trading platform, many actors view RCEP in a skeptical way, including India that was originally involved in the deal’s formulation but withdrew during the negotiation last year. India’s approach also reflects the growing animosity towards China, especially after the border clash in Himalaya early in May. Some commentators view that RCEP signals a growing Chinese dominance over Asia-Pacific, including ASEAN that has long become a battle ground between great powers. Reuter and Wall Street Journal, for instance, labelled the RCEP as the ‘China-backed trade deal’ that will eventually pose a threat to ASEAN and other Asia-Pacific countries (Pearson, 2020; Emont & Gale, 2020).
Reflection of China’s Growing Influence?
The making of RCEP has undergone a lengthy debate for eight years since it was first introduced in 2012. Prior to RCEP, several ASEAN member states and Asia-Pacific countries have been cooperating under several trade agreements; one is the Trans-Pacific Partnership/TPP that was led by the US in 2016. TPP was the emanation of Barack Obama’s strategic pivot to Asia. TPP originally became the biggest trade deal in the region by covering almost 40% of the world’s economy and—as the name suggests—bridging countries across the Pacific Ocean, from Brazil, Chile, Mexico, to Southeast Asian countries such as Vietnam and Malaysia (Gong, 2020, p. 40). However, under the presidency of Donald Trump, the US withdrew from the agreement, arguing that the deal will ultimately lead to decline of US manufacture and lower wages for domestic workers. As a consequence, US withdrawal left the vacuum in the Asia-Pacific that was later seized by its rival (Gong, 2020, p. 45). In later remarks, China hailed RCEP as a win for its side. “The signing of the RCEP is not only a monumental achievement in East Asian regional cooperation, but more important, a victory of multilateralism and free trade,” said China Premier Li Keqiang.
Compared to TPP and its evolution, Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), RCEP is less rigorous. It puts a lower standard on policy harmonization. RCEP also doesn’t mention certain standards over labor rights or environmental protections that were covered in CPTPP. Different standards, however, are understandable since RCEP tries to bridge diverse economies, starting from the highly developed countries like Japan and Australia to developing economies like Cambodia and Laos in Southeast Asia. Moreover, the huge economic gap between countries in RCEP make some commentators believe that it will give harm to some countries in ASEAN. Big margin in economic capability will make the developed industries like China and Japan reap the most from this agreement and consequently make the economic gap within ASEAN countries exacerbated. “Who, actually, are gaining benefit from this project” is the focal point over the current debate. The RCEP and trans-Pacific Deal “together will offset global losses from the U.S.-China trade war, although not for China and the United States,” stated Petri & Plummer (2020).
Previously, China already had a number of bilateral trade agreements with members of RCEP, including ASEAN countries. However, RCEP marks a historic moment when, for the first time, the world’s second largest economy signed up in a regional multilateral trade pact. It’s without mentioning China’s geopolitics opponent—Japan, South Korea, and Australia—also included in this agreement. Despite its less rigorous standard, the sheer size of RCEP is showing its significance over Asia-Pacific political constellation. Rather than economic cooperation in itself, RCEP symbolizes a bigger geopolitics and diplomatic triumph over the region. Kishore Mahbubani, former Singapore minister of foreign affairs also pointed out during one of the Global Town Hall (GTH) panels, “RCEP is the sign of China’s victory.” Being excluded in the process, RCEP delivers a strong message to the United States that Southeast Asia and other Asian countries are growing more solid on defining their own relations. As former U.S. Trade Representative Wendy Cutler noted in his commentary,
“RCEP is another reminder that our Asian trading partners have developed a confidence about working together without the United States (Cutler, 2020).”
Ushering the ASEAN Centrality
ASEAN countries have long been polarized when it comes to defining their approach towards China. While China is currently the biggest trading partner in the region, each country shows various degrees of cooperation or hostility toward the country. Laos, Cambodia, and other Mekong Basin countries are highly dependent, whereas countries like Malaysia, the Philippines, and including Indonesia are facing opposition both from domestic forces and policy makers. RCEP demonstrates that ASEAN countries can reach the consensus on formulating economic partnership with a partner that traditionally cooperates by using bilateral channels, including with Australia, New Zealand, and other East Asian countries that are linked under ASEAN+6 platform. RCEP can further push ASEAN regionalism, primarily on how it develops the existing ties with the additional ASEAN+6 economic cooperation.
Moreover, the signing of RCEP also asserts ASEAN’s position on defining countries relations in Asia-Pacific. Contrary to the previously mentioned opinion, some analysts argue that RCEP is a win for ASEAN’s middle power diplomacy. Given the diverse members of the mega-trade pact, neither China nor Japan as a traditional trade leader will become the architect of this agreement when it finally comes into effect. Rivalry between great powers that also pose a danger in the security aspect of the region will necessitate a different approach to bring RCEP further. Speaking in GWT, Chinese Minister of Foreign Affairs, Wang Yi, also stated that through RCEP, “China firmly supports the ASEAN centrality.” ASEAN’s neutrality—emanated in last year’s ASEAN Outlook on the Indo-Pacific—in this context, will ultimately take a greater role in shaping RCEP when it comes into effect. Thus, the label “China-led agreement” is inaccurate. It was previously shown in 2012 when a stalemate over negotiation was resolved by ASEAN. Instead of being led by China, as many commentators suggest, RCEP exhibits a triumph for ASEAN. As Petri and Plummer (2020b) pointed out in Brookings,
“Without such ‘ASEAN centrality,’ RCEP might never have been launched.”
Apart from recovering from the post-pandemic economic downturn, RCEP also expected to offset the harms caused by the years-long trade war between the United States and China. Especially for ASEAN countries that have long been affected by the rivalry, including Vietnam that hosted the ASEAN summit this year. In short, despite its less rigorous standards, RCEP can further incentivize the global value chain within the region. ASEAN, in particular, is projected to gain $19 billion annually by 2030 through this agreement (Petri & Plummer, 2020a)
Due to its volume and modesty compared to the previous trade pact, RCEP will take years before it finally comes into effect. It can also face a challenge upon the ratification in each member country, especially in the country with growing anti-China or anti-international sentiment. Malaysia, for instance, cancelled two of Belt and Road Initiatives projects after Mahathir Muhammad won the election on 2018. Regardless of its impact, RCEP will ultimately cement the position of ASEAN in a greater Asia-Pacific dynamic. The overall process and finalization of this agreement signify the message that ASEAN cannot be seen narrowly as the battle ground between the so-called ‘two great powers.’ Instead, RCEP denotes ASEAN’s rising primacy in defining their own region.
REFERENCES
Brookings. (2020, November 16). RCEP: A new trade agreement that will shape global economics and politics. https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2020/11/16/rcep-a-new-trade-agreement-that-will-shape-global-economics-and-politics/
Cutler, W. (2020, November 15). RCEP Agreement: Another Wake-up Call for the United States on Trade. https://asiasociety.org/policy-institute/rcep-agreement-another-wake-call-united-states-trade
Emont, J., & Gale, A. (2020, November 13). Asia-Pacific Countries Push to Sign China-Backed Trade Megadeal. https://www.wsj.com/articles/asia-pacific-countries-push-to-sign-china-backed-megadeal-11605265208
Gong, X. (2020). China’s Economic Statecraft. Security Challenges, 16(3), pp. 39-46.
Lee, Y. N. (2020, November 15). ‘A coup for China’: Analysts react to the world’s largest trade deal that excludes the U.S. https://www.cnbc.com/2020/11/16/rcep-15-asia-pacific-countries-including-china-sign-worlds-largest-trade-deal.html
Pearson, J. (2020, November 11). Asian leaders to sign China-backed trade deal amid U.S. election uncertainty. https://www.reuters.com/article/us-asean-summit/asian-leaders-to-sign-china-backed-trade-deal-amid-u-s-election-uncertainty-idUSKBN27R0QJ
Petri, A. P., & Plummer, M. G. (2020, June). East Asia decouples from the United States: Trade war, COVID-19, and East Asia’s new trade blocs. https://www.piie.com/publications/working-papers/east-asia-decouples-united-states-trade-war-covid-19-and-east-asias-new
Writer : Arrizal A. Jaknanihan
Editor : Angganararas Indriyosanti
The Diminishing Reputability of Police in the United States, Explained.
/in Commentaries, News/by iis.fisipolA body invented to protect the masses has become an enemy to the very people whom they serve. The relationship between the US police and its citizens is a complicated matter which in recent years has become more prevalent in international discussions. Reoccurring instances of unnecessary contact and misuse of power from law enforcement have caught the attention of the US citizens and all those watching on around the world. A lack of accountability has created general mistrust, and it is clear that if reform does not occur to resolve the systemic issues that have arisen within the core of the police, the interrelation of law enforcement and the people of the United States will deteriorate further, and rapidly.
The unconventional dynamic between the citizens of the United States and its police force can be dated back to the establishment of police in America, and the responsibilities policemen were given at the time. Fundamentally, policing in Colonial America was established to keep communities in order. As society progressed, police duties grew. Eventually, as evident in modern day, police have been empowered to protect their own power and privilege most commonly in situations that allow them to exert social control over minority groups. A large aspect of tension between the police force and US citizens is the indisputable documentation of racially targeting people of colour. Slave patrols, during the colonial era, were forms of police who were responsible for punishing slaves who tried to free themselves (Romero 2020). Historically, police have had duties that inexplicitly target certain groups and have been authorised to use force with those who are not equal to them – including people of colour, low-income communities and minority groups. These factors are able to give context for the current behaviour of police officers in the United States today.
A very significant period of time that heightened tension between police and the people of the US was the aggressive response from police during the Black Lives Matter protests. After the death of George Floyd, a peaceful, wrongly accused man of colour who was pinned beneath police officers so forcefully he was unable to continue breathing, the world united to protest against police brutality specifically towards people of colour. Internationally, it was recognised that police in the United States are ignorant to the concept of equality. Research from Armed Conflict Location & Event Data Project found that 93 per cent of the 7,750 Black Lives Matter protests were peaceful. However, images of violent protests were what made media headlines, with the then-president Donald Trump referring to the protesters as “thugs” (Cineas 2021). Over 427 arrests were made at the peak of the protests, despite the high number of protests being conducted in peace.
In comparison, law enforcement failed to keep white-supremacist rioters at Capitol Hill under control, through blatant complicity. The lack of both physical presence and hostility at the Capitol riot that was so clearly present at the Black Lives Matter protests has reinforced anger within the American people. Such rioters smashed windows and scaled walls, however only 69 people were arrested (North 2021). Videos taken during the riot display officers “holding hands of extremists, escorting them down steps, holding the doors of the Capitol open for them and taking selfies with them” (Cineas 2021). The clear contrast of events and reactions from the police can be seen as a combination of ignorance and racial bias. It is evident that although police were aware of the extent of the event due to it being posted on social media, they chose to support the notion of white entitlement and as a result encouraged dangerous extremists to express their opinions in the most violent way possible without serious consequence.
The path forward is complex. However, in order to mend the relationship between law enforcement and the citizens reforms must be introduced (Jabali, 2020). Firstly, systemic issues within police training and recruitment must be addressed. Police should be reminded what their role in society is, and how violent riots should prompt a different reaction to non-violent protests. Implicit-bias training should be mandated in police academy, to attempt eradicating the clear racial prejudice towards minority groups. Although it is not simple to convince everyone to think the same way, if the police force project and openly support this view then the future generation of law enforcement will carry on this important, egalitarianist mindset.
REFERENCES:
Cineas, F (2021), Whiteness is at the core of the insurrection. Retrieved 13 January, from https://www.vox.com/2021/1/8/22221078/us-capitol-trump-riot-insurrection
Romero, D (2020), Reimaging the role of Police. Retrieved 13 January, from https://www.aclu.org/news/criminal-law-reform/reimagining-the-role-of-police/
North, A (2021), Police Bias explains the Capitol Riot. Retrieved 13 January, from https://www.vox.com/22224765/capitol-riot-dc-police-officers
Jabali, M (2020), If you’re surprised by how the police are acting, you don’t understand US history. Retrieved 13 January, from https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/jun/05/police-us-history-reform-violence-oppression
Writer : Emily Camilleri
Editor : Angganararas Indriyosanti
The Capitol Riot: a New Normal for US Democracy?
/in Commentaries, News/by iis.fisipolThe political situation in the United States has earned another spotlight after a mass riot that occurred in the capital city of Washington DC. Thousands of people stormed the Capitol Building of the United States, which was the venue for the US Congress meeting, which would certify Joe Biden’s victory over Donald Trump in the 2020 election. In that incident, supporters of Donald Trump tried to stop the meeting, triggering clashes with authorities. It was reported that the mob succeeded occupying the Capitol Building, causing the congress meeting to be declared a recess and its members were evacuated (Koob, 2021). There were about five casualties and 50 people were arrested (Ortiz, Bacon, Yancey- Bragg and Culver, 2021). After the incident, Mayor of Washington DC, Muriel Bowser declared a state of emergency for 15 days with the possibility of extending the status if things were not deemed to be improving.
What happened was certainly a surprise to people of the United States and the international community. The United States, which has been regarded as a pilot in implementing democracy, had illustrated what should not be carried out in a democratic process. This criticism certainly come with reasons. For world leaders, this is certainly an alarm that the US was shaken by this event. The attack on democracy in the US could also mean an attack on democracy all around the world. If this kind of riot could happen in an established democratic country like the US, this could also happen in other parts of the world. (Bennhold & Myers, 2021). From this incident, a big question arises, will this kind of condition become a new normal for the implementation of democracy in the US?
Trump Political Communication Strategy and the Cause of the Riots
To understand the context of the political turmoil that occurred, we can track the history back to the 2016 elections when Donald Trump ran for president of the United States. In his campaign, Donald Trump relied on his Post-Truth style of communication to garner sympathy from his supporters. With the help of right-wing media and social media that personally launched their versions of truth narratives. The concept of post truth itself is not new to the world of politics. Oxford Dictionaries explains that Post-Truth is a state in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief. Moreover, from recent studies of scholars it is concluded that the post-truth world emerged as a result of societal mega-trends such as: a decline in social capital, growing economic inequality, increased polarization, declining trust in science, and an increasingly fractionated media landscape (Lewandowsky, Elker, and Cook, 2017). Trump polarized the masses and divides the public through the information channels he has, both social media and right-wing mass media, which had so far fully supported the formation of good public opinion on Trump.
Trump played this post-truth concept actively not only during his campaign period in 2016 , but also during his tenure as president. Over the past four years, Trump had fed his supporters with the narratives they want to hear, even though the truth of these narratives had been either questioned or proven wrong. Data from the Washington Post states that during his presidency, Trump issued an average of fifty false narratives every day (Kesser, Rizo, and Kelly, 2020). Unfortunately, the concept of post-truth political communication was still being implemented until the 2020 election when Trump was defeated in a political contest against Biden. On this occasion, Trump narrated that there was fraud that made him lost his vote in the election process while at the same time refusing to recognize Biden’s victory. For the past two months Trump had misinformed his supporters that his defeat was unfair.
The group of Trump supporters that felt the result was unfair carried out a riot in the Capitol as an expression of their dissatisfaction with the legal system they consider unfair. Armed with their embraced beliefs, they believed their values should apply in that country. According to Paige in his article titled Political Orientation and Riot Participation (2017), riot actors are mostly found in community groups with high level of information on political issues, but have low trust on government or authority. This explanation illustrates what happened in the riot. A group of people who feel they have a lot of information about political realities (even though those were questionable informations) showed dissatisfaction towards the government and feelt more competent to carry out political process than the authority.
A New Normal for US Democracy?
The biggest question is whether this kind of incident will become the new normal for political process in the US? Riots themselves are not something new in the US. Since the beginning of US history, riots and violent political actions have been rhetorically symbolize acts of patriotism that support freedom and independence (Jackson, 2020). This also applies to riots related to general elections. Riots have happened a lot, especially before the second world war. However, this is the first time an unrest has occurred at the national level, especially with regard to issues with presidential elections, which is a symbol of democratic supremacy in the US.
Trump as the most responsible figure for this riot may not last much longer. Currently, Trump no longer has the institutional backing or legitimacy supporting him. Even his own party has now turned to condemn him after the riot in Washington DC. Republican figures such as Senator Richard Burr of North Carolina criticized Trump’s campaign promoting a conspiracy theory that sparked unrest. Arkansas Senator Tom Cotton also urged Trump to immediately admit defeat and stop spreading fake news (Dennis and Dillard, 2021). Therefore, Trump’s existence as an individual is no longer a cause for concern in the future.
Something noteworthy is the legitimacy of the socio-political conditions left by Trump. America is now divided into several political spectrum. The society is polarized based on their values and beliefs. It is dangerous that a lot of people prefer to cling to the truth they want to believe instead of the facts. As long as these differences have not been harmonized, and the community continues to cling to their respective beliefs by ignoring facts and common sense, it is not impossible that they will continue to raise their voices in various ways including riots. Moreover, if later authority failed to give deterrence, people who perpetrated the riot would repeat their actions in the future. On the other hand, those who oppose this incident would lose their trust in the government if they considered them to have failed enforcing the law and create security stability for the citizens. The public is also responsible to prevent figures like Trump, who carry out the post-truth concept and have a “go big or go home” mentality, from being given the stage to carry out their actions. Society should learn a lesson that such person is a threat for democracy
The US’ condition as it is today will be a big homework for President-elect Joe Biden, who will carry out the mandate for the next four years. Biden must be able to become president for every community. The elected president must be able to embrace people trapped in the post-truth illusion created by Trump. Activities that tend to alienate Trump supporters as well as people with different political views will backfire on Biden and his administration as the group will have stronger legitimacy to launch future unrest under the pretext of political discrimination from the government in power. For this reason, Biden must convince everyone that the essence of democracy must be carried out in peace and dignity for all the people of the US. If this process is successful, the attack on the Capitol will only end up as a special case in the history of US democracy. On the other hand, if Biden fails to embrace and improve the condition, it is not impossible that this kind of protest will become a new normal in US democracy.
References
Bennhold, K., & Myers, S. (2021). America’s Friends and Foes Express Horror as Capitol Attack ‘Shakes the World’. Retrieved 8 January 2021, from https://www.nytimes.com/2021/01/06/world/europe/trump-capitol-2020-election-mob.html
Dennis, S., & Dillard, J. (2021). Republicans Recoil From Trump as Violence Proves Too Much. Retrieved 8 January 2021, from https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-01-07/capitol-violence-marks-opening-for-gop-to-distance-from-trump
Jackson, K. (2020). The Double Standard of the American Riot. Retrieved 8 January 2021, from https://www.theatlantic.com/culture/archive/2020/06/riots-are-american-way-george-floyd-protests/612466/
Kessler, G., Rizzo, S., & Kelly, M. (2020). Trump is averaging more than 50 false or misleading claims a day. Retrieved 8 January 2021, from https://www.washingtonpost.com/politics/2020/10/22/president-trump-is-averaging-more-than-50-false-or-misleading-claims-day/
Koob, S. (2021). What we know so far about the storming of the US Capitol. Retrieved 8 January 2021, from https://www.smh.com.au/world/north-america/us-protests-what-we-know-so-far-about-the-storming-of-the-capitol-20210107-p56sa1.html
Lewandowsky, S., Ecker, U., & Cook, J. (2017). Beyond Misinformation: Understanding and Coping with the “Post-Truth” Era. Journal Of Applied Research In Memory And Cognition, 6(4), 353-369. doi: 10.1016/j.jarmac.2017.07.008
Ortiz, Bacon, Yancey- Bragg, & Culver. (2021). DC riots live updates: Capitol Police officer dies from injuries; FBI offers $50K reward for pipe bomb suspect info. Retrieved 8 January 2021, from https://www.usatoday.com/story/news/nation/2021/01/07/washington-dc-capitol-trump-riots-day-after-live-updates/6577841002/
Paige, J. (1971). Political Orientation and Riot Participation. American Sociological Review, 36(5), 810. doi: 10.2307/2093668
Writer : Muhammad Indrawan Jatmika
Editor : Angganararas Indriyosanti
[RECAP] Beyond the Great Wall #11: The Rise and Future of China’s Power Projection
/in News, Past Events/by iis.fisipolPada 20 November 2020 lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada menyelenggarkan forum Beyond the Great Wall edisi ke-11 secara daring melalui platform Zoom. Bertajuk “The Rise and Future of China’s Power Projection”, forum BTGW kali ini menghadirkan dua pembicara. Pembicara pertama adalah Angelo Wijaya, founder dari Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Chapter UGM, yang memaparkan review dari buku yang berjudul Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’ Trap. Selanjutnya, Demas Nauvarian, mahasiswa S2 Hubungan Internasional di Universitas Airlangga, menyampaikan materinya yang bertajuk “The Evolution of Chinese Geostrategic Thinking and Strategic Culture: From Sea Power to Space Power.” Forum BTGW #11 turut menghadirkan Indrawan Jatmika, staf riset IIS UGM, sebagai moderator.
Membuka forum BTGW ke-11, Angelo Wijaya menyampaikan fakta bahwa dalam waktu dekat, Cina akan menjadi kekuatan nomor satu di dunia karena adanya prediksi bahwa ekonomi Cina di tahun 2024 akan semakin menguat, bahkan mengalahkan Amerika Serikat (AS). Tentu hal ini menjadi ancaman yang serius bagi AS, sehingga pilihan tindakan yang diambil adalah dengan menyatakan berbagai bentuk ketidaksetujuannya dengan Cina, berkompetisi, hingga perang dagang. Buku “Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap” mencoba untuk melengkapi apa yang dikemukakan Thucydides dalam kisah yang sangat legendaris dalam hubungan internasional, yaitu Perang Peloponnesian. Dalam hal ini, Graham Allison memperkenalkan istilah “Thucydides’ Trap”, yaitu tendensi terhadap perang ketika suatu kekuatan baru muncul untuk menggantikan kekuatan yang telah ada sebelumnya. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena pada nyatanya tidak semua negara memiliki tendensi untuk perang.
Berangkat dari hal itu, muncul pertanyaan besar: apakah sebenarnya AS dan Cina dapat lolos dari jebakan Thucydides? Angelo menyampaikan bahwa ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, utamanya bagi AS. Yang pertama adalah dengan mencoba untuk mengklarifikasi dan mengkaji kembali apa yang sebenarnya menjadi kepentingan vital AS. Dalam hal ini, persoalan mengenai Laut Cina Selatan perlu dipertanyakan lagi: apakah sebenarnya hal ini benar-benar menjadi prioritas bagi AS? Kedua, AS perlu untuk secara lebih teliti memahami apa yang sebenarnya tengah dilakukan oleh Cina, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri. Selanjutnya, jika telah memahami apa yang dilakukan oleh Cina, penting bagi AS untuk melakukan strategi yang dibutuhkan. Strategi harus disusun dengan memperhatikan situasi dalam skala makro. Yang terakhir, tantangan-tantangan dalam konteks domestik perlu dijadikan hal yang sentral bagi penentuan kebijakan luar negeri AS. Hal ini dapat berupa kepercayaan yang diperoleh dari institusi domestik, sistem sosial politik, serta yang terutama adalah masyarakat di dalamnya.
