Revenge Porn: Bahaya Hiperealitas dan Kekerasan Siber Berbasis Gender
Issue 02 | 2018 (https://simpan.ugm.ac.id/s/NhOLMQs8gxA95gY#pdfviewer)
“Sebuah tontonan bukanlah sekumpulan gambar, melainkan relasi sosial antarmanusia yang dimediasi oleh gambar.” – Debord G., 1967, The Society of the Spectacle
Meski karya Debord ditulis sebelum era internet, analisisnya justru semakin relevan dalam masyarakat hiper-media di mana hiperealitas telah menggantikan realitas (Baudrillard, 1981). Kita dapat menyaksikan fenomena ketika konten porno disebarkan di jejaring sosial. Pengguna internet begitu antusias beropini, mengadili, mengutuk, menghujat serta mempermalukan mereka yang terpampang di foto, lalu melabelinya sebagai pelacur, kemudian kembali menjelajah lini masa untuk menghibur diri sendiri. Internet adalah sebuah ruang tontonan dan komunitas di dalamnya selalu meminta imaji-imaji baru. Hal itu menyebabkan mereka lupa bahwa ada orang yang hidup di balik layar itu – dengan perasaan, keluarga, pekerjaan, dan realitasnya sendiri. Inilah yang menjadikan revenge porn selalu memiliki konteks yang melekat.
Revenge porn adalah konten seksual milik pribadi yang disebarkan ke internet tanpa persetujuan. Menurut survei Cyberbullying Research Center (Hinduja, 2015), sekitar 61% dari 1.606 responden pernah memotret atau membuat video telanjang dan membagikannya ke media sosial. Sejumlah 23% atau satu dari lima responden pernah menjadi korban revenge porn. Survei tersebut dilakukan di Amerika Serikat (AS), di mana fenomena revenge porn marak ditemukan dan dilaporkan. Menurut Studi Pornografi Non-konsensual yang dilakukan oleh Cyber Civil Rights Initiative, lebih dari 10 juta warga AS terdampak oleh revenge porn setiap tahun. Angka ini hanya mewakili mereka yang berani angkat bicara. Riset yang sama juga menunjukkan bahwa perempuan di bawah usia 30 tahun, anggota kelompok minoritas, dan komunitas LGBTQ lebih rentan menjadi korban dibandingkan laki-laki.
Jumlah tersebut hanya merepresentasikan puncak dari gunung es. Pun, jumlah tersebut sudah cukup untuk menjadi pertanda bahaya. Tidak ada jaminan bahwa revenge porn tidak terjadi di negara lain, entah dalam skala kecil ataupun besar. Meski selama ini terdapat pemahaman bahwa revenge porndilakukan oleh seorang lelaki untuk mempermalukan mantan kekasihnya, penting pula untuk menunjukkan bahwa tidak semua tindakan pelaku didorong motif balas dendam. Beberapa individu memiliki motif ekonomi, sedangkan yang lain termotivasi oleh ketenaran atau hiburan (Franks, 2015). Inilah yang kemudian mengubah revenge porn menjadi peluang bisnis. Di tahun 2008, sebuah situs web yang didedikasikan bagi revenge pornography muncul. Kini, revenge pornography terdapat dalam 3.000 situs web dan jumlahnya semakin sulit untuk dilacak (Kamal and Newman, 2016). Ini menunjukkan bahwa revenge porn terjadi karena pelecehan siber berorientasi pada gender, serta bagaimana konsep hiperealitas (Baudrillard, 1981) dapat berakibat fatal dalam internet.
Ketika mempermalukan (slut-shaming) dan menyalahkan korban (victim blaming) berjalan beriringan
Konsekuensi hukum dari tindak revenge porn hanya berlaku di beberapa negara seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Lebanon, dan Inggris. Di sebagian besar negara, hukum seolah membisu terhadap pelanggaran privasi dan hak kepemilikan gambar, yang dapat dinilai sebagai sebuah bentuk baru pelecehan seksual. Sebuah masyarakat di mana pelaku revenge porn tidak dapat diadili, akibat minimnya kekuatan ataupun tindakan hukum, adalah masyarakat yang secara aktif mendorong pemerkosaan. Masyarakat inilah yang ada di bagian bawah model Pyramid of Rape Culture. Setiap tingkatan dalam piramid menjelaskan kultur pelecehan yang saling berhubungan, sehingga penting untuk mengeliminasi tindak pelecehan dari tingkat terbawah terus menuju bagian atas.
Selama ini, perdebatan publik soal revenge porn lebih banyak terjadi dalam konteks menyalahkan korban (victim-blaming) dan mempermalukannya (slut-shaming). Menurut Oxford Dictionary, slut-shaming adalah sebuah kontrol sosial yang “menstigma (perempuan) karena berperilaku ‘liar’ dan sensual”. Victim-blaming adalah perilaku menyalahkan korban dengan menganggap bahwa apa yang terjadi padanya diakibatkan oleh tindakannya sendiri. Kedua sikap tersebut merupakan bagian dari kekerasan patriarkal. Menurut Cyber Civil Rights Initiative, kebanyakan korban revenge porn adalah perempuan. Mereka dipaksa untuk berfoto atau membuat video. Dalam kasus lain, perempuan tidak mengetahui bahwa mereka direkam dengan kamera tersembunyi. Konten tersebut lalu disebarkan menggunakan komputer dan alamat surel yang diretas. Bagaimanapun cara konten tersebut diproduksi, entah dengan persetujuan bersama, dicuri, maupun diambil diam-diam – penyebaran konten privat tetap tidak dapat diterima. Perempuan memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri dan dapat melakukan apapun dengannya tanpa harus dihakimi atau dihina. Mempermalukan korban hanyalah satu ekspresi dari kultur yang melecehkan, di mana perempuan terus menerus diatur serta secara konstan didikte bagaimana harus bersikap. Kasus revenge porn menjelaskan bahwa tubuh perempuan bersifat politis. Seksualitas perempuan bersifat kontroversial dan internet menjadikan respons seksis semakin lantang.
Pada titik ini, slut-shaming dipahami sebagai generalized sliding from having into appearing, from which all actual ‘having’ must draw its immediate prestige and its ultimate function” (Debord, 1967). Cara kita menampillkan diri membentuk pemaknaan mengenai siapa diri kita di mata para penonton. Reputasi yang kita miliki menjadi bagian dari identitas kita di ruang publik. Maka, ketika seorang perempuan dipermalukan dan dianggap kasar, manja, atau murahan, mereka akan kehilangan nilai sosialnya dan dilabeli sebagai ‘pelacur’. Identitas yang dikenal di masyarakat dibentuk dengan reputasi. Di era digital, penampilan non-material didasarkan oleh profil media sosial. Orang-orang berlomba untuk menjadi populer dan terlihat bahagia. Internet adalah ruang virtual baru yang mempengaruhi realitas. Konten di internet seolah milik publik sebagaimana informasi individu dimiliki oleh perusahaan. Maka dari itu, tak banyak hal privat tersisa di internet. Di titik inilah revenge porn dapat merusak reputasi seseorang di internet dan di kehidupan nyata. Internet sebagai sebuah platform global memuat banyak tampilan, ruang virtual publik yang kejam di mana setiap penggunanya berperan dalam sebuah permainan sosial.
Hiperealitas dan pelecehan di jejaring sosial
Konsekuensi dari slut-shaming dan victim-blaming, yang sudah cukup berat untuk dihadapi di dunia nyata, semakin bertambah berat karena keberadaan internet dan media sosial. Dengan kehadiran teknologi digital dan media, realitas semakin dekat dengan hiperealitas – konsep yang ditulis oleh Baudrillard di buku Simulacra and Simulation. Hiperealitas adalah kondisi di mana persepsi terhadap realitas dan realitas itu sendiri dipengaruhi serta dibentuk oleh media. Baudillard menyebutnya sebagai “kematian yang nyata” karena realitas digantikan oleh imaji-imaji yang disediakan oleh media. Oleh karenanya, realitas terdiri dari “simulasi” atau representasi media atas kenyataan dalam bentuk reality show di TV, profil media sosial dan permainan video, yang menjadi semakin penting dengan adanya internet.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah pengguna internet meningkat dari 400 juta di tahun 2000 menjadi 3,2 milyar di tahun 2015 atau lebih dari setengah populasi dunia. Media menyebarkan simulasi realitas dalam banyak bentuk, mulai dari gawai hingga iklan di supermarket. Kita semakin terekspos hingga menghabiskan lebih banyak waktu di dalam hiperealitas daripada realitas itu sendiri. Pada titik inilah simulasi mengubah realitas menjadi simulacra seperti yang dikatakan Baudrillard sebagai “kematian yang nyata”. Hal tersebut terjadi ketika simulasi menjadi kian nyata daripada apa yang ia representasikan. Inilah alasan mengapa revenge porn dapat merugikan seseorang. Korban diserang dalam realitas hidup dan simulasi hidupnya. Siber-realitas, pada konteks ini, masuk dalam realitas seiring dengan menguatnya pengaruh internet dan media sosial dalam kehidupan kita.