Angelo menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa kita harus melihat kebangkitan Cina secara holistik – bahwa pada dasarnya kebangkitan Cina sama saja dengan apa yang diinginkan oleh AS. “Dengan menjadi kekuatan besar yang baru, penting untuk mengingat salah satu kutipan dari film Spiderman, with a great power comes a greater responsibility,” ujar Angelo sebagai penutup.
Sesi kedua berfokus pada kekuatan laut dan luar angkasa Cina yang masih sangat jarang dibahas. Demas Nauvarian mengawali presentasinya dengan menjelaskan strategi besar Cina untuk harmonisasi instrumen-instrumen kekuatan yang dimilikinya dalam rangka untuk mencapai tujuan utamanya. Pendekatan yang digunakan dapat berupa pendekatan geostrategis yang mengutamakan aspek geografi dan penggunaan angkatan bersenjata ataupun pendekatan kultur strategis yang melihat aspek geografis dan historis untuk mencapai kesejahteraan. Setiap negara pada dasarnya memiliki prioritas isunya untuk menjadi kekuatan besar; sektor kelautan merupakan salah satu prioritas bagi Cina.
Berbicara mengenai strategi kelautan, ada dua pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk mengkaji kekuatan laut/classical sea power. Yang pertama adalah pendekatan ala Mahan, yaitu strategi angkatan laut yang berfokus pada modernisasi angkatan laut. Penggunaan angkatan laut, kekuatan, serta kontrol terhadap laut menjadi hal yang penting dalam pendekatan ini. Pendekatan kedua adalah strategi maritim ala Corbett yang menyoroti pentingnya kombinasi darat dan laut untuk mengontrol sektor kelautan. Dalam hal ini, elemen militer dan sipil, kekuatan darat dan laut, serta komando atas sektor kelautan menjadi hal yang krusial. Sejak mulai mengadopsi strategi dalam sektor kelautan, Cina berulang kali melakukan pendekatan yang berbeda sesuai dengan tujuan kepemimpinannya. Namun, saat ini strategi yang digunakan Cina adalah dengan mempertahankan dan membela mati-matian apa yang menjadi kepemilikan Cina dan melakukan klaim atas apa yang bukan merupakan kepunyaan Cina. Strategi ini menunjukkan dengan jelas bagaimana Cina cenderung asertif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perbatasan, utamanya di Laut Cina Selatan.
Berbicara mengenai sektor luar angkasa, Demas menyatakan bahwa sejatinya strategi untuk mengontrol sektor luar angkasa sangat bergantung dengan strategi maritim yang digunakan. Untuk saat ini, kekuatan luar angkasa Cina sedang berfokus pada berbagai upaya kerjasama dengan berbagai negara untuk pengembangannya. Sektor luar angkasa Cina yang mulai menguat perlahan-lahan membuat negara-negara Barat merasa terancam dengan keberadaan Cina. Sebagai catatan penting, seluruh strategi besar yang digunakan Cina untuk mencapai tujuannya sejatinya sangat berbeda jika dibandingkan dengan strategi ala Barat. Dalam menyusun strateginya, Cina memandang dunia dalam dua cara yang berbeda. Yang pertama adalah kepercayaan Konfusian yang menghindari penggunaan angkatan bersenjata untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pendekatan yang kedua adalah cara pandang para bellum ala realisme yang melihat struktur internasional sejatinya anarkis sehingga perlu untuk berperang. Kedua pendekatan ini digunakan Cina untuk membentuk strategi besarnya, terutama dalam bidang kelautan dan luar angkasa.
[RECAP] Round Table Discussion: Perkembangan Lethal Autonomous Weapon System (LAWS) Global dan Implikasinya Terhadap Politik Luar Negeri dan Pertahanan Indonesia
/in News, Past Events/by iis.fisipolPada hari Jumat (6/3) lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina kembali mengadakan Round Table Discussion untuk membahas Perkembangan senjata otonom dan implikasinya terhadap politik luar negeri dan pertahanan Indonesia. Round Table Discussion ini kembali mengundang berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, militer, peneliti, serta para ahli untuk mendiskusikan isu ini dari berbagai sudut pandang.
Menurut International Committee of the Red Cross (ICRC), working definition dari senjata otonom (dikenal pula dengan istilah autonomous weapon system, lethal autonomous weapon system, killer robots) adalah sistem persenjataan apapun yang memiliki otonomi dalam fungsi kritisnya dimana dapat memilih dan menyerang target tanpa intervensi manusia. Perkembangan senjata otonom ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya revolusi industri. Masalah mematikan atau tidaknya dari suatu senjata bukanlah hal yang inheren pada senjata, namun tergantung pada karakteristiknya dan bagaimana ia digunakan. Senjata otonom erat kaitannya dengan hukum humaniter internasional. Sampai saat ini ada diskursus bahwa senjata otonom tidak hanya dipakai pada masa perang, namun juga pada masa damai khususnya dalam konteks penegakan hukum. Banyak yang mengatakan bahwa senjata otonom sangat precise targeting, namun perdebatannya adalah bagaimana jika ada risiko serangan siber ketika senjata tersebut dikerahkan, yang sekaligus memicu dugaan pelanggaran dan permasalahan akuntabilitas. Muncul pula perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab, apakah operator lapangan, komandan, atau pembuat algoritmanya?
Selain pertimbangan hukum, diperlukan pula pertimbangan etis. Dalam forum pun muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti “apakah senjata otonom bisa patuh terhadap prinsip-prinsip dasar hukum humaniter?”, “sejauh mana manusia seharusnya memiliki kontrol atas senjata?”, “karena senjata otonom dapat memilih dan memutuskan targetnya sendiri, apakah hal ini crossing the line?”.
[layerslider id=”26″]
Sejauh ini, di level internasional pemerintah Indonesia belum memiliki posisi terhadap eksistensi senjata otonom. Indonesia tidak menentang atau menolak aksesi Convention on Certain Conventional Weapons (CCW), hanya saja sejauh ini mungkin prioritas negara berbeda. Indonesia pun belum menjadi state party di CCW dan hanya menjadi observer. Dengan fakta bahwa Indonesia hanya menjadi observer di CCW, menunjukkan belum adanya kesadaran Indonesia akan urgensi dan potensi ancaman senjata otonom bagi manusia. Karena cepat atau lambat, eksistensi senjata otonom akan menimbulkan efek destruktif yang besar. Perlu membuktikan kepada pemerintah bahwa aksesi CCW itu penting, dengan melibatkan semua agensi nasional, dimana Kementerian Luar Negeri harus menjadi garda terdepan untuk mewujudkan kepentingan ini menjadi kepentingan bersama. Selain itu, CCW juga harus diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yang berarti dalam bentuk hukum. Kedepannya, Indonesia diharapkan pula lebih aktif dalam forum, karena jika tidak, diskusinya hanya akan berhenti di ranah akademis.
Saat ini, bisnis unmanned aerial vehicle (UAV) sedang tren, sehingga Indonesia tidak mau ketinggalan dalam konteks ini. Presiden Joko Widodo pun menginginkan agar UAV dikembangkan. Awalnya, UAV dibuat bukan untuk senjata, namun untuk melaksanakan misi 3D: Dull, Dirty, dan Dangerous. Pada awalnya, pesawat yang dibangun tidak untuk dipasang senjata, namun TNI ingin agar drone bisa melakukan tindakan sehingga dipersenjatai. Di satu sisi keberadaan UAV menarik, namun di sisi lain ketika diterbangkan, UAV bisa saja mengganggu traffic airline, apalagi jika dipersenjatai. Berbeda dengan senjata otonom, aturan mengenai UAV sudah diatur dalam beberapa permenhub atau permenkominfo.
Jika ditelaah, eksistensi senjata otonom sangat dilematis. Di satu sisi, dalam penyerangan sangat bagus karena tidak takut dan dapat memilih dan menyerang target. Selain itu, senjata otonom cenderung tidak costly. Namun di sisi lain, senjata otonom membuat kita mempertanyakan aspek chivalrous dari perang serta aspek kemanusiaan dan moralitas. Hukum humaniter internasional bukan bermaksud membatasi kebutuhan pengembangan militer suatu negara, namun memastikan agar tindakan yang diambil negara sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kekhawatiran jika senjata otonom digunakan tanpa adanya aturan yang mengatur adalah mengenai pertanggungjawaban jika terjadi tindakan yang melanggar.
Urgensi utama kini adalah untuk mendefinisikan tipologi yang jelas mengenai apa yang dimaksud sebagai LAWS, karena sampai saat ini belum ada konsensus mengenai terma autonomous weapon system (AWS). Para akademisi juga harus mengkaji riset yang berkaitan dengan senjata otonom, sehingga menjadi PR bersama untuk membangun diskursus urgensi isu ini. Situasi AWS jauh lebih kompleks dibandingkan dengan senjata nuklir. Sulit untuk melarang senjata otonom secara total, karena pertimbangannya adalah penggunaan teknologi ini bisa menguntungkan dari sisi militer terutama karena esensi strategi militer, yakni efisiensi dan efektivitas dimana kita dapat mengatasi musuh dalam waktu lebih singkat. Selain itu, AWS juga memiliki aspek defensif sehingga membuatnya sulit untuk dihapuskan secara total. Singkatnya, permasalahan AWS sendiri bukan mengenai esensi dari AWS tetapi bagaimana AWS digunakan.
Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti
Globalization Talk #3 : Globalization Talk and Educating on Globalization
/in News, News (English), Past Events/by iis.fisipolOn Monday (24/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) conducted the third session of the acclaimed Globalization Talk discussion with the theme “Global Citizenship and Educating on Globalization”. On this occasion, IIS UGM have the opportunity to invite Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor at Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC), Hiroshima University, accompanied by Dr. Riza Noer Arfani, Director of IIS UGM to deliver the materials regarding the matter of globalization, global citizenship and education in encountering the phenomenon of globalization. Besides the speakers, IIS UGM also invited Cut Intan Aulianisa Isma, Manager of IIS UGM who is the moderator of the event, as well as several High school teacher representatives athwart Yogyakarta as the guest participant of the event.
Nakaya opened the session by deliberating the quintessential temporal phenomenon of globalization. Globalization unequivocally asserts global implications to various stakeholders, let it be positive nor negative impacts it induces. Ad exemplum, one of the positive impacts imposed by Globalization would be its instantaneous information diffusion, ergo the public have faster access to information. Inasmuch, an expeditious transfer of information prompted the trend of false information dispersal (hoax) nor information that has not been approved of its validity, hence instigating panic and unrest to the public. The introduction was closed with a compelling rhetorical question by Nakaya; “who is capable of averting the negative implications and optimizes the positive aspects of Globalization?”.
The discussion session was recommended by Nakaya by ruminating the exegesis of “Global Citizenship”. Global Citizenship is a solution which asserts public mobility in encountering the impacts of globalization, may it be positive nor negative effects. Nakaya elaborates, that global citizenship can be marked through several features, which is (1) capable of accepting diversity and respect to human rights, (2) exhibiting a collaborative mindset in the sense of exercising dispute settlement mechanisms through cooperative and collective means in the absence of conflict, and (3) situating a positive and active key role in sustaining order among the global community. In order for an individual to possess such features, the paramount importance of honing ones attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills and behavioral capabilities should be exercised.
[layerslider id=”24″]
In order to obtain such key elemental features, globalization education comes to place in fostering such skills. Globalization education acts to foster a just political literacy, sense of violence, and an orientation to social justice. By nature political literacy is mandatory in order to decipher globalization and its implications, hence we can respond properly to the dispersal of globalization. Sense of violence is the awareness to any form of violence, starting from direct violence to ecological violence. The social justice aspect is marked by the apprehension to the concept of justice that is not rigid and sundry in nature, consequently it erects an intellection to assure justice and equality to all parties. The aforementioned aspects can be elaborated through the process of globalization education which should be implemented in Indonesia.
In order to escalate the quality of Global Citizenship, Nakaya offers the concept of Resident Oriented Tourism as a means of development. Resident Oriented Tourism by itself is a form of reciprocal tourism interaction, which does not only bring profit to the tourists that are visiting but also to its local communities, as well it leverages the quality development of human resources in the tourist attraction. In order to realize such practices, the elements of local communities should actively participate in implementing the practices of tourism, and alter the value and image of exclusivity with values that are amiable to global diversity. Nakaya stipulates Yogyakarta as a suitable location in implementing resident oriented tourism and globalization education, due to its status as the epicenter of culture and education in Indonesia. The Special Region of Yogyakarta can act as the hub of global citizenship education through the methods of resident oriented tourism by upholding the value of conviviality, sense of pride to local culture, creativity and active participation in fabricating a tourist destination that is capable of accepting the global community.
The revelation evinced by Nakaya is closed by Riza, who expresses his support towards the importance of Yogyakarta as the epicenter of education and economy in Indonesia. Yogyakarta poses a lucrative potential as a prospective tourist region, and offers the potential in the exchange of ideas, experience and information. The education sector can act as an anchor for the pivot of tourism development. As the director of IIS, Riza also stipulates the affirmed and willingness of IIS in support of educating the community of Yogyakarta pertaining to globalization, which is in line to the stream of research conducted by IIS in the manifestation of advocating. Such alacrity is reflected by the conduct of the previous two antecedent Globalization Talk, viz – Globalization Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) and #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) by IIS UGM.
Author : Raditya Bomantara
Editor : Handono Ega P.
Round Table Discussion: Towards Indonesia’s Ratification of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)
/in News, Past Events/by iis.fisipolOn March 5th, Institute of International Studies, International Relations Department of Universitas Gadjah Mada collaborated with International Relations Department of Universitas Paramadina in organizing Round Table Discussion on Indonesia’s process towards the ratification of Treaty on Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). This event was attended by various stakeholders, including scholars, government, and the military. Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB—Head of the International Relations Department of Universitas Paramadina—along with Dr. Muhadi Sugiono, MA– lecturer from International Relations Department of Universitas Gadjah Mada, as well as campaigner of International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN)—officially started off the event.
The existence of nuclear weapons is closely related to the Cold War. However, nuclear weapons never ceased to develop after it ended. Despite considerable amount of bilateral and multilateral efforts to achieve disarmament, the existence of nuclear weapons endures, partly due to the myth that believes nuclear weapons are beneficial to peace. This condition encouraged civil society, through CSOs, to change the view.
Since 2013, a different perspective in examining nuclear weapons has developed. Instead of mere weapon, nuclear weapons are viewed as a threat to humanity, be it because of its explosion, radiation, or environmental damage. Rather than standing by itself as the only peril to human existence, nuclear weapons might also present itself as a start of an even worse climate crisis.
The effort to abolish nuclear weapons could not succeed through Non-Proliferation Treaty (NPT), as the regime had legal loopholes and lacked legal basis to justify why countries were obliged to disarm. Said flaws encouraged the formulation of Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). The enforcement of the treaty gave birth to a legal framework capable of deeming nuclear weapons illegal, so that anyone developing them could be sentenced. TPNW has been adopted since 2017, with 122 countries in favor, 1 abstain, and 1 country against. To date, 82 countries have signed the treaty, including Indonesia. To enable TPNW to enter into force, at least 50 countries have to ratify it. Thus far, 35 countries have ratified the treaty, a large portion of them small countries affected by past trials of nuclear weapons. The adoption of TPNW will not weaken NPT, but rather positively impact its implementation. TPNW requires a greater commitment from state parties on its nuclear program.
International Committee of the Red Cross (ICRC) reckons that it is inadequate to consider nuclear weapons merely from legal perspective. International humanitarian law believes that regulations on nuclear weapons should refer to the opinion of the International Court of Justice in 1996 on the Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons. Referring to the Opinion, nuclear weapons are absolutely prohibited, as they violate plenty of humanitarian principles. However, as it was an advisory opinion, it was not binding and only constituted further debate on what was written. In viewing nuclear weapons, it is also imperative to consider Klausula Martens, which stated that an act of war that has not been specifically regulated under an international community regime needs to be regulated based on humanitarian principles and public opinion.
[layerslider id=”25″]
A few options are available for Indonesia regarding nuclear weapons, which are to ban, to regulate, or to permit its use. Considering Indonesia is one of the first to sign TPNW, she is morally bound to obey the treaty. Therefore, the only thing left to be discussed is its ratification, which relies on the synergy and cooperation between the Ministry of Defense and the Ministry of Foreign Affairs. The challenge that must be tackled in the process of disarmament is the military opinion that nuclear weapons are vital for deterrence of power, which believes that countries need to possess power to dominate other countries in order to tone down aggression.
Now is the right time to ratify TPNW. In the future led by milennials, perceptions on weapons will shift to a more nationalist, assertive, and aggressive view. Future leaders will not see nuclear as an atomic bomb, but rather as a low-yield nuclear weapon with explosive force of only a few kilotons, appropriate to be deployed anywhere. Election trends in 2029 might also be utterly different, filled with issues regarding domestic politics, caliphate, and conservative members of the assembly, hindering attention on ratification process that tends to be extensive. Fortunately, the Minister of Foreign Affairs, Retno Marsudi, realized the importance of TPNW and declared that Indonesia is on its way to ratification.
One of the critics brought up about RTD is the absence of the term ‘weapon’ in TPNW. Its absence was on purpose, which was to anticipate potential shift of existing definitions due to nuclear technology advancement. However, we need to acknowledge that this extension constitutes a blurred and overgeneralized definition.
It is remarkable that the creation of TPNW succeeded in spite of the resentment from countries who own nuclear weapons. As TPNW was purely initiated by third-world countries or countries from the global south, its formulation was not pressured by nuclear weapon owners and more determined by countries victim to nuclear weapons. In the context of deterrence, nuclear weapons may not constitute large-scale wars, but instead small-scaled ones.
As a middle power, Indonesia is quite influential in shaping the international community to be more predicted and in order. Therefore, it is necessary Indonesia to ratify the TPNW in order to strengthen the international effort to abolish nuclear weapons entirely. Ratification will not inflict a significant loss on Indonesia, but rather bring significant gain to the international community. In addition, the treaty doesn’t limit the development of nuclear energy for peaceful uses.
Lastly, TPNW is expected to change approaches to nuclear weapon as a political tool. The process of ratification is in the hands of the Directorate of International Cooperation and Disarmament of the Ministry of Foreign Affairs and the president. It is highly dependent on whether the president identifies this issue as an urgent matter or not.
Writer : Denise Michelle
Translator : Medisita Febrina
Round Table Discussion: Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW)
/in News, Past Events/by iis.fisipolPada Kamis 5 Maret 2020 lalu, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina mengadakan Round Table Discussion untuk membahas proses Indonesia menuju ratifikasi Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Acara ini mengundang berbagai pihak terkait, mulai dari akademisi, pemerintah, dan militer. Acara ini dibuka oleh Dr. Tatok D. Sudiarto, MIB, ketua program studi Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, dan Drs. Muhadi Sugiono, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus campaigner International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN).
Eksistensi senjata nuklir sangat erat kaitannya dengan perang dingin, namun meskipun perang dingin telah berakhir senjata nuklir masih ada dan terus berkembang. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk melucuti senjata nuklir, baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral. Namun yang membuat senjata nuklir masih bertahan hingga saat ini adalah mitos yang terus berkembang atasnya, salah satunya adalah mitos bahwa senjata nuklir dianggap memiliki manfaat untuk mendamaikan. Hal ini membuat masyarakat sipil, melalui civil society organization (CSO) merasa perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan ini.
Sejak tahun 2013, muncul perkembangan pandangan yang berbeda tentang senjata nuklir. Senjata nuklir bukanlah senjata, melainkan ancaman kemanusiaan yang jika digunakan bisa mengancam kemanusiaan, baik karena ledakannya, radiasinya, maupun dampaknya terhadap lingkungan. Jika dilihat, dua ancaman eksistensi manusia saat ini adalah perubahan iklim dan senjata nuklir. Senjata nuklir bisa menjadi awal dari perubahan iklim yang semakin parah. Upaya menghapus senjata nuklir tidak dapat dilakukan dengan rezim Non-Proliferation Treaty (NPT) yang ada, karena di NPT ada celah hukum dan tidak ada basis hukum yang menyatakan alasan mengapa negara-negara harus melucuti. Berkaca pada kekurangan dalam NPT, maka mendorong lahirnya Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). Dengan berlakunya TPNW, lahirlah kerangka hukum yang membuat nuklir menjadi senjata ilegal, sehingga siapapun yang mengembangkannya dapat dipidana. TPNW telah diadopsi sejak tahun 2017, dengan 122 negara yang mendukung, 1 negara abstain, dan 1 negara menolak. Sejauh ini, telah ada 82 negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Untuk membuat TPNW enter into force, perlu setidaknya 50 negara untuk meratifikasinya, sejauh ini 35 negara telah meratifikasinya. Sebagian besar adalah negara-negara kecil yang terdampak oleh adanya senjata nuklir karena pernah menjadi lokasi uji coba. Dengan diadopsinya TPNW tidak akan memperlemah NPT, malah memberi dampak positif bagi implementasi NPT. TPNW menuntut komitmen yang lebih besar dari state-party terkait program nuklirnya.
International Committee of the Red Cross (ICRC) memandang bahwa senjata nuklir tidak cukup jika hanya dilihat dari aspek hukum. Dari perspektif hukum humaniter, yang menjadi tolak ukurnya adalah pendapat mahkamah internasional tahun 1996. Namun, yang disampaikan oleh mahkamah internasional hanya bersifat advisory opinion, sehingga sifatnya kurang mengikat dan apa yang dituliskan cukup membawa perdebatan yang lebih panjang lagi. Senjata nuklir adalah sesuatu yang mutlak dilarang, karena berdasarkan asas hukum humaniter, banyak sekali prinsip humaniter yang dilanggar. Dalam melihat senjata nuklir, perlu mengingat adanya klausula martens, yakni ketika ada sebuah peraturan atau tindakan peperangan yang belum diatur secara spesifik dalam rezim komunitas internasional, maka senjata atau perilaku tersebut harus diatur berdasarkan prinsip kemanusiaan dan bagaimana publik berkata.
[layerslider id=”25″]
Indonesia memiliki beberapa pilihan terkait isu ini, yaitu melarang, meregulasi, atau membiarkan. Mengingat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang pertama menandatangani TPNW, berarti Indonesia telah terikat secara moral. Yang perlu dibahas adalah bagaimana bentuk ratifikasinya. Perlu ada sinergi dan kerjasama antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri dalam hal ini. Meski demikian, dari sudut pandang militer, senjata nuklir dibutuhkan karena adanya deterrence of power, dimana setiap negara harus mempunyai kekuatan untuk menguasai negara lain dan negara lain akan melakukan hal yang sama. Dalam militer dipercayai bahwa jika suatu negara kuat dan mempunyai senjata, maka negara lain tidak akan melakukan agresi. Karenanya sulit untuk melakukan disarmament.
Kini adalah kesempatan emas untuk meratifikasi TPNW. Karena kelak, ketika generasi milenial memimpin pada tahun 2030, cara pandangnya akan berbeda dan cenderung lebih nasionalistik, asertif, dan agresif. Di masa depan, generasi tersebut tidak akan memikirkan nuklir seperti bom atom, melainkan sebagai low-yield nuclear weapon yang daya ledaknya hanya beberapa kiloton dan dapat digunakan dimana saja. Tren pada pemilu 2029 pun bisa saja sangat berbeda, terkait dengan politik domestik, khilafah, serta elit politik di DPR yang menjadi lebih konservatif, sehingga proses ratifikasi akan lebih sulit. Mengingat di DPR membutuhkan waktu yang lama dari saat penandatanganan hingga ratifikasi. Namun dalam pesannya untuk ICAN, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia, menyadari pentingnya eksistensi traktat ini dan mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses menuju ratifikasi.
Salah satu kritik yang dilontarkan dalam RTD ini adalah ketiadaan terma ‘senjata’ dalam TPNW. Ketiadaan terma senjata nyatanya merupakan sesuatu yang disengaja untuk mengantisipasi state party agar tidak berupaya menyalahgunakannya. Karena perlu disadari bahwa perkembangan teknologi akan menggeser definisi-definisi yang telah ada, sehingga maknanya sengaja diperluas untuk mengantisipasi perkembangan teknologi kedepannya yang turut melibatkan nuklir. Meski harus diakui bahwa memang membuat definisinya menjadi sangat luas dan kurang jelas.
Meski demikian, TPNW lahir dari proses yang cukup unik karena semua negara pemilik senjata nuklir sangat takut dan tidak menyukai traktat ini. TPNW murni diinisiasi oleh negara dunia ketiga atau negara-negara Selatan. Sehingga dalam proses inisiasi dan pembuatannya pun tidak ada tekanan dari negara-negara yang memiliki senjata, namun justru dari negara korban. Ini merupakan traktat yang justru ditolak dan dihindari oleh negara-negara pemilik senjata nuklir karena secara tegas menyatakan bahwa senjata nuklir dilarang. Dalam konteks deterrence, senjata nuklir mungkin tidak menghadirkan perang dalam skala besar, namun berbeda halnya dengan perang skala kecil.
Indonesia sebagai negara kekuatan menengah (middle power) memiliki kedudukan yang cukup berpengaruh dalam menciptakan dunia internasional yang lebih terprediksi dan teratur. Penting bagi Indonesia untuk segera meratifikasi TPNW. Karena dengan meratifikasi, Indonesia berarti memperkuat norma internasional dalam rangka penghapusan senjata nuklir secara total. Tak hanya itu, meratifikasi TPNW tidak memberikan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, karena biaya yang dikeluarkan cenderung rendah, namun membawa dampak positif bagi dunia internasional secara relatif signifikan. Selain itu, dalam traktat ini tidak ada pembatasan pengembangan energi nuklir selama untuk tujuan damai (peaceful uses). Traktat ini diharapkan dapat membawa perubahan dalam cara pandang terhadap senjata nuklir sebagai alat politik. Proses ratifikasi ada di tangan Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri dan Presiden. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah presiden melihat isu ini sebagai sesuatu yang mendesak atau tidak.
Penulis: Denise Michelle
Editor: Angganararas Indriyosanti
Globalization Talk #3 : Global Citizenship and Educating on Globalization
/in Featured, News, Past Events/by iis.fisipolPada hari Senin, 24 Februari 2020 Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan sesi ketiga kegiatan Globalization Talk yang bertajuk “Global Citizenship and Educating on Globalization”. Dalam kegiatan ini, IIS UGM berkesempatan mengundang Prof. Dr. Ayami Nakaya, Associate Professor dari Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC) Hiroshima University, yang didampingi oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM untuk menyampaikan materinya mengenai globalisasi, kewarganegaraan global dan Pendidikan dalam menghadapi globalisasi. Selain para pembicara, IIS UGM juga mengundang Cut Intan Aulianisa Isma, manajer IIS UGM yang berperan sebagai moderator dan beberapa perwakilan guru dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai peserta tamu.
Acara dibuka dengan pemaparan oleh Nakaya yang menyampaikan pengantar mengenai fenomena globalisasi. Globalisasi tentunya membawa efek global ke berbagai kalangan, baik itu dampak positif maupun negatif. Sebagai contoh, salah satu dampak positif globalisasi adalah persebaran informasi yang lebih cepat, sehingga masyarakat global lebih cepat mengakses sebuah informasi. Namun, persebaran informasi yang cepat tersebut juga diikuti oleh tren penyebaran informasi yang salah (hoax) ataupun informasi yang belum dapat ditentukan kebenarannya, sehingga justru menimbulkan kepanikan maupun keresahan bagi masyarakat. Pengantar ini ditutup dengan sebuah pertanyaan yang menarik dari Nakaya, yaitu: “Siapakah yang dapat menangkal aspek negatif dan mengoptimalkan aspek positif dari globalisasi?”
Sesi pembahasan materi dilanjutkan Nakaya dengan membahas mengenai penjabaran dari “Global Citizenship.” Global Citizenship merupakan solusi yang membuat masyarakat dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak-dampak globalisasi, baik dampak positif maupun negatif. Nakaya menjelaskan, global citizenship dapat ditandai dengan beberapa ciri: yaitu (1) mampu menerima diversitas dan dapat menghormati hak asasi manusia, (2) memiliki pola pikir yang bersifat kolaboratif dan kooperatif dengan manusia lain untuk menyelesaikan sebuah masalah secara kolektif tanpa konflik, dan (3) memainkan peran aktif dan bersifat positif dalam tatanan masyarakat global. Untuk memiliki ciri-ciri tersebut, diperlukan beberapa elemen umum yang harus dipenuhi, yaitu attitude, deep knowledge, cognitive skills, non-cognitive skills dan behavioral capacities.
[layerslider id=”24″]
Untuk memenuhi elemen-elemen penting tersebutlah, maka edukasi globalisasi diperlukan. Edukasi globalisasi berperan untuk menumbuhkan literasi politik yang baik, sense of violence, dan orientasi social justice. Literasi politik merupakan sebuah keharusan dalam memahami globalisasi dan pengaruh-pengaruhnya, sehingga kita dapat merespon persebaran globalisasi dengan tepat. Sense of violence merupakan kesadaran atas bentuk-bentuk kekerasan, mulai dari direct violence hingga ecological violence. Aspek social justice ditandai dengan pemahaman akan konsep justice yang sangat beragam dan tidak rigid, sehingga muncul pemikiran untuk memastikan keadilan dan kesetaraan untuk semua pihak. Seluruh aspek diatas dapat dikembangkan melalui proses edukasi globalisasi yang tepat dan diterapkan di Indonesia
Untuk meningkatkan kualitas Global Citizenship, Nakaya menawarkan konsep Resident Oriented Tourism sebagai sarana pengembangnya. Resident oriented tourism sendiri merupakan sebuah bentuk interaksi pariwisata timbal-balik, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi turis yang berkunjung namun juga penduduk lokal daerah tersebut, dan tentunya akan membantu mengembangkan kualitas sumber daya manusia di lokasi pariwisata. Untuk merealisasikannya, elemen-elemen masyarakat lokal harus berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pariwisata tersebut, dan merubah nilai -nilai dan imej eksklusivitas dengan nilai-nilai yang ramah terhadap diversitas global. Yogyakarta sendiri dinilai Nakaya merupakan sebuah lokasi yang cocok untuk mengembangkan resident oriented tourism dan edukasi globalisasi, karena statusnya sebagai pusat budaya dan pendidikan di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta dapat berperan menjadi pusat edukasi global citizenship lewat metode resident oriented tourism, dengan menjunjung nulai-nilai keramahan, kebanggaan akan budaya lokal, kreativitas, dan partisipasi aktif dalam menciptakan destinasi pariwisata yang dapat menerima masyarakat global.
Pemaparan Nakaya ditutup oleh Riza yang menyatakan dukungannya atas pentingnya posisi Yogyakarta sebagai pusat ekonomi dan pendidikan di Indonesia. Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, dan menawarkan potensi pertukaran ide, pengalaman dan informasi yang potensial. Sektor Pendidikan dapat menjadi jangkar yang menjadi fokus pengembangan pariwisata tersebut. Sebagai direktur IIS, Riza juga menyatakan kesiapan dan kesediaan IIS dalam mendukung edukasi masyarakat Yogyakarta tentang globalisasi, yang sejalan dengan hilirisasi riset IIS dan berbentuk advokasi. Kesiapan ini tercermin dengan penyelenggaraan dua edisi Globalization Talk sebelumnya, yaitu Globalisation Talk #1 (Jogja Creative Industry Forum) dan #2 (Jogja Tourism and Governance Forum) oleh IIS UGM.
Penulis : Raditya Bomantara
Penyunting : Angganararas Indriyosanti
Beyond the Great Wall #7 : China’s Challenge in early 2020
/in News, News (English), Past Events/by iis.fisipolBeyond the Great Wall #, 7 is the first edition of the notorious Beyond the Great Wall Forum that occurs in the year of 2020. On this occasion, the Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) invited two key speakers to scrutinize the threats to China in the early years of 2020 which may impede the economic development of China. For the main speaker, IIS UGM invited Nurrudin Al Akbar, a doctoral student in Political Science, Universitas Gadjah Mada brought up the topic titled as “Wuhan Jiayou: China’s tale in Challenging the Social Construct in the Era of Pot-Truth?”, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, a lecturer in the discipline of International Relations, Universitas Gadjah Mada became the second speaker who brought out a contextualization in the book “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy?”. In this BTGW series, IIS UGM invited Indrawan, a researcher at IIS UGM as the moderator.
As we all know that in early 2020, China struggles to face the dire dispersion of the Coronavirus disease 209 (Covid2019), which has now become a global pandemic that spans through a myriad of states globally. Nuruddin stipulates that there is a trend of narration and construction by the International media nor the Western which situated China as the “convict” who initiated the Coronavirus. The construction and narration become relevant, due to its capability to influence the international community’s perspective towards China. Hence, creating an accusation over China’s negligence in hindering the dispersion of the aforementioned virus. According to Nuruddin the negative construction towards China by in turn may hamper the Chinese government’s efforts in managing the spread of coronavirus.
This particular trend is abbreviated by Nurudin as the era of “Post Truth”—in which information that is fashioned in such manner consequently erects uncertainty and a vexatious environment to the masses. The information that is fabricated and given to the public regarding the existence and mitigating measures utilized, by in turn becomes the trigger to several problematics, such as fret towards the spread of the virus, excessive fear, the lack of trust towards the government, and to its peak, would be the inception of Sino phobic sentiments and racism directed towards the global Chinese ethnicity. Ironically, the construction towards uncertainty has previously occurred during the spread of the SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) epidemic as well as the MERS (Middle East Respiratory Syndrome) epidemic.
[layerslider id=”23″]
The phenomenon of “Wuhan Jiayou” that occurs in Wuhan, that is the center of the Coronavirus spread is remarked by Nuruddin to be potentially vexing in facing the construction within the era of Post Truth, which also includes the complication in managing the dispersion of the coronavirus. The Chinese government should appeal to the Wuhan Jiayou spirit in order to deconstruct and foster the awareness of synergetic movements in tackling the spread of the virus. The impact imparted by the Wuhan Jiayou has the effect of deconstruction directed towards the Western media which inclines to postulate on racist based elucidation towards China. Ergo, by changing such narration to a new narration that postulates on the notion of human integrity and unity, exhibits an image that the Wuhan community of China requires a moral foundation and support in facing the corona epidemic.
Notwithstanding, if the first session contemplates over the complications that the Chinese government faces in tackling the Coronavirus, the second session postulates over the book review of “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy?” by Nur Rachmat Yuliantoro. In order to decipher over the reality in which the Chinese government under Xi Jinping’s’ administration is in jeopardy, the book explores on four different key points that may threaten and destabilize the economic growth of China, in correlation to the symbolization and philosophy of the Chinese flag (Red Flags).
The first issue faced by the Chinese government would be the debt issues, in which contemporary Chinese economic growth is steered by debt which may dismantle Chinese economic stability. This also correlates to the second issue that is the Yuan and Renminbi currency that is still swayed by the Chinese government in the context of mobility and exchange rate. The third issue would be the Middle-Income trap, which is caused by the state control over several industrial sectors, hence causing difficulties for China to advance their next stage of development. The fourth issue would be the aging population phenomenon, hence rendering an unproductive working-age population. Four of these issues are regarded to negate Chinese economic development to the possibility of collapse. Furthermore, four of these issues may threaten the legitimacy of the Chinese Communist Party and it may erect distrust by the public towards the party, hence leaving it to a state of Jeopardy as emphasized by Magnus.
Writer : Raditya Bomantara
Editor: Handono Ega P.
Beyond The Great Wall #7: Tantangan Cina di Awal Tahun 2020
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaBeyond The Great Wall #7 merupakan edisi pertama forum Beyond The Great Wall di tahun 2020. Pada kesempatan kali ini, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengundang dua pembicara untuk membahas mengenai tantangan di awal tahun 2020 bagi pemerintah Cina yang dapat menghambat perkembangan ekonomi Cina. Sebagai pembicara pertama, IIS UGM menghadirkan Nuruddin Al Akbar, Mahasiswa Doktoral Imu Politik, Universitas Gadjah Mada yang membawakan materi berjudul “Wuhan Jiayou: Kisah Cina menantang Konstruksi di Era Post-Truth”. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi pembicara kedua dengan reviu buku yang berjudul “Red Flags: Why Xi’s China is in Jeopardy”. Pada BTGW kali ini, IIS UGM turut menghadirkan Indrawan Jatmika, peneliti IIS UGM sebagai moderator.
Pada awal tahun 2020, Cina kesulitan dalam menghadapi persebaran Coronavirus disease 2019 (Covid2019), yang kini menjadi pandemik global dan telah menjangkau banyak negara di dunia. Nuruddin memaparkan bahwa ada sebuah tren konstruksi dan narasi oleh media Internasional yang terkesan memojokkan dan menempatkan Cina sebagai “pesakitan” yang memulai pandemik virus Corona. Konstruksi dan narasi ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi perspektif masyarakat global terhadap Cina yang dianggap lalai dalam menyikapi persebaran virus tersebut. Konstruksi negatif terhadap Cina tersebut dinilai Nuruddin justru akan mempersulit tindakan pemerintah Cina dalam mengatasi virus Corona.
Tren inilah, yang disebut Nuruddin sebagai era “Post Truth”. Sebuah informasi yang dikemas sedemikian rupa sehingga sarat dengan ketidakpastian, menimbulkan keresahan dan kekhawatiran pada masyarakat luas. Informasi yang ditujukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang eksistensi dan langkah mitigasi virus Corona, justru menjadi sebuah pemicu berbagai problematika. Diantaranya adalah kekhawatiran yang tidak pasti akan penyebaran virus, ketakutan berlebihan, ketidakpercayaan pada pemerintah, dan puncaknya, rasisme terhadap masyarakat etnis Cina di seluruh dunia. Ironisnya, konstruksi yang sarat akan ketidakpastian ini juga pernah terjadi dalam epidemik SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) yang telah terjadi sebelumnya.
[layerslider id=”23″]
Fenomena “Wuhan Jiayou” yang terjadi di Wuhan sebagai pusat persebaran Corona virus dinilai Nuruddin berpotensi menjadi atas permasalahan Cina dalam menghadapi konstruksi di era Post Truth, termasuk dalam menghadapi penyebaran virus Corona. Pemerintah Cina perlu menerapkan semangat Wuhan Jiayou untuk melakukan dekonstruksi dengan membangun kesadaran dan semangat kerjasama dalam menghadapi persebaran virus tersebut, alih-alih ketidakpastian. Efek dari Wuhan Jiayou memiliki efek dekonstruksi narasi media barat yang bernuansa rasis dan memojokkan Cina, dan menggantikannya narasi baru yang lebih mengarah kepada solidaritas kemanusiaan dan persatuan, dan memberikan gambaran bahwa masyarakat Wuhan dan Cina membutuhkan dukungan moril dalam menghadapi pandemik Corona.
Apabila sesi pertama membahas mengenai kesulitan pemerintah Cina dalam menghadapi virus Corona, pada sesi kedua Nur Rachmat Yuliantoro memaparkan reviu dari buku Red Flags : Why Xi’s China is in Jeopardy?”, untuk memahami mengapa pemerintah Cina dibawah rezim Xi Jinping berada dalam situasi yang berbahaya. Buku tersebut menjelaskan mengenai 4 poin masalah yang dapat mengancam kestabilan dan perkembangan ekonomi Cina, dan menghubungkannya dengan filosofi dibalik bendera Cina (Red Flags).
Masalah pertama yang dihadapi pemerintah Cina adalah persoalan utang. Kemajuan ekonomi Cina selama ini dimotori oleh utang. Permasalahan utang dapat menggoyahkan perekonomian Cina. Hal ini juga berhubungan dengan masalah kedua, yaitu mata uang Yuan atau Reminbi yang masih diatur oleh pemerintah Cina dalam konteks nilai tukar hingga mobilitasnya. Masalah ketiga berasal dari Middle Income Trap, yang disebabkan oleh kontrol pemerintah dalam beberapa sektor penting ekonomi, sehingga membuat Cina sulit melanjutkan tahapan pembangunan selanjutnya. Masalah keempat adalah problematika populasi yang kian menua, sehingga usia angkatan kerja tidak sebanding dengan usia non produktif. Hal ini membuat masyarakat Cina secara keseluruhan menjadi tidak produktif. Keempat masalah inilah yang dinilai dapat menghambat atau bahkan membuat ekonomi Cina kolaps. Lebih jauh lagi, keempat masalah tersebut juga dapat mempengaruhi legitimasi Partai Komunis Cina dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai tahapan akhir “jeopardy” yang dimaksud oleh Magnus.
Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti
Rilis Pers #3: Pengaruh Penyebaran 2019-nCoV terhadap Politik dan Ekonomi Global serta Implikasinya terhadap Indonesia
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaPada Rabu 5 Februari 2020, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas mengenai pengaruh politik dan ekonomi dari penyebaran virus 2019-nCoV atau yang lebih popular disebut sebagai Wuhan Novel Coronavirus. Pada kegiatan tersebut, ada 3 poin yang dibahas oleh Arindha Nityasari, Staf Peneliti IIS di bidang Ekonomi Politik dan Pembangunan Internasional dengan didampingi oleh Indrawan Jatmika, Staf Peneliti IIS di bidang Politik Global dan Keamanan.
Kebijakan Evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai Kewajiban Pemerintah
Poin pertama berfokus kepada kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi warga negara Indonesia yang berada di Cina. “Kami percaya, bahwa apa langkah yang sudah diambil pemerintah Indonesia mengevakuasi warga negara Indonesia dari Wuhan adalah keputusan tepat, karena sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk melindungi warga negaranya” papar Arindha. Kewajiban tersebut telah tertulis pada pasal 21 Undang-Undang no 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, dimana pemerintah Indonesia wajib menjaga warga negara Indonesia dari suatu ancaman yang nyata, yang dalam kasus ini berbentuk penyebaran wabah 2019-nCoV. Keputusan pemerintah juga disebut Arindha merupakan sebuah keputusan yang “cukup berani” mengingat resiko yang ditimbulkan dalam proses evakuasi tersebut, dimana terdapat tim evakuasi berisiko terpapar virus tersebut serta kemungkinan virus yang lolos deteksi pada WNI yang telah dievakuasi.
Analisa Kebijakan Travel Ban Pemerintah Indonesia
Poin kedua menjelaskan mengenai kebijakan travel ban oleh Pemerintah Indonesia baik dari maupun menuju Cina. Menurut Arindha, kebijakan ini dapat dijustifikasi karena ancaman 2019-nCoV yang telah melanda 7 negara anggota ASEAN, dan Indonesia memang harus merespon dengan cepat untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga memiliki momentum yang tepat karena mengandung dua nilai strategis. Pertama, pemberhentian yang dilakukan setelah evakuasi WNI berhasil dilakukan menghilangkan kemungkinan retaliasi dari Cina. Kedua, kebijakan dibuat setelah pengumuman World Health Organization yang menyatakan kondisi darurat kesehatan global.
Namun, kebijakan travel ban tentunya menimbulkan beberapa pengaruh dalam hubungan Indonesia dan Cina. Pertama, semakin meningkatnya sentimen anti-Cina di Indonesia karena eksistensi warga Cina yang ada di Indonesia. Kedua, lesunya turisme yang diakibatkan oleh
absennya turis-turis asal Cina yang selama ini telah menjadi salah satu penyumbang turisme bagi Indonesia, meskipun tidak akan bersifat permanen. Terakhir adalah kendala ekonomi yang muncul karena interdependensi ekonomi diantara kedua negara. Sebagai contoh, beberapa proyek pembangunan seperti proyek kereta cepat Indonesia tentunya akan ikut terpengaruh.
[layerslider id=”21″]
Dampak Wabah 2019-nCoV Terhadap Ekonomi Cina
Pada poin terakhir, Indrawan menganalisa dampak 2019-nCoV terhadap ekonomi Cina. Indrawan memaparkan kasus penyebaran SARS pada tahun 2002 sebagai acuan dalam menganalisa dampak ekonomi wabah 2019-nCoV. 2019-nCoV memiliki potensi pengaruh terhadap ekonomi Cina yang lebih besar dibanding SARS pada tahun 2002. Hal ini diperkirakan terjadi karena, persebaran wabah yang bertepatan dengan tahun baru Cina, dimana konsumsi masyarakat domestik seharusnya berada pada tingkat tertinggi. Tidak ada perputaran uang yang terjadi karena berbagai macam industri terpaksa berhenti beroperasi karena penyebaran virus.
Wuhan sebagai pusat persebaran virus 2019-nCoV merupakan salah satu pusat industri Cina. Sehingga lumpuhnya Wuhan berarti lumpuhnya industri di daerah tersebut. Hal ini tentunya mempengaruhi baik perusahaan lokal maupun perusahaan-perusahaan besar yang membuka pabrik di Cina. Bahkan beberapa manufaktur besar seperti Apple terpaksa menutup pabriknya di Cina untuk sementara waktu, sehingga menimbulkan penurunan saham yang mencapai 8%. Selain itu, wabah ini juga mempengaruhi turunnya harga minyak dunia, karena Cina sebagai konsumen terbesar minyak bumi mengurangi konsumsi minyaknya, sehingga negara-negara produsen minyak harus mencari pasar alternatif. Tantangan utama bagi pemerintah Cina menurut Indrawan adalah memulihkan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi Cina, karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bentuk legitimasi Partai Komunis Cina dalam berkuasa.
Apa yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia?
Terakhir, Arindha menutup sesi konferensi dengan menyampaikan saran-saran bagi Pemerintah Indonesia dalam menghadapi persebaran virus 2019-nCoV. Pemerintah Indonesia harus mempersiapkan infrastruktur untuk menghadapi persebaran virus tersebut, karena selama ini masih ada kesan bahwa pemerintah Indonesia belum menganggap serius masalah ini. Diperlukan transparansi dari pemerintah Indonesia untuk memberikan ketenangan bagi masyarakat dengan menggambarkan persiapan pemerintah dalam menghadapi ancaman virus 2019-nCoV. Terakhir, pemerintah Indonesia juga harus mempertimbangkan durasi travel ban baik dari maupun menuju Cina, mengingat kebijakan tersebut berpengaruh langsung kepada interdependensi ekonomi diantara Indonesia dan Cina.