Kita semua memang terhubung ke internet – mengunggah konten setiap hari, chatting, dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Artikel ini tidak berupaya mengusulkan penghapusan internet dan media sosial, tetapi bertujuan menyoroti penyalahgunaan internet sebagai media guna melecehkan, mempermalukan, dan menghancurkan hidup seseorang dengan menjadikannya bahan tontonan di hadapan ribuan orang. Di internet, orang melakukan dan mengatakan hal yang mungkin tak akan dilakukannya di dunia nyata. Paradoks muncul ketika media sosial yang memberi kita kesempatan untuk menyamarkan realitas hidup kita sebagai simulasi dengan membangun citra versi baik dari diri kita, rupanya pada saat yang sama, juga memberi ruang bagi hasrat yang selama ini kita kontrol dalam realitas, misalnya hasrat untuk menghina dan mempermalukan orang. Terlebih, internet menawarkan anonimitas pada mereka yang melakukan penghinaan dan mereka yang menjadi penonton. Fitur tersebut menjadikan pelaku pelecehan dan penghinaan menganggap mereka memiliki kuasa dalam melakukan apapun guna menghancurkan kehidupan orang lain, hanya karena tidak ada orang yang mengetahui identitasnya. Anonimitas memberikan perasaan tak terlihat dan tak tersentuh – dan karenanya, perasaan kebal hukum.
Kematian realitas untuk korban revenge porn menciptakan kebingungan dalam mendefinisikan apa yang nyata dan tidak. Eksposur yang intens dan sangat intim ini berpengaruh besar pada kesehatan mental korban. Sebagian besar korban paranoid, contohnya, seorang Youtuber bernama Chrissy Chamber yang menjadi korban revenge porn mantan kekasihnya. Setelah videonya tersebar, Chrissy dihina dan direndahkan oleh fansnya sendiri dan itu mempengaruhi kesehatan mentalnya. Konsekuensi mental akibat pelecehan seksual di dunia maya bersifat nyata dan dampaknya bisa bertahan seumur hidup (Kamal and Newman, 2016). Skenario terburuk menyebutkan bahwa pelecehan di internet mendorong kasus bunuh diri, salah satunya oleh Amanda Todd. Pada tahun 2012, Amanda Todd mengunggah video yang menjelaskan alasannya bunuh diri yaitu karena perundungan dan persekusi di dunia maya.
Kita dibesarkan di sebuah masyarakat patriarkal yang terkadang mendiskriminasi gender tertentu, tetapi itu bukanlah alasan untuk terus melakukan pelecehan dan kekerasan pada perempuan, termasuk di internet. Apakah kamu akan menyebut lelaki tanpa baju “pelacur”? Mungkin tidak. Terlepas dari gendermu, tidak ada yang memiliki hak dan legitimasi untuk menyalahkanmu atas apa yang dirimu lakukan dengan tubuhmu sendiri. Jika kamu menjadi target revenge porn, ada banyak cara untuk menghapus gambar yang sudah tersebar. Organisasi anti-revenge porn, seperti Cyber Civil Rights Initiative, merekomendasikan Takedown, DMCA Defender, atau Copybite sebagai perusahaan terpercaya yang dapat membantumu menghapus konten tersebut. Kamu juga dapat meminta bantuan dari saudara. Jika kamu tahu orang lain yang juga menjadi target revenge porn, cobalah menjadi teman dan tawarkan bantuan. Jangan hakimi mereka karena mereka telah dikhianati oleh ruang publik virtual berskala global. Sebagai bagian dari penonton di ruang virtual, kamu selalu memiliki pilihan tidak menjadi bagian dalam pelecehan siber.
—
Abid Fatem-Zahra
Mahasiswa pertukaran
dari Institut d’Etudes Politiques de Lyon
—
Referensi
Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Michigan: University of Michigan Press.
Hinduja, S. (2015). Revenge Porn Research, Laws, and Help for Victims. Cyberbullying Research Center.Diakses dari https://cyberbullying.org/revenge-porn-research-laws-help-victims
Debord, G. (1967). The Society of the Spectacle. Paris: Buchet-Chastel.
Franks, M. A. (2015). Drafting an Effective ‘Revenge Porn’ Law: A Guide for Legislators. Social Science Research Network. Diakses dari https://ssrn.com/abstract=2468823
Habermas, J. (1962). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Massachusetts: The MIT Press.
Kamal, M. & Newman, W. J. (2016). Revenge pornography: Mental health implications and related legislation. Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, 44(3), 359.
—
Tulisan ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris.
Setiap tulisan yang dimuat dalam IIS Brief merupakan pendapat personal penulis dan tidak merepresentasikan posisi Institute of International Studies.
31 Januari 2018 By Publikasi IIS
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!