Penulis: Raditya Bomantara
Editor: Angganararas Indriyosanti
Press Conference #3: The Impact of 2019-nCoV spread towards the Global Political Economy and its Implication to Indonesia
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaOn Wednesday (05/02), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held a press conference that ruminates over the impact of 2019-nCoV dispersion or widely known as the Wuhan Novel Coronavirus to the Global Political Economy. During the event, there are three major key points that are postulated by Arindha Nityasari, Research Staff of IIS in the field of International Political Economy and Development accompanied by Indrawan Jatmika, Research Staff of IIS in the field of Global Politics and Security.
The Evacuation of Indonesian Citizens as a State Imperative
The first point pivots on the policy-induced by the Indonesian government, which revolves around the relocation and evacuation of Indonesian citizens within China. “We believe, that the steps taken by the Indonesian government to evacuate Indonesian citizens from Wuhan is a pragmatic take to the issue, because it has been one of the state’s imperative to protect its citizens”. Such policy is stipulated within Article 21 of the Constitutional Act of 1999 number 37 on foreign affairs, at which the state is mandated to protect its citizens from a veridical threat, in which scilicet to this case would be the spread of 2019-nCoV epidemic. The state’s decision as described by Arindha to be “quite daring” despite the risks that may erect during the evacuation process. By which the risk of dispersion directed to the evacuating team is probable, moreover the probability of a carrier to the virus amongst the evacuated citizens to be undetected imposes a high risk to the evacuation process.
An analysis of Indonesia’s Travel Ban Policy
The second point elucidates the travel ban policy by the Indonesian government, let it be flights from China or towards China. According to Arindha, this policy can be justified due to the threat of 2019-nCoV which have diffused 7 ASEAN member states, ergo Indonesia must take a direct and quick response to the spread. Furthermore, the policy has the right momentum due to its’ two strategic values. Firstly, the discontinuation that is induced after the evacuation of Indonesian citizens has been successfully executed impedes the chances of retaliation by China. Secondly, the policy was devised after the statement that is delivered by the World Health Organization which imparts the condition to be a global health threat.
Notwithstanding, the travel ban policy by consequence fabricates several impacts on the inter-states relations of China and Indonesia. First, the increase of anti-Chinese sentiment in Indonesia due to the presence of Chinese citizens athwart Indonesia. Second, the decline of tourism that is caused by the absence of Chinese tourists has been one of the major contributors to the Indonesian tourism industry, despite it being temporary. Lastly, there is economic pressure that is framed due to the economic interdependence between the two partying states. Ad exemplum, several infrastructure projects such as the high-speed railway will determinedly be swayed.
[layerslider id=”21″]
The Impact of 2019-nCoV epidemic to China’s Economy
At the last point, Indrawan scrutinizes the impact of 2019-nCoV on China’s economy. Indrawan imparted the case of SARS dispersion in 2002 as a reference to decipher the economic impact of 2019-nCoV. 2019-nCoV has a bigger potential to influence China’s economy in contrast to the SARS outbreak in 2002. This phenomenon is estimated to be directly caused by, the spread of the epidemic which concur during Chinese New Year, whereupon the domestic consumption should be at its peak. Subsequently, there was no occurring cash flow due to the industry shutdown imposed as a result of the virus’ dispersion.
The city of Wuhan, which is the source of the 2019-nCoV virus is one of the industrial centers of China. This by consequence impacted the performance of local enterprises as well as large corporations that are stationed within Wuhan, China. Inasmuch, several manufacturing giants such as Apple are forced to temporarily close down their factories in China. Consequently, this imposes a major drop to the stock market that reaches the rate of 8%. Furthermore, this epidemic induces a downturn to the price of crude oil globally, as one of the major consumers of global crude oil the threat imposed by the virus reduces the consumption of oil by Chinese industries, hence the majority of oil-producing countries are in need to seek an alternative market. According to Indrawan the primary challenge for the Chinese government is to revitalize its economy and to negate the significant economic impacts prompted by the virus, as China’s economic growth is one of the main methods for the Chinese Communist Party to legitimatize its rule.
What measures can the Indonesian Government take?
In sum, Arindha closed the session of the press conference by conveying several suggestions to the Indonesian government in tackling the issue at hand. The Indonesian government should arrange an infrastructure to counter the spread of the virus because there is a common doxa where the Indonesian government does not take serious measures towards the issue. The paramount importance of transparency within the Indonesian government brings assurance to the citizens by delivering the actions and preparations made by the government in countering the threat of 2019-nCoV virus. Last but not least, the Indonesian government should also reconsider the duration of the travel ban, let it be from or towards China, apropos to the direct impact of the policy induces to the economic interdependence between China and Indonesia.
Writer: Raditya Bomantara
Translator: Handono Ega
IIS UGM Visit to PT Dirgantara Indonesia: Considering Drone Development Prospect in Indonesia
/in News, News (English), Past Events/by iis.fisipolIndonesian should be proud with the newly-introduced Medium Altitude Long Endurance (MALE) drone named Elang Hitam (translated as: Black Eagle), on the end December 2019. Responding the newly-introduced drone, Raditya Bomantara, S.IP, Farah Andri, S.Ds, dan Denise Michelle from Disseminationa and Outreach of Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) visited the headquarter of PT Dirgantara Indonesia (PT DI) as a part of the global movement: Campain on Killer Robots, on Monday (20/01/2020). Muhammad Nainar and Ardya Paradipta from PT DI, as a representative from the team that developed the drone, briefed our team from IIS about Elang Hitam drone that day. The goal of our visit is to earn more informations and discuss further about the development of MALE drone and the use of its technology in Indonesia
MALE Elang Hitam is a project initiated by the Ministry of Defence, which also involves Agency for the Assessment and Application of Technology, Indonesian Air Force’s Research and Development body, and Bandung Institue of Technology, National Institute of Aeronautics and Space, PT DI, and PT Len Industri. Facing many difficulties in supervising the country borders became the start of Indonesian drone development. The lack of supervision on the borders had become an opportunity for smugglers, which then costs the government a fair amount. For that reason, MALE drone will be operated as a surveillance device for the borders with an intensive sortie (up to 24 hours), which would be impossible if the government use conventional aircraft.
[layerslider id=”20″]
There is a plan to arm MALE Elang Hitam, however, Nainar assured that the MALE developd right now is still far-fetched from what we know as Killer Robots. Ardya infromed that MALE drone will act as a reconnaissance, with borders surveillance sortie to transfer images using camera to the mission control. Those image then would be processed by the operator, before deciding further actions. This shows that the operational of MALE drone has not been fully autonomous and still dependant on human in the loop. Even if it is unarmed, MALE will still be able to help border surveillance by sending needed informations that later will be processed by the Indonesian Army.
At the end of the discussion, to reassure people worries about the use of MALE as killer robots, Nainar repeated that Indonesia still has a long way from adopting the killer robots technology. Other than technological factors, the MALE drone performance still need to be assessed and developed until it could be licensed and operated. The MALE technology will be used to supervise borders and not as a weapon since it is what Indonesia needs right now. MALE will also be potential in disaster mitigation such as forest fire, flood, and landslide. MALE will also be useful to get atmosphere imagery that will help with weather forecast. It has a lot more possible benefits other than just as a weapon of destruction if the government used it selectively and carefully.
After the discussion, our team had a chance to visit other facilities inside PT DI to directly observe the drone Wulung, which is the MALE predecessor, also some vehicles that operates as the mission control for the drones. Our team wrapped the visit with a photo session and token exchange with the representatives of PT DI.
Author : Denise Michelle, Raditya Bomantara
Editor : Angganararas Indriyosanti, Muhammad Nainar PT DI
Kunjungan IIS UGM ke PT Dirgantara Indonesia: Menilik Prospek Pengembangan Teknologi Pesawat Nirawak di Indonesia
/in News, Past Events/by iis.fisipolMasyarakat Indonesia tentunya boleh berbangga dengan diperkenalkannya Pesawat Udara Nirawak (PUNA) terbaru kelas Medium Altitude Long Endurance (MALE) pada akhir Desember 2019 lalu yang diberi nama Elang Hitam. Sebagai respon atas pengenalan pesawat nirawak tersebut, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) yang diwakili oleh Raditya Bomantara, S.IP, Farah Andri, S.Ds, dan Denise Michelle dari divisi Diseminasi dan Outreach IIS UGM, melakukan kunjungan ke kantor pusat PT Dirgantara Indonesia (Persero) sebagai bagian dari kampanye global Campaign on Killer Robots pada Senin (20/1/2020) lalu. Sebagai narasumber, pihak PT Dirgantara Indonesia (DI) diwakili oleh Muhammad Nainar selaku project manager MALE dan Ardya Paradipta selaku perwakilan dari tim pengembang pesawat nirawak MALE Elang Hitam. Adapun tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk menggali informasi dan berdiskusi lebih dalam tentang progres pengembangan drone dan teknologi pesawat nirawak di Indonesia.
MALE Elang Hitam merupakan proyek inisasi Balitbang Kementerian Pertahanan dengan konsorsium yang terdiri dari Kementerian Pertahanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dinas Penelitian dan Pengembangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), PT DI dan PT Len Industri. Pengembangan drone tersebut diawali oleh kesadaran Pemerintah Indonesia yang mengalami kesulitan dalam mengawasi wilayah perbatasan. Kurang optimalnya pengawasan wilayah perbatasan sering dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab untuk menyelundupkan komoditas illegal, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Sebagai respon atas fenomena tersebut, pesawat nirawak MALE diproyeksikan sebagai sarana pengawasan wilayah perbatasan dengan tingkatan sorti yang lebih intensif dalam sehari (waktu operasional mencapai 24 jam), yang tentunya mustahil dilakukan apabila menggunakan pesawat konvensional karena keterbatasan fisik manusia.
[layerslider id=”20″]
Meskipun Pemerintah Indonesia memang mempertimbangkan untuk melengkapi MALE Elang Hitam dengan sistem persenjataan, Nainar memastikan bahwa MALE masih terlalu jauh dari apa yang kita kenal sebagai “Killer Robots”. Ardya menekankan bahwa fungsi utama MALE adalah untuk fungsi reconnaissance, dengan tahapan sorti pengawasan perbatasan, mengirim citra dengan menggunakan kamera kepada kontrol misi, dan kemudian diproses oleh operator sebelum menentukan tindakan lebih lanjut. Dengan kata lain, operasional MALE masih mengandalkan model human in the loop sehingga tidak sepenuhnya otonom. Tanpa senjata pun, MALE dapat membantu pengawasan perbatasan dengan memberikan informasi yang kemudian ditindaklanjuti oleh TNI selaku pengawas perbatasan.
Pada akhir sesi diskusi, untuk menjawab kekhawatiran masyarakat terhadap penggunaan MALE sebagai senjata Killer Robots, Nainar kembali menekankan bahwa Indonesia masih sangat jauh dari mengadopsi senjata Killer Robots. Selain beberapa faktor, seperti kekurangan teknologi, kepastian atas performa dan fungsi MALE tersebut harus menunggu berbagai tahapan yang harus dilewati oleh pesawat nirawak tersebut sebelum mendapatkan lisensi resmi dan layak operasional. Dari segi kebutuhan Indonesia sendiri, teknologi yang diusung MALE ini diproyeksikan sebagai wahana pengintai dan perbatasan, bukan sebagai platform persenjataan layaknya drone sekelas yang dimiliki oleh negara lain. Bahkan, MALE juga memiliki potensi untuk digunakan dalam sektor lain, yang membutuhkan keunggulan citra visual dari kamera MALE, yaitu mitigasi bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, longsor dan pencitraan atmosfer untuk mempermudah ramalan cuaca. Potensi yang dimiliki oleh pesawat nirawak jauh lebih besar dibandingkan pemanfaatan yang hanya semata-mata sebagai senjata pembunuh apabila digunakan dengan cermat dan selektif,.
Seusai sesi diskusi, tim IIS mendapatkan kesempatan untuk tur disekitar fasilitas hanggar PT DI dan mengamati langsung pesawat nirawak “Wulung” yang merupakan pesawat nir awak produksi PT DI pendahulu MALE, serta wahana kendaraan yang digunakan sebagai pusat kontrol misi pesawat nirawak. Terakhir, kunjungan ditutup dengan sesi foto bersama dan penyerahan suvenir kepada Nainar selaku perwakilan dari PT Dirgantara Indonesia.
Penulis : Denise Michelle, Raditya Bomantara
Editor : Angganararas Indriyosanti, Muhammad Nainar PT DI.
Rilis Pers #1 Eskalasi Konflik Amerika Serikat dan Iran : Kemungkinan Perang Dunia ke-III?
/in News, Past Events/by iis.fisipolSelasa (14/1/2020), Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan konferensi pers sebagai respon atas isu eskalasi konflik diantara Amerika Serikat dan Iran. Terbunuhnya Mayor Jenderal Qasem Soleimani oleh serangan pesawat nirawak Amerika Serikat menjadi pemicu eskalasi tensi diantara Amerika Serikat dan Iran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang antara kedua negara, yang dapat memicu Perang Dunia III. Untuk menganalisa kemungkinan terjadinya Perang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Dalam kesempatan ini, IIS UGM menghadirkan Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan Yunizar Adiputera, MA., Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
Amerika Serikat memiliki sejarah keterlibatan yang panjang di kawasan Timur Tengah karena eksistensi Israel sebagai sekutu dekatnya. Bukanlah rahasia umum bahwa Amerika adalah musuh dari sebagian besar negara Timur Tengah. Di sisi lain, Iran merupakan salah satu seteru AS yang secara agresif terus mengembangkan kekuatannya, sehingga AS akan berusaha untuk melemahkan dan menghambat perkembangan Iran. Pembunuhan Soleimani dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk dari upaya tersebut, dengan justifikasi bahwa Soleimani memiliki niatan untuk menyerang beberapa target strategis di Amerika.
Namun pada kenyataannya, justifikasi yang disebutkan oleh pihak Gedung Putih tersebut masih belum bisa dibuktikan keabsahannya. Sebaliknya, muncul pandangan yang menyatakan bahwa Donald Trump melakukan serangan tersebut adalah sebuah pengalihan isu untuk mengurangi beban dalam negeri AS yang sedang marak dengan isu pemakzulan Trump, sekaligus sebagai upaya mendongkrak popularitas Trump pada pemilu yang akan datang. Siasat ini pernah diterapkan oleh mantan Presiden AS, George H. Bush Sr. yang mengintervensi dalam invasi Irak ke Kuwait. Namun siasat ini dapat berbalik merugikan Trump apabila lawan politik Trump menggunakan isu ekonomi sebagai pertimbangan dalam inisiasi perang, dimana kondisi perekonomian AS sebenarnya tidak cukup kuat untuk mendukung ekonomi perang apabila AS berperan dengan Iran.
[layerslider id=”19″]
Apakah Serangan Amerika Serikat yang menewaskan Mayjen Qasem Soleimani dapat dibenarkan menurut Hukum Internasional?
“Sulit dibenarkan secara hukum internasional, logika yang dibangun selama ini hanya bahwa iya (Jenderal Qasem Soleimani) adalah orang jahat atau teroris, sementara dalam hukum internasional serangan hanya bisa dilakukan atas dasar pembelaan diri (self-defense) atau jika ada ancaman yang mendesak (imminent)”
-Yunizar Adiputera, M.A, Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.-
Selain problematika urusan domestik AS, terdapat problematika keabsahan serangan yang dilakukan terhadap Soleimani apabila ditinjau dengan hukum humaniter internasional. Sebuah serangan hanya dapat dibenarkan sebagai tindakan bela diri (self-defence) atau respon atas sebuah ancaman yang mendesak (imminent threat). Trump mengatakan bahwa serangan ini adalah bentuk self-defence AS terhadap rencana dan aksi terorisme yang dimotori oleh Soleimani. Sulit untuk menjustifikasi keabsahan serangan atas Soleimani karena hingga saat ini belum ada bukti berarti akan ancaman yang dibawa oleh Qasem Soleimani. Selain itu, terlepas dari problematika legal atau tidaknya serangan tersebut, serangan yang menewaskan Soleimani juga merupakan sebuah serangan yang tidak bijak dan tidak masuk akal, karena dapat menciptakan krisis dan eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah.
Apakah konflik diantara kedua negara akan mengalami eskalasi sehingga dapat memicu Perang Dunia III?
“Amerika Serikat dan Iran sama-sama memiliki kekuatan nuklir, dan apabila keduanya berperang, hanya akan menciptakan kerusakan skala besar dan prospek terjadinya MAD (mutually assured destruction)”
-Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada –
Untuk saat ini, kemungkinan terjadinya Perang Dunia III dinilai kedua narasumber sebagai sebuah kemungkinan yang tidak realistis karena beberapa faktor. Pertama, situasi politik yang sangatlah berbeda dengan situasi sebelum Perang Dunia I dan II, dimana mayoritas negara menghindari perang terbuka dan memilih diplomasi. Kedua, faktor domestik dari kedua negara yang berkonflik. Disatu sisi AS dipengaruhi oleh dukungan publik yang lemah atas perang dan juga ekonomi yang tidak siap untuk perang skala besar, dan disisi lain Iran juga memiliki kekuatan militer yang jauh lebih inferior dibandingkan AS sehingga pilihan untuk melakukan perang terbuka dapat mengarah kepada blunder strategis. Ketiga, prospek mutually assured destruction yang akan terjadi karena baik AS dan Iran sama sama memiliki senjata nuklir, yang apabila digunakan hanya akan menimbulkan kerusakan skala besar dan merugikan kedua negara.
Apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia?
Pada akhir sesi rilis, kedua narasumber mengingatkan akan signifikansi diplomasi di era modern. DIHI dan IIS UGM akan selalu mengutamakan jalur diplomasi dan tidak akan mempromosikan peperangan sebagai solusi. Meskipun banyak pihak menilai pamor diplomasi menjadi kurang populer setelah beberapa fenomena seperti Brexit dan Trump yang lebih memilih menggunakan power Amerika Serikat dibanding jalur diplomasi, namun pada kenyataannya justru diplomasi menjadi lebih penting dibanding era sebelumnya. Pada kasus ini, Pemerintah Indonesia dapat menggunakan jalur diplomasi untuk mencegah konflik diantara Amerika Serikat dan Iran bereskalasi lebih jauh.
Penulis : Raditya Bomantara
Penyunting : Denise Michelle
Rilis Pers #2 Sengketa Perairan Natuna antara Pemerintah Indonesia dengan Cina : Legalitas Nine Dash Line
/in News, Past Events/by iis.fisipolSelasa (14/1) lalu, Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) mengadakan konferensi pers untuk membahas dua isu penting dalam politik internasional yang mengawali tahun 2020 ini. Salah satunya adalah sengketa perairan Natuna yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Cina.
Indrawan Jatmika, selaku peneliti IIS menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia cenderung bergerak terlalu lambat dan kurang responsif dalam menanggapi aksi yang dilakukan Cina di Laut Natuna Utara dengan masuknya kapal nelayan dan patroli penjaga pantai yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan teritorial Indonesia. Cina kerap menggunakan latar historisnya, yaitu nine dash lines sebagai landasannya dalam mengklaim wilayah Laut Cina Selatan. Padahal nine dash lines ini jelas bertentangan dengan UNCLOS dan bersinggungan dengan batas ZEE Indonesia.
“Langkah yang diambil Indonesia saat ini cenderung mengobati dibandingkan mencegah, karena isu di Laut Cina Selatan sudah bergulir ketika awal dekade 2010 terutama di tahun 2013-2014 ketika Cina mulai memiliki power akibat perkembangan ekonomi yang berkembang pesat,” ujar Indrawan.
Sejak awal pemerintahannya di tahun 2014, Jokowi merasa bahwa kasus Laut Cina Selatan bukanlah urusan Indonesia sehingga tidak perlu campur tangan Indonesia. Hal ini kemudian menjadi mindset yang terbangun dan berlanjut hingga saat ini. Sehingga ketika isu seperti ini terjadi, pemerintah cenderung tidak siap dan belum memiliki strategi untuk menanganinya. Yang terjadi malah saling lempar tanggung jawab antar kementerian, dimana masing-masing kementerian memiliki posisinya masing-masing dalam mengatasi isu ini.
Dengan Indonesia yang cenderung mengabaikan isu ini, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin ASEAN. Padahal, sejak awal berdirinya ASEAN tahun 1967, Indonesia selalu dianggap sebagai pemimpin ASEAN. Hal ini cukup disayangkan menurut Indrawan. Indonesia seharusnya dapat memimpin dan melakukan konsolidasi secara multilateral ke negara-negara anggota ASEAN untuk menentukan langkah dan sikap bersama untuk merespon Cina, sekaligus membawa isu ini ke berbagai forum internasional atas nama ASEAN.
Secara domestik, Indonesia juga perlu lebih tegas dan siap dalam mengatasi isu ini. Dengan mengirimkan militer ke Natuna atau membangun pangkalan militer ke Natuna bukan berarti tantangan perang dari Indonesia, namun lebih menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menindak pelanggar kedaulatan wilayah Indonesia.
[layerslider id=”18″]
Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh Randy Wirasta Nandyatama, dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus pakar kajian politik dan keamanan Asia Tenggara. Menurut Randy, kasus Cina ini menjadi penting karena kapal nelayan dijaga oleh penjaga pantai yang menurut UNCLOS adalah paramilitary, karena dibantu oleh negara dengan memberikan pengawalan. Inilah yang menjadi masalah dan membuat masalah tersebut menjadi pelik.
Menurut Randy, Cina melakukan aksi ini karena bergantung pada legitimasi Partai Komunis Cina (PKC). PKC dapat terus berkuasa apabila dapat menjamin pertumbuhan ekonomi, menjaga integritas teritorial, dan propaganda kecintaan tanah air (nasionalisme).
“Poin integritas teritorial menjadi poin yang bersinggungan dengan kasus ini, karena PKC harus mempertahankan Laut Cina Selatan yang dinilai merupakan hak Cina. Kemungkinan besar, Pemerintah Cina akan sulit untuk mundur karena menurut Cina, Laut Cina Selatan penting bagi integritas teritorial Cina,” ujar Randy.
Sebelumnya, Indonesia membatasi keterlibatannya dalam isu Laut Cina Selatan karena Indonesia tidak mengklaim Pulau Spratly di perairan Laut Cina Selatan, sehingga sebelumnya belum ada sengketa dan singgungan langsung antara Indonesia dan Cina. Namun kini, penting bagi Indonesia untuk terlibat aktif dan lebih responsif dalam mengatasi pelanggaran kedaulatan wilayah ini. Karena dalam sengketa internasional, negara yang dapat menjaga sebuah wilayah dan mengelolanya secara serius, maka akan dipandang lebih penting dan lebih pantas akan wilayah tersebut. Hal inilah yang berusaha dikejar oleh Cina.
Sejalan dengan yang disampaikan Indrawan sebelumnya, respon Indonesia dinilai kurang terkoordinir. Berbagai lembaga dan institusi yang terlibat tidak memiliki keseragaman respon terhadap isu ini. Sehingga yang dapat dilakukan adalah koordinasi yang lebih serius dan membuat upaya diplomasi mempertahankan perairan Natuna lebih kuat dan terarah.
“Indonesia selama ini masih mengabaikan historical fishing rights Cina, sehingga Indonesia perlu lebih mendalami landasan dan alasan Cina untuk melakukan intervensi di Natuna. Diperlukan juga adanya opsi kesepakatan diantara kedua negara dimana kedua negara dapat bekerjasama dan memanfaatkan sumber daya secara bersamaan,” tutur Randy menutup paparannya.
Penulis : Denise Michelle
Penyunting : Angganararas Indriyosanti
Beyond the Great Wall #6: Menilik Jejak dan Merintis Langkah Cina
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaKerap kali, kepentingan lingkungan dibenturkan dengan kepentingan ekonomi, seolah harus memilih satu dan mengorbankan yang lainnya. Namun, salah satu proyek eco-city di Cina, yakni Tianjin Eco-City, berkata lain. Arinda Putri, alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM) membagikan hasil risetnya mengenai hal ini dalam Beyond the Great Wall ke-6, kegiatan dwibulanan yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Jum’at (6/12) lalu. Selain Arinda, M. Irsyad Abrar, mahasiswa HI UGM, dan Nur Rachmat Yuliantoro, Kepala Departemen HI UGM sekaligus convener dari kegiatan Beyond the Great Wall, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini.
Dalam paparan Irsyad Abrar terkait tantangan dan respon Cina atas keamanan energinya, disampaikan bahwa hingga kini batu bara masih merupakan energi yang dipakai secara dominan oleh Cina, terlepas dari faktor lingkungan yang ditimbulkannya.
“…secara volume (penggunaan batu bara) melonjak sangat drastis. Ini bersamaan dengan naiknya Cina sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di dunia” ujar Abrar.
Tekanan domestik dari warga Cina, khususnya di Pesisir Timur, serta tekanan masyarakat global membuat Cina mencoba menggunakan energi yang dipersepsikan lebih “bersih” dari batu bara, contohnya minyak bumi, gas alam, dan energi baru terbarukan lainnya. Meski demikian, sumber daya ini belum dapat menggantikan penggunaan batu bara di Cina yang sangat masif. Hal ini dikarenakan peningkatan pasokan sumber daya alternatif tersebut belum dapat menandingi kecepatan peningkatan konsumsi energi di Cina.
“Di berita, dikabarkan bahwa ada banyak tambang batu bara yang ditutup. Tapi sebenarnya ada juga tambang-tambang batu bara baru di daerah Timur Laut Cina Manchuria yang diperbolehkan baru-baru ini” tambah Abrar.
Meski nada yang cenderung pesimistik tampak dari paparan tersebut, proyek Tianjin Eco-City membawa angin segar dalam diskursus ekologi Cina. Merespon lonjakan konsumsi batu bara di Cina yang menyentuh angka 87,5 persen, berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi efek lingkungan dari konsumsi tersebut maupun dari berbagai aktivitas produksi polusi lainnya.
“Ada beberapa proyek eco-city yang telah digagas pemerintah Cina, bahkan sejak tahun 2003. Tetapi kebanyakan gagal, satu-satunya yang berhasil ialah proyek Tianjin Eco-City yang bekerjasama dengan pemerintah Singapura”
[layerslider id=”17″]
Kerja sama ini dilaksanakan dengan cara diadakannya pertukaran sumber daya, dari pihak Singapura dan Cina; transfer teknologi sumber daya air dengan melakukan penegakkan kedaulatan bidang air, dalam artian mengurangi ketergantungan pada air minum kemasan impor; pengadaan fasilitas reklamasi air; dan melakukan pemulihan Danau Jing yang sebelumnya menjadi tempat pembuangan polusi selama empat dekade.
“Melalui kerja sama ini, Tianjin bahkan menjadi kota pertama yang keran airnya bisa diminum, padahal sebelumnya perairan di Tianjin, contohnya Danau Jing, sangat tercemar” jelas Arinda.
Dampak dari kerja sama ini sangat besar, dari aspek ekonomi, Produk Domestik Bruto meningkat pada tahun 2007 hingga 2011. Terlebih lagi, pada tahun 2010-2014, Tianjin kedatangan lebih dari 10.000 wisatawan serta 1000 perusahaan dengan intensi investasi.
Bagi masyarakat setempat, dampak positif muncul dari perilaku rendah karbon ditunjukkan oleh penduduk Tianjin Eco-City, bahkan ketika dilakukan penelitian, 67,3 persen responden menyatakan bersedia membayar premi bulanan untuk mendukung listrik ramah lingkungan. Pendidikan terkait lingkungan hidup pula digalang sejak sekolah dasar. Alhasil, warga akar rumput jadi lebih memahami konsep green dan eco-city.
Meski dengan diadakannya kerja sama ini wewenang perusahaan menjadi lebih luas dibandingkan wewenang pemerintah dan masih terdapat permasalahan terkait kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi yang berlaku serta beberapa permasalahan aspek politis lainnya, kerja sama ini membuktikan adanya rekonsiliasi pertumbuhan ekonomi dengan penyelesaian masalah ekologi yang selama ini menjadi perdebatan panjang.
Mengakhiri kegiatan BTGW ke-6 Nur Rachmat Yuliantoro selaku convener dari kegiatan Beyond the Great Wall berbagi kisah terkait kedatangannya ke Cina November lalu melalui foto-foto tangkapannya. Pada akhir kegiatan Nur Rachmat Yuliantoro menutup rangkaian kegiatan BTGW, sebagai forum diskusi terkait perkembangan politik, sosial, ekonomi, serta isu-isu lain yang terjadi di Cina pada tahun 2019. Nantikan kegiatan Beyond the Great Wall dengan format baru di tahun depan!
Penulis : Sonya Teresa Debora
Editor : Thifani Tiara Ranti
Killer Robots: Evolution of Warfare or the Threat for Humanity?
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaOn Thursday (29/11), Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) held Humanitarian Talk discussion as part of Campaign to Stop Killer Robots series with the theme “Coffee Talk on Killer Robots”. The event which was held at Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tried to offer a talk show concept which focuses on giving explanation to the public about the definition of killer robots, by discussing the advancement of information technology (IT), weaponry, and artificial intelligent (AI) in which all of them can not be separated by the advancement of the killer robots itself. IIS UGM held such series of events as a form of participation in global campaign under Campaign to Stop Killer Robots in order to raise awareness and increase the understanding of the people regarding the humanitarian consequences caused by Lethal Autonomous Weapon (LAWs). As a result, the campaign is expecting the emergence of solidarity to push the government in national level to not using autonomous weapons which will cause destruction and death of civilians.
On this occassion, IIS UGM invited Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, researcher at Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) also Dr. Sugeng Riyanto, lecturer at International Relations Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), both of the speakers have special interest on the advancement of killer robots. The discussion session is moderated by Yunizar Adiputera, M.A as the convener as well as the leader of Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM team.
The session was opened with foreword by Yunizar which explained a brief definition of LAWs. Autonomous weapon is different with drone, in which both have fundamental different on degree of control, target selection, and accuracy attack. Also, drone is not necessarily used for military purpose. On the other side, autonomous weapon is an independent weapon system which is designed for military purpose. Autonomous weapon is projected to bring forth a warfare revolution, minimize casualties from the military, and attacking target without human intervention so that it can be said as the third weapon revolution after the discovery of gun powder and atomic bomb. However, such weapon gains so many rejection from international community because of its vulnerability on operation system error, lack of capability to select target, also the degree of harm it might cause.
Sugeng opened his session by emphasizing that autonomous weapon system is inevitable, in which warfare always pushes for advancement and evolution of weaponry as a defense tool. Autonomous weapon system is an evolution of modern warfare, in which by using AI-based weapon with limited human intervention, military attempts to erase physical and psychological human limitation which is vulnerable with human error factor in order to create a more efficient warfare. However, Sugeng also explained that as the technology keeps evolving, autonomous weapon system brings several negative effects, such as the difficulties to decide the legal subject when there is civilian casualties, the loss of chivalry as a humanitarian element, also the loss of norm because of the loss of life by weapons that are not directly controlled by humans. Therefore, Sugeng concluded that the advantages possessed by autonomous weapon system makes the usage of the weapon by the military is inescapable thus a legally binding regulation is needed.
[layerslider id=”16″]
Resonating Sugeng, Rifqi also stated that military technology is indeed pushing the development of civilian technology, in which the technology development within the past 15 to 20 years has exceeded what has been able to be reached 300 years before. Rapid technological development is indeed a positive progress, but also bear negative impact. One of the negative impact can be seen in several cases, for instance is Stanislav Petrov – who had successfully prevented Nuclear War on September 26th, 1983 due to the nuclear warning system malfunction. For this case, it was the human judgment which was able to decide and prevent civilian casualties, meanwhile AI did not have such aspect. The usage of AI on autonomous weapon system forces human to be trapped in out of the loop scheme, where human is unable to interfere the decision making process of AI.This has become problematique since the scheme which should be used is human in the loop (human as the decision maker) or human on the loop (human can interfere the autonomous decision making process). Human dignity is at stake when the decision making process related to human’s life is decided by AI.
Meanwhile, regarding the role of Indonesia’s government in the middle of killer robots dilemma, Rifqi emphasized that Ministry of Foreign Affairs should take the role on pushing education in order to stop the usage and ban the autonomous weapon system. Strategy and comprehensive movement are needed in order to influence the world’s appraisal regarding smart weapons. Indonesia should be able to take the advantage its role as the Non-Permanent Member of UNSC in order to push the discussion regarding killer robots issue. Yunizar also added that in reality, Ministry of Foreign Affairs is quite slow on deciding its position. Indonesia is also lack of involvement on weapon treaties even though Indonesia has quite influential voice on such treaties. Therefore, it should be realized by the government they should express the need to ban killer robots through diplomacy. It should also be realized as well that it might be further challenge for them.
Writer : Raditya Bomantara
Editor and Translator : Thifani Tiara Ranti
Killer Robots : Evolusi Peperangan atau Ancaman Kemanusiaan?
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaKamis (29/11) lalu, Insitute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan diskusi Humanitarian Talk sebagai rangkaian dari seri Campaign to Stop Killer Robots dengan tema “Coffee Talk on Killer Robots”. Kegiatan yang bertempat di Digital Library Café, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada ini mencoba mengusung konsep bincang santaiyang berfokus untuk memberikan penjelasan kepada sivitas akademika UGM dan masyarakat umum tentang definisi dari killer robots, dengan membahas kemajuan teknologi informasi, persenjataan, serta artificial intelligence (AI) yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan killer robots itu sendiri. IIS UGM menyelenggarakan serangkaian kegiatan ini sebagai bentuk partisipasi atas kampanye global Campaign to Stop Killer Robots untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konsekuensi kemanusiaan yang disebabkan oleh Lethal Autonomous Weapon System (LAWS). Melalui kampanye ini, diharapkan muncul solidaritas bersama untuk mendorong pemerintah di level nasional agar tidak menggunakan senjata-senjata otonom yang dapat menimbulkan kerusakan dan korban jiwa di kalangan masyarakat sipil. Sesi Coffee Talk sendiri merupakan sebuah forum diskusi internal
Pada kesempatan ini, IIS UGM mengundang Dr. Muhammad Rifqi Muna, MDefstud, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Dr. Sugeng Riyanto, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dua pembicara yang memiliki ketertarikan khusus terhadap perkembangan killer robots. Sesi diskusi ini dimoderatori oleh Yunizar Adiputera, M.A selaku penanggung jawab sekaligus ketua tim Campaign to Stop Killer Robots IIS UGM.
Sesi dibuka dengan pengantar oleh Yunizar yang memaparkan pengantar diskusi dengan menjelaskan secara singkat tentang definisi dari LAWS. Senjata otonom merupakan suatu perangkat yang berbeda dengan drone, di mana, selain memiliki tingkat pengendalian, pemilihan sasaran dan akurasi serangan yang berbeda secara fundamental, drone juga belum tentu digunakan sebagai sarana militer. Senjata otonom, di sisi lain, merupakan sistem senjata mandiri yang didesain secara khusus untuk keperluan militer. Senjata otonom diproyeksikan untuk dapat melahirkan revolusi peperangan, meminimalisir korban dari pihak milite, serta dapat menyerang sasaran tanpa tenaga manusia sehingga dapat disebut sebagai revolusi senjata ketiga setelah penemuan bubuk mesiu dan bom atom. Namun, senjata ini mendapatkan banyak penolakan dari dunia internasional karena rawan akan kesalahan sistem operasi, minimnya kapabilitas untuk memilih target, serta tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan.
Sugeng membuka pemaparannya dengan menekankan bahwa sistem senjata otonom merupakan sebuah keniscayaan, di mana peperangan selalu mendorong perkembangan dan evolusi persenjataan sebagai alat pertahanan. Sistem senjata otonom merupakan evolusi peperangan modern, di mana dengan menggunakan senjata berbasis AI yang minim intervensi manusia, militer berusaha untuk menghilangkan batasan fisik dan psikis manusia yang rawan faktor human error sehingga melahirkan peperangan yang lebih efisien. Namun, Sugeng juga memaparkan bahwa seiring dengan terobosan dan kemajuan yang dibawanya, sistem senjata otonom membawa beberapa aspek negatif, seperti sulitnya menentukan subjek hukum ketika ada korban di kalangan sipil, hilangnya sifat kesatriaan sebagai salah satu elemen humaniter, serta lenyapnya norma karena penghilangan nyawa oleh senjata yang tidak dikontrol langsung oleh manusia. Oleh karena itu, Sugeng menyimpulkan bahwa kelebihan yang dimiliki sistem senjata otonom membuat penggunaan senjata ini oleh militer sulit untuk dihindari sehingga diperlukan sebuah aturan yang legally binding dan dapat mengatur penggunaan senjata tersebut.
[layerslider id=”16″]
Senada dengan Sugeng, Rifqi menyatakan bahwa teknologi militer memang mendorong perkembangan teknologi sipil, di mana perkembangan teknologi pada 15 hingga 20 tahun terakhir jauh melampaui apa yang dicapai dalam lingkup 300 tahun sebelumnya. Perkembangan teknologi yang pesat ini tentunya merupakan sebuah kemajuan yang positif, namun juga memiliki dampak-dampak negatif yang menyertainya. Dampak negatif ini dapat dilihat dari beberapa kasus, contohnya Stanislav Petrov–yang berhasil mencegah Perang Nuklir pada tahun 26 September 1983 karena malfungsi sistem peringatan nuklir Uni Soviet), pada kasus ini, penilaian manusialah yang dapat menentukan dan mencegah korban di kalangan sipil, sementara AI tidak memiliki aspek tersebut. Penggunaan AI pada sistem senjata otonom memaksa manusia terjebak dalam skema out of the loop, di mana manusia tidak dapat campur tangan dalam pengambilan keputusan oleh AI. Hal ini menjadi problematik karena seharusnya skema yang digunakan adalah human in the loop (manusia sebagai pengambil keputusan) atau human on the loop (manusia bisa melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan yang otonom). Hal ini membuat martabat manusia dipertaruhkan ketika proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nyawa manusia diputuskan oleh AI.
Sementara, perihal peran pemerintah Indonesia di tengah dilema killer robots, Rifqi menekankan bahwa Kementerian Luar Negeri harus berperan dalam mendorong edukasi untuk menghentikan penggunaan dan pelarangan sistem senjata otonom. Diperlukan strategi dan gerakan yang menyeluruh untuk dapat mempengaruhi penilaian dunia internasional akan senjata-senjata cerdas, dan Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk mendorong pembahasan mengenai isu killer robots. Menambahkan, Yunizar menyatakan bahwa, pada kenyataannya, Kementerian Luar Negeri justru lambat dalam menetapkan posisi. Bahkan, Indonesia minim terlibat dalam traktat-traktat penggunaan senjata, meskipun Indonesia memiliki suara yang dapat berpengaruh dalam negosiasi traktat-traktat pelarangan senjata tersebut. Hal inilah yang harus disadari oleh pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dan menyuarakan pelarangan terhadap killer robots, dan mungkin akan menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia kedepannya.
Penulis : Raditya Bomantara
Penyunting : Thifani Tiara Ranti
Annual Convention on Global South #1: Revolusi Industri 4.0 dan Kerjasama Global South
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaInstitute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM) telah menyelenggarakan acara Annual Convention on Global South atau GoSouth pada tanggal 5 dan 6 November 2019. Sebagai program perdana, GoSouth edisi perdana mengundang pembicara-pembicara dari lingkup nasional maupun internasional. Acara ini disponsori oleh Bank Mandiri, Chandra Asri Petrochemical dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Indonesia.
Pada hari pertama, GoSouth beragendakan sesi seminar internasional dengan menghadirkan 4 pembicara yang membawakan materi terkait Global South dan Industri 4.0. Pada sesi pertama, IIS UGM mengundang Prof. Ashok Acharya, Profesor Ilmu Politik dari University of Delhi dan Prof. Mohtar Mas’oed, Profesor Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Pada sesi pertama, Cut Intan Aulianisa Isma selaku manajer dari IIS UGM berperan menjadi moderator. Pada sesi kedua, dihadirkan dua pembicara lain yaitu Shita Laksmi, Manajer Proyek Asia Diplo Foundation dan Nanang Chalid, Wakil Pimpinan Tokopedia. Treviliana Eka Putri, dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada menjadi moderator pada sesi ini.
Sesi hari pertama dibuka dengan sambutan dari Prof. Panut Mulyono, selaku rektor Universitas Gadjah Mada, yang mengingatkan kita akan perkembangan dunia dengan mengikuti revolusi industri 4.0 dimana teknologi telah berkembang dengan pesat dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik internasional. LAWs, AI dan Big Data kini dapat mempengaruhi ranah sosio-politik, menjadikan revolusi industri 4.0 bukan hanya sebagai fenomena global namun juga sebagai agenda global. Dibalik signifikansinya, revolusi industri 4.0 juga membawa tantangan, dan kita harus siap dalam menghadapi tantangan tersebut.
Sesi pertama dibuka oleh Cut Intan Aulianisa Isma selaku moderator, dengan tema “Global South : Perspective in International Relations”. Sesi pertama dibuka oleh Prof. Ashok Acharya yang membawakan materinya dengan topik “Rekindling the Bandung Spirit : Transnational Justice and the Global South”. dalam materinya, beliau menekankan kepada signifikansi dari Bandung Spirit dalam menghadapi RI 4.0 sebagai masyarakat Global South. Globalisasi mendatangkan banyak janji dan peluang, namun diikuti oleh problematika seperti ketimpangan yang meluas. Dalam hal ini, Bandung Spirit berperan sebagai katalis pemersatu dan norma global dalam menghadapi isu transanasional, khususnya global justice issue. Problematika global inequality haruslah direspon oleh sebuah koperasi global, namun tantangannya adalah untuk menemukan sebuah norma yang akan diikuti oleh seluruh negara-negara yang terkait, baik utara maupun selatan. Prof. Ashok mengakhiri materinya dengan membawa konsep Global/Transnational Justice, sebagai sebuah gerakan yang dimotori prinsip keadilan distributif yang diaplikasikan dari tingkat domestik hingga global.
Apabila Prof. Ashok Acharya menekankan kepada tantangan di level global, Prof. Mohtar Mas’oed justru memandang fenomena Global South dari sudut pandang Indonesia lewat materinya,“Technologically Challenged Global South : An Indonesian Perspective”. Dalam materinya tersebut, Prof. Mohtar menekankan bahwa bagi Indonesia untuk menaiki gelombang perkembangan teknologi dibutuhkan respon cepat terhadap perkembangan teknologi yang merupakan solusi neoliberal untuk krisis produksi kapitalis, dan hanya membawa keuntungan bagi sebagian golongan yang siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Sebagian negara selatan tertinggal karena konsekuensi politik, ekonomi dan sosial dari kesenjangan global yang berkembang dengan pesat, sementara keuntungan ekonomi dan sosial yang dibawa oleh perkembangan teknologi tetaplah terpusat pada negara-negara maju. Sehingga pada akhirnya negara negara Global South tetap mengandalkan teknologi yang kalah berkembang dari teknologi yang digunakan negara-negara maju. Indonesia tentu saja juga menjadi salah satu negara berkembang yang harus beradaptasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, karena area STI (Science, Technology and Innovation) yang tertinggal jauh dari negara-negara maju. Prof. Mohtar menutup paparannya dengan mengingatkan akan dilema hubungan selatan-selatan dengan membandingkan spirit solidaritas Konferensi Bandung 1955 dengan Realpolitik, yang menyebabkan fragmentasi diantara negara-negara Global South.
[layerslider id=”14″]
Setelah kedua pemapar selesai memaparkan materinya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang cukup progresif karena minat para peserta terhadap topik perkembangan teknologi dan industri 4.0. Selepas sesi tanya jawab, para pembicara dan peserta dipersilakan untuk menikmati makan siang dan melaksanakan ibadah sebelum dilanjutkan pada sesi kedua yang menghadirkan Shita Laksmi dan Nanang Chalid dengan moderator Treviliana Eka Putri bertema “Industry 4.0 In the Global Context”
Sesi kedua dimulai oleh Nanang Chalid, yang memulai sesi dengan sedikit membagikan pengalaman beliau sebagai alumni HI UGM yang membantunya dalam mencapai posisinya sekarang. Nanang memaparkan, bahwa Asia Tenggara dan Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Ekonomi Asia Tenggara sudah mulai berkembang dan menyesuaikan dengan proses digitalisasi, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup progresif dalam proses tersebut. E-commerce berkembang dengan pesat di Asia Tenggara, diiringi dengan peningkatan pengguna internet yang cukup drastis. Indonesia sendiri memiliki potensi e-commerce yang masif, karena menyediakan keuntungan finansial, dan lapangan kerja. Tokopedia yang menyadari potensi yang dimiliki oleh Indonesia, dapat sigap bergerak sebagai sebuah ekosistem penggerak ekonomi, yang menyediaka kemudahan, kemajuan dan kelebihan praktis kemajuan teknologi dalam aspek komersil. Di saat yang bersamaan, Tokopedia juga dapat berperan menjadi aktor yang membantu pemerintah dengan mengintegrasikan beberapa layanan pemerintah dengan layanan e-commerce yang diberikan. Dengan signifikansi peran tersebut, Tokopedia muncul sebagai salah satu pelopor industri 4.0 di Indonesia, sekaligus memberikan peluang bagi masyarakat untuk berperan sebagai pelaku ekonomi digital.
Shita Laksmi memandang revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi yang dibawanya sebagai sebuah tantangan, dan pengaruhnya kepada dunia Hubungan Internasonal. AI (artificial intellegence) dan perkembangannya yang pesat menyediakan alternatif tenaga kerja baru yang presisi dan mungkin dapat berperan didalam proses diplomasi, dimana AI dapat berperan baik sebagai alat diplomasi ataupun topik diplomasi. Contohnya, AI dapat berperan dalam pemprosesan teks diplomasi, karena presisi kerja yang tidak terganggu oleh faktor human error. AI juga dapat berperan dalam banyak sektor, seperti keamanan, ekonomi dan pengembangan luar angkasa, sehingga kita harus siap akan hadirnya AI dalam kehidupan sehari hari. Kembali kepada konteks hubungan internasional dan diplomasi, Kementerian Luar Negeri dan para diplomat juga harus bersiap dengan melakukan beberapa hal seperti inovasi, capacity building dan indicator track efforts untuk beradaptasi dengan perkembangan AI. Dalam konteks Global South, Shita mempertanyakan apakah perbedaan diantara utara dan selatan, serta relevansi pemisahan antara utara-selatan, karena relevansinya masih bisa diperdebatkan. Shita juga memaparkan contoh kebangkitan Cina, yang menurutnya justru memberi Cina pemenuhan kualifikasi sebagai negara utara.
Seusai pemaparan kedua pembicara, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab kedua yang masih berjalan dengan cukup progresif diantara peserta seminar dan para pembicara. Sesi hari pertama dilanjutkan dengan pidato penutupan oleh Dr. Riza Noer Arfani, Direktur IIS UGM dan inisiator dari konvensi GoSouth, yang menandakan berakhirnya hari pertama dari Annual Convention on Global South.
Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Angganararas Indriyosanti & Thifani Tiara Ranti
Relasi Indonesia-Rusia: Menilik Sejarah dan Membaca Prospek
/in News, Past Events/by iis.fisipolInstitute of International Studies — kembali menyelenggarakan kegiatan Ambassadorial Lecture pada Jumat (9/11) lalu. Edisi kuliah duta besar kali ini menghadirkan H. E. Lyudmila Georgievna Vorobieva, Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia. Kegiatan dilaksanakan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada dengan mengangkat tema “Russia in the Contemporary Global Politics, Its Power, Its Role and Its Leadership”.
Dalam paparannya, H.E. Lyudmila menyatakan bahwa Indonesia dan Rusia, secara historis, telah memiliki hubungan baik. Relasi ini telah dibangun sejak abad ke-17, ketika Rusia pertama kali membuka konsulat di Batavia pada tahun 1693. Hubungan ini kian menguat di bawah pemerintahan Soekarno dengan diadakannya kerjasama di berbagai lini.
“Soekarno refers to Russians as brothers, and used the terms ‘Jauh di Mata Dekat di Hati’ ” ujar H.E. Lyudmila menegaskan.
Hingga kini, bukti kerjasama bilateral tersebut masih dapat ditemui, baik di Indonesia maupun Rusia. Salah satunya adalah Blue Mosque atau Masjid Biru di Moskow yang sampai sekarang masih menjadi ikon kultur Islam di Rusia. Blue Mosque direstorasi berdasarkan permintaan Presiden Soekarno kepada Presdien Nikita Khrushchev dalam salah satu kunjungannya ke Rusia.
“Indonesia and Russia built a steady partnership in several sectors like Gelora Bung Karno, Rumah Sakit Persahabatan, and many more. This became the crystallization of the sweet relations between Soekarno’s Regime and the Pre Russian Federation government (USSR)” tambah H.E. Lyudmila.
[layerslider id=”12″]
Demikian pula secara kultural, jejak relasi Indonesia-Rusia dapat ditemukan pada lagu-lagu Indonesia yang dikenal erat, bahkan ditranslasikan ke Bahasa Rusia, seperti lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ dan salah satu lagu berbahasa Sunda.
Meski sempat merenggang pasca berakhirnya pemerintahan Soekarno, relasi mampu dikembalikan dan dipelihara dengan baik hingga kini.
“For Russia, Indonesia is one of the most important ally in South-East Asia and Pacific Region, both in politic and economic sector. Hopefully, Indonesia and Russia will keep maintain friendly relationship and become an important partner in the future” ungkap Lyudmila.
Kerjasama kedua negara ini diharapkan tidak terhenti, terlebih menguat dalam berbagai sektor. H.E. Lyudmila turut berpesan bahwa Indonesia dan Rusia, sebagai kekuatan global yang sedang bangkit, harus beradaptasi untuk menjawab tantangan global dan menjadi kekuatan dengan caranya sendiri. Bagi Rusia, soft power dan dialog antarnegara adalah fokus utama, dan kerja sama dengan Indonesia diharapkan akan tetap berlanjut melalui cara-cara ini pula.
Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara Ranti
Annual Convention on Global South #2: Memandang Revolusi Industri dan Hubungan Internasional Melalui Tiga Kacamata Berbeda
/in News, Past Events/by webadmin.3-a2b2aaRabu, (6/11) hari ke-2 dari rangkaian acara Global South Conference 2019. Acara yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM). Setelah pemaparan materi seputar perspektif Global South mengenai Revolusi Industri 4.0 dalam konteks global oleh berbagai akademisi dan praktisi di bidang teknologi pada hari pertama. Hari kedua dilanjutkan dengan sesi diskusi secara lebih rinci di masing-masing panel. Sesi ini terbagi atas tiga panel yang mewakili masing-masing konsentrasi dari DIHI UGM, yaitu International Political Economy and Development, Peace and Conflict Studies, dan Global Politics and Security.
[layerslider id=”15″]
Setelah melalui rangkaian pengumpulan dan seleksi abstrak hingga pengumpulan full paper, masing-masing paper presenter yang telah diseleksi oleh tim materi Global South Conference hadir untuk memaparkan hasil risetnya masing-masing. Hasil riset yang disampaikan tentunya seputar dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap hubungan internasional yang dikaitkan dengan salah satu dari tiga konsentrasi diatas.
Dalam panel International Political Economy and Development, yang dimoderatori oleh Indrawan Jatmika selaku peneliti Institute of International Studies serta Muhammad Rum selaku dosen DIHI UGM, terdapat sebelas paper presenter dengan hasil risetnya masing-masing, diantaranya seputar Big Data dari perspektif Selatan, Belt and Road Initiative, Trade War, Revolusi Industri 4.0 sebagai peluang kerjasama internasional, Global Value Chain, dan Free Trade. Sedangkan di panel Peace and Conflict Studies, terdapat sepuluh paper presenter yang mempresentasikan hasil risetnya. Di sesi pertama, panel ini dimoderatori oleh Angganararas Indriyosanti selaku peneliti Institute of International Studies dan sesi kedua dimoderatori oleh Indrawan Jatmika. Tulisan yang dipresentasikan seputar perdamaian dan konflik di Bangladesh, konflik dan krisis identitas di Rohingya, perubahan persepsi gender di Rohingya, serta gerakan sosial dan diseminasi informasi di era digital. Panel terakhir, yaitu panel Global Politics and Security dimoderatori oleh Randy Wirasta Nandyatama dan Treviliana Eka Putri, selaku dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. Dalam panel ini terdapat sembilan paper presenter dengan berbagai topik seputar informasi sebagai instrumen kekuasaan di era Revolusi Industri 4.0, dampak arus pengungsi Rohingya terhadap komunitas lokal, serta social media’s blackout di Srilanka. Setiap sesi presentasi diakhiri dengan diskusi dan tanya jawab dua arah antara presenter dan peserta, mengingat diskusi panel ini terbuka untuk umum. Dalam ketiga panel diatas, paper presenter berasal dari berbagai universitas dari dalam maupun luar negeri.
Penulis : Denise Michelle
Penyunting : Thifani Tiara Ranti
Globalization Talk #2: Mendiskusikan Sektor Pariwisata dalam Menghadapi Globalisasi
/in News, Past Events/by iis.fisipolMeski membawa dampak positif dengan terbangunnya konektivitas yang lebih, pelaku usaha pariwisata pula dituntut melakukan berbagai perubahan akibat adanya globalisasi. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki fokus terhadap sektor pariwisata ialah Kabupaten Gunung Kidul. Menjadi tantangan tersendiri bagi para stakeholders di Kabupaten Gunung Kidul untuk melakukan berbagai penyesuaian yang diperlukan dalam menyongsong globalisasi dan segala dampak yang ada bersamanya. Guna mendiskusikan hal tersebut secara lebih mendalam, pada Selasa (15/10), Institute of International Studies bekerjasama dengan Kelas Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum Globalization Talk yang ke-2 “Manajemen Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul: Peluang dan Tantangan dalam Era Globalisasi”.
[layerslider id=”10″]
Kegiatan dilaksanakan di Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul dan dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Kelompok Sadar Wisata dari berbagai desa wisata di Gunungkidul, pengurus dinas pariwisata maupun dinas-dinas terkait di Kabupaten Gunung Kidul, serta stakeholder sektor pariwisata Kabupaten Gunung Kidul lainnya. Forum diharapkan dapat memberi dampak positif dengan memicu adanya pengembangan pariwisata yang lebih inovatif.
Sebagai konsekuensi globalisasi, dengan mudah ditemukan beberapa keuntungan yang mampu mengoptimalkan pengembangan pariwisata di Gunung Kidul. Menurut Yuni Hartini, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Gunung Kidul, kemudahaan untuk mengakses informasi serta promosi via media massa menghasilkan masyarakat setempat yang semakin terbuka terhadap potensi dan pengembangan pariwisata lokal. Sepakat dengan hal tersebut, Budi Subaryadi dari Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Nglanggeran menyatakan bahwa globalisasi memberikan alternatif bagi metode pemasaran, yakni tak hanya melalui media cetak, tetapi juga media sosial.
Namun, bersamaan dengan itu, para stakeholder menyatakan terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula. Salah satu tantangan yang menjadi PR besar para pengelola sektor pariwisata ialah tantangan infrastruktur. Yuni menyatakan bahwa dampak globalisasi yang masif belum didampingi dengan adanya sarana prasarana yang maksimal yang dapat mendukung kegiatan pariwisata, terutama akses lalu lintas yang seringkali diterpa kemacetan dan belum menemukan solusi.
Tak hanya itu, sumber daya manusia juga menjadi tantangan atas globalisasi yang harus dihadapi, pasalnya sumber daya manusia yang bertugas mengelola media informasi sebagai sarana pemasaran masih kurang memadai. Serupa dengan hal tersebut, Budi Subaryadi menyatakan bahwa keterbatasan ketersediaan pengelola masih menjadi masalah.
“Terkadang banyak masyarakat yang masih malas ikut, sehingga tidak ada regenerasi masyarakat yang bertanggungjawab mengelola pariwisata yang ada” tambah Budi
Menjembatani diskusi tersebut, Dr. Riza Noer Arfani, Direktur dari Institute of International Studies, memaparkan pandangannya atas fenomena ini dengan perspektif akademisi. Arfani menyatakan bahwa dalam menghadapi globalisasi, diperlukan adanya kompromi antara globalisasi itu sendiri dengan aspek lokal pariwisata. Dr. Riza menyebutnya sebagai “Glokal”, di mana pariwisata dapat dikembangkan secara global dengan tetap menganut nilai lokal secara sinergis. Dengan menganut konsep ini, diharapkan akan ada pembangunan sosial yang lebih merata dan terbangun integrasi dalam pengembangan pariwisata. Tak hanya itu, Arfani pula menambahkan pentingnya kerjasama antarpihak dalam menghadapi globalisasi.
“Selain itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah adanya kerja sama di antara berbagai pihak, seperti pihak lokal dengan leading firm di luar agar pariwisata mengglobal” tambah Dr. Riza.
Sesi paparan tersebut diikuti dengan diskusi antar para pemangku kepentingan pariwisata di Gunungkidul dan ditutup dengan kunjungan Kelompok Sadar Wisata Gunungkidul.
Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara Ranti
Beyond the Great Wall #5: Menilik Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina
/in News, Past Events/by iis.fisipolDewasa ini, peran Cina dalam panggung internasional semakin meluas. Hal ini dapat dilihat melalui proyek kerjasama Cina yang semakin ekspansif, terutama melalui Belt and Road Initiative (BRI). Keberhasilan BRI sebagai salah satu proyek besar Cina ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai aspek, baik domestik maupun terkait relasinya dengan negara lain. Terdapat berbagai peluang dan tantangan yang dapat mempengaruhi kerja sama Cina, termasuk dalam BRI. Untuk itu, pada Jumat (11/10) lalu, Institute of International Studies kembali mengadakan forum Beyond the Great Wall untuk ke-5 kalinya dengan mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Kerja Sama Cina”. BTGW kali ini menghadirkan Umi Qodarsasi, S.IP, M.A, dosen program studi pemikiran politik IAIN Kudus, dan William Help, Presiden Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Universitas Gadjah Mada.
Diskusi ini dibuka dengan pemaparan Umi mengenai “Cina di Afrika: Peluang dan Tantangan BRI.” Cina turut menjalin kerja sama ekonomi dengan Afrika karena Afrika dipandang sebagai “the rising continent” dan “the hopeful continent”. Pandangan ini muncul karena adanya prediksi bahwa perekonomian Afrika akan terus berakselerasi. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Afrika antara lain ialah meningkatnya permintaan global akan minyak, emas, logam, dan mineral yang merupakan salah satu cadangan utama Afrika; urbanisasi dan potensi penduduk usia muda sebagai tenaga kerja; serta meningkatkan ekspor untuk mendorong investasi yang besar.
Afrika menjadi region yang menyuplai pasokan sumber daya alam bagi Cina sekaligus pasar untuk produk dan jasa dari Cina. Hal ini semakin memperkuat posisi Cina di Afrika, terutama karena Cina berusaha melindungi apa yang menjadi kepentingannya. Bentuk kerja sama antara Cina dan Afrika termanifestasikan dalam Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC), di mana FOCAC merupakan platform kerja sama multilateral antara Cina dengan negara-negara Afrika. FOCAC membawa perubahan yang signifikan bagi hubungan Cina dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika, di mana Cina menjadi mitra pembangunan utama bagi Afrika, baik di bidang perdagangan, investasi, maupun bantuan dan hibah.
Afrika merupakan salah satu wilayah yang terlibat dalam proyek BRI sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang saling membutuhkan antar keduanya. Di satu sisi, negara-negara yang dilalui jalur BRI akan mendapat investasi yang lebih besar, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur, di mana di Afrika sektor energi dan transportasi yang menjadi fokus utama. Cina memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman berjumlah besar (big loans) pada Afrika dengan kompensasi dalam bentuk kekuasaan Cina atas sektor mineral dan minyak di Afrika. DI sisi lain, Afrika dan seluruh sumber dayanya juga turut menguntungkan Cina.
Menurut Umi, tantangan BRI bagi negara-negara Afrika ialah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi dengan kondusifitas kondisi politik negara, hal ini memicu masing-masing negara Afrika untuk tetap memiliki kondisi politik yang kondusif dan menjaga kualitas good governance agar dapat terus berpartisipasi dalam BRI. Di lain sisi, eksistensi BRI pula harus mendorong daya saing produk domestik dan melahirkan adanya inovasi produk. Namun, ketergantungan negara-negara Afrika kepada Cina dan bantuannya juga menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi.
“Bantuan yang diberikan harus disertai pembangunan domestik dan digunakan secara proporsional agar tidak terjadi ketergantungan. Negara-negara Afrika harus membangun kedaulatan dan perekonomian secara mandiri agar terhindar dari apa yang negara-negara barat khawatirkan sebagai bentuk neokolonialisme,” ujar Umi menutup pemaparannya.\
[layerslider id=”8″]
Pemaparan dilanjutkan oleh William yang membahas mengenai dampak tensi Cina dan Hong Kong terhadap BRI. Jika dilihat lebih jauh, tensi antara Cina dan Hong Kong mulai terjadi sejak tahun 2011. Namun, baru-baru ini diperparah dengan adanya extradition law bill yang kembali memperparah tensi antar keduanya.
Dalam kaitannya dengan BRI, Kepentingan dan prioritas BRI di Hong Kong dapat dilihat melalui 5 indikator, yaitu people to people bond, financial integration, unimpeded trade, policy coordination, dan facilities connectivity. Hong Kong sendiri membawa keuntungan bagi BRI karena tidak hanya berfokus pada sektor raw materials (mentah), tetapi juga sektor manufaktur.
Selain itu, Hong Kong memiliki perekonomian yang sangat terbuka dengan koneksi eksternal yang luas dan kuat. Proyek BRI yang melibatkan Hong Kong ada di bidang perdagangan dan ekonomi, inovasi dan teknologi, layanan keuangan, pertukaran orang, serta logistik internasional, pengiriman, dan transportasi.
Dalam melihat pengaruh tensi antara Cina dan Hong Kong terhadap BRI, William menggunakan alat analisis konflik bawang (onion tool) dengan melihat kebutuhan, kepentingan, dan posisi dari masing-masing pihak. Menurut William, BRI merupakan kepentingan (interest) dari Cina dan Hong Kong. Cina dan Hong Kong sama-sama ingin menyejahterakan variabel-variabel yang ada di setiap pihak yang berkonflik (dalam bidang ekonomi).
Selama posisi Beijing di Hong Kong masih terjaga dan memegang status quo, proyek BRI di Hong Kong memiliki tendensi untuk terganggu, kecuali dalam hal-hal yang bersifat lebih teknis seperti adanya boikot produk Cina. Meski demikian, BRI memberikan dampak yang positif dan menguntungkan bagi Cina dan Hong Kong.
Humanitarian Talk : Mencari Jalan Baru Damai Papua
/in News, Past Events/by iis.fisipolJumat, 5 Oktober 2019, Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan forum diskusi Humanitarian Talk bertajuk “Mencari Jalan Baru Damai Papua” di Ruang Sidang Dekanat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Forum ini diselenggarakan sebagai respon atas isu kekerasan dan kerusuhan di Papua yang memuncak di Wamena. Berawal dari ide Dr. Luqman-Nul Hakim, dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, kegiatan ini dibungkus dengan format diskusi akademik yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan isu di Papua, mulai dari dosen berbagai departemen, tenaga riset dari aneka pusat studi UGM, serta Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, dihadirkan tiga pembicara yang memiliki perhatian khusus dengan isu Papua, yakni, Dr. Richard Chauvel dari Asia Institute, University of Melbourne yang sempat menjabat sebagai konsultan International Crisis Group in Papua; Amiruddin Al-Rahab, komisioner Komnas HAM dan koordinator Penegakkan HAM sekaligus aktivis di Papua Resource Center; Fransiskus Agustinus Djalong, M.A., peneliti senior PSKP sekaligus Dosen Departemen Sosiologi UGM yang memiliki fokus kajian konflik dan perdamaian dalam kerangka interlinkage security, development dan democracy. Ketiga pembicara bergantian memaparkan materinya sebelum diikuti oleh sesi tanya jawab dan diskusi.
Diskusi dibuka dengan pemaparan oleh Richard Chauvel yang memaparkan pandangannya terkait eskalasi konflik di Papua. Menurut Richard, konflik Papua memiliki sejarah yang sangat panjang dan menjadi awal dari konflik yang sering terjadi belakangan ini. Identitas Papua menjadi suatu isu yang sensitif, di mana masyarakat Papua yang terlibat dalam program urbanisasi ke Jawa oleh pemerintah pusat dengan tujuan menumbuhkan nasionalisme serta menguatkan identitas ke-Indonesia-an, tetapi isu rasisme dan diskriminasi yang ditujukan kepada masyarakat Papua justru membuat identitas Papua menjadi lebih kuat. Misalnya, kasus kerusuhan yang terjadi dengan melibatkan kelompok mahasiswa Papua yang sempat terjadi di Surabaya belum lama ini. Seolah belum cukup, masalah juga diperkeruh oleh pemerintah yang seringkali menggunakan militer dan aparat kepolisian untuk “memadamkan” gerakan nasionalisme Papua, alih-alih memilih jalan negosiasi dan dialog dengan representasi masyarakat.
[layerslider id=”7″]
Di sisi lain, isu rasisme juga muncul saat para pendatang datang ke Papua. Identitas ras yang berbeda justru menciptakan sebuah segregasi yang justru merugikan dan menyakiti masyarakat Papua di tanahnya sendiri. Perlakuan tidak adil dari pemerintah memperkeruh suasana, di mana segala kasus kerusuhan dan kekerasan dibungkus sebagai problematika dan juga kesalahan masyarakat Papua yang alih-alih menerima heterogenitas Indonesia, malah memilih menyuarakan identitas sebagai masyarakat Papua ketimbang identitas sebagai bagian dari Indonesia. Padahal, masyarakat Papua, dalam kasus ini, justru menjadi korban dari diskriminasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat, hingga sesama kelompok masyarakat. Oleh karena itu, Richard juga mengajak para peserta diskusi untuk memandang konflik di Wamena dengan konteks yang lebih luas.
Pada sesi kedua, Amiruddin memaparkan analisisnya mengenai akar permasalahan di antara hubungan pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Papua, bukan hanya menjadi provinsi yang paling jauh dari pemerintah pusat, kebijakan Papua juga terasa paling jauh dibincangkan. Hal ini diperparah dengan minimnya pemahaman pemerintah pusat akan kepentingan masyarakat Papua. Berawal dari pemekaran provinsi, Papua telah menjadi subjek kebijakan yang salah sasaran. Hal ini tercermin pada kebijakan -kebijakan tiap presiden untuk Papua yang selalu berbeda, dan tidak pernah berkesinambungan, di mana kebijakan untuk Papua yang telah digagas oleh satu presiden hanya akan di-’reset’ kembali oleh presiden selanjutnya dengan kebijakan yang baru sesuai dengan apa yang dirasakan pemerintah berkuasa tentang latar belakang masalah Papua. Akibatnya, Papua seolah terasing dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat karena kebijakan pusat yang tidak tepat sasaran. Lebih jauh lagi, Amiruddin juga mengatakan bahwa aksi kekerasan dan kerusuhan yang muncul belakangan ini, seolah dipandang sebagai murni kesalahan masyarakat Papua, padahal pada kenyataannya pemerintah pusat juga turut bersalah dalam memicu situasi tidak kondusif ini.
Dalam mengidentifikasi masalah di Papua, pemerintah pusat juga telah melakukan kesalahan, di mana dialog yang dilakukan oleh pemerintah pusat cenderung ditujukan dengan segelintir orang dan kelompok yang justru memiliki kepentingan sama dengan pemerintah pusat, alih alih menyuarakan kepentingan masyarakat Papua. Pada akhirnya, pemerintah berdalih bahwa kepentingan dan aspirasi masyarakat Papua telah terpenuhi, meskipun pada kenyataannya, pemerintah pusat tutup mata atas aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh representasi masyarakat, dan justru menjustifikasi ketidakpeduliannya lewat dialog yang tidak mencerminkan suara masyarakat Papua. Problematika inilah yang memicu munculnya rasisme dan alienasi terhadap masyarakat Papua, yang notabene menjadi korban dari inkompetensi pemerintah pusat dalam mewadahi aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua.
Pada sesi terakhir, Frans menutup sesi pembicara dengan mengangkat seputar isu rasisme yang muncul dan berujung kepada masalah yang tidak kunjung berakhir. Frans menyatakan, bahwa rumusan masalah akan konflik Papua tidak dapat dimonopoli karena rumitnya sejarah konflik tersebut. Kita tidak boleh melupakan bahwasanya Papua pun memiliki identitas yang bersifat jamak, dan tidak bisa seterusnya ditekan untuk menyingkirkan identitas Papua dan menggantikannya dengan identitas Indonesia, sementara masyarakat Papua masih menerima diskriminasi dan menjadi subyek rasisme dari berbagai pihak, dan ironisnya, negara turut berperan dalam menciptakan situasi tersebut. Kebijakan negara yang cenderung menganak-tirikan Papua pun turut memicu rasisme dan sudah dapat digolongkan sebagai sebuah state crime. Kebijakan Pemerintah pusat yang memarginalisasikan masyarakat Papua turut ambil andil dalam memelihara rasisme yang ditujukan kepada masyarakat Papua.
Seusai ketiga pembicara memaparkan materinya, sesi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab untuk mendiskusikan tema sekaligus menutup acara. Tidak terasa, sesi tanya jawab yang seharusnya hanya dialokasikan sebanyak 1 sesi dengan 3 orang penanya, harus diperpanjang menjadi dua sesi karena minat para audiens, terutama dari perwakilan mahasiswa Papua yang hadir. Sesi tanya jawab berjalan dengan progresif, karena banyak peserta yang ingin mengungkapkan pertanyaan dan juga pendapatnya tentang isu Papua, memenuhi tujuan awal forum ini untuk berbagi informasi dan pengetahuan tentang konflik Papua.
Rumitnya konflik Papua mengarahkan kita kepada sebuah situasi, dimana konflik ini sudah tidak lagi hanya tentang rasisme semata. Kombinasi dari state crime yang memicu rasisme, framing dimana pemerintah cenderung membuang muka dan tidak peduli akan Papua, identitas Papua yang semakin menguat karena rasisme yang mereka terima dan faktor-faktor lain menjadikan resolusi konflik ini sulit dicapai. Untuk mencari jalan baru untuk damai di Papua, diperlukan niat yang baik dari semua aktor yang terlibat untuk duduk bersama, mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, dan kemudian mencari jalan untuk resolusi konflik berkepanjangan ini. Kita tidak boleh lupa, Papua adalah bagian dari Indonesia dan masyarakat Papua adalah saudara kita. Untuk mencari jalan damai, diperlukan dialog yang memfasilitasi aspirasi dan keluhan yang selama ini dipendam oleh masyarakat Papua.
Penulis: Raditya Bomantara
Penyunting: Thifani Tiara
Jogja Creative Industry Forum: Platform Pertemuan dan Diskusi Praktisi Industri Kreatif Yogyakarta
/in News, Past Events, Uncategorized/by iis.fisipolMenurut Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), saat ini industri kreatif menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, nilai ekspor Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya mendudukki peringkat ke-8 nasional dengan nilai ekspor produk ekonomi kreatif sebesar 1,26%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah dan daya saing industri kreatif di DIY belum mencapai potensi maksimal karena terdapat beberapa faktor yang menghambat kemampuan ekspor dan usaha para pelaku industri kreatif untuk terintegrasi dalam pasar global.
Berangkat dari persoalan tersebut, peserta kelas Global Value Chain Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), bekerja sama dengan Institute of International Studies dan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM menyelenggarakan Talkshow Jogja Creative Industry Forum (JCIF), pada Rabu, 18 September 2019 berlokasi di Digital Library Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
JCIF bertujuan menjadi wadah bertemunya perwakilan dari beragam latar pendidikan dan profesi yang berkenaan dengan industri kreatif sekaligus menjadi sarana inisiasi strategi think-tank dalam sektor industri kreatif. Kegiatan dikemas dalam bentuk talk show guna memberi ruang pada pelaku usaha industri kreatif, pemerintah, akademisi serta publik untuk berdikusi mengenai tantangan dan peluang dalam sektor ekonomi kreatif di DIY, publik pun dapat ikut serta berdiskusi dalam kegiatan tersebut.
Talk show JCIF dibagi dalam dua sesi, di mana sesi pertama membahas seputar sinergi yang perlu dibangun antara pemerintah dan pengusaha dalam meningkatkan sektor industri kreatif DIY di pasar global, sementara sesi kedua membahas mengenai potensi rencana strategis yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam rangka upgradingguna memasarkan produk dan jasanya.
Sesi hari itu dibuka oleh Rendro Prasetyo, penyuluh Perindustrian dan Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi DIY dengan memberikan gambaran mengenai industri kreatif di Yogyakarta. Rendro menyatakan bahwa industri kreatif di Yogyakarta memiliki potensi yang besar tetapi pelaksanaannya belum optimal. Selain itu, terdapat beberapa peluang yang harus dimanfaatkan, seperti tingginya jumlah sumber daya manusia kreatif di Yogyakarta; adanya upaya aktif dari komunitas industri kreatif; adanya dukungan perguruan tinggi; adanya dukungan Sekolah Menengah Kejuruan; dan adanya citra Yogyakarta sebagai kiblat industri kreatif. Namun, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi pula dalam memaksimalkan potensi-potensi tersebut, seperti pembagian urusan industri kreatif antar operasi daerah yang belum jelas; belum adanya pangkalan data industri kreatif yang baik; banyaknya permasalahan di industri kreatif; industri kreatif yang mudah puas dan tidak melakukan upgrading diri; serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang belum jelas.
Talk show dilanjutkan dengan sharing dari pemilik industri kreatif. Pemilik industri kreatif yang hadir pada kegiatan hari itu datang dari berbagai klaster, termasuk klaster industri fesyen, industri daur ulang, industri kesehatan berbasis komunitas, serta industri kuliner. Dalam diskusi tersebut, para pelaku industri kreatif membagikan beberapa tips terkait melakukan usaha industri kreatif di Yogyakarta.
Salah satunya ialah Drg. Ferry Yuliana Syarif, founder dari Gendhis Bag yang bergerak dalam industri fesyen, menyatakan bahwa dalam menjalankan industri kreatif segala aktivitas yang dilakukan harus dari hati, dalam artian semuanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan bukan hanya berorientasi pada materi. Prinsip “bisnis dari hati” ini tampak dari cara Gendhis Bag berbagi tentang cara produksi ke berbagai industri mikro di aneka daerah di Indonesia hingga mengembangkan sumber daya manusia yang ada. Tips lainnya yang dibagikan Drg. Ferry ialah harus adanya pengembangan bisnis dengan basis business-to-business (B2B), selalu memiliki inovasi dan kreativitas, tim yang solid, dan sosial media yang kuat.
Senada dengan Drg. Ferry yang memiliki dampak sosial dalam menjalankan industri kreatif, Sekti Mulatsih, founderdari Rakyat Peduli Lingkungan atau lebih dikenal dengan sebutan RAPEL juga dihadirkan untuk berbagi mengenai usaha yang ia jalankan. Inisiasi RAPEL lahir dari kegelisahan Sekti mengenai lingkungan karena ditemukannyamissing link dalam proses pengolahan sampah di Indonesia. Alhasil, RAPEL lahir sebagai industri yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Yogyakart
Pandangan dari para pemilik industri kreatif tersebut kemudian dilengkapi dengan pandangan dari beberapa pakar yang dunianya bersinggungan dengan industri kreatif. Pakar-pakar tersebut meliputi Drs. Prijo Mustiko, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, yang menyatakan bahwa perlu adanya kerjasama quadrohelix di antara akademisi, bisnis, komunitas, dan birokrasi pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif; serta Dian Prijomustiko dari Bali Industry Creative Center yang menggarisbawahi beberapa aksi yang harus diambil oleh pemerintah apabila ingin mengembangkan industri kreatif, yakni harus adanya “burning platform”, reviu regulasi yang sudah ada, kebijakan yang mengatur industri kreatif, serta rencana strategis pemerintah.
Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Thifani Tiara
Beyond the Great Wall #4 : Cina : Masa Lalu dan Masa Depan
/in News, Past Events/by iis.fisipolMasa lalu dan masa depan adalah dua periode kontradiktif yang seringkali tidak dapat dibahas dalam satu sesi diskusi. Namun, dalam konteks sebuah negara, masa lalu dan masa depan menyimpan signifikansi yang sama dan tidak kalah penting. Dibalik peningkatan perannya dalam konstelasi politik global, Cina tentunya memiliki masa lalu yang kaya dan patut untuk dibahas. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil Cina di dalam politik global, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja masa lalu Cina yang juga menjadi landasan Cina di masa modern. Kontradiksi diantara dua kata kunci “masa lalu” dan “masa depan” inilah, yang menjadi topik dari Forum Beyond The Great Wall kali ini.
Edisi #4 Forum Beyond The Great Wall (BTGW) memiliki tajuk “Cina : Masa Lalu dan Masa Depan” untuk menyesuaikan disimilaritas di antara materi yang dibawakan, kegiatan BTGW menghadirkan Irfan Halim S.Psi, Asisten Klinik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Arindha Nityasari S.IP, Peneliti Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada. Berbeda dengan topik-topik diskusi BTGW sebelumnya, diskusi kali ini mengangkat tema yang menggambarkan dua aspek kontradiktif atas Cina. Irfan menyinggung masa lalu Cina dengan membahas Uighur lewat perspektif psikologi sejarah dan bagaimana isu ini dikaitkan dengan ilmu Hubungan Internasional, sementara Arindha memandang masa depan Cina dengan mendiskusikan prospek dan tantangan perkembangan Artificial Intelligence di Cina dengan mereview buku “A.I Superpowers : China, Silicon Valley and The New World Order” karya Kai Fu Lee.
Irfan memulai sesi pertama dengan memaparkan materi terkait sejarah etnik Uighur yang selama ini menerima diskriminasi dan tersegregasi dari masyarakat maupun pemerintah Cina. Ilmu Psikologi dan Ilmu Hubungan Internasional yang sekilas tidak dapat disandingkan bersama, menjadi landasan Irfan untuk mengangkat isu ini. Di mana, keduanya relevansi ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan mandat Konstruktivisme. Sebagai sebuah ilmu yang bersifat micro-oriented, tentunya Ilmu Psikologi akan kesulitan memberikan analisis makro yang dibutuhkan dalam menganalisa dunia hubungan internasional. Namun, konstruktivisme, dalam hal ini, hadir untuk memahami sejarah maupun struktur sosial yang ada dan dapat dikaitkan dengan Ilmu Psikologi yang berusaha memahami aktor-aktor, yang bertindak dipengaruhi oleh socio-environment, di dalam suatu peristiwa.
Dalam konteks relasi Cina-Uighur, Irfan menekankan bahwa bahasa dan narasi berkaitan erat dengan perspektif masyarakat internasional atas isu tersebut. Narasi yang dibuat oleh masyarakat Uighur tentang bagaimana opresi Cina, tentunya berlawanan dengan narasi pemerintah Cina yang menganggap bahwa Uighur merupakan sebuah gerakan separatis yang sistematis. Lebih jauh, Irfan memaparkan kasus di mana pemerintah Cina memfabrikasi gerakan damai atau gerakan kecil untuk membuat negara sebagai sebuah narasi “pembebasan” masyarakat Uighur untuk melawan gerakan separatis. Dalam kasus status Xinjiang pun terdapat perbenturan narasi. Pada satu sisi, Xinjiang dianggap pemerintah Cina sebagai sebuah daerah otonom, sementara Uighur mendukung pendirian Turkistan Timur.
Dalam relasinya dengan negara lain dan dalam merespon tuduhan opresi terhadap Uighur, pemerintah Cina cenderung bersikap pasif dan defensif. Cina menganggap urusan Uighur adalah sebuah urusan internal dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Cina justru mengkritisi kembali sikap hipokrit dan bias negara-negara lain yang mengkritik kebijakan dalam negeri Cina. Hal ini juga berhubungan dengan kontrol media sosial yang diterapkan pemerintah Cina, di mana semua konten media sosial terkait Uighur dapat diawasi oleh pemerintah. Selain itu, menurut Irfan, narasi Indonesia tentang Uighur yang membawa slogan “Solidaritas Sesama Muslim” kurang tepat sasaran karena latar budaya Uighur yang sebenarnya multietnik.
Pada penghujung sesi pertama, Irfan menyimpulkan paparannya dengan menyatakan bahwa eksistensi narasi yang berbenturan dan polarisasi dunia internasional sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap konflik ini. Beberapa negara yang masih memiliki kepentingan dan kerjasama dengan Cina tidak begitu vokal dalam mengangkat isu opresi Uighur dan cenderung membiarkan Cina menjalankan kebijakan dalam negerinya. Di sisi lain, beberapa negara membingkai kasus ini sebagai sebuah opresi etnik dan meletakkan pemerintah Cina pada posisi antagonis utama dalam narasi tersebut, dan Uighur sebagai korban opresi pemerintah.
[layerslider id=”2″]
Pada sesi kedua, BTGW dilanjutkan dengan pemaparan hasil reviu buku oleh Arindha Nityasari. Artificial Intelligence (AI) sendiri adalah kemampuan mesin untuk mengadaptasi beberapa sifat manusia, seperti reasoning, berpikir logis, dan memberi preferensi pilihan. Secara garis besar, buku ini menceritakan kondisi teknologi global, sejarah perkembangan teknologi di Cina, dan kelembagaan serta ekosistem teknologi di Cina. Kemajuan yang ada membawa beberapa perubahan bagi Cina, salah satunya, revolusi Cina dari age of discovery, yang berorientasi pada penemuan dan penciptaan sesuatu, menjadi age of implementation yang berfokus pada implementasi produk dan teknologi. Perubahan lainnya yang terjadi adalah pergeseran Cina dari age of expertise, dengan orientasi sebagai ahli teknologi, menjadi age of data, dengan munculnya tren analisa data. Di era yang semakin maju ini, analisa data tentunya menjadi modal yang penting, mengingat AI yang berbasis pada data.
“Sekarang, siapa yang mempunyai data, maka dialah yang powerful,” tutur Arindha.
Kondisi ini membuat semua negara berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin data. Karenanya, Cina kini ada pada posisi yang unggul sebab rakyatnya rela memberikan data demi kemudahan hidupnya.
Salah satu hal menarik dari buku ini yang turut diangkat oleh Arindha adalah budaya copycat di Cina. Cina mengakui bahwa copycat merupakan kunci perkembangan teknologi di Cina karena latar belakang ekonomi Cina yang awalnya bergantung pada manufaktur dan produksi sendiri, bergeser menjadi bergantung pada mengikuti produk-produk lain sebagai proses transfer teknologi. Ekosistem AI Cina terletak pada para gladiator atau para peniru pengusaha dan dukungan pemerintah dengan data berlimpah didukung dengan adanya insinyur AI, meski masih dalam jumlah terbatas. Hal ini membuat pemerintah Cina berupaya meningkatkan pengembangan Greater Bay Area di Cina yang sangat technology-oriented, bahkan disebut Silicon Valley versi Cina, sebagai usaha memfasilitasi kebutuhan Cina akan insinyur AI.
Dalam buku ini, dijelaskan pula beberapa perbedaan antara Cina dengan Silicon Valley. Di mana, Cina cenderung lebih market-driven sehingga mengikuti keinginan pasar, sementara Silicon Valley cenderung value-driven sehingga memiliki dorongan untuk terus berinovasi dan tidak berbasis keinginan pasar. Selain itu, Cina lebih bersifat survival-oriented sedangkan Silicon Valley cenderung lebih bersifat innovation–oriented.
Di akhir buku, dipaparkan bahwa terdapat empat gelombang permasalahan yang fundamental, gelombang pertama adalah internet AI, gelombang kedua adalah business AI, gelombang ketiga adalah perception AI, dan yang terakhir adalah autonomous AI, di mana tiga perusahaan besar Cina mulai menciptakan autonomous AI untuk menganalisa dan membaca tren masyarakat yang dapat disesuaikan dengan algoritma.
Di penghujung acara, Arindha menutup pemaparan dengan pertanyaan reflektif bagi peserta diskusi “Bukan siapakah super power-nya, tetapi siapkah kita dengan era yang belum pernah terjadi sebelumnya?”
Penulis Berita : Handono Ega, Raditya Bomantara & Denise Michelle
Penyunting : Sonya Teresa Debora & Thifani Tiara Ranti
CANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia
/in News, Past Events/by iis.fisipolCANGKIR TEH #3: Mencari alternatif bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia
Pendekatan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi terduga eks-terorisme ialah deradikalisasi. Proses ini dilakukan dengan memoderasikan pemahaman dan mengembalikan orang-orang yang telah terpapar radikalisme untuk kembali memahami Pancasila dan UUD 1945. Namun, hingga kini efektivitas maupun alternatif dari pendekatan ini masih diperdebatkan.
Guna membahas deradikalisasi dan perdebatan yang mengitarinya secara lebih jauh, pada Kamis (29/8), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional (Cangkir Teh) yang ke-3 dengan mengangkat tema “Mempelajari dan Mencari Pendekatan Alternatif dalam Diskursus dan Kebijakan Deradikalisasi di Indonesia”. Kegiatan ini menghadirkan Ustad Abu Tholut Al-Jawiy, pemerhati gerakan Islam, dan Hardya Pranadipa, mahasiswa Master of Arts Human Rights, Gender, and Conflict Studies: Social Justice Perspective di International Institute of of Social Studies (ISS) of Erasmus University Rotterdam. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang BA 101 FISIPOL UGM dan terbuka untuk umum.
Dalam membahas pendekatan deradikalisasi di Indonesia, Pranadipa, sebagai pembicara pembuka pada diskusi hari itu, melihat bagaimana wacana deradikalisasi merupakan wacana dominan terkait penanganan terduga eks-teroris di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana pembentukkan wacana deradikalisasi dilakukan oleh elemen-elemen kunci di Indonesia, di mana narasi deradikalisasi dapat ditemukan dalam instruksi Polri maupun TNI, program-program NGO lokal dan internasional, laporan pemerintah dan think tank, serta berbagai program pemerintah.
Menurut Pranadipa, tujuan akhir deradikalisasi ialah agar terduga dan tertuduh eks-teroris berpindah ideologi dari jihad kekerasan menjadi Pancasila. Dalam menjalankan pendekatan ini, terduga dan tertuduh teroris menjalani proses rehabilitasi yang menjauhkan mereka dari paham radikalisme, di mana proses ini jauh dari praktik penahanan konvensional. Dengan pembinaan dan pelatihan yang intens selama proses rehabilitasi, terduga dan tertuduh teroris dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat untuk mengembangkan potensi napi. Melalui proses ini, ideologi yang selama ini dipegang oleh terduga dan tertuduh teroris diubah dengan menanamkan pemahaman keislaman yang lebih moderat, serta menumbuhkan nasionalisme dan loyalitas kepada Pancasila. Pendekatan deradikalisasi di Indonesia ini turut dikuatkan dengan adanya PP. No. 99 tahun 2012.
Namun, Pranadipa menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak selalu berhasil. Setidaknya terdapat empat hal yang menghasilkan respon penolakan dari terduga dan tertuduh eks-teroris, yakni tata cara pelaksanaan program; desain program: agama, bangsa, dan “orang luar”; komunikasi; serta relasi dan struktur sosial di dalam lapas pemasyarakatan. Pranadipa menyatakan bahwa hal-hal ini diakibatkan oleh meningkatnya grievances yang sejalan dengan menurunnya trust.
[layerslider id=”4″]
Senada dengan Pranadipa, Ustad Abu Tholut pula menyampaikan beberapa kritik bagi pendekatan deradikalisasi di Indonesia. Menurut Abu Tholut, ada beberapa isu mengenai terorisme yang terabaikan, di mana isu terorisme dipengaruhi oleh proxy war diantara negara negara maju yang berebut pengaruh lewat organisasi paramiliter teroris. Lebih jauh, terorisme dapat dilihat sebagai bentuk konspirasi intelijen yang dinisiasi negara maju untuk menghindari deployment pasukannya sendiri ke dalam zona konflik yang diperebutkan. Abu Tholut menekankan bahwa deradikalisasi sangat berhubungan dengan politik, karena konstelasi politik global sangat mempengaruhi perkembangan terorisme.
Selain itu, masih terdapat kecenderungan untuk melakukan generalisasi paham-paham keislaman yang berbeda-beda yang dianut oleh para terduga dan tertuduh eks-teroris. Padahal, aliran maupun paham yang dianut sangatlah beragam. Generalisasi ini berujung pada pendekatan yang monolitik kepada para tertuduh maupun terduga eks-teroris, sehingga program tidak selalu efektif.
Untuk memaksimalkan pendekatan terhadap terduga dan tertuduh eks-teroris, Pranadipa dan Ustad Abu Tholut turut memberikan sarannya masing-masing. Pranadipa menegaskan bahwa pihak pemerintah maupun yang berkaitan harus memahami adanya struktur kuasa dan relasi sosial dalam blok-blok lembaga pemasyarakatan yang dialami oleh terduga. Selain itu, pemerintah harus memperbaiki komunikasi BNPT dan lembaga lain, melihat kepercayaan napi terhadap elemen-elemen dari luar yang masuk, serta perlunya membangun kepercayaan. Sementara, Ustad Abu Tholut menyatakan bahwa dalam melaksanakan pendekatan melalui program-programnya, pemerintah haruslah melihat radikalisme sesuai dengan konteks politik global yang ada mengingat pengaruhnya yang besar bagi kondisi domestik di Indonesia. Selain itu, generalisasi paham keislaman tertuduh dan terduga eks-teroris yang membuat program tidak efektif haruslah diubah. Pemerintah perlu melakukan metode penanganan yang berbeda-beda agar tujuan yang diidealkan dapat terwujud.
Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Thifani Tiara
Agenda Kunjungan Tim Riset IIS UGM ke Republik Demokratik Timor Leste: Bagian Kedua
/in News/by webadmin.3-a2b2aaSetelah sebelumnya menjalani kegiatan wawancara dengan otoritas setempat terkait isu pertbatasan Indonesia – Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), tim penelitian Insittute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (DIHI-UGM) melaksanakan agenda riset selanjutnya yang berfokus pada pengambilan data kualitatif di level masyarakat akar rumput.
Tim penelitian berjudul ‘Solving the Territorial Border Dispute between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste in Hau Meni- Ana and Manusasi, District of Kefamenanu, Regency of Nort East Timor, Province of East Nusa Tenggara through Compliance to the Agreement and Prevention of Issue Internationalization’ yang terdiri atas Dr. Siti Mutiah Setiawati, MA (dosen DIHI-UGM), Dra Ratnawati, SU(dosen Politik dan Pemerintahan UGM), Drs. Susi Daryanti, M.Sc (dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM) serta Muhammad Indrawan Jatmika, MA (peneliti IIS) melanjutkan agenda peninjauan kondisi rill perbatasan kedua negara di Desa Manusasi dan Haumeni Ana, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi tersebut berbatasan langsung dengan Distrik Oecusse di wilayah Timor Leste.
Dalam kesempatan ini , tim peneliti melakukan audiensi dengan masyarakat setempat, aparatur pemerintah, serta pihak TNI- POLRI sebagai penjaga perbatasan. Pihak masyarakat dan aparatur setempat dalam audiensi tersebut menyampaikan bahwa sudah ada kesepakatan zonasi daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, namun pada praktiknya kesepakatan tersebut belum dapat diimplementasikan dengan baik karena faktor konflik kepentingan diantara masing-masing pihak masyarakat. Untuk menyelesaikan berbagai sengketa perbatasan, masyarakat selama ini selalu menjunjung tinggi nilai- nilai persaudaraan dan adat istiadat setempat sehingga potensi konflik dapat diminimalisir.
Proses resolusi konflik perbatasan ini juga terbantu dengan adanya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan diantara masyarakat perbatasan dengan masyarakat Timor Leste, sehingga nilai- nilai persaudaraan masih dijunjung tinggi. Meskipun begitu, masyarakat juga menuntut ketegasan pemerintah pusat untuk segera menentukan batas- batas negara yang konkret dan telah disepakati secara government to government dengan Timor Leste, sehingga masyarakat Indonesia yang bersengketa memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat.
Di Desa Haumeni – Ana, tim peneliti IIS menemukan suatu problematika khusus, yaitu unsurveyed border atau wilayah perbatasan dimana belum pernah dilakukan survei oleh pemerintah, sehingga berpotensi menimbulkan konflik perbatasan diantara masyarakat. Selain faktor geografis yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, kurangnya pendekatan dengan masyarakat juga turut mempersulit eksekusi survei wilayah perbatasan di sekitar Desa Haumeni – Ana. Kombinasi diantara dua faktor inilah yang menyebabkan hingga saat ini belum ada survei perbatasan yang dilakukan di wilayah tersebut. Masyarakat juga menekankan bahwa para petugas survei belum dapat mengakomodasi kepentingan mereka dalam konflik sengketa perbatasan, dan malah cenderung menguntungkan pihak Timor Leste. Disharmonisasi pendapat antar kedua belah pihak menyebabkan terjadinya beberapa kali kasus penolakan dari masyarakat setempat dalam usaha survei wilayah perbatasan yang coba dilakukan oleh pihak- pihak terkait.
Penulis : Indrawan Jatmika & Raditya Bomantara
Penyunting : Alifiandi Rahman Yusuf & Wilibrordus Bintang Hartono
CANGKIR TEH #1: Problematika dan Tantangan Hak Masyarakat Adat di Indonesia
/in Featured, News/by webadmin.3-a2b2aaHak-hak Masyarakat Adat diatur tidak hanya dalam kapasitas sebagai masyarakat adat lokal dan warga negara, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat global. Namun, di Indonesia, kondisinya menjadi problematis karena, meski telah mengakui hak masyarakat adat di level internasional melalui penandatanganan dokumen UNDRIP, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur rekognisi dan pemenuhan hak masyarakat adat secara spesifik.
Untuk membahas permasalahan terkait, Jumat (1/3), Institute of International Studies menyelenggarakan kegiatan “Berbincang dan Berpikir tentang Hubungan Internasional” atau “CANGKIR TEH” untuk pertama kalinya, dengan tajuk diskusi “Hak Masyarakat Adat dan Politik Kewargaan di Indoesia”. Kegiatan berlangsung di Ruang BA-502, FISIPOL UGM dengan menghadirkan Ayu Diasti Rahmawati, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus peneliti utama riset “Plural Citizenship and the Politics of Indigenous Rights in Indonesia” yang didukung oleh lembaga SHAPE-SEA.
Pada kegiatan ini, Ayu memaparkan problematisasi serta temuan sementara dari riset yang masih berlanjut ini. Penelitian Ayu dan kawan-kawan, pada intinya, berusaha meneliti kompleksitas di balik pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia dengan dua studi kasus utama, yakni masyarakat adat di Kalimantan Barat dan masyarakat adat di Pati.
“Rancangan Undang-Undang tentang hak masyarakat adat ini sudah ada tiga versi, tapi sampai sekarang masih mandek, belum ada pengesahannya,” ujar Ayu.
Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kondisi “rights-talk” atas hak masyarakat adat, dalam artian, siapa saja aktor yang bermain dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor di balik pewacanaan atas hak masyarakat adat. Pasalnya, aktor-aktor yang terlibat tidak memiliki kekuasaan yang setara sehingga menimbulkan proses pertentangan wacana yang tidak setara pula. Inilah yang menyulitkan pengesahan dan rekognisi hak masyarakat adat di level negara.
Selain itu, politik kewargaan di Indonesia juga berkontribusi terhadap terkendalanya pemenuhan hak masyarakat adat. Pasalnya, membership atau keanggotaan masyarakat adat saja masih sering dipertanyakan, bahkan dalam beberapa kesempatan tidak diakui oleh pemerintah. Ditambah lagi perdebatan tentang pemakaian istilah ‘indigenous‘ dan adat; perdebatan mengenai subjek atau objek yang harus terlebih dahulu direkogisi; dan berbagai polemik lain menambah kerumitan isu dan ambil bagian dalam tersendatnya pemenuhan hak.
Terlepas dari polemik yang terjadi, Ayu menyatakan bahwa perjuangan masyarakat adat ialah perjuangan kolektif. Perlu diingat bahwa masyarakat adat merupakan aktor yang berperan besar dalam upaya pelestarian lingkungan. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan bahkan menyatakan bahwa masyarakat adat adalah salah satu aktor vital dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan sehingga, dalam melaksanakan aktivitasnya, masyarakat adat juga sedang berusaha menjaga bumi dari kerusakan.
“Mereka punya cara-cara tertentu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang sudah terbukti (dampaknya)” tambah Ayu.
Untuk melakukan upaya-upaya terkait, masyarakat adat butuh regulasi yang menjamin hak-haknya. Karenanya, sebagai masyarakat umum, menjadi penting untuk bersama-sama membantu masyarakat memperoleh hak-hak tersebut.
Penulis: Sonya Teresa
Penyunting: Angganararas Indriyosanti
Recent Developments in the EU & Its Impact to the EU-Indonesia Relations
/in News/by webadmin.3-a2b2aaH.E. Charles-Michel Geurts, Deputi Ketua Delegasi Uni Eropa (UE) untuk Indonesia dan Brunei Darussalam mengungkapkan UE dan Indonesia berbagi nilai yang sama, yakni Bhinneka Tunggal Ika yang jika ditranslasikan menjadi Unity in Diversity, dan tak lain merupakan moto dari UE. (11/02)
Acara yang bertajuk Recent Developments in the EU & Its Impact to the EU-Indonesia Relations menarik minat sebanyak 175 peserta yang memadati ruang Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Mereka berasal tidak hanya dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UGM, tetapi juga dari luar kampus UGM.
Kegiatan yang terselenggara atas kerjasama Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) dan Institute of International Studies (IIS) UGM ini berlangsung selama 2,5 jam dan dimoderatori oleh Drs. Muhadi Sugiono, MA, selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM yang memiliki keahlian dalam bidang Studi Eropa.
Geurts menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang penting bagi EU karena Indonesia berperan sebagai pasar maupun sebagai titik transit untuk barang-barang dari EU. EU juga telah secara konsisten berinvestasi di Indonesia dan menjadi investor non-Asia teratas bagi Indonesia. EU juga membutuhkan Indonesia untuk beberapa masalah keamanannya, misalnya kerja sama dalam peacekeeping dan disaster rescue operations.
UE merupakan sebuah organisasi supranasional yang beranggotakan 28 negara di Eropa. UE merupakan organisasi antarpemerintah pertama yang terintegrasi dalam berbagai bidang seperti bidang ekonomi melalui penggunaan Euro sebagai common currency, bidang politik melalui pembetukan Parlemen Eropa yang memiliki wewenang untuk membentuk hukum/legislasi yang berlaku di kawasan Uni Eropa, dan penetapan Schengen Area melalui penghapusan paspor dan semua jenis kontrol perbatasan lainnya di wilayah perbatasan bersama anggota UE.
Banyak pertanyaan yang diajukan peserta sebagai antusiasme terhadap acara. Kegiatan ini diakhiri dengan pemberian cindera mata kepada Charles-Michel Geurts oleh Dr. Nur Rachmat Yuliantoro selaku Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Penulis: Melisa Rachmania
Editor: Novi Dwi Asrianti
Ratifikasi TPNW Penting bagi Indonesia!
/in News, Newsroom/by webadmin.3-a2b2aaPerjalanan panjang perjuangan kampanye perlucutan senjata nuklir menghirup udara segar dengan disahkannya Treaty on The Prohibition of Nuclear Weapon (TPNW) pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, 7 Juli 2017 lalu. Guna memberikan gambaran lebih komprehensif terkait perjajian tersebut, Institute of International Studies bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melaksanakan kegiatan Seminar “Rencana Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapon (TPNW)”, pada hari Kamis (8/2) di Auditorium Mandiri Gedung BB Lantai 4, FISIPOL UGM.
Seminar ini menghadirkan Laurentius Amrih Jinangkung selaku Direktur Hukum dan Perjanjian Ekonomi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Muhammad Rifqi Muna selaku peneliti politik LIPI, Falconi Margono selaku Plt. Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kusnanto Anggoro selaku dosen FISIP Universitas Indonesia, dan Muhadi Sugiono selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus juru kampanye ICAN di Indonesia. Pemaparan serta diskusi substantif terjadi dengan membahas berbagai isu seputar TPNW.
Laurentius Amrih Jinangkung, selaku pembicara pertama, menyatakan bahwa menjadi penting untuk meratifikasi perjanjian TPNW. Meskipun telah ada berbagai konvensi seputar senjata nuklir, TPNW merupakan perjanjian internasional pertama yang secara eksplisit melarang adanya penggunaan, pengembangan, ataupun kepemilikan senjata nuklir.
Sepakat dengan hal tersebut, Dr. Muhammad Rifqi Muna-pembicara selanjutnya, menambahkan bahwa ratifikasi TPNW penting karena manfaat yang diperoleh dari ratifikasi TPNW lebih banyak dibandingkan kerugian bagi Indonesia. Dari aspek politik global, tindakan ini memiliki dampak berupa pemberian kekuatan dalam proses diplomasi internasional. Sebab, ini mendorong isolasi terhadap negara-negara yang masih menggunakan nuklir. Hal ini juga akan memperkuat posisi Indonesia sebab turut mendorong tatanan internasional yang berlandaskan etika global. Untuk domestik Indonesia, ratifikasi TPNW akan memberikan manfaat berupa terbukanya peluang ekonomi, serta akan memfokuskan tenaga dan pikiran Indonesia untuk pengembangan teknologi nuklir non senjata bagi kepentingan nasional.
Pemanfaatan teknologi nuklir non senjata kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Falconi Margono. Pemanfaatan tersebut dapat menguntungkan Indonesia di antaranya pada bidang energi, untuk dipergunakan sebagai pembangkit listrik; bidang kesehatan, untuk mengembangkan teknologi rontgen serta penelitian obat-obatan; bidang kepurbakalaan, untuk penghitungan jumlah umur artefak maupun fosil; dan bidang-bidang lainnya. Pemanfaatan pada bidang-bidang tersebut, sejalan dengan tujuan pemerintah atas pembangunan berkelanjutan tahun 2030, dengan berkomitmen mengembangkan tenaga nuklir untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tidak hanya negara yang harus ambil peran dalam ratifikasi TPNW, Muhadi Sugiono, pembicara berikutnya pula menyatakan, bahwa untuk mendorong negara-negara lain ikut meratifikasi, masyarakat sipil juga perlu ambil bagian. Salah satu cara adalah dengan membangun sebuah bentuk stereotyping untuk semua negara pemilik senjata nuklir yang tidak menandatangani TPNW, serta mendorong sebuah gerakan sosial politik, baik secara domestik maupun internasional terhadap aktor-aktor tersebut. Cara lain ialah dengan melakukan pendataan terhadap perusahaan- perusahaan yang memiliki investasi senjata nuklir.
Meski demikian, masih terdapat potensi ancaman proliferasi senjata-senjata lain di dunia. Kusnanto Anggoro memaparkan bahwa meski ratifikasi TPNW yang menciptakan rezim non-proliferasi akan memiliki kontribusi untuk menciptakan dunia tanpa senjata nuklir, TPNW tidak sepenuhnya menjamin dunia yang lebih aman; baik karena aktor-aktor non negara, seperti teroris, maupun munculnya berbagai senjata mematikan baru. Potensi kemungkinan berkembangnya senjata nuklir pun masih ada karena masih terlalu banyak alternatif jalan menuju perang, karenanya Kusnanto mengimbau Indonesia untuk tetap bersiap menghadapi potensi kemungkinan berkembangnya senjata nuklir di masa depan.
Institute of International Studies (IIS) adalah mitra resmi ICAN di Indonesia. Sejak 2013, IIS telah terlibat aktif dalam upaya kampanye, baik di Indonesia maupun Asia Tenggara, guna mendorong tercapainya pengadopsian TPNW .Saat ini, IIS fokus pada upaya mendorong pemerintah Indonesia agar segera meratifikasi traktat tersebut. Simak dokumentasi kegiatan kampanye perlucutan senjata nuklir disini
Penulis: Sonya Teresa Debora
Penyunting: Angganararas Indriyosanti
Mendalami Cina Terkini Melalui “Beyond the Great Wall”
/in News, Newsroom/by webadmin.3-a2b2aaPerkembangan Cina sebagai sebuah negara yang semakin dinamis dan asertif menarik perhatian masyarakat internasional. Tak terkecuali di kalangan akademisi hubungan internasional di Indonesia. Dalam rangka menghadirkan forum bagi kalangan profesional untuk mendiskusikan isu-isu terbaru politik domestik maupun politik luar negeri Cina, Institute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI), Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 2019 menyelenggarakan forum akademik “Beyond the Great Wall” (BTGW).
BTGW merefleksikan situasi Cina terbaru yang menembus batas konotasi “Tembok Besar”, kokoh, statis, dan isolatif. Makin maraknya diskusi publik di Indonesia yang khusus membahas Cina membuat Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, pengajar DIHI UGM yang mendedikasikan ilmunya dalam studi politik Cina, perlu mengambil bagian dalam arus akademik ini. Terlebih, setelah DIHI-UGM melaksanakan pembaharuan kurikulum, kelas-kelas yang mempelajari politik Cina mendapat porsi yang tidak sebesar dahulu.
BTGW diharapkan dapat mengakomodasi wadah diskusi bagi berbagai kalangan untuk mengembangkan ketertarikan pada studi Cina. Dalam edisi kali ini, selain menghadirkan Nur Rachmat Yuliantoro, BTGW juga mengundang Hikmatul Akbar, M.Si, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ (UPN ‘V’) Yogyakarta. Ayusia Sabitha Kusuma, M.Sc.Soc Universitas Jendral Soedirman yang juga dijadwalkan menjadi pemateri sayangnya tidak dapat hadir karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.
Hikmatul Akbar membuka forum BTGW dengan memaparkan Cina baru di bawah Xi Jinping yang ditandai dengan perluasan pengaruh negara. Semenjak menjabat sebagai Presiden, Xi Jinping cenderung berusaha memusatkan kendali kekuasaan dibawah pengaruhnya. Dalam rangka memastikan stabilitas kebijakan yang ia jalankan, Xi Jinping membawahi secara langsung usuran politik, ekonomi, kebijakan luar negeri, dan bahkan menjadi komando tertinggi angkatan bersenjata Cina. Hal ini tidak lain dilaksanakan dalam rangka mewujudukan “Zhungguo Meng – The Chinese Dream”, yang ditandai dengan Cina sebagai pusat ekonomi, teknologi, dan peradaban diantara negara-negara lain.
Insiatif One Belt One Road kemudian menjelma sebagai instrumen utama dalam implementasi mimpi-mimpi Cina tersebut. Melalui kebijakan bantuan pembangunan infrastruktur tanpa syarat yang memberatkan, Cina mampu menyambungkan jalur-jalur perdagangan strategis di darat dan laut yang memusat ke Cina. Perang dagang, khususnya dengan Amerika Serikat, yang mengiringi ambisi Cina tersebut menurut Hikmatul Akbar disikapi secara terbuka.Cina berusaha tetap menghormati keputusan proteksionis negara-negara lain sembari mengedepankan dialog untuk menyelesaikan krisis ini.
Dalam sesi kedua, Nur Rachmat Yuliantoro mendiskusikan hasil membaca buku “Age of Ambitions: Chasing Fortune, Truth, and Faith in the New China” karya Evan Osnos. Secara garis besar, buku tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Cina kontemporer dalam menggapai kemakmuran, kebenaran, dan keyakinan. Melalui buku ini, Osnos menyelipkan satu cerita yang merefleksikan keingan masyarakat Cina dalam mencapai keinginan-keinginan tersebut, dan rintangan-rintangan yang menghadangnya.
Kemakmuran digambarkan Osnos melalui kisah Gong Hainan.Gong Hainan memiliki latar belakang keluarga miskin di pedesaan, namun berkat kegigihannya berhasil melanjutkan pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar Master. Apa yang terjadi pada Gong mencerminkan pandangan masyarakat Cina mengenai kemakmuran, yang ditandai dengan bekerja di perkotaan dan memiliki gelar pendidikan tinggi. Hal ini mendorong arus urbanisasi yang tinggi tiap tahunnya.
Adapun Kebenaran bersumber dari dinobatkannya Liu Xiaobo, aktivis pro-demokrasi Cina sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2010. Cina yang sebelumnya telah menjatuhi hukuman tahanan rumah terhadap Liu atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara menjadi berang karenanya. Liu menjadi contoh mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat Cina untuk memperoleh kebenaran berekspresi dan berpendapat tanpa adanya tekanan dari pemerintah.
Di bagian terakhir, Keyakinan, Osnos menampilkan kasus tabrak lari yang dialami bocah berumur 2 tahun bernama Wang Yue. Tragisnya, pasca mengalami kecelakaan tersebut, tidak ada satupun orang yang menolong Wang Yue. Baru orang ke-14 yang lewat lah – seorang nenek – yang berinisiatif membawa anak tersebut ke rumah sakit. Kendati mendapat kecaman publik, kasus Wang Yue menurut Osnos menggambarkan keyakinan baru yang muncul di tengah masyarakat, bahwa menolong orang adalah tindakan tidak berguna dan hanya merepotkan diri sendiri. Apabila kita telaah lebih jauh, sikap individualistis tersebut bersumber dari korupnya sistem penegakan hukum di Cina yang memungkinkan seseorang dikriminalisasi karena menolong orang lain.
Pada sesi penutup, Nur Rachmat menyimpulkan bahwa berdasarkan buku tersebut, kita dapat melihat Cina yang sedang berada dalam kondisi dilematis. Di satu sisi, meningkatnya tingkat kesejahteraan melahirkan masyarakat yang mengaspirasikan kebebasan dan kritis terhadap sistem pemerintahan yang berjalan. Sementara di sisi lain, demi mencapai visi langgenggnya kekuasaan Partai Komunis, pemerintah cenderung mengedepankan cara-cara yang cenderung otoriter.
Penulis: Alifiandi Rahman Yusuf
Penyunting: Angganararas Indriyosanti
‘A True Partner for World Peace’: Strategi Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB Periode 2019-2020
/in News/by webadmin.3-a2b2aaIndonesia kembali terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 pada Juni 2018 lalu. Keanggotaan mewakili kawasan Asia – Pasifik di DK PBB diraih setelah menerima 144 suara dukungan dari negara anggota PBB lainnya.
Sesuai dengan slogan yang disuarakan selama kampanye pencalonan keanggotaan DK PBB, yaitu ‘A True Partner for World Peace’, Indonesia selama masa keanggotaannya berkomitmen untuk aktif dalam perwujudan perdamaian di tingkat internasional. Guna mengawal terwujudnya slogan ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Institute of International Studies (IIS UGM) mengadakan sosialisasi bertajuk Strategi Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang diselenggarakan pada Kamis (7/2), di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM yang dihadiri peserta dari berbagai institusi di Yogyakarta dan sekitarnya.
Seminar ini dibawa oleh beberapa pembicara, diantaranya Dr. Dafri Agussalim, MA dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, Grata Endah Werdaningtyas selaku Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI, serta Koordinator Harian Satuan Tugas DK PBB Kemlu RI, Hari Prabowo. Mereka mendiskusikan berbagai strategi, tantangan, serta peluang diplomasi yang dapat dilakukan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB.
Dalam sesi pertama, Dafri Agussalim membahas kontribusi yang telah dilakukan Indonesia pada tiga kesempatan sebelumnya sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang menunjukkan kepercayaan masyarakat internasional untuk memilih Indonesia ke-4 kalinya. Dafri juga memaparkan masalah yang telah menunggu Indonesia, antara lain konflik kepentingan antar anggota permanen DK PBB, sulitnya memprediksi kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Trump, serta penyelesaian isu Palestina yang semakin rumit dalam beberapa waktu terakhir. Tantangan tersebut belum tentu terselesaikan sepanjang masa keanggotaan Indonesia, namun Dafri menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi agenda setter dalam penyelesaian isu-isu tersebut.
Selanjutnya, Grata Endah Werdyaningtas memulai sesi kedua dengan menceritakan perjuangan kampanye Indonesia untuk keanggotaan DK PBB. Persaingan dengan Maladewa dalam mengisi jatah untuk Asia – Pasifik menunjukkan bahwa permasalahan keamanan dunia saling tarik – menarik antara permasalahan tradisional dan non-tradisional. Menjadi penting untuk Indonesia memenuhi tanggung jawab dengan menjalankan peran sesuai mandat DK PBB dan menyesuaikannya dengan konteks keamanan dan perdamaian yang relevan.
Tanggung jawab yang besar tentu mendatangkan kemampuan yang besar. Indonesia sebagai anggota DK memiliki benefit, yaitu mandat DK yang mengikat secara hukum sehingga pengaruh keputusannya lebih terasa dampaknya, secara signifikan turut memberi keputusan final pemilihan Sekjen PBB beserta penurunan pasukan perdamaian, serta dapat menggalang kerjasama dengan sesama anggota DK PBB lainnya. Ini menimbulkan dampak berupa meningkatkan suara dan kredibilitas Indonesia di ranah internasional yang menurut Grata akan fokus mengadvokasi upaya – upaya perdamaian seperti perlucutan senjata, binadamai, pasukan perdamaian, antiterorisme, non-proliferasi nuklir, dan tentu saja, permasalahan tentang Palestina.
Dalam sesi selanjutnya, pembicara ketiga yaitu Hari Prabowo selaku Koordinator Harian Satgas DK PBB berfokus untuk menjelaskan peran-peran yang akan diambil oleh Indonesia selama mengisi rotasi kepresidenan DK PBB pada bulan Mei 2019 mendatang. Selain menjalankan tugas-tugas operasional seperti memimpin pertemuan dan pembahasan DK PBB, Indonesia juga akan memiliki wewenang untuk mengangkat isu prioritas tertentu untuk dibahas di debat terbuka serta menyelenggarakan signature event ketika menjalani rotasi Presiden DK PBB. Ini juga menjadi ajang untuk menciptakan warisan dalam PBB, misalnya dengan menghasilkan dokumen yang berkontribusi konkrit dalam aktivitas DK PBB, seperti pada tahun 1996, Indonesia menghasilkan Wisnumurti Guidelines yang memfasilitasi proses pemilihan Sekjen PBB yang berkeadilan bagi semua negara anggota.
Mendekati penghujung acara, sesi tanya jawab yang dipandu oleh moderator Veronica Rompis berlangsung substantif. Mengutip dari Grata Endah, harapan setelah terselenggaranya acara ini adalah, “Keanggotaan DK PBB ini bukan milik Kemlu saja, tetapi milik bangsa. Maka, Kemlu mengharapkan dukungan konstruktif dari masyarakat.”
Penulis: Heidira Witri Hadayani
Penyunting: Angganararas Indriyosanti